Anda di halaman 1dari 14

II.

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Kultur Jaringan

Kultur jaringan merupakan teknik untuk menumbuhkembangkan bagian


tanaman baik berupa sel, jaringan ataupun organ dalam keadaan aseptik secara
in vitro, yang ditandai dengan kondisi kultur aseptik, penggunaan media buatan
yang mengandungan nutrisi lengkap, Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) serta kondisi
ruang kultur, suhu dan pencahayaan yang terkontrol (Yusnita, 2003)

Teknik kultur jaringan merupakan salah satu cara perbanyakan tanaman dalam
waktu yang relatif singkat untuk menghasilkan jumlah tanaman yang seragam
dalam jumlah banyak. Metode kultur jaringan juga dapat digunakan untuk
konservasi plasma nutfah atau biji secara in vitro (Karjadi dan Buchory, 2008).
Menurut Pierik (1987), kultur in vitro berasal dari kata ‘culture’ yang berarti
budidaya dan ‘vitrous’ yang berarti transparan. Kultur in vitro dapat diartikan
menumbuhkan sel, jaringan atau organ di dalam suatu wadah kultur yang transparan
(gelas) menjadi tanaman lengkap pada kondisi lingkungan yang terkontrol.
Kultur jaringan merupakan suatu metode untuk mengisolasi bagian dari
tanaman seperti protoplasma, jaringan atau organ serta menumbuhkannya dalam
keadaan aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan
menjadi tanaman lengkap (Gunawan, 1992). Metode kultur jaringan pertama kali
diaplikasikan pada tanaman anggrek oleh Morel (1964) yang kemudian diikuti oleh
tanaman lain.
Perbanyakan tanaman dengan metode kultur jaringan memberi peluang besar
untuk menghasilkan bibit tanaman dalam jumlah besar dan dalam waktu yang
relatif singkat. Teknik perbanyakan tanaman dengan metode kultur jaringan dapat
dilakukan sepanjang waktu, tidak dipengaruhi oleh musim. Perbanyakan tanaman
dengan teknik in vitro dapat menghasilkan bibit dalam jumlah banyak, serentak dan
bebas dari penyakit sehingga bibit yang dihasilkan sehat dan seragam. Metode
kultur jaringan merupakan cara alternatif untuk menghasilkan bibit dalam jumlah
banyak dan waktu yang relatif singkat (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

5
Keberhasilan dalam kultur jaringan sangat bergantung pada eksplan dan media
tumbuh yang digunakan. Menurut Gunawan (1992), eksplan merupakan bagian
tanaman yang digunakan sebagai bahan inisiasi kultur. Media tumbuh terdiri dari
garam-garam mineral, sumber karbohidrat, vitamin, Zat Pengatur Tumbuh serta
suplemen lain seperti senyawa-senyawa nitrogen organik dan asam-asam organik
(Gamborg dan Skyluk, 1981).
Karbohidrat dalam kultur jaringan berfungsi sebagai sumber energi dan
menjaga keseimbangan tekanan osmotik dalam medium. Sukrosa digunakan
sebagai sumber karbon dengan kadar 2-5% (Pierik, 1987). Asam amino tertentu
seperti analin, asam glutamat, glutamin dapat merangsang pertumbuhan eksplan
(Staba, 1982).
Keasaman pH merupakan faktor lingkungan eksplan yang sangat menentukan.
Pertumbuhan sel memerlukan pH yang digunakan antara 5-6 (Katuuk, 1989).
Manfaat pH dalam media yaitu untuk membantu penyerapan unsur hara dan
menjaga kestabilan membran sel dalam mengatur garam-garam agar tetap dalam
bentuk terlarut (George dan Sherrington, 1984). Apabila pH terlalu tinggi dapat
dilakukan penurunan pH dengan menambahkan HCl dan jika terlalu rendah dapat
ditambahkan NaOH (0,1-1,0 M) untuk meningkatkan pH. pH terlalu tinggi dapat
menyebabkan pertumbuhan eksplan terhenti dan jika pH terlalu rendah dapat
menyebabkan IAA menjadi kurang stabil (Pierik, 1987).
Hormon yang terdapat pada tanaman dikenal dengan sebutan fitohormon.
Fitohormon adalah senyawa-senyawa yang dihasilkan oleh tanaman itu sendiri
secara endogen. Senyawa tersebut berperan dalam merangsang dan meningkatkan
pertumbuhan serta perkembangan sel, jaringan dan organ tanaman menuju arah
diferensiasi tertentu. Senyawa-senyawa lain yang memiliki fungsi seperti hormon
dan diproduksi secara eksogen adalah Zat Pengatur Tumbuh atau hormon sintetik
(Pierik, 1987).
Hormon sintetik yang ditambahkan merupakan Zat Pengatur Tumbuh
(Hendrayono dan Wijayani, 1994). Zat Pengatur Tumbuh merupakan senyawa
organik bukan hara yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit yang dapat mendukung,
menghambat dan merubah fungsi fisiologi tumbuhan (Abidin, 1985). Jenis Zat

