Anda di halaman 1dari 6

Fikih ‘Darurat’

Written By admin on Minggu, 27 Juli 2014 | 00.55

Tantangan terbesar yang menghadang kaum Muslim saat ini adalah menyikapi berbagai perkara
yang terus berubah, tentunya melalui pemahaman Islam yang benar. Hal ini hanya bisa dilakukan
dengan mengacu pada metode yang sudah ditetapkan Islam dalam memahami hukum-hukum
syariah, yakni mengaitkan fakta yang ada dengan nash-nash syariah.
Hanya saja, pemahaman Barat dan metode berpikir yang digunakan orang kafir, juga mereka
yang terpengaruh oleh pola pikir Barat, sudah sedemikian merasuki benak kaum Muslim. Ini
berakibat pada kemunduran dalam pelaksanaan hukum-hukum fikih. Mereka justeru lebih
memilih mengamalkan apa yang dikenal dengan ‘fikih darurat’. Pada gilirannya, hal ini
mengeluarkan konsep daarurat dari bingkai fikihnya; menjadi alternatif yang lebih dipilih
daripada pemberdayaan akal pemikiran.

Darurat berkembang menjadi selubung fikih yang bisa mengunci pintu berpikir. Akhirnya, segala
sesuatu yang baru menjadi anak dari darurat dan natijah (hasil) dari hajat, seakan-akan darurat
itulah kerangka yang umum untuk fikih. Tidak ragu lagi, hal ini menjadi celah yang sangat
berbahaya yang bisa meruntuhkan bangunan fikih itu sendiri.
Karena itu kita harus bisa membedakan upaya memasukkan fikih ke dalam bab darurat—yang
disebabkan kelemahan dan ketidakmampuan berpikir—dengan kaidah fikih dalam tatanannya
yang umum. Sesungguhnya kaidah fikih ad-dharurat tubih al-mahdzurat (kondisi darurat
membolehkan sesuatu yang diharamkan) dan ketetapan lain dalam ushul fikih itu dipandang
sebagai kaidah-kaidah penting jika memang diperlakukan dalam bingkai fikih. Penting bagi kita
untuk memahami kaidah ini berikut tempatnya yang tepat dan tatacara penerapannya.
Dharurat (darurat) adalah isim dari mashdar “idhthirar”. Pengertiannya adalah: al-ihtiyaj ila as-
sya’i (membutuhkan sesuatu). Dikatakan idhtharrahu ila kadza artinya: dia sangat membutuhkan
sesuatu; sesuatu itu memaksa dia sehingga dia menjadi terpaksa.
Dharurat semakna dengan dharar atau bentuk mubalaghah dari dharar. Dalam mendefinisikan
darurat, para ahli fikih memiliki beberapa redaksi dan ungkapan. Meski demikian, ungkapan
mereka tetap tdak keluar dari kondisi “sampainya manusia pada suatu batasan yang jika tidak
mengambil atau melakukan sesuatu yang haram maka dia akan binasa atau hampir binasa”.
Kebinasaan tersebut bisa berdasarkan kepastian ataupun dugaan kuat saja.
Definisi dharurat ini menghasilkan sejumlah pengertian. Pertama: dharurat adalah
uzur syar’iyang menuntut seseorang melakukan sesuatu yang dilarang atau diharamkan. Ini
berbeda dengan hukum alternatif yang ditetapkan oleh syariah yang disebut dengan rukhshah.
Karena itu uzur yang membolehkan keharaman tersebut harus ditetapkan batasannya oleh
syariah.
Kedua: dharurat adalah kondisi yang memaksa dan biasanya tidak ada sesuatu pun yang bisa
menolaknya.
Ketiga: dharar tersebut nyata-nyata mengancam jiwa, bukan yang lain.
Adapun hajat (kebutuhan) berbeda dengan dharurat walaupun memang dalam hajat
dandharurat itu terdapat masyaqqah (kesulitan). Hanya saja kesulitan yang ada dalam hajat
bukanlah sesuatu yang mulji‘ (bersifat memaksa), karena tidak mengakibatkan kebinasaan jiwa
atau cacatnya anggota badan. Hukum hajat itu berbeda dengan hukum dharurat.
