Anda di halaman 1dari 67

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”

MENGETUK PINTU LANGIT


MENOLAK KEZALIMAN MENEGAKKAN KEADILAN

NOTA KEBERATAN
(EKSEPSI)

ATAS DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM


NO. REG. PERKARA: PDM-011/JKT.TIM/Eku/02/2021
ATAS NAMA TERDAKWA
MOH RIZIEQ alias HABIB MUHAMMAD RIZIEQ SYIHAB

No. Reg. Perkara 221/Pid.B/2021/PN.Jkt.Tim


Pada Pengadilan Negeri Jakarta Timur
Jakarta, 16 Maret 2021

Kepada Yang Mulia,


Majelis Hakim dalam No. Reg. Perkara 221/Pid.B/2021/PN.Jkt.Tim
Pada Pengadilan Negeri Jakarta Timur
Jl. Dr. Sumarno No.1, Cakung, Kota Jakarta Timur,
Daerah Khusus Ibukota Jakarta 13210.

Dengan hormat,

Perkenankan kami Para Advokat dan Asisten Advokat dari TIM ADVOKASI HABIB
RIZIEQ SYIHAB, yang beralamat di Komplek Perkantoran Yayasan Daarul Aitam, Jl.
KH. Mas Mansyur, No. 47 C & D, Jakarta Pusat, dalam hal ini bertindak untuk dan
atas nama HABIB RIZIEQ SYIHAB, dengan ini mengajukan Eksepsi (Nota Keberatan)
atas surat dakwaan Saudara Penuntut umum Reg. Perkara No. PDM-
011/JKT.TIM/Eku/02/2021 sebagai berikut :

BAB I
PENDAHULUAN

Majelis Hakim yang mulia,


Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,

Pertama-tama, izinkanlah kami selaku hamba Allah Subhanahu wa Ta‟ala untuk


mengucap puji syukur kehadirat Illahi Rabbi, Sang Penggenggam Langit dan Bumi,
atas segala limpahan sinar keridho‟an-NYA, yang menggenggam dan memiliki nyawa
kita, sehingga dan oleh karenanya baik klien kami maupun kami selaku Penasehat
hukumnya masih mendapatkan kesehatan dan kekuatan serta kemampuan untuk
hadir di tempat ini.

Kami juga menghaturkan terima kasih kepada Majelis Hakim yang mulia, atas
kesempatan yang diberikan kepada kami untuk mengajukan sekaligus membacakan
EKSEPSI atau NOTA KEBERATAN ini, sebagai tanggapan terhadap surat dakwaan
dari Jaksa Penuntut Umum yang telah dibacakan.

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 1 dari 66
Dengan diawali kalimat basmallah pada halaman judul dan berharap ridho hanya
kepada Allah Subhanahu Wa Ta”ala, maka Eksepsi atau Nota Keberatan ini kami beri
judul “MENGETUK PINTU LAGIT, MENOLAK KEZALIMAN – TEGAKKAN KEADILAN”

Mengapa demikian ?, karena jelas dan terang benderang, konstruksi perkara a quo
adalah rangkaian atau bagian dari perbuatan rezim yang zalim, dungu dan pandir,
yang telah menyalahgunakan sumber daya Negara, menyalahgunakan institusi
Negara, menyalahgunakan hukum, hanya untuk kepentingan segelintir elit, hanya
untuk mempertahankan struktur ekonomi, sosial dan politik yang timpang, yang
tidak adil, yang bersifat predator terhadap rakyat sendiri, yang hanya berpihak
kepada sekelompok manusia rakus dan hubuddunya.

Dalam kesempatan ini, kami hanya ingin mengingatkan semua yang ada dalam
ruangan ini, bahwa kami hanya berharap pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta‟ala,
kami mengetuk pintu langit, karena kami yakin, hanya Allah yang menepati janjiNya,
sedangkan berharap pada mahluk hanya akan berujung pada kekecewaan, apalagi
berharap pertolongan dari kelompok orang orang zalim dungu dan pandir.

Kami mengingatkan kepada semua yang ada di dalam ruangan ini, maupun umat
Islam Indonesia, bahwa apabila kezaliman dan kemungkaran sudah merajalela,
keadilan diabaikan, maka tinggal tunggu kehancuran sebuah bangsa.

Bencilah terhadap kemungkaran seperti kezaliman atau ketidakadilan.

Rasulullah membolehkan umat Islam untuk mengingkari kebijakan penguasa negeri


(umara) yang menurut pendapat para fuqaha (ahli fiqih) bertentangan dengan Al
Qur‟an dan Hadits.

Dari Ummu Salamah radliallahu „anha berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu
„alaihi wasallam, “akan terjadi sesudahku para penguasa yang kalian mengenalinya
dan kalian mengingkarinya. Barangsiapa yang mengingkarinya maka sungguh ia
telah berlepas diri. Akan tetapi siapa saja yang ridha dan terus mengikutinya (dialah
yang berdosa).” Maka para sahabat berkata : “Apakah tidak kita perangi saja mereka
dengan pedang?” Beliau menjawab : “Jangan, selama mereka menegakkan shalat
bersama kalian.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya).

Al Imam Al Hafizh An Nawawi mengatakan, “Di dalam hadits ini terkandung dalil
yang menunjukkan bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran
tidak berdosa semata-mata karena dia tinggal diam, akan tetapi yang berdosa
adalah apabila dia meridhai kemungkaran itu atau tidak membencinya

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 2 dari 66
dengan hatinya, atau dia justru mengikuti kemungkarannya.” (Syarh Muslim
[6/485])

Oleh karenanya sebaiknya kita membenci atau minimal sedih dan prihatin terhadap
kemungkaran seperti kezaliman atau ketidakadilan penguasa negeri (umaro).
Bukankah penguasa negeri ini juga pernah mengajak untuk membenci produk
asing?. Sayang sekali saudara sekalian, kebencian itu diarahkan hanya kepada
produk asing. Kita berdo‟a agar kebencian itu tidak diarahkan kepada pihak yang
mengkritisi dan mengingatkan berbagai ketidakadilan. Sebab bila kebencian tersebut
bukan diarahkan kepada kemungkaran daan kezaliman serta ketidakadilan, maka
justru orang yang mengingatkan untuk berlaku adil, menghentikan kezaliman dan
menghentikan kemungkaran yang justru akan dihukumi dan dihakimi, sebagaimana
perkara a quo.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa melihat kemungkaran,


maka hendaknya ia merubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka hendaknya
merubah dengan lisannya, jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan yang
demikian itulah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim).

Selain itu negeri kita akan diazab Allah jika membiarkan kemungkaran seperti
kezaliman atau ketidakadilan.

Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak


mengazab manusia secara umum karena perbuatan khusus (yang dilakukan
seseorang atau sekelompok orang) hingga mereka melihat kemungkaran di tengah-
tengah mereka, mereka mampu mengingkarinya, namun mereka tidak
mengingkarinya. Jika itu yang mereka lakukan, Allah mengazab yang umum maupun
yang khusus. (HR Ahmad).

Jadi membiarkan kemungkaran seperti kezaliman atau ketidakadilan akan


mengakibatkan kerusakan atau azab. Kerusakan atau azab yang terjadi tidak hanya
menimpa pelakunya, namun juga orang lain yang tidak terlibat langsung.

Realitas ini digambarkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan sabdanya:

Perumpamaan orang-orang yang menegakkan hukum-hukum Allah dan orang-orang


yang melanggarnya bagaikan suatu kaum yang berbagi-bagi tempat di sebuah kapal,
sebagian dari mereka ada yang mendapatkan bagian atas kapal, dan sebagian
lainnya mendapatkan bagian bawahnya. Orang-orang yang berada di bagian bawah
kapal, jika hendak mengambil air, melewati orang-orang yang berada di atas
mereka. Mereka berkata, “Seandainya kita melubangi bagian kita dari kapal ini,
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 3 dari 66
niscaya kita tidak akan mengganggu orang-orang yang berada di atas kita.” Apabila
mereka semua membiarkan orang-orang tersebut melaksanakan keinginannya,
niscaya mereka semua akan binasa; jika mereka mencegah orang-orang tersebut,
niscaya mereka selamat dan menyelamatkan semuanya. (HR al-Bukhari).

A. LARANGAN DAN ANCAMAN ALLAH TERHADAP PENGUASA DZALIM,


DUNGU DAN PANDIR, SERTA KEPADA PARA PENGIKUTNYA

Majelis Hakim yang mulia,


Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,

Dalam banyak firman Allah Azza wa Jalla dan hadits Rasulullah Shallallahu „Alaihi
wa Sallam telah mengingatkan kita semua agar selalu menegakkan keadilan, dan
tidak menjadi pengikut kedzaliman.

Demikian juga dengan persidangan a quo, hendaknya dijadikan sarana


pengadilan untuk mencapai keadilan, bukan malah dijadikan sebagai sarana
penghakiman dan penghukuman.

Kami sampaikan nasehat ini kepada penguasa dan para pengikutnya agar tidak
berbuat zalim dan kemungkaran. Orang yang mengikuti pemimpin zalim, dungu
dan pandir akan menderita di akhirat, apalagi yang membantu kezaliman.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

Ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang
mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara
mereka terputus sama sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti:
“Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari
mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.” Demikianlah Allâh
memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi
mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka. (Q.S Al-
Baqarah:166-167)

Dan janganlah kamu mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh
orang-orang yang dzalim. Sesungguhnya Allah menangguhkan mereka hingga
hari yang ketika itu mata mereka terbelalak. (Q.S Ibrahim: 42)

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 4 dari 66
Dan Kami telah membinasakan penduduk negeri itu tatkala mereka berbuat
dzalim, dan Kami tetapkan waktu tertentu bagi kebinasaan mereka. – (Q.S Al-
Kahfi: 59)

Rasulullah shallahu „alaihi wasallam bersabda:

“Barangsiapa yang diangkat oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, kemudian ia


tidak mencurahkan kesetiaannya, maka Allah haramkan baginya surga.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Dalam lafadh yang lain disebutkan, ”Ialu ia mati dimana ketika matinya itu dalam
keadaan menipu rakyatnya, maka Allah haramkan surga baginya.”

Tentunya masih banyak riwayat lain yang menyebutkan tentang ancaman Allah
ta‟ala terhadap para pemimpin yang menzalimi rakyatnya.

Bentuk ancamannya pun tidak ada yang ringan, hampir seluruhnya


mengingatkan akan besarnya dosa seorang pemimpin ketika dia berbuat zalim
kepada rakyatnya. Apalagi ketika ia rela berbohong di hadapan rakyat demi
mempertahankan jabatannya.

Majelis Hakim yang mulia,


Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,

Keberadaan klien kami sebagai terdakwa dalam perkara a quo dan terjadinya
persidangan ini, hakekatnya adalah akibat dari nasehat yang dilakukan klien
kami terhadap ketidakadilan dan kezaliman yang merajalela. Klien kami hanya
menjalankan amalan yang diperintahkan oleh Datuknya, yaitu Rasulullah
Shallallahu „Alaihi wa Sallam yang telah bersabda:

“Agama itu adalah nasihat.” Kami berkata, “Untuk siapa?” Beliau bersabda,
“Untuk Allah, kitab-NYA, Rasul-NYA, Imam kaum muslimin, dan orang-orang
kebanyakan.” (HR. Muslim)

Memang, nasihat secara diam-diam merupakan pilihan awal dalam melawan


kemungkaran. Namun ia bukanlah satu-satunya cara untuk meluruskan
kesalahan penguasa. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam
bersabda:

“Jihad yang paling utama adalah mengutarakan perkataan yang adil di depan
penguasa atau pemimpin yang zhalim.” (HR. Abu Daud, Tirmi)

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 5 dari 66
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam telah mengingatkan kita


semua, bahwa salah satu fenomena akhir zaman adalah bermunculannya para
pemimpin yang zalim, dungu dan pandir.

Akan tiba pada manusia tahun-tahun penuh kebohongan. Saat itu, orang bohong
dianggap jujur. Orang jujur dianggap bohong. Pengkhianat dianggap amanah.
Orang amanah dianggap pengkhianat. Ketika itu, orang “Ruwaibidhah” berbicara.
Ada yang bertanya, “Siapa Ruwaibidhah itu?” Nabi menjawab, “Orang bodoh
yang mengurusi urusan orang umum.” (HR. Hakim)

Dari Jabir bin Abdillah RA bahawa Rasulullah SAW berkata kepada Ka‟ab bin
Ajzah:

“Aku memohon perlindungan untukmu kepada Allah dari kepemimpinan orang-


orang bodoh.” (HR. Ahmad).

Para pemimpin yang zalim dungu dan pandir inilah yang menguasai umat akhir
zaman ini. Untuk itulah klien kami selalu berusaha dan terus menerus berupaya
mengingatkan umat agar selalu menjauhi pemimpin zalim dungu dan pandir.

Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam mengingatkan umatnya untuk menjauhi


pemimpin tersebut serta jangan sampai mendekatinya, apalagi membenarkan
tindakan zalim yang mereka lakukan. Sebab, ketika seseorang tetap mendekati
pemimpin zalim tersebut dan membenarkan apa yang dilakukannya maka ia
akan terancam keluar dari lingkaran golongan umat Nabi SAW dan ia tidak akan
mendatangi telaganya nanti di hari kiamat.

Dari Ka‟ab bin Ujroh radhiyallahu„anhu ia berkata bahwa Rasulullah


shallallahu„alaihi wasallam keluar mendekati kami, lalu bersabda:

“Akan ada setelahku nanti para pemimpin yang berdusta. Barangsiapa masuk
pada mereka lalu membenarkan (menyetujui) kebohongan mereka dan
mendukung kedhaliman mereka maka dia bukan dari golonganku dan aku bukan
dari golongannya, dan dia tidak bisa mendatangi telagaku (di hari kiamat). Dan
barangsiapa yang tidak masuk pada mereka (penguasa dusta) itu, dan tidak
membenarkan kebohongan mereka, dan (juga) tidak mendukung kedhaliman
mereka, maka dia adalah bagian dari golonganku, dan aku dari golongannya,
dan ia akan mendatangi telagaku (di hari kiamat).” (HR. Ahmad dan An-Nasa‟i)

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 6 dari 66
Demikian juga, kita telah diberi peringatan dari Rasulullah SAW tentang
penerapan hukum yang dilakukan pada masa masa rezim zalim dungu dan
pandir tersebut.

Dari Ubadah bin Shamit RA berkata bahawa Rasulullah SAW bersabda:


“Kalian akan dipimpin oleh para pemimpin yang memerintah kalian dengan
hukum yang tidak kalian ketahui (imani). Sebaliknya, mereka melakukan apa
yang kalian ingkari. Sehingga terhadap mereka ini tidak ada kewajiban bagi
kalian untuk mentaatinya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah).

Kondisi hubungan antara rezim zalim dungu dan pandir dengan rakyatnya pada
masa akhir zaman telah digambarkan oleh Rasulullah SAW.

Dari Abu Hisyam as-Silmi RA berkata bahawa Rasulullah SAW bersabda:


“Kalian akan dipimpin oleh para pemimpin yang mengancam kehidupan kalian.
Mereka berbicara (berjanji) kepada kalian, kemudian mereka mengingkari
(janjinya). Mereka melakukan pekerjaan, lalu pekerjaan mereka itu sangat buruk.
Mereka tidak suka dengan kalian hingga kalian menilai baik (memuji mereka)
dengan keburukan mereka, dan kalian membenarkan kebohongan mereka, serta
kalian memberi kepada mereka hak yang mereka senangi.” (HR. Thabrani).

Bukankah kondisi diatas seperti yang digambarkan oleh Rasulullah SAW telah
terjadi pada masa kini ? lihatlah betapa banyaknya manusia manusia yang
memuji muji bahkan menjadi bagian dari berbagai keburukan yang dilakukan
oleh rezim zalim dungu dan pandir.

Kita saat ini telah pula sampai pada masa yang dikabarkan oleh Rasulullah SAW.

Dari Abu Hurairah RA yang berkata bahawa Rasulullah SAW bersabda:


“Akan datang di akhir zaman nanti para penguasa yang memerintah dengan
sewenang-wenang, para pembantunya (menteri-menterinya) fasik, para hakim
nya menjadi pengkhianat hukum, dan para ahli hukum Islam (fuqaha‟nya)
menjadi pendusta. Sehingga, siapa saja di antara kalian yang mendapati zaman
itu, maka sungguh kalian jangan menjadi pemungut cukai (kerana khawatir akan
bersubahat dengan mereka).” (HR. Thabrani).

Rasulullah SAW bersabda:


“Sesungguhnya seburuk buruknya para penguasa adalah penguasa al-huthamah
(diktator).” (HR. Al-Bazzar).

Dari Abu Layla al-Asy‟ari bahwa Rasulullah Saw bersabda:


“Dan akan datang para pemimpin, jika mereka diminta untuk mengasihani
(rakyat), mereka tidak mengasihani; jika mereka diminta untuk menunaikan hak

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 7 dari 66
(rakyat), mereka tidak menunaikannya; dan jika mereka disuruh berlaku adil
mereka menolak keadilan . Mereka akan membuat hidup kalian dalam ketakutan;
dan memecah-belah tokoh-tokoh kalian. Sehingga mereka tidak membebani
kalian dengan suatu beban, kecuali mereka membebani kalian dengan paksa,
baik kalian suka atau tidak. Serendah-rendahnya hak kalian, adalah kalian tidak
mengambil pemberian mereka, dan tidak kalian menghadiri pertemuan mereka.”
(HR. Thabrani).

Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda :


“Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Jika umurmu
panjang, maka kamu akan mendapati suatu kaum yang di tangan mereka alat
seperti ekor sapi, mereka di pagi hari berangkat dengan murka dari Allah dan
pulang di mala hari membawa kemarahan dari Allah.” (HR Muslim)

Kemudian Nabi -Shallallahu Alaihi Wasallam telah pula kabar berita kepada kita
semua yang berisi ancaman kepada polisi di akhir zaman. Di antaranya hadits-
hadits tersebut adalah :
“Akan ada di akhir zaman nanti para polisi yang berangkat di pagi hari membawa
murka Allah dan pulang di sore hari membawa kemarahan dari Allah.” (HR
Thobroni)

Firman Allah Azza wa Jalla dan hadits Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam
sebagaimana yang kami sampaikan di atas, kiranya dapat menjadi pengingat
bahwa Allah SWT sangat murka dengan penguasa dan para pengikutnya yang
berbuat dzalim kepada rakyatnya.

Bila senjata dipegang oleh orang jahat,


Bila hukum dipegang oleh orang shubhat,
Dan bila kekuasaan dipegang oleh pengkhiatan,
Maka bangsa ini akan menjadi terlatnat.

B. PERKARA A QUO ADALAH PERKARA POLITIK DAN BAGIAN DARI


OPERASI INTELIJEN BERSKALA BESAR (OIBB) OLEH REZIM DZALIM,
DUNGU DAN PANDIR

Majelis Hakim yang mulia,


Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,

Jika kita cermati secara keseluruhan dari 5 dakwaan yang dibuat oleh Jaksa
Penuntut Umum, baik dakwaan pertama, dakwaan kedua, dakwaan ketiga,
dakwaan keempat dan dakwaan kelima, uraian mengenai cara melakukan
perbuatan yang didakwaan merupakan pengulangan dan semata-mata meng
“copy paste” dari dakwaan pertama.
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 8 dari 66
Padahal dari 5 dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam surat
dakwaan, kualitas dari masing-masing tindak pidana dan unsur-unsur dari tindak
pidana yang didakwakan memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya.