6
Pengatur Tumbuh yang sering digunakan dalam kultur jaringan antara lain auksin,
sitokinin dan giberelin (Gunawan, 1995). Selain hormon sintetik, bahan alami
seperti air kelapa, pisang dan juice tomat ditambahkan dalam media. Penggunaan
dari hormon sintetik dan bahan alami dapat ditambahkan dalam media secara
terpisah, namun tidak jarang perpaduan dari keduanya.
Aplikasi kultur jaringan pada mulanya untuk propagasi tanaman. Dewasa ini
penggunaan metode kultur jaringan digunakan untuk menghasilkan tanaman yang
bebas penyakit, untuk koleksi plasma nutfah, memperbaiki sifat genetik tanaman,
untuk tujuan produksi serta ekstraksi zat-zat kimia yang bermanfaat dari sel-sel
yang dikultur (George dan Sherrington, 1984).
Teknik kultur jaringan sudah diakui sebagai metode baru untuk perbanyakan
tanaman. Tanaman pertama yang berhasil diperbanyak dalam jumlah besar adalah
anggrek, dan disusul oleh tanaman hias dan tanaman hortikultura lainnya
(Gunawan, 1992).

2.2 Anggrek

2.2.1 Morfologi

Famili Orchidaceae termasuk golongan tanaman yang paling modern dari sisi
evolusi. Anggrek termasuk tanaman yang paling banyak spesiesnya karena mampu
hidup pada berbagai habitat kecuali di daerah gurun dan kutub. Beberapa ahli
memperkirakan bahwa 1/10 dari jumlah tanaman yang hidup di dunia atau sekitar
20.000 spesies merupakan tanaman anggrek. Hampir seluruh famili Orchidaceae
termaksud dalam CITES (Convention On International Trade in Endangered
Species of Wild Fauna and Flora) kategori appendix II yang berarti walaupun
keberadaannya belum terancam, namun jika tidak diatur perdaganggannya akan
menyebabkan kepunahan. Akibat ulah manusia, keberadaan habitat anggrek alami
didaerah tropis sangan rawan terhadap kerusakan (Yuzammi et al., 2009).
Tanaman anggrek memiliki akar, batang, daun, bunga dan biji. Sifat khas dari
famili Orchidaceae terlihat jelas pada akar, batang, daun, bunga, buah dan bijinya
(Tjitrosoepomo, 1996). Bentuk bunga anggrek ada yang mirip kalajengking