Walaupun dharurat menjadi sebab adanya rukhshah, rukhshah itu lebih umum
dari dharurat.Rukhshah mencakup kondisi dharurat maupun tidak dharurat seperti
uzur syar’i yang mengharuskan adanya keringanan.
Di antara dalil bahwa dharurat itu bisa membolehkan seseorang melakukan keharaman dan
dipandang sebagai uzur syar’i adalah firman Allah SWT:
‫اغ َوال عَا ٍد فَال إِ ْث َم َعلَ ْي ِه‬ ُ
ِ ‫إِنَّ َما َح َّر َم َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةَ َوال َّد َم َولَحْ َم ْال ِخ ْن ِز‬
ٍ َ‫ير َو َما أ ِه َّل بِ ِه لِ َغي ِْر هَّللا ِ فَ َم ِن اضْ طُ َّر َغ ْي َر ب‬
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atas kalian bangkai, darah, daging babi, dan binatang
yang (saat disembelih) disebut nama selain Allah. Namun, siapa saja dalam keadaan terpaksa
(memakannya), padahal dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, tak ada
dosa bagi dia (QS al-Baqarah [2]: 173).
Saat menjelaskan firman Allah SWT ini,Ibnu Abbas ra. berkata, “Siapa saja yang memakan
sesuatu dari semua ini dalam keadaan terpaksa (mudhtharr) maka tidak apa-apa. Siapa saja yang
memakannya tanpa terpaksa maka dia sama telah melampaui batas.”
Hanya saja, para ulama muta’akhirin telah menetapkan definisi darurat yang berbeda. Mereka
mengatakan bahwa darurat adalah kondisi yang jika seorang mukallaf sampai pada kondisi itu
maka dia boleh melakukan sesuatu yang haram. Kebolehan ini berlangsung hingga hilangnya
gangguan dalam segala bentuknya. Dengan demikian, menurut mereka, darurat tak hanya
terbatas pada ketakutan akan timbulnya kebinasaan dan kecacatan saja seperti yang ditetapkan
oleh nash-nash al-Quran dan pernyataan yang dinukil dari para Sahabat, tabi’in dan ulama zaman
dulu, melainkan lebih umum dari itu semua. Menurut mereka, darurat itu bisa juga mencakup
menolak dharar atas jiwa, kehormatan, harta, agama dan tanah air. Mereka berpendapat seperti
itu dengan beralasan bahwa bangunan syariah itu tegak di atas prinsip menarik berbagai maslahat
dan menolak berbagai mafsadat (jalb al-mashalih wa dar‘u al-mafasid), juga berdasarkan prinsip
menolak kesempitan dan kesulitan dari para mukallaf(raf’ul haraj). Menurut mereka syariah
ilahiyah itu datang untuk melindungi kehidupan manusia secara utuh, yakni kebutuhan yang
lima, dimana kehidupan dunia dan agama tak akan bisa tegak tanpa itu; juga bahwa taklif yang
diberikan pada hamba itu diberi syarat berupa adanya kemampuan sang hamba (al-qudrah).
Sebenarnya definisi para fukaha terdahulu itulah yang rajih (kuat). Pertama: karena adanya dalil
atas hal itu. Kedua: karena kesimpulan yang diambil oleh ulama muta’akhirin itu sebenarnya
tidak berdalil. Pasalnya, menarik maslahat dan menolak mafsadat itu bukanlah ‘illat syar’iuntuk
hukum apapun, bahkan untuk syariah secara umum. Nash-nash hanya menunjukkan bahwa
tujuan syariah Islam itu adalah menarik maslahat dan menolak mafsadat. Artinya,natijah yang
dihasilkan dari penerapan syariah itu adalah memperoleh maslahat dan menolak mafsadat.
Menarik maslahat dan menolak mafsadat bukanlah motif yang mendasari pensyariatan hukum.
Adapun pendapat mereka bahwa dharurat itu mencakup perlindungan terhadap maqashid yang
lima, maka maqashid tersebut muncul sebagai natijah dari hukum syariah. Maqashid tersebut
tidak berkaitan sama sekali dengan istinbath, istidlal dan pen-ta’lil-an hukum.
