Anda di halaman 1dari 32

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Teori dasar Pengelasan

Pengelasan merupakan teknik penyambungan logam ataupun non logam

yang biasanya dilakukan untuk membuat konstruksi suatu bangunan. Teknik

pengelasan sudah digunakan sejak 3000 sampai 4000 dimana alat dan metode

yang digunakan masih sangat sederhana yang mana sumber energi panas

menggunakan pembakaran kayu atau arang. Suhu yang dihasilkan sangat rendah

maka teknik ini tidak dikembangkan lebih lanjut. Pada abad ke-19 dimana saat

energi listrik sudah dipergunakan dengan mudah, teknik pengelasan banyak yang

digunakan saat itu seperti las busur, las resistansi listrik, las termit dan las gas.

Pada tahun 1885 teknik yang digunakan secara luas yaitu las busur yang

menggunakan sumber panas dalam proses pengelasan. Salah satu ilmuan bernama

Benardes memakai elektroda yang terbuat dari karbon atau grafit. Dengan

berjalannya waktu banyak penemuan-penemuan baru dalam teknik pengelasan

dimana ilmu pengetahuan dan teknologi semakin maju sehingga alat pengelasan

pun juga lebih canggih dan memiliki berbagai jenis pengelasan baru seperti las

tekan dingin, las listrik terak, las busur dengan pelindung gas CO2, las gesek, las

ultrasonik, las sinar elektron, las busur plasma, las laser dan masih banyak

lainnya. Harga yang ditawarkan oleh perusahaanperusahaan pun juga bervariasi.

Kegunaan dalam pengelasan ini juga sangat banyak seperti kontruksi perkapalan,

perpipaan, jembatan dan lain-lain.

7
8

Definisi pengelasan sendiri banyak versi, salah satunya menurut American

Welding Society. Pengelasan merupakan proses penyambungan logam atau non

logam yang dilakukan dengan cara memanaskan material yang akan disambung

hingga temperatur las yang dilakukan dengan menggunakan tekanan (pressure)

maupun tidak, menggunakan tekanan (pressure) saja, menggunakan logam

pengisi (filler) atau tidak (AWS,1989). Sedangkan menurut British Standards

Institution, pengelasan merupakan proses penyambungan material dua atau lebih

dalam keadaan plastis atau cair dengan menggunakan panas (heat) atau dengan

tekanan (pressure) atau keduanya. Logam pengisi (filler metal) dengan temperatur

lebur yang sama dengan titik lebur dari logam induk dapat atau tanpa digunakan

dalam proses penyambungan tersebut (BSI, 1983).

Pengelasan adalah penyambungan dua buah logam padat dengan

mencairkannya melalui pemanasan. Persyaratan berhasilnya penyambungan

adalah (Okumura, 1981): Bahwa benda padat tersebut dapat cair saat dipanaskan

sebagai bahan pengisi. Panas yang timbul diantara elektroda dan bahan induk

mencairkan ujung elektroda (kawat) las dan bahan induk, sehingga membentuk

kawah las yang cair, yang kemudian membeku membentuk lasan. Bungkus

(coating) elektroda yang berfungsi sebagai fluks akan terbakar pada waktu proses

berlangsung, gas yang terjadi akan melindungi proses terhadap pengaruh udara

luar (Oksidasi) yang sekaligus berfungsi memantapkan busur. Gas pelindung

(Shielded Gas) timbul dari lapisan pembungkus elektroda atau fluks yang terurai.

Definisi pengelasan menurut DIN (Deutsche Industrie Norman) adalah ikatan

metalurgi pada sambungan logam atau logam paduan yang dilaksanakan Dalam
9

keadaan lumer atau cair. Dengan kata lain, las merupakan sambungan setempat

dari beberapa batang logam dengan menggunakan energy panas.

Pengelasan dapat diartikan dengan proses penyambungan dua buah logam

sampai titik rekristalisasi logam, dengan atau tanpa menggunakan bahan tambah

dan menggunakan energi panas sebagai pencair bahan yang dilas. Pengelasan juga

dapat diartikan sebagai ikatan tetap dari benda atau logam yang dipanaskan.

Mengelas bukan hanya memanaskan dua bagian benda sampai mencair

dan membiarkan membeku kembali, tetapi membuat lasan yang utuh dengan cara

memberikan bahan tambah atau elektroda pada waktu dipanaskan sehingga

mempunyai kekuatan seperti yang dikehendaki. Kekuatan sambungan las

dipengaruhi beberapa faktor antara lain: prosedur pengelasan, bahan, elektroda

dan jenis kampuh yang digunakan.

Agar kualitas pengelasan kuat dan tahan lama, berikut jenis sambungan

las:

1. Sambungan Las Sebidang (Butt Joint)

Gambar 2.1 Sambungan sebidang (Butt Joint)

Jenis sambungan las ini merupakan cara menyambung las yang paling

sederhana dan mudah dilakukan, karena kedua besi disejajarkan dalam posisi
10

sama letaknya atau posisinya sehingga proses pengelasannya juga akan mudah

dilakukan. Biasanya jenis penyambungan besi dengan teknik pengelasan ini

digunakan untuk sambungan tiang besi penyagga.