7
(Arachnis), kupu-kupu (Phalaenopsis) dan kantung (Paphiopedilum), selain itu
jumlah kuntum, ukuran dan warna kuntum juga terlihat keragaman yang cukup
banyak. Demikian juga dengan keragaman bentuk daun dan batangnya
(pseudobulb) (Sastrapradja et al., 1977; Widiastoety, 1990 dan Djaafarer, 2002).
Tanaman anggrek mempunyai bentuk, warna dan tekstur yang berbeda antara
satu spesies dengan spesies yang lain, tergantung pada genus dan spesiesnya (Chan
et al., 1994).
Bunga anggrek mempunyai ukuran bervariasi (kecil – besar), berwarna cerah,
biseksual. Menurut Soeryowinoto (1991), mahkota anggrek berjumlah 6 helai yang
terdiri dari :
1. Sepal
Sepal merupakan pelindung bunga paling luar ketika bunga masih dalam
keadaan kuncup. Anggrek memiliki tiga helai sepal, dimana bentuk dari
ketiga sepal ini hampir sama. Sepal teratas disebut sepal dorsal, sedangkan
kedua sepal lain yang terletak di sebelah kiri dan kanan bawah disebut sepal
lateral. Ketiga sepal tersebut terletak dalam satu lingkaran
2. Petal
Petal merupakan perhiasan bunga yang memiliki bermacam-macam bentuk
dan warna. Ketika masih kuncup, petal terbungkus oleh sepal. Kedua petal
yang paling atas mempunyai bentuk yang sama, sedangkan petal ketiga
yang terletak paling bawah termodifikasi menjadi bibir atau labellum.
Setiap jenis anggrek mempunyai bentuk labellum yang berbeda. Umumnya
labellum dijadikan sebagai karakter pembeda antara satu spesies anggrek
dengan spesies anggrek yang lain. Secara fungsional, area labellum
merupakan tempat terjadinya pembuahan karena pada bagian tersebut
terdapat polen dan stigma. Polen dan stigma tersimpan dalam suatu struktur
yang disebut tugu atau column. Column berada tepat di atas helain bibir atau
labellum. Bentuk column biasanya menyerupain bentuk paruh burung.
Secara umum, bentuk labellum yang unik berfungsi menarik serangga yang
akan membantu proses pembuahan pada anggrek.

8
Gambar 1. Morfologi bunga anggrek
Sumber: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/c/c8/Leptotes.jpg

Daun anggrek memiliki bentuk dan ukuran yang berbeda-beda tergantung dari
genus atau spesies anggrek. Daun tidak memiliki tulang daun yang berbentuk jala
menyebar seperti pada daun tanaman monokotil lainnya, tetapi daun anggrek
mempunyai tulang daun yang sejajar dengan helaian daun. Tebal daun bervariasi
dari tipis sampai tebal (Gunawan, 2004).
Tanaman anggrek umumnya memiliki dua bentuk sistem pertumbuhan yaitu
monopodial dan simpodial. Pertumbuhan batang monopodial terjadi di ujung
batang yang menyebabkan batangnya terus memanjang contohnya pada anggrek
Vanda dan Aracnis. Simpodial merupakan pertumbuhan batang yang dimulai dari
pangkal batang tua sampai panjang tertentu lalu berhenti, kemudian diikuti oleh
pertumbuhan batang baru sehingga berbentuk rumpun seperti anggrek Dendrobium
(Sudarnadi, 1995).

9
Gambar 2. Batang Simpodial dan Batang Monopodial
Sumber: (Irawati, 2011)

Buah anggrek merupakan buah yang berbentuk kapsul yang terbelah dengan 6
rusuk. Kapsul anggrek yang masak akan mudah pecah. Kapsul berisi biji yang
sangat banyak, berukuran kecil dan halus seperti tepung. Biji anggrek tidak
memiliki endosperm sehingga tidak memiliki cadangan makanan. Proses
perkecambahan biji anggrek memerlukan nutrisi dari luar atau lingkungan
sekitarnya (Widiastoety dan Purdadi, 2003). Biji anggrek pada setiap genus atau
spesies berbeda-beda. Biji anggrek Vanda berwarna coklat dengan bentuk seperti
kapas.
Anggrek Vanda merupakan bunga majemuk yang tersusun dalam rangkaian
berbentuk tandan dan tumbuh pada ketiak daun (Irawati, 2011). Kelopak dan
mahkota bunga berbentuk dayung, pada anggrek V. helvola bunga berwarna coklat
kekuningan dimana pada bagian pinggir sepal dan petalnya berwarna putih
kekuningan.
Vanda mempunyai banyak akar aerial yaitu akar yang keluar dari batang
(Gunawan, 2004).

10
(a) (b)
Gambar 3. (a) Anggrek V. helvola, (b) bunga anggrek V. helvola
Sumber: (a) https://kebunbibit.id/1977
tonytheme_cloudzoom_big/vanda-helvola.jpg,
(b) https://kebunbibit.id/3902
tonytheme_cloudzoom_big/vanda-helvola.jpg

2.2.2 Klasifikasi anggrek Vanda helvola

Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Classis : Monocotyledoneae
Ordo : Orchidales
Famili : Orchidaceae
Genus : Vanda
Spesies : Vanda helvola (Darmono, 2005)

1.3 Media Tanam Kultur Jaringan

Keberhasilan kultur jaringan sangat ditentukan oleh pilihan media yang akan
digunakan. Metode kultur jaringan menekankan pada lingkungan yang cocok agar
eksplan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Lingkungan yang cocok akan
terpenuhi bila media yang digunakan sesuai dengan yang diperlukan oleh tanaman.

11
Kebutuhan tiap tanaman akan komposisi dan jumlahnya berbeda-beda (Santoso dan
Nursadi, 2003). Media yang digunakan tidak hanya mengandung unsur hara makro
dan unsur hara mikro saja, tetapi juga mengandung karbohidrat. Karbohidrat
berasal dari gula yang ditambahkan dalam media. Gula berfungsi menggantikan
karbon yang biasanya diperoleh dari hasil fotosintesis (Gunawan, 1992).

Dua macam media yang dapat digunakan yaitu media cair dan media padat.
Media cair digunakan untuk menumbuhkan suspensi sel, sedangkan media padat
digunakan untuk menumbuhkan kalus dan organ tanaman. Media kultur yang baik
adalah media yang mengandung makronutrien dan mikronutrien. Unsur
makronutrien terdiri dari N, P, K, S, Ca, dan Mg sedangkan unsur mikronutrien
terdiri atas Co, Mn, Fe, Cu, Zn, B dan Mo (George dan Sherrington, 1984).
Menurut Gunawan (1992), media kultur tersusun dari beberapa atau seluruh
komponen berikut ini:
1. Unsur hara makro yang digunakan pada semua jenis media
2. Unsur hara mikro hampir selalu digunakan. Terdapat beberapa komposisi
media yang hanya menggunakan besi atau besi-kelat
3. Vitamin, umumnya ditambahkan dalam jumlah yang bervariasi
4. Gula, merupakan komponen yang harus ada dalam media, kecuali untuk
tujuan khusus.
5. Asam amino dan N organik
6. Bahan-bahan alami yang mengandung senyawa kompleks seperti juice
tomat, ekstrak kentang, air kelapa, ekstrak ragi (yeast extract) dan
sebagainya
7. Buffer, terutama buffer organik
8. Arang aktif. Sering digunakan untuk merangsang pertumbuhan akar.
9. Zat Pengatur Tumbuh. ZPT yang biasa digunakan yaitu auksin dan
sitokinin. Zat Pengatur Tumbuh merupakan komponen yang sangat penting
dalam media kultur dengan jenis dan konsentrasi ZPT sesuai dengan jenis
tanaman dan tujuan tanaman tersebut dikultur.
10. Bahan pemadat yaitu agar