Upaya menghilangkan kesempitan dan kesulitan pun tak layak dijadikan dalil. Mereka
berargumentasi dengan firman Allah SWT (yang artinya): Allah sekali-kali tidak menjadikan
untuk kalian dalam agama suatu kesempitan. Ini merupakan penggalan ayat yang ada setelah
firman-Nya:
َّ ‫ َو َجا ِهدُوا فِي هَّللا ِ َح‬، َ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ارْ َكعُوا َوا ْس ُجدُوا َوا ْعبُدُوا َربَّ ُك ْم َوا ْف َعلُوا ْال َخ ْي َر لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُون‬
َ j‫ق ِجهَا ِد ِه هُ َو اجْ تَبَا ُك ْم َو َما َج َع‬
‫ل‬j
ٍ ‫َعلَ ْي ُك ْم فِي الدِّي ِن ِم ْن َح َر‬
‫ج‬
Hai orang-orang yang beriman, rukuk, sujud dan sembahlah Tuhan kalian serta perbuatlah
kebajikan supaya kalian mendapat kemenangan. Berjihadlah kalian di jalan Allah dengan jihad
yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kalian dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk
kalian dalam agama suatu kesempitan (QS al-Hajj [22]: 77-78).
Dengan demikian kesempitan itu telah dihilangkan dari mereka dalam perkara yang
diperintahkan kepada mereka seperti ibadah, melakukan kebaikan, berperang demi menggapai
ridha-Nya. Sesungguhnya Allah SWT telah memilih kalian, wahai kaum Mukmin, untuk
memeluk agama-Nya dan mendapatkan pertolongan-Nya. Dia tidak akan membuat kesempitan
atas kalian melainkan sekadar beban yang bisa kalian tanggungkan. Penggalan ayat di atas
semisal dengan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 286.
Jika berpegang pada pemahaman penganut kaidah al-harj itu tentu akan banyak gugur taklif
hukum karena taklif itu memang sulit dan berat. Disebut taklif karena berasal dari
kata kulfahyang artinya masyaqqah (kesulitan). Jika muncul kesulitan dalam suatu taklif maka
hal itu akan menggugurkan dalil-dalil ini sehingga akhirnya mengharuskan gugurnya taklif-taklif
tersebut. Menggugurkan taklif-taklif sulit yang ditetapkan oleh syariah itu bertentangan dengan
prinsip syariah. Berpegang pada dalil-dalil ini sesuai pemahaman kaidah raf’ul haraj juga
bertentangan dengan syariah. Karena itu kaidah raf’ul haraj ini tidak boleh diamalkan. Justru kita
harus berhenti pada batasan yang sudah ditetapkan oleh syariah berupa dalil-dalil tafshili(rinci)
untuk setiap perkara yang sudah dirinci, lalu menerapkan dalil-dalil itu pada persoalan baru tanpa
melihat apakah di dalamnya ada kesulitan ataukah kemudahan. Apalagi Rasulullah saw.
bersabda, “Neraka itu dikelilingi dengan berbagai perkara yang disenangi, sedangkan surga
dikelilingi dengan perkara yang tak disukai.”
Karena itu jika terjadi kondisi darurat maka melakukan sesuatu yang haram itu menjadi boleh
menurut syariah. Hanya saja harus diketahui bahwa tidak setiap klaim dari orang yang mengaku
terpaksa melakukan keharaman itu bisa diterima, melainkan harus terpenuhi sejumlah syarat
terpenuhinya kondisi darurat. Di antara syarat tersebut adalah sebagai berikut:
Darurat benar-benar terjadi dan tidak bertangguh; arinya benar-benar dikhawatirkan
menimbulkan kebinasaan atau kecacatan. Ini bisa didasarkan pada dugaan kuat jika tidak sampai
meyakinkan. Si mudhtharr (orang yang terpaksa) memang harus melakukan sesuatu yang haram
saat tak ada lagi sarana mubah lainnya untuk menolak dharar tersebut. Jika hal seperti itu terjadi
maka harus diperhatikan standar pengambilan rukhshah, misalnya hanya terbatas pada perkara
yang boleh diambil tersebab dharurat dengan kadar secukupnya. Sebagaimana disampaikan para
ulama bahwa darurat itu ditakar dengan kadarnya.