2. Sambungan Las Lewatan

Gambar 2.2 Sambungan Las Lewatan (Lap Joint)

Pengelasan besi dengan posisi kedua permukaan benda saling menempel,

namun kedua ujungnya tidak menempel. Biasanya jenis pengelasan ini digunakan

untuk menyambung besi panjang, yang digunakan untuk menahan beban.

3. Sambungan Las Tegak

Gambar 2.3 Sambungan Las Tegak (Tee Joint)


11

Teknik pengelasan dengan sambungan las tegak, posisinya salah satu

benda dalam posisi mendatar dan besi lainnya dalam posisi tegak. Jenis

pengelasan ini juga sangat kuat digunakan karena biasanya jenis sambungan ini

digunakan untuk tiang penyagga konstruksi.

4. Sambungan Las Sudut (Corner Joint)

Gambar 2.4 Sambungan Las Sudut (Corner Joint)

Cara menyambung besi dengan posisi kedua ujung benda membuat sudut

90 derajat, jenis sambungan ini sering digunakan untuk konstruksi atap, lantai dan

juga berbagai jenis pekerjaan lainnya

5. Sambungan Las Sisi (Edge joint)

Gambar 2.5 Sambungan Las Sisi (Edge Joint)


12

Jenis pengelasan ini kedua besi dilekatkan satu sisi dengan sisi lainnya

terhubung sama rata, cara membuat sambungan las ini dimaksudkan untuk

menyambung atau menggabungkan besi sehingga menyatu ke bentuk yang sama.

Penyambungan logam dengan sambungan las banyak digunakan dalam berbagai

bidang manufaktur dan industri. Salah satu tipe sambungan yang banyak

digunakan adalah sambungan tipe T, terutama dalam bidang perkapalan dan

konstruksi struktur jembatan. Pada saat pengelasan, sumber panas berjalan terus

dan menyebabkan perbedaan distribusi temperatur pada logam sehingga terjadi

pemuaian dan penyusutan yang tidak merata. Akibatnya tegangan sisa dan distorsi

akan timbul pada logam yang dilas.

2.1.1 Parameter Pengelasan

Dalam melakukan pengelasan perlu diperhatikan beberapa parameter yang

menunjang hasil dari pengelasan agar yang didapat hasil yang baik sebagai

berikut:

1. Tegangan Busur Las

Tinggi tegangan busur las tergantung pada panjang busur dari jenis

elektroda yang digunakan. Tinggi tegangan busur yang diperlukan berbanding

lurus dengan panjang busur untuk elektroda yang sejenis. Busur listrik yang

terlalu panjang tidak direkomendasi sebab stabilitas mudah terganggu yang

mengakibatkan hasil dari pengelasan yang tidak merata. Selain itu tinggi tegangan
13

tidak banyak mempengaruhi kecepatan pencairan sehingga tegangan yang tinggi

hanya membuang energi saja. Panjang busur yang baik kira-kira sama dengan

garis tengah elektroda. Tegangan yang diperlukan untuk mengelas dengan

elektroda bergaris tengah 3 sampai 6 mm, kira-kira sekitar 20 sampai 30 volt

untuk posisi datar. Sedangkan untuk posisi vertikal atau overhead biasanya

dikurangi 2 sampai 5 volt. Kestabilan busur dapat juga didengar dari suaranya saat

pengelasan. Orang yang sudah berpengalaman, ketepatan panjang busur dapat

diperkirakan dari suara pengelasan. Sehubungan dengan panjang busur, hal yang

paling susah dalam las busur listrik dengan tangan adalah mempertahankan

panjang busur yang tetap dan stabil (Okomura,1996).

2. Besar Ampere Las

Menentukan besar ampere las diperlukan beberapa faktor seperti geometri

sambungan, bahan serta ukuran las, posisi pengelasan tergantung jenis dan

diameter inti elektroda. Daerah lasan yang memiliki kapasitas panas yang tinggi

maka diperlukan ampere las yang besar dan jika perlu diberikan pemanasan

tambahan. Saat pengelasan pada logam paduan alangkah baiknya menggunakan

ampere yang kecil untuk menghindari dari terbakarnya unsur-unsur paduan.

3. Kecepatan Las

Kecepatan pengelasan berhubungan dengan ampere las, semakin cepat

pengelasan ampere yang dibutuhkan semakin tinggi. Selain itu tergantung pada

jenis elektroda, diameter inti elektroda, material, geometri sambungan dan


14

lain-lain. Tegangan las tidak ada hubungannya dengan kecepatan las akan tetapi

tegangan las berbanding lurus dengan ampere las. Apabila tegangan dari ampere

dibuat konstan, kecepatan pengelasan dinaikkan maka jumlah deposit per satuan

panjang akan menurun. Ketika sampai pada suatu kecepatan tertentu, kenaikan

kecepatan maka penembusan semakin membesar. Apabila kecepatan dinaikkan

lagi maka masukan panas persatuan panjang juga akan menjadi kecil sehingga

proses pendinginan menjadi cepat yang bisa memperkeras daerah (HAZ) Heat

Affected Zone (Okumura, 1996).