12
Media tumbuh yang biasa digunakan untuk perkecambahan anggrek adalah
media Vaccin and Went (VW) (Gunawan, 2002; Bey et al., 2006), media Knudson
C (KC) dan media Murashinge and Skoog (MS) (Marveldani, 2009).
Menurut hasil penelitian Rupawan dkk. (2014) komposisi media VW + 2 ppm
GA3 + 250 ml air kelapa/L media menghasilkan pertumbuhan yang optimal
terhadap anggrek Vanda, karena memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap
tinggi tanaman, jumlah tunas, jumlah daun dan jumlah akar pada eksplan Vanda
sp. dengan rata-rata tinggi planlet, jumlah tunas, jumlah daun dan jumlah akar yang
terbentuk masing - masing 1,82 cm, 2,55 tunas, 2,00 helai daun dan 2,25 helai akar
per planlet.
Berdasarkan hasil penelitian Widiyatmanto dkk. (2012) menunjukkan bahwa
jenis media, konsentrasi NAA serta interaksi antara kedua faktor tersebut
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan biji D.capra. Jenis media
yang terbaik yaitu KC, sedangkan konsentrasi NAA yang memberikan respon
terbaik yaitu 0,5 mg/L. Perlakuan yang dapat menginduksi pertumbuhan dan
perkembangan biji sampai ke fase planlet (fase 4 dan fase 5) yaitu media MS + 0,5
mg/L NAA, media KC + 0 mg/L NAA, media KC + 0,1 mg/L NAA, media KC +
0.5 mg/L NAA, media VW + 0,3 mg/L NAA, dan media VW + 0,5 mg/L NAA.
Perlakuan yang memberikan respon pertumbuhan planlet terbaik yaitu media MS +
0,5 mg/L NAA dan Media VW + 0,5 mg/L NAA. Sedangkan menurut hasil
penelitian Hardiana dkk. (2012) persentase pertumbuhan dan perkembangan biji
anggrek D. taurulinum yang ditumbuhkan di media VW, KC, dan MS tidak berbeda
nyata (P ≥ 0.05). Pada media VW rata-rata persentase perkecambahannya sebesar
1,3 %, pada media KC sebesar 0,3 % dan pada media MS sebesar 0 %. Semuanya
menunjukkan persentase pertumbuhan biji yang rendah. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Stewart dan Kane (2006) bahwa media tumbuh untuk embrio anggrek
sangat bervariasi dan sangat spesifik untuk masing-masing spesies.
Salah satu kendala dalam pengadaan media kultur jaringan adalah harga bahan-
bahan kimia penyusun media yang cukup mahal. Penggunaan pupuk cair dan
ekstrak buah dapat menjadi alternatif pengganti vitamin sintetik dan unsur-unsur
lain yang dikandungnya. Pada saat pembuatan media dapat ditambahkan

13
bahan-bahan organik seperti air kelapa, ekstrak tomat, ekstrak tauge dan ekstrak
buah pisang sebagai sumber gula, vitamin, Zat Pengatur Tumbuh dan asam amino
(Ummi, 2008).
Penggunaan air kelapa dalam media kultur pertama kali dilakukan oleh
Van Overbeek pada tahun 1941 dalam kultur embrio Datura stramonium
(Gunawan, 1992). Gautheret (1942) menemukan bahwa air kelapa dapat digunakan
untuk pertumbuhan jaringan. Menurut Gunawan (1992), air kelapa mengandung
asam amino, asam-asam organik, asam nukleat, purin, gula, gula alkohol, vitamin,
mineral dan Zat Pengatur Tumbuh.Air kelapa mengandung Zat Pengatur Tumbuh
alami yang termasuk golongan sitokinin (Pierik, 1987). Penggunaan air kelapa
dengan konsentrasi 250 ml/L menghasilkan pembentukan daun dan akar lebih cepat
pada kultur in vitro anggrek Phalaeonopsis amabilis BL. (Bey et al., 2006)
Ekstrak pisang yang ditambahkan dalam media kultur jaringan dapat
merangsang pembelahan sel dan mendorong diferensiasi sel, sehingga biji dapat
tumbuh dan berkembang. Ekstrak pisang mengandung kalium (K), fosfor (P) dan
besi (Fe) sehingga memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan tunas
(Widiastoety dan Bahar, 1995). Kentang mengandung unsur-unsur yang
dibutuhkan eksplan dalam kultur jaringan seperti kalsium, fosfor, besi, vitamin B1,
vitamin B2, vitamin C, dan niacin. Menurut Salisbury dan Ross (1995) kalsium
berperan dalam pembentukan bulu akar dan pemanjangan akar. Penelitian
Kasutjianingati dan Irawan (2013), penambahan BAP 2 mg/L; air kelapa 150 ml/L
dan ekstrak pisang ambon 50 gr/L memberi pengaruh pada penambahan jumlah
tunas.
Berdasarkan hasil penelitian Untari dan Puspitaningtyas (2006) interaksi
antara jenis media organik dan konsentrasi NAA berpengaruh nyata terhadap
pertumbuhan eksplan anggrek hitam (Coelogyne pandurata Lindl.) baik tinggi
eksplan, jumlah daun, jumlah tunas, jumlah akar dan panjang akar. Dimana Media
Vaccin & Went (VW) dengan penambahan ekstrak ubi jalar 150 g/L memberikan
rata-rata panjang akar dan jumlah akar yang lebih tinggi dibandingkan dengan
perlakuan yang lain, media VW dengan penambahan kentang 200 g/L menghasilan
tinggi planlet dan jumlah daun yang paling baik, sedangkan hasil terbaik dengan

