NOTA KEBERATAN
(EKSEPSI)
Dengan hormat,
Perkenankan kami Para Advokat dan Asisten Advokat dari TIM ADVOKASI HABIB
RIZIEQ SYIHAB, yang beralamat di Komplek Perkantoran Yayasan Daarul Aitam, Jl.
KH. Mas Mansyur, No. 47 C & D, Jakarta Pusat, dalam hal ini bertindak untuk dan
atas nama HABIB RIZIEQ SYIHAB, dengan ini mengajukan Eksepsi (Nota Keberatan)
atas surat dakwaan Saudara Penuntut umum Reg. Perkara No. PDM-
011/JKT.TIM/Eku/02/2021 sebagai berikut :
BAB I
PENDAHULUAN
Kami juga menghaturkan terima kasih kepada Majelis Hakim yang mulia, atas
kesempatan yang diberikan kepada kami untuk mengajukan sekaligus membacakan
EKSEPSI atau NOTA KEBERATAN ini, sebagai tanggapan terhadap surat dakwaan
dari Jaksa Penuntut Umum yang telah dibacakan.
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 1 dari 66
Dengan diawali kalimat basmallah pada halaman judul dan berharap ridho hanya
kepada Allah Subhanahu Wa Ta”ala, maka Eksepsi atau Nota Keberatan ini kami beri
judul “MENGETUK PINTU LAGIT, MENOLAK KEZALIMAN – TEGAKKAN KEADILAN”
Mengapa demikian ?, karena jelas dan terang benderang, konstruksi perkara a quo
adalah rangkaian atau bagian dari perbuatan rezim yang zalim, dungu dan pandir,
yang telah menyalahgunakan sumber daya Negara, menyalahgunakan institusi
Negara, menyalahgunakan hukum, hanya untuk kepentingan segelintir elit, hanya
untuk mempertahankan struktur ekonomi, sosial dan politik yang timpang, yang
tidak adil, yang bersifat predator terhadap rakyat sendiri, yang hanya berpihak
kepada sekelompok manusia rakus dan hubuddunya.
Dalam kesempatan ini, kami hanya ingin mengingatkan semua yang ada dalam
ruangan ini, bahwa kami hanya berharap pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta‟ala,
kami mengetuk pintu langit, karena kami yakin, hanya Allah yang menepati janjiNya,
sedangkan berharap pada mahluk hanya akan berujung pada kekecewaan, apalagi
berharap pertolongan dari kelompok orang orang zalim dungu dan pandir.
Kami mengingatkan kepada semua yang ada di dalam ruangan ini, maupun umat
Islam Indonesia, bahwa apabila kezaliman dan kemungkaran sudah merajalela,
keadilan diabaikan, maka tinggal tunggu kehancuran sebuah bangsa.
Dari Ummu Salamah radliallahu „anha berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu
„alaihi wasallam, “akan terjadi sesudahku para penguasa yang kalian mengenalinya
dan kalian mengingkarinya. Barangsiapa yang mengingkarinya maka sungguh ia
telah berlepas diri. Akan tetapi siapa saja yang ridha dan terus mengikutinya (dialah
yang berdosa).” Maka para sahabat berkata : “Apakah tidak kita perangi saja mereka
dengan pedang?” Beliau menjawab : “Jangan, selama mereka menegakkan shalat
bersama kalian.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya).
Al Imam Al Hafizh An Nawawi mengatakan, “Di dalam hadits ini terkandung dalil
yang menunjukkan bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran
tidak berdosa semata-mata karena dia tinggal diam, akan tetapi yang berdosa
adalah apabila dia meridhai kemungkaran itu atau tidak membencinya
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 2 dari 66
dengan hatinya, atau dia justru mengikuti kemungkarannya.” (Syarh Muslim
[6/485])
Oleh karenanya sebaiknya kita membenci atau minimal sedih dan prihatin terhadap
kemungkaran seperti kezaliman atau ketidakadilan penguasa negeri (umaro).
Bukankah penguasa negeri ini juga pernah mengajak untuk membenci produk
asing?. Sayang sekali saudara sekalian, kebencian itu diarahkan hanya kepada
produk asing. Kita berdo‟a agar kebencian itu tidak diarahkan kepada pihak yang
mengkritisi dan mengingatkan berbagai ketidakadilan. Sebab bila kebencian tersebut
bukan diarahkan kepada kemungkaran daan kezaliman serta ketidakadilan, maka
justru orang yang mengingatkan untuk berlaku adil, menghentikan kezaliman dan
menghentikan kemungkaran yang justru akan dihukumi dan dihakimi, sebagaimana
perkara a quo.
Selain itu negeri kita akan diazab Allah jika membiarkan kemungkaran seperti
kezaliman atau ketidakadilan.
Dalam banyak firman Allah Azza wa Jalla dan hadits Rasulullah Shallallahu „Alaihi
wa Sallam telah mengingatkan kita semua agar selalu menegakkan keadilan, dan
tidak menjadi pengikut kedzaliman.
Kami sampaikan nasehat ini kepada penguasa dan para pengikutnya agar tidak
berbuat zalim dan kemungkaran. Orang yang mengikuti pemimpin zalim, dungu
dan pandir akan menderita di akhirat, apalagi yang membantu kezaliman.
Ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang
mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara
mereka terputus sama sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti:
“Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari
mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.” Demikianlah Allâh
memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi
mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka. (Q.S Al-
Baqarah:166-167)
Dan janganlah kamu mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh
orang-orang yang dzalim. Sesungguhnya Allah menangguhkan mereka hingga
hari yang ketika itu mata mereka terbelalak. (Q.S Ibrahim: 42)
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 4 dari 66
Dan Kami telah membinasakan penduduk negeri itu tatkala mereka berbuat
dzalim, dan Kami tetapkan waktu tertentu bagi kebinasaan mereka. – (Q.S Al-
Kahfi: 59)
Tentunya masih banyak riwayat lain yang menyebutkan tentang ancaman Allah
ta‟ala terhadap para pemimpin yang menzalimi rakyatnya.
Keberadaan klien kami sebagai terdakwa dalam perkara a quo dan terjadinya
persidangan ini, hakekatnya adalah akibat dari nasehat yang dilakukan klien
kami terhadap ketidakadilan dan kezaliman yang merajalela. Klien kami hanya
menjalankan amalan yang diperintahkan oleh Datuknya, yaitu Rasulullah
Shallallahu „Alaihi wa Sallam yang telah bersabda:
“Agama itu adalah nasihat.” Kami berkata, “Untuk siapa?” Beliau bersabda,
“Untuk Allah, kitab-NYA, Rasul-NYA, Imam kaum muslimin, dan orang-orang
kebanyakan.” (HR. Muslim)
“Jihad yang paling utama adalah mengutarakan perkataan yang adil di depan
penguasa atau pemimpin yang zhalim.” (HR. Abu Daud, Tirmi)
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 5 dari 66
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Akan tiba pada manusia tahun-tahun penuh kebohongan. Saat itu, orang bohong
dianggap jujur. Orang jujur dianggap bohong. Pengkhianat dianggap amanah.
Orang amanah dianggap pengkhianat. Ketika itu, orang “Ruwaibidhah” berbicara.
Ada yang bertanya, “Siapa Ruwaibidhah itu?” Nabi menjawab, “Orang bodoh
yang mengurusi urusan orang umum.” (HR. Hakim)
Dari Jabir bin Abdillah RA bahawa Rasulullah SAW berkata kepada Ka‟ab bin
Ajzah:
Para pemimpin yang zalim dungu dan pandir inilah yang menguasai umat akhir
zaman ini. Untuk itulah klien kami selalu berusaha dan terus menerus berupaya
mengingatkan umat agar selalu menjauhi pemimpin zalim dungu dan pandir.
“Akan ada setelahku nanti para pemimpin yang berdusta. Barangsiapa masuk
pada mereka lalu membenarkan (menyetujui) kebohongan mereka dan
mendukung kedhaliman mereka maka dia bukan dari golonganku dan aku bukan
dari golongannya, dan dia tidak bisa mendatangi telagaku (di hari kiamat). Dan
barangsiapa yang tidak masuk pada mereka (penguasa dusta) itu, dan tidak
membenarkan kebohongan mereka, dan (juga) tidak mendukung kedhaliman
mereka, maka dia adalah bagian dari golonganku, dan aku dari golongannya,
dan ia akan mendatangi telagaku (di hari kiamat).” (HR. Ahmad dan An-Nasa‟i)
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 6 dari 66
Demikian juga, kita telah diberi peringatan dari Rasulullah SAW tentang
penerapan hukum yang dilakukan pada masa masa rezim zalim dungu dan
pandir tersebut.
Kondisi hubungan antara rezim zalim dungu dan pandir dengan rakyatnya pada
masa akhir zaman telah digambarkan oleh Rasulullah SAW.
Bukankah kondisi diatas seperti yang digambarkan oleh Rasulullah SAW telah
terjadi pada masa kini ? lihatlah betapa banyaknya manusia manusia yang
memuji muji bahkan menjadi bagian dari berbagai keburukan yang dilakukan
oleh rezim zalim dungu dan pandir.
Kita saat ini telah pula sampai pada masa yang dikabarkan oleh Rasulullah SAW.
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 7 dari 66
(rakyat), mereka tidak menunaikannya; dan jika mereka disuruh berlaku adil
mereka menolak keadilan . Mereka akan membuat hidup kalian dalam ketakutan;
dan memecah-belah tokoh-tokoh kalian. Sehingga mereka tidak membebani
kalian dengan suatu beban, kecuali mereka membebani kalian dengan paksa,
baik kalian suka atau tidak. Serendah-rendahnya hak kalian, adalah kalian tidak
mengambil pemberian mereka, dan tidak kalian menghadiri pertemuan mereka.”
(HR. Thabrani).
Kemudian Nabi -Shallallahu Alaihi Wasallam telah pula kabar berita kepada kita
semua yang berisi ancaman kepada polisi di akhir zaman. Di antaranya hadits-
hadits tersebut adalah :
“Akan ada di akhir zaman nanti para polisi yang berangkat di pagi hari membawa
murka Allah dan pulang di sore hari membawa kemarahan dari Allah.” (HR
Thobroni)
Firman Allah Azza wa Jalla dan hadits Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam
sebagaimana yang kami sampaikan di atas, kiranya dapat menjadi pengingat
bahwa Allah SWT sangat murka dengan penguasa dan para pengikutnya yang
berbuat dzalim kepada rakyatnya.
Jika kita cermati secara keseluruhan dari 5 dakwaan yang dibuat oleh Jaksa
Penuntut Umum, baik dakwaan pertama, dakwaan kedua, dakwaan ketiga,
dakwaan keempat dan dakwaan kelima, uraian mengenai cara melakukan
perbuatan yang didakwaan merupakan pengulangan dan semata-mata meng
“copy paste” dari dakwaan pertama.
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 8 dari 66
Padahal dari 5 dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam surat
dakwaan, kualitas dari masing-masing tindak pidana dan unsur-unsur dari tindak
pidana yang didakwakan memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya.
Hal ini menunjukan bahwa Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan dakwaan
terhadap perkara ini sama sekali TIDAK YAKIN atau mungkin bingung, apa
sesungguhnya perbuatan yang telah dilakukan dalam perkara ini sehingga
dakwaan yang dibuat bukan atas dasar hasil investigasi namun lebih banyak
didasarkan atas imajinasi, spekulasi, dan duplikasi, serta kental akan muatan
politik dan rekasaya semata.
Proses hukum alias due process of law dalam perkara a quo telah disaksikan oleh
seluruh rakyat Indonesia sebagai sebuah proses hukum yang dipaksakan yang
menabrak seluruh sendi sendi Negara Hukum Yang Berkeadilan.
Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 amandemen ketiga menyatakan Indonesia
adalah Negara Hukum. Secara teori, konsekwensi dari pernyataan negara hukum
adalah, konsep the rule of law harus dipatuhi dalam praktek pelaksanaan law
enforcement.
Dalam konsep negara hukum, hubungan antara tiga cabang kekuasaan adalah
saling mengontrol, oleh karena tugas kekuasaan yudikatif bukan hanya
menjalankan due process of law, namun juga memastikan keadilan dan
mengoreksi due process of law yang menyimpang yang dilakukan oleh
kekuasaan eksekutif.
Bila kita kongkritkan dalam perkara a quo, maka banyak sekali pelanggaran
terhadap due process of law dan ketidakadilan dalam perkara a quo. Maka sudah
sepatutnya majelis hakim dalam perkara a quo membatalkan perkara ini atau
setidaknya membatalkan penerapan pasal-pasal akrobatik, aneh dan diluar nalar
hukum dalam perkara ini.
Oleh karena itu sekali lagi kami harapkan agar persidangan perkara a quo, benar
benar menjadi proses pengadilan BUKAN sekedar proses penghakiman
dan penghukuman. HABIB RIZIEQ SYIHAB yang merupakan seorang tokoh
Agama dan tokoh Nasional TIDAK DIBENARKAN menjadi target dari
kepentingan-kepentingan NON YURIDIS DAN KEPENTINGAN POLITIK
DARI REZIM DZALIM, DUNGU DAN PANDIR YANG DENGAN
KEKUASAANNYA MELAKUKAN PENJINAKAN DENGAN INSTRUMEN
HUKUM. Kami berharap bahwa putusan dari proses hukum persidangan ini,
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 9 dari 66
betul-betul didasarkan atas fakta-fakta kebenaran materiil yang terungkap
dipersidangan ini demi menegakkan proses hukum yang adil.
Penggunaan Pasal 160 KUHP, dalam sejarahnya sejak era kolonial Belanda sering
digunakan untuk menjerat tokoh-tokoh pergerakan yang memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia, dan setelah pemerintahan kemerdekaan Indonesia,
pasal a quo sering digunakan oleh pemerintah untuk menjerat setiap orang yang
memiliki pikiran kritis kepada pemerintah. Sehingga pengenaan Pasal 160 KUHP
terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB merupakan dejavu era kolonial Belanda dan
membuktikan bahwa HABIB RIZIEQ SYIHAB adalah terget politik yang harus
dilakukan penahanan dan penghukuman, yang merupakan bentuk kedzaliman,
kedunguan dan kepandiran yang nyata.
Lintasan sejarah tersebut terjadi pada 22 Desember 1930 sekitar pukul 09.00
WIB, menjadi salah satu momentum bersejarah bagi perjuangan rakyat
Indonesia untuk memerdekakan diri dari penjajahan Belanda. Sukarno atau Bung
Karno divonis empat tahun penjara oleh Pengadilan Lanraad Bandung.
Saat masih kuliah, Sukarno muda aktif dalam dunia politik menentang
pemerintah kolonial Belanda. Ia bersama kawan-kawannya kerap mengadakan
diskusi di rumah kos milik pasangan Haji Sanusi dan Inggit Garnasih. Inggit kelak
dipersunting Sukarno menjadi istrinya.
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 10 dari 66
Selepas lulus dan dinobatkan menjadi insinyur Teknik Sipil ITB, Bung Karno
menyatakan siap untuk membentuk partai. Partai yang didirikan Bung Karno ini
aktif mendidik rakyat dengan memberikan kuliah-kuliah politik untuk
membangkitkan kesadaran tentang bahaya kolonialisme dan pentingnya
kemerdekaan. Kegiatan ini tentu saja menjadi ancaman bagi pemerintah
Belanda. Sejak saat itu, Bung Karno dan kawan-kawannya mulai diawasi ketat
oleh Belanda.
Indonesia Menggugat ditulis Bung Karno selama satu setengah bulan di dalam
penjara. Isi pidato Indonesia Menggugat adalah tentang keadaan politik
internasional dan kerusakan masyarakat Indonesia di bawah penjajah Belanda.
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 11 dari 66
Pidato pembelaan ini kemudian menjadi suatu dokumen politik menentang
kolonialisme dan imperialisme.
Proses persidangan terhadap Bung Karno sendiri berjalan selama 19 kali. Perkara
tersebut sempat naik banding ke Rand Van Justitie. Namun Pengadilan Tinggi ini
tetap berpegang teguh dengan hukuman 4 tahun pidana penjara terhadap Bung
Karno.
Kisah diatas kini kembali terjadi pada anak bangsa yang bernama HABIB RIZIEQ
SYIHAB yang bersama barisannya di Gerakan 212 menggugat ketidak adilan
yang terjadi di negeri ini.
Gerakan 212 ini sangat besar dan fenomenal dan menjadi sorotan dunia
International dan Nasional. Banyak kalangan dari berbagai lapisan mendukung
gerakan ini dan mendorong agar terjadi perubahan besar di NKRI agar negeri ini
kembali ke jati dirinya ketika Indonesia ini di merdekakan yaitu ingin menjadi
negara yang berdaulat yang berdiri diatas kaki sendiri dan menjadi bangsa besar
diantara bangsa bangsa lain dengan meletakkan dasar negara Pancasila sebagai
dasar negaranya dan sekaligus sebagai visi besarnya untuk membangun
Indonesia merdeka yang maju, makmur, manusiawi di bawah dasar negara
pancasila bukan dasar negara kapitalis apalagi komunis.
Tapi apa yang terjadi di era kekinian ? HABIB RIZIEQ SYIHAB dan gerakannya
dituduh macam macam dengan stigma anti Pancasila, anti Bhinneka tunggal Ika,
anti NKRI dan lain sebagainya.
Karena gerakan HABIB RIZIEQ SYIHAB dan kawan-kawan inilah, maka para
penjajah melalui kekuatan modalnya dengan memperalat para pengkhianat
negeri berhasil mendudukkan HABIB RIZIEQ SYIHAB dan kawan-kawan sebagai
terdakwa pada persidangan ini.
IRONI BUKAN..?
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 12 dari 66
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Kalau kita tidak menggunakan hati nurani dan petunjuk dari syariat serta akal
yang sehat dan waras, maka struktur dan substansi perkara ini tidak akan bisa
dilihat dengan benar, yang akan terjadi adalah proses penghakiman dan
penghukuman bukan sebuah proses peradilan. Publik harus tahu beda proses
penghakiman dan penghukuman versus proses pengadilan dalam perkara ini.
Bila dilihat dariapa yang diperjuangkan oleh HABIB RIZIEQ SYIHAB dan kawan
kawan, sebagaimana yang dialami oleh Proklamator Ir. Soekarno seperti riwayat
yang kami kutipkan diatas, jelas bahwa kriminalisasi HABIB RIZIEQ SYIHAB
dalam perkara a quo tidak lepas dan merupakan bagian dari Operasi Intelijen
Berskala Besar (OIBB) oleh rezim Zalim dungu dan pandir.