4. Polaritas Listrik

Pemilihan polaritas listrik ini tergantung pada bahan pembungkus

elektroda, konduksi termal dari bahan induk, kapasitas panas dari sambungan dan

lain-lain. Apabila titik cair bahan induk tinggi dan kapasitas panas besar alangkah

baiknya menggunakan polaritas lurus dimana elektroda dihubungkan dengan

kutub negatif. Sebaliknya apabila kapasitas panas kecil pada pelat yang tipis maka

menggunakan polaritas balik dimana elektroda dihubungkan dengan kutub positif.

Sifat busur yang stabil biasanya terjadi ketika arus searah dibandingkan dengan

arus bolak-balik, terutama pengelasan menggunakan arus rendah. Tetapi untuk

pengelasan sambungan pendek lebih baik menggunakan arus bolak-balik karena

saat menggunakan arus searah kemungkinan akan terjadi ledakan busur pada akhir

pengelasan (Okumura, 1996).


15

5. Besarnya Tembusan

Untuk menentukan besarnya tembusan tergantung pada sifat-sifat fluks,

polaritas, besarnya arus, kecepatan las dari tegangan yang digunakan.

Penembusan atau penetrasi yang cukup akan menghasilkan kekuatan sambungan

yang tinggi. Semakin besar arus las maka semakin besar pula daya tembusnya.

Tegangan memberi pengaruh sebaliknya, semakin besar tegangan semakin

panjang busur yang terjadi dan semakin tidak terpusat, sehingga penetrasi yang

dihasilkan lebar dan dangkal akibat panas yang melebar. Ada pengecualian pada

beberapa elektroda khusus untuk penembusan dalam yang memerlukan tegangan

tinggi. Untuk pengaruh kecepatan apabila suatu kecepatan tertentu naiknya

kecepatan akan memperdalam penembusan, tetapi ketika melampaui kecepatan

tersebut makan penembusan akan turun dengan naiknya kecepatan

(Okomura,1996).

2.1.2 Cacat Las

Cacat las terjadi apabila pekerjaan pengelasan dikerjakan dengan tidak

benar. Sehingga kualitas hasil lasan menjadi buruk dan tampilan dari lasan tidak

memuaskan. Terdapat macam-macam jenis lasan seperti gambar 2.6.


16

Gambar 2.6 Macam-macam Cacat Pengelasan

(sumber : Teknologi Las Kapal, 2008)

A. Tampilan rigi las buruk

Tampilan rigi las buruk adalah istilah umum untuk kondisi permukaan rigi

las yang lain daripada biasa, meliputi panjang kaki kurang, kekurangan atau

kelebihan penguatan, dan perlakuan pada kawah las yang salah. Tampilan rigi las

yang buruk dapat disebabkan oleh kondisi pengelasan yang kurang tepat atau

kurangnya ketrampilan juru las, dan menghasilkan kurangnya kekuatan pada

sambungan las. Takik atau penumpukan menunjukkan adanya takikan, yang

menyebabkan konsentrasi tegangan, memicu retak dan rapuh (Sunaryo, 2008).


17

B. Lubang cacing dan jurang

Jika leburan logam membeku sebelum gas CO2, H2 atau N2 dilepaskan

secara keseluruhan, gas tersebut terperangkap didalam rigi las, membentuk lubang

cacing. Lubang cacing berbentuk memanjang disebut "pipa". Sebuah lubang

terbuka di permukaan disebut "pit/jurang". Cacat-cacat tersebut kebanyakan

berbentuk bola. Lubang cacing atau jurang kecil yang tersebar sebetulnya tidak

berpengaruh merugikan pada las-lasan. Bagaimanapun, jika cacat-cacat tersebut

berukuran besar atau ada dalam jumlah besar, pengulangan muatan akan timbul,

menyebabkan berkurangnya kekuatan pada sambungan las (Sunaryo, 2008)

C. Kurang penembusan, peleburan kurang, terak terperangkap

Kurangnya penembusan (lack of penetration) terjadi jika leburan logam

tidak tembus secara sempurna kedalam sambungan dengan penembusan penuh.

Peleburan kurang (lack of fusion) terjadi jika kekurangan peleburan didalam batas

antara logam las dan logam induk atau antara lajur-lajur las. Cacat-cacat tersebut

menunjukkan kurangnya rongga atau takikan, menghasilkan pengurangan berarti

pada kekuatan sambungan las. Terak yang terperangkap (Slag inclusion) terjadi

bila lelehan terak tetap tinggal didalam logam las tanpa naik ke permukaan, atau

bila terak dari lapisan sebelumnya tetap tidak dibuang dan masuk kedalam logam

las. Sama dengan kurang penembusan, terak terperangkap sering menimbulkan

takikan, menghasilkan pengurangan kekuatan pada sambungan las.