14
penambahan NAA 5 ppm untuk parameter jumlah daun dan NAA 5 ppm + ekstrak
ubi jalar 150 g/L untuk jumlah akar. Dalam penelitiannya, Untari dan
Puspitaningtyas (2006) menggunakan 2 faktor yaitu faktor pertama jenis media
organik yaitu tanpa bahan organik, dengan penambahan air kelapa 250 ml/L, pisang
ambon 150 g/L, kentang 200 g/L, ubi jalar 150 g/L dan kedelai 150 g/L. Faktor
ini dikombinasikan dengan faktor kedua yaitu lima taraf konsentrasi NAA (0 ppm,
5 ppm, 10 ppm, 15 ppm dan 20 ppm).
Berdasarkan hasil penelitian Dwiyani dkk. (2012) menyatakan bahwa
penambahan 150 g/L ekstrak tomat pada media New Phalaenopsis (NP)
memberikan respon terbaik pada pertumbuhan dan perkecambahan biji anggrek V.
tricolor forma Bali dibandingkan dengan V. tricolor forma Merapi.
Menurut Desai dan Chism (2006) dari 1000 g buah tomat hijau didapatkan 10.35μg
benzylaminopurin , sedangkan dari 1000 g buah tomat yang sudah masak merah
mengandung 0.15 μg benzylaminopurin. Neumann et al. (2009) menyebutkan
bahwa fitohormon dalam konsentrasi rendah memiliki efek stimulan yang spesifik
pada tanaman, sedangkan pada konsentrasi tinggi memiliki efek menghambat.
Berdasarkan hasil analisa kromotografi (Tabel 2) buah tomat mengandung vitamin
C, dan karoten total yang tinggi yang kesemuanya berfungsi untuk mengatasi
oksidasi senyawa fenolik dan mencegah pencoklatan (Dwiyani dkk., 2009). Dan
(2008) menyatakan bahwa vitamin C dapat menstimulasi organogenesis,
embriogenesis somatic dan pertumbuhan tunas dalam mikropropagasi pada
beragam spesies tanaman.

15
Tabel 2. Hasil analisis kandungan buah tomat (per 100 g ekstrak tomat kultivar
Arthaloka) * (Dwiyani dkk., 2009)
Macam Analisis Hasil Analisis
Kadar air (%) 95.35
Kadar abu (%) 0.31
Lemak (%) 0.47
Protein (%) 1.78
Serat Kasar (%) 1.05
Protein terlarut (%) 1.46
Gula reduksi (%) 3.39
Gula total (%) 3.70
pH 4.34
Vitamin C (mg/100g) 42.52
Antiokisidan (DPPH) 23.75
Karoten total (mg/100g) 1837.20
P2O5 (mg/100g) 132.02
Mg (ppm) 80.57
Mn (ppm) 0.31
Na (ppm) 90.22
K (ppm) 1570.24

* Dikerjakan oleh Laboratorium Uji Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian,


Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada (2008).

