Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Konjungtivitis adalah inflamasi jaringan konjungtiva yang dapat disebabkan


oleh invasi mikroorganisme (virus, bakteri, jamur, chlamidia), iritasi dari bahan-
bahan kimia seperti terkena serpihan kaca yang debunya beterbangan sehingga
mengenai mata dan menyebabkan iritasi, reaksi hipersensitivitas atau perubahan
degeneratif di konjungtiva. Pasien biasanya mengeluh mata merah, edema
konjungtiva dan keluar sekret berlebih. Gejala tersebut terjadi akibat dilatasi
vaskular, infiltrasi selular dan eksudasi (Azari AA dan Barney NP. 2013).

Konjungtivitis merupakan penyakit mata paling umum didunia. Penyakit


konjungtivitis ini berada pada peringkat ketiga terbesar di dunia setelah penyakit
katarak dan glaucoma (Ilyas, 2015). Berdasarkan data Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Penyakit di Amerika Serikat menyatakan bahwa pada tahun 2008,
menunjukkan peningkatan penderita yang lebih besar yaitu sekitar 135 per 10.000
penderita baik pada anak-anak maupun pada orang dewasa dan juga lanjut usia
(Lolowang, 2014). Di Indonesia konjungtivitis menduduki peringkat 9 dari 10
besar penyakit rawat jalan terbanyak pada tahun 2010 tetapi belum ada data
statistik mengenai jenis konjungtivitis yang paling banyak dan akurat. Fakta di
lapangan, konjungtivitis yang dinilai para dokter spesialis mata sering terjadi
adalah konjungtivitis alergi yang disebabkan oleh alergan, salah satunya
kandungan debu yang tinggi pada udara di daerah tertentu. Dari 87.513 pasien
yang berkunjung ke poli mata, 77,7% adalah kasus konjungtivitis, dengan 44,5%
kasus pada laki-laki dan 55,5% kasus pada perempuan (Kemenkes RI., 2010).
Berdasarkan Bank Data Departemen Kesehatan Indonesia (2013) jumlah pasien
rawat jalan konjungtivitis sebesar 28,3%..

Dampak konjungtivitis apabila tidak diobati dalam 12 sampai 48 jam setelah


infeksi di mulai, mata akan menjadi merah dan nyeri. Setelah itu, bisa terbentuk
ulkus kornea, abses, perforasi mata bahkan kebutaan dan katarak (A. Zahrotul,
2015).

1
Perawatan mata juga termasuk dalam personal hygiene yang perlu
diperhatikan dalam masyarakat. Untuk mencegah dan menghindari komplikasi
dan dampak dari konjungtivitis, maka masyarakat perlu mempunyai pengetahuan
tentang bagaimana penatalaksanaan konjungtivitis dengan baik, karena saat ini
masih banyak orang yang mempersepsikan konjungtivitis dengan pemahaman
yang kurang tepat terutama dalam pengobatannya.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi, Histologi dan Fisiologi Konjungtiva


Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva palpebralis
melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi
superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks
superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera menjadi
konjungtiva bulbaris. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbital
di forniks dan melipat berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan
bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik.
Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel goblet.
Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea. Dari kelopak mata
bagian dalam, konjungtiva terlipat ke bola mata baik dibagian atas maupun
bawah. Refleksi atau lipatan ini disebut dengan forniks superior dan inferior.
Forniks superior terletak 8-10 mm dari limbus sedangkan forniks inferior
terletak 8 mm dari limbus. Lipatan tersebut membentuk ruang potensial yang
disebut dengan sakkus konjungtiva, yang bermuara melalui fissura palpebra
antara kelopak mata superior dan inferior. Pada bagian medial konjungtiva,
tidak ditemukan forniks, tetapi dapat ditemukan karunkula dan plika
semilunaris yang penting dalam sistem lakrimal. Pada bagian lateral, forniks
bersifat lebih dalam hingga 14 mm dari limbus. (Vaughan, D. dan Asbury, T,
2015).
Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian yaitu konjungtiva
palpebral, konjungtiva bulbi dan konjungtiva forniks. Konjungtiva palpebral
mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian posterior
kelopak mata yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi menjadi
konjungtiva. Dari titik ini, konjungtiva melapisi erat permukaan dalam

3
kelopak mata. Konjungtiva palpebra dapat dibagi lagi menjadi zona marginal,
tarsal, dan orbital. Konjungtiva marginal dimulai pada mucocutaneus junction
hingga konjungtiva proper. Punktum bermuara pada sisi medial dari zona
marginal konjungtiva palpebra sehingga terbentuk komunikasi antara
konjungtiva dengan sistem lakrimal. Kemudian zona tarsal konjungtiva
merupakan bagian dari konjungtiva palpebralis yang melekat erat pada tarsus.
Zona ini bersifat sangat vaskuler dan translusen. Zona terakhir adalah zona
orbital, yang mulai dari ujung perifer tarsus hingga forniks. Pergerakan bola
mata menyebabkan perlipatan horisontal konjungtiva orbital, terutama jika
mata terbuka. Secara fungsional, konjungtiva palpebra merupakan daerah
dimana reaksi patologis bisa ditemui. Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan
mudah digerakkan dari sklera dibawahnya. Konjungtiva bulbi dimulai dari
forniks ke limbus, dan bersifat sangat translusen sehingga sklera dibawahnya
dapat divisualisasikan. Konjungtiva bulbi melekat longgar dengan sklera
melalui jaringan alveolar, yang memungkinkan mata bergerak ke segala arah.
Konjungtiva bulbi juga melekat pada tendon muskuler rektus yang tertutup
oleh kapsula tenon. Sekitar 3 mm dari limbus, konjungtiva bulbi menyatu
dengan kapsula tenon dan sklera. Konjungtiva forniks merupakan tempat
peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan
konjungtiva palpebra yang melekat erat pada struktur sekitarnya konjungtiva
forniks ini melekat secara longgar dengan struktur di bawahnya yaitu fasia
muskulus levator palpebra superior serta muskulus rektus. Karena
perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva forniks dapat bergerak
bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi (Suhardjo SU,
Hartono, 2007).