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 13 dari 66
Sehingga selain perkara a quo adalah politik juga merupakan bentuk dan bagian
serta lanjutan dari operasi intelijen berskala besar tersebut. Bukti paling nyata
bahwa persidangan ini adalah lanjutan dari Operasi Intelijen Berskala Besar
adalah PERSIDANGAN TIDAK DILAKUKAN SESUAI DENGAN KITAB UNDANG
UNDANG HUKUM ACARA PIDANA. Yaitu, Persidangan tidak dilakukan pada locus
delicti peristiwa yang didakwakan, pasal pasal yang di dakwakan mengarah
kepada pasal pasal dengan ancaman yang bermotif politik seperti penerapan
pasal 10 dan 35 KUHP serta pasal pasal selundupan lainnya, persidangan
dilakukan melalui sidang elektronik, padahal TIDAK ADA SATUPUN UU yang
membolehkan.
Oleh karenanya kami meminta kepada Majelis Hakim Yang Terhormat untuk
membatalkan seluruh proses yang TIDAK SESUAI DENGAN KUHAP ini.
Sebagaimana telah kami sampaikan diatas bencilah dan cegahlah kemungkaran
dengan tanganmu.
Perlu kami sampaikan bahwa, HABIB RIZIEQ SYIHAB dan Front Pembela Islam
(FPI) telah membayar sanksi denda administratif sebesar Rp50.000.000,- (lima
puluh juta rupiah) di kantor Sekretariat LPI, Petamburan, Jakarta Pusat pada hari
Minggu, 15 Nopember 2020.
Denda administratif tersebut dikenakan karena FPI dan HABIB RIZIEQ SYIHAB
dianggap telah melakukan pelanggaran protokol kesehatan pencegahan Covid-19
sehingga menimbulkan kerumunan.
Dalam Surat yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tersebut
disebutkan bahwa yang menjadi landasan yuridis atau instrumen hukum
atas sanksi denda administratif terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB dan FPI yaitu :
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 14 dari 66
1. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 79 Tahun 2020
tentang Penerapan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol
Kesehatan Sebagai Upaya Pencegahan dan Pengendalian Corona
Virus Diseases 2019 (Covid-19);
2. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 80 Tahun 2020
tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar pada Masa
Transisi Menuju Masyarakat Sehat, Aman dan Produktif.
MENGINGAT :
1. …
2. …
3. …
4. …
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman
Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan
Corono Virus Diseases 2019 (Covid-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 170);
MENGINGAT :
1. …
2. …
3. …
4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018
Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6236);
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 15 dari 66
Perovinsi DKI Jakarta No. 80 Tahun 2020, hingga Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 9 Tahun 2020 yang berujung pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018
tentang Kekarantinaan Kesehatan, maka sanksi denda administratif yang
dijatuhkan terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB telah sesuai dengan
ketentuan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan, sehingga terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB
tidak dapat lagi dilakukan proses hukum (NEBIS IN IDEM) sesuai
dengan ketentuan Pasal 76 KUHP.
Adapun ketentuan hukum yang menyatakan Nebis In Idem harus terlebih dahulu
berdasarkan Putusan Pengadilan adalah ketentuan hukum kuno dan ketinggalan
jaman, yang hanya menjadikan hukum sebagai alat penindas (retributive
justice), sebagaimana dikatakan oleh Bagir Manan “bahwa Penegakan hukum
yang dilaksanakan selama ini merupakan upaya pembangunan yang
berkesinambungan, tujuannya adalah dalam rangka mewujudkan suasana
berperikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib, dan dinamis dalam
lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, damai, dan bersahabat. Penegakan
hukum pada hakekatnya adalah upaya untuk menciptakan keadilan. Proses
pemenuhan rasa keadilan masyarakat melalui penegakan hukum
sampai sekarang masih menampakan wajah lama, yaitu hukum
sebagai alat penindas (retributive justice)”
Oleh karenanya sudah sepatutnya proses perkara dalam peristiwa Maulid dan
Pernikahan anak beliau di Petamburan HARUS DINYATAKAN BATAL DEMI
HUKUM.
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 16 dari 66
D. AGRESIFITAS DAN MANUVER PENUNTUT UMUM DENGAN
MENAMBAHKAN BERANEKA RAGAM PASAL SELUNDUPAN YANG TIDAK
ADA KAITANNYA DENGAN PROKES DAN TEST SWAB ADALAH BUKTI
PERKARA A QUO ADALAH LANJUTAN DARI OPERASI INTELIJEN
BERSKALA BESAR
Perlu diingat bahwa perkara ini bermula dari adanya kegiatan yang dianggap
melanggar protokol kesehatan pencegahan Covid-19 pada penyelenggaraan
pernikahan putri HABIB RIZIEQ SYIHAB dan peringatan Maulid Nabi Muhammad
SAW, namun Penuntut Umum dengan agresif dan nafsu mendakwa HABIB
RIZIEQ SYIHAB dengan pasal-pasal yang tidak ada kaitannya dengan protokol
kesehatan pencegahan Covid-19.
Yang paling fenomenal adalah kerumunan massa yang dilakukan Presiden Jokowi
saat kunjungan kerja ke Maumere, Nusa Tenggara Timur pada 23 Februari 2021
lalu. Loyalis Jokowi berkerumun tanpa saling jaga jarak, berjejer di pinggir jalan
menyambut idolanya yang melintas dalam iring-iringan kendaraan. Jokowi yang
saat itu hendak menuju lokasi peresmian Bendungan Napun Gete sempat keluar
dari atap mobil dan melambaikan tangan ke kerumunan warga. Pemujanya
histeris.
Berbeda dengan yang dialami oleh HABIB RIZIEQ SYIHAB dan mantan pengurus
FPI yang harus dikerangkeng di dalam tahanan, rekening dibekukan. Padahal
HABIB RIZIEQ SYIHAB sudah membayar denda Rp50 juta.
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 17 dari 66
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 18 dari 66
BAB II
PERSIDANGAN YANG DIPAKSAKAN, OLEH KARENANYA HARUS
DIBATALKAN DEMI MHUKUM
Penyidikan sebagai suatu proses tidak selalu harus menghasilkan produk berupa
penetapan status tersangka. Penetapan status tersangka harus memenuhi
adanya dua alat bukti minimal, pemeriksaan pendahuluan terhadap calon
tersangka dan terpenuhinya unsur objektif (actus reus) dan unsur subjektif
(mens rea) dan keterhubungan keduanya. Dengan demikian menjadi jelas bahwa
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 19 dari 66
pemeriksaan calon tersangka demikian penting sebab berkaitan dengan dua alat
bukti minimal dan pemenuhan unsur pasal yang akan dikenakan.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka untuk MENANGKAP
dan MENAHAN tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau
keadaannya berdasarkan “minimal dua alat bukti” yang termuat dalam Pasal 184
KUHAP patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Fakta yang terjadi tidak ada Saksi yang melihat sendiri, mendengar sendiri dan
mengalami sendiri terhadap perbuatan yang disangkakan kepada HABIB RIZIEQ
SYIHAB, sehingga sama sekali tidak memenuhi kriteria sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP.
Bahwa selain belum diperiksanya HABIB RIZIEQ SYIHAB sebagai saksi, secara
tiba-tiba tanpa dasar hukum yang jelas penyidik langsung mengumumkan
kepada mass media, bahwa HABIB RIZIEQ SYIHAB ditetapkan Tersangka dan
bahkan penyidik Menerbitkan SURAT PERINTAH PENANGKAPAN yang lucunya
dilakukan didalam Kantor Polisi saat HABIB RIZIEQ SYIHAB datang dengan
sukarela dan dilanjtkan dengan penerbitan SURAT PENAHANAN atas diri HABIB
RIZIEQ SYIHAB.
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 20 dari 66
B. PERSIDANGAN SECARA ELEKTRONIK MELANGGAR KUHAP
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 21 dari 66
tanpa hadirnya terdakwa dalam persidangan, pemeriksaan perkara tidak dapat
dilakukan.
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 22 dari 66
Berdasarkan Pasal 154 ayat (2), (4) & (6) KUHAP, apabila terdakwa
tidak dapat di hadirkan ke persidangan, maka pemeriksaan perkara
tidak dapat dilangsungkan.
Konsekuensi dari asas ini jika salah satu pihak memberikan dan mengajukan alat
bukti di persidangan, maka pihak lain harus mengetahui dan hadir di
persidangan (equality under the arm).
Bahwa hukum acara pidana mengenal asas presentasi yang menurut asas
tersebut pada proses persidangan dan pembacaan putusan suatu perkara pidana
harus dihadiri langsung oleh Terdakwa. Sehingga prinsip hadirnya terdakwa
dalam perkara pidana ini didasarkan atas hak-hak asasi terdakwa sebagai
manusia yang berhak membela diri dan mempertahankan hak-hak
kebebasannya, harta bendanya ataupun kehormatannya.
Asas presentasi di atas dituangkan dalam Pasal 196 ayat (1) KUHAP) “Pengadilan
memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang
ini menentukan lain”.
Sehingga berdasarkan uraian diatas, pada prinsipnya proses peradilan pekara
pidana harus dihadiri langsung oleh Terdakwa. Hal ini tentu tidak akan menjadi
masalah bagi seorang Terdakwa yang sebelumnya telah dilakukan penahanan
oleh karena Jaksa Penuntut Umum yang akan membawa Terdakwa dari tahanan
dan menghadirkannya ke persidangan, tetapi dapat menjadi masalah terhadap
Terdakwa yang tidak ditahan dan tidak diketahui keberadaannya atau Terdakwa
yang telah ditahan tapi kemudian melarikan diri dan tidak ditemukan.
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 23 dari 66
Secara khusus dalam beberapa jenis tindak pidana yang diatur di luar KUHP
diperbolehkan pula persidangan dan penjatuhan putusan tanpa kehadiran
terdakwa, misalnya:
Proses persidangan perkara pidana yang diatur dalam hukum acara pidana di
Indonesia dilakukan melalui tatap muka hakim, jaksa, terdakwa, dan penasihat
hukum di dalam ruang sidang pengadilan yang sama atau tidak di ruang yang
terpisah.
Kehadiran secara fisik terdakwa dan saksi di ruang sidang pengadilan telah diatur
dalam Pasal 185 ayat (1) dan Pasal 189 ayat (1) KUHAP.
Pasal 185 ayat (1) KUHAP menyebutkan, “Keterangan saksi sebagai alat
bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”.
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 24 dari 66
Sedangkan Pasal 189 ayat (1) KUHAP menyebutkan, “Keterangan terdakwa
ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia
lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri”.
Sehingga berdasarkan Pasal 185 ayat (1) dan Pasal 189 ayat (1) KUHAP, bahwa
setiap keterangan saksi maupun terdakwa harus dinyatakan di depan
persidangan.
Memperhatikan Pasal 189 ayat (2) KUHAP “Keterangan terdakwa yang diberikan
di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang,
asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang
mengenai hal yang didakwakan kepadanya”.
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Depok, Bogor, Cibinong,
Bekasi, Tangerang, Serang, Medan, Batam, Jambi, Surabaya, Denpasar,
Banjarmasin, Kupang, dan PN Manokwari.
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 25 dari 66
Berbagai kendala menjadi penyebabnya, seperti keterbatasan penguasaan
teknologi oleh hakim, koordinasi antar pihak yang kurang baik.
Hal dan kendala lainnya adalah penasihat hukum tidak berada berdampingan
dengan terdakwa, serta tak dapat memastikan saksi dan terdakwa dalam
tekanan/dusta atau tidak.
Namun lagi lagi keanehan terjadi di dunia hokum Indonesia, perkara yang
dobolehkan terdakwa tidak hadir malah dihadirkan, perkara yang terdakwa wajib
hadir malah tidak dihadirkan.
Landasan hukum (UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP) yang telah mengatur
proses persidangan, tidak dengan serta merta dapat dirubah secara daring, dan
tidak cukup hanya melalui perjanjian kerjasama, surat edaran institusi maupun
Peraturan Mahkamah Agung sekalipun (vide UU No. 12 Tahun 2011 tentang Tata
Urutan Per UU Pasal 7), karena kehadiran secara physik dimuka persidangan
adalah menyangkut pemenuhan hak asasi saksi dan terdakwa.
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 26 dari 66
OPDAT, para anggota tim Kelompok Kerja (Pokja) Penyusunan Peraturan
Mahkamah Agung terkait pelaksanaan persidangan pidana secara elektronik,
para Hakim Agung, dan perwakilan pengadilan-pengadilan tingkat pertama dan
banding
Merujuk pada diskusi sebagaimana yang disebutkan diatas, ada syarat syarat
yang harus dipenuhi berdasar hokum untuk sidang elekronik bisa dilakukan :
1. Dasar hukumnya harus UU, di negeri dagelan ini, dasar hukumnya hanya
berdasar peraturan MA yang sepihak, ingat peraturan MA itu bukan UU tapi
per-UU-an. Sidang secara elektronik seharusnya baru boleh dilakukan setelah
ada UU yg membolehkan, maka setelah UU tersebut di revisi barulah UU
tersebut memberikan batasan dan syarat, inilah harusnya praktek dalam
Negara hokum yang berkeadilan, bukan semau maunya penyelenggara
Negara untuk membuat aturan ;
2. Situasi darurat yg ditetapkan masyarakat, bukan oleh penguasa;
3. Penetapan Pengadilan, atas dasar UU yang sudah direvisi yang
membolehkan persidangan secara elektronik.
4. PERSETJUAN TERDAKWA yang merupakan syarat terpenting.
Sekarang mari kita ukur praktek persidangan a quo, apakah sesuai dengan
prinsip Negara hukum yang berkeadilan ? atau seluruh praktek penyelenggaran
hukum sudah menjadi berdasarkan kewenangan semata yang hal ini berarti
merupakan Negara kekuasaan.
Oleh karenanya, agar kezaliman ini tidak terus berlanjut dan kita semua akan
menerima akibatnya baik di dunia maupun akhirat, maka mari kita hentikan
berbagai bentuk kezaliman, kedunguan dan kepandiran yang akan dihisab di
yaumil akhir.
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 27 dari 66
bermula dari perbuatan HABIB RIZIEQ SYIHAB pada Acara Peringatan Maulid
Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan oleh Majelis Ta‟lim Al-Afat di Jl.
Tebet Utara 2B Tebet No. 8-10 Jakarta Selatan, pada tanggal 13 November
2020 yang mengundang para hadirin untuk hadir pada acara Peringatan Maulid
Nabi di Petamburan, sekaligus acara pernikahan putrinya di Petamburan,
Jakarta Pusat.
Menurut M. Yahya Harahap (dalam buku nya yang berjudul Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding,
Kasasi, Peninjauan Kembali) halaman 96, Bahwa Kewenangan mengadili secara
relatif Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi mana yang berwenang
mengadili suatu perkara. Landasan pedoman menentukan kewenangan
mengadili bagi setiap pengadilan mengadili ditinjau dari segi kompetensi relatif
diatur dalam Pasal 84 KUHAP;
Bertitik tolak dari ketentuan yang dirumuskan dalam pasal tersebut di atas,
mengandung asas bahwa Pengadilan Negeri di mana tindak pidana itu dilakukan
di wilayah hukumnya, atau disebut juga prinsip Locus Delictie.
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 28 dari 66
Prinsip Locus Delictie ini dikenal ajaran antara lain “DE LEER VAN DE
LECHAMELIJKE DAAD” ajaran mengenai tempat di mana perbuatan dilakukan in
persona.
Menurut ajaran ini, maka yang harus dianggap sebagai tempat dilakukan tindak
pidana adalah tempat di mana perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
hukuman dilakukan.
Bahwa prinsip yang paling dasar dalam hukum Pidana dalam hal mengadili suatu
perkara adalah dimana tempat kejadian perkara itu terjadi, dan prinsip ini adalah
prinsip yang berlaku universal. Penyimpangan terhadap prinsip ini dapat
diberlakukan terhadap hal-hal yang bersifat sangat ekstra ordinary seperti
genosida dan kejahatan HAM lainnya. Faktanya perkara yang sedang
disidangkan ini tidak bersifat ekstra ordinary sebagaimana kejahatan Genosida
atau kejahatan HAM lainnya. Berdasarkan alasan-alasan tersebut maka
Pengadilan Negeri Jakarat Timur tidak memiliki alasan yuridis formil maupun
keamanan yang dapat mendukung pengusulan pemindahan lokasi Persidangan
ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur, dan tidak ditemukan alasan berdasar yuridis
formil yang dijadikan alasan bagi Mahkamah Agung RI untuk menunjuk
Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Bahwa Sesuai dengan bunyi ketentuan Pasal 85 KUHAP disebutkan Dalam hal
keadaan daerah tidak mengizinkan suatu pengadilan negeri untuk mengadili
suatu perkara, maka atas usul ketua pengadilan negeri atau kepala kejaksaan
negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung mengusulkan kepada
Menteri kehakiman untuk menetapkan atau menunjuk pengadilan
negeri lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 untuk mengadili perkara
yang dimaksud.
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 30 dari 66
C. PERKARA A QUO ADALAH NEBIS IN IDEM
Terkait Nebis In Idem ini, kami menganggap perlu untuk mengulas secara
doktrin hukum dan asas hukum. Karena hal ini penting bagi masa depan hukum
di Indonesia agar tidak semakin hancur hancuran.
Arti sebenarnya dari nebis in idem adalah, digunakan dengan istilah “nemo debet
bis vexari” (tidak seorangpun atas perbuatannya dapat diganggu atau
dibahayakan untuk kedua kalinya).
Dasar pikiran atau ratio dari asas ini yakni untuk menjaga martabat dan untuk
jaminan kepastian bagi yang telah mendapat keputusan. Dengan demikian
postulat “nemo debet bis vexari” menjadi dasar tidak dapatnya dilakukan proses
hukum ketika seseorang telah membayar denda administrative sebagaimana
ditentukan oleh pemerintah Pemprov DKI Jakarta. Denda administrative
dimaksudkan sebagai pemenuhan atas hubungan kausal antara perbuatan
dengan kerugian yang timbul dan adanya norma hukum peraturan perundang-
undangan yang dilanggar.
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 31 dari 66
umum masyarakat yang beradab. Artinya tanpa sebuah UU yang menentukan
perbuatan tersebut sebagai kejahatan atau delik, perbuatan tersebut merupakan
kejahatan yang natural.
Jeremy Bentham menyatakan bahwa suatu tindakan yang tergolong mala in se,
tidak dapat berubah (immutable), artinya dalam ruang manapun dan waktu
tertentu kapanpun, tindakan tersebut tetap dianggap sebagai perbuatan jahat
dan dilarang oleh hukum positif. Sedangkan suatu tindakan yang tergolong mala
prohibita, dapat berubah, artinya dalam ruang dan waktu tertentu yang berbeda,
tindakan tersebut dapat saja tidak lagi dianggap sebagai perbuatan yang
dilarang. Oleh karena itu, pengenaan denda yang sudah dibayarkan sebagai
bentuk pertanggungganjawaban perbuatan yang tergolong mala prohibita tidak
dapat lagi dimintakan pertanggungjawaban mala in se.
Dalam Surat yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang
menjadi landasan yuridis atau instrumen hukum atas sanksi denda administratif
terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB dan FPI yaitu :
Kedua Paraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta yang dijadikan landasan yuridis
atau instrumen hukum atas penjatuhan sanksi denda administratif terhadap
HABIB RIZIEQ SYIHAB merupakan peraturan teknis pelaksana dari ketentuan
Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan
Kesehatan, sebagaimana tercantum pada konsideran MENGINGAT angka 5
dalam kedua Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta tersebut, yaitu sebagai
berikut :
MENGINGAT :
1. …
2. …
3. …
4. …
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman
Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 32 dari 66
Corono Virus Diseases 2019 (Covid-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 170);
MENGINGAT :
1. …
2. …
3. …
4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018
Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6236);
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 33 dari 66
BAB III
DAKWAAN BATAL DEMI HUKUM
Pasal 109 ayat (1) KUHAP menentukan, dalam hal penyidik mulai melakukan
penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik
memberitahukan hal itu kepada penuntut umum. Berdasarkan ketentuan Pasal
109 ayat (1) KUHAP, koordinasi fungsional antara penyidik dan penuntut umum
ditandai dengan diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan
(SPDP). Dengan demikian maka keberadaan Pasal 109 ayat (1) KUHAP
pada hakikatnya menentukan pentingnya sebuah sistem peradilan
pidana yang terpadu (integrated criminal justice system) yang dalam
hal ini berada pada tahap penyidikan dan penuntutan.
Dalam sistem KUHAP, SPDP sebagaimana diatur di dalam Pasal 109 ayat (1)
KUHAP adalah merupakan bentuk mekanisme kontrol yang bersifat horizontal,
yaitu kontrol antar lembaga di subsistem dalam sistem peradilan pidana, yaitu
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 34 dari 66
kontrol dari sistem penuntut umum terhadap penanganan kasus atau
penyidikan yang dilakukan oleh penyidik.
Dengan demikian, akibat hukum dari putusan MK tersebut di atas ialah penyidik
kini wajib menyerahkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP)
tidak hanya kepada penuntut umum, tetapi juga kepada terlapor dan
korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari. Putusan ini dapat
membuat koordinasi antara penyidik dan penuntut umum menjadi
semakin kuat, serta penuntut umum dapat berperan aktif dalam
menangani suatu perkara pidana.
Sebagai hukum acara pidana, maka KUHAP menyajikan sebuah sistem yang
dikenal dengan Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System). Ditinjau dari
sisi istilahnya, “sistem” diartikan sebagai “perangkat unsur yang secara teratur
saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas, istilah “peradilan pidana”
diartikan sebagai sistem yang diberikan dalam penanganan suatu perkara yang
diduga perbuatan melanggar ketentuan hukum pidana. Berdasarkan makna
tersebut maka setiap subsistem dan lembaga hukum terdapat dalam
KUHAP harus berperan dalam sebuah rangkaian acara pidana dan
Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) menjadi bagian penting
dalam proses perkara pidana.
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 35 dari 66
Penambahan pasal yang tidak pernah tercantum baik dalam SPDP maupun
dalam penetapan sebagai tersangka tersebut merupakan pelanggaran hak asasi
manusia terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB. Karena SPDP dalam kaitannya
dengan asas hukum acara pidana merupakan bagian penting dari penguraian
nilai dasar dalam hukum acara pidana. Terbitnya SPDP menjadi tanda akan
komitmen Penyidik kepada tersangka atau terlapor untuk memberikan sikap
yang sama kepada setiap orang yang berproses dengan hukum acara pidana.
Tersangka/terlapor begitu mengetahui dirinya masuk dalam proses
penyidikan akan mempersiapkan pembelaan berikut bantuan hukum
yang diperlukan.
Hak Asasi Manusia menjadi isu sentral yang diatur sejak amandemen UUD
1945. Pasal 28A-I UUD RI 1945 memuat berbagai macam bentuk hak asasi
manusia yang diakui sebagai hak dasar manusia sekaligus hak konstitusional
warga negara Indonesia. Terkait dengan SPDP yang diatur secara tegas
dalam KUHAP maka otomatis harus disesuaikan dengan pemenuhan
hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945.
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 36 dari 66
Penambahan pasal-pasal tersebut bukti untuk memperberat ancaman hukuman
yang bisa digunakan hanya agar HABIB RIZIEQ SYIHAB bisa ditahan selama
mungkin karena ada agenda politik yang menghendaki.
Sekali lagi kami buktikan bahwa penambahan pasal UU Ormas dengan pasal
pidana tambahan KUHP dan pencantuman nama nama individu yang tidak ada
kaitan dalam perkara ini, tidak pernah diperiksa dalam perkara ini adalah
bentuk OPERASI INTELIJEN BERSKALA BESAR terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB,
yang juga telah mengakibatkan DIBANTAINYA 6 orang pengawal HABIB RIZIEQ
SYIHAB.
Terdakwa atas nama Sdr. Moh Rizieq bin Sayyid Husein SYIHAB Alias Habib
Muhammad Rizieq SYIHAB, didakwa oleh JPU dalam Surat Dakwaan Pertama
No. Reg. Perkara : PDM-011/Jkt.Tim/Eku-02/2021. Didakwa oleh JPU telah
melanggar Pasal 160 KUHP Jo. Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang
Kekarantian Kesehatatan DAKWAAN yang BATAL DEMI HUKUM.
