Anda di halaman 1dari 5

MAAF

Senja yang seharusnya cerah memukau, entah terlihat murung dan buram. Bukan
dikarenakan oleh mendung yang bergelayut, namun cahaya matahari tak pernah sampai
menghangatkan jiwa. Kabut tebal nan pekat telah menyelubungi hati.

Masih belum kuputuskan untuk mengambil langkah apa. Rahang mengeras, otot di
sekujur tubuh pun kejang, berusaha sedapat mungkin mengendalikan amarah yang mengaliri
aliran darah. Sementara tangan kiriku memegang gawai, meyimak kata-kata Bara

“Sakit papi kamu bertambah parah. Tadi sempat anfal lagi, Alhamdulillah sekarang
kondisinya stabil. Pulanglah, Aluna,” kata Bara lembut, seperti biasa.

“Anfal beneran? Paling juga cuma drama. Buat apa pulang, toh aku juga bukan anaknya.”

“Astaghfirullah, Luna. Jangan jadi anak durhaka kamu. Bagaimanapun kalian adalah
bapak dan anak. Darah yang mengalir di tubuhmu, sama seperti darah yang mengaliri
tubuh papi.”

Jeda sejenak, terdengar Bara menghela napas. Seperti tengah meredakan emosinya.

“Pulanglah Aluna .Sebelum terlambat dan kamu menyesalinya,” pungkas Bara tajam lalu
menutup percakapan dengan salam.

Lemas seluruh persendian karena kata-kata Bara. Air mata menetes tanpa permisi.
Dengan gontai, aku berusaha berjalan menuju sofa. Ruangan kantor yang kosong membuatku
bebas untuk menangis sejadi-jadinya. Kemarahan dan dendam yang selama ini tersimpan rapat
telah menggerogoti jiwa. Meski Bara dengan sabar selalu meminta untuk mengikis semua,
namun perasaan itu telah mengakar dengan kuat, bersemayam di salah satu sudut sanubari.

Apakah aku harus pulang dan memaafkan, setelah apa yang terjadi? Papi dan mami tak
pernah memperlakukan selayaknya anak. Seorang gadis yang tumbuh tanpa kasih sayang orang
tua, sedari kecil tak pernah dianggap sebagai anggota keluarga. Menjadi liar tanpa kendali, tanpa
seorang pun peduli. Beruntung aku bertemu Bara yang perlahan namun pasti, merepih rasa sakit
untuk diganti dengan bahagia.
Ingatan tentang masa kecil yang sejatinya ingin kuhempas, kembali menari di ingatan.
Satu demi satu gambaran itu muncul, tanpa bisa dicegah lagi.

“Untung kamu perempuan. Seandainya laki-laki, sudah melayang nyawamu karena Papi
benturin di tembok,” kata papi setiap aku berbuat kesalahan. Dijambaknya rambutku
dengan kasar.

“Papi, ampun …” kataku sambil menangis. Segala yang aku lakukan tak pernah benar di
mata papi.

“ Heleh, dasar cengeng kamu.” Didorongnya tubuh keciku sampai jatuh di lantai. Sakit
pingganku terbentur kerasnya marmer. Sementara Mami dan kedua saudaraku hanya
melihat seolah aku tontonan yang menarik,

Papi dan mami selalu memperlakukan kedua saudaraku dengan baik.dari cerita salah
seorang pengasuh, papi menginginkan anak laki-laki saat mami hamil. Lalu papi menjadi sangat
membenciku karena terlahir sebagai perempuan.

Nilai sekolah pun dituntut harus yang terbaik, namun tanpa didukung fasilitas yang sama
dengan para saudara. Pernah suatu ketika peringkatku menurun setelah sakit, alih-alih
mendukungku papi justru mencela habis-habisan. Mami? Perempuan yang melahirkanku itu pun
selalu menganggapku pembawa sial. Luka yang mereka goreskan terlalu dalam. Ada dendam
yang membara. Dan keputusan menjauh adalah yang paling tepat untuk saat ini, meski harus
berpisah dengan Bara.

Kuambil segelas air yang tadi kuletakkan di meja. Kureguk pelan, sedikit-demi sedikit,
sambil berusaha keras menghempas amarah. Air mata terus menetes, tak kupedulikan lagi.
Kuletakkan gelas yang telah kosong.