4
Gambar 2.1 Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri


palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak
vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-
jaring vaskuler konjungtiva yang sangat banyak. Pembuluh limfe konjungtiva
tersusun didalam lapisan superfisial dan profundus dan bergabung dengan
pembuluh limfe palpebra membentuk pleksus limfatikus. Konjungtiva
menerima persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu nervus
oftalmikus. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.

Gambar 2.2 Vaskularisasi Konjungtiva

Secara histologis konjungtiva terdiri atas epitel dan stroma. Lapisan


epitel konjungtiva terdir atas 2-5 lapisan sel epitel silindris bertingkat,

5
superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, diatas
caruncula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata
terdiri atas sel-sel epitel skuamous bertingkat. Sel-sel superfisial mengandung
sel-sel goblet bulat dan oval yang mensekresi mukus. Mukus yang terbentuk
mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata
prakornea secara merata.

Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial


dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen. Lapisan stroma di bagi
menjadi 2 lapisan yaitu lapisan adenoid dan lapisan fibrosa. Lapisan adenoid
mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung
struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak
berkembang sampai setelah bayi berumur 2-3 bulan. Hal ini menjelaskan
konjungtivitis inklusi pada nenonatus bersifat papilar bukan folikular dan
mengapa kemudian menjadi folikular. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan
penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran
reaksi papilar pada radang konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada
bola mata. Kelenjar lakrimal aksesorius (kelenjar krause dan wolfring), yang
struktur fungsinya mirip kelenjar lakrimal terletak di dalam stroma. Sebagian
besar kelenjar krause berada di forniks atas, sisanya di forniks bawah. Kelenjar
wolfring terletak di tepi tarsus atas (Dzunic B, Jovanovic P, et al., 2010).

2.2 Definisi Konjungivitis

Konjungtivitis lebih dikenal sebagai pink eye, yaitu adanya inflamasi


pada konjungtiva atau peradangan pada konjungtiva yang disebabkan oleh
invasi mikroorganisme (virus, bakteri, jamur, chlamidia), iritasi dari bahan-
bahan kimia seperti terkena serpihan kaca yang debunya beterbangan sehingga
mengenai mata dan menyebabkan iritasi, reaksi hipersensitivitas atau
perubahan degeneratif di konjungtiva (Azari AA dan Barney NP. 2013).

Konjungtivitis adalah peradangan selaput bening yang menutupi


bagian putih mata dan bagian dalam kelopak mata. Peradangan tersebut

6
menyebabkan timbulnya berbagai macam gejala seperti keluarnya secret, mata
merah dan lainnya. Konjungtivitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi,
jamur, atau kontak dengan benda asing, misalnya kontak lensa (Suhardjo SU,
Hartono, 2007).

Gambar 2.3 Konjungtivitis

2.3 Epidemiologi
Penyakit konjungtivitis ini berada pada peringkat no.3 terbesar di dunia
setelah penyakit katarak dan glaucoma (Ilyas, 2015). Berdasarkan data Pusat
Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di Amerika Serikat menyatakan pada
tahun 2008, terjadi peningkatan penderita yang lebih besar yaitu sekitar 135
per 10.000 penderita, baik pada anak-anak maupun pada orang dewasa dan
juga lanjut usia (Lolowang, 2014).
Di Indonesia konjungtivitis menduduki peringkat 10 besar penyakit rawat
jalan terbanyak pada tahun 2009. Dari 135.749 pasien yang berkunjung ke
poli mata, 73% adalah kasus konjungtivitis (Kemenkes RI., 2009). Sedangkan
pada tahun 2010, konjungtivitis di Indonesia menduduki peringkat 9 dari 10
besar penyakit rawat jalan terbanyak, tetapi belum ada data statistik mengenai
jenis konjungtivitis yang paling banyak dan akurat. Fakta di lapangan,
konjungtivitis yang dinilai para dokter spesialis mata sering terjadi adalah
konjungtivitis alergi yang disebabkan oleh alergan, salah satunya kandungan

7
debu yang tinggi pada udara di daerah tertentu. Dari 87.513 pasien yang
berkunjung ke poli mata, 77,7% adalah kasus konjungtivitis, dengan 44,5%
kasus pada laki-laki dan 55,5% kasus pada perempuan (Kemenkes RI., 2010).