Hal ini menunjukan bahwa Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan dakwaan
terhadap perkara ini sama sekali TIDAK YAKIN atau mungkin bingung, apa
sesungguhnya perbuatan yang telah dilakukan dalam perkara ini sehingga
dakwaan yang dibuat bukan atas dasar hasil investigasi namun lebih banyak
didasarkan atas imajinasi, spekulasi, dan duplikasi, serta kental akan muatan
politik dan rekasaya semata.

Proses hukum alias due process of law dalam perkara a quo telah disaksikan oleh
seluruh rakyat Indonesia sebagai sebuah proses hukum yang dipaksakan yang
menabrak seluruh sendi sendi Negara Hukum Yang Berkeadilan.

Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 amandemen ketiga menyatakan Indonesia
adalah Negara Hukum. Secara teori, konsekwensi dari pernyataan negara hukum
adalah, konsep the rule of law harus dipatuhi dalam praktek pelaksanaan law
enforcement.

Dalam konsep negara hukum, hubungan antara tiga cabang kekuasaan adalah
saling mengontrol, oleh karena tugas kekuasaan yudikatif bukan hanya
menjalankan due process of law, namun juga memastikan keadilan dan
mengoreksi due process of law yang menyimpang yang dilakukan oleh
kekuasaan eksekutif.

Bila kita kongkritkan dalam perkara a quo, maka banyak sekali pelanggaran
terhadap due process of law dan ketidakadilan dalam perkara a quo. Maka sudah
sepatutnya majelis hakim dalam perkara a quo membatalkan perkara ini atau
setidaknya membatalkan penerapan pasal-pasal akrobatik, aneh dan diluar nalar
hukum dalam perkara ini.

Oleh karena itu sekali lagi kami harapkan agar persidangan perkara a quo, benar
benar menjadi proses pengadilan BUKAN sekedar proses penghakiman
dan penghukuman. HABIB RIZIEQ SYIHAB yang merupakan seorang tokoh
Agama dan tokoh Nasional TIDAK DIBENARKAN menjadi target dari
kepentingan-kepentingan NON YURIDIS DAN KEPENTINGAN POLITIK
DARI REZIM DZALIM, DUNGU DAN PANDIR YANG DENGAN
KEKUASAANNYA MELAKUKAN PENJINAKAN DENGAN INSTRUMEN
HUKUM. Kami berharap bahwa putusan dari proses hukum persidangan ini,

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 9 dari 66
betul-betul didasarkan atas fakta-fakta kebenaran materiil yang terungkap
dipersidangan ini demi menegakkan proses hukum yang adil.

Majelis Hakim yang mulia,

Penggunaan Pasal 160 KUHP, dalam sejarahnya sejak era kolonial Belanda sering
digunakan untuk menjerat tokoh-tokoh pergerakan yang memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia, dan setelah pemerintahan kemerdekaan Indonesia,
pasal a quo sering digunakan oleh pemerintah untuk menjerat setiap orang yang
memiliki pikiran kritis kepada pemerintah. Sehingga pengenaan Pasal 160 KUHP
terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB merupakan dejavu era kolonial Belanda dan
membuktikan bahwa HABIB RIZIEQ SYIHAB adalah terget politik yang harus
dilakukan penahanan dan penghukuman, yang merupakan bentuk kedzaliman,
kedunguan dan kepandiran yang nyata.

Sekedar untuk mengingatkan kembali kisah Soekarno dalam lakon "Indonesia


Menggugat" yang kini dialami kembali oleh anak bangsa yang bernama HABIB
RIZIEQ SYIHAB dkk melalui Gerakan 212 Menggugat "Ketidakadilan yang terjadi
di NKRI"

Lintasan sejarah tersebut terjadi pada 22 Desember 1930 sekitar pukul 09.00
WIB, menjadi salah satu momentum bersejarah bagi perjuangan rakyat
Indonesia untuk memerdekakan diri dari penjajahan Belanda. Sukarno atau Bung
Karno divonis empat tahun penjara oleh Pengadilan Lanraad Bandung.

Bung Karno bersama kawan-kawannya Raden Gatot Mangkoepradja, Maskoen


Soemadiredja, dan Supriadinata dinilai hakim terbukti bersalah melakukan
pelanggaran dalam Pasal 169 Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta
menyalahi Pasal 161, 171, dan Pasal tersebut kerap kali digunakan Pemerintah
Belanda untuk menjebloskan para pejuang kemerdekaan Indonesia ke penjara
melalui proses hukum.

Sukarno dan kawan-kawannya dituduh membuat perkumpulan dan pergerakan


yang membahayakan pemerintahan Belanda di Tanah Air. Belanda juga
menyeret Bung Karno ke penjara lantaran pemikirannya dianggap
membahayakan bagi kekuasaan mereka di Indonesia.

Saat masih kuliah, Sukarno muda aktif dalam dunia politik menentang
pemerintah kolonial Belanda. Ia bersama kawan-kawannya kerap mengadakan
diskusi di rumah kos milik pasangan Haji Sanusi dan Inggit Garnasih. Inggit kelak
dipersunting Sukarno menjadi istrinya.
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 10 dari 66
Selepas lulus dan dinobatkan menjadi insinyur Teknik Sipil ITB, Bung Karno
menyatakan siap untuk membentuk partai. Partai yang didirikan Bung Karno ini
aktif mendidik rakyat dengan memberikan kuliah-kuliah politik untuk
membangkitkan kesadaran tentang bahaya kolonialisme dan pentingnya
kemerdekaan. Kegiatan ini tentu saja menjadi ancaman bagi pemerintah
Belanda. Sejak saat itu, Bung Karno dan kawan-kawannya mulai diawasi ketat
oleh Belanda.

Buntutnya, pada Desember 1929, saat dia dan koleganya mengadakan


serangkaian rapat umum di Solo dan Yogyakarta, pemerintah Belanda menggelar
operasi besar-besaran dengan menangkap para aktivis yang dituduh hendak
melakukan makar. Untuk membuat jera, Belanda membuang para aktivis ini ke
Boven Digul, kamp neraka di jantung Papua.

Berdasarkan penuturan Her Suganda dalam bukunya Jejak Soekarno di Bandung


(2015), Bung Karno dijemput paksa pemerintah Belanda saat tengah melakukan
kampanye PNI di Yogyakarta. Para petugas penjemputan paksa menculik Bung
Karno dan kedua rekannya. Seorang inspektur dengan 50 pasukan sempat
mengatakan 'Atas nama Sri Ratu, saya menahan tuan'. Kemudian tentara
Belanda dengan 50 pasukan itu menyeret Bung Karno dan dua kolegaya untuk
naik kereta di pagi buta dengan gerbong tertutup tanpa celah. Penculikan Bung
Karno di pagi itu membawanya hingga Stasiun Cicalengka. Dengan
menggunakan mobil, Bung Karno, Gatot, dan Maskoen dibawa berkendara
hingga tiba di penjara Banceuy.

Penjara tersebut dibangun pemerintah kolonial Belanda pada 1887 di daerah


yang dulunya bernama Kampung Banceuy. Penjara Banceuy dikenal sebagai
penjara yang seram lantaran digunakan untuk menahan para pelaku kriminal
seperti rampok, begal, atau maling. Ketika sampai, mereka disambut sang
direktur penjara yang telah menempatkan satu regu tentara KNIL atau Tentara
Hindia Belanda bersenjata lengkap dipimpin oleh seorang sersan. Saat itu,
penjara Banceuy telah dipenuhi para penggerak dan pengikut PNI yang turut
ditangkap dalam razia besar-besaran.

Sebelum akhirnya divonis penjara 4 tahun, Bung Karno sempat membacakan


nota pembelaan dengan judul Indonesia Klaagt Aan atau "Indonesia
Menggugat".

Indonesia Menggugat ditulis Bung Karno selama satu setengah bulan di dalam
penjara. Isi pidato Indonesia Menggugat adalah tentang keadaan politik
internasional dan kerusakan masyarakat Indonesia di bawah penjajah Belanda.
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 11 dari 66
Pidato pembelaan ini kemudian menjadi suatu dokumen politik menentang
kolonialisme dan imperialisme.

Proses persidangan terhadap Bung Karno sendiri berjalan selama 19 kali. Perkara
tersebut sempat naik banding ke Rand Van Justitie. Namun Pengadilan Tinggi ini
tetap berpegang teguh dengan hukuman 4 tahun pidana penjara terhadap Bung
Karno.

Kisah diatas kini kembali terjadi pada anak bangsa yang bernama HABIB RIZIEQ
SYIHAB yang bersama barisannya di Gerakan 212 menggugat ketidak adilan
yang terjadi di negeri ini.

Gerakan 212 ini sangat besar dan fenomenal dan menjadi sorotan dunia
International dan Nasional. Banyak kalangan dari berbagai lapisan mendukung
gerakan ini dan mendorong agar terjadi perubahan besar di NKRI agar negeri ini
kembali ke jati dirinya ketika Indonesia ini di merdekakan yaitu ingin menjadi
negara yang berdaulat yang berdiri diatas kaki sendiri dan menjadi bangsa besar
diantara bangsa bangsa lain dengan meletakkan dasar negara Pancasila sebagai
dasar negaranya dan sekaligus sebagai visi besarnya untuk membangun
Indonesia merdeka yang maju, makmur, manusiawi di bawah dasar negara
pancasila bukan dasar negara kapitalis apalagi komunis.

Tapi apa yang terjadi di era kekinian ? HABIB RIZIEQ SYIHAB dan gerakannya
dituduh macam macam dengan stigma anti Pancasila, anti Bhinneka tunggal Ika,
anti NKRI dan lain sebagainya.

HABIB RIZIEQ SYIHAB dikriminalisasi dan gerakannya coba dipadamkan dengan


berbagai cara agar para antek Aseng dan Asing tetap nyaman menjajah dan
menjarah harta kekayaan NKRI. Oleh karena itu bagi pribumi Indonesia yang
sadar akan hal ini, Gerakan 212 telah membangkitkan semangat pribumi untuk
memerdekakan kembali negeri ini untuk yang kedua kalinya setelah melihat aset
aset strategis NKRI telah jatuh kembali ketangan para VOC Baru yang
direpresentasikan oleh kaum Oligart dan rezim Zalim dungu dan pandir di NKRI !!

Karena gerakan HABIB RIZIEQ SYIHAB dan kawan-kawan inilah, maka para
penjajah melalui kekuatan modalnya dengan memperalat para pengkhianat
negeri berhasil mendudukkan HABIB RIZIEQ SYIHAB dan kawan-kawan sebagai
terdakwa pada persidangan ini.

IRONI BUKAN..?

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 12 dari 66
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,

Kalau kita tidak menggunakan hati nurani dan petunjuk dari syariat serta akal
yang sehat dan waras, maka struktur dan substansi perkara ini tidak akan bisa
dilihat dengan benar, yang akan terjadi adalah proses penghakiman dan
penghukuman bukan sebuah proses peradilan. Publik harus tahu beda proses
penghakiman dan penghukuman versus proses pengadilan dalam perkara ini.

HABIB RIZIEQ SYIHAB dan kawan-kawan justru berupaya dengan segala


kemampuannya yang diberikan oleh Allah SWT, hanya berikhtiar untuk
mengkalibrasi ulang tatanan yang tidak adil, agar menjadi adil bagi semua rakyat
Indonesia, HABIB RIZIEQ SYIHAB dan kawan-kawan justru berupaya
mengkalibrasi ulang berbagai timbangan kezaliman dimana struktur ekonomi,
politik dan hukum, yang dalam prakteknya hanya berfungsi melayani sekelompok
orang tertentu pada satu sisi namun bertindak bengis dan keji terhadap rakyat
pada umumnya.

Bila dilihat dariapa yang diperjuangkan oleh HABIB RIZIEQ SYIHAB dan kawan
kawan, sebagaimana yang dialami oleh Proklamator Ir. Soekarno seperti riwayat
yang kami kutipkan diatas, jelas bahwa kriminalisasi HABIB RIZIEQ SYIHAB
dalam perkara a quo tidak lepas dan merupakan bagian dari Operasi Intelijen
Berskala Besar (OIBB) oleh rezim Zalim dungu dan pandir.

Operasi Intelijen Berskala Besar ini terdiri dari :


1. Operasi black propaganda terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB dan FPI;
2. Operasi Kontra narasi terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB dan FPI;
3. Operasi pencegahan kepulangan HABIB RIZIEQ SYIHAB dari Saudi walau
gagal mencegah HABIB RIZIEQ SYIHAB pulang tapi berhasil menghambat
dan menggangu kepulangan sehingga membutuhkan waktu 3,5 tahun baru
HABIB RIZIEQ SYIHAB bisa pulang;
4. Operasi penggalangan tokoh masyarakat dan tokoh agama diberbagai propinsi
untuk menolak keberadaan HABIB RIZIEQ SYIHAB dan FPI;
5. Operasi konyol penurunan baliho di berbagai tempat oleh aparat yg bukan
tupoksinya;
6. Operasi konyol mengerahkan komando operasi khusus hanya sekedar utk
membunyikan sirine di petamburan;
7. Operasi pembantaian pengawal HABIB RIZIEQ SYIHAB; dan
8. Operasi survailannce dan penjejekan terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB sehari
24 jam, seminggu 7 hari, sebulan 30 hari, setahun 365 hari.

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 13 dari 66
Sehingga selain perkara a quo adalah politik juga merupakan bentuk dan bagian
serta lanjutan dari operasi intelijen berskala besar tersebut. Bukti paling nyata
bahwa persidangan ini adalah lanjutan dari Operasi Intelijen Berskala Besar
adalah PERSIDANGAN TIDAK DILAKUKAN SESUAI DENGAN KITAB UNDANG
UNDANG HUKUM ACARA PIDANA. Yaitu, Persidangan tidak dilakukan pada locus
delicti peristiwa yang didakwakan, pasal pasal yang di dakwakan mengarah
kepada pasal pasal dengan ancaman yang bermotif politik seperti penerapan
pasal 10 dan 35 KUHP serta pasal pasal selundupan lainnya, persidangan
dilakukan melalui sidang elektronik, padahal TIDAK ADA SATUPUN UU yang
membolehkan.

Oleh karenanya kami meminta kepada Majelis Hakim Yang Terhormat untuk
membatalkan seluruh proses yang TIDAK SESUAI DENGAN KUHAP ini.
Sebagaimana telah kami sampaikan diatas bencilah dan cegahlah kemungkaran
dengan tanganmu.

C. KRIMINALISASI ATAS PERISTIWA MAULID DAN PERNIKAHAN PUTRI


HABIB RIZIEQ SYIHAB DI PETAMBURAN ADALAH NEBIS IN IDEM

Majelis Hakim yang mulia,


Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,

Perlu kami sampaikan bahwa, HABIB RIZIEQ SYIHAB dan Front Pembela Islam
(FPI) telah membayar sanksi denda administratif sebesar Rp50.000.000,- (lima
puluh juta rupiah) di kantor Sekretariat LPI, Petamburan, Jakarta Pusat pada hari
Minggu, 15 Nopember 2020.

Denda administratif tersebut dikenakan karena FPI dan HABIB RIZIEQ SYIHAB
dianggap telah melakukan pelanggaran protokol kesehatan pencegahan Covid-19
sehingga menimbulkan kerumunan.

Adapun kegiatan yang dianggap melanggar protokol kesehatan seperti tertulis


dalam Surat Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi DKI Jakarta Nomor: 2250/-1.75,
tanggal 15 Nopember 2020, perihal Pemberian Sanksi Denda Administratif adalah
pada penyelenggaraan pernikahan putri HABIB RIZIEQ SYIHAB dan peringatan
Maulid Nabi Muhammad SAW hari Sabtu, tanggal 14 Nopember 2020.

Dalam Surat yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tersebut
disebutkan bahwa yang menjadi landasan yuridis atau instrumen hukum
atas sanksi denda administratif terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB dan FPI yaitu :

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 14 dari 66
1. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 79 Tahun 2020
tentang Penerapan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol
Kesehatan Sebagai Upaya Pencegahan dan Pengendalian Corona
Virus Diseases 2019 (Covid-19);
2. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 80 Tahun 2020
tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar pada Masa
Transisi Menuju Masyarakat Sehat, Aman dan Produktif.

Kedua Paraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta yang dijadikan landasan


yuridis atau instrumen hukum atas penjatuhan sanksi denda administratif
terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB merupakan peraturan teknis pelaksana
dari Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020, sebagaimana
tercantum pada konsideran MENGINGAT angka 5 dalam kedua Peraturan
Gubernur Provinsi DKI Jakarta tersebut, yaitu sebagai berikut :

MENGINGAT :
1. …
2. …
3. …
4. …
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman
Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan
Corono Virus Diseases 2019 (Covid-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 170);

Kemudian pada konsideran MENGINGAT angka 4 Peraturan Menteri Kesehatan


Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam
rangka Percepatan Penanganan Corono Virus Diseases 2019 (Covid-19) dan
Pemulihan Ekonomi Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020
Nomor 170) disebutkan :

MENGINGAT :
1. …
2. …
3. …
4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018
Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6236);

Dengan mencermati tata urutan konsideran MENGINGAT mulai dari Peraturan


Gubernur Perovinsi DKI Jakarta No. 79 Tahun 2020 dan Peraturan Gubernur

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 15 dari 66
Perovinsi DKI Jakarta No. 80 Tahun 2020, hingga Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 9 Tahun 2020 yang berujung pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018
tentang Kekarantinaan Kesehatan, maka sanksi denda administratif yang
dijatuhkan terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB telah sesuai dengan
ketentuan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan, sehingga terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB
tidak dapat lagi dilakukan proses hukum (NEBIS IN IDEM) sesuai
dengan ketentuan Pasal 76 KUHP.

Adapun ketentuan hukum yang menyatakan Nebis In Idem harus terlebih dahulu
berdasarkan Putusan Pengadilan adalah ketentuan hukum kuno dan ketinggalan
jaman, yang hanya menjadikan hukum sebagai alat penindas (retributive
justice), sebagaimana dikatakan oleh Bagir Manan “bahwa Penegakan hukum
yang dilaksanakan selama ini merupakan upaya pembangunan yang
berkesinambungan, tujuannya adalah dalam rangka mewujudkan suasana
berperikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib, dan dinamis dalam
lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, damai, dan bersahabat. Penegakan
hukum pada hakekatnya adalah upaya untuk menciptakan keadilan. Proses
pemenuhan rasa keadilan masyarakat melalui penegakan hukum
sampai sekarang masih menampakan wajah lama, yaitu hukum
sebagai alat penindas (retributive justice)”

Konsep sistem peradilan pidana yang berdasarkan retributive justice yang


cenderung masih menganut sistem pembalasan terhadap pelaku tindak pidana
dan hukum digunakan sebagai alat untuk menakut-nakuti dan pembalasan
terhadap pelaku sudah selayaknya ditinggalkan, dan beralih kepada restorative
justice yang merupakan konsep yang didasarkan pada tujuan hukum sebagai
upaya dalam menyelesaikan konflik dengan perdamaian.

Oleh karenanya sudah sepatutnya proses perkara dalam peristiwa Maulid dan
Pernikahan anak beliau di Petamburan HARUS DINYATAKAN BATAL DEMI
HUKUM.