18

D. Retak-retak

Retak didalam daerah las adalah cacat las yang paling serius. Meskipun

kecil, retak membentuk takikan runcing dimana terdapat konsentrasi tegangan,

memungkinkan untuk menjadi sebab terjadinya kerusakan serius pada struktur

yang dilas. Retak secara menyeluruh diklasifikasikan menurut tempat terjadinya,

kedalam retak logam las, retak daerah pengaruh panas dan retak logam induk.

Retak dapat juga diklasifikasikan menurut suhu terjadinya, kedalam retak panas

dan retak dingin. Retak panas terjadi pada suhu atau sedikit dibawah rentang suhu

pembekuan. Retak dingin terjadi pada suhu 300°C atau dibawahnya. Pemanasan

kembali retakan dihasilkan dari perlakuan panas pasca pengelasan yang kurang

tepat (Sunaryo, 2008).

E. Retak panas

Retak panas adalah istilah umum untuk retak yang terjadi pada temperatur

tinggi atau sedikit dibawah rentang suhu pembekuan. Jika logam induk berisi

fosfor, sulfur atau unsur-unsur sejenis dengan daya regang rendah pada

temperatur tinggi, logam tersebut akan terkoyak oleh adanya tegangan tarik

seperti pembekuan dan penyusutan logam las. Hasil retakannya disebut "Retak

panas" atau "Retak padat". Patahan dari retakan ini kadang-kadang teroksidasi dan

menjadikannya mudah terlihat. Terdapat bermacam-macam retak panas, seperti

retak kawah, retak bentuk buah per, retak rigi memanjang, dan retak sulfur. Retak

pada daerah pengaruh panas yang terjadi pada baja tahan karat austenitik hampir

seperti retak panas. Jika plat baja tahan karat austenitic yang tebal dilas
19

menggunakan sudut kampuh kecil dan masukan panas besar, dapat dihasilkan rigi

dengan rongga yang lebih besar daripada ketebalan plat. Pada beberapa bentuk

rigi, retak padat cenderung untuk terjadi dipusat rigi. Retak jenis ini disebut

"Retak bentuk buah per" karena riginya berbentuk seperti buah per. Terjadinya

retak bentuk buah per dapat dicegah dengan pemilihan bentuk sambungan yang

sesuai dan kondisi pengelasan yang tepat pula serta menghindari masukan panas

yang besar untuk memastikan bahwa reaksi tegangan kecil dan rigi bentuk buah

per tidak terbentuk (Sunaryo, 2008).

F. Retak dingin

Retak dingin adalah istilah umum untuk retak yang terjadi setelah suhu

daerah las turun sampai sekitar suhu normal. Kebanyakan retak yang terdeteksi

pada struktur lasan dari baja lunak atau baja paduan rendah adalah retak dingin.

Retak dingin dapat diklasifikasikan kedalam retak akar yang dihasilkan dari

konsentrasi tegangan pada daerah akar, retak dibawah rigi yang terjadi pada

daerah pengaruh panas, retak rigi melintang, retak jari, dll (Sunaryo, 2008).

2.1.3 Heat Input

Heat input merupakan salah satu parameter yang terpenting dalam

pengelasan. Heat input merupakan masukan panas pada saat pengelasan dimana

nantinya akan berpengaruh pada struktur mikro material. Material menjadi lebih

tangguh atau menjadi brittle. Saat proses pengelasan berlangsung, diusahakan

besar nilai heat input tetap konstan agar hasil pengelasan memiliki kualitas yang
20

sama disepanjang daerah weld metal dan HAZ (Heat Affected Zone). Akan tetapi

pada kenyataannya nilai heat input saat proses pengelasan berubah-ubah

tergantung pada tegangan busur las, kecepatan pengelasan dan besar arus las.

Besar nilai heat input dirumuskan sebagai berikut :

Heat input (J/mm) = Arus (A) x Tegangan (V)/ Travel Speed (mm/sec)

(ASME IX, 2013) ................ (2.1)

2.2 Pengelasan FCAW (Flux Cored Arc Welding)

Las busur listrik fluks inti tengah / pelindung inti tengah biasanya dikenal

dengan proses pengelasan FCAW (Flux Cored Arc Welding) adalah salah satu

proses pengelasan menggunakan busur yang diisi filler metal berupa elektroda

yang dapat diumpankan secara terus-menerus dengan bidang kerja biasanya

berbentuk tubular. Pengelasan FCAW dioperasikan secara semi otomatis atau

otomatis. Aplikasi untuk pengelasan FCAW semi otomatis yang sering digunakan

dalam dunia fabrikasi struktur baja. Biasanya dilakukan pada pengelasan yang

sulit diaskes, produksi las yang pendek atau posisi pengelasan keluar seperti

vertikal atau diatas kepala. Secara umum pengelasan FCAW menggunakan

operasi secara semi otomatis.