2.4 Patofisiologi
Konjungtiva selalu berhubungan dengan dunia luar. Kemungkinan
konjungtiva terinfeksi dengan mikroorganisme sangat besar. Pertahanan
Konjungtiva terutama oleh karena adanya tear film pada konjungtiva yang
berfungsi untuk melarutkan kotoran-kotoran dan bahan-bahan yang toksik
kemudian mengalirkan melalui saluran lakrimalis ke meatus nasi inferior.
Di samping itu tear film juga mengandung beta lysin, lysozym, IgA, IgG
yang berfungsi untung menghambat pertumbuhan kuman. Apabila ada
mikroorganisme patogen yang mampu menembus pertahanan tersebut hingga
terjadi infeksi konjungtiva yang disebut konjungtivitis (Ilyas, 2015).

2.1.5 Gambaran Klinis Konjungtivitis


Adapun gambaran klinis konjungtivitis secara umum ialah hyperemia,
discharge (sekret), chemosis (edema conjunctiva), epifora (pengeluaran
berlebih air mata), pseudoptosis, hipertrofi folikuler, hipertrofi papiler,
membrane dan pseudomembran, adenopati preauricular dan granuloma (Azari
AA dan Barney NP. 2013).
Hiperemia tampak pada semua bentuk konjungtivitis. Tetapi
penampakan/visibilitas dari pembuluh darah yang hiperemia, lokasi mereka,
dan ukurannya merupakan kriteria penting untuk diferensial diagnosa.
Hiperemia terjadi dari fornix ke limbus.

8
Gambar 2.4 Hiperemi pada konjungtivitis
Sekret yang dikeluarkan berasal dari eksudasi sel-sel radang. Kualitas dan
sifat alamiah eksudat (mukoid, purulen, berair, ropy, atau berdarah)
tergantung dari etiologinya. Adanya Chemosis mengarahkan kita secara kuat
pada konjungtivitis alergik akut tetapi dapat juga muncul pada konjungtivitis
gonokokal akut atau konjungtivitis meningokokal, dan terutama pada
konjungtivitis adenoviral. Chemosis dari konjungtiva bulbar dapat dilihat pada
pasien dengan trikinosis (Ilyas, 2015).

Gambar 2.5 Chemosis

Pengelualan air mata yang berlebihan atau lakrimasi yang tidak normal
(illacrimation) harus dapat dibedakan dari eksudasi. Biasanya lakrimasi
dicerminkan sebagai reaksi dari badan asing pada konjungtiva atau kornea
atau merupakan iritasi toksik. Juga dapat berasal dari sensasi terbakar atau
garukan atau juga dari gatal. Transudasi ringan juga ditemui dari pembuluh
darah yang hiperemia dan menambah aktifitas pengeluaran air mata. Jumlah

9
pengeluaran air mata yang tidak normal dan disertai dengan sekresi mukus
menandakan keratokonjungtivitis sika. Pseudoptosis atau kelopak mata atas
seperti akan menutup, disebabkan karena adanya infiltrasi sel-sel radang pada
palpebra superior maupun karena edema pada palpebra superior (Azari AA
dan Barney NP. 2013).
Hipertrofi folikuler terdiri dari hiperplasia limfoid lokal dengan lapisan
limfoid dari konjungtiva dan biasanya mengandung germinal center. Secara
klinis, folikel dapat dikenali sebagai struktur bulat, avaskuler putih atau abu-
abu. Pada pemeriksaan menggunakan slit lamp, pembuluh darah kecil dapat
naik pada tepi folikel dan mengitarinya. Terlihat paling banyak pada kasus
konjungtivitis viral dan pada semua kasus konjungtivitis klamidial kecuali
konjungtivitis inklusi neonatal, pada beberapa kasus konjungtivitis parasit, dan
pada beberapa kasus konjungtivitis toksik diinduksi oleh medikasi topikal
seperti idoxuridine, dipiverin, dan miotik. Folikel pada forniks inferior dan
pada batas tarsal mempunyai nilai diagnostik yang terbatas, tetapi ketika
diketemukan terletak pada tarsus (terutama tarsus superior), harus dicurigai
adanya konjungtivitis klamidial, viral, atau toksik (mengikuti medikasi
topikal) (Azari AA dan Barney NP. 2013).

Gambar 2.6 Hipertrofi folikel


Hipertrofi papiler adalah reaksi konjungtiva non spesifik yang muncul
karena konjungtiva terikat pada tarsus atau limbus di dasarnya oleh fibril.
Ketika pembuluh darah yang membentuk substansi dari papilla (bersama
dengan elemen selular dan eksudat) mencapai membran basement epitel,

10
pembuluh darah tersebut akan bercabang menutupi papila seperti kerangka
dari sebuah payung. Eksudat inflamasi akan terakumulasi diantara fibril,
membentuk konjungtiva seperti sebuah gundukan. Pada kelainan yang
menyebabkan nekrosis (contoh, trakoma), eksudat dapat digantikan oleh
jaringan granulasi atau jaringan ikat. Ketika papila berukuran kecil,
konjungtiva biasanya mempunyai penampilan yang halus dan merah normal.
Konjungtiva dengan papila berwarna merah sekali menandakan kelainan
disebabkan bakteri atau klamidia (contoh, konjungtiva tarsal yang berwarna
merah sekali merupakan karakteristik dari trakoma akut). Injeksi yang ditandai
pada tarsus superior, menandakan keratokunjungtivitis vernal dan
konjungtivitis giant papillary dengan sensitivitas terhadap lensa kontak; pada
tarsal inferior, gejala tersebut menandakan keratokonjungtivitis atopik. Papila
yang berukuran besar juga dapat muncul pada limbus, terutama pada area
yang secara normal dapat terekspos ketika mata sedang terbuka (antara jam 2
dan 4 serta antara jam 8 dan 10). Di situ gejala nampak sebagai gundukan
gelatin yang dapat mencapai kornea. Papila limbal adalah tanda khas dari
keratokonjungtivitis vernal tapi langka pada keratokonjungtivitis atopic
(Lolowang, 2014).