Syarat lainnya, keharaman yang dilakukan tidak menimbulkan dharar lain yang lebih besar
daridharar yang diakibatkan oleh adanya kondisi harurat tersebut. Tidak boleh melakukan
keharaman dalam rangka menjaga anggota badan dari kecacatan yang malah mencacati anggota
tubuh lainnya atau membinasakan jiwa. As-Suyuthi menyatakan bahwa ad-dharurat tubih al-
mahdzurat dengan syarat dharar-nya tidak kurang bahayanya dari perkara yang diharamkan
tersebut. Selain itu tenggang waktu mengambil rukhshah dibatasi oleh keberadaan uzur. Jika
uzurnya hilang maka rukhshah-nya pun hilang.
Hukum mengambil rukhshah dalam kondisi dharurat harus dilihat dulu: Jika berpegang pada
‘azimah itu benar-benar bisa mengakibatkan kebinasaan, maka mengamalkan rukhshahmenjadi
wajib, dan berpegang pada ‘azimah menjadi haram. Siapa saja yang takut binasa jika tidak
memakan daging bangkai, dia boleh mengambil rukhshah dan boleh pula berpegang pada
‘azimah. Adapun jika dia yakin akan binasa, maka berpegang pada rukhshah menjadi wajib, dan
sebaliknya menjadi haram berpegang pada ‘azimah.
Tinggallah kini masalah perbedaan antara ikrah (keterpaksaan) dan idhthirar (kondisi
darurat).Ikrah adalah menyebabkan orang lain melakukan sesuatu tanpa didasari kerelaan; ia tak
memilih untuk melakukan itu saat terlepas dari paksaan. Berbeda halnya dengan idhthirar.
Seorang mudhtharr (yang mengalami kondisi darurat) melakukan keharaman itu berdasarkan
pilihannya, walaupun kerelaan yang ada pada dirinya telah menyimpang. Hal ini mengakibatkan
sejumlah perkara berikut:            Seorang mukrah (yang dipaksa) itu boleh melakukan
keharaman jika terdapat kondisi al-ikrah al-mulji, misalnya memakan daging bangkai dan
melontarkan kalimat kekufuran. Tak ada perbedaan apakah urusannya termasuk hak Allah
ataukah hak manusia. Tak ada batasan tertentu terkait perkara yang haram tersebut kecuali
membunuh dan berzina. Dengan demikian tak ada istilah ikrah dalam kedua hal tersebut.
Ini berbeda dengan idhthirar. Seorang mudhtharr boleh memakan sesuatu yang haram, tetapi
tidak sampai pada batasan kenyang, hanya sekadar menghilangkan daruratnya saja. Ini
berdasarkan hadis riwayat Samurah bin Jundab ra. bahwa Nabi saw. pernah bersabda: Jika kamu
memberi minum air susu untuk keluargamu sebagai bagian makan malam maka jauhilah bangkai
yang dilarang oleh Allah.”
Inilah pemahaman yang benar tentang darurat. Pada prinsipnya kaidah tersebut harus dipegang
dalam pola seperti ini.
Hanya saja, ketidaktahuan atau sikap pura-pura tidak tahu telah menimbulkan banyak
kebingungan dan perbedaan pendapat. Ambiguitas ini muncul pada orang yang menunggangi
kaidah ini untuk merealisasikan tujuan-tujuan politik. Orang seperti ini akan memegang kaidah
darurat demi melegalkan tindak kejahatannya atau membubuhkan stempel syariah pada dosanya.
Berbagai perkara yang kita dengar akhir-akhir ini seperti fikih minoritas (aqaliyat), fikih prioritas
(awlawiyat), penerapan syariah secara bertahap dan kebolehan riba yang sedikit adalah contoh
penyalahgunaan kaidah darurat. Bahkan sampai ada yang lancang mengatakan pentingnya
sekularisme yang tidak melibatkan agama dalam politik dan sistem pemerintahan, juga
pentingnya berpegang pada sistem pemerintahan yang dibangun atas dasar kebangsaan yang
tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan agamanya. [Usamah Ya’qub][Diterjemahkan dan
disarikan oleh Dede Koswara, Staf Pengajar Ma’had al-Abqary Serang]

Anda mungkin juga menyukai