Menurut hasil penelitian Dwiyani dkk. (2009), penambahan ekstrak tomat


dalam media dapat mempercepat perkecambahan, menginduksi protokom berwarna
dan menekan kematian embrio/protokom anggrek V. tricolor Lindl. Selama periode
perkembangannya, dimana efek serupa tidak ditemukan pada perlakuan likopen
murni. Likopen yang terkandung dalam buah tomat merupakan antioksidan yang
berperan dalam menetralisir efek toksik senyawa fenolik yang dihasilkan embrio
anggrek.
Dewasa ini, penggunaan pupuk sebagai medium untuk kultur jaringan telah
banyak dilakukan. Penggunaan pupuk tersebut telah dilakukan oleh Soedjono
(2005) pada tahap subkultur persiapan aklimatisasi dan memberikan hasil yang
signifikan. Namun penggunaan medium pupuk pada tahap perkecambahan masih
jarang dilakukan. Zulfan (2010) menambahkan pupuk Super Vit 6 ml/L pada media
sub kultur tanaman anggrek Dendrobium sp. dan mampu memperlihatkan
pertumbuhan yang baik pada jumlah anakan, pertumbuhan tinggi tanaman, dan

16
rata – rata bobot segar tanaman. Menurut penelitian Zasari dan Ramadiana (2010),
penambahan pupuk Growmore dalam media kultur memberikan hasil yang baik
untuk regenerasi protocorm like bodies (plb) dan pertumbuhan planlet anggrek.
Perkecambahan dan pertumbuhan anggrek dipengaruhi oleh banyak faktor
yang kompleks dan spesies yang berbeda akan memberikan respon yang berbeda
pula. Beberapa faktor yang mempengaruhi perkecambahan dan pertumbuhan
anggrek antara lain (Pierik, 1987):
a. Temperatur. Pada umumnya biji anggrek berkecambah pada temperatur
20o – 25oC.
b. Penyinaran. Penyinaran yang dibutuhkan 12-16 jam/hari dengan intensitas
rendah 2.5 – 10 W.m2. Namun pada Paphiopedilum dan Cypripedium, biji
hanya dapat tumbuh apabila pada fase awal perkecambahan tidak diberikan
perlakuan penyinaran.
c. Agar. Disarankan agar ditambahkan dengan konsentrasi 0.6 – 0.8%.
d. Mineral. Pada umumnya perkecambahan biji anggrek tidak membutuhkan
mineral dalam konsentrasi tinggi, bahkan pada Paphiopedilum dapat
berkecambah dengan baik pada medium yang tidak mengandung kalsium.
e. Gula. Dibutuhkan untuk sumber energi. Gula ditambahkan pada medium
dengan konsentrasi 1-3%.
f. pH. Rentang pH medium yang biasanya digunakan pada perkecambahan biji
anggrek adalah 4.8 – 5.8.
g. Vitamin.
h. Zat Pengatur Tumbuh. Pada perkecambahan biji anggrek biasanya tidak
perlu ditambahkan Zat Pengatur Tumbuh, karena memberikan efek yang
tidak diinginkan (misalnya pembentukan kalus atau tunas adventif).
i. Senyawa kompleks. Senyawa kompleks yang biasa digunakan antara lain
air kelapa, juice pisang, peptone, juice nenas, casein hydrolisate.
j. Arang aktif. Pada spesies anggrek tertentu dibutuhkan penambahan arang
aktif ke dalam medium. Arang aktif merupakan arang yang telah dipanaskan
selama beberapa jam dengan menggunakan uap air atau udara panas
(George dan Sherrington, 1984).

17
18

Anda mungkin juga menyukai