Nanar kutatap ruangan yang cukup luas ini. Suasananya sangat nyaman. Pendingin
ruangan dengan suhu tidak begitu dingin, dan pengharum ruangan yang memberikan aroma
menenangkan. Setelah puas menangis, kuhapus air mata. Kulihat jam dinding, sesaat lagi adzan
maghrib. Di saat gelisah kian meraja, gawai di meja berkedip. Bara
“Aluna, malam ini kamu harus pulang, atau aku yang ke Jogja!” Ucap Bara penuh
tekanan, bahkan sebelum aku mengucap salam.

“Terserah kamu. Aku masih dikantor, masih banyak kerjaan.”

“Kenapa kamu nggak mau sesekali mengalah?” Bara mulai marah.

“Apa? Aku yang harus ngalah gitu kata kamu? Kamu nggak pernah ngerasain, betapa
tersiksa aku dengan mereka.”

“Aluna, kamu nggak berhak menaruh dendam sama mereka!” Bentak Bara

“Justru kamu yang nggak punya hak menghakimi aku,” teriakku tak mau kalah.

“Oke kalo itu maumu. Asal kamu tau, aku milih kamu bukan sebagai pendurhaka.
Mungkin setelah ini aku nggak akan berhubungan lagi sama kamu.”

Aarrgh. Ternyata diputus Bara jauh lebih menyakitkan. Dalam salah satu sudut hati yang
telah terabaikan, sebenarnya aku membenarkan ucapan Bara. aku ingin berdamai dengan diriku.
Memaafkan papi, mami, serta kedua saudaraku. Hanya saja kemarahan ini memang toxic.
Seluruh otakku telah teracuni oleh dendam.

***

Selepas is’ya, baru aku keluar kantor. Tiba-tiba aku ingin pulang ke Bandung dan
bertemu papi. Kulajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Sepanjang jalan Jogja - Bandung aku
terus berdoa, masih diberikan kesempatan. Hampir dua jam kemudian, mobilku telah memasuki
area parkir RSUD Bhayangkara.

Dengan sedikit merayu satpam, aku berhasil masuk paviliun Cendana. Kuhampiri
ruangan inap papi. Kamar papi penuh orang. Mami, saudaraku, beberapa sanak keluarga, serta
tim medis. Langsung aku masuk ke dalamnya. Tatapan papi menangkapku, dengan isyarat aku
diminta untuk mendekat.

Kucium tangan papi dan kubelai lembut lengannya. Air mata jatuh tanpa permisi. Benar
kata Bara, saat kita memaafkan kesalahan seeorang, berarti kita telah mengalahkan diri kita
sendiri. Namun Bara sekarang entah di mana.
Papi diam, seiring dengan garis datar yang muncul pada layar monitor. Kupeluk papi,
berharap bisa bangun kembali. Di saat seperti ini, mami dan kedua saudaraku justru mengusir.
Aku dianggap menjadi penyebab meninggalnya papi. Bahkan aku tak diijinkan untuk melihat
jenazah papi lagi.

Dengan perasaan hancur, aku berjalan keluar. Berusaha keras menahan isakan, aku
berjalan menuju lift. Paviliun begitu sepi, lampu koridor terasa lebih meremang. Baru di dalam
lift, aku bisa menangis dengan keras. Tak memakan waktu lama, lift terbuka, dan aku melangkah
keluar. Satpam yang tadi kurayu menatap dengan penuh arti.

Di salah satu sudut tempat parkir, aku berhenti untuk meluapkan semua. Aku berharap
ada Bara yang melipur laraku. Bara, kamu di mana? Aku terduduk di lantai, tanpa peduli apabila
ada yang melihatku. Tangan yang mengepal, berulang-ulang kuhantamkan pada lantai beton
yang kasar. Meski berdarah, aku belum berhenti. Sampai ada sepasang tangan yang
menghentikan, lalu meraih lembut kepalaku di dadanya. Bara. .

The End
Nama : Sindi Novita

IG : Sindypaytrens

No. WA : 081273957225

Email : sindinovita1998@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai