Anda di halaman 1dari 123

PANDUAN

KETERAMPILAN KLINIK DASAR

(K K D)
( untuk Kalangan Sendiri )

SEMESTER

5
FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS CENDERAWASIH

JAYAPURA
2020
i
PENDAHULUAN

PENGANTAR
Keterampilan klinis perlu dilatihkan sejak awal hingga akhir pendidikan dokter secara
berkesinambungan. Dalam melaksanakan praktik, lulusan dokter harus menguasai keterampilan
klinis untuk mendiagnosis maupun melakukan penatalaksanaan masalah kesehatan. Materi
Keterampilan Klinis ini disusun berdasarkan lampiran Daftar Keterampilan Klinis SKDI 2012.

Panduan Keterampilan Klinis ini disusun dengan tujuan untuk menjadi acuan bagi institusi
pendidikan dokter dalam menyiapkan sumber daya yang berkaitan dengan keterampilan minimal
yang harus dikuasai oleh lulusan dokter layanan primer.

Kemampuan klinis di dalam standar kompetensi ini dapat ditingkatkan melalui pendidikan dan
pelatihan berkelanjutan dalam rangka menyerap perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran
yang diselenggarakan oleh organisasi profesi atau lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi
profesi, demikian pula untuk kemampuan klinis lain di luar standar kompetensi dokter yang telah
ditetapkan. Pengaturan pendidikan dan pelatihan kedua hal tersebut dibuat oleh organisasi
profesi, dalam rangka memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan yang terjangkau dan
berkeadilan (pasal 28 UU Praktik Kedokteran no.29/2004).

SISTEMATIKA
Daftar Keterampilan Klinis dikelompokkan menurut sistem tubuh manusia untuk menghindari
pengulangan. Pada setiap keterampilan klinis ditetapkan tingkat kemampuan yang harus dicapai di
akhir pendidikan dokter dengan menggunakan Piramid Miller (knows, knows how, shows, does).

Piramida Miller : menunjukkan pembagian tingkat kemampuan dan alternatif cara mengujinya pada mahasiswa.

i
Tingkat kemampuan 1 (Knows): Mengetahui dan menjelaskan
Lulusan dokter mampu menguasai pengetahuan teoritis termasuk aspek biomedik dan psikososial
keterampilan tersebut sehingga dapat menjelaskan kepada pasien/klien dan keluarganya, teman
sejawat, serta profesi lainnya tentang prinsip, indikasi, dan komplikasi yang mungkin timbul.
Keterampilan ini dapat dicapai mahasiswa melalui perkuliahan, diskusi, penugasan, dan belajar
mandiri, sedangkan penilaiannya dapat menggunakan ujian tulis.

Tingkat kemampuan 2 (Knows How): Pernah melihat atau didemonstrasikan Lulusan dokter
menguasai pengetahuan teoritis dari keterampilan ini dengan
penekanan pada clinical reasoning dan problem solving serta berkesempatan untuk melihat dan
mengamati keterampilan tersebut dalam bentuk demonstrasi atau pelaksanaan langsung pada
pasien/masyarakat. Pengujian keterampilan tingkat kemampuan 2 dengan menggunakan ujian
tulis pilihan berganda atau penyelesaian kasus secara tertulis dan/atau lisan (oral test).

Tingkat kemampuan 3 (Shows): Pernah melakukan atau pernah menerapkan di bawah


supervisi
Lulusan dokter menguasai pengetahuan teori keterampilan ini termasuk latar belakang biomedik
dan dampak psikososial keterampilan tersebut, berkesempatan untuk melihat dan mengamati
keterampilan tersebut dalam bentuk demonstrasi atau pelaksanaan langsung pada
pasien/masyarakat, serta berlatih keterampilan tersebut pada alat peraga dan/atau standardized
patient. Pengujian keterampilan tingkat kemampuan 3 dengan menggunakan Objective Structured
Clinical Examination (OSCE) atau Objective Structured Assessment of Technical Skills (OSATS).

Tingkat kemampuan 4 (Does): Mampu melakukan secara mandiri


Lulusan dokter dapat memperlihatkan keterampilannya tersebut dengan menguasai seluruh teori,
prinsip, indikasi, langkah-langkah cara melakukan, komplikasi, dan pengendalian komplikasi.
Selain pernah melakukannya di bawah supervisi, pengujian keterampilan tingkat kemampuan 4
dengan menggunakan Workbased Assessment misalnya mini-CEX, portfolio, logbook, dsb.
4A. Keterampilan yang dicapai pada saat lulus dokter
4B. Profisiensi (kemahiran) yang dicapai setelah selesai internsip dan/atau Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan (PKB).

ii
PENILAIAN
A. Penilaian Formatif
a. Kehadiran 100%, minimal 70 % per semester kecuali dengan alasan yang dibenarkan oleh
institusi
b. Telah mengerjakan semua tugas yang diberikan
c. Semua penilaian formatif ini adalah prasyarat untuk mengikuti ujian OSCE KKD
d. Ujian OSCE KKD akan diadakan setiap akhir Tahun (Semester 2, 4, 6, 8).

B. Penilaian Sumatif
Persentase penilaian akhir terdiri dari :
Post test, Tugas 10 %
Ujian OSCE KKD 90 %

Total 100 %

C. Nilai Akhir Blok


Penilaian Acuan Patokan (PAP) / criterion-reference dengan nilai patokan berdasarkan aturan
institusi.

Huruf Mutu Bobot Skore Nilai

A 4 80 – 100

B 3 70 – 79,99

C 2 60 – 69,99

D 1 50 – 59,99

E 0 < 50

D. Contoh Soal Ujian OSCE KKD dan Sistem Skoring Penilaian


1. Soal : seorang ibu datang ke klinik dokter keluarga membawa bayinya berusia 6 bulan
dengan keluhan mencret
2. Tugas mahasiswa:
a. Lakukan alloanamnesa
b. Lakukan pemeriksaan fisik
c. Sampaikan usulan pemeriksaan penunjang kepada penguji, (nanti penguji memberi
jawaban hasilnya) dan interpretasi hasilnya
d. Sampaikan diagnosa kerja dan 3 diagnosis banding kepada penguji
e. Sampaikan tatalaksana nonfarmakologi dan farmakologi
f. Tuliskan resep secara lengkap
g. Beri edukasi kepada orang tua pasien

iii
 Ctt: hasil PE/ KU Rewel, Kesadaran CM, Suhu 39,5C Respirasi 48X/menit, Nadi
120x/menit, isi cukup, reguler, UUB datar, Mata tdk cekung, air mata ada, mukosa
mulut basah
 Ctt: penguji menyampaikan hasil lab setelah peserta merencanakan / mengusulkan
pemeriksaan penunjang darah rutin dan feses: lekosit 12.000 mmkubik, difcount:
83/13/2/1/1, Feses: makroskopis : darah +, lendir + sigella +
3. Diagnosa Kerja : disentri basiler atau shigellosis tanpa dehidrasi
4. Diagnosis Banding : 1. Enteritoxigenik E Coli 2. Enterohemoragic E Coli 3. Disentri amuba
4.invaginasi
5. Tatalaksana
a. Nonfarmakologis
Rehidrasi rencana A dengan lengkap: pemberian ASI diteruskan dan lebih banyak,
pemberian oralit, pemberian makanan lanjutkan
b. Farmakologis:
- Cotrimoxazol 5-8 mg/kgbb 2x sehari selama 5 hr atau
- Ampicillin 50 mg/kgbb, 4 kali sehari selama 5 hari atau
- Ciprofloxacin 15 mg/kgbb 2 kali sehari selama 5 hari
- dan zinc tablet 20 mg/hr selama 10 hari

Rubrik Penilaian (hanya yang dicatat disini dengan kategori skor 2 saja, paling tinggi)
1. Anamnesa (skor paling tinggi 2)
Peserta ujian bertanya tentang keluhan utama, ditambah 5-6 pertanyaan mengenai:
a. Onset penyakit
b. Keluhan penyerta
c. Tanda tanda dehidrasi
d. Riwayat makanan
e. Riwayat allergi
f. Riwayat pengobatan

2. Pemeriksaan fisik (skor paling tinggi 2)


a. Peserta ujian melakukan semua pemeriksaan fisik dengan benar dan runtut:
b. Cuci tangan sebelum dan sesudah pemeriksaan
c. Timbang BB
d. Periksa tanda vital
e. Test minum
f. Tanda tanda dehidrasi (UUB, kelopak mata, mukosa mulut, turgor kulit)
iv
3. Melakukan test, prosedur klinik (skor paling tinggi 2)
Peserta ujian mengusulkan pemeriksaan feses dan darah rutin dan melakukan interpretasi
(setelah penguji menyebutkan hasil pemeriksaan laboratorium feses dan darah rutin)

4. Menentukan diagnosis dan diagnosis banding (skor paling tinggi 2)


Peserta ujian menetapkan diagnosis disentri basiler atau shigellosis tanpa dehidrasi dan
menyebutkan 3 dx banding:
a. Enterogenik E Coli
b. Enterogenik hemoragic E Coli
c. Invaginasi

5. Tatalaksana non farmakologi berikut dengan lengkap (skor paling tinggi 2)


1. Peserta ujian menyampaikan tatalaksana nonfarmakoterapi (rencana rehidrasi A) dengan
lengkap:
2. Pemberian ASI lebih sering dan lebih banyak
3. Pemberian oralit
4. Makanan bayi diteruskan

v
DAFTAR ISI

PENDAHULUAN ................................................................................................................................... i
PENILAIAN ............................................................................................................................................ iii
DAFTAR ISI ............................................................................................................................................ vi

MATERI 1
ANAMNESIS PADA GANGGUAN SISTEM NEUROLOGI ............................................................................ 1
PEMERIKSAAN PROVOKASI SINDROM NYERI RADIKULAR .................................................................... 13
PEMERIKSAAN STASTUS MENTAL ......................................................................................................... 19

MATERI 2
PENGANTAR .......................................................................................................................................... 24
PEMERIKSAAN TELINGA ........................................................................................................................ 27
PEMERIKSAAN HIDUNG ........................................................................................................................ 32
PEMERIKSAAN KEPALA – LEHER ............................................................................................................ 37

MATERI 3
PENGANTAR ........................................................................................................................................... 46
PEMERIKSAAN TAJAM PENGLIHATAN .................................................................................................. 50
PEMERIKSAAN LAPANG PANDANG ..................................................................................................... 51
PEMERIKSAAN POSISI BOLA MATA ....................................................................................................... 53
PEMERIKSAAN COVER / UNCOVER ....................................................................................................... 53
PEMERIKSAAN OTOT EKSTRA OKULER .................................................................................................. 54
PEMERIKSAAN SEGMEN ANTERIOR ...................................................................................................... 55
PEMERIKSAAN SEGMEN POSTERIOR ................................................................................................... 58
PEMERIKSAAN TEKANAN BOLA MATA .................................................................................................. 60
PEMERIKSAAN BUTA WARNA ............................................................................................................. 64

MATERI 4
PEMERIKSAAN DERMATOLOGI ............................................................................................................. 64
PEMERIKSAAN LAMPU WOOD ............................................................................................................. 92
PEMERIKSAAN DERMOGRAFISME ....................................................................................................... 95

MATERI 5
PENGANTAR ......................................................................................................................................... 98
PEMERIKSAAN TULANG BELAKANG ..................................................................................................... 100
PEMERIKSAAN PELVIS .......................................................................................................................... 103
PEMERIKSAAN LUTUT ........................................................................................................................... 104
PEMERIKSAAN ANKLE DAN KAKI .......................................................................................................... 108
STABILISASI FRAKTUR ........................................................................................................................... 109

vi
ANAMNESIS PADA GANGGUAN SISTEM NEUROLOGI

Tujuan Umum :
Setelah mengikuti pembelajaran ini, diharapkan mahasiswa memiliki keterampilan untuk melakukan
Anamnesis pada pasien dengan Gangguan Sistem Neurologi.

Tujuan Khusus :
Melakukan prosedur Anamnesis pasien dengan Gangguan Sistem Neurologi yang meliputi :
1. Keluhan utama
2. Riwayat penyakit sekarang
3. Riwayat penyakit dahulu
4. Riwayat penyakit keluarga
5. Keluhan penyerta (keluhan sistem)
6. Membuat resume anamnesis

Alat, Bahan dan Media Pembelajaran : -

A. PENDAHULUAN

Anamnesis pada sistem neurologi harus memperhatikan dua hal, yaitu aspek komunikasi dan aspek
anamnesis itu sendiri, sama seperti anamnesis pada sistem-sistem lain. Sebelum mempelajari ketrampilan
Anamnesis pada gangguan sistem neurologi, pelajari kembali point- point penting dalam Anamnesis secara
umum yang telah dipelajari pada Fase 1. Untuk aspek anamnesis pada sistem neurologi, hal-hal yang harus
ditanyakan formatnya sama dengan anamnesis pada umumnya, yang berbeda hanya pada penggalian
mendalam tentang keluhan utamanya (riwayat penyakit sekarang dan keluhan penyerta).
Sesuai dengan Anamnesis secara umum yang telah dipelajari, berikut ini adalah panduan anamnesis untuk
gangguan sistem neurologi:
1. Anamnesis identitas pasien, yaitu nama lengkap, umur, jenis kelamin, alamat, dan pekerjaan.
2. Menanyakan keluhan utama. Pada gangguan sistem syaraf/neurologi, keluhan utama yang sering
muncul adalah:
o Sakit kepala (sefalgia)
o Pusing (vertigo)
o Pingsan
o Lumpuh (paralisis)/kelemahan (paresis)
o Kejang
o Tremor
3. Menggali riwayat penyakit sekarang. Berdasarkan keluhan utama, dilakukan penggalian lebih
mendalam dengan menanyakan riwayat penyakit sekarang. Seperti pada waktu anamnesis umum, hal-
hal yang harus ditanyakan adalah:
o Onset: kapan pertama kali muncul keluhan.
o Frekuensi: berapa sering keluhan muncul.
o Sifat munculnya keluhan: apakah keluhan muncul secara akut (mendadak), kronis (sudah lama),
atau intermitten (hilang timbul).
o Durasi: sudah berapa lama menderita keluhan.
o Sifat sakit/keluhan utama: sakitnya seperti apa, merupakan penjelasan sifat dari keluhan utama,
yang biasanya spesifik untuk setiap keluhan utama di atas. Selain itu, perlu ditanyakan juga, apa hal
yang meperberat keluhan.
o Lokasi: di mana letak pasti keluhan, apakah tetap, atau berpindah-pindah/menjalar.

1
o Hubungan dengan fungsi fisiologis lain: apakah ada gangguan sistem fisiologis yang diakibatkan
oleh keluhan saat ini, misalnya gangguan tidur, kehilangan nafsu makan, dan sebagainya.
o Akibat yang timbul terhadap aktivitas sehari-hari, seperti tidak dapat bekerja, hanya bisa tiduran,
dan sebagainya.
o Upaya yang dilakukan untuk mengurangi keluhan: pemberian obat/tindakan tertentu, pengambilan
posisi tertentu, dan sebagainya. Apabila diberikan obat, ditanyakan pula berapa dosis yang
diberikan dan sudah berapa lama. Pada saat membicarakan obat, yang digali tidak hanya obat yang
diberikan dokter, tetapi juga obat bebas yang dikonsumsi sendiri oleh pasien, serta obat herbal.
Digali pula bagaimana efek dari upaya untuk mengurangi keluhan itu, apakah berhasil tapi tidak
maksimal, atau tidak berhasil sama sekali.
4. Di bagian berikutnya akan diberikan beberapa contoh penggalian mendalam terhadap riwayat
penyakit sekarang untuk masing-masing keluhan utama di atas.
5. Menggali riwayat penyakit dahulu, baik penyakit serupa maupun penyakit lain. Selain itu, ditanyakan
juga apakah pasien pernah harus rawat inap, dan karena apa, serta berapa lama. Bila pernah
mendapat pengobatan, ditanyakan riwayat pengobatan yang telah dijalani. Selain itu, riwayat
penggunaan obat dan alkohol juga penting ditanyakan.
6. Menggali penyakit keluarga, baik yang serupa dengan yang diderita sekarang, maupun penyakit yang
diturunkan.
7. Menanyakan keluhan penyerta (keluhan sistem) yang terkait dengan gangguan neurologi. Penelusuran
anamnesis sistem harus relevan dengan keluhan utama pasien dan dugaan terhadap diagnosis yang
akan ditegakkan, termasuk diagnosis bandingnya.
8. Membuat resume anamnesis. Pada tahap ini, jawaban yang diberikan oleh pasien dirangkai menjadi
suatu alur riwayat penyakit yang kronologis. Jawaban pasien tidak harus semuanya dimasukkan ke
dalam resume, harus dipilah-pilah yang berguna dalam perencanaan pemeriksaan, diagnosis, atau
terapi. Hasil anamnesis disusun dimulai dari waktu dan tanggal anamnesis, identitas, keluhan utama
(KU), riwayat penyakit sekarang (RPS), riwayat penyakit dahulu (RPD), riwayat penyakit keluarga
(RPK)/lingkungan (RPL), dan anamnesis sistem.

B. KELUHAN UTAMA YANG SERING BERKAITAN DENGAN SISTEM NEUROLOGI

1. SAKIT KEPALA

Sakit kepala merupakan gejala yang sering diderita pasien. Menurut epidemiologi pasien yang datang
ke gawat darurat, penyebab sakit kepala tersering adalah infeksi sistemik (terutama virus), tension
headache , posttrauma, hipertensi, migren, perdarahan subarachnoid, meningitis, dan sisanya lain-lain.
Sebagian besar sakit kepala didiagnosis berdasarkan anamnesis, karena pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
laboratorium jarang memberikan petunjuk ke arah diagnosis.
Begitu pasien memberikan keluhan utama sakit kepala, lakukan penggalian tentang keluhan tersebut
berdasarkan penggalian riwayat penyakit sekarang, yaitu:
 Onset dan durasi.
o Gejala migren dan tension headache biasanya muncul pertama kali saat usia remaja.
o Migren bisa berdurasi mulai 4 jam sampai 3 hari.
o Tension headache bisa berlangsung selama 30 menit sampai 1 minggu.
o Cluster headache bisa berlangsung selama 15 menit sampai 3 jam.
 Frekuensi: apakah sakitnya terus-menerus atau hilang-timbul? Apakah ada waktu tertentu munculnya?
o Migren bisa muncul sekali atau dua kali sebulan. Tension headache bisa muncul sekali atau dua kali
seminggu. Cluster headache bisa muncul 1-4 kali sehari.
o Cluster headache sering muncul pada jam 2-3 pagi. Tension headache sering muncul di sore hari.
o Sakit kepala yang muncul di pagi hari saat bangun biasanya diakibatkan tumor otak, obstructive sleep
apnea , disfungsi sendi temporomandibular. Sakit kepala yang muncul di akhir minggu bisa terjadi
akibat migren atau withdrawal kafein.
 Sifat munculnya nyeri: apakah sakit kepalanya akut, kronis, atau semakin lama semakin berat?
2
o Nyeri kepala yang kronis dan progresif bisa mengarahkan kepada tumor, abses, atau massa lainnya di
dalam kepala.
o Thunderclap headache (nyeri yang muncul mendadak dan terasa nyeri yang sangat berat sejak detik
pertama) mengarahkan pada perdarahan subarachnoid.
o Nyeri yang berkembang cepat dalam 5-10 menit biasanya merupakan cluster headache .
o Nyeri yang terus memburuk dalam sejam pertama, biasanya diakibatkan tension headache dan
migren.
 Sifat sakit kepala:
o keparahan nyeri (nyeri ringan/sedang/berat, kalau perlu pasien diminta untuk menentukan
keparahan nyerinya pada skala 0 sampai 10, dimana 0 adalah tidak nyeri dan 10 adalah nyeri yang
sangat hebat). Nyeri yang sangat hebat biasanya diakibatkan oleh perdarahan subarachnoid,
meningitis, dan migren. Nyeri ringan biasanya diakibatkan oleh tension headache.
o apakah sakit kepalanya berdenyut seperti denyut jantung (migren, arteritis giant cell ), atau rasa
diikat atau ditekan di sekeliling kepala ( tension headache , sakit kepala servikogenik, gangguan sendi
temporomandibular), atau rasa ditusuk/tajam seperti tersengat listrik (cluster headache , neuralgia
trigeminal)?
o apa saja yang dapat membuat sakit kepalanya bertambah: batuk/bersin/aktivitas fisik (sakit kepala
benigna, perdarahan subarachnoid), perubahan posisi kepala, valsava manuver (tumor otak, migren),
sesudah makan coklat/keju/pisang (migren), sesudah minum alkohol (migren, cluster headache),
sedang haid (migren), sesudah berhenti minum kafein (migren), menolehkan kepala dan leher (sakit
kepala servikogenik).
o apakah ada aura ( flash cahaya zigzag selama kurang lebih 20 menit) sebelum sakit kepala muncul?
Aura visual klasik mengarahkan kepada migren.
o apakah sampai terbangun dari tidur? Biasanya terjadi pada cluster headache atau tumor otak.
o apakah memburuk saat bekerja? Pikirkan kemungkinan adanya keracunan CO di tempat kerja.
 Lokasi sakit kepala: apakah sakitnya satu sisi saja atau kedua sisi? Bisa ditunjukkan lokasi sakitnya?
o Sakit kepala tension headache umumnya muncul di temporal, sedangkan cluster headache terasa di
retroorbital.
o Sakit kepala yang muncul di satu sisi saja, tetapi bisa berpindah-pindah sisi yang sakit, biasanya
diakibatkan migren.
o Sakit kepala yang hanya di satu sisi bisa diakibatkan oleh cluster headache , tumor otak, malformasi
arteriovenosa, neuralgia trigeminal.
o Sakit kepala di kedua sisi biasanya akibat tension headache .
o Sakit kepala di sekitar mata biasanya diakibatkan oleh cluster headache , neuralgia trigeminal,
glaukoma akut sudut tertutup, atau sinusitis.
o Sakit kepala di dahi bisa diakibatkan tension headache , atau sinusitis.
o Sakit kepala di pelipis bisa diakibatkan oleh tension headache dan cluster headache. ➢ Sakit kepala
di belakang kepala dan leher, bisa diakibatkan oleh sakit kepala
o servikogenik dan massa di fossa posterior.
o Sakit kepala di verteks (puncka kepala) bisa diakibatkan oleh sinusitis sfenoid, atau sakit kepala
servikogenik.
 Hubungan dengan fungsi fisiologis: apakah ada gangguan sistem fisiologis yang diakibatkan oleh keluhan
saat ini, misalnya gangguan tidur, kehilangan nafsu makan, dan sebagainya.
 Akibat terhadap aktivitas sehari-hari: tidak bisa melakukan aktivitas ringan/sedang/berat
 Upaya yang dilakukan untuk mengurangi keluhan: minum obat tertentu (lengkap dengan dosis dan
durasi pemakaian obat), serta hasil dari upaya yang dilakukan untuk mengurangi keluhan (apakah
membaik, tetap, atau memburuk).
 Riwayat keluarga, riwayat penyakit sebelumnya, dan keluhan penyerta dari sakit kepala yang bisa
mengarahkan pada diagnosis antara lain adalah:
Riwayat keluarga menderita migren, bisa mengarahkan adanya migren pada penderita.
o Riwayat bedah otak atau shunt, biasanya diakibatkan hidrosefalus atau meningitis
o Aura visual atau skotoma yang berkilauan bisa berhubungan dengan migren.
o Kebutaan/penurunan penglihatan, biasanya akibat glaukoma akut sudut tertutup.
o Nyeri pada mata, biasanya diakibatkan cluster headache , atau glaukoma akut sudut tertutup
3
o Diplopia, bisa diakibatkan oleh migren, tumor otak, stroke, arteritis giant cell , atau malformasi
arteriovenosa
o Mata merah, biasanya diakibatkan oleh glaukoma akut sudut tertutup, atau cluster headache .
o Fotofobia, sering diakibatkan oleh migren dan meningitis.
o Konfusio atau letargi, biasanya diakibatkan meningitis, ensefalitis, tumor otak, abses otak
o Kejang yang muncul baru-baru ini, biasanya dikibatkan stroke, ensefalitis, tumor otak
o Disekuilibrium, biasanya diakibatkan stroke atau tumor otak
o Afasia, bisa diakibatkan oleh migren dengan aura, atau pada stroke bila berlangsung lebih dari 1 jam.
o Fonofobia, sering diakibatkan oleh migren.
o Leher terasa kaku, bisa diakibatkan oleh tension headache , sakit kepala servikogenik, gangguan
sendi temporomandibular, dan meningitis
o Rasa kebas atau kesemutan di satu sisi muka atau tangan, biasanya diakibatkan oleh migren dengan
aura.
o Mual dan muntah, bisa diakibatkan oleh sakit kepala migren, bisa juga akibat tumor otak, perdarahan
subarachnoid, hidrosefalus, atau sakit kepala karena keracunan CO.
o Demam, biasanya diakibatkan infeksi (terutama virus), sinusitis, meningitis, ensefalitis, abses otak
o Penurunan berat badan atau adanya riwayat keganasan, biasanya diakibatkan tumor otak •
o Hemiparesis, atau afasia, bisa diakibatkan oleh migren dengan aura, tumor otak, stroke, abses otak
o Gejala syaraf otonom, seperti mata berair, kongesti hidung atau rinore, berkeringat di wajah atau
dahi, ptosis, miosis, sering diakibatkan oleh cluster headache.

2. PUSING

Pusing bisa dikategorikan menjadi 4 subtipe, yaitu vertigo, presinkop atau sinkop, gangguan
keseimbangan (disekuilibrium), dan kepala terasa ringan ( lightheadedness). Namun sering sulit untuk
mengidentifikasi satu kategori pada setiap pasien, terutama pada lanjut usia, yang sering menunjukkan
lebih dari satu tipe pusing. Obat juga bisa menyebabkan lebih dari satu tipe pusing.
Vertigo adalah sensasi atau ilusi bahwa pasien atau lingkungannya berputar. Sensasi ini bisa
menunjukkan bahwa ada masalah di labirin telinga dalam, lesi perifer nervus kranialis VIII, lesi di jalur
sentralnya, atau nuklei-nya di otak. Harus dibedakan apakah yang dikeluhkan pasien adalah kepala terasa
ringan ( lightheadedness) atau serasa mau pingsan (yang umumnya berkaitan dengan gangguan
kardiovaskuler) dan sensasi berputar (vertigo yang sebenarnya).
Presinkop atau perasaan bahwa seseorang akan pingsan atau kehilangan kesadaran, tetapi tidak
sampai pingsan. Sinkop adalah kehilangan kesadaran dan tonus postural yang mendadak, tetapi hanya
berlangsung sementara, diikuti oleh penyembuhan komplit dan spontan.
Disekuilibrium adalah gangguan berjalan akibat masalah keseimbangan. Kondisi ini tidak terjadi pada
pasien yang tidak bisa berjalan.
Kepala terasa ringan ( lightheadedness) adalah pusing yang bukan vertigo, sinkop, atau
disekuilibrium, biasanya disebut pusing yang tidak bisa didiferensiasi.
Penyebab pusing terbanyak adalah gangguan keseimbangan perifer (seperti benign paroxysmal
positional vertigo (BPPV), neuronitis vestibular atau labirintitis, dan Meniere’s disease ), kemudian diikuti
dengan gangguan nonpsikiatrik nonvestibular (disekuilibrium, presinkop akibat kekurangan cairan, aritmia,
dan etiologi kardiovaskular lainnya), gangguan psikiatri (penyakit psikiatri, hiperventilasi), gangguan
vestibular sentral, dan sisanya tidak diketahui.
Penggalian tentang keluhan pusing berdasarkan penggalian riwayat penyakit sekarang adalah sebagai
berikut:
Pertama-tama, untuk membedakan apakah itu pusing karena vertigo, disekuilibrium, presinkop, sinkop,
atau pusing yang tidak bisa didiferensiasi ( lightheadedness), ditanyakan:
 Ketika mengeluh pusing, apakah kepala terasa ringan atau dunia terasa berputar di sekitar anda?
 Apakah pusingnya terasa di kepala atau kepala tidak pusing namun bila berdiri atau berjalan merasa
tidak stabil ?
 Apakah anda mengalami masalah dengan keseimbangan?
 Apakah anda pernah pingsan?
4
 Apakah anda merasa akan pingsan, tetapi tidak pingsan?

Kalau teridentifikasi vertigo, maka pertanyaan selanjutnya adalah:


 Onset dan durasi.
o BPPV biasanya berdurasi pendek, hanya beberapa detik.
o Insufisiensi (TIA) vertebrobasilar biasanya berlangsung <30 menit.
o Meniere’s disease, fistula perilimfatik, migren arteri basilaris biasanya berlangsung berjam- jam.
o Neuronitis vestibular atau labirintitis biasanya berlangsung > 1 hari.
 Frekuensi: berapa sering keluhan muncul.
 Sifat munculnya keluhan: apakah mendadak, atau berlangsung beberapa jam sampai memuncak
sesudah 1 hari, atau kambuhan?
o Keluhan akut biasanya diakibatkan oleh insufisiensi vertebrobasiler, BPPV, Meniere’s disease, dan
fistula perilimfatik.
o Keluhan vertigo yang berlangsung beberapa jam sampai memuncak sesudah 1 hari biasanya terjadi
pada labirintitis.
o Keluhan kambuhan, biasanya terjadi pada BPPV dan Meniere’s disease .
 Sifat keluhan:
o Kualitas: apakah pusingnya ringan atau sangat berat sampai membuat anda harus menghentikan
aktivitas atau harus berbaring di tempat tidur? Pusing yang ringan biasanya disebabkan oleh etiologi
sentral, sedangkan pusing yang berat biasanya mempunyai etiologi perifer, seperti meniere’s
disease, labirintitis, BPPV.
o Yang menambah keluhan vertigo: membungkuk lalu tegak (BPPV), mendongakkan kepala (BPPV),
batuk/bersin (fistula perilimfatik), lebih sering pada pagi hari (etiologi perifer, misalnya neuronitis
vestibular atau labirintitis).
 Hubungan dengan fungsi fisiologis: apakah ada gangguan sistem fisiologis yang diakibatkan oleh keluhan
saat ini, misalnya gangguan tidur, kehilangan nafsu makan, dan sebagainya.
 Akibat terhadap aktivitas sehari-hari: seperti tidak dapat bekerja, hanya bisa tiduran, dan sebagainya
 Upaya yang dilakukan untuk mengurangi keluhan: pemberian obat/tindakan tertentu, pengambilan
posisi tertentu, dan sebagainya. Apabila diberikan obat, ditanyakan pula berapa dosis yang diberikan
dan sudah berapa lama. Digali pula bagaimana efek dari upaya untuk mengurangi keluhan itu, apakah
berhasil tapi tidak maksimal, atau tidak berhasil sama sekali.

Keluhan penyerta yang bisa mengarahkan pada diagnosis untuk vertigo antara lain adalah :
 Sakit kepala berat, biasanya diakibatkan oleh migren arteri basilaris, massa serebellum atau batang otak
 Gangguan penglihatan berupa diplopia, kelemahan, atau rasa kebas di salah satu sisi tubuh, biasanya
diakibatkan oleh insufisiensi vertebrobasiler, massa batang otak, migren arteri basilaris, atau epilepsi
parsial
 Sekret telinga (otore), biasanya diakibatkan otitis media supuratif
 Perdarahan dari liang telinga, biasanya disebabkan oleh fraktur tulang temporal.
 Tinnitus, biasanya diakibatkan oleh Meniere’s disease , neuroma akustik, toksisitas obat (misalnya
aminoglikosida, salisilat, diuretik kuat), neuronitis vestibular atau labirintitis
 Rasa penuh di telinga sebelum vertigo, biasanya diakibatkan Meniere’s disease , penyakit di telinga
tengah/dalam.
 Gangguan pendengaran, biasanya diakibatkan Meniere’s disease (bila gangguan pendengarannya
fluktuatif, unilateral, walau nantinya pada akhirnya bisa bilateral), neuroma akustik, toksisitas obat,
neuronitis vestibular atau labirintitis, trauma atau infark pada labirin, dan fistula perilimfatik
 Gangguan keseimbangan hebat, biasanya disebabkan stroke/massa serebellum
 Ataksia disertai jatuh, biasanya diakibatkan oleh stroke serebellum, massa serebellum. Ataksia tanpa
jatuh tanpa ada faktor risiko stroke, dan tidak membaik sesudah 24-48 jam, biasanya diakibatkan oleh
neuronitis vestibular atau labirintitis, sifilis laten/tertier, dan otomastoditis bakterial.
 Mual, muntah, dan berkeringat, biasanya diakibatkan oleh gangguan perifer, seperti Meniere’s disease,
neuronitis vestibular/labirintitis.
 Didahului oleh penyakit virus sebelumnya, biasanya diakibatkan neuronitis vestibular atau labirintitis
Kalau teridentifikasi presinkop atau sinkop, maka silakan lanjutkan ke bagian keluhan Pingsan.
5
Kalau teridentifikasi disekuilibrium, maka pertanyaan selanjutnya adalah:
 Onset dan durasi.
 Frekuensi: berapa sering keluhan muncul
 Sifat munculnya keluhan: apakah keluhan muncul secara akut (mendadak), kronis (sudah lama), atau
intermitten (hilang timbul).
 Sifat keluhan:
o Apakah bersama pusing juga mengalami gangguan penglihatan? Biasanya diakibatkan oleh gangguan
visual, misalnya katarak.
o Apakah bersama pusing juga mengalami gangguan pendengaran? Biasanya diakibatkan tuli konduktif
(misalnya sumbatan serumen, otitis media, otosklerosis), dan/atau tuli syaraf (misalnya pada
presbycusis, tuli degeneratif pada usia lanjut).
o Apakah bersama pusing juga mengalami rasa kesemutan atau rasa kebas di tungkai atau kaki?
Biasanya diakibatkan oleh gangguan radix syaraf, plexus syaraf, atau saraf perifer.
o Apakah bersama pusing juga mengalami rasa lemah di tungkai atau gangguan koordinasi tungkai?
Biasanya diakibatkan oleh gangguan muskuloskletal atau disfungsi serebellum.
 Hubungan dengan fungsi fisiologis: apakah ada gangguan sistem fisiologis yang diakibatkan oleh keluhan
saat ini.
 Akibat terhadap aktivitas sehari-hari: seperti tidak dapat bekerja, hanya bisa tiduran, dan sebagainya.
 Upaya yang dilakukan untuk mengurangi keluhan: pemberian obat/tindakan tertentu, pengambilan
posisi tertentu, dan sebagainya.

3. PINGSAN

Presinkop atau perasaan bahwa seseorang akan pingsan atau kehilangan kesadaran, tetapi tidak
sampai pingsan. Sinkop adalah kehilangan kesadaran dan tonus postural yang mendadak, tetapi hanya
berlangsung sementara, diikuti oleh penyembuhan komplit dan spontan. Penyebab sinkop dari yang
tersering sampai yang paling jarang adalah: sinkop vasovagal, hipotensi ortostatik, sinkop kardiak (aritmia
atau penyakit organik jantung), penyakit neurologis (TIA vertebrobasilar, migren basilaris), masalah
psikiatri, lain-lain, dan tidak diketahui.

Penggalian tentang keluhan pingsan berdasarkan penggalian riwayat penyakit sekarang, yaitu:
 Onset dan durasi. Bila durasi tidak sadarnya pendek dan sembuh sendiri, biasanya memang sinkop,
akibat hipoperfusi otak secara general. Bila tidak sadarnya lama dan tidak hilang sendiri, mungkin pasien
koma, mengalami intoksikasi, atau gangguan tidur.
 Frekuensi: berapa sering keluhan muncul
 Sifat munculnya keluhan: apakah keluhan muncul secara akut (mendadak), kronis (sudah lama), atau
intermitten (hilang timbul).
 Sifat keluhan: apakah pingsan sepenuhnya, atau masih mendengar suara-suara di sekitarnya
(menunjukkan bahwa pasien masih cukup sadar)? Apakah yang menyebabkan pingsan atau presinkop?
Apakah ada gejala warning? Seberapa cepat bangunnya? Apakah sebelum pingsan ada kejang? Apakah
ada ngompol atau berak? Apakah somnolen atau gangguan memori sesudah sadar?
o Apabila masih mendengar suara di sekitarnya, pasien masih berada pada presinkop.
o Pingsan yang didahului oleh adanya pemicu seperti berdiri lama, berada di lingkungan yang panas
dan berdesakan, nyeri hebat saat instrumentasi medis, melihat/menghidu/mendengar sesuatu yang
menakutkan/tidak menyenangkan, emosi berat, umumnya disebabkan oleh sinkop vasovagal.
o Orang muda dengan stress emosional dengan tanda warning adanya flushing , mual, pucat, sangat
lelah, bisa disebabkan oleh sinkop vasodepressor (vasovagal) dengan onset lambat, dan sadar yang
lambat pula.
o Pingsan sesudah gerakan leher yang mendadak atau tekanan pada leher, biasanya pada pasien lanjut
usia, biasanya akibat sinkop sinus karotis.
o Sinkop kardiak/jantung akibat aritmia, sering terjadi pada orang lanjut usia, dengan onset mendadak,
dan cepat juga bangunnya.
6
o Aktivitas motorik tonik-klonik, adanya keluar urine atau feces, dan kondisi postiktal menunjukkan
epilepsi generalisata.
 Hubungan dengan fungsi fisiologis: apakah ada gangguan sistem fisiologis lain yang diakibatkan oleh
keluhan saat ini.
 Akibat terhadap aktivitas sehari-hari, apakah sangat mengganggu sehingga harus tidak masuk
sekolah/kerja, dna lain-lain.
 Upaya yang dilakukan untuk mengurangi keluhan: pemberian obat/tindakan tertentu, pengambilan
posisi tertentu, dan sebagainya.

Riwayat penyakit dahulu dan keluhan penyerta yang bisa mengarahkan pada diagnosis untuk
presinkop/sinkop antara lain adalah:
 Riwayat penyakit jantung pada pasien atau riwayat penyakit jantung/kematian mendadak di dalam
keluarga, mengarahkan pada sinkop kardiak.
 Riwayat kejang/epilepsi, mengarahkan pada epilepsi.
 Riwayat stroke/TIA, mengarahkan pada penyakit serebrovaskuler.
 Riwayat diabetes, mengarahkan pada pingsan karena neuropati otonom.
 Riwayat penggunaan obat kardiovaskuler (beta-bloker, alfa-bloker, antagonis kalsium, nitrat, ACEI,
antiaritmia, diuretik, simpatolitik sentral), obat SSP (antidepresi, antipsikotik, sedatif, antiparkinson,
antokejang, analgetik opioid, antiansietas), obat yang memperpanjang QT interval (antiaritmia, cisaprid,
antibiotik eritromisin, klaritromisin, domperidon, antipsikosis, terfenadin, arsenik) bisa menyebabkan
sinkop karena obat.
 Hipotensi, bisa disebabkan oleh hipotensi ortostatik, sinkop kardiak, dan sinkop karena obat.
 Nyeri kepala migren, mengarahkan pada migren arteri basilaris.
 Nyeri dada atau sesak nafas, mengarahkan pada sinkop kardiak akibat infark myokard, angina tidak
stabil, diseksi aorta, atau emboli paru. Panic disorder juga bisa menyebabkan gejala ini.
 Palpitasi, mengarahkan pada sinkop kardiak akibat aritmia.
 Diplopia, disartria, vertigo, atau rasa kebas di wajah, mengarahkan pada TIA vertebrobasiler.

4. KELUMPUHAN (PARALISIS / PLEGI) & KELEMAHAN (PARESE)

Kondisi lemah atau lumpuh otot bisa diakibatkan oleh gangguan otot primer atau gangguan
neurologis, atau bahkan bisa juga akibat penyakit sistemik. Karena penyebab kelemahan otot primer dan
sekunder mempengaruhi berbagai aspek sistem neuromuskular, kategorisasi difokuskan pada lokalisasi
anatomis yang menyebabkan lesi:
 Myopati : gangguan otot primer, baik yang kongenital maupun didapat, misalnya rhabdomyolisis,
paralisis periodik myopati.
 Radikulopati : gangguan fungsi radix syaraf spinal (gangguan lower motor neuron/LMN), misalnya
radikulopati L5 karena herniasi diskus.
 Neuropati perifer : gangguan fungsi syaraf perifer (gangguan LMN), yang bisa dibagi lagi menjadi:
o Mononeuropati: hanya melibatkan 1 syaraf, misalnya wrist drop karena kelumpuhan n. radialis.
o Polineuropati: ganguuan beberapa syaraf perifer, biasanya menyebabkan gejala distal simetris,
misalnya polineuropati diabetik.
 Gangguan sistem syaraf pusat : gangguan fungsi otak atau medulla spinalis (myelopati), misalnya stroke,
multiple sclerosis.
 Penyakit motor neuron : penyakit yang mengenai UMN dan LMN, misalnya amyotrophic lateral sclerosis
(ALS)
 Gangguan neuromuscular junction : kondisi akibat gangguan fungsi neuromuscular end plate, misalnya
botulism (akut), myastenia gravis (kronis).

Penggalian tentang keluhan lumpuh atau kelemahan otot berdasarkan penggalian riwayat penyakit
sekarang adalah sebagai berikut:
 Onset dan durasi.

7
 Frekuensi: berapa sering keluhan muncul.
 Sifat munculnya keluhan: apakah keluhan muncul secara akut (mendadak), kronis (sudah lama), atau
intermitten (hilang timbul).
o Keluhan yang datang dan pergi (episodik) terjadi pada myastenia gravis, dan multiple sclerosis.
o Keluhan yang semakin lama semakin berat (kelemahan otot progresif), terjadi pada ALS,
polimyosisis/dermatomyositis, polineuropati kronis.
o Kelemahan otot yang muncul mendadak dan terus konstan, biasanya terjadi pada stroke, dan
neuropati atau radikulopati kompresif.
o Apabila kelemahan otot sembuh spontan sesudah beberapa minggu, terjadi pada neuropati
kompresif, multiple sclerosis, dan mononeuritis.
 Sifat keluhan: apakah yang menyebabkan munculnya keluhan (sesudah minum obat tertentu, sesudah
berada pada satu posisi seperti duduk/berdiri dalam waktu lama)? Apakah kelemahan bertambah
dengan upaya berulang dan berkurang bila istirahat?
o Kelemahan otot sesudah minum obat (lihat obat pada riwayat konsumsi obat di bawah)
mengarahkan pada kelemahan otot karena obat.
o Kelemahan otot sesudah duduk/berdiri lama, mengarahkan pada neuropati perifer kompresif.
o Kelemahan yang bertambah dengan upaya berulang dan berkurang bila istirahat terjadi pada
myastenia gravis.
 Lokasi:
o Apakah kelemahan atau kelumpuhan terjadi secara general atau di sisi wajah atau tubuh tertentu?
Kelemahan fokal bisa disebabkan stroke, TIA, atau migren hemiplegik.
o apakah kelemahan terjadi di kedua sisi tubuh pada saat yang bersamaan? Hal ini bisa terjadi pada
penyakit sistemik misalnya pada paralisis periodik hipokalemi.
o apakah kelemahan terbatas pada satu ekstremitas atau salah satu bagian ekstremitas? Ini sering
terjadi pada neuropati perifer atau radikulopati, misalnya foot drop (n. peroneus atau radikulopati
L5), wrist drop (n. radialis), kelemahan oposisi ibu jari (n. medianus), kelemahan tangan intrinsik (n.
ulnaris). Bisa juga terjadi pada multiple sclerosis dan stroke.
o apakah kelemahannya proksimal atau distal? Untuk kelemahan proksimal, tanyakan tentang
kesulitan menyisir rambut, menjangkau sesuatu di rak teratas, atau kesulitan berdiri dari duduk,
kesulitan mengangkat kepala dari berbaring, atau naik tangga yang jaraknya tinggi. Untuk kelemahan
distal di lengan, tanyakan apakah bisa membuka tutup kaleng, menggunakan gunting. Untuk
kelemahan distal di kaki, apakah sering tersangkut saat berjalan. Kelemahan bilateral yang dominan
distal biasanya terjadi pada polineuropati. Kelemahan otot proksimal biasanya disebabkan oleh
polimyositis/dermatomyositis, myastenia gravis, atau amyotrofi diabetik.
o apakah kelemahan disertai dengan rasa kesemutan atau kebas? Bisa terjadi pada multiple sclerosis,
stroke, polineuropati.
o apakah kelemahan otot disertai dengan twitching (fasikulasi) otot? Biasanya disebabkan oleh ALS.
 Hubungan dengan fungsi fisiologis: apakah ada gangguan sistem fisiologis yang diakibatkan oleh keluhan
saat ini
 Akibat terhadap aktivitas sehari-hari: seperti tidak dapat bekerja, hanya bisa tiduran, dan sebagainya.
 Upaya yang dilakukan untuk mengurangi keluhan: pemberian obat/tindakan tertentu, pengambilan
posisi tertentu, dan sebagainya.

Anamnesis riwayat penyakit dahulu yang bisa mengarahkan pada diagnosis antara lain adalah:
 Riwayat diabetes mellitus, mengarahkan pada mononeuropati atau polineuropati karena diabetes
mellitus.
 Riwayat hipertensi, hiperkolesterolemia, penyakit vaskuler, riwayat merokok, bisa mengarahkan pada
stroke iskemik.
 Riwayat atau tanda adanya hipertiroidisme mengarahkan pada myopati tiroid atau myastenia gravis.
 Riwayat konsumsi obat: obat penurun kolesterol bisa menyebabkan rhabdomyolisis; obat yang
menurunkan kalium bisa menyebabkan paralisis periodik karena hipokalemia; steroid bisa menyebabkan
myopati; aminoglikosid, prokainamid, antagonis kalsium bisa menyebabkan myastenia gravis.
 Riwayat penyakit ginjal, mengarahkan pada polineuropati uremik.
 Pasien vegetarian, mengarahkan pada defisiensi vitamin B12
8
5. KEJANG (KONVULSI)

Kejang adalah gangguan paroksismal akibat pelepasan elektrik yang berlebihan dalam korteks serebri
atau struktur di bawahnya. Penggalian tentang keluhan kejang berdasarkan penggalian riwayat penyakit
sekarang adalah sebagai berikut:
 Onset dan durasi
 Frekuensi
 Sifat munculnya keluhan: apakah keluhan muncul secara akut (mendadak), kronis (sudah lama), atau
intermitten (hilang timbul).
 Sifat keluhan:
Hal-hal di bawah ini mengarahkan pada diagnosis epilepsi:
o Apakah pasien merasakan adanya rasa deja vu atau jamais vu sebelum episode kejang?
o Apakah pasien melakukan gerakan jerking atau tidak responsif atau mendadak jatuh
o Pingsan tanpa sebab?
o Apakah selama kejang pasien menggeleng-gelengkan kepala ke kiri dan ke kanan? ➢ apakah pasien
nampak biru saat kejang?
o Apakah pasien bangun dari kejang dengan luka pada lidah?
o Apakah pasien tidak ingat apa yang terjadi atau merasa bingung sesudah bangun dari kejang?
o Apakah pasien merasakan nyeri otot sesudah kejang?
 Apabila pasien didiagnosis epilepsi, dilanjutkan pertanyaan terkait tipe kejang dan kondisi postiktalnya
untuk mengetahui tipe epilepsinya:
o Pada epilepsi parsial sederhana, pada kondisi iktal dan postiktal (sesudah kejang), pasien
kesadarannya baik. Pada epilepsi parsial sederhana dengan gejala motorik tipe Jacksonian, pasien
melakukan gerakan tonik, kemudian klonik, yang dimulai unilateral di tangan, kaki, wajah, lalu
menyebar ke bagian tubuh lain di sisi yang sama. Pada epilepsi parsial sederhana dengan gejala
sensorik, pasien merasakan kebas/kesemutan, ada halusinasi visual/auditorik/olfaktorius.
o Pada epilepsi parsial kompleks, kesadaran terganggu pada kondisi iktal, pasien nampak konfusio,
terjadi otomatism seperti mengunyah, mengecap-ngecapkan bibir, berjalan, membuka kancing baju.
Pada postiktal biasanya pasien amnesia, konfusio temporer dan sakit kepala.
o Pada epilepsi generalisata tipe tonik-klonik (grand mal), pasien mendadak tidak sadar, badan rigid
dalam posisi ekstensi, nafas berhenti dan pasien sianotik, kemudian dilanjutkan dengan klonik,
pernafasan berlanjut lagi, kadang dengan hipersalivasi, ngompol, dan trauma. Pada postiktal, pasien
amnesia, konfusio, mengantuk, kelelahan, sakit kepala, nyeri otot, dan kadang ada persistensi defisit
neurologis bilateral.
o Pada petit mal/absence , pasien tidak sadar sebentar, kadang mengejap-ngejapkan mata, menatap
lama, gerakan bibir atau tangan, tapi pasien tidak jatuh. Pasien kembali normal pada postiktal,
kecuali pada petit mal yang atipikal.
o Pada epilepsi atonik, pasien mendadak tidak sadar dan jatuh, dan pada kondisi postiktal, bisa kembali
normal atau konfusio sebentar.
o Pada myoklonus, pasien mendadak melakukan gerakan jerking ekstremitas atau badan yang pendek-
pendek dan cepat.
 Hubungan dengan fungsi fisiologis: apakah ada gangguan sistem fisiologis yang diakibatkan oleh keluhan
saat ini.
 Akibat terhadap aktivitas sehari-hari.
 Upaya yang dilakukan untuk mengurangi keluhan: pemberian obat/tindakan tertentu, pengambilan
posisi tertentu, dan sebagainya.

6. TREMOR

Tremor adalah osilasi ritmis kelompok-kelompok otot antagonis, baik dengan cara sinkron atau
bergantian. Tremor dapat dibagi menjadi 3 tipe, yaitu resting, action, dan postural.
9
Resting tremor biasanya khas tanda tremor pada penyakit Parkinson, biasanya berfrekuensi rendah
(3-6 Hz) yang terjadi tanpa action (kontraksi otot volunter).
Action tremor/tremor kinetik adalah osilasi yang terjadi atau meningkat dengan adanya gerakan
volunter, biasanya frekuensinya sedang (6-8 Hz), dan sering sebagai akibat tremor esensial, penyakit
serebellum, atau intoksikasi. Tremor esensial adalah action/isolated postural tremor yang mengenai tangan
dan kadang kepala dan suara tanpa adanya gangguan neurologis lain.Biasanya tremor ini ada dalam
keluarga ( familial tremor). Intention tremor adalah suatu tipe action tremor dimana osilasi terjadi
ortogonal/vertikal terhadap arah gerakan dan meningkat amplitudonya ketika target yang akan dicapai
semakin didekati, biasanya akibat penyakit serebellum.
Postural tremor adalah osilasi yang terjadi akibat mempertahankan postur tetap melawan gravitasi
atau selama postur diam tertentu (menggenggam tinju, memegang kamera, berdiri), biasanya frekuensinya
sedang sampai tinggi (8-14 Hz).
Tremor primer paling sering disebabkan oleh tremor esensial, kemudian oleh penyakit Parkinson,
sedangkan tremor sekunder sering disebabkan oleh obat adrenergik (amfetamin, beta-agonis,
vasokonstriktor, antidepresi trisiklik, antidepresi SSRI), kortikosteroid, antipsikotik, kafein, asam valproat,
amiodaron, kelelahan, dan ansietas.

Penggalian tentang keluhan tremor berdasarkan penggalian riwayat penyakit sekarang adalah sebagai
berikut:
 Onset dan durasi.
 Frekuensi: berapa sering keluhan muncul.
 Sifat munculnya keluhan. apakah keluhan muncul secara akut (mendadak), kronis (sudah lama), atau
intermitten (hilang timbul).
o Tremor akut mengarahkan pada intoksikasi (paparan pada pestisida, logam berat), lesi struktural,
atau gangguan psikogenik.
o Tremor kronis mengarahkan pada penyakit Parkinson, tremor esensial, multiple sclerosis,
penyalahgunaan alkohol kronis, atau neuropati.
o Tremor yang memburuk/progresif bersama waktu secara akut (selama beberapa jam atau hari atau
minggu sampai bulan) mengarahkan pada paparan toksik akut, kondisi anoksia, atau etiologi
psikogenik. Tremor yang progresif kronis (beberapa minggu sampai bulan sampai beberapa tahun)
biasanya disebabkan oleh paparan toksik jangka panjang, multiple sclerosis.
 Sifat keluhan:
o Kapan munculnya tremor? Apakah saat istirahat, saat duduk diam, saat menulis/makan/minum, saat
memegang suatu benda, atau menggerakkan bagian tubuh yang tremor? Ini bisa mengarahkan pada
tipe tremor. Resting tremor mengarahkan pada penyakit parkinson, multiple sclerosis, psikogenik,
atau penyakit infeksi. Action tremor bisa diakibatkan oleh tremor esensial, multiple sclerosis, lesi
struktural, hipertiroidism, gangguan metabolik, neuropati, patologi pada serebellum, atau toksin.
Postural tremor bisa disebabkan oleh neuropati, intoksikasi, hipertiroidism, ansietas, tremor esensial,
gangguan metabolik, atau lesi struktural.
o Apakah muncul sesudah minum obat tertentu (teofilin, kafein, beta-agonis, nikotin, asam valproat,
amiodaron, amfetamin, kortikosteroid, antidepresi trisiklik, ssri, antagonis kalsium, alkohol,
antipsikotik)? Antipsikotik biasanya menyebabkan resting tremor. Kafein dan beta- agonis umumnya
menyebabkan postural tremor.
 Lokasi:
o Apakah tremor dimulai pada satu tangan/sisi, atau keduanya? Tremor yang dimulai unilateral
mengarahkan pada penyakit Parkinson. Tremor esensial dan parkinsonism atipikal bisa terjadi
bilateral. Lesi struktural juga bisa menyebabkan tremor unilateral.
 Hubungan dengan fungsi fisiologis: apakah ada gangguan sistem fisiologis yang diakibatkan oleh keluhan
saat ini.
 Akibat terhadap aktivitas sehari-hari.
 Upaya yang dilakukan untuk mengurangi keluhan: pemberian obat/tindakan tertentu, pengambilan
posisi tertentu, dan sebagainya.

10
Keluhan penyerta dan anamnesis riwayat penyakit dahulu/keluarga yang bisa mengarahkan pada diagnosis
antara lain adalah:
 Riwayat keluarga menderita tremor serupa, mengarahkan pada tremor esensial atau familial tremor
 Riwayat paparan pada pestisida (organofosfat), logam berat (merkuri, timbal), zat kimia lain (mangan,
arsenik, CO, sianida, alkohol), mengarahkan pada intoksikasi.
 Disertai dengan bradikinesia (misalnya kesulitan menyikat gigi atau memutar pegangan pintu),
ketidakstabilan dalam berjalan (sering jatuh), kesulitan memulai gerak (kesulitan berdiri dari sofa/kursi
dengan bantalan yang dalam), serta rigiditas, mengarahkan pada penyakit Parkinson.

11
CHECKLIST PENILAIAN

Skor
No Aspek Keterampilan yang Dinilai
0 1 2
I Aspek Komunikasi
1 Senyum, salam, dan memperkenalkan diri
2 Mendengarkan secara aktif
3 Tidak memotong pembicaraan pasien selama masih relevan
4 Menggunakan bahasa yang bisa dipahami pasien
5 Mempertahankan kontak mata dengan pasien
6 Menunjukkan empati

II Aspek Anamnesis
7 Menanyakan identitas pasien: nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan
8 Menanyakan keluhan utama
9 Menggali riwayat penyakit sekarang
 Onset
 Frekuensi
 Sifat munculnya keluhan
 Durasi
 Sifat keluhan
 Lokasi
 Hubungan dengan fungsi fisiologis lain
 Akibat terhadap aktivitas sehari-hari
 Upaya yang dilakukan untuk mengurangi keluhan
10 Menggali riwayat penyakit dahulu:
 Ada tidaknya penyakit seperti ini sebelumnya
 Penyakit lain yang pernah diderita
11 Menggali riwayat penyakit keluarga
 Ada tidaknya penyakit serupa
12 Menanyakan keluhan penyerta (berdasarkan sistem)
13 Membuat resume anamnesis

III Profesionalisme
14 Melakukan dengan penuh percaya diri
15 Melakukan dengan kesalahan minimal

Jumlah Skor

Keterangan Skor :
0. Tidak dilakukan mahasiswa
1. Dilakukan, tapi belum sempurna
2. Dilakukan dengan sempurna, atau bila aspek tersebut tidak dilakukan mahasiswa karena situasi
yang tidak memungkinkan (misalnya tidak diperlukan dalam skenario yang sedang dilaksanakan).