21

Gambar 2.7 Proses FCAW-ss

(Sumber : Welding: Principles and Aplication 7th Ed., 2012)

Menurut kegunaannya FCAW digolongkan menjadi dua jenis variasi tergantung

pada elektrode pelindung yaitu FCAW-ss dan FCAW-g seperti pada gambar 2.7.

Pengelasan FCAW-ss (Self Shielded Flux Core Arc Welding) merupakan proses

melindungi logam las yang mencair dengan menggunakan gas dari hasil

penguapan atau reaksi dari inti fluks. Sedangkan pengelasan FCAW-g

perlindungan dengan dual gas, yaitu melindungi logam las yang mencair dengan

menggunakan gas sendiri juga ditambah gas pelindung yang berasal dari luar

sistem. Umumnya gas yang digunakan yaitu karbon dioksida (CO2) sebagai gas

pelindung meskipun juga bisa menggunakan campuran jenis gas lain seperti

argon.

Terdapat kelebihan dan kelemahan penggunaan pengelasan FCAW ini.

Kelebihan dari proses ini yaitu elektroda dapat berjalan terus menerus yang dapat

mempercepat proses pengelasan dan mengurangi cacat las ketika pengelasan

sering dilakukan secara diskontinyu. Selain itu apabila arus listrik ditinggikan
22

maka akan meningkatkan laju endapan dan produktivitas yang sesuai. Sedangkan

untuk kelemahan dari proses pengelasan FCAW ini yaitu filler metal harus dibeli

dari pabrik elektroda yang dilengkapi syarat-syarat hidrogen rendah. Pengelasan

yang dilakukan dengan proses ini dapat menimbulkan notch toughness yang

buruk. Dimana filler metal yang digunakan harus memenuhi persyaratan uji takik.

Elektroda yang memiliki kandungan hidrogen lebih rendah dan memiliki syarat

kimia khusus akan menghasilkan sifat yang lebih konsisten (PPNS, 2015). Kedua

jenis pelindung diatas sama-sama menghasilkan terak las yang memadai untuk

melindungi metal las yang akan beku. Perbedaannya terletak pada tambahan

sistem pemasok gas dan welding torch (welding gun).

2.3 Elektroda FCAW

Elektroda yang digunakan dalam pengelasan FCAW berupa filler metal

yang mengacu pada peraturan AWS A5.20 yang menjelaskan mengenai elektroda

untuk mild steel. Berikut klasifikasi elektroda yang digunakan pada pengelasan

FCAW:
23

Gambar 2.8 Klasifikasi Elektroda Pengelasan FCAW


(Sumber: AWS A5.20, 2005)

Gambar diatas merupakan klasifikasi elektroda FCAW pada AWS.

Dimana terdapat macam elektroda beserta ketentuan-ketentuannya seperti posisi

pengelasan, gas pelindung, polaritas dan aplikasi. Berikut penjelasan penamaan

elektroda FCAW menurut AWS A5.20 (2005) yaitu:

E X1 X2 T – X3 X4

Dimana:

E = Elektroda pengelasan FCAW

X1 = Kekuatan tarik logam las (ksi)


24

X2 = Posisi Pengelasan

Kode angka 0 = posisi pengelasan secara mendatar dan horisontal

Kode angka 1 = semua posisi pengelasan

T = Jenis flux

X3 = Kegunaan pengelasan. Biasanya kode yang digunakan adalah angka 1

hingga 14 atau huruf “G” atau “GS”. Huruf G menunjukkan polaritas dan

karakteristik operasi umum tidak spesifik. Dan huruf “S” setelah “G”

menunjukkan bahwa elektrode hanya cocok untuk pengelasan single pass.

X4 = Gas pelindung pengelasan. Umumnya kode yang digunakan adalah

huruf “C” yang menunjukkan bahwa elektroda menggunakan gas pelindung 100%

CO2. Sedangkan huruf “M: menununjukkan bahwa elektroda menghunakan gas

pelindung 75%-80% Argon atau campuran gas pelindung CO2. Kode lainnya

dapat juga digunakan untuk menunjukkan gas lainnya yang bisa digunakan

sebagai pelindung gas.

2.3.1 Metalurgi Las

Berdasarkan definisi dari DIN (Deutche Induestrie Normen) las adalah

ikatan metalurgi pada sambungan logam atau logam paduan yang dilaksanakan

dalam keadaan mencair, untuk itu daerah pada benda kerja yang telah mengalami

proses las dikelompokan pada daerah logam induk (BM/Base Metal), daerah

dipengaruhi panas (HAZ/Heat Effected Zone), batas antara cair dan padat

(FL/Fusion Line), daerah logam las (WM/Weld Metal), garis pusat lasan
25

(WCL/Weld Center line), bentuk struktur mikro dari masing-masing daerah

tersebut berbeda-beda.
26

2.3.2 Siklus Termal Daerah Lasan

Selama proses pengelasan berlangsung sumber panas selalu bergerak. Oleh

karena itu fenomena pencairan dan pembekuan selama proses pengelasan terjadi

terus menerus dan selalu bergerak. Garis isotermal adalah garis imajiner di daerah

lasan yang menunjukan lokasi dengan temperatur sama sepanjang garis. Bentuk

garis isotermal ini tentunya dipengaruhi juga oleh gerakan sumber panas dan

bergantung pada beberapa faktor lainnya yaitu, kecepatan pengelasan, tebal benda

kerja, dan jenis benda kerja.