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 16 dari 66
D. AGRESIFITAS DAN MANUVER PENUNTUT UMUM DENGAN
MENAMBAHKAN BERANEKA RAGAM PASAL SELUNDUPAN YANG TIDAK
ADA KAITANNYA DENGAN PROKES DAN TEST SWAB ADALAH BUKTI
PERKARA A QUO ADALAH LANJUTAN DARI OPERASI INTELIJEN
BERSKALA BESAR

Majelis Hakim yang mulia,


Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,

Perlu diingat bahwa perkara ini bermula dari adanya kegiatan yang dianggap
melanggar protokol kesehatan pencegahan Covid-19 pada penyelenggaraan
pernikahan putri HABIB RIZIEQ SYIHAB dan peringatan Maulid Nabi Muhammad
SAW, namun Penuntut Umum dengan agresif dan nafsu mendakwa HABIB
RIZIEQ SYIHAB dengan pasal-pasal yang tidak ada kaitannya dengan protokol
kesehatan pencegahan Covid-19.

Sementara ketidakadilan penanganan pelanggaran protokol kesehatan kerap


ditemukan di lapangan. Kejadian paling anyar adalah Kongres Luar Biasa Partai
Demokrat di Medan Sumatera Utara. Aparat penegak hukum seperti tak sudi dan
tak berdaya untuk membubarkan acara yang secara terang-terangan melanggar
protokol kesehatan.

Yang paling fenomenal adalah kerumunan massa yang dilakukan Presiden Jokowi
saat kunjungan kerja ke Maumere, Nusa Tenggara Timur pada 23 Februari 2021
lalu. Loyalis Jokowi berkerumun tanpa saling jaga jarak, berjejer di pinggir jalan
menyambut idolanya yang melintas dalam iring-iringan kendaraan. Jokowi yang
saat itu hendak menuju lokasi peresmian Bendungan Napun Gete sempat keluar
dari atap mobil dan melambaikan tangan ke kerumunan warga. Pemujanya
histeris.

Semua kasus pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan rezim zalim,


dungu, pandir dan pemujanya, tak pernah diproses. Ada saja alibi untuk
menolaknya. Terlalu banyak kesewenang-wenangan rezim ini terhadap rakyat.
Terhadap rezim zalim, dungu dan pandir selalu dicari cari pembenaran untuk
meloloskan dari hukum, sementara terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB selalu dicari
cari kesalahan untuk dihukum.

Berbeda dengan yang dialami oleh HABIB RIZIEQ SYIHAB dan mantan pengurus
FPI yang harus dikerangkeng di dalam tahanan, rekening dibekukan. Padahal
HABIB RIZIEQ SYIHAB sudah membayar denda Rp50 juta.

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 17 dari 66
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,

Dan tidak cukup hanya sampai disitu, ketidakadilan terhadap HABIB


RIZIEQ SYIHAB berlanjut dengan aneka ragam pasal selundupan yang
aneh bin ajaib, yang telah ditambahkan oleh Penuntut Umum sejak
menerima pelimpahan berkas perkara dari Penyidik diantaranya yaitu
Pasal 82A ayat (1) jo. 59 ayat (3) huruf c dan d UU RI 16/2017 tentang
Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas undang-
Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Ormas menjadi Undang-Undang
jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 10 huruf b KUHP jo. Pasal 35
ayat (1) KUHP.

Manuver gesit yang dilakukan oleh Penuntut Umum dengan menambahkan


aneka ragam pasal selundupan tersebut sungguh luar biasa bersifat akrobatik
dan penuh dengan muatan politik dan merupakan lanjutan Operasi Intelijen
Berskala Besar, yang setidaknya dapat dibuktikan dengan fakta-fakta sebagai
berikut :

1. Tempat dilakukan sidang pengadilan bukan di wilayah locus delicti perbuatan


terjadi. Dari hal ini saja sudah jelas bahwa perkara aquo adalah perkara
politik yang target hukumannya sudah ditentukan, proses penghukumannya
sudah dikendalikan dan hak hal HABIB RIZIEQ SYIHAB sudah dikerdilkan.

2. Penerapan pasal yang tidak pada tempatnya, penambahan pasal-pasal yang


terus terjadi untuk memperberat ancaman hukuman dan pasal-pasal yang bisa
digunakan hanya agar HABIB RIZIEQ SYIHAB bisa ditahan selama mungkin
karena ada agenda politik yang menghendaki.

3. Due Process of Law TIDAK sesuai dengan ketentuan KUHAP.

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 18 dari 66
BAB II
PERSIDANGAN YANG DIPAKSAKAN, OLEH KARENANYA HARUS
DIBATALKAN DEMI MHUKUM

A. PENANGKAPAN DAN PENAHAN TERHADAP HABIB RIZIEQ SYIHAB


ADALAH TIDAK SAH, SEHINGGA HARUS SEGERA DIBEBASKAN DARI
TAHANAN

Majelis Hakim yang mulia,


Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,

Penangkapan dan penahanan tehadap HABIB RIZIEQ SYIHAB ADALAH TIDAK


SAH atau TIDAK MEMPUNYAI ALAT BUKTI PERMULAAN CUKUP sebagaimana
Pasal 17 KUHAP Jo. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Nomor: 21/PUU-
XII/2014. Jo. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Nomor: 07/PUU-VII/2009.
Tanggal 22 Juli 2009.

Dapat disebutkan disini beberapa putusan dikabulkannya permohonan


praperadilan terkait tidak sahnya penetapan tersangka dikarenakan tidak adanya
pemeriksaan calon tersangka, yaitu: Putusan Nomor 67/Pid.Prap/2015/PN.
Jkt.Sel, Pemohon: Dahlan Iskan; Putusan Nomor 32/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel,
Pemohon: Dr. H. Ilham Arief Sirajuddin; dan Putusan Nomor
19/Pid.Prap/2016/PN.Sby, Pemohon: Ir. H. La Nyalla Mahmud Mattalitti.

Lebih lanjut, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 menyatakan


bahwa frasa “bukti permulaan”, bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang
cukup” harus dimaknai sebagai minimal dua alat bukti sebagaimana yang
dimaksudkan dalam Pasal 184 KUHAP. Dua alat bukti minimal dimaksudkan
dalam rangka membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya. Membuat terang tindak pidana adalah dalam hal
mengetahui secara jelas tindak pidana apa yang terjadi dan kemudian
terpenuhinya unsur pasal yang akan diterapkan kepada pelaku. Unsur pasal
dimaksud adalah adalah unsur objektif (actus reus) dan unsur subjektif (mens
rea).

Penyidikan sebagai suatu proses tidak selalu harus menghasilkan produk berupa
penetapan status tersangka. Penetapan status tersangka harus memenuhi
adanya dua alat bukti minimal, pemeriksaan pendahuluan terhadap calon
tersangka dan terpenuhinya unsur objektif (actus reus) dan unsur subjektif
(mens rea) dan keterhubungan keduanya. Dengan demikian menjadi jelas bahwa

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 19 dari 66
pemeriksaan calon tersangka demikian penting sebab berkaitan dengan dua alat
bukti minimal dan pemenuhan unsur pasal yang akan dikenakan.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka untuk MENANGKAP
dan MENAHAN tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau
keadaannya berdasarkan “minimal dua alat bukti” yang termuat dalam Pasal 184
KUHAP patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

Pasal 1 angka 27 KUHAP yang pada dasarnya menyatakan bahwa keterangan


saksi adalah keterangan yang bersumber dari apa yang saksi lihat sendiri, dengar
sendiri dan saksi alami sendiri. Artinya bahwa fakta-fakta yang diperoleh dari
keterangan saksi haruslah bersumber dari pribadinya sendiri. Keterangan saksi
yang diberikan di luar pendengaran, penglihatan atau pengalaman saksi sendiri
mengenai suatu peristiwa pidana yang terjadi, tidak dapat dijadikan dan dinilai
sebagai alat bukti. Dengan demikian keterangan seperti ini tidak mempunyai nilai
kekuatan pembuktian.

Fakta yang terjadi tidak ada Saksi yang melihat sendiri, mendengar sendiri dan
mengalami sendiri terhadap perbuatan yang disangkakan kepada HABIB RIZIEQ
SYIHAB, sehingga sama sekali tidak memenuhi kriteria sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP.

Bahwa selain belum diperiksanya HABIB RIZIEQ SYIHAB sebagai saksi, secara
tiba-tiba tanpa dasar hukum yang jelas penyidik langsung mengumumkan
kepada mass media, bahwa HABIB RIZIEQ SYIHAB ditetapkan Tersangka dan
bahkan penyidik Menerbitkan SURAT PERINTAH PENANGKAPAN yang lucunya
dilakukan didalam Kantor Polisi saat HABIB RIZIEQ SYIHAB datang dengan
sukarela dan dilanjtkan dengan penerbitan SURAT PENAHANAN atas diri HABIB
RIZIEQ SYIHAB.

Oleh karena SURAT PERINTAH PENANGKAPAN dan SURAT PERINTAH


PENAHANAN yang diterbitkan oleh penyidik atas diri HABIB RIZIEQ SYIHAB,
dilakukan dengan tanpa terlebih dahulu memeriksa HABIB RIZIEQ SYIHAB
sebagai saksi, maka penetapan tersangka dan perintah penangkapan serta
penahan atas diri HABIB RIZIEQ SYIHAB adalah TIDAK SAH, dan oleh HABIB
RIZIEQ SYIHAB harus segera dibebaskan dari tahahan.

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 20 dari 66
B. PERSIDANGAN SECARA ELEKTRONIK MELANGGAR KUHAP

Majelis Hakim yang mulia,


Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,

Pemanggilan Terdakwa dalam persidangan memiliki keterkaitan dengan


pentingnya kehadiran Terdakwa untuk proses pemeriksaan perkara. Sebelumnya,
pemanggilan terdakwa secara sah untuk hadir di persidangan sesuai Pasal
145 KUHAP :
(1) Pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan dilakukan secara sah,
apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada terdakwa di alamat
tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui,
disampaikan di tempat kediaman terakhir.
(2) Apabila terdakwa tidak ada di tempat tinggalnya atau di tempat kediaman
terakhir, surat panggilan disampaikan melalui kepala desa yang berdaerah
hukum tempat tinggal terdakwa atau tempat kediaman terakhir.
(3) Dalam hal terdakwa ada dalam tahanan surat panggilan disampaikan
kepadanya melalui pejabat rumah tahanan negara.
(4) Penerimaan surat panggilan oleh terdakwa sendiri ataupun oleh orang lain
atau melalui orang lain, dilakukan dengan tanda penerimaan.
(5) Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal, surat
panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung pengadilan
yang berwenang mengadili perkaranya.

Adapun pihak yang berwenang untuk melakukan pemanggilan adalah penuntut


umum, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 146 ayat (1) KUHAP:

Penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada terdakwa yang memuat


tanggal, hari, serta jam sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil yang harus
sudah diterima oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya tiga hari sebelum
sidang dimulai.

Mengutip pendapat M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan


Permasalahan & Penerapan KUHAP (hal. 111) "bahwa hukum tidak
membenarkan proses peradilan in absentia dalam acara pemeriksaan biasa dan
pemeriksaan acara singkat tanpa hadirnya terdakwa dalam persidangan,
pemeriksaan perkara tidak dapat dilakukan".

Sebagaimana ketentuan Pasal 154 KUHAP telah mengatur bagaimana cara


menghadirkan terdakwa dalam persidangan. Tata cara tersebut memperlihatkan

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 21 dari 66
tanpa hadirnya terdakwa dalam persidangan, pemeriksaan perkara tidak dapat
dilakukan.

Tata cara tersebut dimulai dari:


 ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk ke dalam
ruang persidangan.
 jika terdakwa pada sidang yang telah ditentukan tidak hadir, ketua sidang
meneliti apakah terdakwa telah dipanggil secara sah.
Ketidakhadiran terdakwa bisa terjadi dengan 2 (dua) kemungkinan (lihat hal.
112 Yahya H):
a. Terdakwa Dipanggil “Secara Tidak Sah”,
Jika ternyata terdakwa dipanggil secara tidak sah, ketua sidang menunda
persidangan dan memerintahkan penuntut umum supaya memanggil
terdakwa sekali lagi untuk hadir pada hari sidang berikutnya.
b. Terdakwa Sudah Dipanggil “Secara Sah”,
dalam hal ini, terdakwa telah dipanggil secara sah, namun ia tidak datang
menghadiri persidangan “tanpa alasan yang sah”.

Memperhatikan Pasal 154 KUHAP :


(1) Hakim ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk dan
jika ia dalam tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas.
(2) Jika dalam pemeriksaan perkara terdakwa yang tidak ditahan tidak hadir
pada hari sidang yang telah ditetapkan, hakim ketua sidang meneliti apakah
terdakwa sudah dipanggil secara sah.
(3) Jika terdakwa dipanggil secara tidak sah, hakim ketua sidang menunda
persidangan dan memerintahkan supaya terdakwa dipanggil lagi untuk hadir
pada hari sidang berikutnya.
(4) Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah tetapi tidak datang di
sidang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat
dilangsungkan dan hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa
dipanggil sekali lagi.
(5) Jika dalam suatu perkara ada lebih dari seorang terdakwa dan tidak semua
terdakwa hadir pada hari sidang, pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir
dapat dilangsungkan.
(6) Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa
alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan
dengan paksa pada sidang pertama berikutnya.
(7) Panitera mencatat laporan dari penuntut umum tentang pelaksanaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat dan ayat (6) dan menyampaikannya
kepada hakim ketua sidang.

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 22 dari 66
Berdasarkan Pasal 154 ayat (2), (4) & (6) KUHAP, apabila terdakwa
tidak dapat di hadirkan ke persidangan, maka pemeriksaan perkara
tidak dapat dilangsungkan.

Sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan persidangan di Pengadilan dikenal


adanya asas “audi et alteram partem” secara harfiah dapat diartikan
“dengarkan sisi lain”. Asas ini memberikan pedoman kepada Hakim untuk tidak
boleh menerima keterangan hanya dari satu pihak saja, tanpa terlebih dahulu
mendengar dan memberikan kesempatan pihak lain mengajukan tanggapannya.

Konsekuensi dari asas ini jika salah satu pihak memberikan dan mengajukan alat
bukti di persidangan, maka pihak lain harus mengetahui dan hadir di
persidangan (equality under the arm).

Bahwa hukum acara pidana mengenal asas presentasi yang menurut asas
tersebut pada proses persidangan dan pembacaan putusan suatu perkara pidana
harus dihadiri langsung oleh Terdakwa. Sehingga prinsip hadirnya terdakwa
dalam perkara pidana ini didasarkan atas hak-hak asasi terdakwa sebagai
manusia yang berhak membela diri dan mempertahankan hak-hak
kebebasannya, harta bendanya ataupun kehormatannya.

Asas presentasi di atas dituangkan dalam Pasal 196 ayat (1) KUHAP) “Pengadilan
memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang
ini menentukan lain”.
Sehingga berdasarkan uraian diatas, pada prinsipnya proses peradilan pekara
pidana harus dihadiri langsung oleh Terdakwa. Hal ini tentu tidak akan menjadi
masalah bagi seorang Terdakwa yang sebelumnya telah dilakukan penahanan
oleh karena Jaksa Penuntut Umum yang akan membawa Terdakwa dari tahanan
dan menghadirkannya ke persidangan, tetapi dapat menjadi masalah terhadap
Terdakwa yang tidak ditahan dan tidak diketahui keberadaannya atau Terdakwa
yang telah ditahan tapi kemudian melarikan diri dan tidak ditemukan.

Memperhatikan SEMA No. 9 Tahun 1985 tentang Putusan yang Diucapkan di


Luar Hadirnya Terdakwa “Mahkamah Agung berpendapat bahwa perkara-perkara
yang diperiksa dengan Acara Pemeriksaan Cepat (baik perkara tindak pidana
ringan maupun perkara pelanggaran lalu lintas jalan) dapat diputus di luar
hadirnya terdakwa, dan Pasal 214 KUHAP berlaku bagi semua perkara yang
diperiksa dengan Acara Pemeriksaan Cepat.”.

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 23 dari 66
Secara khusus dalam beberapa jenis tindak pidana yang diatur di luar KUHP
diperbolehkan pula persidangan dan penjatuhan putusan tanpa kehadiran
terdakwa, misalnya:

Perkara Tindak Pidana Korupsi


Pasal 38 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang UU Tipikor sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 yang menyatakan: “Dalam hal terdakwa
telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan
yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.”
Sidang secara elektronik (daring).

1. Kejagung melalui Surat Nomor B-049/A/SUJA/03/2020 tentang Optimalisasi


Pelaksanaan Tugas, Fungsi, dan Kewenangan di tengah Upaya Mencegah
Penyebaran Covid-19, tertanggal 27 Maret 2020.
2. Kemenkumham, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung menerbitkan Surat No.
379/DJU/PS.00/3/2020 perihal Persidangan Perkara Secara Teleconference.
3. Ketiga institusi penegak hukum menjalin kerjasama yang dituangkan dalam
Perjanjian Kerjasama Nomor: 402/DJU/HM.01.1/4/2020, Nomor:KEP-
17/E/Ejp/04/2020, Nomor: PAS-08.HH.05.05 Tahun 2020 tanggal 13 April
2020 Tentang Pelaksanaan Persidangan Melalui Teleconference.

Namun yang menjadi soal, adalah :


1. Apakah UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP telah mengatur tentang Hukum
Acara persidangan secara daring?
2. Apakah landasan hukum Perjanjian Kerjasama ketiga instansi tersebut cukup
berdasar hukum?

Majelis Hakim yang mulia,


Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,

Proses persidangan perkara pidana yang diatur dalam hukum acara pidana di
Indonesia dilakukan melalui tatap muka hakim, jaksa, terdakwa, dan penasihat
hukum di dalam ruang sidang pengadilan yang sama atau tidak di ruang yang
terpisah.

Kehadiran secara fisik terdakwa dan saksi di ruang sidang pengadilan telah diatur
dalam Pasal 185 ayat (1) dan Pasal 189 ayat (1) KUHAP.

Pasal 185 ayat (1) KUHAP menyebutkan, “Keterangan saksi sebagai alat
bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”.

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 24 dari 66
Sedangkan Pasal 189 ayat (1) KUHAP menyebutkan, “Keterangan terdakwa
ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia
lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri”.

Sehingga berdasarkan Pasal 185 ayat (1) dan Pasal 189 ayat (1) KUHAP, bahwa
setiap keterangan saksi maupun terdakwa harus dinyatakan di depan
persidangan.

Sehubungan dengan hal di atas bagaimana bila pemberian keterangan terdakwa


secara daring, apakah sudah ada peraturan yang mengaturnya?

Memperhatikan Pasal 189 ayat (2) KUHAP “Keterangan terdakwa yang diberikan
di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang,
asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang
mengenai hal yang didakwakan kepadanya”.

Berbagai kendala menjadi penyebab sidang dilakukan secara daring, seperti


keterbatasan penguasaan teknologi oleh hakim, koordinasi antar pihak yang
kurang baik, kemudian penasihat hukum tidak berada berdampingan dengan
terdakwa, serta tak dapat memastikan saksi dan terdakwa dalam tekanan/dusta.

Hal tersebut dapat dilakukan pengecualian sebagaimana di atur pada Pasal 9


ayat (1) UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
menyebutkan : “Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya berada dalam
Ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan
kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang
diperiksa”.

Tanggal 26 Juni 2020 persidangan secara daring mulai dilakukan di masa


pandemik Covid 19, dan berdasarkan data dari Pusat Data Statistik Kriminal dan
Teknologi Informasi (Pusdaskrimti) Kejaksaan Agung sebanyak 95.683
persidangan, rinciannya 95.058 perkara pidana umum dan 625 perkara tindak
pidana korupsi.

Melihat banyaknya proses persidangan yang dilakukan secara online tersebut


membuat pihak Ombudsman memonitoring, hasilnya ditemukan adanya kendala
teknis dalam penyelenggaraan persidangan daring di 16 pengadian negeri, yaitu:

Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Depok, Bogor, Cibinong,
Bekasi, Tangerang, Serang, Medan, Batam, Jambi, Surabaya, Denpasar,
Banjarmasin, Kupang, dan PN Manokwari.

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 25 dari 66
Berbagai kendala menjadi penyebabnya, seperti keterbatasan penguasaan
teknologi oleh hakim, koordinasi antar pihak yang kurang baik.

Hal dan kendala lainnya adalah penasihat hukum tidak berada berdampingan
dengan terdakwa, serta tak dapat memastikan saksi dan terdakwa dalam
tekanan/dusta atau tidak.

Berdasarkan uraian di atas, adanya pandemi Covid-19 tidak dapat menjadikan


alasan persidangan perkara pidana secara daring, karena masih ada perkara-
perkara tindak pidana yang dilakukan secara off line (hadir di muka
persidangan), seperti perkara yang menjerat : Irjen Napoleon Bonaparte, Brigjen
Prasetijo, Utomo Djoko Tjandra dan Pinangki. Padahal justru dalam perkara
pidana korupsi, UU TIPIKOR membolehkan persidangan tanpa kehadiran
terdakwa.

Namun lagi lagi keanehan terjadi di dunia hokum Indonesia, perkara yang
dobolehkan terdakwa tidak hadir malah dihadirkan, perkara yang terdakwa wajib
hadir malah tidak dihadirkan.

Kezaliman mana lagi yang engkau dustakan ?

Majelis Hakim yang mulia,


Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,

Landasan hukum (UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP) yang telah mengatur
proses persidangan, tidak dengan serta merta dapat dirubah secara daring, dan
tidak cukup hanya melalui perjanjian kerjasama, surat edaran institusi maupun
Peraturan Mahkamah Agung sekalipun (vide UU No. 12 Tahun 2011 tentang Tata
Urutan Per UU Pasal 7), karena kehadiran secara physik dimuka persidangan
adalah menyangkut pemenuhan hak asasi saksi dan terdakwa.

Kemudian mengenai pelaksanaan persidangan perkara pidana secara daring,


Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) telah mengadakan
diskusi bersama Mahkamah Agung dan Office of Overseas Prosecutorial
Development, Assistance, and Training (OPDAT) Amerika Serikat terkait
pelaksanaan persidangan pidana selama masa pandemi Corona Virus Desease
2019 (Covid-19). Diskusi yang terselenggara dengan bantuan dan dukungan dari
program CEGAH The Asia Foundation (TAF) ini dihadiri oleh Ketua Kamar Pidana
Mahkamah Agung, Dr. Suhadi, S.H., M.H., Peter Halpern selaku perwakilan

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 26 dari 66
OPDAT, para anggota tim Kelompok Kerja (Pokja) Penyusunan Peraturan
Mahkamah Agung terkait pelaksanaan persidangan pidana secara elektronik,
para Hakim Agung, dan perwakilan pengadilan-pengadilan tingkat pertama dan
banding

Merujuk pada diskusi sebagaimana yang disebutkan diatas, ada syarat syarat
yang harus dipenuhi berdasar hokum untuk sidang elekronik bisa dilakukan :

1. Dasar hukumnya harus UU, di negeri dagelan ini, dasar hukumnya hanya
berdasar peraturan MA yang sepihak, ingat peraturan MA itu bukan UU tapi
per-UU-an. Sidang secara elektronik seharusnya baru boleh dilakukan setelah
ada UU yg membolehkan, maka setelah UU tersebut di revisi barulah UU
tersebut memberikan batasan dan syarat, inilah harusnya praktek dalam
Negara hokum yang berkeadilan, bukan semau maunya penyelenggara
Negara untuk membuat aturan ;
2. Situasi darurat yg ditetapkan masyarakat, bukan oleh penguasa;
3. Penetapan Pengadilan, atas dasar UU yang sudah direvisi yang
membolehkan persidangan secara elektronik.
4. PERSETJUAN TERDAKWA yang merupakan syarat terpenting.

Sekarang mari kita ukur praktek persidangan a quo, apakah sesuai dengan
prinsip Negara hukum yang berkeadilan ? atau seluruh praktek penyelenggaran
hukum sudah menjadi berdasarkan kewenangan semata yang hal ini berarti
merupakan Negara kekuasaan.

Kita semua sudah pasti tahu jawaban hal ini.

Oleh karenanya, agar kezaliman ini tidak terus berlanjut dan kita semua akan
menerima akibatnya baik di dunia maupun akhirat, maka mari kita hentikan
berbagai bentuk kezaliman, kedunguan dan kepandiran yang akan dihisab di
yaumil akhir.

C. PENGADILAN NEGERI JAKARTA TIMUR TIDAK BERWENANG


MENGADILI (EXCEPTION ONBEVOEGHEID VAN DE RECHTER)

Majelis Hakim yang mulia,


Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,

Bahwa perbuatan yang didakwakan kepada HABIB RIZIEQ SYIHAB sebagaimana


tercantum dalam surat dakwaan Saudara Jaksa Penuntut Umum tersebut adalah

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 27 dari 66
bermula dari perbuatan HABIB RIZIEQ SYIHAB pada Acara Peringatan Maulid
Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan oleh Majelis Ta‟lim Al-Afat di Jl.
Tebet Utara 2B Tebet No. 8-10 Jakarta Selatan, pada tanggal 13 November
2020 yang mengundang para hadirin untuk hadir pada acara Peringatan Maulid
Nabi di Petamburan, sekaligus acara pernikahan putrinya di Petamburan,
Jakarta Pusat.
Menurut M. Yahya Harahap (dalam buku nya yang berjudul Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding,
Kasasi, Peninjauan Kembali) halaman 96, Bahwa Kewenangan mengadili secara
relatif Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi mana yang berwenang
mengadili suatu perkara. Landasan pedoman menentukan kewenangan
mengadili bagi setiap pengadilan mengadili ditinjau dari segi kompetensi relatif
diatur dalam Pasal 84 KUHAP;

Pasal 84 (1), berbunyi :


“Pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana
yang dilakukan dalam daerah hukumnya”.

Pasal 84 (2), berbunyi :


“Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal,
berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan, atau ditahan, hanya berwenang
mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar
saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri itu dari pada
tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu
dilakukan”.

Pasal 84 (3), berbunyi :


“Apabila seorang terdakwa melakukan beberapa tindak pidana dalam daerah
hukum berbagai pengadilan negeri, maka tiap pengadilan negeri itu masing -
masing berwenang mengadili perkara pidana itu”.

Pasal 84 (4), berbunyi :


“Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada sangkut pautnya
dan dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum berbagai pengadilan negeri,
diadili oleh masing - masing pengadilan negeri dengan ketentuan dibuka
kemungkinan penggabungan perkara tersebut.”

Bertitik tolak dari ketentuan yang dirumuskan dalam pasal tersebut di atas,
mengandung asas bahwa Pengadilan Negeri di mana tindak pidana itu dilakukan
di wilayah hukumnya, atau disebut juga prinsip Locus Delictie.

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 28 dari 66
Prinsip Locus Delictie ini dikenal ajaran antara lain “DE LEER VAN DE
LECHAMELIJKE DAAD” ajaran mengenai tempat di mana perbuatan dilakukan in
persona.

Menurut ajaran ini, maka yang harus dianggap sebagai tempat dilakukan tindak
pidana adalah tempat di mana perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
hukuman dilakukan.

Bahwa sesuai dengan dakwaan Saudara Penuntut Umum tempat perbuatan


(locus delictie) HABIB RIZIEQ SYIHAB mengundang yang dianggap menghasut
yaitu di Jakarta Selatan dan tempat penyelenggaraan Acara Peringatan Maulid
Nabi Muhammad SAW serta pernikahan putrinya yaitu di Jakarta Pusat, maka
seharsunya Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili perkara a quo adalah
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atau Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Bahwa prinsip yang paling dasar dalam hukum Pidana dalam hal mengadili suatu
perkara adalah dimana tempat kejadian perkara itu terjadi, dan prinsip ini adalah
prinsip yang berlaku universal. Penyimpangan terhadap prinsip ini dapat
diberlakukan terhadap hal-hal yang bersifat sangat ekstra ordinary seperti
genosida dan kejahatan HAM lainnya. Faktanya perkara yang sedang
disidangkan ini tidak bersifat ekstra ordinary sebagaimana kejahatan Genosida
atau kejahatan HAM lainnya. Berdasarkan alasan-alasan tersebut maka
Pengadilan Negeri Jakarat Timur tidak memiliki alasan yuridis formil maupun
keamanan yang dapat mendukung pengusulan pemindahan lokasi Persidangan
ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur, dan tidak ditemukan alasan berdasar yuridis
formil yang dijadikan alasan bagi Mahkamah Agung RI untuk menunjuk
Pengadilan Negeri Jakarta Timur.

Mahkamah Agung RI dalam surat Nomor: 49/KMA/SK/II/2021 tentang


Penunjukan Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk memeriksa dan memutus
perkara pidana atas nama terdakwa Moh. Rizieq alis Habib Muhammad Rizieq
SYIHAB bin Husain SYIHAB, dkk., hanya menyebutkan Pengadilan Negeri Jakarta
Timur dipandang memenuhi syarat untuk ditetapkan/ditunjuk sebagai tempat.
Mahkamah Agung RI tidak menerangkan syarat seperti apa yang dimaksud
sehingga Pengadilan Negeri Jakarta Timur dipandang tepat dan sesuai alasan
yuridis formil mengadili perkara ini.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka kami berpendapat patut


kiranya Majelis Hakim yang mengadili perkara ini dapat mengambil keputusan
yang bijaksana tanpa ada kekhawatiran dianggap membangkang terhadap surat
penunjukkan yang diterbitkan Mahkamah Agung RI, karena berdasarkan
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 29 dari 66
penjelasan Pasal 1 Undang-undang No. 48 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, disebutkan tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa
keadilan rakyat Indonesia. Jelas dan berdasar terdakwa adalah Rakyat
Indonesia, oleh karena terdakwa berhak memperoleh proses peradilan yang
mencerminkan rasa keadilan Rakyat Indonesia. Oleh karena itu proses peradilan
yang adil dan tepat adalah dengan mengadili terdakwa berdasarkan locus delicti
yang didakwakan.

BAHWA KETENTUAN PASAL 85 KUHAP BELUM DIREVISI MAKA


MAHKAMAH AGUNG TIDAK BERWENANG MENUNJUK PENGADILAN
NEGERI JAKARTA TIMUR ATAU PENGADILAN NEGERI LAIN DI LUAR
TEMPAT KEJADIAN PERKARA UNTUK MENGADILI PERKARA INI.

Bahwa Sesuai dengan bunyi ketentuan Pasal 85 KUHAP disebutkan Dalam hal
keadaan daerah tidak mengizinkan suatu pengadilan negeri untuk mengadili
suatu perkara, maka atas usul ketua pengadilan negeri atau kepala kejaksaan
negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung mengusulkan kepada
Menteri kehakiman untuk menetapkan atau menunjuk pengadilan
negeri lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 untuk mengadili perkara
yang dimaksud.

Berdasarkan bunyi pasal 85 KUHAP tersebut jelas disebutkan Menteri


Kehakiman menetapkan atau menunjuk Pengadilan Negeri lain, apabila
kondisi Pengadilan Negeri perkara tidak mengizinkan. Bahwa faktanya sekarang
tidak ada lagi istilah Menteri Kehakiman tidak berarti Menteri dimaksud dihapus
atau tidak ada, walaupun namanya sekarang menteri Hukum dan HAM tetap
fungsi dan kewenangannya ada dan sama tidak berubah. Kalaupun tetap
dipaksakan Mahkamah Agung RI yang berwenang, maka harus direvisi terlebih
dahulu aturan Pasal 85 KUHAP.

Bahkan Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak


ada satu pasalpun yang menyebutkan tentang beralihnya kewenangan untuk
menetapkan atau menunjuk pengadilan negeri lain, kepada Mahkamah Agung,
Sehingga tidak ada dasar hukum bagi Mahkamah Agung RI mengambil alih
kewenangan tersebut, dan oleh karenanya demi kepastian hukum dan
perlindungan hukum terhadap Terdakwa, maka kami Penasehat Hukum mohon
kepada yang mulia Majelis Hakim yang memeriksa perkara pidana ini
menjatuhkan putusan yang amarnya, menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta
Timur tidak berwanang mengadili.

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 30 dari 66
C. PERKARA A QUO ADALAH NEBIS IN IDEM

Majelis Hakim yang mulia,


Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,

Terkait Nebis In Idem ini, kami menganggap perlu untuk mengulas secara
doktrin hukum dan asas hukum. Karena hal ini penting bagi masa depan hukum
di Indonesia agar tidak semakin hancur hancuran.

Sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Terdakwa telah memenuhi kewajiban


pembayaran denda yang ditetapkan oleh Pemprov DKI Jakarta. Dengan telah
dibayarnya denda administratif sesuai dengan regulasi Pemprov DKI Jakarta,
maka menurut asas “nebis in idem”, seharusnya tidak dapat dilakukan proses
hukum.

Arti sebenarnya dari nebis in idem adalah, digunakan dengan istilah “nemo debet
bis vexari” (tidak seorangpun atas perbuatannya dapat diganggu atau
dibahayakan untuk kedua kalinya).

Dasar pikiran atau ratio dari asas ini yakni untuk menjaga martabat dan untuk
jaminan kepastian bagi yang telah mendapat keputusan. Dengan demikian
postulat “nemo debet bis vexari” menjadi dasar tidak dapatnya dilakukan proses
hukum ketika seseorang telah membayar denda administrative sebagaimana
ditentukan oleh pemerintah Pemprov DKI Jakarta. Denda administrative
dimaksudkan sebagai pemenuhan atas hubungan kausal antara perbuatan
dengan kerugian yang timbul dan adanya norma hukum peraturan perundang-
undangan yang dilanggar.

Seseorang yang dengan kesadaran penuh telah membayar denda administrative,


maka pada dirinya ada itikad baik dan oleh karenanya harus pula dilindungi
kepentingan hukumnya agar tidak dikenakan sanksi hukuman yang lainnya.

Pengenaan denda oleh Pemprov bermakna adanya pelanggaran sebagai mala


prohibita atau malum prohibitum, yang mengacu kepada perbuatan yang
tergolong pelanggaran sebagaimana diatur dalam Peraturan Gubernur.

Pengenaan denda dimaksud tentu bukan dimaksudkan sebagai mala in se atau


mala per se yaitu suatu perbuatan yang dianggap sebagai sesuatu yang jahat
bukan karena diatur atau dilarang hukum positif atau UU, melainkan pada
dasarnya perbuatan tersebut bertentangan dengan kewajaran, moral dan prinsip

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 31 dari 66
umum masyarakat yang beradab. Artinya tanpa sebuah UU yang menentukan
perbuatan tersebut sebagai kejahatan atau delik, perbuatan tersebut merupakan
kejahatan yang natural.

Jeremy Bentham menyatakan bahwa suatu tindakan yang tergolong mala in se,
tidak dapat berubah (immutable), artinya dalam ruang manapun dan waktu
tertentu kapanpun, tindakan tersebut tetap dianggap sebagai perbuatan jahat
dan dilarang oleh hukum positif. Sedangkan suatu tindakan yang tergolong mala
prohibita, dapat berubah, artinya dalam ruang dan waktu tertentu yang berbeda,
tindakan tersebut dapat saja tidak lagi dianggap sebagai perbuatan yang
dilarang. Oleh karena itu, pengenaan denda yang sudah dibayarkan sebagai
bentuk pertanggungganjawaban perbuatan yang tergolong mala prohibita tidak
dapat lagi dimintakan pertanggungjawaban mala in se.

Dalam Surat yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang
menjadi landasan yuridis atau instrumen hukum atas sanksi denda administratif
terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB dan FPI yaitu :

1. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 79 Tahun 2020 tentang


Penerapan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Sebagai
Upaya Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Diseases 2019 (Covid-
19);

2. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 80 Tahun 2020 tentang


Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar pada Masa Transisi Menuju
Masyarakat Sehat, Aman dan Produktif.

Kedua Paraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta yang dijadikan landasan yuridis
atau instrumen hukum atas penjatuhan sanksi denda administratif terhadap
HABIB RIZIEQ SYIHAB merupakan peraturan teknis pelaksana dari ketentuan
Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan
Kesehatan, sebagaimana tercantum pada konsideran MENGINGAT angka 5
dalam kedua Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta tersebut, yaitu sebagai
berikut :
MENGINGAT :
1. …
2. …
3. …
4. …
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman
Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 32 dari 66
Corono Virus Diseases 2019 (Covid-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 170);

Kemudian pada konsideran MENGINGAT angka 4 Peraturan Menteri Kesehatan


Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam
rangka Percepatan Penanganan Corono Virus Diseases 2019 (Covid-19) dan
Pemulihan Ekonomi Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020
Nomor 170) disebutkan :

MENGINGAT :
1. …
2. …
3. …
4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018
Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6236);

Dengan mencermati runtutan konsideran MENGINGAT mulai dari


Peraturan Gubernur Perovinsi DKI Jakarta No. 79 Tahun 2020 dan
Peraturan Gubernur Perovinsi DKI Jakarta No. 80 Tahun 2020, hingga
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 yang berujung pada
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan
Kesehatan, maka sanksi denda administratif yang dijatuhkan terhadap
HABIB RIZIEQ SYIHAB telah sesuai dengan ketentuan Pasal 93
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan
Kesehatan, sehingga terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB tidak dapat lagi
dilakukan proses hukum (NEBIS IN IDEM) sesuai dengan ketentuan
Pasal 76 KUHP.

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 33 dari 66
BAB III
DAKWAAN BATAL DEMI HUKUM

A. PENERAPAN PASAL UNDANG-UNDANG ORMAS DAN PASAL 10 JO.


PASAL 35 KUHP ADALAH TIDAK SAH

Majelis Hakim yang mulia,


Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,

Dalam dakwaan kelima, HABIB RIZIEQ SYIHAB didakwa telah melakukan


tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 82A ayat
(1) jo. 59 ayat (3) huruf c dan d Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2017
tentang Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat menjadi
Undang-Undang jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 10 huruf b KUHP jo.
Pasal 35 ayat (1) KUHP.

Tindak pidana yang didakwakan terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB dalam


dakwaan kelima tersebut, sama sekali tidak pernah tercantum dalam
Surat Panggilan, Sprindik maupun Surat Pemberitahuan Dimulainya
Penyidikan (SPDP) dalam perkara quo.

Padahal berdasarkan ketentuan Pasal 51 huruf a KUHAP, untuk mempersiapkan


pembelaan, tersangka berhak untuk diberitahuan dengan jelas dan dalam
bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya
pada waktu awal pemeriksaan.

Pasal 109 ayat (1) KUHAP menentukan, dalam hal penyidik mulai melakukan
penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik
memberitahukan hal itu kepada penuntut umum. Berdasarkan ketentuan Pasal
109 ayat (1) KUHAP, koordinasi fungsional antara penyidik dan penuntut umum
ditandai dengan diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan
(SPDP). Dengan demikian maka keberadaan Pasal 109 ayat (1) KUHAP
pada hakikatnya menentukan pentingnya sebuah sistem peradilan
pidana yang terpadu (integrated criminal justice system) yang dalam
hal ini berada pada tahap penyidikan dan penuntutan.

Dalam sistem KUHAP, SPDP sebagaimana diatur di dalam Pasal 109 ayat (1)
KUHAP adalah merupakan bentuk mekanisme kontrol yang bersifat horizontal,
yaitu kontrol antar lembaga di subsistem dalam sistem peradilan pidana, yaitu

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 34 dari 66
kontrol dari sistem penuntut umum terhadap penanganan kasus atau
penyidikan yang dilakukan oleh penyidik.

Kemudian pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015


tertanggal 15 November 2016 menghadirkan suasana baru terhadap hukum
acara pidana Nasional yang selama ini diberlakukan melalui UU No. 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal baru yang diberikan dalam
Putusan a quo terletak dalam hal penyampaian SPDP semula hanya
disampaikan oleh Penyidik kepada Penuntut Umum (Pasal 109 ayat (1) KUHAP)
telah berubah. Sistem peradilan pidana tersebut dinilai mengesampingkan
keadilan karena tidak memberikan informasi kepada para pihak terutama
pelapor dan terlapor tentang SPDP yang ada.

Dengan demikian, akibat hukum dari putusan MK tersebut di atas ialah penyidik
kini wajib menyerahkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP)
tidak hanya kepada penuntut umum, tetapi juga kepada terlapor dan
korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari. Putusan ini dapat
membuat koordinasi antara penyidik dan penuntut umum menjadi
semakin kuat, serta penuntut umum dapat berperan aktif dalam
menangani suatu perkara pidana.

Sebagai hukum acara pidana, maka KUHAP menyajikan sebuah sistem yang
dikenal dengan Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System). Ditinjau dari
sisi istilahnya, “sistem” diartikan sebagai “perangkat unsur yang secara teratur
saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas, istilah “peradilan pidana”
diartikan sebagai sistem yang diberikan dalam penanganan suatu perkara yang
diduga perbuatan melanggar ketentuan hukum pidana. Berdasarkan makna
tersebut maka setiap subsistem dan lembaga hukum terdapat dalam
KUHAP harus berperan dalam sebuah rangkaian acara pidana dan
Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) menjadi bagian penting
dalam proses perkara pidana.

Faktanya tindak pidana yang didakwakan terhadap HABIB RIZIEQ


SYIHAB dalam dakwaan kelima tersebut, yaitu Pasal 82A ayat (1) jo. 59
ayat (3) huruf c dan d Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2017 tentang
Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat menjadi Undang-Undang
jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 10 huruf b KUHP jo. Pasal 35 ayat (1)
KUHP, sama sekali tidak pernah tercantum baik dalam SPDP mauapun
dalam penetapan HABIB RIZIEQ SYIHAB sebagai tersangka.

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 35 dari 66
Penambahan pasal yang tidak pernah tercantum baik dalam SPDP maupun
dalam penetapan sebagai tersangka tersebut merupakan pelanggaran hak asasi
manusia terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB. Karena SPDP dalam kaitannya
dengan asas hukum acara pidana merupakan bagian penting dari penguraian
nilai dasar dalam hukum acara pidana. Terbitnya SPDP menjadi tanda akan
komitmen Penyidik kepada tersangka atau terlapor untuk memberikan sikap
yang sama kepada setiap orang yang berproses dengan hukum acara pidana.
Tersangka/terlapor begitu mengetahui dirinya masuk dalam proses
penyidikan akan mempersiapkan pembelaan berikut bantuan hukum
yang diperlukan.

Hukum acara pidana tidak hanya menekankan kepastian hukum dalam


beracara, akan tetapi mengakar pada pemenuhan hak asasi manusia yang
dimiliki bukan hanya oleh pelapor (korban) atau masyarakat akan tetapi
terlapor. Nuansa pentingnya pemenuhan hak asasi manusia tampak dengan
jelas mulai dari pertimbangan dibentuknya KUHAP, secara khusus angka
pertama. Indonesia sebagai negara hukum tidak berarti menggunakan hukum
untuk menindas hak asasi manusia melainkan sebaliknya.

Hak Asasi Manusia menjadi isu sentral yang diatur sejak amandemen UUD
1945. Pasal 28A-I UUD RI 1945 memuat berbagai macam bentuk hak asasi
manusia yang diakui sebagai hak dasar manusia sekaligus hak konstitusional
warga negara Indonesia. Terkait dengan SPDP yang diatur secara tegas
dalam KUHAP maka otomatis harus disesuaikan dengan pemenuhan
hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penerpan Pasal UNDANG-


UNDANG Ormas dan Pasal 10 jo. Pasal 35 KUHP adalah tidak sah serta
merupakan pelanggaran HAM yang nyata terhadap HABIB RIZIEQ
SYIHAB, oleh karenanya dakwaan kelima a quo harus dibatalkan
demi hukum.

Majelis Hakim yang mulia,


Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,

Kemudian terhadap peristiwa yang dilakukan oleh individu-individu yang yang


disebutkan dalam dakwaan seperti H.M. Bambang Teddi, Habib Bahar bin Ali
bin Smith dll, tidak ada causalitas dengan kebijakan Organisasi FPI atau
dengan Terdakwa dalam perkara a quo.

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 36 dari 66
Penambahan pasal-pasal tersebut bukti untuk memperberat ancaman hukuman
yang bisa digunakan hanya agar HABIB RIZIEQ SYIHAB bisa ditahan selama
mungkin karena ada agenda politik yang menghendaki.

Sekali lagi kami buktikan bahwa penambahan pasal UU Ormas dengan pasal
pidana tambahan KUHP dan pencantuman nama nama individu yang tidak ada
kaitan dalam perkara ini, tidak pernah diperiksa dalam perkara ini adalah
bentuk OPERASI INTELIJEN BERSKALA BESAR terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB,
yang juga telah mengakibatkan DIBANTAINYA 6 orang pengawal HABIB RIZIEQ
SYIHAB.

KEDZALIMAN APALAGI YANG ENGKAU DUSTAKAN WAHAI REZIM ZALIM


DUNGU DAN PANDIR !!!

B. PENERAPAN PASAL 160 KUHP JO. PASAL 93 UNDANG-UNDANG NO. 6


TAHUN 2018 TENTANG KARANTINA KESEHATAN DALAM DAKWAAN
PERTAMA BATAL DEMI HUKUM

Majelis Hakim yang mulia,


Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,

Terdakwa atas nama Sdr. Moh Rizieq bin Sayyid Husein SYIHAB Alias Habib
Muhammad Rizieq SYIHAB, didakwa oleh JPU dalam Surat Dakwaan Pertama
No. Reg. Perkara : PDM-011/Jkt.Tim/Eku-02/2021. Didakwa oleh JPU telah
melanggar Pasal 160 KUHP Jo. Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang
Kekarantian Kesehatatan DAKWAAN yang BATAL DEMI HUKUM.

Adapun yang menyebabkan Dakwaan Pertama dari JPU tersebut BATAL DEMI
HUKUM, dengan alasan yuridis sebagai berikut :

1. Bahwa Dakwaan Pasal 160 KUHP, TIDAK DAPAT DIDAKWAKAN


BERSAMAAN DENGAN Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantiaan
Kesehatan. Atau dengan kata lain Dakwaan Pasal 160 KUHP TIDAK BISA di
JUNTO kan atau DIJADIKAN SATU DAKWAAN dalam DAKWAAN PERTAMA.

Karena Unsur–unsur Pasal 160 KUHP SANGAT BERBEDA denga Unsur–


Unsur Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantian Kesehatan. Dan
juga, ANCAMAN HUKUMAN dalam Pasal 160 KUHP, BERBEDA dengan
ANCAMAN HUKUMAN dalam Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang
Kekarantian Kesehatan.

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 37 dari 66
Kedua Pasal tersebut, mempunyai unsur masing – masing dan juga
mempunyai ancaman hukuman masing – masing YANG TIDAK
dimungkinkan untuk dijadikan SATU DAKWAAN.

Bahwa hal ini sangat jelas di atur dalam YURISPRUDENSI TETAP


MAHKAMAH AGUNG – RI No : 71 K/Kr/1968, dengan Majelis Hakim Agung :
1) Prof. SUBEKTI;
2) ASKIN KUSUMA ATMADJA, SH;
3) D.H. LUMBAN RADJA, SH;

Bahwa untuk lebih jelasnya kami kutip bunyi YURISPRUDENSI TETAP


MAHKAMAH AGUNG – RI No : 71 K/Kr/1968, dari Buku Rangkuman
Yurisprudensi Mahkamah Agung – RI Cetakan Ke 2, 1993. Berbunyi dengan
kaidah –kaidah hukum sebagai berikut :
“suatu surat tuduhan tindak pidana yang dirumuskan Pasal 368
KUHP bersama – sama unsur pasal penipuan 378 KUHP
merupakan Kesalahan yang sangat esensial yang menyebabkan
tuduhan tersebut batal”

Bahwa adapun Pertimbangan Hukum dari YURISPRUDENSI TETAP


MAHKAMAH AGUNG – RI No : 71 K/Kr/1968,tersebut. Kami kutip sebagai
berikut :
“bahwa dalam tuduhan primair tidak jelas apakah yang
dimaksudkan itu merupakan tindak pidana pemerasan (Pasal 368
K.U.H.P) atau merupakan tindak pidana penipuan (Pasal 378
K.U.H.P) karena dalam bagian pertama dari tuduhan primair
dipergunakan perumusan Undang2 mengenai tindak pidana
pemerasan, kemudian dipakai unsur2 dari penipuan sebagai
materieele handelingen hal mana merupakan suatu kesalahan
jang esentieel yang menyebabkan tuduhan primair batal”.

Berdasarkan YURISPRUDENSI TETAP MAHKAMAH AGUNG – RI No : 71


K/Kr/1968, tersebut di atas. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam
membuat surat dakwaan, JPU TIDAK DIBENARKAN Menggabungkan Unsur
– unsur delik Pasal 160 KUHP diJUNTOkan dengan Unsur – Unsur delik
Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Karena
mengandung Kesalahan yang sangat Esensial.

Adapun dalam dakwaan pertama, JPU yang Mendakwa Terdakwa Habib


Rizieq SYIHAB, adanya Penggabungan dakwaan Unsur – Unsur Pasal 160
KUHP digabungkan menjadi satu dakwaan dengan unsur – unsur Pasal 93
UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Adanya

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 38 dari 66
penggabungan tersebut, kami kutip kembali unsur –unsur delik Pasal –
Pasal yang dijadikan satu dakwaan : (dakwaan pada Halaman 2)

“maka pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk memeriksa dan mengadli,


mereka yang melakukan ,yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta
melakukan perbuatan, di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut
supaya melakukan pidana ( pasal 160 KUHP) kekarantinaan kesehatan
sebagaimana pasal 93 undang-undang Republik Indonesia Nomor. 6 Tahun
2018 tentang kekarantinaan kesehatan, melakukan kekerasan terhadap
penguasa umum tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun
perintah jabatan yang di berikan berdasar ketentuan undang-undang”.

Dari unsur – unsur delik yang didakwakan dalam dakwaan Pertama yang
didakwakan terhadap terdakwa Habib Rizieq, dengan LOCUS DELICTIE
terjadi di Petamburan Jakarta Pusat dalam acara Maulid Nabi Muhammad.
Sangat jelas penggabungan Unsur – unsur pasal 160 KUHP digabungkan
dengan Unsur – unsur delik Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang
Kekarantinaan Kesehatan. Dan dalam dakwaan pertama (pada halaman 10)
tersebut sangat jelas, JPU telah mendakwa Terdakwa HABIB MUHAMMAD
RIZIEQ SYIHAB:

“Perbuatan Terdakwa merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan


diancam dalam Pasal 160 KUHP Jo Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang
Kekarantinaan Kesehatan”.

Berpedoman pada YURISPRUDENSI TETAP MAHKAMAH AGUNG – RI No :


71 K/Kr/1968, tentang yang intinya larangan pengabungan unsur – unsur
delik Pasal 160 KUHP dengan unsur – unsur delik Pasal 93 UU No 6 Tahun
2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Yang mengakibatkan dakwaan
pertama JPU KABUR / TIDAK JELAS (OBSCURE LIBEL). Oleh karenanya,
surat dakwaan pertama JPU HARUSLAH DIBATALKAN dan atau BATAL
DEMI HUKUM. Karena tidak memenuhi syarat – syarat sebagaimana
ditentukan Pasal 143 ayat (2) KUHAP.

2. Bahwa ada lagi larangan PENGABUNGAN dakwaan tindak pidana khusus


digabungkan dengan tindak pidana umum. Hal ini telah diatur dalam
Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung – RI No : 666 K/Pid/1982, tanggal
10 Agustus 1983, berbunyi sebagai berikut :

“menyatakan dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa


SUDARMADJI tersebut BATAL DEMI HUKUM.”

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 39 dari 66
Sebagai pertimbangan dalam Yurisprudensi tersebut, MA – RI dalam
pertimbangannya yaitu :
“Dalam putusannya MA – RI “menyatakan bahwa dakwaan didasarkan
pada pasal 360 ayat a KUHP dihubungkan dengan Pasal 5 .a. UU lalu lintas
dan angkutan jalan raya (UULAJR). Perbuatan terdakwa mengenai hal
tersebut SEHARUSNYA di dakwakan sendiri – sendiri. Dengan demikian
dakwaan tidak jelas. Dan oleh karena itu dakwaan tersebut HARUSLAH
dinyatakan BATAL DEMI HUKUM”.

Bahwa berdasarkan Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung – RI No : 666


K/Pid/1982, tanggal 10 Agustus 1983 tersebut di atas. Maka Semestinya
dakwaan Pasal 160 KUHP TIDAK dapat digabungkan dengan Pasal 93 UU
No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Yang SEMESTINYA
dakwaan Pasal 160 KUHP dan Dakwaan Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018
Tentang Kekarantinaan Kesehatan, SEHARUSNYA DIDAKWA SENDIRI –
SENDIRI;

Sedangkan dakwaan pertama JPU telah MENGGABUNGKAN atau


MENGHUBUNGKAN dakwaan yang didasari pada Pasal 160 KUHP DIJUNTOKAN
dengan Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan
menjadi satu dakwaan yaitu dakwaan pertama.

Maka surat dakwaan JPU yang mendakwa terdakwa : Muhammad Rizieq


SYIHAB dengan melanggar Pasal 160 junto Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018
Tentang Kekarantinaan Kesehatan adalah BATAL DEMI HUKUM.

Sebab tidak DIBENARKAN menurut Yurisprudensi MA – RI, mengabungkan


Pasal 160 KUHP dengan Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan
Kesehatan menjadi satu dakwaan. Karena, unsur – unsur pidana Pasal 160
KUHP SANGAT BERBEDA dengan unsur – unsur Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018
Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dan juga kedua unsur pasal tersebut
mempunyai ancaman hukuman masing – masing yaitu Ancaman Hukum Pasal
160 KUHP maksimal 6 (enam) Tahun Penjara, dan Ancaman Hukuman dalam
Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan Maksimal 1
(satu) tahun penjara.

Maka kedua pasal tersebut yaitu Pasal 160 KUHP (UU pidana Umum) TIDAK
dapat didakwakan bersamaan dengan Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang
Kekarantinaan Kesehatan (UU Pidana Khusus). Maka dapat kami Tim Kuasa
Hukum Sdr. Muhammad Habib Rizieq SYIHAB simpulkan, bahwa dakwaan
pertama JPU No Reg Perkara : PDM-011/JKT-TIM/Eku/02/2021, tertanggal 4
Maret 2021 adalah BATAL DEMI HUKUM.
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 40 dari 66
BAB IV

SURAT DAKWAAN TIDAK CERMAT, TIDAK JELAS DAN TIDAK LENGKAP


SEHINGGA TIDAK MEMENUHI SYARAT MATERIIL SEBAGAIMANA
DIMAKSUD DALAM PASAL 143 AYAT (2) HURUF B KUHAP.

Majelis Hakim yang mulia,


Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,

A. KEKELIRUAN KONTRUKSI DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM

Sebelum kami Penasehat Hukum Terdakwa melanjutkan esensi dari eksepsi aquo,
perkenankan kami terlebih dahulu untuk menyampaikan pandangan mengenai
arsitektur hukum dalam masa pandemi Covid-19 di Indonesia. Persepektif ini sangat
penting untuk membuka cakrawala kita sebagai bagian dari negara yang berpaham
konstitusionalisme. Penyebaran Covid-19 di dunia yang bermula dari kota Wuhan
di Cina memaksa banyak negara menerapkan aturan dan norma hukum yang baru.
Reaksi Pemerintah dalam menanggapi pendemi ini juga sama dengan negara-negara
lainnya, akan tetapi apakah penerapan aturan dan norma hukum yang baru tersebut
dapat dengan serta merta mengesampingkan hak asasi manusia yang menjadi
bagian dari hak konstitusional? Hal ini tentu saja tidak hanya dapat dilihat dari satu
sisi yaitu kacamata negara saja yang dalam hal ini pemerintah. Sangat diperlukan
melihat dari berbagai macam sudut pandang agar penerapan dan penegakan hukum
menjadi presisi dengan jaminan perlindungan hak konstitusional dan HAM itu sendiri.

Pertama, bertalian dengan kasus yang menimpa Habib Muhammad Rizieq SYIHAB,
rezim zalim dungu dan pandir mempersangkakan Habib Rizieq dengan pasal-pasal
pidana terhadap dugaan pelanggaran protokol kesehatan (bukan kejahatan
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan) sebagai bagian dari
aturan dan norma hukum yang baru di masa pandemi. Akan tetapi, jika melihat
pondasi surat dakwaan maka Habib Rizieq juga dijerat pasal-pasal pidana yang
berkaitan dengan melawan terhadap penguasa bahkan sampai dengan penggunaan
UU Ormas. Oleh karena itu,tidaklah komprehensif jika melihat kasus ini hanya dari
sudut hukum pidana saja, mengapa? Jika tindakan rezim zalim dungu dan pandir
dalam menjerat Habib Rizieq dengan pasal-pasal pidana tersebut dibenarkan tanpa
dikaji secara komprehensif akan menjadi sebuah preseden buruk dalam penegakkan
hukum di Indonesia. Pada titik ekstrimnya akan mengeliminir hak asasi manusia itu
sendiri. Secara fundamental berimplikasi merusak tatanan hukum yang telah mapan
di Indonesia sebagaimana tertuang dalam UUD 1945.