Jumlah Skor
Nilai Mahasiswa = 30 x 100%

12
PEMERIKSAAN PROVOKASI SINDROM NYERI RADIKULAR

Tujuan Umum :
Setelah mengikuti pembelajaran ini, diharapkan mahasiswa memiliki keterampilan untuk melakukan
Pemeriksaan Provokasi Sindrom Nyeri Radikular.

Tujuan Khusus :
1. Melakukan Tes Valsalva dengan baik dan benar.
2. Melakukan Tes Naffziger dengan baik dan benar
3. Melakukan Tes Lhermitte dengan baik dan benar
4. Melakukan Tes Laseque dengan baik dan benar
5. Melakukan Tes O’Connel dengan baik dan benar
6. Melakukan Tes Bragard-Sicard dengan baik dan benar
7. Melakukan Tes Patrick dengan baik dan benar
8. Melakukan Tes Kontra-Patrick dengan baik dan benar

Alat, Bahan dan Media Pembelajaran : -

A. PROSEDUR PEMERIKSAAN

1. TES VALSAVA

Tes Valsava mengakibatkan naiknya tekanan intratekal. Jika terdapat proses desak ruang di kanalis
vertebralis bagian servikal, sehingga dengan naiknya tekanan intratekal maka akan mengakibatkan nyeri
radikuler.
 Pasien diminta untuk menahan nafas
 Pasien diminta untuk mengejan sewaktu ia menahan nafasnya.

Interpretasi :
 Tes Valsava positif (+) jika timbul nyeri radikuler yang berpangkal di tingkat leher dan menjalar ke
lengan.

Gambar 1. Tes Valsalva (menahan napas dan mengejan)

13
2. TES NAFFZIGER

Tes Naffziger juga mengakibatkan naiknya tekanan intratekal. Kenaikan tekanan intratekal yang
dicetuskan dengan tes Naffziger ini diteruskan sepanjang rongga arachnoid medula spinalis. Jika terdapat
proses desak ruang di kanalis vertebralis (misalnya karena tumor atau Hernia Nucleus Pulposus) maka
radiks yang teregang saat dilakukan tes Naffziger akan timbul nyeri radikuler sesuai dengan dermatomnya.
 Pasien diminta berdiri atau berbaring.
 Pemeriksa menekan kedua vena jugularis dengan kedua tangan pemeriksa sekitar 2 menit sampai
pasien merasa kepalanya penuh.
 Pasien diminta untuk mengejan saat dilakukan penekanan vena jugulare tadi.

Interpretasi :
 Tes Naffziger positif(+) jika pasien merasakan nyeri menjalar sepanjang dermatomnya.

Gambar 2. Tes Naffziger

3. TES LHERMITTER

 Aturlah posisi pasien dalam keadaan duduk, kemudian posisi pemeriksa berada di belakang pasien.
 Kedua tangan pemeriksa diletakkan di atas kepala pasien.
 Penderita memfleksikan leher sambil merotasikan leher ke semua arah searah jarum jam diikuti
dengan kedua tangan pemeriksa memberi tahanan ringan.
Interpretasi :
 Tanda Lhermitte dikatakan positif (+) jika pasien merasakan nyeri menjalar sepanjang dermatomnya.
Gambar 3. Tes Lhermitte

4. TES LASEQUE (STRAIGHT LEG RAISING TEST=SLRT)

14
 Pasien diminta untuk berbaring terlentang di atas tempat tidur, kemudian posisi pemeriksa berada
desebelah sisi kanan pasien
 Pemeriksa melakukan fleksi pada sendi panggul pasien dengan cara salah satu tangan memegang tumit
pasien dan mengangkatnya sementara tangan yang lain menekan lutut supaya tetap lurus (straight leg
raising test)
 Pemeriksa mencatat pada sudut berapa fleksi pasif tersebut menimbulkan rasa nyeri.

Interpretasi :
 Tes Laseque positif (+) jika sewaktu dilakukan gerakan fleksi pasif yang membentuk sudut < 60O telah
menimbulkan rasa nyeri yang menjalar sepanjang perjalanan n. ischiadikus.
o Tes Laseque positif apabila terdapat iritasi pada n. ischiadikus, Hernia Nucleus Pulposus, artritis
sakroiliaka atau koksitis.
o Untuk menegakkan diagnosis HNP, tes ini harus dikombinasikan dengan pemeriksaan lain, misalnya
tes Naffziger.

Gambar 4. Tes Laseque

5. TES BRAGARD - SICARD

 Pemeriksaan ini sama dengan tes Laseque akan tetapi dilanjutkan dengan dorsofleksi telapak kaki
(Bragard) atau dorsofleksi ibu jari kaki (Sicard).

Gambar 5. Tes Bragard – Sicard

6. TES PATRICK (FAVER TEST)

Tindakan pemeriksaan ini dilakukan untuk membangkitkan nyeri di sendi panggul yang terkena
penyakit.
 Pasien diminta berbaring di atas tempat tidur.
 Pemeriksa menempatkan tumit (maleolus eksterna) tungkai yang sakit pada lutut tungkai yang lain.
 Pemeriksa melakukan penekanan pada lutut tungkai yang difleksikan tadi.

Interpretasi :

15
 Tes Patrick positif (+) apabila pasien merasakan nyeri di sendi panggul yang terkena penyakit. Hal
tersebut berarti pasien mengalami gangguan pada sendi panggul. Pada ischialgia diskogenik, tes Patrick
ini biasanya negatif.

Gambar 6. Tes Patrick

7. TES KONTRA PATRICK - PATRICK (IMPINGEMENT TEST)

Pemeriksaan ini dilakukan untuk membangkitkan nyeri di sendi sakroiliaka. Tes kontra-Patrick
biasanya dilakukan untuk menentukan lokasi patologik yang tepat apabila terdapat keluhan nyeri di daerah
bokong, baik yang menjalar sepanjang tungkai maupun yang terbatas pada daerah gluteal dan sakral saja.
 Pasien diminta berbaring terlentang di atas tempat tidur.
 Dilakukan fleksi tungkai yang sakit ke sisi luar, kemudian dilakukan endorotasi serta aduksi.
 Pemeriksa melakukan penekanan sejenak pada lutut tungkai tersebut.

Interpretasi :
 Tes kontra-Patrick positif (+) apabila timbul nyeri di garis sendi sakroiliaka.

Gambar 7. Tes Kontra – Patrick

16
B. CHECKLIST PENILAIAN

Skor
No Aspek Keterampilan yang Dinilai
0 1 2
I Interaksi Dokter Pasien
1 Senyum, salam, sapa
2 Beritahu kepada pasien mengenai tindakan (prosedur singkat) yang akan
dilakukan dan persetujuan tindakan (informed consent)

II Pemeriksaan Valsava
3 Menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan
4 Meminta pasien untuk menahan nafas beberapa saat
5 Meminta pasien untuk mengejan saat menahan nafasnya
6 Memperhatikan dan menanyakan apakah pasien merasa nyeri atau tidak
7 Mencatat, melaporkan, dan membuat kesimpulan hasil yang didapat

III Pemeriksaan Naffziger


8 Menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan
9 Mempersiapkan pasien pada posisi siap dilakukan pemeriksaan
10 Pemeriksa menekan kedua vena jugulare pasien dengan cara yang benar sampai
pasien merasa kepalanya penuh.
11 Pasien diminta untuk mengejan saat dilakukan penekanan vena jugulare
12 Memperhatikan dan menanyakan apakah pasien merasa nyeri atau tidak
13 Mencatat, melaporkan, dan membuat kesimpulan hasil yang didapat

IV Tes Lhermitte
14 Menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan
15 Mempersiapkan pasien pada posisi siap dilakukan pemeriksaan, dan posisi
pemeriksa berada di belakang pasien
16 Kedua tangan pemeriksa diletakkan di atas kepala pasien.
17 Pasien memfleksikan leher sambil merotasikan leher ke semua arah searah
jarum jam diikuti dengan kedua tangan pemeriksa memberi tahanan ringan.
18 Memperhatikan dan menanyakan apakah pasien merasa nyeri atau tidak
19 Mencatat, melaporkan, dan membuat kesimpulan hasil yang didapat

V Tes Laseque
20 Menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan
21 Mempersiapkan pasien pada posisi siap dilakukan pemeriksaan
22 Melakukan fleksi pada sendi panggul pasien dengan cara yang benar
23 Memperhatikan dan menanyakan pada posisi berapa derajat pasien merasa
nyeri
24 Mencatat, melaporkan, dan membuat kesimpulan hasil yang didapat

VI Tes Bragard - Sicard


25 Menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan
26 Mempersiapkan pasien pada posisi siap dilakukan pemeriksaan
27 Melakukan fleksi pada sendi panggul pasien dengan cara yang benar
28 Melakukan dorsofleksi telapak kaki atau dorsofleksi ibu jari kaki
29 Memperhatikan dan menanyakan pada posisi berapa derajat pasien merasa
nyeri pada tungkai ipsilatelal
30 Mencatat, melaporkan, dan membuat kesimpulan hasil yang didapat

VII Tes Patrick

17
31 Menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan
32 Mempersiapkan pasien pada posisi siap dilakukan pemeriksaan
33 Pemeriksa menempatkan tumit (maleolus eksterna) tungkai yang sakit pada
lutut tungkai yang lain.
34 Pemeriksa melakukan penekanan pada lutut tungkai yang difleksikan tadi.
35 Memperhatikan dan menanyakan apakah pasien merasa nyeri atau tidak
36 Mencatat, melaporkan, dan membuat kesimpulan hasil yang didapat

VIII Tes Kontra-Patrick


37 Menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan
38 Mempersiapkan pasien pada posisi siap dilakukan pemeriksaan
39 Melakukan fleksi tungkai yang sakit ke sisi luar, kemudian dilakukan endorotasi
serta aduksi.
40 Melakukan penekanan sejenak pada lutut tungkai tersebut.
41 Memperhatikan dan menanyakan lokasi nyeri yang dirasakan pasien pada
penekanan tersebut
42 Mencatat, melaporkan, dan membuat kesimpulan hasil yang didapat

IX Profesionalisme
43 Melakukan dengan penuh percaya diri
44 Melakukan dengan kesalahan minimal

Jumlah Skor

Keterangan Skor :
0. Tidak dilakukan mahasiswa
1. Dilakukan, tapi belum sempurna
2. Dilakukan dengan sempurna, atau bila aspek tersebut tidak dilakukan mahasiswa karena situasi
yang tidak memungkinkan (misalnya tidak diperlukan dalam skenario yang sedang dilaksanakan).

Jumlah Skor
Nilai Mahasiswa = 88 x 100%

18
PEMERIKSAAN STATUS MENTAL

Tujuan Umum :
Setelah kegiatan ini mahasiswa mampu melakukan anamnesis lengkap dan pemeriksaan status mental
secara berurutan dan mampu mengetahui keadaan normal dan abnormal pada sistem tersebut.

Tujuan Khusus :
Setelah kegiatan ini mahasiswa mampu :
1. Melakukan penilaian status mental
2. Melakukan pemeriksaan sesuai prosedur yang ada
3. Mengenal dan menentukan berbagai bentuk gangguan perilaku, pikiran dan perasaan yang
bermanifestasi sebagai gangguan jiwa.

Media dan Alat Bantu Pembelajaran :


1. Daftar panduan belajar pemeriksaan status mental
2. Alat tulis,
3. Audio-visual

A. PENDAHULUAN

Pemeriksaan status mental meliputi penilaian status mental, penilaian kesadaran, penilaian aktivitas
psikomotorik, penilaian orientasi, penilaian persepsi, penilaian bentuk dan isi pikir, penilaian mood dan
afek, penilaian pengendalian impuls, penilaian menilai realitas, penilaian kemampuan tilikan (insight),
penilaian kemampuan fungsional.

Pemeriksaan status mental dilakukan untuk :


1. Mengetahui diagnosis dari seorang pasien
2. Membantu dokter dalam melakukan tindakan selanjutnya pada pasien
3. Mengetahui perkembangan serta kemajuan terapi pada pasien
4. Digunakan sebagai standar pelayanan dalam memberikan pelayanan paripurna terhadap pasien

1. Status Mental
A. Deskripsi Umum
1. Penampilan : Posture, sikap, pakaian, perawatan diri, rambut, kuku, sehat, sakit, marah, takut,
apatis, bingung, merendahkan, tenang, tampak lebih tua, tampak lebih muda, bersifat seperti
wanita, bersifat seperti laki-laki, tanda-tanda kecemasan–tangan basah, dahi berkeringat,
gelisah, tubuh tegang, suara tegang, mata melebar, tingkat kecemasan berubah-ubah selama
wawancara atau dengan topik khusus.
2. Perilaku dan aktivitas psikomotorik : Cara berjalan, mannerisme, tics, gerak–isyarat, berkejang-
kejang (twitches), stereotipik, memetik, menyentuh pemeriksa, ekopraksia, janggal / kikuk
(clumsy), tangkas (agile), pincang (limp), kaku, lamban, hiperaktif, agitasi, melawan
(combative), bersikap seperti lilin (waxy)
3. Sikap terhadap pemeriksa : Kooperatif, penuh perhatian, menarik perhatian, menantang
(frack), sikap bertahan, bermusuhan, main-main, mengelak (evasive), berhati-hati (guarded)
B. Bicara
Cepat, lambat, memaksa (pressure), ragu-ragu (hesitant), emosional, monoton, keras, membisik
(whispered), mencerca (slurred), komat-kamit (mumble), gagap, ekolalia, intensitas, puncak
(pitch), berkurang (ease), spontan, bergaya (manner), bersajak (prosody)
C. Mood dan Afek

19
1. Mood : (Suatu emosi yang meresap dan bertahan yang mewarnai persepsi seseorang terhadap
dunianya) : Bagaimana pasien menyatakan perasaannya, kedalaman, intensitas, durasi,
fluktuasi suasana perasaan–depresi, berputus asa (despairing), mudah tersinggung (irritable),
cemas, menakutkan (terrify), marah, meluap-luap (expansived), euforia, hampa, rasa bersalah,
perasaan kagum (awed), sia-sia (futile), merendahkan diri sendiri (self– contemptuous),
anhedonia, alexithymic
2. Afek : (ekspresi keluar dari pengalaman dunia dalam pasien), Bagaimana pemeriksa menilai
afek pasien–luas, terbatas, tumpul atau datar, dangkal (shallow), jumlah dan kisaran dari
ekspresi perasaan ; sukar dalam memulai, menahan (sustaining) atau mengakhiri respons
emosinal, ekspresi emosi serasi dengan isi pikiran, kebudayaan
3. Keserasian : keserasian respon emosional pasien dapat dinilai dalam hubungan dengan
masalah yang sedang dibahas oleh pasien. Sebagai contoh, pasien paranoid yang melukiskan
waham kejarnya harus marah atau takut tentang pengalaman yang sedang terjadi pada
mereka. Afek yang tidak serasi, ialah suatu mutu respons yang ditemukan pada beberapa
pasien skizofrenia; afeknya inkongruen dengan topik yang sedang mereka bicarakan.
(contohnya : mereka mempunyai afek yang datar ketika berbicara tentang impuls membunuh).
Ketidak serasian juga mencerminkan tarap hendaya dari pasien untuk mempertimbangkan
atau pengendalian dalam hubungan dengan respons emosional.
D. Pikiran dan Persepsi
1. Bentuk Pikiran
 Produktivitas : Ide yang meluap-luap (overabundance of ideas), kekurangan ide (paucity of
ideas), ide yang melompat-lompat (flight of ideas), berpikir cepat, berpikir lambat, berpikir
ragu-ragu (hesitant thinking), apakah pasien bicara secara spontan ataukah menjawab
hanya bila ditanya, pikiran mengalir (stream of thought), kutipan dari pasien (quotation
from patient)
 Arus pikiran : Apakah pasien menjawab pertanyaan dengan sungguh-sungguh dan langsung
pada tujuan, relevan atau tidak relevan, asosiasi longgar, hubungan sebab akibat yang
kurang dalam penjelasan pasien; tidak logis, tangensial, sirkumstansial, melantur
(rambling), bersifat mengelak (evasive), perseverasi, pikiran terhambat (blocking) atau
pikiran kacau (distractibility).
 Gangguan Berbahasa : Gangguan yang mencerminkan gangguan mental seperti inkoheren,
bicara yang tidak dimengerti (word salad), asosiasi bunyi (clang association), neologisme.
2. Isi Pikiran
 Preokupasi : Mengenai sakit, masalah lingkungan, obsesi, kompulsi, fobia, rencana bunuh
diri, membunuh, gejala-gejala hipokondrik, dorongan atau impuls-impuls antisosial.
3. Gangguan Pikiran
 Waham : Isi dari setiap sistim waham, organisasinya, pasien yakin akan kebenarannya,
bagaimana waham ini mempengaruhi kehidupannya, ; waham penyiksaan–isolasi atau
berhubungan dengan kecurigaan yang menetap, serasi mood (congruent) atau tak serasi
mood (incongruent)
 Ideas of Reference dan Ideas of influence : Bagaimana ide mulai, dan arti / makna yang
menghubungkan pasien dengan diri mereka.
4. Gangguan Persepsi
 Halusinasi dan Ilusi : Apakah pasien mendengar suara atau melihat bayangan, isi, sistim
sensori yang terlibat, keadaan yang terjadi, halusinasi hipnogogik atau hipnopompik ;
thought brocasting.
 Depersonalisasi dan Derealisasi : Perasaan yang sangat berbeda terhadap diri dan
lingkungan.
5. Mimpi dan Fantasi
 Mimpi : satu yang menonjol, jika ia iingin menceritakan, mimpi buruk.
 Fantasi : berulang, kesukaan, lamunan yang tak tergoyahkan
E. Sensorium dan Fungsi Kognitif
1. Kesadaran : Kesadaran terhadap lingkungan, jangka waktu perhatian, kesadaran berkabut,
fluktuasi tingkat kesadaran, somnolen, stupor, kelelahan, keadaan fugue.
20
2. Orientasi
 Waktu : Apakah pasien mengenal hari secara benar, tanggal, waktu dari hari, jika dirawat di
rumah sakit dia mengetahui sudah berapa lama ia dia berbaring disitu
 Tempat : Apakah pasien tahu dimana dia berada
 Orang : Apakah pasien mengetahui siapa yang memeriksa dan apa peran dari orang-orang
yang bertemu denganya.
3. Konsentrasi dan Perhitungan : Pengurangan 7 dari 100 dan hasilnya tetap dikurangi 7. jika
pasien tidak dapar dengan pengurangan 7. pasien dapat tugas lebih mudah – 4 x 9; 4 x 5 ;
Apakah cemas atau beberap gangguan mood atau konsentrasi yg bertanggung jawab terhadap
kesulitan ini.
4. Daya ingat : Gangguan, usaha yang membuat menguasai gangguan itu – penyangkalan,
konfabulasi, reaksi katastropik, sirkumstansialitas yang digunakan untuk menyembunyikan
kekurangannya, apakah proses registrasi, retensi, rekoleksi material terlibat.
 Daya ingat jangka panjang (remote memory) : data masa kanak-kanak, peristiwa penting
yang terjadi ketika masih muda atau bebas dari penyakit, persoalan-persoalan pribadi.
 Daya ingat jangka pendek (Recent past memory, recent memory) : beberapa bulan atau
beberapa hari yang lalu, apa yang dilakukan pasien kemarin, sehari sebelumnya, sudah
sarapan, makan siang, makan malam.
 Daya ingat segera (immediate retention and recall) : kemampuan untuk mengulangi enam
angka setelah pemeriksa mendiktekannya – pertama maju, kemudian mundur, sedudah
beberapa menit interupsi, tes pertanyaan yang lain, pertanyaan yang sama, jika diulang,
sebutkan empat perbedaan jawaban pada empat waktu.
 Pengaruh atau kecacatan pada pasien : mekanime pasien mengembangkan kemampuan
menguasai kecacatan.
5. Tingkat Pengetahuan : Tingkat pendidikan formal, perkiraan kemampuan intelektual pasien
dan apakah mampu berfungsi pada tingkat dasar pengetahuan. : jumlah, perhitungan,
pengetahuan umum, pertanyaan harus relevan dengan latar belakang pendidikan dan
kebudayaan pasien.
6. Pikiran Abstrak : Gangguan dalam formulasi konsep; cara pasien mengkonsepsualisasikan atau
menggunakan ide-idenya, (misalnya membedakan antara apel dan pear, abnormalitas dalam
mengartikan peribahasa yang sederhana, misalnya ; “Batu-batu berguling tidak dikerumuni
lumut”; jawabannya mungkin konkrit. Memberikan contoh-contoh yang spesipik terhadap
ilustrasi atau arti) atau sangat abstrak (memberikan penjelasan yang umum) ; kesesuaian
dengan jawaban.
F. Tilikan
1. Penyangkalan sepenuhnya terhadap penyakit
2. Sedikit kesadaran diri akan adanya penyakit dan meminta pertolongan tetapi menyangkalinya
pada saat yang bersamaan
3. Sadar akan adanya penyakit tetapi menyalahkan orang lain, faktor luar, medis atau faktor
organik yang tidak diketahui.
4. Sadar bahwa penyakitnya disebabkan oleh sesuatu yang tidak diketahui pada dirinya.
5. Tilikan Intelektual : Pengakuan sakit dan mengetahui gejala dan kegagalan dalam penyesuaian
sosial oleh karena perasaan irrasional atau terganggu, tanpa menerapkan pengetahuannya
untuk pengalaman dimasa mendatang
6. Tilikan Emosional yang sebenarnya : kesadaran emosional terhadap motif-motif perasaan
dalam, yang mendasari arti dari gejala; ada kesadaran yang menyebabkan perubahan
kepribadian dan tingkah laku dimasa mendatang; keterbukaan terhadap ide dan konsep yang
baru mengenai diri sendiri dan orang-orang penting dalam kehidupannya.
G. Daya nilai
1. Daya nilai Sosial : Manifestasi perilaku yang tidak kentara yang membahayakan pasien dan
berlawanan dengan tingkah laku yang dapat diterima budayanya. Adanya pengertian pasien
sebagai hasil yang tak mungkin dari tingkah laku pribadi dan pasien dipengaruhi oleh
pengertian itu.

21
2. Uji daya nilai : pasien dapat meramalkan apa yang akan dia lakukan dalam bayangan situasi
tsb. Misalnya apa yang akan dilakukan pasien dengan perangko, alamat surat yang dia
temukan dijalan.
3. Penilaian Realitas : kemampuan membedakan kenyataan dengan fantasi.

2. Pemeriksaan Lanjutan
 Pemeriksaan Fisik :
 Pemeriksaan Neurologis :
 Diagnostik Psikiatrik Tambahan
 Wawancara dengan keluarga, teman, tetangga dengan seorang sosial worker
 Pemeriksaan laboratorium

TABEL PEMERIKSAAN STATUS MENTAL


NO. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL HASIL
I DESKRIPSI UMUM
1. Penampilan
a. Ekspresi Wajah
b. Postur dan Gerakan
c. Kerapihan (Pakaian dan Dandanan)
2. Perilaku dan Aktivitas Psikomotorik
3. Sikap terhadap pemeriksa
II MOOD, AFEK, EMOSI, KESERASIAN
4. Mood
5. Afek
6. Keserasian
7. Empati
III BICARA
8. Kecepatan
9. Kuantitas
10. Pengucapan
IV GANGGUAN PERSEPSI
11. Halusinasi
12. Ilusi
13. Depersonalisasi (Persepsi Diri Yang Salah)
14. Derealisasi (Persepsi Terhadap Lingkungan Yang Salah)
V ALAM PIKIRAN
15. Proses dan Bentuk Pikir
16. Isi Pikiran
a. Waham
b. Obsesi
c. Preokupasi
VI SENSORIUM DAN FUNGSI KOGNITIF
17. Kesiagaan dan Tingkat Kesadaran
18. Orientasi
a. Waktu
b. Orang
c. Tempat
19. Daya Ingat
a. Daya Ingat Segera
b. Daya Ingat Sedang
c. Daya Ingat Jangka Pendek
d. Daya Ingat Jangka Panjang
20. Konsentrasi dan Perhatian
21. Pikiran Abstrak
22. Intelegensi dan Kemampuan Informasi
23. Bakat Kreatif
24. Kemampuan Menolong Diri Sendiri
22
VII PENGENDALIAN IMPULS
25. Pengendalian Impuls
VIII DAYA NILAI
26. Daya Nilai Sosial
27. Daya Nilai Realita
IX TILIKAN
28. Tilikan

B. CHECKLIST PENILAIAN

Skor
No Aspek Keterampilan yang Dinilai
0 1 2
I Aspek Komunikasi
1 Senyum, salam, dan memperkenalkan diri
2 Mendengarkan secara aktif
3 Tidak memotong pembicaraan pasien selama masih relevan
4 Menggunakan bahasa yang bisa dipahami pasien
5 Mempertahankan kontak mata dengan pasien
6 Menunjukkan empati

II Pemeriksaan Status Mental


7 Penilaian penampilan
8 Penilaian kesadaran
9 Penilaian bicara
10 Penilaian orientasi
11 Penilaian persepsi
12 Penilaian intelegensi
13 Penilaian bentuk pikiran
14 Penilaian isi pikiran
15 Penilaian mood
16 Penilaian afek
17 Penilaian motorik
18 Penilaian kemampuan menilai realitas
19 Penilaian pengendalian impuls
20 Penilaian kemampuan fungsional
21 Penilaian tilikan

III Profesionalisme
22 Melakukan dengan penuh percaya diri
23 Melakukan dengan kesalahan minimal

Jumlah Skor

Keterangan Skor :
0. Tidak dilakukan mahasiswa
1. Dilakukan, tapi belum sempurna
2. Dilakukan dengan sempurna, atau bila aspek tersebut tidak dilakukan mahasiswa karena situasi
yang tidak memungkinkan (misalnya tidak diperlukan dalam skenario yang sedang dilaksanakan).

Jumlah Skor
Nilai Mahasiswa = 46 x 100%
23
24
PEMERIKSAAN TELINGA – HIDUNG – TENGGOROKAN

Tujuan Umum :
Setelah mengikuti pembelajaran ini, diharapkan mahasiswa memiliki keterampilan untuk melakukan
Pemeriksaan THT-KL.

Tujuan Khusus :
1. Mengetahui nama dan kegunaan alat untuk pemeriksaan Telinga Hidung dan Tenggorok.
2. Mempersiapkan pasien untuk pemeriksaan Telinga Hidung dan Tenggorok.
3. Melakukan prosedur keterampilan pemeriksaan Telinga Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher

Alat, Bahan dan Media Pembelajaran :


a) Alat-alat standar yang diperlukan untuk pemeriksaan telinga :
1. Lampu kepala
2. Garpu tala
3. Spekulum telinga beberapa ukuran (kecil, sedang, besar) 4. Pinset telinga
4. Aplikator (pelintir kapas)
5. Aligator (cunam) : untuk mengambil benda asing untuk mengangkat polip liang telinga
6. Cerumen haak dan cerumen spoon :
- Cerumen haak : tumpul & tajam (dengan kait)
- Cerumen spoon : ujung seperti sendok
7. Obat anestesi lokal : larutan Lidokain 2%
8. Balon Politzer
9. Pneumatoskop Siegel
10. Otoskop
11. Tampon Steril

b) Alat-alat standar yang diperlukan untuk pemeriksaan hidung :


1. Lampu kepala
2. Spekulum hidung ukuran kecil, sedang dan besar
3. Pinset bayonet
4. Haak untuk mengambil benda asing di hidung
5. Cairan : pemati rasa (Lidokain 2%), vasokonstriktor (Ephedrine)
6. Kapas untuk tampon
7. Kaca laring beberapa ukuran (kecil, sedang, besar)
8. Penekan lidah (tongue depressor, tongue spatula)
9. Lampu spiritus
10. Mangkuk bengkok (nearbeken)
11. Tampon Steril

c) Alat-alat standar yang diperlukan untuk pemeriksaan mulut (laring/ faring) :


1. Lampu kepala
2. Penekan lidah (tongue spatula)
3. Larutan pemati rasa lokal (Lidokain 2%)
4. Cunam untuk mengambil benda asing di tenggorok
5. Kaca laring beberapa ukuran (kecil, sedang, besar)
6. Lampu spiritus

25
Gambar 1. Alat-alat yang dipergunakan pada pemeriksaan telinga, hidung dan tenggorok.

Ruangan :
Tempat pemeriksaan telinga, hidung dan tenggorok harus memenuhi persyaratan tertentu, yaitu :
a. Agak gelap/ tidak terlalu terang (ruangan diberi gorden hitam).
b. Tenang
c. Di dalam ruangan harus tersedia :
o Meja periksa yang dilengkapi dengan :
- Kursi pemeriksa
- Kursi tempat duduk penderita
o Tempat tidur
d. Meja THT, untuk meletakkan peralatan pemeriksaan.

Gambar 2. Meja Pemeriksaan THT Sederhana 26


Gambar 3. Meja Pemeriksaan THT Modern

A. PENGANTAR

A.1 KELUHAN PASIEN THT

Umumnya, pasien dengan penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorok datang dengan keluhan-keluhan
sebagai berikut :

Tabel 1. Daftar Keluhan/Gejala Penyakit Telinga- Hidung-Tenggorok

Telinga Hidung Tenggorok

- Sakit kepala (cephalgia) - Pilek (rhinorhoe) - Batuk


- Pusing (vertigo) - Mimisan (epistaksis) - Sakit tenggorok
- Sakit kepala sebelah (migraine ) - Bersin-bersin (sneezing) - Benjolan di leher
- Sakit telinga (otalgia) - Gangguan pembau (anosmia/ - Sakit menelan (odynophagia)
- Kopoken (keluar cairan dari hiposmia) - Sulit menelan (dysphagia)
telinga, telinga mengeluarkan - Benda asing dalam hidung - Suara sengau (rhinolalia)
nanah) (otorhoe) (corpus alienum) - Suara serak (hoarsness)
- Tuli (deafness) - Hidung tersumbat (nasal - Benda asing di tenggorok
- Gangguan pendengaran obstruksi) - Amandel (tonsil)
- Telinga gatal (itching) - Hidung berbau (foetor ex - Bau mulut (halithosis)
- Telinga berdenging (tinitus) nasal) - Tenggorok kering
- Benda asing dalam telinga - Suara Sengau (nasolalia) - Tenggorok berlendir
(corpus alienum)

Untuk dapat menegakkan diagnosis penyakit, diperlukan keterampilan pemeriksaan fisik dan prosedur
diagnostik. Seperti halnya bidang-bidang ilmu kedokteran yang lain, cara-cara pemeriksaan telinga,
hidung, tenggorok dimulai dengan :
1. Anamnesis, baik alloanamnesis maupun heteroanamnesis
2. Pemeriksaan, meliputi :
- Inspeksi
- Palpasi
- Perkusi
- Auskultasi

Cara-cara pemeriksaan telinga, hidung, tenggorok dikenal sebagai cara pemeriksaan smooth and gentle.
Mengapa demikian? Karena organ-organ (telinga, hidung, tenggorok) adalah organ yang sangat sensitif.
Oleh karena itu dalam pemeriksaan harus secara hati-hati dan jangan sampai menyakitkan penderita.
Kadang-kadang perlu dipergunakan obat anestesi lokal agar tidak menimbulkan rasa sakit pada saat
diperiksa.

A.2 MENYIAPKAN PENDERITA

1. Pasien anak
- Pasien duduk di kursi dipangku oleh orang tua.
- Dokter duduk di kursi pemeriksa.
- Kaki orang tua pasien bersilangan dengan kaki pemeriksa.
- Tangan orang tua memegang kedua tangan pasien, lalu tangan perawat memegangi kepala
pasien.

27
- Bila tidak ada asisten, minta orang tua untuk memfiksasi kepala anak dengan memegangi dahi
anak menggunakan 1 tangan, bagian belakang kepala anak menempel di dada orang tua,
sementara tangan yang lain melingkari badan anak.

Gambar 4. Menyiapkan Pasien Anak


Pemeriksaan THT Sederhana

2. Pasien dewasa
- Pasien duduk di kursi penderita dengan kaki bersilangan dengan kaki pemeriksa.

Gambar 5. Menyiapkan Pasien Dewasa


Pemeriksaan THT Sederhana

B. PEMERIKSAAN TELINGA

B.1 ANAMNESIS

Digali keluhan utama, yaitu alasan datang ke RS/ dokter.


a. Telinga sakit (otalgia) :
o Sejak kapan
o Didahului oleh apa (trauma, kemasukan benda asing, pilek) Apakah disertai gejala-gejala yang
lain.
o Diagnosis banding otalgia :
1. Otitis eksterna (difusa, furunkulosa)
2. Otitis media akut
3. Mastoiditis

b. Gangguan pendengaran (hearing loss) :


Sejak kapan

28
Didahului oleh apa
Penyebab gangguan pendengaran :
1. Kongenital
2. Kelainan anatomi
3. Otitis eksterna dan media baik akut maupun kronis 4. Trauma
4. Benda asing/cerumen
5. Ototoksis
6. Degenerasi
7. Noise induce
8. Neoplasma

c. Telinga berdengung (tinitus) :


o Sejak kapan
o Didahului oleh apa
o Apakah menderita penyakit lain seperti DM, hipertensi, hiperkolesterolemi
o Diagnosis banding tinitus:
1. Cerumen atau corpus alienum
2. Otitis eksterna
3. Otitis media akut & kronis

d. Keluar cairan (otorrhea) :


o Sejak kapan.
o Didahului oleh apa (trauma, kemasukan benda asing, pilek).
o Deskripsi cairan (jernih/ keruh, cair/ kental, warna kuning/ kehijauan/ kemerahan; berbau/
tidak).
o Apakah keluar cairan disertai dengan darah.
o Disertai oleh gejala yang lain (demam, telinga sakit, pusing dll).
o Diagnosis banding otorrhea :
1. MT perforation
2. Granulasi, polip, liang telinga,
3. Infeksi pd otitis media

B.2 MELAKUKAN PEMERIKSAAN EKSTERNAL TELINGA

 Untuk inspeksi liang telinga dan membrana timpani, pergunakan spekulum telinga atau otoskop.
 Untuk visualisasi terbaik pilih spekulum telinga ukuran terbesar yang masih pas dengan diameter
liang telinga pasien. Diameter liang telinga orang dewasa adalah 7 mm, sehingga untuk otoskopi
pasien dewasa, pergunakan spekulum dengan diameter 5 mm, untuk anak 4 mm dan untuk bayi 2.5
– 3 mm.
 Lakukan pemeriksaan terhadap kedua telinga. Bila telinga yang sakit hanya unilateral, lakukan
pemeriksaan terhadap telinga yang sehat terlebih dahulu.

Inspeksi telinga : untuk melihat kelainan pada telinga luar, meliputi :


1. Kulit daun telinga : Normal/abnormal
2. Muara/lubang telinga : Ada atau tidak
3. Keberadaan telinga :
- Terbentuk/ tidak terbentuk
- Besarnya : kecil/ sedang/ besar atau normal/ abnormal.
- Adakah kelainan seperti hematoma pada daun telinga (cauliflower ear).
4. Liang telinga :
- Mengenal pars ossea, isthmus dan pars cartilaginea dari liang telinga
- Adakah tanda-tanda radang
- Apakah keluar cairan/tidak
- Adakah kelainan di belakang/depan telinga

29
Palpasi telinga : - Sekitar telinga
- Belakang daun telinga
- Depan daun telinga
- Adakah rasa sakit/ tidak (retroauricular pain/ tragus pain)

Auskultasi : Menilai adakah bising di sekitar liang telinga

B.3 MELAKUKAN PEMERIKSAAN MAE DENGAN OTOSKOP

Gambar 6. Pemeriksaan meatus auditorius Gambar 7. Pemeriksaan liang telinga luar dan
eksternus. Daun telinga (pinna) harus ditarik ke membrana timpani menggunakan otoskop.
atas dan ke belakang supaya liang telinga lebih Otoskop digerakkan ke beberapa arah untuk
lurus. Pada anak, pinna ditarik lurus ke visualisasi terbaik

Gambar 8(A). Memegang otoskop seperti Gambar 8(B). Memegang otoskop seperti
memegang pensil, menggunakan ibu jari memegang pistol. Bagian dorsal
& jari telunjuk, kelingking dan jari manis telunjuk menempel pada sisi wajah
menempel pada sisi wajah pasien. pasien.

1. Otoskop dipegang menggunakan tangan yang sesuai dengan sisi telinga yang akan diperiksa,
mis: akan memeriksa telinga kanan, otoskop dipegang menggunakan tangan kanan.
2. Otoskop dapat dipegang dengan 2 cara : seperti memegang pensil (gambar 8.A) atau seperti
memegang pistol (gambar 8.B ). Kedua teknik ini memastikan otoskop dan pasien bergerak
sebagai 1 unit.
3. Untuk pasien : berikan informasi bahwa prosedur ini tidak menyakitkan, pasien hanya diminta
untuk tidak bergerak selama pemeriksaan.
4. Pastikan daya listrik otoskop dalam keadaan penuh (fully charged).

30
5. Bila terdapat serumen yang menghalangi visualisasi liang telinga dan membrana timpani,
lakukan pembersihan serumen terlebih dahulu.
6. Penilaian Membran Timpani : Gendang telinga : Dinilai warnanya, besar kecilnya, ada tidaknya
reflek cahaya (cone of light), perforasi, sikatrik, retraksi, penonjolan prosesus brevis.

Gambar 9 (A-H). Membrana timpani pada otoskopi

A. Membrana timpani normal D. Cairan serosa dalam telinga


B. Eksostosis tengah
C. Otitis Media Akut E. Perforasi membrana timpani
F. Attic cholesteatoma

31
G. Retraksi membrana timpani
H. Perdarahan dalam telinga tengah
karena barotrauma

B.4 MELAKUKAN TES PENDENGARAN

Tes pendengaran sudah tidak dibahas lagi karena


sudah diberikan pada modul KKD semester 3.

32
C. PEMERIKSAAN HIDUNG

Lekuk hidung dibentuk dari dua tulang hidung di bagian atas, sepasang kartilago di bagian
tengah dan dua kartilago di bagian tengah dan dua kartilago di ujung sekitar lobang hidung.
Septum membagi hidung menjadi dua rongga hidung. Di bagian posterior, rongga terbuka
dengan tiga alat pengatur udara pada tiap sisi. Struktur ini disebut sebagai konka yang berfungsi
menginfiltrasi, menghangatkan dan melembabkan udara pernapasan.
Sinus paranasal – maksilaris, frontalis,
etmoidalis dan sfeniodalis, merupakan rongga
yang berisi udara di dalam tulng tengkorak.
Sinus ini berhubungan dengan bukaan sempit
(ostia) dengan rongga hidung

Gambar 10. Hidung dan sinus Paranasal

C.1 ANAMNESIS

Digali keluhan utama, yaitu alasan datang ke RS/ dokter.


a) Pilek :
 Sejak kapan
 Apakah disertai dengan keluhan-keluhan lain (bersin-bersin, batuk, pusing, panas, hidung
tersumbat)
b) Sakit :
 Sejak kapan
 Adakah riwayat trauma
 Apakah disertai keluhan-keluhan lain : tersumbat, pusing, keluar ingus (encer, kental,
berbau/ tidak, warna kekuning-kuningan, bercampur darah)
c) Mimisan (epistaksis) :
 Sejak kapan,
 Banyak/ sedikit,
 Didahului trauma/ tidak,
 Menetes/ memancar,
 Bercampur lendir/ tidak,
 Disertai bau/ tidak,
 Disertai gejala lain/ tidak (panas, batuk, pilek, suara sengau).
d) Hidung tersumbat (obstruksi nasi) :
 Sejak kapan
 Makin lama makin tersumbat/ tidak Disertai keluhan-keluhan lain/ tidak (gatal-gatal,
bersin-bersin, rinorhea, mimisan/ tidak, berbau/tidak)

33
 Obstruksi hilang timbul/tidak Menetap, makin lama makin berat
 Pada segala posisi tidur
 Diagnosis banding :
1) Rhinitis (akut, kronis, alergi )
2) Benda asing
3) Polyp hidung dan tumor hidung
4) Kelainan anatomi (atresia choana, deviasi septum)
5) Trauma (fraktur os nasal)
e) Rinolalia :
 Sejak kapan
 Terjadi saat apa, pilek /tidak Disertai gejala-gejala lain/ tidak Ada riwayat trauma kepala/
tidak Ada riwayat operasi hidung/ tidak Ada riwayat operasi kepala/ tidak

C.2 PEMERIKSAAN RINOSKOPI ANTERIOR

1) Lakukan tamponade ± selama 5 menit dengan kapas yang dibasahi larutan lidokain 2% &
efedrin.
2) Angkat tampon hidung

Gambar 11. Pemeriksaan hidung. (A) Mengangkat ujung hidung untuk memberikan gambaran yang jelas
hidung bagian anterior. (B) Rhinoskopi anterior dengan menggunakan spekulum hidung

3) Pasien diminta bernapas melalui hidung


4) Pegang spekulum hidung dengan tangan kiri (Posisi spekulum horisontal, tangkai lateral,
mulutnya medial).
5) Mulut spekulum dalam keadaan tertutup dimasukkan ke vestibulum nasi, sambil tangan
kanan memegang ujung hidung
6) Spekulum dibuka pelan-pelan secukupnya dan arah pandangan disesuaikan
7) Gunakan cahaya head lamp diarahkan ke dalam vestibulum nasi yang telah di buka
8) Inspeksi konka dan septum ; hiperemis, dischrge, edema, pucat/ livide, massa, corpus
alienum
 Deskripsi discharge (banyak/ sedikit, jernih, mucous, purulen, warna discharge , apakah
berbau).
9) Cek Fenomena Palatum Molle
 Syarat konka tidak edem
 Arahkan cahaya lampu kepala ke dalam dinding belakang nasopharynx secara tegak
lurus. Normalnya, pemeriksa akan melihat cahaya lampu yang terang benderang
 Kemudian pasien diminta mengucapkan “iiiii”. Normalnya, dinding belakang akan
nampak lebih gelap akibat bayangan dari palatum molle yang bergerak. Namun,
bayangan gelap juga dapat terjadi bila cahaya lampu tidak mengarah tegak lurus
 Setelah pasien berhenti mengucap “iiiii”, bayangan gelap akan menghilang, dan dinding
belakang nasopharynx akan menjadi terang kembali
 Bila ditemukan fenomena bayangan gelap saat pasien mengucap “iii”, dikatakan hasil
pemeriksaan fenomena palatum molle positif (+)
34
 Sedangkan fenomena palatum molle dikatakan negatif (-) bila saat pasien mengucap ‘iii’,
tidak ada gerakan dari palatum molle sehingga dinding belakang nasopharynx tetap
terlihat terang benderang. Hal ini dapat kita temukan pada 4 keadaan yaitu :
- Paralisis palatum molle pada post difteri
- Spasme palatum molle pada abses peritonsil
- Hipertrofi adenoidi
- Tumor nasofaring
10) Mengeluarkan spekulum : Mulut spekulum ditutup tidak 100 % baru dikeluarkan.

Gambar 12. Vestibulum nasi

Gambar 13. Kelainan hidung. (A) Hipertrofi konka (B) Perforasi hidung pasca operasi (C) Polip hidung

C.3 PEMERIKSAAN RINOSKOPI POSTERIOR

Urutan pemeriksaan :
1) Pegang cermin nasofaring dengan tangan kanan
2) Punggung cermin nasofaring dihangatkan
3) Temperatur cermin nasofaring ditest dengan meletakkan ke lengan kiri bawah pemeriksa (
panasnya harus sedikit lebih dari 37º C ).
4) Tangkai cermin nasofaring dipegang seperti memegang pensil, kaca mengarah ke atas.
5) Mulut dibuka lebar – lebar
6) Lidah tetap didalam mulut, tidak boleh digerak – gerakkan dan tidak boleh kaku.
7) Pasien diminta untuk bernapas bernafas melalui hidung
8) Ujung spatula diletakkan pada punggung lidah, dimuka uvula.
9) Lidah ditekan kebawah, hingga diperoleh tempat yang cukup luas untuk menempatkan
cermin. Karena di median terdapat uvula, maka tempat yang cukup luas itu lebih mudah
diperoleh bila lidah ditekan tidak di medial tetapi paramedian, lebih mudah menekan
paramedian kanan dari penderita
10) Masukkan cermin nasofaring kedalam orofaring (daerah ismus fausium) sedekat mungkin
dengan dinding belakang faring, di bawah palatum mole.
35
Gambar 14. Cara memasukkan cermin nasofaring.

11) Cermin nasofaring disinari


12) Nilai : Fossa Rossenmuler, Torus tubarius, Muara tuba auditiva Eustachii, Adenoid, Konka
superior, Septum nasi posteriior, Choana.

`
Gambar 15. Gambaran nares posterior yang terpantul pada cermin nasofaring

C.4 PEMERIKSAAN TRANSILUMINASI/ DIAFANOSKOPI SINUS

1. PALPASI SINUS
Palapsi untuk menemukan nyeri tekan pada sinus
1) Tekan sinus frontalis pasien dari sebelah bawah alis mata dengan menghindari
penekanan pada bola mata
2) Kemudian tekan sinus maksilaris pasien yang berada di bawah kedua kavum orbita
pasien
3) Nilai ada tidak nyeri pada penekanan sinus – sinus ini

36
B C
Gambar 16(A) Potongan coronal sinus paranasal (B) Palapasi sinus frontalis (C) Palpasi sinus maksilarisB

2. TRANSLUMINASI/ DIAFANOSKOPI SINUS


Jika didapatkan nyeri tekan sinus atau gejala-gejala lain yang menunjukkan sinusitis,
pemeriksaan ransiluminasi/ diapanaskopi sinus kadang dapat membantu diagnosis meskipun
kurang sensitif dan spesifik.

2.1 Transluminasi Sinus Frontalis


1) Lampu ditempatkan pada lantai sinus frontalis (pangkal hidung di bawah alis)
2) Cahaya diarahkan kemedio-superior (arah dahi)
3) Cahaya yang memancar kedepan, ditutup dengan tangan kiri.
4) Hasilnya lihat dinding depan sinus frontalis : terang, suram atau gelap

Gambar 17. Transluminasi Sinus Frontalis

2.2 Transluminasi Sinus Maksilaris


Cara 1 :
1) Mulut dibuka lebar – lebar lampu ditempatkan pada margo inferior orbita, cahaya
kearah inferior
2) Cahaya yang memancar kedepan ditutup dengan tangan kiri
3) Hasilnya : dinilai palatum durum homolateral apakah terang, suram atau gelap
Cara 2 :
1) Mulut dibuka ke dalam mulut dimasukakan lampu, yang mana telah disarungkan
suatu tabung gelas (tabung reaksi)
2) Mulut ditutup rapat cahaya yang memancar dari mulut dan bibir atas ditutup dengan
tangan kiri
3) Hasilnya : dinilai dinding depan sinus maksilaris apakah terang, suram atau gelap

37
Gambar 18. Transluminasi Sinus Maksilaris

D. PEMERIKSAAN FARING – KEPALA - LEHER

D.1 ANAMNESIS

Apa alasan datang ke RS/ Dokter (keluhan utama)


a) Sulit untuk menelan (disfagia) dan sakit untuk menelan (odynofagia) :
- Sejak kapan ?
- Apakah disertai keluhan-keluhan di bibir dan rongga mulut ?
- Apakah disertai dengan keluhan-keluhan lain ?
- Apakah disertai dengan keluhan untuk menelan ?
- Diagnosis banding :
1) Benda asing
2) Pharingitis akut dan kronis
3) Allergi
4) Tonsilitis akut dan kronis
5) GERD, divertikulum, striktur, achalasia
6) Massa
7) Gangguan neurologi

b) Serak (hoarseness) :
- Sejak kapan ?
- Apakah disertai dengan keluhan yang lain seperti sesak napas/ batuk ?
- Apakah ada riwayat trauma ?
- Batuk-batuk : apakah batuk dulu baru serak; apakah serak dulu baru batuk ?
- Diagnosis banding :
1) Laringitis akut dan kronis
2) Alergi
3) TB
4) Nodul
5) Neoplasma
6) GERD
7) Gangguan neurologi (post stroke)

D.2 PEMERIKSAAN BIBIR DAN RONGGA MULUT

38
Apakah ada kelainan di bibir dan rongga mulut :
 Bibir pecah-pecah
 Ulkus di bibir
 Drolling (ngiler)
 Tumor
 Sukar membuka mulut (trismus )

D.3 PEMERIKSAAN LIDAH

 Ada gangguan perasa/ tidak.


 Ada kelainan-kelainan pada lidah :
- Paresis/ paralisis lidah mengakibatkan deviasi ke salah satu sisi,
- Atrofi papila lidah,
- Abnormalitas warna mukosa lidah,
- Adanya ulcerasi,
- Tumor (berapa ukuran tumor, permukaan tumor licin atau berbenjol-benjol kasar; kenyal
padat atau keras, rapuh/ mudah berdarah).

Pemeriksaan otot hipoglosus


 Saat menelan ?

Pemeriksaan dasar lidah


 Ada ulkus
 Ada benjolan/tidak ranula ?

D.4 PEMERIKSAAN TONSIL

 Besar tonsil
 Permukaan :
- Halus/ berbenjol-benjol,
- Ulserasi,
- Detritus,
- Pelebaran kripte,
- Micro abses,
- Tonsil berlobus-lobus,
- Penebalan arcus,
- Besar tonsil kanan-kiri sama/ tidak,
- Disertai pembesaran kelenjar leher/ tidak.

Gambar 19. Palpasi fossa tonsilaris dan basis


lidah
D.5 LARINGOSKOPI INDIREK (dengan Kaca Laring)

39
Pemeriksaan laringoskopi indirek bertujuan untuk melihat laring secara tidak langsung
dengan bantuan kaca laring. Pemeriksaan dilakukan dengan menempatkan cermin yang disinari
dengan cahaya di dalam faring. Bayangan laring pada cermin terlihat dari sinar yang dipantulkan.
Pemeriksaan ini sangat mutlak perlu dilakukan sebagai pemeriksaan rutin, kecuali pada pasien
trismus hebat, stenosis faring, dan trauma yang merupakan kontraindikasi.
Adanya kelainan laring kadang-kadang dapat diduga sebelumnya. Dengan palpasi, dapat
diketahui adanya nyeri tekan, gerakan laring waktu menelan makanan atau minuman, limfonodi
leher yang teraba sebagai metastase, dan mengetahui kirakira letak keganasan yang merupakan
sumber atau induk.

Gambar 20. Anatomi Laring

Syarat-syarat yang harus dipenuhi pada pemeriksaan laringoskopi indirek:


 Harus ada jalan yang lebar untuk cahaya yang dipantulkan oleh cermin dari faring ke laring.
Untuk keperluan ini, lidah harus dikeluarkan sehingga radiks linguae yang menutup jalan itu
bergerak ke ventral.
 Harus ada tempat yang luas untuk cermin dan cermin tidak boleh tertutup uvula. Untuk
keperluan ini, pasien disuruh bernapas dari mulut sehingga uvula bergerak dengan sendirinya
ke atas dan menutup jalan ke nasofaring.

Laringoskopi dapat mengidentifikasi kelainan-kelainan laring dan faring baik akut maupun kronis,
benigna atau maligna.
Indikasi laringoskopi indirek :
• Batuk kronis
• Dyspnea
• Disfonia
• Stridor
• Perubahan suara
• Sakit tenggorokan kronis
• Otalgia persisten
• Disfagia
• Epistaksis
• Aspirasi
• Merokok dan alkoholisme lama
• Skrining karsinoma nasofaring
• Kegawatdaruratan: angioedema, trauma kepala-leher

Kontraindikasi : Epiglotitis

40
PROSEDUR PEMERIKSAAN
1) Cuci tangan
2) Siapkan semua alat yang dibutuhkan, pemeriksa mengenakan head lamp
3) Pasien diminta duduk tegak, seluruh punggung bersandar pada kursi, kepala atau dagu
dikedepankan sedikit.
4) Minta pasein membuka mulut untuk melihat faring dan menentukan ukuran cermin laring
yang akan digunakan. Hal ini penting karena bila ukuran cermin terlalu besar akan
menyentuh tonsil atau dinding faring yang akan menyebabkan muntah.
5) Minta pasien bernapas melalui mulut.
6) Minta pasien menjulurkan lidah semaksimal mungkin.
7) Kemudian bungkus bagian lidah yang ada di luar mulut dengan kain kasa.
8) Pemeriksa memegang lidah dengan tangan kiri secara optimal (tidak terlalu keras ataupun
longgar), jari I di atas lidah, jari III di bawah lidah, dan jari II menekan pipi/ menahan bibir
atas.
9) Pegang cermin dengan tangan kanan seperti memegang pensil dengan arah cermin ke
bawah.
10) Panaskan cermin (sedikit di atas 37°C) agar tidak menjadi kabur saat terkena udara
pernapasan. Panas cermin dikontrol pada punggung tangan kiri pemeriksa.
11) Masukkan cermin ke dalam faring dengan hati-hati (jangan sampai menyentuh bagian
belakang lidah, tonsil, atau dinding faring) dan letakkan cermin tepat di depan uvula. Bila
perlu, uvula dapat didorong ke posterior dengan punggung cermin.
12) Cermin kemudian disinari. Pada posisi cermin yang benar, bayangan permukaan belakang
epiglotis dan aditus tampak dengan jelas pada cermin.
13) Pemeriksaan dimulai dari pasien bernapas biasa, inspirasi dalam, dan fonasi.

Gambar 21. Laringoskopi Indirek

Hal-hal yang dievaluasi


Tahap 1: Radiks lingue, epiglotis, dan sekitarnya
 Terlihat gambar dari radiks linguae, epiglotis yang menutup introitus laringis, plika
glossoepiglotika, serta valekula kiri dan kanan. Perhatikan anatomi struktur-struktur tersebut.
Serta perhatikan pula adanya kelainan seperti edema epiglotis, ulkus, tumor, dan korpus
alienum.
 Minta pasien mengucapkan huruf “iii” yang panjang dan tinggi sehingga laring dan epiglotis
ditarik ke atas dan ke depan. Akibatnya, epiglotis yang menutup introitus laringis menjadi
terbuka sehingga cahaya dapat masuk ke dalam laring dan trakea. Korda vokalis bergerak ke
garis median. Perhatikan gerakan korda vokalis kiri-kanan (simetris, parese unilateral atau
bilateral).

Tahap 2: Melihat laring dan sekitarnya


 Perhatikan anatomi laring, antara lain: epiglotis dan pinggirnya, aritenoid kiri dan kanan, plika
ariepiglotika kiri dan kanan, sinus piriformis kiri dan kanan, dinding posterior dan dinding
41
lateral faring, plika ventrikularis kiri dan kanan, komisura anterior dan posterior, serta korda
vokalis kiri dan kanan. Gerakan korda vokalis hanya dapat dilihat dalam stadium fonasi atau
inspirasi dalam.
 Perhatikan ada/tidaknya kelainan seperti kemerahan (pada peradangan), erosi, ulkus, tumor,
sputum, dan lain-lain.

Tahap 3: Melihat trakea


 Pada stadium respirasi, lumen laring tertutup oleh epiglotis, sehingga mukosa trakea hanya
dapat dilihat waktu belum ada aduksi yang komplit atau di waktu permulaan abduksi.
 Perhatikan anatomi, patologi mukosa, warna mukosa, sekret regio subglotik, edema, dan
tumor.

Beberapa kesalahan dalam pemeriksaan laringoskopi indirek:


a) Kesalahan yang dibuat dokter
o Lidah dipegang terlalu keras sehingga menimbulkan rasa sakit dan pasien akan menarik
lidahnya ke dalam mulut atau menolak tangan dokter.
o Frenulum linguae mungkin terjepit diantara insisivus inferior kanan dan kiri saat lidah
pasien ditarik keluar sehingga timbul rasa sakit dan pasien menolak tangan dokter.
o Cermin menyentuh faring sehingga menimbulkan refleks muntah.
o Cermin terlalu panas sehingga uvula terasa sakit dan pasien akan memukul tangan
dokter atau memutar kepalanya.
o Kesulitan mengadakan koordinasi yang baik antara tangan kiri yang memegang lidah,
tangan kanan yang memegang cermin, kepala yang menggerakkan lampu, dan mata yang
harus melihat. Hal ini dapat diatasi dengan latihan-latihan.

b) Kesalahan yang dibuat pasien


o Menahan napas karena tegang. Salah mengerti , misalnya bernapas terlalu cepat dan
keras, saat ekspirasi terdengar seolah-olah mengucapkan huruh “hhh”, pasien tidak
mengucapkan huruf “iii” tetapi batuk, serta mengucapkan huruf “iii” dengan mulut
terbuka dan lidah dikeluarkan.

D.6 PEMERIKSAAN LEHER

a. Inspeksi leher : simetris/ asimetris; tortikolis; tumor; limfadenopati


b. Palpasi leher :
- Ada tumor atau limfadenopati : single/ multiple, ukuran, konsistensi (lunak, kistik, padat,
keras), permukaan (licin, berbenjol-benjol); fiksasi (mudah digerakkan/ tidak); nyeri tekan;
tanda radang; sakit pada saat digerakkan/ tidak.
- Tiroid : membesar/ tidak; bila ada pembesaran tiroid, apakah single/ multiple, berapa
ukurannya, konsistensi (lunak, kistik, padat, keras), permukaan (licin, berbenjol-benjol);
fiksasi (mudah digerakkan/ tidak); nyeri tekan; tanda radang; sakit pada saat digerakkan/
tidak.disertai pembesaran limfonodi/ tidak; ikut bergerak pada saat menelan/tidak;
disertai suara serak/tidak, adanya tanda gangguan hormon tiroid (hipertiroid/ hipotiroid).

PENILAIAN SUARA/ BICARA :


 Serak/ tidak,
 Sengau/ tidak,
 Cedal/ tidak

42
Gambar 22 (A). Palpasi kelenjar tiroid dari arah depan. Tangan kanan mendorong
kelenjar tiroid ke arah kiri pasien, sementara telunjuk dan ibu jari tangan kiri Gambar 22 (B).
mempalpasi kelenjar tiroid dari bawah m. sternocleidomastoideus. Palpasi kelenjar Kelenjar limfe leher
tiroid dari arah depan. Tangan kanan mendorong kelenjar tiroid ke arah kiri pasien,
sementara telunjuk dan ibu jari tangan kiri mempalpasi kelenjar tiroid dari bawah m.
sternocleidomastoideus

E. CHECKLIST PENILAIAN

E.1 PEMERIKSAAN TELINGA

No Aspek Keterampilan yang Dinilai Skor


0 1 2
I Interaksi Dokter Pasien
1 Senyum, salam, sapa
2 Beritahu kepada pasien mengenai tindakan (prosedur singkat) yang akan dilakukan
dan persetujuan tindakan (informed consent)

II Pemeriksaan Eksternal Telinga


3 Mempersiapkan pasien pada posisi siap dilakukan pemeriksaan
4 Mempersiapkan alat – alat pemeriksaan .
Menggunakan lampu kepala (head lamp) dengan tepat
5 Melakukan pemeriksaan eksternal telinga
6 Memperhatikan dan melaporkan hasil yang didapat
7 Membuat kesimpulan terhadap hasil pemeriksaan rhinoskopi anterior

III Pemeriksaan MAE dengan Otoskop


8 Memposisikan pasien dengan duduk berhadapan
9 Pemeriksaan memegang otoskop dengan benar
10 Tangan kiri pemeriksa menekan lidah menggunkan spatel
11 Memperhatikan dan melaporkan hasil yang didapat
43
12 Membuat kesimpulan terhadap hasil pemeriksaan MAE dan membrane timpani
dengan Otoskop

IV Profesionalisme
17 Melakukan dengan penuh percaya diri
18 Melakukan dengan kesalahan minimal

Jumlah Skor

Keterangan Skor :
0. Tidak dilakukan mahasiswa
1. Dilakukan, tapi belum sempurna
2. Dilakukan dengan sempurna, atau bila aspek tersebut tidak dilakukan mahasiswa karena situasi yang
tidak memungkinkan (misalnya tidak diperlukan dalam skenario yang sedang dilaksanakan).

Jumlah Skor
Nilai Mahasiswa = x 100%
36

E.2 PEMERIKSAAN HIDUNG

Skor
No Aspek Keterampilan yang Dinilai
0 1 2
I Interaksi Dokter Pasien
1 Senyum, salam, sapa
2 Beritahu kepada pasien mengenai tindakan (prosedur singkat) yang akan dilakukan
dan persetujuan tindakan (informed consent)

II Pemeriksaan Rhinoskopi Anterior


3 Mempersiapkan pasien pada posisi siap dilakukan pemeriksaan
4 Mempersiapkan alat – alat pemeriksaan
5 Melakukan pemeriksaan fenomena palataum molle, inspeksi nares anterior
6 Memperhatikan dan melaporkan hasil yang didapat
7 Membuat kesimpulan terhadap hasil pemeriksaan rhinoskopi anterior

III Pemeriksaan Rhinoskopi Posterior


8 Memanaskan cermin nasofaring dan memeriksa suhu cermin nasofaring
9 Meminta pasien bernapas lewat hidung
10 Tangan kiri pemeriksa menekan lidah menggunkan spatel
11 Memasukkan cermin sampai kedalam orofaring
12 Memperhatikan dan melaporkan hasil yang didapat
13 Membuat kesimpulan terhadap hasil pemeriksaan rhinoskopi posterior

IV Pemeriksaan Palpasi dan Transluminasi / Diafanoskopi Sinus


14 Menekan sinus frontalis pasien dari sebelah bawah alis mata
15 Menekan sinus maksilaris pasien yang berada di bawah kedua kavum orbita
16 Transluminasi Sinus Frontalis
17 Transluminasi Sinus Maksilaris
18 Membuat kesimpulan terhadap hasil pemeriksaan Transluminasi

IV Profesionalisme
19 Melakukan dengan penuh percaya diri
20 Melakukan dengan kesalahan minimal

Jumlah Skor

44
Keterangan Skor :
0. Tidak dilakukan mahasiswa
1. Dilakukan, tapi belum sempurna
2. Dilakukan dengan sempurna, atau bila aspek tersebut tidak dilakukan mahasiswa karena situasi yang
tidak memungkinkan (misalnya tidak diperlukan dalam skenario yang sedang dilaksanakan).

Jumlah Skor
Nilai Mahasiswa = x 100%
40

E.3 PEMERIKSAAN TENGGOROKAN, KEPALA DAN LEHER

No Aspek Keterampilan yang Dinilai Skor


0 1 2
I Interaksi Dokter Pasien
1 Senyum, salam, sapa
2 Anamnesis Penyakit
3 Beritahu kepada pasien mengenai tindakan (prosedur singkat) yang akan dilakukan dan
persetujuan tindakan (informed consent)

II Prosedur Pemeriksaan
3 Cuci tangan
4 Mempersiapkan pasien pada posisi siap dilakukan pemeriksaan
5 Mempersiapkan alat – alat pemeriksaan, mengenakan head lamp
6 Meminta penderita duduk tegak, seluruh punggung bersandar pada kursi, kepala atau
dagu dikedepankan sedikit
7 Memeriksa bibir
Meminta penderita membuka mulut untuk memeriksa rongga mulut
8 o Memeriksa Lidah
9 o Memeriksa Tonsil
10 Melihat faring dan menentukan ukuran cermin laring yang akan digunakan
11 Meminta penderita bernapas melalui mulut
12 Minta penderita menjulurkan lidah semaksimal mungkin, kemudian bungkus bagian
lidah yang ada di luar mulut dengan kain kasa dan pemeriksa memegang lidah dengan
tangan kiri secara optimal
13 Pemeriksa memegang cermin dengan tangan kanan seperti memegang pensil dengan
arah cermin ke bawah kemudian memanaskan cermin (sedikit di atas 37°C). Panas
cermin dikontrol pada punggung tangan kiri pemeriksa
14 Memasukkan cermin sampai kedalam faring dengan hati-hati. Bila perlu,
uvula dapat didorong ke posterior dengan punggung cermin,
kemudian cermin disinari
15 Memperhatikan dan melaporkan hasil yang didapat
Evaluasi
a. Tahap 1: Radiks lingue, epiglotis, dan sekitarnya
b. Tahap 2: melihat laring dan sekitarnya
c. Tahap 3: melihat trakea
16 Membuat kesimpulan terhadap hasil pemeriksaan

III Melakukan pemeriksaan Leher


17 Inspeksi Leher
18 Palpasi Leher
19 Membuat kesimpulan terhadap hasil pemeriksaan

IV Profesionalisme
20 Melakukan dengan penuh percaya diri
21 Melakukan dengan kesalahan minimal

45
Jumlah Skor

Keterangan Skor :
0. Tidak dilakukan mahasiswa
1. Dilakukan, tapi belum sempurna
2. Dilakukan dengan sempurna, atau bila aspek tersebut tidak dilakukan mahasiswa karena situasi yang
tidak memungkinkan (misalnya tidak diperlukan dalam skenario yang sedang dilaksanakan).

Jumlah Skor
Nilai Mahasiswa = x 100%
42

46
PEMERIKSAAN MATA

Tujuan Umum :
Setelah mengikuti pembelajaran ini, diharapkan mahasiswa memiliki keterampilan untuk melakukan
Pemeriksaan Fisik Mata.

Tujuan Khusus :
1. Melakukan anamnesis terhadap pasien dengan keluhan gangguan mata.
2. Melakukan pemeriksaan tajam penglihatan central (visus)
3. Melakukan pemeriksaan lapang pandang
4. Melakukan pemeriksaan otot ekstra okuler
5. Melakukan pemeriksaan segmen anterior dan organ aksesorisnya (kelopak mata sampai lensa)
6. Melakukan pemeriksaan segmen posterior (funduskopi)
7. Melakukan pemeriksaan tekanan bola mata
8. Melakukan pemeriksaan buta warna.

Alat, Bahan dan Media Pembelajaran :


1. Trial lens
2. Trial frame
2. Kartu Snellen
3. Astigmat dial
4. Kartu Ishihara
5. Senter
6. Magnifying Loupe
7. Lensa spheris positif
8. Kapas steril
9. Air dan sabun untuk cuci tangan
10. Oftalmoskop direk
11. Midriatikum yang cepat kerjanya, cepat hilang pengaruhnya
12. Tonometer Schiotz
13. Lidocaine 2 % atau Panthocaine eye drop
14. Chloramphenicol zalf atau tetes mata
15. Kapas alkohol 70 %

Gambar 1. Trial lens & Trial frame


47
Gambar 2. Kartu Snellen untuk pasien dewasa

Gambar 3. Kartu Snellen untuk pasien anak & buta huruf

Gambar 4. Astigmat dial

48
Gambar 5. Buku Ishihara

Gambar 6. Astigmat dial

Gambar 7. Astigmat dial

49
A. ANAMNESIS PASIEN DENGAN KELUHAN GANGGUAN PADA MATA

Untuk dapat mengumpulkan data-data pasien dilakukan anamnesis :


1. Data umum : nama, jenis kelamin, umur, alamat, pekerjaan.
2. Keluhan utama : pasien dengan gangguan pada mata biasanya datang dengan keluhan seperti :
 Mata merah
 Mata gatal
 Mata berair
 Mata nyeri
 Belekan
 Gangguan penglihatan (buta, penglihatan kabur, penglihatan ganda/dobel)
 Benjolan pada mata (timbilan)
 Kelilipan

A B C
Gambar 8 (A) Belekan; (B) Timbilan, (C) (Mata merah, gatal dan berair

3. Data yang harus digali dari keluhan utama :


 Pada pasien dengan keluhan gangguan penglihatan ditanyakan apakah gangguan
terjadi saat melihat jauh atau dekat; onset mendadak atau gradual; di seluruh
lapang pandang atau hanya sebagian; jika defek lapang pandang hanya sebagian,
apakah letaknya sentral, perifer atau hanya pada satu mata.
 Pada pasien dengan keluhan skotoma (bercak), ditanyakan apakah skotoma bergerak bila
bola mata bergerak atau terfiksasi; apakah pasien melihat kilatan-kilatan cahaya.

Gambar 9 Skotoma Gambar 10 Floaters

Gambar 11 Diplopia
 Adanya gejala sistemik : demam, malaise, sakit kepala.

50
o Jika terdapat diplopia, ditanyakan apakah diplopia horisontal atau vertikal,
kedua mata atau salah satu mata, apakah persisten bila salah satu mata
ditutup.
o Riwayat penggunaan kaca mata sebelumnya.
o Gejala-gejala neurologis : gangguan motorik dan sensorik, gangguan syaraf kranial yang lain.

4. Riwayat penyakit dahulu : hipertensi, diabetes melitus, trauma

B. PEMERIKSAAN TAJAM PENGLIHATAN (VISUS)

1. ALAT YANG DIGUNAKAN

- Trial lens
- Trial frame
- Kartu Snellen
- Astigmat dial
- Kartu Ishihara
- Ruangan dengan panjang 5 m atau 6 m
- Penerangan yang cukup

2. CARA PEMERIKSAAN

1) Visus sentralis jauh diperiksa dengan kartu Snellen.


2) Jarak pemeriksaan 5 meter atau 6 meter.
3) Tutup salah satu mata (sebaiknya mata kiri dulu), untuk memeriksa visus
mata kanan. Menutup bisa memakai telapak tangan kiri atau occluder yang
diletakkan di depan trial frame mata kiri.
4) Huruf / angka / gambar / huruf E yang berbeda-beda arah dengan berbagai
ukuran, makin ke bawah makin kecil, di pinggir dari tiap baris terdapat angka
yang menunjuk jarak yang diperlukan bagi orang normal untuk dapat melihat
dengan jelas. (contoh:Bila pemeriksaan pada jarak 6m, penderita (dengan
satu mata) hanya dapat membaca huruf yang bertanda 10 m, maka visus
mata tersebut adalah 6/10).

Gambar 12. Pemeriksaan Visus

51
3. INTERPRETASI HASIL

 Bila huruf baris paling atas pun tidak terbaca, maka diperiksa dengan
hitungan jari tangan yang berarti visusnya .../60.
 Bila tidak bisa menghitung jari, digunakan goyangan tangan dengan jarak 1
meter, yang berarti visusnya 1/300.
 Bila tidak bisa melihat goyangan tangan, digunakan berkas cahaya dengan
jarak 1 meter, yang berarti visusnya 1/~
 Bila visus kurang dari 6/6, dilakukan tes pinhole.
- Bila dengan tes pinhole visus maju/ membaik (bisa 6/6), berarti terdapat
kelainan refraksi yang belum terkoreksi.
- Bila dengan tes pinhole visus tidak maju/ tidak membaik kemungkinan terdapat
kelainan organik.
- Apabila pinhole maju/ membaik maka dicoba untuk dikoreksi dengan lensa spheris
negatif atau positif.
 Bila setelah koreksi maksimal visus belum mencapai 6/6, dilakukan pemeriksaan
astigmat dial
- Bila pada astigmat dial melihat ada garis yang paling tegas, diperiksa
dengan lensa cylindris negatif atau positif (dengan metode trial and
error) dimana axisnya tegak lurus pada garis yang paling tegas tersebut,
sampai dapat mencapai 6/6.
- Demikian sebaliknya diperiksa visus mata kirinya.
 Menyebutkan macam kelainan macam refraksinya.

C. PEMERIKSAAN LAPANG PANDANG

1. ALAT YANG DIGUNAKAN

Tidak ada alat khusus, bisa dengan jari telunjuk atau suatu benda yang
warnanya menyolok (misalnya ballpen yang ujungnya berwarna merah,
dsb).

2. CARA PEMERIKSAAN

1) Pemeriksa memberikan instruksi pemeriksaan kepada pasien dengan jelas.


2) Penderita menutup mata kiri dengan telapak tangan kiri, telapak tangan tidak boleh
menekan bola mata.
3) Pemeriksa duduk tepat di depan pasien dalam jarak antara 60 cm, berhadapan, sama
tinggi
4) Pemeriksa menutup mata kanan dengan telapak tangan kanan. Lapang pandang
pemeriksa sebagai referensi (lapang pandang pemeriksa harus normal). Mata pasien
melihat mata pemeriksa.
5) Objek atau ujung jari pemeriksa digerakkan perlahan-lahan dari perifer ke sentral (sejauh
rentangan tangan pemeriksa kemudian digerakan ke central)dari delapan arah pada
bidang di tengah-tengah penderita dan pemeriksa.
6) Lapang pandang pasien dibandingkan dengan lapang pandang pemeriksa.
7) Kemudian diperiksa mata sebelahnya.
8) Menyebutkan hasilnya:
o Lapang pandang penderita luasnya sama dengan lapang pandang pemeriksa.
o Lapang pandang penderita lebih sempit dari lapang pandang pemeriksa

52
(sebutkan di daerah mana yang mengalami penyempitan)

Gambar 13. Pemeriksaan konfrontasi

3. INTERPRETASI HASIL

 Anopia dextra

 Binasal hemanopia

 Bitemporal hemianopia

 Hemianopia homonim sinistra

 Hemianopia homonim sinistra


with macular sparing

 Superior quadratinopia homonim


sinistra

 Inferior quadratinopia homonim


sinistra

Gambar 14. Gangguan lapang pandang

53
D. PEMERIKSAAN POSISI BOLA MATA (HIRSCHBERG TEST)

1. ALAT YANG DIGUNAKAN

Senter (Pen light)

2. CARA PEMERIKSAAN
Penderita duduk sejajar dan sama tinggi dengan pemeriksa.
Pemeriksa mengarahkan lampu senter ke pangkal hidung dengan jarak 30 – 40 cm
Perhatikan refleks cahaya dari senter pada permukaan kornea penderita.

3. INTERPRETASI HASIL
Pada keadaan normal kedua refleks cahaya akan jatuh tepat didepan pupil, disebut orthotropia.
1) Bila refleks cahaya kornea tidak jatuh tepat didepan pupil maka disebut :
- Bila cahaya jatuh di medial pupil disebut eksotropia,
- Bila cahaya jatuh di lateral pupil disebut esotropia,
- Bila cahaya jatuh di superior pupil disebut hipertropia,
- Bila cahaya jatuh di inferior pupil, disebut hipertropia.
Refleks cahaya pada mata yang berdeviasi bila: lebih dekat pertengahan pupil, berarti
deviasi 5-6 derajat, sedang bila pada tepi pupil, berarti deviasi 12-15 derajat (20 prisma
dioptri).
2) Bila refleks sinar pada kornea terletak antara pinggir pupil dan limbus,
berarti deviasi 25 derajat, dan bila pada pinggir limbus berarti deviasi 45-60
derajat
3) Umumnya: pergeseran sinar dari tengah pupil 1 (satu) milimeter atau sama
dengan deviasi 7 derajat (15 prisma dioptri)

Gambar 15. Hirschberg test

E. PEMERIKSAAN COVER – UNCOVER

1. CARA PEMERIKSAAN

1) Pemeriksaan dilakukan untuk jarak 30 cm dan 6 meter.


2) Bila pasien memakai kacamata maka kacamata tersebut dipasang
3) Fiksasi pasien:
a. diperiksa dalam kedudukan mata posisi primer

54
b. benda yang dilihat 1 garis lebih besar daripada tajam penglihatan terburuk dapat
dipergunakan nonakomodatif target (sinar)
4) Mata ditutup bergantian dengan okluder dari mata kanan ke kiri dan sebaliknya
5) Dilihat kedudukan mata dibawah okluder atau saat okluder dipindah pada mata yang lain

Gambar 16. Cara pemeriksaan cover / uncover test

2. INTERPRETASI HASIL

1) Bila mata di belakang okluder bergerak ke luar, ke dalam, ke atas, atau ke bawah
menunjukkan adanya heteroforia
2) Bila mata segera sesudah okluder dibuka mencoba berfiksasi sehingga terlihat
pergerakan ke luar, ke dalam, ke atas atau ke bawah, hal ini berarti ada foria
3) Derajat foria dapat diukur dengan meletakkan prisma sehingga tidak terjadi
pergerakan mata pada saat mata dibuka

Gambar 17. Cover – uncover test

F. PEMERIKSAAN OTOT EKSTRA OKULER

1. ALAT YANG DIGUNAKAN


- Senter
- Jari telunjuk/Ballpen/ pensil

2. CARA PEMERIKSAAN

1) Penderita duduk, memandang obyek yang letaknya jauh ( ± 6 m).

55
2) Nyalakan senter dari jarak 60 cm, tepat di depan glabela penderita.
3) Perhatikan refleks sinar tersebut pada kornea, bila simetris berarti pasangan bola
mata dalam orbita sejajar (tampak pantulan sinar di tengah pupil,sedikit ke medial).
Kemudian penderita diminta mengikuti gerakan ujung jari pemeriksa, pensil /ballpen
yang digerakkan dari central ke perifer ke 6 arah kardinal tanpa menggerakkan
kepala (melirik saja).
4) Diperhatikan gerakan kedua mata, keduanya bebas ke segala arah ataukah ada yang tertinggal.
5) Khusus untuk melihat gerakan bola mata ke bawah, angkatlah kedua kelopak atas
dengan ibu jari dan jari telunjuk.
6) Untuk tes konvergensi, ujung jari/ senter/ ballpen/ pensil dari jarak ± 45 cm di depan
pangkal hidung didekatkan ke arah pangkal hidung hingga jarak 5 cm sampai 8 cm,
untuk menilai kekuatan konvergensi.

Gambar 18. Cara menggerakan obyek

Gambar 19. Enam arah kardinal gerakan bola mata

G. PEMERIKSAAN SEGMEN ANTERIOR

1. ALAT YANG DIGUNAKAN


- Senter
- Magnifying Loupe

56
- Lensa spheris positif
- Kapas steril
- Air dan sabun untuk cuci tangan

2. CARA PEMERIKSAAN

1) Penderita duduk berhadapan pemeriksa jarak ± 60 cm.


2) Periksa mata dari bagian luar kedalam, dimulai dari mata kanan kemudian kiri; menggunakan
loupe dan senter yang terang dan dapat difokuskan dengan baik.
3) Perhatikan kulit palpebra, adakah edema, hiperemia, hematoma, benjolan-benjolan, kulit di
atas benjolan terfiksasi atau dapat digerakkan.
4) Periksa lebar rima palpebra, kanan kiri sama lebar atau tidak, gerakan membuka dan menutup
mata, ada yang tertinggal gerak atau tidak.
5) Palpebra menutupi daerah pupil atau tidak (normalnya menutupi ± 2 mm kornea bagian
superior).
6) Amati silia dan margo palpebra.
7) Kemudian palpebra superior dilipat ke arah luar (eversio), diamati warna mukosa, adanya
benjolan- benjolan sikatriks, benda asing, bangunan-bangunan folikel, cobble’s stone, dan lain-
lain.

Gambar 20. Minta pasien untuk melihat Gambar 21. Eversio palpebra superior.
ke atas, pergunakan ibu jari untuk Pergunakan lidi kapas yang diletakkan pada
sedikit menekan dan menarik palpebra lipatan palpebra superior. Balik dengan cara
inferior ke arah bawah, sehingga sklera menarik bulu mata ke arah atas, pasien
dan konjung- tiva terpapar. diminta melirik ke arah bawah. Untuk
mengembalikan- nya, minta pasien melihat ke
arah atas.

8) Perhatikan konjungtiva bulbi, warna, oedema, bangunan-bangunan/ penonjolan- penonjolan,


pelebaran pembuluh darah, berkelok-kelok atau lurus, ikut pergerakan konjungtiva atau tidak,
ada sekret atau tidak,
9) Amati pula skleranya, adakah penipisan atau penonjolan.
10) Perhatikan kornea (menggunakan lampu senter dari arah 45 temporal kornea supaya tidak
silau, sesekali boleh bergerak ke nasal) : amati kejernihan, bentuknya, ukurannya,
kecembungannya, permukaan licin/ kasar, adanya pembuluh darah, pterygium, dan lain- lain.
11) Periksa pula sensibilitas kornea menggunakan kapas bersih yang dipilin, dengan cara kapas
disentuhkan dari arah temporal ke sentral kornea.

57
Gambar 22. Pemeriksaan sensibilitas kornea terhadap sentuhan

12) Periksa kedalaman bilik mata depan dengan sinar yang diarahkan dari temporal limbus.
Tentukan dalam dan kejernihannya.

Gambar 23. Cara menilai kedalaman bilik mata depan

13) Periksa iris, bentuknya, gambarannya, warnanya, adakah synechia.

Gambar 24. Pemeriksaan refleks pupil (direct)

14) Periksa lensa, sebaiknya pupil dilebarkan (kalau tidak ada kontra indikasi).
15) Sinar dari arah 30 -45 temporal kornea, perhatikan letak dan kejernihannya (shadow test,
kalau tidak ada bayangan iris di lensa berarti shadow test negatif, hal ini pada lensa yang jernih
atau pada katarak yang matur, dan sebaliknya).
16) Periksa reflex pupil terhadap cahaya langsung ( direct), cahaya tidak langsung (indirect).
Perhatikan pula bentuk pupil, bulat atau tidak, sentral atau tidak.

58
H. PEMERIKSAAN SEGMEN POSTERIOR (FUNDUSKOPI)

1. ALAT YANG DIGUNAKAN

- Oftalmoskop direk.
- Midriatikum (Obat pelebar pupil) yang cepat kerjanya, cepat hilang pengaruhnya : tropicamide 0.5%-1%
atau fenilefrin hidroklorida 2.5% / 10%
Perhatian: Sebaiknya sebelum melebarkan pupil, diukur tekanan bola mata terlebih dahulu. Apabila
tekanan bola mata pasien tinggi (>20), maka penggunaan obat pelebar pupil tidak disarankan

2. CARA PEMERIKSAAN

1) Penderita duduk.
2) Mata penderita ditetesi midriatikum, kemudian ditunggu ± 20 menit.
3) Bila yang diperiksa mata kanan, oftalmoskop dipegang dengan tangan kanan, gunakan mata yang
kanan juga, jari telunjuk berada pada panel pengatur ukuran lensa dan sebaliknya.
4) Letakkan tangan kiri pada dahi atau bahu pasien untuk menopang dan menstabilkan tubuh kita
5) Pandangan penderita diminta memfiksasi suatu titik jauh tak terhingga atau ± 6m.
6) Peganglah oftalmoskop dengan cara menggenggam bagian pegangannya, sedangkan jari telunjuk
berada pada panel pengatur ukuran lensa, siap untuk menyesuaikan ukuran lensa sehingga dapat
diperoleh bayangan yang paling tajam.
7) Pada jarak 30 cm, di depan temporal (±45⁰) mata penderita, sinar oftalmoskop diarahkan pada pupil
mata penderita.
8) Perlahan-lahan mendekat ke arah pasien dengan 15O ke arah temporal dari garis penglihatan pasien.
Usahakan untuk tetap melihat pupil. Putar roda fokus ke arah negatif menyesuaikan dengan keadaan
refraksi pasien dan pemeriksa untuk mendapatkan fokus pada retina.
9) Saat Pembuluh darah retina sudah terlihat, ikuti sampai pembuluh darah terlihat melebar ke arah
diskus optik, yang letaknya ke arah nasal dari tengah retina.
10) Periksa dengan urutan diskus optik, pembuluh darah retina, latar belakang retina dan macula.
11) Ulangi pemeriksaan untuk mata kiri, dengan tangan kiri memegang ophtalmoskop dan melihat dengan
mata kiri.

Gambar 25. Pemeriksaan menggunakan oftalmoskop

3. INTERPRETASI HASIL

Untuk hasil pemeriksaan normal yang bisa dilihat adanya diskus optik
berbentuk bulat sedikit oval dengan warna pink karena adanya kapiler yang sangat
kecil. Tepi diskus harus tajam (tegas) dan di bagian tengah ada cekungan yang

59
disebut physiologic cup. Perbandingan antara diskus dengan cup di tengahnya
pada keadaan normal berkisar antara 0.3-0.4 yang disebut cup disc ratio.