Gambar 2.9 Siklus Termal Las pada Beberapa jarak dari batas las (Hery Sonawan

dan Rochim Suratman: 2003)

2.3.3 Siklus Termal di Daerah Terpengaruh Panas (HAZ)


27

Daerah pengaruh panas atau heat affected zone (HAZ) adalah logam dasar

yang bersebelahan dengan logam las yang selama proses pengelasan mengalami

siklus termal pemanasan dan pendinginan cepat sehingga daerah ini yang paling

kritis dari sambungan las. Secara visual daerah yang dekat dengan garis lebur las

maka susunan struktur logam nya semakin kasar. Pada daerah HAZ terdapat tiga

titik yang berbeda, titik 1 dan 2 menunjukkan temperatur pemanasan mencapai

daerah berfasa austenite dan ini disebut dengan transformasi menyeluruh yang

artinya struktur mikro baja mula-mula ferit+perlit kemudian bertransformasi

menjadi austenite 100%. Titik 3 menunjukkan temperatur pemanasan, daerah itu

mencapai daerah berfasa ferit dan austenite dan ini yang disebut transformasi

sebagian yang artinya struktur mikro baja mula-mula ferit+perlit berubah menjadi

ferit dan austenite.

Gambar 2.10 Transformasi fasa pada logam hasil pengelasan (Sonawan, 2004)

2.3.4 Base Metal


28

Base metal (Sonawan, 2004) adalah bagian logam dasar dimana panas dan

suhu pengelasan tidak menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan struktur dan

sifat. Disamping ketiga pembagian utama tersebut masih ada satu daerah pengaruh

panas, yang disebut batas las (Sonawan, 2004).

Gambar 2.11 Perubahan sifat fisis pada sambungan las cair (Malau, 2003)

2.3.5 Perlakuan Panas

Perlakuan panas (Mizhar dan Suherman, 2011) adalah proses

pemanasan dan pendinginan logam dalam keadaan padat untuk mengubah sifat-

sifat fisis logam- logam tersebut. Baja dapat dikeraskan sehingga tahan aus dan

kemampuan memotong meningkat, atau baja dapat dilunakkan untuk


29

mempermudah pemotongan lebih lanjut. Melalui perlakuan panas yang tepat,

tegangan sisa dapat dihilangkan, butir diperbesar atau diperkecil, ketangguhan

ditingkatkan atau dapat dihasilkan suatu permukaan yang keras di sekeliling inti

yang ulet. Untuk memungkinkan perlakuan panas yang tepat, susunan kimia

baja harus diketahui karena perubahan komposisi kimia, khususnya karbon

dapat mengakibatkan perubahan sifat-sifat fisis.

Dalam pengelasan, perlakuan panas (heat treatment) dapat dibagi ke

dalam dua kelompok berdasarkan waktu pelaksanaannya yaitu perlakuan panas

sebelum pengelasan (preheat) dan kelompok perlakuan panas setelah

pengelasan (post weld heat treatment).

Perlakuan panas sebelum pengelasan dilakukan dengan tujuan untuk

memperlambat laju pendinginan, untuk pengelasan pada logam khusus seperti

baja karbon dilakukan dengan tujuan pelunakan atau untuk meningkatkan

keuletan (annealing), pembebasan tegangan (stress relieving), dan pengerasan

(hardening). Perlakuan panas setelah pengelasan dilakukan pada temperatur di

atas temperatur rekristalisasi (0,4-0,5 temperatur cair), kemudian ditahan

beberapa saat (tergantung dari besarnya benda kerja) dengan tujuan

menghomogenkan panas ke seluruh bagian benda kerja yang sering disebut

holding time, setelah homogen dilanjutkan dengan proses pendinginan. Yang

membedakan hasil dari perlakuan panas setelah proses las adalah temperatur

pemanasan dan metode pendinginannya, sehingga diperoleh tujuan yang

diinginkan.
30

2.3.6 Perlakuan panas baja

Perlakuan panas baja (Mizhar dan Suherman, 2011) diklasifikasikan

menjadi beberapa macam, berikut akan dijelaskan satu persatu.

Proses Annealing

Proses dilakukan dengan memanaskan baja hingga di atas suhu

transformasi (>723) yaitu seluruhnya austenite, dan kemudian didinginkan

dengan perlahan-lahan (didiamkan di dalam dapur) tujuannya adalah untuk

melunakan baja.

Proses Hardening

Memanaskan baja hingga seluruh fasa menjadi austenite dan kemudian

didinginkan dengan cepat yaitu dengan mencelupkan ke dalam media pendingin

lainnya. Tujuannya adalah untuk mengeraskan baja.