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 41 dari 66
Pada konteks negara hukum Indonesia, UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis pada
hakikatnya bukan hanya untaian kalimat-kalimat pada lembaran kertas melainkan
konsensus dari Bangsa Indonesia. Bukankah salah satu dasar reformasi adalah
“keinginan untuk secara sungguh-sungguh melaksanakan sendi-sendi, tujuan, asas
dan kaidah UUD 1945”? Oleh sebab itu, maka aktualisasi UUD 1945 itu sendiri
secara imperatif harus menjadi dasar penegakan hukum lainnya tidak terkecuali
hukum pidana. Mengapa demikian? Karena tidak ada satupun permasalahan hukum
maupun perlindungan hukum yang tidak berdasarkan UUD 1945 sebagai
konsekwensi dari hierarkhi peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu menurut
Bagir Manan: “Hakim dalam mengadili dan memutus perkara harus memperhatikan
asas, kaidah, dan pandangan-pandangan yang mendasari UUD 1945. Tidak ada
perkara yang tidak bersentuhan dengan UUD 1945.”(lihat: Bagir Manan dan Susi Dwi
Harjanti, Memahami Konstitusi: Makna dan Aktualisasi, hal. 164)

Kemudian, flashback kondisi hukum pada masa pra-reformasi dimana UUD 1945
direkayasa sedemikian rupa hanya untuk memenuhi kepentingan penguasa
seharusnya dijadikan guidance agar tidak terulang pada saat ini dan masa
mendatang. Oleh sebab itu, untuk mencegah hal yang demikian terulang kembali
maka tidak ada jalan lain bagi kita Bangsa Indonesia selain mengaktualisasi UUD
1945 dalam setiap perikehidupan sehingga UUD 1945 menjadi The Living
Constitution.

Majelis Hakim yang mulia,


Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,

Kembali pada kasus Habib Rizieq, penegakan hukum pidana dalam kondisi apapun
termasuk Pandemi Covid-19 seharusnya juga didasarkan dan diilhami oleh UUD 1945
bukan dengan kepentingan diluar UUD 1945. Begitupun melihat kondisi pandemi ini,
tidak dapat dipungkiri lagi kita harus melihat dan telaah kembali mengenai Model
Kedaruratan yang dipilih oleh Pemerintah pada masa pandemi Covid-19.

Model kedaruratan sebenarnya dapat kita telusuri dari Hukum Tata Negara Darurat
di dalam UUD 1945. Pada hakikatnya Hukum Tata Negara Darurat adalah negara
yang dalam keadaan atau kondisi darurat dimana telah terjadi keadaan bahaya
secara tiba-tiba yang mengancam tertib umum. Kondisi ini menuntut negara untuk
bertindak dengan cara-cara yang tidak lazim menurut aturan hukum yang biasa
berlaku dalam keadaan normal. Pertanyaannya, apakah peraturan perundang-
undangan terkait Pandemi Covid-19 yang berlaku saat ini dapat dikualifisir sebagai
keadaan darurat? Hal ini menjadi penting untuk dikaji, karena pada kondisi darurat,
kekuasaan negara dalam hal ini pemerintah sangatlah besar sehingga dapat
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 42 dari 66
mereduksi hak-hak konstitusional dari warga negara. Pada titik ekstrimnya,
kekuasaan negara dalam keadaan darurat dapat menciderai demokrasi akibat dari
pelanggaran serius terhadap HAM.

Secara konstitusional, pengaturan negara dalam keadaan darurat dapat dilihat pada
ketentuan Pasal 12 dan Pasal 22 UUD 1945. Pasal 12 UUD 1945 menyatakan:
“Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya
ditetapkan dengan undang-undang”. Sedangkan Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945
menyatakan: “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak
menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Berdasarkan
kedua ketentuan tersebut, maka UUD 1945 memberikan dua kategori mengenai
suatu kondisi atau keadaan, yaitu: 1). Keadaan bahaya; dan 2). Hal ihwal
kegentingan yang memaksa.

Konsep keadaan darurat dalam UUD 1945 tersebut seyogyanya dipandang sebagai
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Pertama, baik
keadaan bahaya maupun hal ihwal kegentingan yang memaksa hanya Presiden yang
berhak untuk menetapkannya. Kedua, penetapan kondisi tersebut dituangkan melalui
undang-undang maupun peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
Akan tetapi yang patut menjadi concern yaitu apakah terdapat kesamaan antara
keadaan bahaya dan hal ihwal kegentingan yang memaksa? Tentu saja hal ini masih
harus dilihat konteks dari kedua pasal tersebut.

Jika kita lihat dari sudut legislasi yang dalam hal ini harus melalui tahapan dan
proses yang sudah baku, maka jika Presiden akan menetapkan suatu keadaan
bahaya akan tetapi harus melalui tahapan dan proses pembentukan undang-undang
yang sudah baku tersebut jelas tidak efisien. Dengan demikian langkah yang
ditempuh oleh Presiden adalah dengan menetapkan keadaan bahaya tersebut dalam
format peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Hal ini berarti
bahwa ketentuan Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 adalah jawaban dari penetapan
keadaan bahaya yang tidak dapat dituangkan dalam format undang-undang
sebagaimana dipersyaratkan oleh Pasal 12 UUD 1945.

Oleh karenanya menurut Jimly Asshiddiqie ketentuan mengenai keadaan bahaya


yang ditentukan dalam pasal 12 jelas lebih menekankan sifat bahaya yang
mengancam (dangerous threat), sedangkan kegentingan yang memaksa dalam pasal
22 lebih menekankan aspek kebutuhan hukum yang bersifat mendesak atau
kemendesakan yang terkait dengan persoalan waktu yang terbatas. (lihat: Jimly
Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, halaman 207). Hal yang sama
dikemukakan oleh Bagir Manan, menurutnya perspektif UUD 1945 mengenai
“Keadaan Bahaya dalam Pasal 22 secara diametral berbeda dengan Pasal 12. Hal
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 43 dari 66
ihwal kegentingan yang memaksa adalah dringende “omstandingheden”, “urgent”
atau “necessary”. Pengertianistilah tersebut bertalian dengan kebutuhan hukum
yangmendesak, tidak terkait dengan bahaya atau ancaman terhadap keamanan dan
pertahanan negara.”(lihat: Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti, Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang dalam Perspektif Ajaran Konstitusi dan Negara Hukum,
Padjajaran Jurnal Ilmu Hukum Vol 4 No. 2 tahun 2017, hal. 238)

Selanjutnya, berkenaan dengan pengaturan keadaan bahaya secara khusus telah


diatur melalui Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 Tentang Keadaan Bahaya yang
sampai dengan saat ini belum direvisi maupun dicabut sehingga masih
berlaku. Dalam perspektif UU No. 74/1957, kualifikasi Keadaan Bahaya dijabarkan
dalam bentuk pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam,
timbul perang atau bahaya perang, dijajahnya wilayah Indonesia dengan cara
apapun juga. Sedangkan untuk perundang-undangan yang berkaitan secara
langsung maupun tidak langsung dengan wabah penyakit menular dapat kita
temukan pada:
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular;
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana;
dan
3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Artinya, jika Pasal 12 dan Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 menjadi pondasi suatu
undang-undang tentang keadaan bahaya sekaligus epidemi ataupun pandemi, maka
sebagai pilar konstruksinya adalah Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 Tentang
Keadaan Bahaya; Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit
Menular; Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana;
dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Dengan demikian dapat pula ditafsirkan bahwa Pasal 22 UUD 1945 dapat berdiri
sendiri tanpa disandingkan dengan Pasal 12 UUD 1945. Walhasil “hal ihwal
kegentingan yang memaksa”, pada kondisi tertentu belum tentu mengenai keadaan
bahaya.

Berdasarkan analisis terhadap kedua ketentuan pasal tersebut, maka terdapat


keharusan suatu peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang
meletakkan Pasal 12 dan Pasal 22 Ayat (1) sebagai dasar pada bagian “Mengingat”
jika terkait suatu keadaan bahaya sekaligus epidemi ataupun pandemi. Bagaimana
jika terdapat peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang yang tidak
meletakkan Pasal 12 UUD 1945 sebagai dasar dari pembentukannya? Apabila hal ini
terjadi, maka sangat jelas peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang
tersebut bukanlah suatu penetapan keadaan bahaya melainkan hanya segi efisiensi

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 44 dari 66
dalam proses pembentukan undang-undang. Hal ini dapat saja terjadi agar tidak
terjadi kekosongan hukum (rechtvacuum).

Majelis Hakim yang mulia,


Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,

Pada masa Pandemi Covid-19, Presiden mengeluarkan peraturan pemerintah sebagai


pengganti undang-undang (nomenklatur yang digunakan UUD 1945) yaitu Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2020 Tentang
Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan
Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi
Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem
Keuangan. Sedangkan secara hirearkhi, peraturan turunan dari Perppu Nomor 1
Tahun 2020 adalahPeraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 Tentang
Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona
Virus Disease 2019 (Covid-19). Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana
dengan UU No. 4/1984 Tentang Wabah Penyakit Menular; UU No. 24/2007 Tentang
Penanggulangan Bencana; dan UU No. 6/2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan?
Jawabannya adalah sama dengan kondisi Perppu No. 1/2020 yaitu bukan keadaan
bahaya.

Lebih lanjut kita melihat rumusan Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.” Jika
dikaitkan dengan Model Kedaruratan apapun maka hak-hak yang tercantum didalam
Pasal 28I secara Constitutional Imperative tidak dapat dikurangi dan dibatasi
(Non-derogable Rights), dan oleh karena itu meski dalam keadaan bahaya
sebagaimana Pasal 12 UUD 1945 hak-hak dalam Pasal 28I Ayat (1) maka
model kedaruratan sebagaimana Pasal 22 UUD 1945 harus menjamin dan
melindungi HAM secara utuh dan menyeluruh (derogable dan non-
derogable rights).

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 45 dari 66
Dibawah ini kami sampaikan skema kondisi hokum kedaruratan tersebut :

Mempedomani uraian yang telah kami sampaikan di atas, maka Arsitektur Hukum
Pandemi Covid-19 bukanlah arsitektur suatu keadaan bahaya dan tidak
terkait dengan bahaya atau ancaman terhadap keamanan dan pertahanan
negara.

Atas dasar itulah muncul istilah-istilah baru seperti “New Normal” yang hakikat
artinya tatanan hukum masih dalam keadaan normal. Hal ini dapat dibuktikan
dengan pembentukan UU Cipta Kerja melalui tahapan yang normal serta Pemilihan
Kepala Daerah yang tetap diselenggarakan untuk menjamin hak pilih sebagai hak
konstitusional.

Kemudian istilah “Pembatasan Sosial Berskala Besar” yang membidani lahirnya istilah
“Pelanggaran Protokol Kesehatan (Prokes)” bukan “Pelarangan Sosial Berskala Besar”
atau “Lockdown” yang melahirkan istilah “Kejahatan Prokes”. Inilah bagian dari
ketidakcermatan jaksa penuntut umum dalam merumuskan surat dakwaan. Sistem
hukum yang berlaku saat pandemi bukanlah rezim keadaan bahaya dimana setiap
pelanggaran dapat menjadi sebuah kejahatan akan tetapi pelanggaran tetaplah
dihukumi sebagai pelanggaran.

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 46 dari 66
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,

Kedua, dalam hukum Pidana dikenal Prinsip Ultimum Remedium yang berarti hukum
pidana adalah senajata pamungkas atau terakhir yang digunakan dalam penegakan
hukum. Akan tetapi ultimum remedium jika kita telusuri maka akan kita jumpa pula
dalam rezim hukum administrasi, para sarjana menyebut sanksi administratif sebagai
“in cauda venenum,racun yang berada di ekor”(lihat: Andri Gunawan Wibisana,
Tentang Ekor yang Tak Lagi Beracun: Kritik Konseptual atas Sanksi Administratif
dalam Hukum Lingkungan di Indonesia, Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 6,
No. 1, 2019, hal. 42). Mengapa sanksi administratif menjadi Ultimum Remedium? Hal
ini lazimnya berkaitan dengan perizinan, segala bentuk kegiatan baik bernilai
ekonomis ataupun tidak jika tidak memiliki izin atau dicabut izinnya maka tidak dapat
dilaksanakan. Akan tetapi jika dilaksanakan tanpa memiliki izin maka negara memiliki
hak untuk menghentikan pelaksanaan kegiatan tersebut dan menjatuhkan sanksi
denda.

Sanksi bagi pelanggar prokes sudah ditetapkan melalui Peraturan Gubernur yang
menurut UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan materi muatannya bukan ketentuan pidana. Sedangkan peraturan
perundang-undangan di level provinsi yang materi muatannya berupa ketentuan
pidana adalah Peraturan Daerah (Perda). Berdasarkan alasan yuridis tersebut maka
sanksi dalam Pergub PSBB tidak diberikan izin dan pencabutan izin adalah ultimum
remedium. Yang perlu kita ingat rezim hukum yang berlaku saat ini bukan rezim
hukum keadaan bahaya. Dengan kondisi demikian jika terdapat pihak yang
mengajukan suatu izin maka secara hukum harus diberikan jawaban mengenai
pemberian izin atau tidak. Hal ini menjadi sangat penting karena sifat peraturan
perundang-undangan dibawah undang-undang sifatnya administratif. Jika pemberian
izin atau tidak memberikan izin tidak dilakukan maka sama halnya dengan melawan
hukum administrasi.

Berkaitan dengan permohonan izin maulid, seharusnya bukan himbauan yang


diberikan oleh aparatur negara melainkan pemberian izin atau tidak memberikan izin.
Surat Himbauan tersebut memiliki tafsir yang berbeda-beda tergantung pada pihak
yang memiliki kepentingan. Hal inilah yang men-trigger kekacauan hukum karena
tidak menciptakan kepastian hukum yang nyata (real legal certainty). Akan tetapi jika
pasti pemberian izin atau tidak memberikan izin, akan memiliki dayaguna untuk
mengaktivasi ketentuan-ketentuan sanksi yang tidak ada di dalam pergub. Tanpa
proses, itu aktivasi sanksi di dalam peraturan perundang-undangan diatas Pergub
menjadi nebis in idem, prematur, dan sangat dipaksakan. Dengan demikian,
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 47 dari 66
ketidakcermatan dan ketidaklengkapan jaksa penuntut umum dalam merumuskan
surat dakwaan kembali terlihat.

Majelis Hakim yang mulia,


Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,

Perlu kita ketahui bersama, pada hari kedatangan Habib Rizieq secara yuridis
merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah sebagaimana ketentuan
Pasal 4 juncto Pasal 1 Angka 1UU No. 6/2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan
yaitu:
“Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab melindungi
kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan
Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
melalui penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan”
“Kekarantinaan Kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau
masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang
berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat”

Pemerintah dengan segala kelengkapan yang dimiliki seharusnya sudah mengetahui


dan menyiapkan antisipasi terhadap banyaknya warga negara yang datang bukan
dengan menyiapkan penerapan pasal-pasal pidana. Karena roh dari
Kekarantinaan Kesehatan adalah pencegahan bukan punishment. Kedua
peristiwa itu dapat dikatakan kegagalan dalam pengelolaan Administrasi Negara dan
Kekarantinaan Kesehatan atau justru merupakan “conflict engineering”.

Majelis Hakim yang mulia,


Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,

Ketiga, penerapan pasal 160 dan 216 KUHP yang tidak tepat. Norma yang terdapat
didalam kedua pasal tersebut adalah secara garis besar adalah menghasut orang
supaya melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau pegawai negeri yang
ditugaskan mengawasi sesuatu, atau tidak menuruti perintah Undang-Undang atau
perintah jabatan. Kedua pasal tersebut jika dikaitkan dengan Pasal 93 UU No. 6/2018
Tentang Kekarantinaan Kesehatan menyebabkan meluasnya persona yang dijadikan
terdakwa. Pada rumusan Pasal 93 adalah mengenai sanksi yang dikenakan jika
melanggar Pasal 9 Ayat (1) uu aquo. Sedangkan rumusan Pasal 9 ayat (1) adalah
“Setiap Orang wajib mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan.” Unsur
setiap orang pada rumusan pasal 9 aquo tidak terdapat kualifikasi oleh karena itu
seluruh warga negara yang hadir di Bandara dan Petamburan tidak terkecuali Bayu
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 48 dari 66
Meghantara (selaku Walikota Jakarta Pusat), Ferguson (Kasat Intelkam Polres Metro
Jakarta Pusat), dan Heru Novianto (selaku Kapolres Jakarta Pusat) yang ingin
menemui Habib Rizieq juga bertentangan dengan Pasal 9 Ayat (1) UU a quo. Selain
itu, protokol kesehatan sebagimana dimaksud oleh Jaksa Penuntut Umum hanya
berpusat pada kerumunan. Bagaimana dengan penggunaan masker dan disinfeksi
dan usaha lainnya yang telah dilakukan apakah bukan bagian dari protokol
kesehatan?

Majelis Hakim yang mulia,


Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,

Selanjutnya Pasal 160 KUHP menurut Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No.
7/PUU-VII/2009 merupakan delik materil yang mensyaratkan adanya suatu akibat.
Uniknya putusan tersebut, MK dalam mengartikan kata “menghasut” hanya
berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional,
2003:392), tindakan penghasutan adalah suatu perwujudan untuk “membangkitkan
hati orang supaya marah (untuk melawan atau memberontak)”, atau menurut
Black‟s Law Dictionary edisi ke-8 halaman 1.262 dengan menggunakan padanan kata
menghasut dengan “provocation” diartikan sebagai, “something (such as word or
action) that affects a person‟s reason and self-control, esp. causing the person to
commit a crime impulsively”.

Dalam perspektif MK, manifestasi hasutan tersebut adalah perlawanan atau


pemberontakan. Bahwa ajakan untuk menghadiri maulid bukanlah suatu perwujudan
untuk membangkitkan hati orang supaya marah (untuk melawan atau
memberontak). Warga negara yang hadir di bandara dan petamburan dengan penuh
kesadaran hukum tetap menggunakan peralatan sebagaimana dimaksud dalam
prokes. Jika para warga negara tersebut tidak tunduk dan patuh terhadap prokes
atau sampai marah dan memberontak, maka bukan lagi 33 orang yang terjangkit
sebagaimana sampling yang diajukan oleh jaksa penuntut umum dalam surat
dakwaan akan tetapi menjadi super spreader. Sekali lagi, dalam mengungkap suatu
fakta atau peristiwa janganlah dipotong haruslah frame per-frame sehingga menjadi
utuh dan penilaian-pun dapat dilakukan dengan obyektif.

Majelis Hakim yang mulia,


Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,

Keempat, Ormas Front Pembela Islam sudah bubar, ibarat terdapat seorang
tersangka atau terdakwa yang telah meninggal dunia untuk apa melanjutkan proses
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 49 dari 66
penyidikan, penuntutan, dan persidangannya? Apa motif dan relevensinya
meletakkan Front Pembela Islam dalam surat dakwaan? Jika hanya ingin mendalilkan
bahwa Front Pembela Islam yang memiliki catatan hitam dengan Imam Besarnya
adalah Habib Rizieq maka sudah sepatutnya Habib Rizieq dihukum, maka buatlah ini
menjadi preseden bagi para koruptor yang berasal dari partai politik dengan segala
catatan hitamnya. Tulis dengan jelas dan terang pada tiap surat dakwaan tindak
pidana korupsi bahwa partai tersebut kadernya telah banyak melakukan korupsi
bahkan sampai buron, ada yang sudah tertangkap dan adapula yang masih bebas.
Satu hal yang pasti, para warga negara yang hadir di bandara dan petamburan
meski dicekoki dengan pemberitaan buruk dan pembunuhan karakter Habib Rizieq
mereka tetap dengan penuh kesadaran hukum hadir dengan masker dan prokes
lainnya.