Pembuluh darah retina harus terlihat bercabang ke arah 4 kuadran retina.


Hal yang paling penting untuk dilihat adalah perbandingan ukuran antara Vena
dan arteri adalah 3:2 dengan posisi yang saling sejajar tidak bersilangan. Dengan
tekstur halus tidak ada penggembungan di bagian manapun. Retina normal akan
berwarna orange kemerahan karena pigmen yang dimiliki. Refleks makula
terletak di temporal diskus optikus.

Gambar 26. Retina

Adapun kelainan-kelainan yang dapat ditemukan adalah:


1. Pada Papil saraf optic
a. Papil edema
b. Hilangnya pulsasi vena saraf optic
c. Ekskavasi papil saraf optik pada glaucoma
d. Atrofi saraf optik
2. Pada retina
a. Pendarahan subhialoid
b. Pendarahan intra retina, flame shape, dots, blots
c. Eksudat
d. Edema retina
e. Edema macula
3. Pada Pembuluh darah retina
a. Perbandingan atau rasio arteri vena
b. Perubahan bentuk / pola arteri vena
c. Adanya mikroanerisma dari vena

60
I. PEMERIKSAAN TEKANAN BOLA MATA

Bola mata dapat digambarkan sebagai suatu kompartemen tertutup dengan sirkulasi
aqueous humor yang konstan. Cairan ini mempertahankan bentuk dan tekanan yang cukup
merata di dalam bola mata. Tonometri adalah cara pengukuran tekanan cairan intraokular
dengan memakai alat-alat yang terkalibrasi. Tekanan intraokular yang normal berkisar dari
10 sampai 21 mmHg.

Tonometer Schiotz mengukur besarnya indentasi kornea yang dihasilkan oleh beban
yang telah di tentukan. Dengan makin meningkatnya tekanan intraokular, makin sedikit
indentasi kornea yang terjadi. Karena cara ini mengunakan alat yang menempel pada
kornea pasien, diperlukan anastesi lokal dan ujung alat harus didisinfeksi sebelum dipakai
dan alkohol pada ujung tonometri harus dipastikan benar-benar kering sebelum diletakkan
ke kornea pasien karena dapat menyebabkan kerusakan epitel kornea.

1. ALAT YANG DIGUNAKAN


- Tonometer Schiotz
- Lidocaine 2 % atau Panthocaine eye drops
- Chloramphenicol zalf atau tetes mata
- Kapas alkohol 70 %

Gambar 27. Tonometer Schiotz dan bagian-bagiannya

61
2. CARA PEMERIKSAAN

a) Pemeriksaan Cara Subjektif (Palpasi)


- Penderita duduk tegak, melirik ke bawah.
- Jari telunjuk kanan dan kiri pemeriksa bergantian menekan bola mata (dimata
yang sedang diperiksa) pada kelopak atas kearah belakang bawah (45 ) dengan
halus dan penuh perasaan. Tiga jari yang lain bersandar pada kening dan
tulang pipi, bandingkan kanan dan kiri.

Gambar 28. Cara palpasi tekanan bola mata

- Hasilnya TN, TN+1, TN+2, TN+3; TN-1, TN-2, TN-3.


- Tekanan bola mata yang dianggap normal adalah sesuai dengan tekanan yang
dihasilkan oleh palpasi dengan cara yang sama terhadap pipi yang di dorong
oleh lidah dari dalam. Bila tekanan dibawah normal, disebut N- , dan kalau
lebih tinggi dari normal disebut N+

b) Pemeriksaan Cara Obyektif (Tonometer Schiotz)


Persiapan alat :
- Tonometer ditera dengan meletakkan tonometer tegak lurus pada lempengan
pengetest, dan jarum harus menunjuk angka 0.
- Bersihkan dan permukaan kaki tonometer diusap dengan kapas alkohol.

Persiapan penderita :
- Penderita diberi penjelasan tentang apa yang akan dilakukan, cara
pemeriksaan dan bagaimana penderita harus bersikap.
- Penderita diminta tidur terlentang, posisi kepala horizontal.
- Mata penderita ditetesi Panthocaine 0,5% atau 2%, 1 – 2 tetes, 5 menit
kemudian ditetesi lagi satu tetes. Penderita diminta memandang ke satu titik
tepat diatasnya, dengan cara memfiksasi kepada ibu jarinya yang diacungkan
di atasnya, sehingga sumbu optik mata benar-benar vertikal.
- Kelopak atas dan bawah dibuka lebar dengan menggunakan jari telunjuk dan
ibu jari tangan kiri, tidak boleh menekan bola mata, kemudian tonometer
diletakkan dengan hati- hati pada permukaan kornea, tepat di tengah, tanpa
menggeser, posisi benar-benar vertikal.
- Letakkan tonometer tepat di atas kornea tanpa menekan bola mata.
- Tinggi rendahnya tekanan bola mata menentukan besarnya indentasi yang
ditimbulkan oleh alat tersebut. Besar kecilnya indentasi menentukan besarnya
simpangan jarum yang dihubungkan pada lempeng tersebut.
- Bila dengan beban 5,5 gram menunjukkan angka skala 0 maka beban perlu
ditambahkan dengan beban 7,5gram atau 10 gram.
- Tonometer diangkat, dibersihkan dengan kapas alkohol.

62
- Mata diberi salep mata (misalnya Chloramfenicol)
- Lihat tabel, berapa mmHg tekanan bola matanya.
- Cara baca dan menuliskan hasil : Misalnya dengan beban 5,5 gram simpangan
jarum tonometer menunjukkan angka 5 pada tabel terlihat hasilnya 17,3
mmHg.

Gambar (A) Teknik pengukuran tekanan bola mata menggunakan tometer


Schiotz.
(B) Pin tonometer Schiotz saat diletakkan di atas kornea pasien

Tabel Kalibrasi Pengukuran Tonometri Schiotz


Dikutip dari Sidarta Ilyas, 2006

Augendruck-Pressure, mmHg
Zeiger Ausschlag Tonometerstiftewitch-Pluger load
Scale reading 5.5 gram 7,5 10 15
gram gram gram
0,0 41,5 59,5 81,5 127,5
0,5 37,8 54,2 75,1 117,9
1,0 34,5 49,8 69,3 109,3
1,5 31,6 45,8 64,0 101,4
2,0 29,0 42,1 59,1 94,3
2,5 26,6 38,8 54,7 88,0
3,0 24,4 35,8 50,6 81,8
3,5 22,4 33,0 46,9 76,2
4,0 20,6 30,4 43,4 71,0
4,5 18,9 28,0 40,2 66,2
5,0 17,3 25,8 37,2 61,8
5,5 15,9 23,8 34,4 57,6
6,0 14,6 21,9 31,8 53,6
6,5 13,4 20,1 29,4 49,9
7,0 12,2 18,5 27,2 46,5

63
7,5 11,2 17,0 25,1 43,2
8,0 10,2 15,6 23,1 40,2
8,5 9,4 14,3 21,3 38,1
9,0 8,5 13,1 19,6 34,6
9,5 7,8 12,0 18,0 32,0
10,0 7,1 10,9 16,5 29,6
10,5 6,5 10,0 15,1 27,4
11,0 5,9 9,0 13,8 25,3
Augendruck-Pressure, mmHg
Zeiger Ausschlag Scale reading Tonometerstiftewitch-Pluger load
5.5 gram 7,5 gram 10 gram 15 gram
11,5 5,3 8,3 12,6 23,3
12,0 4,9 7,5 11,5 21,4
12,5 4,4 6,8 10,5 19,7
13,0 4,0 6,2 9,5 18,1
13,5 5,6 8,6 16,5
14,0 5,0 7,8 15,1
14,5 4,5 7,1 13,7
15,0 4,0 6,4 12,6
15,5 5,8 11,4
16,0 5,2 10,4
16,5 4,7 9,4
17,0 4,2 8,5
17,5 7,7
18,0 6,9
18,5 6,2
19,0 5,6
19,5 4,9
20.0 4,5

64
J. PEMERIKSAAN BUTA WARNA

Metode Ishihara ini di kembangkan menjadi Tes Buta Warna Ishihara oleh Dr. Shinobu Ishihara.
Tes ini pertama kali dipublikasi pada tahun 1917 di Jepang dan terus digunakan di seluruh dunia,
sampai sekarang. Tes buta warna Ishihara terdiri dari lembaran yang didalamnya terdapat titik-titik
dengan berbagai warna dan ukuran. Titik berwarna tersebut disusun sehingga membentuk lingkaran.
Warna titik itu dibuat sedemikian rupa sehingga orang buta warna tidak akan melihat perbedaan
warna seperti yang dilihat orang normal (pseudo-isochromaticism). Kartu tes buta warna dengan
metode ishihara Dalam tes buta warna ishihara ini dapat digunakan kartu ishihara 14, 24, atau 38
plate atau lembar gambar. Di mana gambar- gambar tersebut memiliki urutan 1 sampai 38.
Aplikasi tes buta warna Ishihara menggunakan 14, 24, atau 38 plate gambar, tetapi dalam
pemeriksaan ini ditampilkan 24 plate saja yang merupakan gambar-gambar utama dari tes buta
warna ishihara. Dengan 24 plate ini sudah dapat disimpulkan kondisi orang yang di tes apakah
mengalami buta warna total, parsial atau normal .
Dalam proses menampilkan 24 plate gambar tes buta warna ishihara ini dapat dilakukan secara
urut (skensial) atau acak (random). Aplikasi yang dibangun menampilkan 24 plate gambar secara
acak.

1. ALAT YANG DIGUNAKAN

- Buku Ishihara

2. CARA PEMERIKSAAN

- Siapkan kartu ishihara 14, 24 atau 38 plate


- Ruangan pemeriksaan harus cukup pencahayaanya
- Pemeriksa menunjukkan kartu – kartu ishihara dan meminta pasien untuk
menyebutkan angka atau gambar apa yang dilihatnya
- Lama pengamatan untuk membaca angka masing-masing lembar maksimum 10 detik.

3. INTERPRETASI HASIL

- Normal jika dapat membaca semua plate yang di tunjukkan


- Buta warna Parsial
 Bila plate no. 1 sampai dengan no 17. hanya terbaca 13 plate atau kurang.
 Bila terbaca angka-angka pada plate no. 18, 19, 20 dan 21 lebih mudah atau lebih jelas
dibandingkan dengan plate no. 14, 10, 13, dan 17.
 Bila ragu-ragu kemungkinan buta warna parsial dapat dites dengan:
o Membaca angka-angka pada plate no. 22, 23, 24, dan 25.
o Pada orang normal, akan terbaca dengan benar angka-angka pada plate-plate tersebut
diatas secara lengkap (dua rangkap). Pada penderita buta warna parsial hanya terbaca
satu angka pada tiap-tiap plate tersebut diatas.
o Menunjuk arah alur pada plate no. 26, 27, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, dan 38.
o Untuk orang normal bisa menunjuk alur secara benar sedangkan untuk buta warna
parsial dapat menunjukkan adanya alur dari satu sisi yang lainnya.
- Buta warna total
 Pada plate no. 28 dan 29, untuk orang normal, tidak bisa menunjukkan adanya alur,
sedangkan untuk penderita buta warna parsial dapat menunjukkan adanya alur dari satu sisi
ke sisi yang lainnya.

65
Tabel. Pengambilan kesimpulan Tes Buta Warna.
Kesimpulan
Pengambilan Kesimpulan
Tes
Buta Warna 1. Jika gambar 1 salah dan jawaban gambar lain diabaikan
Total
Buta Warna 1. Jika gambar 1 benar, gambar 2 sampai gambar 16 ada salah
Parsial lebih dari 3 atau
2. Jika gambar 1 benar, gambar 22 sampai gambar 24 jawaban
hanya benar pada salah satu gambar atau
3. Jika gambar 1 benar, Jika gambar 18 sampai gambar 21
terlihat angka.
Normal 1. Jika gambar 1 sampai gambar 17 benar, atau gambar 1 harus
benar dan lebih dari 13 gambar dijawab benar
2. Gambar 22 sampai gambar 24 benar atau 2 gambar benar

Interpretasi Pemeriksaan Buku Ishihara

 Orang normal: 12  Mata normal: 8


 Buta warna: 12  Defisiensi Merah-Hijau: 3
 Buta warna: Tidak mampu membaca

66
 Orang normal: 29  Mata normal: 5
 Defisiensi Merah-Hijau: 70  Buta warna: Tidak mampu membaca
 Buta warna: Tidak mampu membaca

 Orang normal: 3  Mata normal: 15


 Defisiensi Merah-Hijau: 5  Defisiensi Merah-Hijau: 17
 Buta warna: Tidak mampu membaca  Buta warna: Tidak mampu membaca

 Orang normal: 74  Mata normal: 6


 Defisiensi Merah-Hijau: 21  Buta warna: Tidak mampu membaca
 Buta warna: Tidak mampu membaca

67
 Mata normal: 16  Mata normal: 42
 Buta warna: Tidak mampu membaca  Proanomalia kuat: 2
 Protanomalia sedang: 2 lebih jelas dari 4
 Deuteranomalia kuat: 4
 Deuteranomalia sedang: 4 lebih jelas dari
2

 Orang normal: 45  Mata normal: 73


 Buta warna: Tidak mampu membaca  Buta warna: Tidak mampu membaca

68
 Mata normal: 26  Mata normal : mampu mengikuti jalur
 Proanomalia kuat: 6 ungu dan merah.
 Protanomalia sedang: 6 lebih jelas dari 2  Proanomalia kuat : mampu mengikuti jalur
 Deuteranomalia kuat: 2 ungu
 Deuteranomalia sedang: 2 lebih jelas dari 4  Protanomalia sedang: jalur ungu lebih
jelas dari jalur merah
 Deuteranomalia kuat : mampu
mengikuti jalur merah
 Deuteranomalia sedang: jalur merah
lebih jelas dari jalur ungu.

 Mata normal: Tidak mampu mengikuti  Mata normal: Mampu mengikuti jalur.
jalur biru- hijau dan kuning-hijau.  Buta warna: Mampu mengikuti jalur.
 Defisiensi merah-hijau: Mampu mengikuti
Jalur.
 Buta warna: Tidak mampu mengikuti jalur

 Mata normal: Tidak mampu melihat  Mata normal: Mampu melihat kotak
 Buta warna: angka 5 yang jelas coklat dan lingkaran kuning.
 Buta warna: Hanya mampu melihat kotak
coklat

69
K. CHECKLIST PENILAIAN

1. PEMERIKSAAN VISUS & KOREKSI VISUS

No Aspek Keterampilan yang Dinilai Skor


0 1 2
I Interaksi Dokter Pasien
1 Senyum, salam, sapa
2 Beritahu kepada pasien mengenai tindakan (prosedur singkat) yang akan
dilakukan dan persetujuan tindakan (informed consent)

II KETERAMPILAN PEMERIKSAAN VISUS & KOREKSI VISUS


3 Mempersilakan penderita duduk pada jarak 5 m/ 6 m dari Optotipe Snellen
4 Meminta penderita menutup satu matanya tanpa menekan
5 Meminta penderita memandang lurus, tidak melirik, tidak memicingkan mata
6 Meminta penderita menyebutkan angka / huruf / simbol pada Optotipe Snellen
yang ditunjuk dari atas ke bawah
7 Menyebutkan hasil pemeriksaan
8 a. Bila pasien mampu menyebutkan angka/huruf/angka pada Optotipe snellen,
hasil menyesuaikan notasi yang ada di Optotipe Snellen
Bila huruf paling atas dari Snellen tidak dapat disebutkan oleh penderita, dapat
digunakan hitung jari.
Bila hitung jari tidak tampak, dapat menggunakan goyangan tangan
Bila goyangan tangan tidak tampak, dapat menggunakan lampu senter.
9 Bila mata visus < 5/5 atau 6/6 dapat melakukan dan menjelaskan uji pinhole
10 Dapat menggunakan dan atau menjelaskan pemeriksaan Astigmat Dial
11 Dapat menyebutkan hasil koreksi visus

III Profesionalisme
12 Melakukan dengan penuh percaya diri
13 Melakukan dengan kesalahan minimal

Jumlah Skor

Keterangan Skor :
0. Tidak dilakukan mahasiswa
1. Dilakukan, tapi belum sempurna
2. Dilakukan dengan sempurna, atau bila aspek tersebut tidak dilakukan mahasiswa karena
situasi yang tidak memungkinkan (misalnya tidak diperlukan dalam skenario yang sedang
dilaksanakan).

Jumlah Skor
Nilai Mahasiswa = 26 x 100%

70
2. PEMERIKSAAN LAPANG PANDANG

Skor
No Aspek Keterampilan yang Dinilai
0 1 2
I Interaksi Dokter Pasien
1 Senyum, salam, sapa
2 Beritahu kepada pasien mengenai tindakan (prosedur singkat) yang akan
dilakukan dan persetujuan tindakan (informed consent)

II KETERAMPILAN PEMERIKSAAN LAPANG PANDANG


3 Pemeriksa mengambil posisi duduk berhadapan dengan penderita, dengan posisi
mata sama tinggi dengan jarak 60 cm
4 Meminta penderita menutup mata kirinya dengan telapak tangan kiri, pemeriksa
menutup mata kanan dengan telapak tangan kanan
5 Meminta penderita menutup mata kanannya dengan telapak tangan kanan,
pemeriksa menutup mata kiri dengan telapak tangan kiri.
6 Menggerakkan ujung jari pemeriksa perlahan-lahan dari perifer ke sentral dan
dari delapan arah pada bidang di tengah-tengah penderita dan pemeriksa.
7 Membandingkan lapang pandang penderita dengan lapang pemeriksa
8 Melaporkan hasil pemeriksaan

III Profesionalisme
9 Melakukan dengan penuh percaya diri
10 Melakukan dengan kesalahan minimal

Jumlah Skor

Keterangan Skor :
0. Tidak dilakukan mahasiswa
1. Dilakukan, tapi belum sempurna
2. Dilakukan dengan sempurna, atau bila aspek tersebut tidak dilakukan mahasiswa karena
situasi yang tidak memungkinkan (misalnya tidak diperlukan dalam skenario yang sedang
dilaksanakan).

Jumlah Skor
Nilai Mahasiswa = 20 x 100%

71
3. PEMERIKSAAN POSISI BOLA MATA

Skor
No Aspek Keterampilan yang Dinilai
0 1 2
I Interaksi Dokter Pasien
1 Senyum, salam, sapa
2 Beritahu kepada pasien mengenai tindakan (prosedur singkat) yang akan
dilakukan dan persetujuan tindakan (informed consent)

II Keterampilan Pemeriksaan Posisi Bola Mata


3 Mencuci tangan sebelum memeriksa pasien
4 Meminta penderita duduk sejajar dengan pemeriksa
5 Mengarahkan lampu senter ke pangkal hidung penderita dengan jarak 30 – 40 cm
6 Mengamati refleks cahaya pada permukaan kornea penderita
7 Menyimpulkan hasil pemeriksaan

III Profesionalisme
8 Melakukan dengan penuh percaya diri
9 Melakukan dengan kesalahan minimal

Jumlah Skor

Keterangan Skor :
0. Tidak dilakukan mahasiswa
1. Dilakukan, tapi belum sempurna
2. Dilakukan dengan sempurna, atau bila aspek tersebut tidak dilakukan mahasiswa karena
situasi yang tidak memungkinkan (misalnya tidak diperlukan dalam skenario yang sedang
dilaksanakan).

Jumlah Skor
Nilai Mahasiswa = 18 x 100%

72
4. PEMERIKSAAN COVER / UNCOVER

Skor
No Aspek Keterampilan yang Dinilai
0 1 2
I Interaksi Dokter Pasien
1 Senyum, salam, sapa
2 Beritahu kepada pasien mengenai tindakan (prosedur singkat) yang akan
dilakukan dan persetujuan tindakan (informed consent)

II Keterampilan Pemeriksaan Cover / Uncover test


3 Mencuci tangan sebelum memeriksa pasien
4 Meminta penderita duduk sejajar berhadapan dengan pemeriksa dengan jarak
30 cm, 6 meter.
5 Meminta penderita untuk melihat satu titik / target dalam posisi mata primer
6 Meminta penderita menutup salah satu mata menggunakan okluder (penutup
mata) secara bergantian.
7 Mengamati mata penderita dibelakang okluder atau saat okluder dipindah ke
mata yang lain.
8 Menyimpulkan hasil pemeriksaan

III Profesionalisme
9 Melakukan dengan penuh percaya diri
10 Melakukan dengan kesalahan minimal

Jumlah Skor

Keterangan Skor :
0. Tidak dilakukan mahasiswa
1. Dilakukan, tapi belum sempurna
2. Dilakukan dengan sempurna, atau bila aspek tersebut tidak dilakukan mahasiswa karena
situasi yang tidak memungkinkan (misalnya tidak diperlukan dalam skenario yang sedang
dilaksanakan).

Jumlah Skor
Nilai Mahasiswa = 20 x 100%

73
5. PEMERIKSAAN OTOT EKSTRAOKULER

Skor
No Aspek Keterampilan yang Dinilai
0 1 2
I Interaksi Dokter Pasien
1 Senyum, salam, sapa
2 Beritahu kepada pasien mengenai tindakan (prosedur singkat) yang akan
dilakukan dan persetujuan tindakan (informed consent)

II Keterampilan Pemeriksaan Otot Ekstraokuler


3 Mempersilakan penderita duduk memandang lurus ke depan
4 Menyinarkan lampu senter ke arah glabela penderita
5 Mengamati pantulan sinar pada kornea, menentukan kedua mata sejajar atau
tidak
6 Menggerakkan objek ke 6 arah kardinal, penderita diminta mengikuti gerak objek dari
sentral ke perifer tanpa menggerakkan kepala (saat menilai gerakan otot ke
inferior, pemeriksa mengangkat kelopak atas)
7 Mengamati gerakan kedua bola mata ada yang tertinggal atau tidak
8 Melakukan pemeriksaan konvergensi kedua mata
9 Melaporkan hasil pemeriksaan (kesejajaran bola mata, otot mata yang
mengalami kelainan dan konvergensi kedua mata)

III Profesionalisme
10 Melakukan dengan penuh percaya diri
11 Melakukan dengan kesalahan minimal

Jumlah Skor

Keterangan Skor :
0. Tidak dilakukan mahasiswa
1. Dilakukan, tapi belum sempurna
2. Dilakukan dengan sempurna, atau bila aspek tersebut tidak dilakukan mahasiswa karena
situasi yang tidak memungkinkan (misalnya tidak diperlukan dalam skenario yang sedang
dilaksanakan).

Jumlah Skor
Nilai Mahasiswa = 21 x 100%

74
6. PEMERIKSAAN SEGMEN ANTERIOR

Skor
No Aspek Keterampilan yang Dinilai
0 1 2
I Interaksi Dokter Pasien
1 Senyum, salam, sapa
2 Beritahu kepada pasien mengenai tindakan (prosedur singkat) yang akan
dilakukan dan persetujuan tindakan (informed consent)

II Keterampilan Pemeriksaan Segmen Anterior


3 Penderita dan pemeriksa duduk berhadapan pada jarak 60 cm.
4 Menilai kelainan-kelainan pada kulit kelopak mata, lebar rima palpebra, simetris tidak
dengan bantuan pen light.
5 Menilai bulu matanya, teratur atau tidak, arah tumbuhnya, ada sekret atau tidak
dengan bantuan pen light.
6 Melakukan eversio palpebra superior dan melakukan pemeriksaan konjungtiva palpebra
superior, kemudian menarik palpebra inferior untuk memeriksa konjungtiva palpebra
inferior dengan bantuan penlight.(warna, benda
asing,hipertrofi papil, folikel, benjolan)
7 Memeriksa konjungtiva bulbi dengan menarik palpebra atas memakai jari telunjuk dan
palpebra bawah dengan ibu jari dengan bantuan pen light.(injeksi,
penebalan, benjolan)
8 Melakukan pemeriksaan orificium/punctum ductus lakrimalis (ada/tidak
sumbatan)
9 Melakukan pemeriksaan sklera (warna, benjolan, penipisan)
10 Melakukan pemeriksaan nodus limfatikus pre aulikular
11 Melakukan pemeriksaan kornea dengan lampu pen light dari sudut 45 temporal
mata.
12 Melakukan pemeriksaan sensibilitas kornea.
13 Memeriksa kamera okuli anterior dengan pen light dari arah limbus bagian
temporal .
14 Memeriksa refleks pupil direct dan indirect dengan pen light.
15 Memeriksa kejernihan lensa (pada prinsipnya untuk melihat lensa perlu ditetesi
midriatikum) dengan pen light.
16 Melaporkan hasil pemeriksaan segmen anterior bola mata.

III Profesionalisme
17 Melakukan dengan penuh percaya diri
18 Melakukan dengan kesalahan minimal

Jumlah Skor

Keterangan Skor :
0. Tidak dilakukan mahasiswa
1. Dilakukan, tapi belum sempurna
2. Dilakukan dengan sempurna, atau bila aspek tersebut tidak dilakukan mahasiswa karena
situasi yang tidak memungkinkan (misalnya tidak diperlukan dalam skenario yang sedang
dilaksanakan).

Jumlah Skor
Nilai Mahasiswa = 36 x 100%

75
7. PEMERIKSAAN SEGMEN POSTERIOR (FUNDUSKOPI)

Skor
No Aspek Keterampilan yang Dinilai
0 1 2
I Interaksi Dokter Pasien
1 Senyum, salam, sapa
2 Beritahu kepada pasien mengenai tindakan (prosedur singkat) yang akan
dilakukan dan persetujuan tindakan (informed consent)

II Keterampilan Pemeriksaan Segmen Posterior


3 Mencuci tangan sebelum memeriksa pasien
4 Penderita diminta melihat obyek pada jarak lebih dari 6 meter.
5 Lensa oftalmoskop disesuaikan dengan refraksi pemeriksa
6 Memegang oftalmoskop dengan benar.
7 Menggunakan oftalmoskop dengan benar.
O
8 Memeriksa fundus refleks pada jarak 30 cm dari arah 45 temporal pasien.
9 Menyimpulkan hasil pemeriksaan.

III Profesionalisme
10 Melakukan dengan penuh percaya diri
11 Melakukan dengan kesalahan minimal

Jumlah Skor

Keterangan Skor :
0. Tidak dilakukan mahasiswa
1. Dilakukan, tapi belum sempurna
2. Dilakukan dengan sempurna, atau bila aspek tersebut tidak dilakukan mahasiswa karena
situasi yang tidak memungkinkan (misalnya tidak diperlukan dalam skenario yang sedang
dilaksanakan).

Jumlah Skor
Nilai Mahasiswa = 22 x 100%

76
8. PEMERIKSAAN TEKANAN BOLA MATA

Skor
No Aspek Keterampilan yang Dinilai
0 1 2
I Interaksi Dokter Pasien
1 Senyum, salam, sapa
2 Beritahu kepada pasien mengenai tindakan (prosedur singkat) yang akan
dilakukan dan persetujuan tindakan (informed consent)

II Melakukan Pemeriksaan Tekanan Bola Mata Secara Digital (Palpasi)


3 Mempersiapkan pasien pada posisi siap dilakukan pemeriksaan
4 Penderita duduk tegak, melirik ke bawah
5 Jari telunjuk kanan dan kiri pemeriksa bergantian menekan bola mata
6 Memeriksa bola mata kiri dan kanan secara bergantian
7 Memperhatikan dan melaporkan hasil yang didapat
8 Membuat kesimpulan terhadap hasil pemeriksaan TIO secara digital

III Pemeriksaan Tekanan Bola Mata Dengan Menggunakan Tonometer Schiotz


9 Tonometer ditera dengan meletakkan tonometer tegak lurus pada lempengan
pengetest, dan jarum harus menunjuk angka 0
10 Bersihkan dan permukaan kaki tonometer diusap dengan kapas alkohol
11 Penderita diminta tidur terlentang, posisi kepala horizontal
12 Mata penderita ditetesi Panthokain
13 Memfiksasi penglihatan pasien hingga sumbu optik vertikal
14 Kelopak atas dan bawah dibuka lebar dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu
jari tangan kiri, tidak boleh menekan bola mata
15 Letakkan tonometer tepat di atas kornea tanpa menekan bola mata
16 Memperhatikan angka yang ditunjuk dengan jarum dan melaporkan hasil yang
didapat menggunakan tabel tonometer
18 Memberikan zalf atau tetes mata antibiotika
19 Membuat kesimpulan terhadap hasil pemeriksaan

III Profesionalisme
20 Melakukan dengan penuh percaya diri
21 Melakukan dengan kesalahan minimal

Jumlah Skor

Keterangan Skor :
0. Tidak dilakukan mahasiswa
1. Dilakukan, tapi belum sempurna
2. Dilakukan dengan sempurna, atau bila aspek tersebut tidak dilakukan mahasiswa karena
situasi yang tidak memungkinkan (misalnya tidak diperlukan dalam skenario yang sedang
dilaksanakan).