Proses Normalizing

Memanaskan baja sehingga seluruh fasa menjadi austenite dan

kemudian didinginkan diudara sampai mencapai suhu kamar, sehingga

dihasilkan struktur normal dari ferit dan perlit. Proses ini bertujuan untuk

membentuk struktur mikro dengan butir halus yang seragam.

Proses Tempering
31

Proses pemanasan kembali baja yang telah dikeraskan atau yang telah

diberi proses hardening, suhu pemanasnya relatif rendah yaitu di bawah suhu

transformasi eutectoid. Tujuannya adalah untuk mengurangi sedikit kekerasan

logam sehingga keuletan (ketangguhan) logam akan meningkat.

Post Weld Heat Treatment (PWHT)

PWHT menurut (Mizhar dan Suherman, 2011) adalah bagian dari proses

heat treatment yang bertujuan untuk menghilangkan tegangan sisa yang

terbentuk setelah proses pengelasan selesai. Material terutama carbon steel akan

mengalami perubahan struktur dan butir karena efek dari pemanasan dan

pendinginan. Struktur yang tidak homogennya ini menyimpan banyak tegangan

sisa yang membuat material tersebut memiliki sifat yang lebih keras namun

ketangguhannya lebih rendah.

Untuk mengembalikan kembali kepada sifat yang diinginkan terutama

dalam ketangguhan maka struktur yang berubah tadi dikembalikan lagi ke

struktur semula melalui pemanasan pada waktu tertentu dan dalam jangka

waktu tertentu pula. Tergantung dari jenis material dan ketebalan material.

Proses PWHT dapat dilakukan dengan dua cara (Mizhar dan Suherman, 2011)

yaitu memasukkan benda uji ke dalam dapur atau melakukan pemanasan

setempat localized didekat daerah pengelasan saja. Di penelitian ini PWHT

dilakukan dengan metode memasukkan benda ke dalam dapur ruangan PWHT.


32

Gambar 2.12 Siklus Termal Post Weld Heat Treatment (PWHT)

(Purwaningrum dan Yustiasih, 2006)

Prinsip dasar proses PWHT (Mizhar dan Suherman, 2011) adalah:

1. Heating merupakan proses pemanasan sampai temperatur diatas atau di

bawah temperatur kritis suatu material.

2. Holding adalah menahan material pada temperatur pemanasan untuk

memberikan kesempatan adanya perubahan struktur mikro.

3. Cooling adalah mendinginkan dengan kecepatan tertentu tergantung

pada sifat akhir material yang diinginkan.

2.3.7 Persiapan Sebelum PWHT


33

Dalam melakukan PWHT banyak hal yang harus diperhatikan agar

tujuan dari PWHT ini dapat tercapai. Faktor-faktor penting yang harus

diperhatikan diantaranya.

1. Expansion area : karena proses panas akan mengakibatkan terjadinya

pemuaian dan expansi material maka harus diperhatikan bahwa saat

stress relief material tersebut tidak mengalami restraint.

2. Insulasi : disekitar (adjacent) elemen harus ditutup dengan kowool atau

ceramic fiber untuk menjaga kestabilan suhu.

3. Cleaning material : Material harus bersih dari segala grease, oil.

4. Support material : Proses pemanasan akan mengakibatkan terjadinya

pelunakan material. Dengan adanya gaya gravitasi maka material yang

akan di PWHT harus diberikan support sehingga tidak terjadi distorsion.

Alasan perlakuan PWHT (Mizhar dan Suherman, 2011)

1. Mengurangi tegangan sisa (residual stress).

2. Mengurangi kekerasan di daerah pengelasan dan daerah HAZ

3. Meningkatkan Ketangguhan (toughness).

4. Mengeluarkan hydrogen dari logam las.

5. Menghindarkan kerja dingin dari logam las.

6. Meningkatkan keuletan (ductility) Meningkatkan daya tahan terhadap

retak karena faktor lingkungan (environmental cracking) dan serangan

karat.

7. Meningkatkan stabilitas dimensional selama machining.


34

2.4 Klasifikasi material jenis Carbon Steel

Baja karbon adalah paduan antara besi dan karbon dengan sedikit Si, Mn,

P, S, dan Cu. Sifat baja karbon sangat tergantung pada kadar karbon, karena itu

baja ini dikelompokkan berdasarkan kadar karbonnya. Baja karbon rendah adalah

baja dengan kadar karbon kurang dari 0,3%, baja karbon sedang mengandung

0,3% sampai 0,45% karbon, dan baja karbon tinggi berisi karbon antara 0,45%

sampai 1,7%.