Kelima, berdasarkan seluruh uraian pada bagian ini, maka sangat terlihat surat
dakwaan jaksa penuntut umum tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap.

Keenam, janganlah kebencianmu terhadap seseorang maupun kelompok


menjadikanmu tidak mampu berbuat adil.

Maka pada kesempatan ini, kami Penasihat Hukum Terdakwa akan


menyampaikan EKSEPSI / KEBERATAN-KEBERATAN terhadap Surat
Dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut sebagaimana yang diatur dalam
ketentuan Pasal 156 ayat (1) junto Pasal 143 ayat (2) huruf (b) Undang -
undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang -undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) Jo. Eksepsi tentang yurisdiksi (kompetensi relatif) dari
kewenangan Pengadilan.

Sebagaimana diketahui dalam perkara ini, Terdakwa telah didakwa oleh Jaksa
Penuntut Umum dengan Dakwaan yakni:

DAKWAAN PERTAMA:

“Perbuatan Terdakwa MOH. RIZIEQ bin HUSEIN SHIHAB Alias HABIB


MUHAMMAD SHIHAB Baik Bertindak Sendiri Maupun Secara Bersama-
sama dengan (dituntut dalam perkara terpisah) H. HARIS UBAIDILLAH,
S.Pdi, H. AHMAD SABRI LUBIS, ALI ALWI ALATAS Bin ALWI ALATAS,
IDRUS alias IDRUS AL-HABSYI, MAMAN SURYADI tersebut,
sebagaimana diatur dan diancam pidana sesuai Pasal 160 KUHP Jo.
Pasal 93 Undang Undang Republik Indonesia No. 6 Tahun 2018 Tentang
Kekarantinaan Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP”.

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 50 dari 66
ATAU

DAKWAAN KEDUA:

“Perbuatan Terdakwa MOH. RIZIEQ bin HUSEIN SHIHAB Alias HABIB


MUHAMMAD SHIHAB Baik Bertindak Sendiri Maupun Secara Bersama-
sama dengan (dituntut dalam perkara terpisah) H. HARIS UBAIDILLAH,
S.Pdi, H. AHMAD SABRI LUBIS, ALI ALWI ALATAS Bin ALWI ALATAS,
IDRUS alias IDRUS AL-HABSYI, MAMAN SURYADI
tersebut,sebagaimana diatur dan diancam pidana sesuai Pasal 216 ayat
(1) KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP”;
ATAU

DAKWAAN KETIGA:

“Perbuatan Terdakwa MOH. RIZIEQ bin HUSEIN SHIHAB Alias HABIB


MUHAMMAD SHIHAB Baik Bertindak Sendiri Maupun Secara Bersama-
sama dengan (dituntut dalam perkara terpisah) H. HARIS UBAIDILLAH,
S.Pdi, H. AHMAD SABRI LUBIS, ALI ALWI ALATAS Bin ALWI ALATAS,
IDRUS alias IDRUS AL-HABSYI, MAMAN SURYADI tersebut,
sebagaimana diatur dan diancam pidana sesuai Pasal 93 Undang
Undang Republik Indonesia No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan
Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP”.

ATAU

DAKWAAN KEEMPAT:

“Perbuatan Terdakwa MOH. RIZIEQ bin HUSEIN SHIHAB Alias HABIB


MUHAMMAD SHIHAB Baik Bertindak Sendiri Maupun Secara Bersama-
sama dengan (dituntut dalam perkara terpisah) H. HARIS UBAIDILLAH,
S.Pdi, H. AHMAD SABRI LUBIS, ALI ALWI ALATAS Bin ALWI ALATAS,
IDRUS alias IDRUS AL-HABSYI, MAMAN SURYADI tersebut,
sebagaimana diatur dan diancam pidana sesuai Pasal 14 ayat (1)
Undang Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1984 Tentang Wabah
Penyakit Menular Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP” .

ATAU

DAKWAAN KELIMA:

“Perbuatan Terdakwa MOH. RIZIEQ bin HUSEIN SHIHAB Alias HABIB


MUHAMMAD SHIHAB Baik Bertindak Sendiri Maupun Secara Bersama-
sama dengan (dituntut dalam perkara terpisah) H. HARIS UBAIDILLAH,

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 51 dari 66
S.Pdi, H. AHMAD SABRI LUBIS, ALI ALWI ALATAS Bin ALWI ALATAS,
IDRUS alias IDRUS AL-HABSYI, MAMAN SURYADI tersebut,
sebagaimana diatur dan diancam pidana sesuai Pasal 82A ayat (1) jo.
Pasal 59 ayat (3) huruf d dan d Undang Undang Republik Indonesia No.
16 Tahun 2017 Tentang Penerapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang No. 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Undang-
undang No. 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan
Menjadi Undang-Undang Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 10
huruf b KUHP Jo. Pasal 35 ayat (1) KUHP”.

Adapun keberatan – keberatan TIM PENASIHAT HUKUM terhadap Surat Dakwaan


JPU adalah sebagai berikut:

B. SURAT DAKWAAN PERTAMA DARI JPU YANG MENDAKWA


TERDAKWA DENGAN CARA MENGGABUNGKAN ATAU
MENGHUBUNGKAN DAKWAAN PASAL 160 KUHP (PIDANA UMUM)
BERSAMA – SAMA DENGAN PASAL 93 UNDANG – UNDANG NO: 6
TAHUN 2018 TENTANG KEKARANTINAAN KESEHATAN (PIDANA
KHUSUS) DIJADIKAN SATU DALAM DAKWAAN PERTAMA ADALAH
BATAL DEMI HUKUM

DAKWAAN PERTAMA Jaksa Penuntut Umum (JPU) BATAL DEMI


HUKUM Yang mendakwa Terdakwa dengan Pasal 160 KUHP (PIDANA
UMUM) Jo. Pasal 93 Undang-Undang No 6 Tahun 2018 Tentang
Karantina Kesehatan (PIDANA KHUSUS) Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1
KUHP adalah BATAL DEMI HUKUM.

Bahwa Terdakwa, didakwa oleh JPU dalam Surat Dakwaan PERTAMA


No Reg Perkara : PDM-012/Jkt.Tim/Eku-03/2021. Didakwa oleh JPU telah
melanggar Pasal 160 KUHP Jo. Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018
Tentang Kekarantinaan Kesehatan Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-
1.KUHP adalah SURAT DAKWAAN dibuat TIDAK CERMAT; TIDAK
JELAS ; dan TIDAK LENGKAP ; yang mengakibatkan SURAT DAKWAAN
PERTAMA JPU tersebut adalah BATAL DEMI HUKUM ;

Adapun yang menyebabkan DAKWAAN PERTAMA dari JPU tersebut BATAL


DEMI HUKUM, dengan alasan yuridis sebagai berikut:

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 52 dari 66
B.1 KEBERATAN TIM PENSIHAT HUKUM TERDAKWA ATAS DAKWAAN
PERTAMA JPU YANG KE – 1 (SATU).

Bahwa Dakwaan Pasal 160 KUHP, TIDAK DAPAT DIDAKWAKAN


BERSAMAAN DENGAN Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaa
Kesehatan. Atau dengan kata lain Dakwaan Pasal 160 KUHP TIDAK BISA di
JUNTO kan atau DIJADIKAN SATU DAKWAAN dalam DAKWAAN
PERTAMA. Karena “Unsur – Unsur” Pasal 160 KUHP SANGAT BERBEDA
dengan “Unsur – Unsur” Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang
Kekarantinaan Kesehatan. Dan juga, ANCAMAN HUKUMAN dalam Pasal
160 KUHP, BERBEDA dengan ANCAMAN HUKUMAN dalam Pasal 93 UU
No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Bahwa Kedua Pasal tersebut, mempunyai unsur –unsur masing – masing


dan juga mempunyai ancaman hukuman masing – masing YANG TIDAK
dimungkinkan atau TIDAK DIBENARKAN untuk dijadikan SATU Surat
DAKWAAN seperti SURAT DAKWAAN PERTAMA JPU tersebut.

Bahwa hal ini sangat jelas di atur dalam Yurisprudensi Tetap MAHKAMAH
AGUNG – RI No : 71 K/Kr/1968, dengan Majelis Hakim Agung :

1. Prof. SUBEKTI, S.H.;


2. Z. ASIKIN KUSUMAH ATMADJA, S.H.;
3. D.H. LUMBAN RADJA, S.H.

Bahwa untuk lebih jelasnya kami kutip bunyi Yurisprudensi Tetap


MAHKAMAH AGUNG – RI No: 71 K/Kr/1968, dari Buku Rangkuman
Yurisprudensi Mahkamah Agung – RI Cetakan Ke 2, 1993. Berbunyi dengan
kaedah hukum sebagai berikut:
“suatu surat tuduhan tindak pidana yang dirumuskan Pasal 368
KUHP bersama – sama unsur pasal penipuan 378 KUHP
merupakan Kesalahan yang sangat esensial yang menyebabkan
tuduhan tersebut batal “.
Bahwa adapun Pertimbangan Hukum dari Yurisprudensi Tetap
MAHKAMAH AGUNG – RI No: 71 K/Kr/1968. tersebut. Kami kutip
sebagai berikut:

“bahwa dalam tuduhan primair tidak jelas apakah yang


dimaksudkan itu merupakan tindak pidana pemerasan (Pasal 368
K.U.H.P) atau merupakan tindak pidana penipuan (Pasal 378
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 53 dari 66
K.U.H.P) karena dalam bagian pertama dari tuduhan primair
dipergunakan perumusan Undang2 mengenai tindak pidana
pemerasan, kemudian dipakai unsur2 dari penipuan sebagai
materieele handelingen hal mana merupakan suatu kesalahan
Yang esentieel jang menjebabkan tuduhan primair batal ”.

Berdasarkan dan Berpedoman dari Yurisprudensi Tetap MAHKAMAH


AGUNG – RI No : 71 K/Kr/1968 tersebut di atas. Maka dapat
disimpulkan bahwa dalam membuat surat dakwaan, JPU TIDAK
DIBENARKAN Menggabungkan Unsur – unsur delik Pasal 160
KUHP di JUNTO kan dengan Unsur – Unsur delik Pasal 93 UU No 6
Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Karena mengandung
Kesalahan yang sangat Esensial.
Adapun dalam Dakwaan Pertama, JPU yang Mendakwa Terdakwa,
adanya Penggabungan dakwaan Unsur – Unsur Pasal 160 KUHP
digabungkan menjadi satu dakwaan dengan unsur – unsur Pasal 93 UU
No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Adanya penggabungan
tersebut, kami kutip kembali unsur –unsur delik Pasal 160 KUHP Juncto
Pasal 93 yang dijadikan satu dakwaan (dakwaan Pertama pada Halaman
2).

“maka Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk memeriksa dan mengadli,


mereka yang melakukan ,yang menyuruh melakukan, dan yang turut
serta melakukan perbuatan, di muka umum dengan lisan atau tulisan “
menghasut ” supaya melakukan pidana ( pasal 160 KUHP)
kekarantinaan kesehatan sebagaimana pasal 93 undang-undang
Republik Indonesia Nomor: 6 tahun 2018 tentang kekarantinaan
kesehatan, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum tidak
menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang
di berikan berdasar ketentuan undang-undang”.
Pada Halaman 10 (sepuluh) Surat DAKWAAN PERTAMA berbunyi:

“Perbuatan Terdakwa merupakan tindak pidana sebagaimana diatur


dan diancam dalam Pasal 160 KUHP Jo. Pasal 93 Undang – Undang
R.I. Nomor 6 tahun 2018 tentang KEKARANTINAAN KESEHATAN Jo.
Pasal 55 Ayat 1 (satu) ke – 1 KUHP.”

Bahwa dari unsur – unsur delik yang didakwakan dalam dakwaan


Pertama, Pasal 160 KUHP jo. Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018 Tentang
Kekarantinaan Kesehatan yang didakwakan terhadap Terdakwa dengan
LOCUS DELICTIE yang terjadi di Petamburan Jakarta Pusat dalam Peristiwa
Hukum acara BERKERUMUN menghadiri Maulid Nabi Muhammad SAW.

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 54 dari 66
Sangat jelas JPU dalam DAKWAAN PERTAMA Telah Menggabungkan
Unsur – unsur pasal 160 KUHP digabungkan dengan Unsur – unsur delik
Pasal 93 UU No 6. Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Bahwa Berpedoman pada Yurisprudensi Tetap MAHKAMAH AGUNG RI


No: 71 K/Kr/1968, tentang yang intinya “LARANGAN” pengabungan
unsur – unsur delik Pasal PEMERASAN (Pasal 368 KUHP) di GABUNGKAN
dengan unsur – unsur Delik Pasal PENIPUAN (Pasal 378 KUHP).

Bahwa demikian Pula Dakwaan Pertama JPU dalam Perkara a quo, yang
mendakwa TERDAKWA dengan Cara MENGGABUNGKAN Unsur – unsur
Delik Pasal 160 KUHP dengan unsur – unsur delik Pasal 93 UU No 6
Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan Yang merupakan Kesalahan
yang sangat Essensial dan mengakibatkan DAKWAAN PERTAMA JPU
tersebut KABUR / TIDAK JELAS (OBSCURE LIBEL). Sebagaimana yang
telah diatur dalam YURISPRUDENSI TETAP MAHKAMAH AGUNG R.I.
No: 71 K/Kr/1968, Tentang HUKUM PIDANA dan HUKUM ACARA PIDANA.

Bahwa LARANGAN PENGGABUNGAN Pasal 160 KUHP Juncto Pasal 93 UU


No: 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, adalah dikarenakan
unsur – unsur Pasal 160 KUHP SANGAT BERBEDA dengan unsur –
unsur Pasal 93 UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Dan juga Ancaman HUKUMAN Pasal 160 KUHP SANGAT BERBEDA


dengan Ancaman Hukuman Pasal 93 UU No: 6 tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan.

Dimana “Unsur – unsur” Pasal 160 KUHP adalah sebagai berikut:

“Barang siapa dimuka umum dengan Lisan atau Tulisan


menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan
kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik
ketentuan undang – undang maupun perintah Jabatan yang
diberikan berdasarkan ketentuan undang – undang diancam dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah “.

Sedangkan “Unsur – unsur” Pasal 93 UU No: 6 tahun 2018 tentang


Kekarantinaan Kesehatan. Adalah sebagai berikut:
“Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan
kekarantinaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
Ayat (1) dan / atau menghalang – halangi penyelenggaraan
kekarantinaan kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 55 dari 66
kesehatan masyarakat dipidana dengan pidana Penjara paling
lama 1 (satu) Tahun dan / atau Pidana denda Paling banyak
Rp.100.000.000,- ( seratus juta rupiah)”.

Bahwa Selanjutnya Unsur – unsur Pasal 9 Ayat (1) UU No: 6 tahun


2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Adalah sebagai berikut :
“Setiap orang wajib mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan
kesehatan”.

Bahwa dari kutipan unsur – unsur Pasal 160 KUHP dan Pasal 93 UU
No: 6 tahun 2018, ternyata sangat jelas perbedaan unsur – unsur
dari Pasal 160 KUHP dibandingkan dengan unsur – unsur Pasal 93
UU No: 6 tahun 2018. tentang Kekarantinaan Kesehatan tersebut.

Maka kedua Pasal tersebut unsur – unsur nya berbeda dan Ancaman
HUKUMAN nya juga BERBEDA, Oleh karena itu TIDAK
DIMUNGKINKAN atau TIDAK DIBENARKAN digabungkan
menjadi SATU SURAT DAKWAAN. Seperti DAKWAAN PERTAMA JPU
tersebut.

Maka berdasarkan YURISPRUDENSI TETAP MAHKAMAH AGUNG


R.I, No: 71 K/Kr/1968, yang berbunyi:
“Suatu tuduhan tindak pidana yang dirumuskan berdasarkan unsur –
unsur PEMERASAN pasal 368 K.U.H.P. Bersama – sama Unsur – unsur
PENIPUAN Pasal 378 K.U.H.P. merupakan kesalahan yang SANGAT
ESENSIEL yang menyebabkan tuduhan tersebut BATAL”.

Oleh karenanya, surat DAKWAAN PERTAMA JPU yang Mendakwa


PARA TERDAKWA dengan DAKWAAN TINDAK PIDANA yang dirumuskan
berdasarkan unsur – unsur Pasal 160 KUHP, bersama – sama
dengan unsur – unsur Pasal 93 UU No: 6 tahun 2018. tentang
Kekarantinaan Kesehatan tersebut. Yang dijadikan atau digabungkan
dalam 1 (satu) SURAT DAKWAAN yaitu: DAKWAAN PERTAMA
HARUSLAH DIBATALKAN dan atau BATAL DEMI HUKUM. Karena
tidak memenuhi syarat – syarat sebagaimana ditentukan Pasal 143
ayat (2) KUHAP.

B.2 KEBERATAN TIM PENSIHAT HUKUM TERDAKWA ATAS DAKWAAN


PERTAMA JPU YANG KE – 2 (DUA).

Bahwa ada lagi larangan PENGABUNGAN unsur – unsur dakwaan tindak


pidana khusus digabungkan dengan unsur – unsur tindak pidana
umum. Hal ini telah diatur dalam YURISPRUDENSI TETAP MAHKAMAH
AGUNG – RI. No: 666 K/Pid/1982, tanggal 10 Agustus 1983, berbunyi
sebagai berikut:

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 56 dari 66
“menyatakan dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa SUDARMADJI
tersebut BATAL DEMI HUKUM.”

Sebagai pertimbangan hukum dalam YURISPRUDENSI MA – RI No : 666


K/Pid/1982, tanggal 10 Agustus 1983, dalam pertimbangannya yaitu:
“Dalam putusannya MA – RI “menyatakan bahwa dakwaan didasarkan
pada pasal 360 ayat a KUHP “dihubungkan” dengan Pasal 5 .a. UU
lalu lintas dan angkutan jalan raya (UULAJR). Perbuatan terdakwa
mengenai hal tersebut SEHARUSNYA di dakwakan “Sendiri – Sendiri”.
Dengan demikian dakwaan tidak jelas. Dan oleh karena itu dakwaan
tersebut HARUSLAH dinyatakan BATAL DEMI HUKUM”.

Bahwa berdasarkan YURISPRUDENSI TETAP MAHKAMAH AGUNG – RI


No: 666 K/Pid/1982, tanggal 10 Agustus 1983 tersebut di atas. Maka
Semestinya dakwaan Pasal 160 KUHP (Pidana Umum) TIDAK dapat
digabungkan dengan Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang
Kekarantinaan Kesehatan (Pidana Kuhusus). Yang SEMESTINYA dakwaan
Pasal 160 KUHP dan Dakwaan Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang
Kekarantinaan Kesehatan, SEHARUSNYA DIDAKWA SENDIRI –
SENDIRI.

Sedangkan DAKWAAN PERTAMA JPU telah MENGGABUNGKAN atau


MENGHUBUNGKAN dakwaan yang didasari unsur - unsur Pasal 160
KUHP di JUNTO kan (atau bersama – sama) dengan unsur - unsur
Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan menjadi
SATU DAKWAAN yaitu DAKWAAN PERTAMA adalah Merupakan
KESALAHAN yang SANGAT ESSENTIAL, yang menyebabkan SURAT
DAKWAAN PERTAMA Tidak Jelas mengakibatkan SURAT DAKWAAN
PERTAMA dalam perkara a quo adalah BATAL DEMI HUKUM.