Jumlah Skor
Nilai Mahasiswa = 42 x 100%

77
9. PEMERIKSAAN BUTA WARNA

Skor
No Aspek Keterampilan yang Dinilai
0 1 2
I Interaksi Dokter Pasien
1 Senyum, salam, sapa
2 Beritahu kepada pasien mengenai tindakan (prosedur singkat) yang akan
dilakukan dan persetujuan tindakan (informed consent)

II Melakukan Pemeriksaan Buta Warna Ishihara


3 Mempersiapkan plate ishihara
4 Mempersiapkan pasien untuk dilakukan pemeriksaan
5 Menunjukkan plate dan meminta pasien menyebutkan apa yang di lihat
6 Memperhatikan dan melaporkan hasil yang didapat
7 Membuat kesimpulan terhadap hasil pemeriksaan
8 Melakukan Pemeriksaan Buta Warna Ishihara

III Profesionalisme
9 Melakukan dengan penuh percaya diri
10 Melakukan dengan kesalahan minimal

Jumlah Skor

Keterangan Skor :
0. Tidak dilakukan mahasiswa
1. Dilakukan, tapi belum sempurna
2. Dilakukan dengan sempurna, atau bila aspek tersebut tidak dilakukan mahasiswa karena
situasi yang tidak memungkinkan (misalnya tidak diperlukan dalam skenario yang sedang
dilaksanakan).

Jumlah Skor
Nilai Mahasiswa = 20 x 100%

78
PEMERIKSAAN DERMATOLOGI

Tujuan Umum :
Setelah mengikuti pembelajaran ini, diharapkan mahasiswa memiliki keterampilan untuk melakukan
Pemeriksaan Fisik Dermatologi.

Tujuan Khusus :
1. Melakukan pemeriksaan inspeksi dan palpasi pada kulit
2. Melakukan pemeriksaan inspeksi kuku
3. Melakukan pemeriksaan inspeksi rambut dan skalp
4. Melakukan pemeriksaan dermografisme
5. Melakukan pemeriksaan dengan sinar UVA (lampu Wood)

Alat, Bahan dan Media Pembelajaran :


1. Senter (Penlight)
2. Kaca pembesar (Loop)
3. Sarung tangan non steril
4. Lampu Wood
5. Penggaris

A. PENGANTAR

Anatomi sistem kulit terdiri atas :


1. Lapisan kulit yaitu,
a. Epidermis : stratum korneum, stratum lucidum, stratum granulosum, stratum spinosum,
stratum basalis
b. Dermis : stratum papilare, stratum retikulare
c. Subkutis : lemak

Gambar 1. Anatomi Kulit

79
Gambar 2. Lapisan epidermis kulit

2. Adneksa kulit :
a. Kuku

Gambar 3. Anatomi kuku

b. Rambut

Gambar 4. Anatomi rambut

c. Kelenjar : kelenjar keringat ekrin dan apokrin, kelenjar sebasea

80
Kulit merupakan organ yang aktif secara metabolik dan mempunyai fungsi-fungsi penting, yaitu:
1. Barier terhadap pengaruh fisik
2. Melindungi terhadap kerusakan mekanik
3. Mencegah masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh
4. Mencegah kehilangan cairan tubuh
5. Melindungi terhadap radiasi ultraviolet
6. Membantu pengaturan suhu tubuh
7. Berfungsi sebagai organ sensorik
8. Berperan dalam produksi vitamin D
9. Berfungsi sebagai sistem imun
10.Kosmetik

Anamnesis pada pasien kulit :


Untuk dapat mengumpulkan data-data pasien dilakukan anamnesis :
 Data umum : nama, jenis kelamin, umur, alamat, pekerjaan.
Pada umumnya, pasien dengan penyakit kulit datang dengan keluhan-keluhan sebagai berikut:
- Gatal-gatal - Tahi lalat
- Alergi - Flek/ bercak kecoklatan
- Kulit bersisik - Kutil
- Rambut rontok - Jerawat
- Kulit merah dan nyeri - Kulit mati rasa
- Ketombe - Bisul
- Kulit berminyak - Tanda lahir
- Kuku rapuh - Bercak putih/ merah
- Gigitan serangga - Lecet dll
Penegakkan diagnosis penyakit kulit yaitu melalui pemeriksaan dengan tahapan sebagai berikut:
 Riwayat Penyakit
 Distribusi
 Lesi primer/ lesi sekunder
 Diagnosis banding
 Pemeriksaan penunjang

Dalam mencari keterangan riwayat penyakit pasien diperlukan informasi sebagai berikut:
a. Keluhan utama : apakah gejala yang dirasakan, misalnya gatal, nyeri
b. Lama : kapan pertama kali muncul dan kapan mengalami kekambuhan atau
sembuh
c. Periode : misalnya apakah keluhan dirasakan terus menerus, memburuk ketika
malam hari atau memburuk pada saat musim dingin
d. Evolusi : bagaimana penyakit tersebut menyebar atau berkembang
e. Lokasi : dimanakah lesi pertama kali terlihat dan dimanakah menyebarnya
f. Beratnya penyakit : khususnya pada keadaan gatal atau nyeri, yang dapat digunakan untuk
mengevalusi perkembangan penyakit
g. Faktor yang memperberat dan mengeksaserbasi penyakit : apakah diperberat atau dieksaserbasi
setelah terpapar sinar matahari, panas dingin, trauma, bahan kimia tertentu, produk topikal, atau
yang lain
h. Penyakit yang mendahului, pengobatan yang baru diberikan, riwayat paparan
i. Pengobatan yang pernah dilakukan : baik obat dari dokter atau obat bebas, dan bagaimana
respons terhadap pengobatan tersebut, apakah penyakitnya membaik, memburuk atau tidak
terpengaruh sama sekali
j. Keluhan yang sama sebelumnya, diagnosis sebelumnya, hasil biopsi, atau pemeriksaan penunjang
lain yang pernah dilakukan sebelumnya
k. Kelainan sistemik :

81
- Gejala konstitusional (demam, menggigil, kelelahan, kehilangan berat badan, berkeringat di
malam hari)
- Gejala penyakit akut (sakitkepala, fotopobia, kaku leher, mual, muntah, batuk, pilek, bersin,
mialgia, athralgia)
- Kelainan lain seperti: artritis psoriatik (nyeri sendi, bengkak dan kaku sendi) yang dapat
menyertai kelainan kulit

B. TEKNIK PEMERIKSAAN

1. Inspeksi dan Palpasi Kulit

- Warna : lihat apakah banyak peningkatan pigmentasi, hilangnya pigmentasi,


kemerahan, pucat, sianosis dan kekuningan di kulit
- Kelembaban : lihat dan rasakan apakah kulit pasien kering, banyak keringat atau
berminyak
- Suhu : dengan menggunakan punggung jari tangan untuk memeriksa ini.
Sebagai tambahan untuk mengidentifikasi kehangatan generalisata
atau kulit yang dingin, catat temperatur di setiap tempat yang
kemerahan
Tekstur : nilai dan rasakan kelembutan atau kekasaran kulit pasien
- Turgor dan mobilitas : angkat sedikit dari lipatan kulit dan catat kemudahannya dalam
terangkat dan kembali ke bentuk semula

2. Efloresensi Kulit

Observasi setiap kelainan kulit yang ditemukan:


a. Tentukan lokasi anatomi dan distribusinya di tubuh

Bilateral : mengenai kedua sisi tubuh

Unilateral : mengenai salah satu sisi tubuh

82
Simetris : mengenai kedua sisi tubuh pada area
yang sama

Soliter : hanya satu lesi

Multipel : lesi banyak

Lokalisata : lesi terlokalisir pada satu lokasi


tubuh

83
Regional : mengenai regio/ area tertentu dari
tubuh

Generalisata : tersebar luas pada sebagian besar


tubuh

Universal : lesi tersebar di seluruh permukaan


tubuh

b. Tentukan pola dan bentuk dari kelainan kulit yang didapatkan


 Tentukan bentuk yang didapatkan:
- Teratur : Bulat, Oval, dan sebagainya

84
- Tidak teratur

 Tentukan pola yang didapatkan:


Linier : seperti garis lurus

Sirsinar/ anular : seperti lingkaran/ melingkar


seperti cincin

Arsinar : berbentuk bulan sabit


Polisiklik : tepilesi sambung menyambung
membentuk gambaran seperti bunga

Korimbiformis : susunan seperti induk ayam


yang dikelilingi anak-anaknya

85
Irisformis/ lesi target : lesi berbentuk bulat
atau lonjong yang terdiri dari 3 zona:
 bagian sentral berupa papul/ vesikel/ bula,
 bagian tengah berupa edema berwarna
putih/ pucat,
 bagian paling luar berupa eritem,
yangmenyerupai iris mata/ membentuk
gambaran seperti target anak panah

Herpetiformis : vesikel yang berkelompok/


bergerombol

Serpiginosa : lesi berbentuk seperi ular

c. Tentukan tipe lesi kulit yang didapatkan


 Lesi Primer (terjadi pada kulit yang semula normal/ kelainan yang pertama muncul)

Makula : perubahan warna pada kulit


tanpa perubahan bentuk

86
Papula : penonjolan padat di atas
permukaan kulit, diameter < 0,5 cm

Nodul : penonjolan padat di atas


permukaan kulit, diameter > 0,5 cm

Plakat : peninggian diatas permukaan


kulit seperti dataran tinggi atau
mendatar (plateau-like) yang biasanya
terbentuk dari bersatunya (konfluen)
beberapa papul,diameter lebih dari >
0.5 cm

Urtika : penonjolan yang ditimbulkan


akibat edema setempat yang timbul
mendadak dan hilang perlahan

Vesikel : lepuh berisi cairan serum,


dengan diameter < 0.5 cm

87
Bula : vesikel yang berukuran > 0,5 cm

Pustula : vesikel berisi nanah

Kista : ruangan/ kantong berdinding


dan berisi cairan atau material semi
solid (sel atau sisa sel), biasanya pada
lapisan dermis

Purpura : warna merah dengan batas


tegas yang tidak hilang jika ditekan,
terjadi karena adanya ekstravasasi dari
pembuluh darah ke jaringan

88
 Lesi Sekunder (akibat perubahan yang terjadi pada efloresensi primer)

Skuama : sisik berupa lapisan


stratum korneum yang
terlepas dari kulit

Krusta : kerak atau keropeng


yang menunjukkan adanya
cairan serum atau darah
yang mengering

Erosi : lecet kulit yang


diakibatkan kehilangan
lapisan kulit sebelum
stratum basalis, bisa ditandai
dengan keluarnya serum

Ekskoriasi : lecet kulit yang


disebabkan kehilangan
lapisan kulit melampaui
stratum basalis (sampai
stratum papilare) ditandai
adanya bintik perdarahan
dan bisa juga serum

Ulkus : tukak atau borok,


disebabkan hilangnya
jaringan lebih dalam dari
ekskoriasi, memiliki tepi,
dinding, dasar dan isi

89
Likenifikasi : Penebalan
lapisan epidermis disertai
guratan garis kulit yang
makin jelas, akibat garukan
atau usapan yang bersifat
kronis

Fisura : hilangnya epidermis


dan dermis yang berbatas
tegas berbentuk linier

Atropi : penipisan lapisan


epidermis ataupun dermis

Skar : digantinya jaringan


normal kulit dengan jaringan
fibrotik pada tempat
penyembuhan luka, contoh :
skar hipertrofi, skar atrofi,
keloid

Komedo : infundibulum
folikelrambut yang
melebardan tersumbat
keratin dan lipid.
 Komedo terbuka (open
comedo/ blackhead): unit
pilosebasea terbuka pada
permukaan kulit dan
terlihat sumbatan keratin
berwarna hitam
 Komedo tertutup(close

90
comedo/ whitehead): unit
pilosebasea tertutup pada
permukaan kulit dan
terlihat berwarna putih

Poikiloderma : kombinasi
dari atropi, hiperpigmentasi,
hipopigmentasi dan
teleangiekstasi, yang
memberikan gambaran
belang (mottled)

Teleangiektasi : dilatasi
pembuluh darah superfisialis

d. Tentukan ukuran dari lesi yang didapatkan:

Milier : sebesar kepala jarum pentul

Lentikular : sebesar biji jagung

91
Numular : sebesar uang logam, diameter 3-
5 cm

Plakat : lebih besar dari nummular

e. Tentukan batas lesi kulit:

Tegas (sirkumskripta) dengan kulit di


sekitarnya

Tidak tegas (difus) dengan kulit di


sekitarnya

3. Pemeriksaan pada Rambut


Inspeksi dan palpasi rambut. Catat kuantitas, distribusi rambut dan teksturnya

4. Pemeriksaan pada Kuku

92
Inspeksi dan palpasi kuku jari tangan dan kuku jari kaki. Lihat warna, bentuk dan kelainan
bentuk. Garis longitudinal seperti pigmen mungkin dapat terlihat pada orang normal dengan kulit
yang lebih gelap

C. PEMERIKSAAN LAMPU WOOD

Pemeriksaan ini untuk mengetahui fluoresensi dari berbagai kuman patogen, seperti pada
infeksi: Microsporum sp. (kuning orange), P. ovale (kuning kehijauan), eritrasma: C. minutissimun
(kuning kemerahan). Pemeriksaan ini juga untuk mengetahui kedalaman pigmentasi pada melasma,
apabila pada penyinaran dengan lampu Woods batas pigmentasi terlihat lebih jelas daripada
pemeriksaan langsung, memperlihatkan pigmentasi epidermal, dan sebaliknya pada pigmentasi
dermal, hasil pemeriksaan lampu Wood akan tampak mengabur.
Lampu Wood merupakan alat diagnostik non-invasif dan dapat memberikan fluoresensi
dengan cara sinar yang diarahkan ke lesi akan dipantulkan berdasarkan perbedaan berat molekul
metabolit organisme penyebab sehingga menimbulkan indeks bias berbeda yang dapat menghasilkan
pendaran warna tertentu. Sinar lampu Wood dihasilkan dari merkuri bertekanan tinggi yang
dipancarkan melalui filter terbuat dari barium silikat dan 9 % nikel oksida diberi nama filter Wood.
Filter ini hanya dapat menyerap cahaya dengan panjang gelombang 320 sampai 400 nm dengan
puncaknya pada 365 nm. Fluoresensi jaringan terjadi ketika sinar dari lampu Wood diserap oleh kulit
lalu memancarkan kembali sinar dengan panjang gelombang yang lebih panjang, biasanya visible
light.

1. Alat yang digunakan :


- Sarung tangan non steril
- Lampu Wood (365 nm)

Gambar 4. Lampu Wood

2. Cara Pemeriksaan :
Penggunaan lampu Wood tidak memerlukan keahlian khusus, namun memerlukan
beberapa persiapan yang sebaiknya dilakukan untuk menghindari hasil positif palsu.
1. Ruangan pemeriksaan harus sepenuhnya gelap (ruangan tanpa jendela) dan pemeriksa harus
beradaptasi terlebih dahulu pada kegelapan agar dapat melihat kontras dengan jelas.
2. Jelaskan kepada pasien pemeriksaan yang akan dilakukan dan prosedurnya, beritahu pasien
untuk tidak menggunakan obat topikal, kassa, dan residu sabun karena dapat menimbulkan
fluoresensi
3. Lampu sebaiknya dipanaskan terlebih dahulu selama lima menit
4. Cuci tangan
5. Gunakan sarung tangan
6. Sumber cahaya sebaiknya berjarak 10-15 cm dari lesi dan sebaiknya tidak membersihkan
daerah yang akan diperiksa karena dapat menimbulkan negatif palsu akibat dilusi pigmen

93
Bentuk Kelainan Warna fluoresensi
Kelainan pigmen
Hipopigmentasi dan depigmentasi
Vitiligo Biru terang – putih
Makula ash leafpada tuberous sklerosis Biru terang – putih
Mikosis fungoides hipopigmentasi Biru terang – putih ( pengamatan penulis)
Hiperpigmentasi
Melasma epidermal Kontras warna lebih jelas
Melasma dermal Kontras warna kurang jelas
Infeksi Bakteri
Pseudomonas ( pyoverdin atau fluorescein) Hijau
Corynebacterium minutissimum (coproporphyrin Merah coral
III) Jingga-kemerahan, putih-kekuningan
Propionibacterium acnes (coproporphyrin)
Infeksi Jamur Putih-kekuningan, kuning-keemasan
Ptiariasis versikolor (Malessezia furfur) Folikel putih-kebiruan
Ptirosporum folikulitis
Tinea kapitis Biru-hijau
Microsporum audouinii Biru-hijau
M. canis Biru-hijau
M. ferrugineum Biru-hijau
M. distortum Kuning pucat
M. gypseum Biru pucat
T. schoenleinii
Porfiria Merah-merah muda
Eritropoetik porfiria (RBC, urin, gigi) Merah-merah muda
Eritropoetik protoporfiria (RBC, feses, batu empedu) Merah-merah muda
Hepatoeritropoetik profiria (RBC, feses, urin) Merah-merah muda
Porfiria kutaneus tarda (urin, feses) Merah-merah muda
Variegate porfiria (urin, feses)
Bentuk Kelainan Warna fluoresensi
Kelainan pigmen
Hipopigmentasi dan depigmentasi
Vitiligo Biru terang – putih
Makula ash leafpada tuberous sklerosis Biru terang – putih
Mikosis fungoides hipopigmentasi Biru terang – putih ( pengamatan penulis)
Hiperpigmentasi
Melasma epidermal Kontras warna lebih jelas
Melasma dermal Kontras warna kurang jelas
Infeksi Bakteri
Pseudomonas ( pyoverdin atau fluorescein) Hijau
Corynebacterium minutissimum (coproporphyrin Merah coral
III) Jingga-kemerahan, putih-kekuningan
Propionibacterium acnes (coproporphyrin)
Infeksi Jamur Putih-kekuningan, kuning-keemasan
Ptiariasis versikolor (Malessezia furfur) Folikel putih-kebiruan
Ptirosporum folikulitis
Tinea kapitis Biru-hijau
Microsporum audouinii Biru-hijau
M. canis Biru-hijau

94
M. ferrugineum Biru-hijau
M. distortum Kuning pucat
M. gypseum Biru pucat
T. schoenleinii
Porfiria Merah-merah muda
Eritropoetik porfiria (RBC, urin, gigi) Merah-merah muda
Eritropoetik protoporfiria (RBC, feses, batu empedu) Merah-merah muda
Hepatoeritropoetik profiria (RBC, feses, urin) Merah-merah muda
Porfiria kutaneus tarda (urin, feses) Merah-merah muda
Variegate porfiria (urin, feses)

Tabel 1. Berbagai fluoresensi pada pemeriksaan lampu Wood

Gambar 5. Fluoresensi hipopigmentasi

Gambar 6. Erosi purulen pada sela jari kaki akibat infeksi Pseudomonas

Gambar 7. Fluoresensi pink coral pada eritrasma di lipatan paha

95
Gambar 8. Tinea Kapitis yang disebabkan M. Canis

3. Interpretasi Hasil

Gambar 9. Pemeriksaan lampu Wood pada sampel urin pasien dengan porfiria

D. PEMERIKSAAN DERMOGRAFISME

1. Alat yang digunakan :


Pena atau hammer refleks

2. Cara Pemeriksaan :
Menggores kulit pada bagian lengan atau punggung penderita dengan benda tumpul

3. Interpretasi Hasil :
Dikatakan positif jika setelah dilakukan pemeriksaan timbul urtikaria atau garis linear putih pada
kulit, biasanya didapatkan pada penderita dermatitis atopik.

Gambar 10. Dermografisme pada pasien dermatitis atopik

96
E. CHECKLIST PENILAIAN

E.1 PEMERIKSAAN KULIT, RAMBUT DAN KUKU

Skor
No Aspek Keterampilan yang Dinilai
0 1 2
I Interaksi Dokter Pasien
1 Senyum, salam, sapa
2 Beritahu kepada pasien mengenai tindakan (prosedur singkat) yang akan dilakukan
dan persetujuan tindakan (informed consent)

II Pemeriksaan Kulit, Rambut dan Kuku


3 Melakukan inspeksi lesi dan menyebutkan terminologi lesi dengan
benar
4 Menilai hasil pemeriksaan inspeksi kulit, kuku, rambut dan mukosa
(lokasi, distribusi lesi, bentuk/ susunan lesi, batas lesi, ukuran lesi,
efloresensi primer & sekunder)
5 Melakukan dan menilai hasil pemeriksaan palpasi kulit

III Profesionalisme
6 Melakukan dengan penuh percaya diri
7 Melakukan dengan kesalahan minimal

Jumlah Skor

Keterangan Skor :
0. Tidak dilakukan mahasiswa
1. Dilakukan, tapi belum sempurna
2. Dilakukan dengan sempurna, atau bila aspek tersebut tidak dilakukan mahasiswa karena
situasi yang tidak memungkinkan (misalnya tidak diperlukan dalam skenario yang sedang
dilaksanakan).

Jumlah Skor
Nilai Mahasiswa = x 100%
14

E.2 PEMERIKSAAN LAMPU WOOD

Skor
No Aspek Keterampilan yang Dinilai
0 1 2
I Interaksi Dokter Pasien
1 Senyum, salam, sapa
2 Beritahu kepada pasien mengenai tindakan (prosedur singkat) yang akan dilakukan
dan persetujuan tindakan (informed consent)

II Prosedur Pemeriksaan
3 Cuci tangan
4 Gunakan sarung tangan
5 Panaskan lampu Wood kurang lebih selama 5 menit
6 Letakkan lesi kulit ± 10-15 cm dari sumber cahaya
7 Interpretasikan hasil temuan, dan laporkan

97
III Profesionalisme
8 Melakukan dengan penuh percaya diri
9 Melakukan dengan kesalahan minimal
Jumlah Skor

Keterangan Skor :
1. Tidak dilakukan mahasiswa
2. Dilakukan, tapi belum sempurna
3. Dilakukan dengan sempurna, atau bila aspek tersebut tidak dilakukan mahasiswa karena
situasi yang tidak memungkinkan (misalnya tidak diperlukan dalam skenario yang sedang
dilaksanakan).

Jumlah Skor
Nilai Mahasiswa = x 100%
18

E.3 PEMERIKSAAN DERMATOGRAFISME

No Aspek Keterampilan yang Dinilai Skor


0 1 2
I Interaksi Dokter Pasien
1 Senyum, salam, sapa
2 Beritahu kepada pasien mengenai tindakan (prosedur singkat) yang akan
dilakukan dan persetujuan tindakan (informed consent)

II Keterampilan Pemeriksaan Dermatografisme


3 Mencuci tangan sebelum memeriksa pasien
4 Penderita dipersilahkan untuk duduk atau berbaring
5 Pemeriksa mempersiapkan pena atau hamer refleks
6 Pemeriksa menggores kulit secara linear pada bagian lengan atau punggung
penderita
7 Menyimpulkan hasil pemeriksaan

III Profesionalisme
8 Melakukan dengan penuh percaya diri
9 Melakukan dengan kesalahan minimal

Jumlah Skor

Keterangan Skor :
0. Tidak dilakukan mahasiswa
1. Dilakukan, tapi belum sempurna
2. Dilakukan dengan sempurna, atau bila aspek tersebut tidak dilakukan mahasiswa karena
situasi yang tidak memungkinkan (misalnya tidak diperlukan dalam skenario yang sedang
dilaksanakan).

Jumlah Skor
Nilai Mahasiswa = x 100%
18

98
PEMERIKSAAN MUSKULOSKELETAL

Tujuan Umum :
Setelah mengikuti pembelajaran ini, diharapkan mahasiswa memiliki keterampilan untuk melakukan
Pemeriksaan Fisik Muskuloskeletal.

Tujuan Khusus :
1. Melakukan pemeriksaan inspeksi dan palpasi pada tulang belakang
2. Melakukan pemeriksaan inspeksi dan palpasi pada pelvis
3. Melakukan pemeriksaan inspeksi dan palpasi pada ekstremitas bawah
4. Melakukan stabilisasi fraktur (tanpa gips)
5. Melakukan dressing (sling, bandage)
6. Melakukan tindakan hecting

Alat, Bahan dan Media Pembelajaran :


6. Senter (Penlight)
7. Kaca pembesar (Loop)
8. Sarung tangan non steril
9. Lampu Wood

A. PENGANTAR

Kolumna vertebra atau tulang belakang, merupakan struktur penunjang sentral badan dan
punggung. Lengkungan konkaf tulang belakang leher dan lumbal serta lengkungan konveks tulang
belakang toraks dan sakrokoksigeus membantu menyebarkan berat tubuh bagian atas ke panggul
dan ekstremitas bawah serta meredam dampak benturan ketika berjalan atau berlari.
Mekanika punggung yang rumit mencerminkan kerja terpadu dari:
 Vertebra dan diskus antarvertebra
 Sistem ligamen yang saling kait antara vertebra anterior dan vertebra posterior, ligamen
antara prosesus spinosus, dan ligamen antara lamina dua vertebra yang berdekatan
 Otot-otot superfisial besar, otot-otot intrinsik di sebelah dalam, dan otot-otot dinding
abdomen

99
Gambar 1. Anatomi vertebra

Struktur Tulang
Kolumna vertebralis mengandung 24 vertebra yang menumpuk di atas sakrum dan koksigis.
Vertebra tipikal mengandung tempat untuk persendian, menahan beban, dan perlekatan otot, serta
lubang (foramen) untuk akar saraf spinal dan saraf perifer.
Di anterior, korpus vertebra berfungsi menahan beban. Arkus vertebra posterior membungkus
medulla spinalis. Pelajarilah lokasi prosesus vertebra dan foramen-foramennya, dengan perhatian
khusus pada:
 Proseus spinosus yang menonjol di garis tengah posterior di pertemuan pedikulus dan lamina
. Otot-otot melekat ke prosesus-prosesus ini.
 Prosesus artikularis —dua di masing-masing sisi vertebra, satu meng-hadap ke atas dan yang
lain ke bawah, di pertemuan pedikulus dan lamina, sering disebut faset sendi.
 Foramen vertebra, mengelilingi korda spinalis, foramen intervertebralis , yang dibentuk oleh
prosesus artikularis inferior dan superior vertebravertebra yang berdekatan sehingga
dihasilkan suatu saluran untuk akar saraf spinal; dan di vertebra servikalis, foramen
transversum , untuk arteri vertebralis.
Kedekatan medula spinalis dan akar saraf spinal dengan tulang vertebra dan diskus
intervertebralis pembungkusnya menyebabkan keduanya rentan terhadap herniasi diskus,
penekanan akibat kelainan degeneratif di vertebra dan faset, serta trauma.

100
Sendi
Tulang belakang memiliki sendi kartilaginosa yang bergerak minimal antara korpus-korpus
vertebra dan antara fase-faset sendi. Antara dua korpus vertebra terdapat diskus intervertebralis ,
yang masing-masing terdiri dari suatu inti sentral mukoid, nucleus pulposus, dikelilingi oleh jaringan
fibrosa kuat anulus fibrosis. Diskus intervertebralis meredam gerakan antar vertebra dan
memungkinkan kolumna vertebra melengkung, fleksi, dan menekuk. Fleksibilitas tulang belakang
terutama ditentukan oleh sudut faset sendi relative terhadap bidang korpus vertebra, dan bervariasi
sesuai ketinggian vertebra. Perhatikan bahwa kolumna vertebra membentuk sudut tajam di posterior
di taut lumbosakral dan menjadi tidak dapat digerakkan. Stres mekanis di sudut ini berperan
menimbulkan risiko herniasi dan subluksasi, atau terselip (spondilolistesis), L5 pada S1.