Gambar 2.7 Hipertrofi Papiler

11
Membran dan pseudomembran merupakan reaksi konjungtiva terhadap
infeksi berat atau konjungtivitis toksis. Terjadi oleh karena proses koagulasi
kuman/bahan toksik. Bentukan ini terbentuk dari jaringan epitelial yang
nekrotik dan kedua-duanya dapat diangkat dengan mudah baik yang tanpa
perdarahan (pseudomembran) karena hanya merupakan koagulum pada
permukaan epital atau yang meninggalkan permukaan dengan perdarahan saat
diangkat (membran) karena merupakan koagulum yang melibatkan seluruh
epitel.

Pada adenopati preauricular terjadi pada anak yang kena virus campak
(konjungtivitis, demam, batuk). Sedangkan granuloma adalah nodus stroma
konjungtiva yang meradang dengan area bulat merah dan terdapat injeksi
vaskular. Tanda ini dapat muncul pada kelainan sistemik seperti tuberkulosis
atau sarkoidosis atau mungkin faktor eksogen seperti granuloma jahitan
postoperasi atau granuloma benda asing lainnya. Granuloma muncul
bersamaan dengan bengkaknya nodus limfatikus preaurikular dan
submandibular pada kelainan seperti sindroma okuloglandular Parinaud
(Lolowang, 2014).

2.6 Klasifikasi Konjungtivitis


Secara klinis konjungtivitis dibagi menjadi 3 yaitu konjungtivitis akut
(karena bakteri Stapylococcus), konjungtivitis hiperakut (karena bakteri
Neisseria gonorrhoeae) dan konjungtivitis kronis (karena reaksi alergi dan
karena Chlamydia).
Berdasarkan penyebabnya konjungtivitis dapat dibagi menjadi beberapa
bagian yaitu konjungtivitis bakteri, konjungtivitis virus, konjungtivitis alergi,
konjungtivitis jamur dan konjungtivitis trachomatis.

.6.1 Konjungtivitis Bakteri

12
Konjungtivitis Bakteri adalah inflamasi konjungtiva yang disebabkan oleh
bakteri. Pada konjungtivitis ini biasanya pasien datang dengan keluhan mata
merah, sekret pada mata dan iritasi mata (James, 2005).
Konjungtivitis bakteri akut sering dijumpai dan biasanya sembuh dengan
sendirinya. Penyebab tersering adalah H. influenza, Streptococcus pneumonia,
Streptococcus aureus dan Moraxella. Gejalanya berupa mata merah, ngeres,
rasa panas dan keluar secret mucous (kental). Gambaran klinis konjungtivitis
bakteri akut meliputi injeksi konjungtiva, reaksi papil pada tarsus, secret
awalnya cair kemudian menjadi mukopurulen, erosi kornea bentuk pungtat
banyak terjadi. Pemeriksaan penunjangnya dengan pengecatan giemsa dan
ditemukan sel polimorfonuklear. Penatalaksanaanya biasanya membaik dalam
5 hari tanpa terapi pada kira-kira 60% kasus. Antibiotik sering diberikan untuk
memcepat penyembuhan dan mencegah reinfeksi (Ilyas, 2015).
Konjungtivitis bakteri hiperakut (Gonoblenorea) disebabkan oleh
Neisseria gonorrhoeae yang menyerang mukosa dan merupakan sexual
transmitted disease. Biasanya gonoblenorea terjadi pada bayi yang baru lahir
dan bayi baru lahir ini terinfeksi melalui jalan lahir dari ibu yang terinfeksi
bakteri Neisseria gonorrhoeae. Gambaran klinis berupa edema palpebra,
hiperemi konjungtiva hebat, secret purulent, profus
membran/pseudomembran, limfadenopati preaurikuler. Untuk menegakkan
diagnosa diperlukan pengambilan sekret mata lalu dilakukan pemerikasaan
laboratorium dengan pewarnaan Gram. Dari pemeriksaan laboratorium
tersebur ditemukan bakteri gram negatif berbentuk diplokokus. Istimewanya
bakteri ini bisa menembus kornea tanpa adanya lesi. Penatalaksanaanya
dengan pemberian penicillin procain 100.000 IU/ kgBB/injeksi (single dose).
Topikalnya dapat diberikan salep lefoproxasin, gentamicin. Tetesnya dapat
diberikan Cyrofloxaxin. Selain itu secret juga harus harus sering dibersihkan
(James, 2005).
Konjungtivitis bakteri kronis terjadi pada pasien dengan obstruksi duktus
lakrimalis dan dakriosistitis kronis, biasanya unilateral. Juga dapat terjadi pada
blefaritis kronis atau disfungsi kelenjar Meibom. Konjungtivitis bakterial

13
biasanya mulai pada satu mata kemudian mengenai mata yang sebelah melalui
tangan dan dapat menyebar ke orang lain. Penyakit ini biasanya terjadi pada
orang yang terlalu sering kontak dengan penderita, sinusitis dan keadaan
imunodefisiensi (Marlin, 2009).
Pada saat anamnesis yang perlu ditanyakan meliputi usia, karena mungkin
saja penyakit berhubungan dengan mekanisme pertahanan tubuh pada pasien
yang lebih tua. Pada pasien yang aktif secara seksual, perlu dipertimbangkan
penyakit menular seksual dan riwayat penyakit pada pasangan seksual. Perlu
juga ditanyakan durasi lamanya penyakit, riwayat penyakit yang sama
sebelumnya, riwayat penyakit sistemik, obat-obatan, penggunaan obat-obat
kemoterapi, riwayat pekerjaan yang mungkin ada hubungannya dengan
penyakit, riwayat alergi dan alergi terhadap obat-obatan, dan riwayat
penggunaan lensa-kontak (Marlin, 2009). Pada kebanyakan kasus
konjungtivitis bacterial, organism dapat diketahui dengan pemeriksaan
mikroskopik terhadap kerokan konjungtiva yang dipulas dengan pulasan Gram
atau Giemsa. Pemeriksaan ini mengungkapkan banyak neutrofil
polimorfonuklear. Kerokan konjungtiva untuk pemeriksaan mikroskopik dan
biakan disarankan untuk semua kasus dan diharuskan jika penyakit itu
purulen, bermembran atau berpseudomembran. Studi sensitivitas antibiotika
juga baik, namun sebaiknya harus dimulai terapi antibiotika empiric. Bila hasil
sensitifitas antibiotika telah ada, tetapi antibiotika spesifik dapat diteruskan
(Ilyas, 2015).
Komplikasi dari konjungtivitis bacteria adalah Blefaritis marginal kronik
yang sering menyertai konjungtivitis bateri, kecuali pada pasien yang sangat
muda yang bukan sasaran blefaritis. Parut di konjungtiva paling sering terjadi
dan dapat merusak kelenjar lakrimal aksesorius dan menghilangkan duktulus
kelenjar lakrimal. Hal ini dapat mengurangi komponen akueosa dalam film air
mata prakornea secara drastic dan juga komponen mukosa karena kehilangan
sebagian sel goblet. Luka parut juga dapat mengubah bentuk palpebra superior
dan menyebabkan trikiasis dan entropion sehingga bulu mata dapat
menggesek kornea dan menyebabkan ulserasi, infeksi dan parut pada kornea

14
(Vaughan, 2015). Konjungtivitis mudah menular, karena itu sebelum dan
sesudah membersihkan atau mengoleskan obat, penderita harus mencuci
tangannya bersih-bersih. Usahakan untuk tidak menyentuh mata yang sehat
sesudah menangani mata yang sakit. Jangan menggunakan handuk atau lap
bersama-sama dengan penghuni rumah lainnya.

2.6.2 Konjungtivitis Virus


Konjungtivitis viral adalah penyakit umum yang dapat disebabkan oleh
berbagai jenis virus, dan berkisar antara penyakit berat yang dapat
menimbulkan cacat hingga infeksi ringan yang dapat sembuh sendiri dan
dapat berlangsung lebih lama daripada konjungtivitis bakteri (Vaughan, 2015).
Konjungtivitis viral dapat disebabkan berbagai jenis virus, tetapi
adenovirus adalah virus yang paling banyak menyebabkan penyakit ini, dan
herpes simplex virus yang paling membahayakan. Selain itu penyakit ini juga
dapat disebabkan oleh virus Varicella zoster, picornavirus (enterovirus 70,
Coxsackie A24), poxvirus, dan human immunodeficiency virus (Scott, 2010).
Penyakit ini sering terjadi pada orang yang sering kontak dengan penderita
dan dapat menular melalu di droplet pernafasan, kontak dengan benda-benda
yang menyebarkan virus (fomites) dan berada di kolam renang yang
terkontaminasi (Ilyas, 2015).
Mekanisme terjadinya konjungtivitis virus ini berbeda-beda pada setiap
jenis konjungtivitis ataupun mikroorganisme penyebabnya. Mikroorganisme
yang dapat menyebabkan penyakit ini dijelaskan pada etiologi.
Gejala klinis pada konjungtivitis virus berbeda-beda sesuai dengan
etiologinya. Pada keratokonjungtivitis epidemik yang disebabkan oleh
adenovirus biasanya dijumpai demam dan mata seperti kelilipan, mata berair
berat dan kadang dijumpai pseudomembran. Selain itu dijumpai infiltrate
subepitel kornea atau keratitis setelah terjadi konjungtivitis dan bertahan
selama lebih dari 2 bulan (Vaughan, 2015). Pada konjungtivitis ini biasanya
pasien juga mengeluhkan gejala pada saluran pernafasan atas dan gejala
infeksi umum lainnya seperti sakit kepala dan demam. Pada konjungtivitis

15
herpetic yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (HSV) yang biasanya
mengenai anak kecil dijumpai injeksi unilateral, iritasi, sekret mukoid, nyeri,
fotofobia ringan dan sering disertai keratitis herpes. Konjungtivitis
hemoragika akut yang biasanya disebabkan oleh enterovirus dan coxsackie
virus memiliki gejala klinis nyeri, fotofobia, sensasi benda asing, hipersekresi
airmata, kemerahan, edema palpebra dan perdarahan subkonjungtiva dan
kadang-kadang dapat terjadi kimosis (Scott, 2010).
Diagnosis pada konjungtivitis virus bervariasi tergantung etiologinya,
karena itu diagnosisnya difokuskan pada gejala-gejala yang membedakan
tipetipe menurut penyebabnya. Dibutuhkan informasi mengenai, durasi dan
gejala-gejala sistemik maupun ocular, keparahan dan frekuensi gejala, faktor-
faktor resiko dan keadaan lingkungan sekitar untuk menetapkan diagnosis
konjungtivitis virus. Pada anamnesis penting juga untuk ditanyakan onset, dan
juga apakah hanya sebelah mata atau kedua mata yang terinfeksi.
Konjungtivitis virus sulit untuk dibedakan dengan konjungtivitis bakteri
berdasarkan gejala klinisnya dan untuk itu harus dilakukan pemeriksaan
lanjutan, tetapi pemeriksaan lanjutan jarang dilakukan karena menghabiskan
waktu dan biaya (Vaughan, 2015).
Pemeriksaan penunjang untuk konjungtivitis virus dengan menggunakan
pengecatan giemsa ditemukan sel limfosit dan monosit (sel mononuclear).
Konjungtivitis virus bisa berkembang menjadi kronis, seperti
blefarokonjungtivitis. Komplikasi lainnya bisa berupa timbulnya
pseudomembran, dan timbul parut linear halus atau parut datar, dan
keterlibatan kornea serta timbul vesikel pada kulit (Vaughan, 2015).
Konjungtivitis virus yang terjadi pada anak di atas 1 tahun atau pada
orang dewasa umumnya sembuh sendiri dan mungkin tidak diperlukan terapi,
namun antivirus topikal atau sistemik harus diberikan untuk mencegah
terkenanya kornea. Pasien konjungtivitis juga diberikan instruksi hygiene
untuk meminimalkan penyebaran infeksi (Scott, 2010).

2.6.3 Konjungtivitis Alergi

16
Konjungtivitis alergi adalah bentuk alergi pada mata yang paling sering
dan disebabkan oleh reaksi inflamasi pada konjungtiva yang diperantarai oleh
sistem imun. Reaksi hipersensitivitas yang paling seringterlibat pada alergi di
konjungtiva adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1.

2.6.3.1 Konjungtivitis Vernal


Konjungtivitis vernal yaitu konjungtivitis bilateral, rekuren, predominan
pada anak laki-laki (5-10 tahun). Alergen spesifik sulit diidentifikasi, tetapi
biasanya menunjukan manifestasi alergi terhadap serbuk sari rumput
rumputan. Kekambuhan yang parah sering terjadi pada musim semi, panas,
dan gugur. Pada iklim tropis hamper selalu ada sepanjang tahun.
Gejala dari konjungtivitis vernal adalah gatal, spasme palpebral,
fotofobia, kabur, dan keluar sekret mukoid. Secara klinis terdapat 2 bentuk
konjungtivitis vernal yaitu palpebral dan limbal. Pada palpebral keradangan
terutama pada konjungtiva palpebral dengan hipertrofi papiler dominan pada
palpebral superior daripada inferior, hiperemi konjungtiva dan kemosis. Pada
kasus yang parah, terdapat giant papil atau ‘cobblestone’ pada tarsus superior.
Tipe limba predominan pada ras Asia dan kulit hitam, limbus menebal, injeksi
vaskuler. Hipertrofi pada limbus yang terdiri degenerasi sel eosinophil dan
epitel disebut “Horner-Trantas dots”.
Pemerikasan penunjang dengan pengecatan giemsa dan ditemukan sel
eosinopil. Penatalaksanaannya pada kasus ringan dengan topikal
vasokontriksi-antihistamin dan kompres dingin. Untuk kasus sedang-berat
topikal sodium cromolyn, ketorolac 0,5%, lodoxamine 0,1% dan
kortikosteroid topikal dapat diberikan. Pasien dan keluarga harus diberi
informasi bahaya penggunaan topikal kortikosteroid yang lama.
Komplikasi yang terjadi pada kornea berupa erosi epitel pungtat di daerah
superior dan sentral yang sering terlihat panus, ulkus epitel dengan bentuk
oval dengan kekeruhan stroma pada daerah superior.

2.6.3.2 Konjungtivitis Atopi

17
Istilah ini digunakan pada pasien dengan atopi dermatitis yang juga
menderita konjungtivitis atopi. Diagnosis atopi dermatitis dengan tiga atau
lebih gambaran berikut : pruritus, lesi kulit yang khas pad daerah fleksor,
wajah atau ekstensor pada anak, dermatitis kronis, riwayat penderita/keluarga
atopi (asma, rhinitis alergi, dermatitis atopi).
Gambaran klinis sama dengan konjungtivitis vernal, dengan perbedaan
yaitu tak ada kekambuhan menurut musim, ukuran papil lebih kecil dan sama-
sama dominan pada palpebral superior dan inferior, edema konjungtiva
keputihan sering terlihat, vaskularisasi dan kekeruhan koernea yang luas dapat
terjadi, sitology didapatkan eosinophil lebih sedikit dan sering degranulasi.
Penatalaksanaan sama dengan konjungtivitis vernal.

2.6.3.3 Phlyctenulosis
Konjungtivitis phlyctenulosis adalah reaksi hipersensitif lambat akibat
respon terhadap protein mikroba, termasuk protein dari basilus tuberkel,
stafilokokus, Candida albican, Haemophilus aegypticus dan Chlamydia
trachomatis. Phlycten konjungtiva mulai dengan ukuran kecil (diameter 1-
3mm), nodul putih pink dan dikelilingi daaerah hiperemi. Sering terdapat pada
limbus, tetapi juga pada kornea, konjungtiva bulbi, dan jarang pada tarsus.
Konjungtivitis phlycten sering dipicu oleh blefaritis aktif, konjungtivitis
bakteri akut dan kekurangan gizi. Penatalaksanaannya yaitu terapi dengan
penyakit dasar. Steroid topikal digunakan untuk mengntrol gejala akut dan
mencegah sikatrik kornea.

2.6.4 Konjungtivitis Jamur


Konjungtivitis jamur paling sering disebabkan oleh Candida albicans dan
merupakan infeksi yang jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan adanya
bercak putih dan dapat timbul pada pasien diabetes dan pasien dengan
keadaan sistem imun yang terganggu. Selain Candida sp, penyakit ini juga

18
dapat disebabkan oleh Sporothrix schenckii, Rhinosporidium serberi, dan
Coccidioides immitis walaupun jarang (Vaughan, 2015).

2.6.5 Konjungtivitis Trachomatis (Trachoma)


Konjungtivitis trachomatis disebabkan oleh chlamydia trachomatis.
Predileksi dari chlamydia trachomatis adalah di daerah yang sanitasi airnya
jelek. Biasanya penyakit ini mengenai orang dengan hygiene buruk. Penyakit
ini termasuk penyakit yang mudah menular (infeksius) dan dapat
menyebabkan kebutaan. Trachoma dibagi menjadi beberapa stadium dengan
tanda dan gejala sebagai berikut (Ilyas, 2015):
i. Stadium I (Stadium Insipien)
Pada palpebra ditemukan hipertrofi papiler dan folikel imatur di tarsus
bagian atas. Dan terdapat eksudat tetapi hanya sedikit. Di limbus kornea
1/3 bagian atas didapatkan panus yang terdiri dari infiltrat dan
neovaskularisasi yang belum nyata.
ii. Stadium II A (Stadium Hipertrofi Folikuler)
Ditemukan hipertrofi papiler dan folikel matur di tarsus bagian atas.
Terdapat eksudat banyak bila terjadi infeksi sekunder. Di limbus kornea
1/3 bagian atas panus lebih jelas.
iii. Stadium II B (Stadium Hipertrofi Papiler)
Hipertofi papiler semakin jelas sehingga menutupi folikel. Hipertrofi
papiler lebih menonjol dan panus aktif nyata. Dengan adanya hipertrofi
papiler, permukaan konjungtiva menjadi berlipat-lipat, tidak licin, seperti
beludru.
iv. Stadium III (Stadium Sikatrik)
Mulai adanya sikatrik di subepitelial konjungtiva di palpebra, di tarsus
dan trachoma aktif. Tanda dari trachoma aktif adalah hiperemi, sekret,
panus aktif di bagian atas kornea dan herbets pit’s di limbus kornea 1/3
bagian atas. Sikatrik ada 3 bentuk yaitu leukoma (dapat dilihat dengan
mata telanjang), makula (dapat dilihat dengan pen light), dan nebula
(dilihat dengan menggunakan slit lamp).

19
v. Stadium IV
Infiltrat dan hipertopi folikel hilang, panus inaktif sikatrik tanpa
adanya tanda trachoma.
Penatalaksanaannya dapat diberikan tetracycline (kontraindikasi
tetracycline adalah anak yang gigi susunya belum tanggal dan ibu hamil). Jika
ada kontraindikasi maka tetracycline diganti dengan eritromisin.
Komplikasinya dapat terjadi sikatrik konjungtiva (entropin) dan trikiasis.

2.7 Komplikasi Konjungtivitis


Penyakit radang mata yang tidak segera ditangani/diobati bisa
menyebabkan kerusakan pada mata/gangguan pada mata dan menimbulkan
komplikasi. Beberapa komplikasi dari konjungtivitis yang tidak tertangani
diantaranya ulkus kornea, keratokonjungtivitis, keratitis epithelial, dan ablatio
Retina.
Selain itu juga dapat terjadi pembentukan jaringan parut konjungtiva, yang
kemudian dapat menimbulkan simblefaron, trichiasis, entropion, dan xerosis
konjungtiva. Komplikasi sistemik yang dapat seperti arthritis gonorrhoea,
endokarditis, dan septisemia (Vaughan, 2015).

2.8 Prognosis
Bila ditangani dengan cepat dan dapat menghindarkan komplikasi serta
penularan terutama pada infeksi mikroorganisme, maka prognosisnya akan
baik.
Konjungtivitis pada umumnya self limited disease artinya dapat sembuh
sendiri. Tanpa pengobatan biasanya sembuh dalam 10-14 hari. Bila diobati
sembuh dalam 1-3 hari.
Namun, konjungtivitis yang disebabkan bakteri S aureus, N meningitidis,
dan N gonorrhoeae akan menimbulkan komplikasi jika tidak diobati segera
(Ilyas, 2015).

20
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Konjungtivitis lebih dikenal sebagai pink eye, yaitu adanya inflamasi pada
konjungtiva atau peradangan pada konjungtiva yang disebabkan oleh invasi
mikroorganisme (virus, bakteri, jamur, chlamidia), iritasi dari bahan-bahan
kimia seperti terkena serpihan kaca yang debunya beterbangan sehingga
mengenai mata dan menyebabkan iritasi, reaksi hipersensitivitas atau
perubahan degeneratif di konjungtiva.

Konjungtiva selalu berhubungan dengan dunia luar. Kemungkinan


konjungtiva terinfeksi dengan mikroorganisme sangat besar. Pertahanan
Konjungtiva terutama oleh karena adanya tear film pada konjungtiva yang
berfungsi untuk melarutkan kotoran-kotoran dan bahan-bahan yang toksik
kemudian mengalirkan melalui saluran lakrimalis ke meatus nasi inferior. Di
samping itu tear film juga mengandung beta lysin, lysozym, IgA, IgG yang
berfungsi untung menghambat pertumbuhan kuman. Apabila ada

21
mikroorganisme patogen yang mampu menembus pertahanan tersebut hingga
terjadi infeksi konjungtiva yang disebut konjungtivitis.

Konjungtivitis dapat disebabkan oleh berbagai macam penyebab seperti


infeksi oleh bakteri (Neisseria gonnorhoeae, Neisseria kochii, Neisseria
meningitides, Streptococcus pneumonia, Haemophilus aegyptyus,
Corynebacterium diptherica dan lainnya), infeksi oleh virus (Varicella zoster,
picornavirus [enterovirus 70, Coxsackie A24], poxvirus, dan human
immunodeficiency virus), reaksi alergi, infeksi jamur dan reaksi kimia yang
iritatif.

Bila ditangani dengan cepat dan dapat menghindarkan komplikasi serta


penularan terutama pada infeksi mikroorganisme, maka prognosisnya akan
baik. Konjungtivitis pada umumnya self limited disease artinya dapat sembuh
sendiri. Tanpa pengobatan biasanya sembuh dalam 10-14 hari. Bila diobati
sembuh dalam 1-3 hari.

22
DAFTAR PUSTAKA

Azari AA dan Barney NP. 2013. Conjunctivitis:a systemic review of diagnosis


and treatment. JAMA; 310(6):1721.
Amadi, A., et al., 2009. Common Ocular Problems in Aba Metropolis of Albia
State, Eastern Nigeria. Federal Medical Center Owerri.
http://docsdrive.com/pdfs/medwelljournals/pjssci/2009/32-35.pdf.
Diakses pada 25 November 2017.
Dzunic B, Jovanovic P, et al. 2010. Analysis of pathohistological characteristics
of pterigium. Bosnian Journal Of Basic Medical Science;10(4):308-
13.
Ilyas, Sidarta. (2015). Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Badan Penerbit FK
James, Brus, dkk. 2005. Lecture Notes Oftalmologi Edisi 9. Jakarta: Erlangga.
Jatla, K.K., 2009. Neonatal Conjunctivitis. University of Colorado Denver Health
Science Center.
Kemenkes RI. 2009. 10 Besar Penyakit Rawat Jalan Tahun 2009. Profil
Kesehatan Indonesia Tahun 2009, diakses 24 November 2017, dari
http://www.Depkes.go.id.

23
Kemenkes RI. 2010. 10 Besar Penyakit Rawat Jalan Tahun 2010. Profil
Kesehatan Indonesia Tahun 2010, diakses 24 November 2017, dari
http://www.Depkes.go.id.
Lolowang M, dkk. (2014). Pola bakteri aeron penyebab konjungtivitis pada
penderita rawat jalan di balai kesehatan mata masyarakat kota
Manado. Jurnal eBiomedik Ebm; 2 (1): 279-86. Manado: Universitas
Sam Ratulangi.
Marlin, D.S., 2009. Bacterial Conjunctivitis. Penn State College of Medicine.
http://emedicine.medscape.com/article/1191370-overview. Diakses
pada 25 November 2017.
Rapuano, C.J., et al., 2008. Conjunctivitis. American Academy of
Ophthalmology. http://one.aao.org/asset.axd. Diakses pada 25
November 2017.
Scott, I.U., 2010. Viral Conjunctivitis. Departement of Opthalmology and Public
Health Sciences: http://emedicine.medscape.com/article/ 1191370-
overview. Diakses pada 25 November 2017.
Suhardjo SU, Hartono. 2007. Ilmu Kesehatan Mata Edisi 1. Jogjakarta: Bagian
Ilmu Penyakit Mata FK UGM.
Vaughan, D. dan Asbury, T. 2015. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Visscher, K.L., et al., 2009. Evidence-based Treatment of Acute Infective
Conjunctivitis. Canadian Family Physician.
http://171.66.125.180/content/55/11/1071.short. Diakses pada 25
November 2017.

24

Anda mungkin juga menyukai