Maka surat dakwaan JPU yang mendakwa terdakwa dalam DAKWAAN


PERTAMA melanggar Pasal 160 KUHP junto Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018
Tentang Kekarantinaan Kesehatan adalah BATAL DEMI HUKUM.

Sebab tidak DIBENARKAN menurut YURISPRUDENSI TETAP


MAHKAMAH AGUNG – RI No : 666 K/Pid/1982, tanggal 10 Agustus
1983, mengabungkan Pasal 160 KUHP dengan Pasal 93 UU No 6 Tahun
2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan menjadi satu dakwaan. Karena,
unsur – unsur pidana Pasal 160 KUHP SANGAT BERBEDA dengan
unsur – unsur Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan
Kesehatan. Dan juga kedua unsur pasal tersebut mempunyai ancaman
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 57 dari 66
hukuman masing – masing YANG BERBEDA yaitu Ancaman Hukum Pasal
160 KUHP maksimal 6 (enam) Tahun Penjara, Sedangkan Ancaman
Hukuman dalam Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan
Kesehatan Maksimal 1 (satu) tahun penjara atau DENDA.

Maka kedua pasal tersebut yaitu Pasal 160 KUHP (UU pidana Umum)
TIDAK dapat didakwakan BERSAMAAN dengan Pasal 93 UU No 6 Tahun
2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU Pidana Khusus).

Bahwa ketentuan dalam YURISPRUDENSI TETAP MAHKAMAH AGUNG –


RI No: 666 K/Pid/1982, tanggal 10 Agustus 1983. Yang melarang
PEMBUATAN SURAT DAKWAAN MENGGABUNGKAN unsur – unsur PIDANA
UMUM Bersama – sama dengan unsur – unsur PIDANA KHUSUS.
Sebagaimana TIM PENASIHAT HUKUM uraikan dalam ISI maupun
PERTIMBANGAN Hukum YURISPRUDENSI tersebut diatas, Bahwa LARANGAN
PENGGABUNGAN unsur – unsur PIDANA UMUM dengan unsur – unsur
PIDANA KHUSUS, hal ini sangat Selaras dengan ketentuan yang diatur
dalam Pasal 63 KUHP yang berbunyi:
(1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka
yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan – aturan itu jika
berbeda – beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana
pokok yang paling berat.

(2) Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum,
diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang
khusus itulah yang diterapkan.

Maka dapat kami Tim Kuasa Hukum dari Terdakwa bahwa dakwaan pertama
JPU No Reg Perkara : PDM-012/JKT-TIM/Eku/03/2021, tertanggal 4
Maret 2021, yang MENDAKWA PARA TERDAKWA dengan RUMUSAN unsur –
unsur Pasal 160 KUHP DIGABUNGKAN atau BERSAMA – SAMA dengan
Rumusan unsur – unsur Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang
Kekarantinaan Kesehatan adalah BATAL DEMI HUKUM.

C. KEBERATAN TIM PENSIHAT HUKUM TERDAKWA ATAS MANIPULASI


FAKTA DALAM DAKWAAN PERTAMA, KEDUA, KETIGA, KEEMPAT DAN
KELIMA.

SURAT DAKWAAN PERTAMA JPU adalah KABUR atau TIDAK JELAS


(Obscuree Libel). Dengan Alasan dan Uraian Yuridis sebagai berikut:

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 58 dari 66
Bahwa setelah kami TIM PENASIHAT HUKUM mencermatii SURAT DAKWAAN
PERTAMA halaman 2, DAKWAAN KEDUA halaman 10, DAKWAAN KETIGA
halaman 18, DAKWAAN KEEMPAT halaman 26, DAKWAAN KELIMA halaman 45,
kami TIM PENASIHAT HUKUM kutip sebagai berikut:

“Bahwa terdakwa Moh. RIZIEQ Bin HUSEIN SHIHAB alias HABIB MUHAMMAD
RIZIEQ SHIHAB (dituntut dalam perkara terpisah, yang menyatakan dirinya
Imam Besar pada Organisasi FPI, yang telah dilarang berdasarkan SURAT
KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI DALAM NEGERI R.I; MENTERI
HUKUM dan HAM R.I.; MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
R.I.; JAKSA AGUNG R.I; KEPALA KEPOLISIAN NEGARA R.I; dan
KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME R.I.;
Nomor : 220-4780 tahun 2020, No: M.HH – 14. HH05.05 tahun 2020,
Nomor: 690 tahun 2020, No : 264 tahun 2020, Nomor. KB / 3 / XII /
2020, dan Nomor: 320 tahun 2020, tanggal 30 Desember 2020.
Tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta
Penghentian Kegiatan FRONT PEMBELA ISLAM (FPI), baik bertindak
sendiri maupun secara bersama – sama dengan Haris Ubaidilah, Terdakwa
Ahmad Sabri Lubis; Terdakwa Ali Alwi alatas Bin Alwi Alatas; Terdakwa Idrus
alias Idrus Alhabsyi; dan Terdakwa Maman Suryadi, pada hari sabtu tanggal 14
November 2020 sekira jam 18. 30 WIB, atau setidak- tidaknya pada suatu
waktu lain dalam bulan November 2020, bertempat jalan Paksi
petamburan III. Jalan KS. Tubun Kelurahan: Petamburan, Kecamatan:
Tanah Abang, Kota Jakarta Pusat, atau setidak – tidak nya disuatu tempat
lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, Menurut Pasal 85 KUHAP dan Keputusan MA. R.I. No. 49 / KMA / SK / II
/ 2021. Tentang Penunjukan Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk memeriksa
dan Memutus perkara Pidana an. Terdakwa MOH. RIZIEQ alias HABIB
MUHAMMAD RIZIEQ SHIHAB Bin HUSEIN SHIHAB. Dkk Tanggal 24
Februari 2021, Maka Pengadilan Negeri Jakarta Timur berwenang untuk
memeriksa dan mengadili, mereka yang melakukan, yang menyuruh
melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan, dimuka
umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan
perbuatan pidana kekarantinaan kesehatan sebagaimana Pasal 93 UU
R.I No: 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, melakukan
kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik
ketentuan undang – undang maupun perintah jabatan yang diberikan
berdasarkan ketentuan Undang – Undang.

Bahwa dari uraian peristiwa yang di DAKWAKAN oleh JPU kepada Terdakwa
sebagaimana uraian yang diuraikan dalam yang telah TIM PENASIHAT HUKUM
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 59 dari 66
kutip diatas, ternyata setelah di cermati, tidak ada Relevansinya antara
Peristiwa Hukum yang di Dakwakan yaitu Hal ikhwal Perbuatan TERDAKWA
Tentang LARANGAN berdasarkan SURAT KEPUTUSAN BERSAMA
MENTERI DALAM NEGERI R.I; MENTERI HUKUM dan HAM R.I.;
MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA R.I.; JAKSA AGUNG R.I;
KEPALA KEPOLISIAN NEGARA R.I; dan KEPALA BADAN NASIONAL
PENANGGULANGAN TERORISME R.I.; Nomor : 220-4780 tahun 2020,
No: M.HH – 14. HH05.05 tahun 2020, Nomor: 690 tahun 2020, No :
264 tahun 2020, Nomor. KB / 3 / XII / 2020, dan Nomor : 320 tahun
2020, tanggal 30 Desember 2020 Tentang Larangan Kegiatan,
Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FRONT
PEMBELA ISLAM (FPI), Dengan RUMUSAN unsur – unsur Pasal Yang di
DAKWAKAN kepada Terdakwa yang mengakibatkan DAKWAAN menjadi
KABUR atau TIDAK JELAS.

Selain tidak ada hubungan dengan unsur-unsur pasal yang didakwakan kepada
Terdakwa Jaksa Penuntut Umum juga telah memanipulasi FAKTA karena Acara
Peringatan Maulid Nabi SAW diselenggarakan pada tanggal 14 November
2020, sementara SKB larangan Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan
Atribut serta Penghentian Kegiatan FRONT PEMBELA ISLAM (FPI), baru terbit
pada tanggal 30 Desember 2020.

Kronologis peristiwa telah diputarbalikan oleh JPU, seolah – olah Pelarangan FPI
oleh Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri RI, Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia RI, Menteri Komunikasi dan Informatika RI, Jaksa Agung RI,
Kepala Kepolisian Negara RI, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme No. 220-4780 tahun 2020, Ni. M.HH-14.HH05.05 tahun 2020, No.
690 tahun 2020, No. 264 tahun 2020, No. KB/3/XII/2020, dan N0. 320 tahun
2020 tanggal 30 Desember 2020 tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan
Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam terjadi
terlebih dahulu baru pristiwa yang didakwakan terjadi.

D. PELANGGARAN ASAS LEGALITAS DALAM DAKWAAN KELIMA

Bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang memasukan perbuatan-perbuatan


pidana sebelum disahkannya Undang-undang No. 17 Tahun 2013 Tentang
Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana telah diubah dengan Undang
Undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2017 Tentang Penerapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2 Tahun 2017
Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 17 Tahun 2013 Tentang

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 60 dari 66
Organisasi Kemasyarakatan adalah melanggar asas yang paling utama
dalam hukum pidana sebagaimana pasal 1 ayat 1 KUHP, yang menyatakan:
“Tiada satu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas ketentuan pidana
dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu terjadi.”

Bahwa dakwaan kelima JPU pada halaman 42 huruf a, halaman 44 huruf i, j, k


dan halaman 45 huruf l yang menyatakan:
a. Berdasarkan fotocopy legalisir putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
No.1616/Pid.B/2008/PN.JKT.PST tanggal 30 Oktober 2008 yang memeriksa
dan mengadili perkara pidana tingkat pertama atas nama terdakwa Moh.
Rizieq alias Habib Muhammad Rizieq Syihab, ketua Front Pembela Islam,
dengan amar antara lain: menyatakan terdakwa Moh. Rizieq alias Habib
Muhammad Rizieq Syihab telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana “menganjurkan orang untuk melakukan
kekerasan dimuka umum terhadap orang dan barang yang dilakukan secara
Bersama-sama.
i. Berdasarkan fotocopy legalisir putusan Pengadilan Negeri Batang
No.213/Pid.b/2008/PN.BTG tanggal 29 Januari 2009 yang memeriksa dan
mengadili perkara pidana tingkat pertama atas nama terdakwa Slamet
Budionmo alias Abu Ayyas Bin Busaeri, pengurus DPW FPI Pekalongan
dengan amar antara lain: menyatakan terdakwa Slamet Budionmo alias Abu
Ayyas Bin Busaeri tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana “didepan umum mengasut secara lisan.”
j. Berdasarkan fotocopy legalisir putusan Pengadilan Negeri Batang
No.211/Pid.b/2008/PN.BTG tanggal 29 Januari 2009 yang memeriksa dan
mengadili perkara pidana tingkat pertama atas nama terdakwa Slamet
Zainudin alias Mamek alias Cemik Bin Bambang Gunawan anggota FPI
dengan amar antara lain: menyatakan terdakwa Slamet Zainudin alias
Mamek alias Cemik Bin Bambang Gunawan tersebut telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “secara terang-
terangan dan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang.”
k. Berdasarkan fotocopy legalisir putusan Pengadilan Negeri Batang
No.212/Pid.b/2008/PN.BTG tanggal 29 Januari 2009 yang memeriksa dan
mengadili perkara pidana tingkat pertama atas nama terdakwa Muhamad
Iqbal Sohib Bin Suhaimi anggota FPI, dengan amar antara lain: menyatakan
terdakwa Muhamad Iqbal Sohib Bin Suhaimi tersebut telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”dimuka umum
Bersama-sama melakukan kekerasan terhadap barang dan dimuka umum
menghasut secara lisan.”
l. Berdasarkan fotocopy legalisir putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta
No.69/Pid.b/2012/PN.Ykt tanggal 17 April 2012 yang memeriksa dan
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 61 dari 66
mengadili perkara pidana tingkat pertama atas nama terdakwa H.M
Bambang Tedi SH Ketua FPI DPW DIY, dengan amar antara lain:
menyatakan dakwaan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan
tindak pidana “pidana”

Bahwa peristiwa-peristiwa yang diuraikan sebagaimana huruf a, i, j, k dan l


diatas menunjukan KEDUNGUAN dan KEPANDIRAN atau dengan kata lain
KETIDAKCERMATAN JPU dalam merumuskan dakwaan. Sehingga dakwaan
tersebut BATAL DEMI HUKUM.

KETIDAKCERMATAN JPU dalam rumusan dakwaan dilanjutkan dengan


menyebut Hb. Assayid Bahar Bin Smith alias Habib Bahar Bin Ali Bin Smith
sebagai anggota FPI yang divonis bersalah berdasarkan putusan Pengadilan
Negeri Yogyakarta sebagaimana dakwaan kelima halaman 45 huruf m, yang
menyatakan:

m. Berdasarkan fotocopy legalisir putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta


No.219/Pid.Sus/2019/PN.Bdg tanggal 09 Juli 2019 yang memeriksa dan
mengadili perkara pidana tingkat pertama atas nama terdakwa Hb. Assayid
Bahar Bin Smith alias Habib Bahar Bin Ali Bin Smith telah terbukti secara sah
dan meyakinkan melakukan tindak pidana “turut serta merampas
kemerdekaan orang yang mengakibatkan orang luka berat dimuka umum
secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang yang
mengakibatkan luka berat dan melakukan kekerasan terhadap anak yang
mengakibatkan luka berat”

Bahwa pada faktanya Hb. Assayid Bahar Bin Smith alias Habib Bahar Bin Ali Bin
Smith TIDAK PERNAH menjadi anggota ataupun sebagai pengurus FPI. Selain
itu putusan terhadap Habib Bahar Bin Smith bukan produk dari PN Yogyakarta
melainkan PN Bandung. Hal ini menunjukkan kengawuran dan kesembronoan
JPU dalam merumuskan dakwaan ini sehingga menyebabkan dakwaan tidak
cermat, tidak jelas dan tidak lengkap. Sehingga selayaknya DAKWAAN INI
BATAL DEMI HUKUM.

E. DAKWAAN KELIMA JAKSA PENUNTUT UMUM BERTENTANGKAN


DENGAN PUTUSAN MK NO.82/PPU-XI/2013.

Bahwa dakwaan kelima JPU halaman 36 alinea ke 4 yang menyatakan:


“berlanjutnya aktivitas organisasi kemasyarakatan FPI yang dilakukan oleh
Moh. Rizieq Syihab Bin Sayyid Husein Syihab alias Habib Muhammad Rizieq
Syihab, Haris Ubaidillah, Ahmad Sabri Lubis, Ali Alwi Alatas Bin Alwi Alatas,
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 62 dari 66
Idrus alias Idrus Al Habsi, Maman Suryadi, sekumpulan orang yang
mengatasnamakan pengurus FPI serta masih menggunakan atribut-atribut FPI,
simbol-simbol, dan identitas lainnya sekalipun anggota/pengurus telah
mengetahui bahwa organisasi kemasyarakatan FPI tersebut telah berakhir
masa berlaku SKTnya.”

“Namun orang-orang yang selama ini masih terlibat di dalam organisasi


kemasyarakatan FPI tersebut dan selalu menggunakan atribut-atribut FPI,
simbol-simbol, dan identitas lainnya dimana terlihat pada saat terdakwa
hendak menikahkan putrinya, sekaligus acara Maulid Nabi Muhammad SAW,
diamana Haris Ubaidillah, Ahmad Sabri Lubis, Ali Alwi Alatas Bin Alwi Alatas,
Idrus alias Idrus Al Habsi, Maman Suryadi kegiatan mereka masih
mengatasnamakan sebagai pengurus Ormas FPI sekalipun sudah tidak
berbadan hukum lagi akan tetapi malah membuat surat yang ditanda tangani
dengan menggunakan logo Front Pembela Islam (FPI) …”

Bahwa dakwaan JPU yang berasumsi seolah-olah ormas dilarang untuk untuk
melakukan aktifitas, menggunakan simbol, atribut dan identitas lainnya
dikarenakan SKT telah berakhir, menunjukkan keterbatasan pengetahuan
hukum JPU.

Bahwa bersarakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 82/PPU-IX/2013,


dalam pertimbangan hukum halaman 125, point [3.19.4], menyatakan :
“Menurut Mahkamah, yang menjadi prinsip pokok bagi Ormas yang
tidak berbadan hukum, dapat mendaftarkan diri kepada instansi
pemerintah yang bertanggung jawab untuk itu dan dapat pula tidak
mendaftarkan diri. Ketika suatu Ormas yang tidak berbadan hukum, telah
mendaftarkan diri haruslah diakui keberadaannya sebagai Ormas yang dapat
melakukan kegiatan organisasi dalam lingkup daerah maupun nasional. Suatu
Ormas dapat mendaftarkan diri di setiap tingkat instansi pemerintah yang
berwenang untuk itu. Sebaliknya berdasarkan prinsip kebebasan berkumpul
dan berserikat, suatu Ormas yang tidak mendaftarkan diri pada instansi
pemerintah yang berwenang tidak mendapat pelayanan dari pemerintah
(negara), tetapi negara tidak dapat menetapkan Ormas tersebut sebagai
Ormas terlarang, atau negara juga tidak dapat melarang kegiatan Ormas
tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan,
ketertiban umum, atau melakukan pelanggaran hukum."

Dengan merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 82/PPU-XI/2013,


tersebut, maka suatu organisasi kemasyarakatan yang tidak mendaftarkan diri
pada pemerintah tidak menjadikan Ormas tersebut menjadi Ormas terlarang
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 63 dari 66
melainkan hanya tidak mendapat pelayanan dari pemerintah, sehingga
dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang menyatakan Terdakwa dan para
pengurus FPI dilarang beraktifitas dengan menggunakan atribut, simbol dan
logo FPI adalah menunjukan ketidakcermatan, ketidakjelasan Jaksa Penuntut
Umum dalam merumuskan dakwaan a quo, sehingga dakwaan a quo batal
demi hukum.

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 64 dari 66
BAB V
PENUTUP

Majelis Hakim yang mulia,


Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,

Berdasarkan uraian di atas, maka kami memohon agar Majelis Hakim Pemeriksa
Perkara berkenan memeriksa, mengadili dan menjatuhkan putusan sela dengan amar
putusan sebagai berikut :

1. Menerima dan mengabulkan Nota Keberatan atau Eksepsi Penasihat Hukum


Terdakwa untuk seluruhnya;
2. Menyatakan penangkapan dan penahanan atas diri Terdakwa adalah tidak sah;
3. Memerintahkan Jaksa Penuntut Umum melepaskan Terdakwa dari tahanan;
4. Menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Timur tidak berwenang mengadili
perkara ini;
5. Menyatakan perkara ini adalah Nebis In Idem dan Dakwaan Tidak dapat
Diterima
6. Menyatakan Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum No. Reg. Perkara: PDM-
011/JKT.TIM/Eku/02/2021 Batal Demi Hukum;
7. Membebaskan Terdakwa dari segala dakwaan Jaksa Penuntut Umum;
8. Memulihkan harkat dan martabat serta nama baik Terdakwa kedudukannya di
masyarakat;
9. MembebanKan biaya perkara kepada negara.

ATAU

Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex
aequo et bono).

Allah tidak menyukai perkataan buruk, (yang diucapkan) secara terus terang kecuali
oleh orang yang dizalimi. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (QS.
An-Nisa' Ayat 148)

Wassalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 65 dari 66
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 66 dari 66

Anda mungkin juga menyukai