Apabila kadar karbon naik, kekuatan dan kekerasannya juga bertambah

tinggi tetapi perpanjangannya menurun. Klasifikasi dari baja karbon dapat dilihat

dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Klasifikasi Baja Karbon

Sumber (Harsono dan Wiryosumarto, 1996)


35

Berdasarkan kandungan karbon, baja dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

a. Baja karbon rendah

Baja karbon rendah (low carbon steel) mengandung karbon dalam

campuran baja kurang dari 0,3% C. Baja ini tidak dapat dikeraskan

karena kandungan karbonnya tidak cukup untuk membentuk struktur

martensit.

b. Baja karbon sedang

Baja karbon sedang (medium carbon steel) mengandung karbon

0,3%C-0,45% C. Dengan kandungan karbonnya memungkinkan baja

untuk dikeraskan melalui proses perlakuan panas yang sesuai. Baja ini

lebih keras serta lebih kuat dibandingkan dengan baja karbon rendah.

c. Baja karbon tinggi

Baja karbon tinggi memiliki kandungan karbon 0,45% C - 1,7% C dan

memiliki kekerasan yang lebih tinggi, namun keuletannya lebih

rendah. Berkebalikan dengan baja karbon rendah, pengerasan dengan

perlakuan panas pada baja karbon tinggi tidak memberikan hasil yang

optimal karena terlalu banyaknya martensit, sehingga membuat baja

menjadi getas.

2.4.1 Spesifikasi Baja Karbon A572-Gr.50


36

Karakteristik baja karbon ASTM A572-Gr.50 memiliki hasil yang lebih

tinggi dan kekuatan tarik dari plat A36, dikombinasikan dengan bobot yang lebih

rendah. Pelat A572-Gr.50 bersifat ulet dan mudah dibentuk. Ini dapat dikerjakan

dengan teknik yang tepat dan mudah dilas. Ini adalah baja paduan-rendah (HSLA)

columbium-vanadium yang berkekuatan tinggi dan tersedia di kelas 42, 55, 60

dan 65. Aplikasi untuk pelat ASTM A572-Gr.50 meliputi: Pelat jembatan, Pelat

gusset, Pelat dasar, Pengaku (Beam) baja structural.

Berikut baja struktural dengan komposisi kimia pada Tabel 2.2,

diantaranya :

Tabel 2.2 Baja Struktural Komposisi Kimia

Grade ASTM A572-50


Standard EN10204
Heat Number K51308
Cert Number K15264
C 0,23
Si 0,40
Mn 1,35
P 0,040
S 0,050
V 0,015
Nb 0,050

(Sumber Mill Test Certificate Tung Ho Steel Enterprise Corporation, Beam W12

x 8 x 45 (inxinxlb), 27 Feb 2018)

2.5 Kecepatan Pengelasan (Travel Speed)

Semakin tinggi kecepatan pengelasan biasanya dipengaruhi oleh tingginya

arus pengelasan. Untuk mencairkan ujung elektroda diperlukan energi yang

cukup. Dengan kebutuhan energi yang cukup ini, pengelasan dapat berlangsung
37

dengan normal. Apabila energi yang diberikan lebih dari cukup misalnya saja

dengan memberikan arus las lebih tinggi, maka proses pencairan ujung elektroda

berlangsung lebih cepat. Kecepatan pencairan elektroda yang tidak diimbangi

dengan kecepatan pengelasan mungkin saja menyebabkan penumpukan cairan

logam las di permukaan logam induk.

Untuk menghasilkan manik las yang normal, maka tentu saja kecepatan

pencairan ujung elektroda harus diimbangi dengan kecepatan pengelasan. Dengan

demikian benar saja bahwa tingginya arus pengelasan sangat mempengaruhi

kecepatan pengelasan.

2.6 MPI (Magnetic Particle Inspection)

Pada pengujian NDT terdapat beberapa metode, diantaranya adalah

magnetic particle inspection, liquid penetrant inspection, eddy current, visual

test,

ultrasonic inspection, leak test, proof test, acaustic emission, dan radiographic

inspection (Naryono & Suharyadi, 2012).

Metode pengujian ini didasarkan atas prinsip bahwa garis–garis gaya

medan magnet (magnetic flux) pada suatu objek atau material yang dimagnetisasi

akan terdistorsi secara lokal karena adanya diskontinuitas pada material tersebut.

Akibat dari penyimpangan ini, sebagian dari medan magnet daerah yang

mengalami diskontinuitas akan meninggalkan daerah ini dan akan kembali pada

daerah yang tidak mengalami diskontinuitas, sehingga akan terjadi kerusakan

aliran garis–garis gaya (Ramdani dan Putra, 2011).


38

Gambar 2.13 Magnetic Particle Inspection (Yudo & Jokosisworo, 2007)

Dengan menggunakan metode ini, cacat permukaan (surface) dan bawah

permukaan (subsurface) suatu komponen dalam bahan ferromagnetik dapat

diketahui. Kelemahannya, metode ini hanya bisa diterapkan untuk material

ferromagnetik. Selain itu, medan magnet yang dibangkitkan harus tegak lurus atau

memotong daerah retak serta diperlukan demagnetisasi di akhir inspeksi (Naryono

& Suharyadi, 2012).

Anda mungkin juga menyukai