B. PEMERIKSAAN TULANG BELAKANG

1. Cara Pemeriksaan :
1. Inspeksi :
 Mulai dengan inspeksi postur, termasuk posisi leher dan batang tubuh saat pasien
memasuki ruangan
 Jelaskan kepada pasien pemeriksaan yang akan dilakukan dan prosedurnya
 Cuci tangan
 Minta pasien untuk berdiri dan membuka bajunya
 Mulai pemeriksaan dari leher dengan meminta pasien menggerakan lehernya ke bawah, ke
atas, samping kiri dan samping kanan, lihat apakah ada kekakuan gerak leher
 Minta pasien untuk berdiri membelakangi pemeriksa dan mulai pemeriksaan dengan
inspeksi dari belakang:
a. Lihat prosesus spinosus (biasanya paling terlihat di C7 dan T1)
b. Otot-otot paravertebral di kedua sisi garis tengah
c. Kepala iliaka (yang menonjol)
d. Posterior superior tulang iliaka, biasanya ditandai dengan adanya skin dimples
e. Servikal bentuk lordosis, toraksal bentuk kifosis, lumbal bentuk lordosis dan sakrum
kifosis (dilihat dari samping)

Gambar 2. Anatomi Columna Vertebralis

2. Palpasi tulang belakang dengan ibu jari; bisa dengan posisi duduk atau posisi berdiri:

101
Gambar 3. Palpasi spina: nyeri, bengkak atau peningkatan suhu

 Palpasi otot-otot paravertebral untuk melihat apakah ada nyeri atau spasme otot
 Palpasi prosesus spinosus apakah ada step deformity (penurunan prosesus spinosus)
 Periksa secara hati-hati di daerah lumbal apakah ada prosesus spinosus yang menonjol
(gibus) atau tidak terlihat menonjol (normal) sehubungan dengan tulang diatasnya
 Palpasi daerah sakroiliaka, biasanya ada skin dimples di sepanjang posterior superior tulang
iliaka
 Perkusi tulang belakang dari daerah servikal hingga lumbal untuk melihat adanya nyeri;
dilakukan dengan menggunakan sisi medial kepalan tangan

3. Range of Motion (ROM)


Pemeriksaan dilakukan secara aktif dan pasif
 Pemeriksaan aktif: pasien disuruh melakukan gerakan secara mandiri, menirukan gerakan
pemeriksa (sesuai instruksi pemeriksa)
 Pemeriksaan pasif: pemeriksa yang menggerakkan ekstremitas pasien

a. Leher
Dinilai apakah ada nyeri atau gangguan pergerakan
- Gerakan fleksi: Minta pasien untuk mendekatkan dagunya ke arah dada
Rentang normal fleksi leher 500

- Gerakan ekstensi: Minta pasien untuk melihat ke atas


Rentang normal ekstensi leher 600

- Gerakan rotasi: Minta pasien untuk melihat bahu kanan dan sebaliknya
Rentang normal rotasi leher

102
Ke kanan 800 Ke kiri 800

- Gerakan lateral bending: Minta pasien untuk mendekatkan telinga ke bahu kanan dan
sebaliknya

Rentang normal lateral bending 450

b. Kolumna Spinalis

Gambar 4. ROM Kolumna Spinalis

- Gerakan fleksi: minta pasien untuk membungkuk kedepan dan menyentuh jari-jari kaki
(kelengkungan) lumbal menjadi lebih datar)
- Gerakan ekstensi: minta pasien untuk mendongak kebelakang
- Gerakan rotasi: minta pasien berputar ke arah kiri dan kanan (stabilkan pelvis pasien
dengan menaruh kedua tangan pemeriksa di panggul kanan kiri pasien lalu putar batang
tubuh ke kanan dan ke kiri; atau pasien dalam posisi duduk langsung memutar tubuh ke
kanan dan kiri
- Gerakan fleksi ke lateral: minta pasien untuk fleksi ke lateral dari pinggang

2. Interpretasi Hasil :

1. Adanya deviasi dari posisi leher dan batang tubuh,( lateral atau putaran) menandakan
kelainan, seperti tortikolis atau skoliosis
2. Nyeri menandakan adanya fraktur atau dislokasi jika didahului oleh trauma, infeksi atau
arthritis.

103
3. Pergeseran pada spondilolistesis atau pergeseran sendi di satu vertebra kemungkinan dapat
menekan medula spinalis. Didapatkan step deformity.
4. Nyeri sendi sakroiliaka pada palpasi dapat menandakan adanya peradangan sendi
(sakroiliitis). Spondilitis ankylosis kemungkinan juga menyebabkan nyeri.
5. Nyeri pada perkusi dapat diakibatkan oleh fraktur pada osteoporosis, infeksi atau keganasan.
6. Adanya peningkatan kifosis toraksal perlu mencurigai adanya fraktur kompresi vertebra.
7. Spasme otot dapat terjadi akibat cedera, overuse, dan proses inflamasi dari otot, atau
kontraksi yang terus-menerus akibat postur yang abnormal.
8. Nyeri nervus sciatic kemungkinan akibat herniasi diskus atau massa lesi yang menekan
nervus yang bersangkutan.
9. Herniasi diskus intervertebralis sering terjadi di L5-S1 atau L4-L5, dapat menghasilkan nyeri
dan spasme otot-otot paravertebral serta nyeri rujukan ke ekstremitas bawah.
10. Nyeri pada sendi intervertebra dapat juga disebabkan artritis
11. Nyeri pada sudut costovertebral perlu mencurigai adanya gangguan pada ginjal.
12. Keterbatasan pada ROM mungkin diakibatkan oleh kekakuan akibat artritis, nyeri akibat
trauma, atau spasme otot.
13. Nyeri pada C1-C2 pada penderita artritis reumatoid meningkatkan risiko untuk terjadinya
subluksasi dan kompresi medula spinalis.
14. Pengukuran gerakan fleksi tulang belakang (Tes Schober): tandai di sendi lumbosakral, lalu
ukur 10 cm diatas dan 5 cm dibawah poin ini. Peningkatan sekitar 4 cm diantara 2 tanda ini
masuk dalam keadaan normal.

A. PEMERIKSAAN PELVIS

1. Cara Pemeriksaan
- Jelaskan kepada pasien pemeriksaan yang akan dilakukan dan prosedurnya
- Minta pasien untuk berdiri dan membuka bajunya
- Observasi bagian lumbal untuk melihat adanya lordosis ringan.
- Inspeksi permukaan anterior dan posterior dari panggul untuk melihat adanya atrofi otot
atau adanya memar.
- Palpasi bagian anterior dari panggul.
 Kenali dulu krista iliaka di batas atas pelvis sejajar dengan L4
 Identifikasi sias (spina iliaka anterior superior), kemudian identifikasi trochanter dari
femur
 Identifikasi simfisis pubis yang berada sejajar dengan trochanter femur
- Palpasi bagian posterior dari panggul
 Palpasi posterior superior tulang iliaka langsung di bawah dimple yang terlihat persis di
atas bokong
 Identifikasi tuberositas ischial dengan pedoman lipatan gluteal
 Sendi sakroiliaka dapat di palpasi untuk mendeteksi nyeri
- Periksakan Range of Motion (ROM) panggul pasien (materi KKD Semester III)

104
Gambar 5. Anatomi Pelvis

B. PEMERIKSAAN LUTUT

1. Cara Pemeriksaan
a. Inspeksi
- Amati cara berjalan pasien untuk melihat apakah terdapat aliran gerak yang lancar dan
berirama pada saat pasien memasuki ruang periksa.
- Cek kesejajaran (alignment) dan kontur sendi lutut, amati setiap atrofi pada muskulus
kuadriseps
- Cari tanda hilangnya cekungan normal disekitar patella yang merupakan tanda
pembengkakan pada sendi lutut

Gambar 6. Patella tampak anterior Gambar 7. Patella sinistra tampak medial

b. Palpasi
- Minta pasien untuk duduk pada tepi meja periksa dengan kedua sendi lutut berada dalam
keadaan fleksi
- Lakukan palpasi ligamentum, tepi meniskus, dan bursa sendi lutut dengan memberikan
perhatian yang khusus pada setiap daerah dengan nyeri tekan. Rasa nyeri merupakan
keluhan utama pada permasalahan sendi lutut, dan penentuan lokasi struktur yang
menyebabkan nyeri amat penting untuk menghasilkan evaluasi yang akurat.

105
- Lakukan pemeriksaan untuk menilai kompartemen medial dan lateral artikulasio
tibiofemoralis.
 Fleksikan sendi lutu pasien hingga sudut 90o
 Palpasi ligamentum kolateral medialis (LKM) yang terdapat diantara epikondilus
medialis femur dan os femur
 Kemudian lakukan palpasi ligamentum kolateral lateralis yang mirip seperti tali serta
terletak diantara epikondilus lateralis femur dan kaput fibula.
- Lakukan palpasi meniskus medialis dan lateralis disepanjang garis sendi lateral dan
medial. Palpasi menskus medialis lebih mudah dilakukan jika os tibia berada dalam
keadaan rotasi internal. Perhatikan setiap embengkakan atau nyeri tekan yang ada
- Perhatikan setiap tonjolan tulang yang tidak teratur di sepanjang tepi sendi
- Coba untuk meraba setiap penebalan atau pembengkakan pada kavum supra patela dan
di sepanjang sisi patella. Mulailah 10 cm diatas margo superior patella, nilai ada tidaknya
pembengkakan atau nyeri tekan

2. Teknik Untuk Memeriksa Sendi Lutut

a. Ligamentum Kolateral Medialis (LKM)


- Tes Stres Abduksi
 Pasien berbaring terlentang dan sendi lutut sedikit difleksikan, gerakan paha ke lateral
hingga sudut 30o pada sisi meja pemeriksa
 Tempatkan satu tangan pada sisi lateral sendi lutut untuk menstabilkan os femur
sementara tangan yang lain memegangn daerah disekitar sisi medial pergelangan kaki.
 Lakukan dorongan ke medial pada sendi lutut sementara pergelangan kaki ditarik ke
lateral untuk membuka sendi lutut tersebut pada sisi medialnya (stres valgus)

Gambar 8. Pemeriksaan ligamentum kolateral medialis

b. Ligamentum Kolateral Lateralis (LKL)


- Tes Stres Adduksi
 Paha dan sendi lutut berada dalam posisi yang sama, gantilah posisi anda agar anda
dapat menempatkan satu tangan pada permukaan medial sendi lutut sementara
tangan yang lain berada di sekitar sisi lateral pergelangan kaki
 Lakukan dorongan ke medial paha sendi lutut sementara pergelangan kaki diarik ke
lateral untuk membuka sendi lutut sementara pergelangan kaki di tarik ke lateral untuk
membuka sendi lutut tersebut pada sisi lateralnya (stress varus)

Gambar 9. Pemeriksaan ligamentum kolateral lateral

106
c. Ligamentum Krusiatum Anterior (LKA)
- Anterior Drawer Sign
 Pasien berbaring terlentang, sendi pangkal paha difleksikan hingga sudut 90o dan
telapak kaki di letakkan rata pada meja pemeriksa
 Tangkupkan kedua tangan anda di sekitar sendi lutut dengan kedu ibu jari tangan
berada pada sisi medial serta lateral garis sendi dan jari – jari tangan pada insersi
medialis serta lateralis otot hamstring
 Tarik os tibia ke depan dan perhatikan apakah tulang tersebut bergeser ke depan
(seperti laci meja) dari bawah os femur
 Bandingkan derajat gerakan ke depan pada sendi lutut yang lain

Gambar 10. Pemeriksaan ligamentumkrusiatum anterior / Anterior Drawer Sign

- Tes Lachman
 Tempatkan sendi lutut pasien dalam posisi fleksi dengan sudut 15o dan rotasi
eksternal.
 Pegang bagian distal os femur dengan satu tangan sementara tangan yang lain
memegang bagian proksimal os tibia
 Dengan ibu jari tangan yang memegang tibial berada pada garis sendi, secara
bersamaan gerakkan os tibia ke depan dan os femur ke belakang
 Nilai derajat penyimpangan ke depan

Gambar 11. Pemeriksaan ligamentumkrusiatum anterior/ Lachman Test

107
d. Ligamentum Krusiatum Posterior (LKP)
- Posterior Drawer Sign
 Pasien berbaring terlentang, sendi pangkal paha difleksikan hingga sudut 90o dan
telapak kaki di letakkan rata pada meja pemeriksa
 Tangkupkan kedua tangan anda di sekitar sendi lutut dengan kedu ibu jari tangan
berada pada sisi medial serta lateral garis sendi dan jari – jari tangan pada insersi
medialis serta lateralis otot hamstring
 Dorong os tibia ke posterior dan perhatikan derajat gerakan ke belakang pada os
femur

Gambar 12. Posterior Drawer Sign

e. Medialis dan Meniskus Lateralis


- Tes McMurray
 Dengan pasien berbaring terlentang
 Pegang tumit dan fleksikan sendi lututnya
 Pemeriksa meletakkan tangan yang lain pada sendi lutut pasien dengan jari jari tangan
dan ibu jari berada di sepanjan sisi medial dan lateral garis sendi
 Pada tumit, lakukan rotasi internal dan eksternal tungkai bawah
 Kemudian dorong pada sisi lateral untuk memeberikan stres valgus di sisi medial sendi
tersebut
 Pada saat yang sama lakukan rotasi eksternal tungkai tersebut dan dengan perlahan
ekstensikan tungkai ini
 Jika bunyi klik terasa atau terdengar pada garis sendi ketika sendi lutut difleksikan dan
diekstensikan, atau bila
terdapat nyeri tekan di sepanjang
garis sendi maka lakukan
pemeriksaan lebih lanjut terhadap
kondisi meniskus untuk
menemukan ruptura posterior.

Gambar 13. McMurray Test

108
C. PEMERIKSAAN ANKLE DAN KAKI

1. Cara Pemeriksaan :
a. Inspeksi
Inspeksi daerah pergelangan kaki dan kaki, perhatikan apakah terdapat deformitas,
pembengkakan, nodule dan atau callus.

b. Palpasi
- Palpasi dengan menggunakan kedua ibu jari pada bagian anterior dari pergelangan kaki
dan perhatikan adakah pembengkakan dan nyeri. Nyeri lokal dapat ditemukan pada kasus
arthritis, cedera ligament, atau infeksi daerah pergelangan kaki.
- Palpasi juga dilakukan di sendi-sendi Metatarsofalang dengan cara menekan kaki dengan
menggunakan ibu jari dan jari telunjuk. Nyeri yang didapatkan oleh karena penekanan
bisa menjadi pertanda stadium awal dari RA atau inflamasi akut yang disebabkan oleh
gout.

Gambar 14. Pemeriksaan pergelangan kaki dan kaki

c. Pengukuran discrepancy (kesenjangan panjang anggota gerak)


Pengukuran anggota badan baik ektremitas atas atau bawah bertujuan untuk melihat
kelaianan sendi atau pemendekan akibat suatu kelainan.
Caranya:
- Membandingkan ukuran kiri dan kanan dengan melihat perbedaan tonjolan atau sendi-
sendi tertentu, seperti lutut kiri dengan lutut kanan, siku kiri dengan siku kanan, ankle kiri
dengan ankle kanan. Misalnya contoh gambar dibawah dimana A tampak perbedaan
ukuran tibia, dan B tampak perbedaan femur.

Gambar 15. Tibial dan femur length discrepancy

- Mengukur dengan pasti,


Appereance length : perbedaan jarak ukuran antara umbilicus dan maleolus medial
True length : perbedaan jarak antara SIAS dan maleolus medial.

109
Gambar 16. Appereance and true length method

D. STABILISASI FRAKTUR (TANPA GIPS)

Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan adalah bantuan pertama yang diberikan kepada orang
yang cedera akibat kecelakaan dengan tujuan menyelamatkan nyawa, menghindari cedera atau
kondisi yang lebih parah dan mempercepat penyembuhan. Ekstremitas yang mengalami trauma
harus diimobilisasi dengan bidai. Bidai(Splint atau spalk) adalah alat yang terbuat dari kayu, logam
atau bahan lain yang kuat tetapi ringan untuk imobilisasi tulang yang patah dengan tujuan
mengistirahatkan tulang tersebut dan mencegah timbulnya rasa nyeri.
Tanda tanda fraktur atau patah tulang :
- Bagian yang patah membengkak (oedema).
- Daerah yang patah terasa nyeri (dolor).
- Terjadi perubahan bentuk pada anggota badan yang patah.
- Anggota badan yang patah mengalami gangguan fungsi (fungsiolesia).

1. Tujuan Pembidaian:
Mahasiswa menguasai penggunaan bidai untuk imobilisasi dengan maksud :
a. Mencegah pergerakan atau pergeseran fragmen atau bagian tulang yang patah.
b. Menghindari trauma soft tissue (terutama syaraf dan pembuluh darah pada bagian distal yang
cedera) akibat pecahan ujung fragmen tulang yang tajam.
c. Mengurangi nyeri
d. Mempermudah transportasi dan pembuatan foto rontgen.
e. Mengistirahatkan anggota badan yang patah.

2. Macam – Macam Bidai:


- Splint improvisasi
Tongkat: payung, kayu, koran, majalah
Dipergunakan dalam keadaan emergency untuk memfiksasi ekstremitas bawah atau lengan
dengan badan.
- Splint konvensional
Universal splint extremitas atas dan bawah

110
Gambar 17. Splint Konvensional

3. Persiapan Pembidaian:
- Periksa bagian tubuh yang akan dipasang bidai dengan teliti dan periksa status vaskuler dan
neurologis serta jangkauan gerakan.
- Pilihlah bidai yang tepat.
o Alat alat pokok yang dibutuhkan untuk pembidaian
o Bidai atau spalk terbuat dari kayu atau bahan lain yang kuat tetapi ringan.
o Pembalut segitiga.
o Kasa steril.

4. Prinsip Pembidaian:
- Pembidaian menggunakan pendekatan atau prinsip melalui dua sendi, sendi di sebelah
proksimal dan distal fraktur.
- Pakaian yang menutupi anggota gerak yang dicurigai cedera dilepas, periksa adanya luka
terbuka atau tanda-tanda patah dan dislokasi.
- Periksa dan catat ada tidaknya gangguan vaskuler dan neurologis (status vaskuler dan
neurologis) pada bagian distal yang mengalami cedera sebelum dan sesudah pembidaian.
- Tutup luka terbuka dengan kassa steril.
- Pembidaian dilakukan pada bagian proximal dan distal daerah trauma (dicurigai patah atau
dislokasi).
- Jangan memindahkan penderita sebelum dilakukan pembidaian kecuali ada di tempat bahaya.
Jangan menambahkan gerakan pada area yang sudah dicurigai adanya fraktur (Do no harm).
- Beri bantalan yang lembut pada pemakaian bidai yang kaku.
 Periksa hasil pembidaian supaya tidak terlalu longgar ataupun terlalu ketat sehingga
menjamin pemakaian bidai yang baik.
 Perhatikan respons fisik dan psikis pasien.

5. Syarat Pembidaian:
- Siapkan alat alat selengkapnya.
- Sepatu dan seluruh aksesoris korban yang mengikat harus dilepas.
- Bidai meliputi dua sendi tulang yang patah, sebelumnya bidai diukur dulu pada anggota badan
kontralateral korban yang sehat.

111
- Ikatan jangan terlalu keras atau terlalu longgar.
- Sebelum dipasang, bidai dibalut dengan kain pembalut.
- Ikatan harus cukup jumlahnya, dimulai dari sebelah atas dan bawah tulang yang patah.
- Kalau memungkinkan anggota gerak tersebut ditinggikan setelah dibidai.
- Penggunaan bidai , jumlah 2 bidai saja diperbolehkan , tetapi 3 bidai akan lebih baik dan stabil,
(Hanya prinsip nya adalah dalam pemasangan bidai tidak boleh menambah pergerakan atau
nyeri pada pasien)

6. Contoh Penggunaan Bidai:


a. Fraktur humerus (patah tulang lengan atas).
Pertolongan :
 Letakkan lengan bawah di dada dengan telapak tangan menghadap ke dalam.
 Pasang bidai dari siku sampai ke atas bahu.
 Ikat pada daerah di atas dan di bawah tulang yang patah.
 Lengan bawah digendong.
 Jika siku juga patah dan tangan tak dapat dilipat, pasang spalk ke lengan bawah dan biarkan
tangan tergantung tidak usah digendong.
 Bawa korban ke rumah sakit.

Gambar 18. Pemasangan bidai pada fraktur humerus

b. Fraktur Antebrachii (patah tulang lengan bawah).


Pertolongan:
 Letakkan tangan pada dada.
 Pasang bidai dari siku sampai punggung tangan.
 Ikat pada daerah di atas dan di bawah tulang yang patah.
 Lengan digendong.
 Bawa korban ke rumah sakit.
Gambar 19b. Pemasangan
bidai pada fraktur antebrachii
kondisi pasien datang
dalam keaadan sudah elbow
flexi, sehingga tidak boleh
meluruskan elbow nya. Cukup
dilakukan bidai langsung
melewati 2 sendi wrist dan
elbow pada kondisi elbow flexi
dan bisa ditambahkan mitella
tanpa mengangkat lengan

Gambar 19a. Pemasangan bidai pada fraktur antebrachii

112
Gambar 20. Pemasangan sling / Mitella untuk menggendong lengan yang cedera, seperti pada kasus fraktur antebrachii yg
telah dipasang bidai pada posisi elbow flexi atau fraktur clavicula yg belum dipasang ransel verban

c. Fraktur clavicula (patah tulang selangka)


Tanda-tanda patah tulang selangka :
- Korban tidak dapat mengangkat tangan sampai ke atas bahu.
- Nyeri tekan daerah yang patah.
Pertolongan :
- Dipasang ransel verban.
- Bagian yang patah diberi alas lebih dahulu.
- Pembalut dipasang dari pundak kiri disilangkan melalui punggung ke ketiak kanan.
- Dari ketiak kanan ke depan dan atas pundak kanan, dari pundak kanan disilangkan ke ketiak
kiri, lalu ke pundak kanan,akhirnya diberi peniti/ diikat.
- Bawa korban ke rumah sakit.

Gambar 21. Ransel verban


d. Fraktur Femur
Pertolongan :
- Pasang bidai (melewati dua sendi) dari proksimal sendi panggul hingga melalui lutut.
- Beri bantalan kapas atau kain antara bidai dengan tungkai yang patah.
- Bila perlu ikat kedua kaki di atas lutut dengan pembalut untuk mengurangi pergerakan.
- Bawa korban ke rumah sakit.

113
Gambar 22. Pemasangan bidai pada fraktur femur, (melewati dua sendi) dari proksimal sendi panggul hingga melalui lutut.

e. Fraktur Cruris
Pertolongan :
- Pasang bidai sebelah dalam dan sebelah luar tungkai kaki yang patah, kadang juga bisa
ditambahkan pada sisi posterior dari tungkai ( syarat : do no harm ) .
- Di antara bidai dan tungkai beri kapas atau kain sebagai alas.
- Bidai dipasang mulai dari sisi proximal sendi lutut hingga distal dari pergelangan kaki.
- Bawa korban ke Rumah Sakit.

Gambar 23. Pemasangan bidai pada fraktur cruris, bidai dipasang mulai dari sisi proximal sendi lutut hingga distal dari
pergelangan kaki.

7. Observasi Setelah Tindakan :


- Tanyakan kepada pasien apakah sudah merasa nyaman dengan bebat dan bidai yang dipasang,
apakah nyeri sudah berkurang, apakah terlalu ketat atau terlalu longgar.
- Bila pasien masih merasakan bidai terlalu keras, tambahkan kapas di bawah bidai.
- Longgarkan bebat jika dirasakan terlalu kencang.
- Lakukan re-evaluasi terhadap ekstremitas di sebelah distal segera setelah memasang bebat
dan bidai, meliputi :
 Warna kulit di distal
 Fungsi sensorik dan motorik ekstremitas.
 Pulsasi arteri
 Pengisian kapiler

114
- Perawatan rutin terhadap pasien pasca pemasangan bebat dan bidai adalah elevasi
ekstremitas secara rutin, pemberian obat analgetika dan anti inflamasi, serta anti pruritik
untuk mengurangi rasa gatal dan untuk mengurangi nyeri.
- Berikan instruksi kepada pasien untuk menjaga bebatnya dalam keadaan bersih dan kering
serta tidak melepasnya lebih awal dari waktu yang diinstruksikan dokter.

E. CHECKLIST PENILAIAN

No Aspek Keterampilan yang Dinilai Skor


0 1 2
I Interaksi Dokter Pasien
1 Senyum, salam, sapa
2 Beritahu kepada pasien mengenai tindakan (prosedur singkat) yang akan dilakukan dan
persetujuan tindakan (informed consent)

II Pemeriksaan Tulang Belakang


3 Menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan
4 Meminta pasien untuk melepaskan bajunnya
5 Mulai pemeriksaan dari leher dengan meminta pasien menggerakan lehernya ke bawah, ke
atas, samping kiri dan samping kanan, lihat apakah ada kekakuan gerak leher
6 Minta pasien untuk berdiri membelakangi pemeriksa dan mulai pemeriksaan dengan
inspeksi dari belakang
7 Mempalpasi tulang belakang dengan ibu jari; bisa dengan posisi duduk atau posisi berdiri
8 Menilai ROM aktif dan pasif
9 Menilai gerakan fleksi, ekstensi, rotasi, dan lateral bending dari leher
10 Menilai gerakan fleksi, ekstensi, rotasi, dan fleksi lateral dari kolumna vertebralis
11 Mencatat, melaporkan, dan membuat kesimpulan hasil yang didapat

III Pemeriksaan Pelvis


12 Menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan
14 Meminta pasien berdiri dan melepaskan bajunya
13 Mengobservasi bagian lumbal untuk melihat adanya lordosis ringan
14 Menginspeksi permukaan anterior dan posterior dari panggul untuk melihat adanya atrofi
otot atau adanya memar
15 Mempalpasi bagian anterior dari panggul
16 Mempalpasi bagian posterior dari panggul
17 Mencatat, melaporkan, dan membuat kesimpulan hasil yang didapat

IV Pemeriksaan Lutut
18 Menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan
19 Melakukan Inspeksi kesejajaran dan kontur sendi lutut, Cari tanda hilangnya cekungan
normal disekitar patella yang merupakan tanda pembengkakan pada sendi lutut
20 Melakukan palpasi ligamentum, tepi meniskus, dan bursa sendi lutut dengan memberikan
perhatian yang khusus pada setiap daerah dengan nyeri tekan
21 Meakukan pemeriksaan untuk menilai kompartemen medial dan lateral artikulasio
tibiofemoralis
22 Melakukan palpasi meniskus medialis dan lateralis disepanjang garis sendi lateral dan
medial
23 Mencatat, melaporkan, dan membuat kesimpulan hasil yang didapat

V Pemeriksaan Ankle dan Kaki


24 Melakukan inspeksi daerah pergelangan kaki dan kaki, perhatikan apakah terdapat

115
deformitas, pembengkakan, nodule dan atau calus
25 Lakukan palpasi dengan menggunakan kedua ibu jari pada bagian anterior dari pergelangan
kaki. Perhatikan adakah pembengkakan dan nyeri. Palpasi sendi metatarsofalang dengan
menekan kaki dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk. Perhatikan adakah
pembengkakan dan nyeri

VI Profesionalisme
26 Melakukan dengan penuh percaya diri
27 Melakukan dengan kesalahan minimal
Jumlah Skor

Keterangan Skor :
0. Tidak dilakukan mahasiswa
1. Dilakukan, tapi belum sempurna
2. Dilakukan dengan sempurna, atau bila aspek tersebut tidak dilakukan mahasiswa karena
situasi yang tidak memungkinkan (misalnya tidak diperlukan dalam skenario yang sedang
dilaksanakan).

Jumlah Skor
Nilai Mahasiswa = x 100%
54

116

Anda mungkin juga menyukai