Adapun yang menyebabkan Dakwaan Pertama dari JPU tersebut BATAL DEMI
HUKUM, dengan alasan yuridis sebagai berikut :
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 37 dari 66
Kedua Pasal tersebut, mempunyai unsur masing – masing dan juga
mempunyai ancaman hukuman masing – masing YANG TIDAK
dimungkinkan untuk dijadikan SATU DAKWAAN.
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 38 dari 66
penggabungan tersebut, kami kutip kembali unsur –unsur delik Pasal –
Pasal yang dijadikan satu dakwaan : (dakwaan pada Halaman 2)
Dari unsur – unsur delik yang didakwakan dalam dakwaan Pertama yang
didakwakan terhadap terdakwa Habib Rizieq, dengan LOCUS DELICTIE
terjadi di Petamburan Jakarta Pusat dalam acara Maulid Nabi Muhammad.
Sangat jelas penggabungan Unsur – unsur pasal 160 KUHP digabungkan
dengan Unsur – unsur delik Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang
Kekarantinaan Kesehatan. Dan dalam dakwaan pertama (pada halaman 10)
tersebut sangat jelas, JPU telah mendakwa Terdakwa HABIB MUHAMMAD
RIZIEQ SYIHAB:
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 39 dari 66
Sebagai pertimbangan dalam Yurisprudensi tersebut, MA – RI dalam
pertimbangannya yaitu :
“Dalam putusannya MA – RI “menyatakan bahwa dakwaan didasarkan
pada pasal 360 ayat a KUHP dihubungkan dengan Pasal 5 .a. UU lalu lintas
dan angkutan jalan raya (UULAJR). Perbuatan terdakwa mengenai hal
tersebut SEHARUSNYA di dakwakan sendiri – sendiri. Dengan demikian
dakwaan tidak jelas. Dan oleh karena itu dakwaan tersebut HARUSLAH
dinyatakan BATAL DEMI HUKUM”.
Maka kedua pasal tersebut yaitu Pasal 160 KUHP (UU pidana Umum) TIDAK
dapat didakwakan bersamaan dengan Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang
Kekarantinaan Kesehatan (UU Pidana Khusus). Maka dapat kami Tim Kuasa
Hukum Sdr. Muhammad Habib Rizieq SYIHAB simpulkan, bahwa dakwaan
pertama JPU No Reg Perkara : PDM-011/JKT-TIM/Eku/02/2021, tertanggal 4
Maret 2021 adalah BATAL DEMI HUKUM.
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 40 dari 66
BAB IV
Sebelum kami Penasehat Hukum Terdakwa melanjutkan esensi dari eksepsi aquo,
perkenankan kami terlebih dahulu untuk menyampaikan pandangan mengenai
arsitektur hukum dalam masa pandemi Covid-19 di Indonesia. Persepektif ini sangat
penting untuk membuka cakrawala kita sebagai bagian dari negara yang berpaham
konstitusionalisme. Penyebaran Covid-19 di dunia yang bermula dari kota Wuhan
di Cina memaksa banyak negara menerapkan aturan dan norma hukum yang baru.
Reaksi Pemerintah dalam menanggapi pendemi ini juga sama dengan negara-negara
lainnya, akan tetapi apakah penerapan aturan dan norma hukum yang baru tersebut
dapat dengan serta merta mengesampingkan hak asasi manusia yang menjadi
bagian dari hak konstitusional? Hal ini tentu saja tidak hanya dapat dilihat dari satu
sisi yaitu kacamata negara saja yang dalam hal ini pemerintah. Sangat diperlukan
melihat dari berbagai macam sudut pandang agar penerapan dan penegakan hukum
menjadi presisi dengan jaminan perlindungan hak konstitusional dan HAM itu sendiri.
Pertama, bertalian dengan kasus yang menimpa Habib Muhammad Rizieq SYIHAB,
rezim zalim dungu dan pandir mempersangkakan Habib Rizieq dengan pasal-pasal
pidana terhadap dugaan pelanggaran protokol kesehatan (bukan kejahatan
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan) sebagai bagian dari
aturan dan norma hukum yang baru di masa pandemi. Akan tetapi, jika melihat
pondasi surat dakwaan maka Habib Rizieq juga dijerat pasal-pasal pidana yang
berkaitan dengan melawan terhadap penguasa bahkan sampai dengan penggunaan
UU Ormas. Oleh karena itu,tidaklah komprehensif jika melihat kasus ini hanya dari
sudut hukum pidana saja, mengapa? Jika tindakan rezim zalim dungu dan pandir
dalam menjerat Habib Rizieq dengan pasal-pasal pidana tersebut dibenarkan tanpa
dikaji secara komprehensif akan menjadi sebuah preseden buruk dalam penegakkan
hukum di Indonesia. Pada titik ekstrimnya akan mengeliminir hak asasi manusia itu
sendiri. Secara fundamental berimplikasi merusak tatanan hukum yang telah mapan
di Indonesia sebagaimana tertuang dalam UUD 1945.
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 41 dari 66
Pada konteks negara hukum Indonesia, UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis pada
hakikatnya bukan hanya untaian kalimat-kalimat pada lembaran kertas melainkan
konsensus dari Bangsa Indonesia. Bukankah salah satu dasar reformasi adalah
“keinginan untuk secara sungguh-sungguh melaksanakan sendi-sendi, tujuan, asas
dan kaidah UUD 1945”? Oleh sebab itu, maka aktualisasi UUD 1945 itu sendiri
secara imperatif harus menjadi dasar penegakan hukum lainnya tidak terkecuali
hukum pidana. Mengapa demikian? Karena tidak ada satupun permasalahan hukum
maupun perlindungan hukum yang tidak berdasarkan UUD 1945 sebagai
konsekwensi dari hierarkhi peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu menurut
Bagir Manan: “Hakim dalam mengadili dan memutus perkara harus memperhatikan
asas, kaidah, dan pandangan-pandangan yang mendasari UUD 1945. Tidak ada
perkara yang tidak bersentuhan dengan UUD 1945.”(lihat: Bagir Manan dan Susi Dwi
Harjanti, Memahami Konstitusi: Makna dan Aktualisasi, hal. 164)
Kemudian, flashback kondisi hukum pada masa pra-reformasi dimana UUD 1945
direkayasa sedemikian rupa hanya untuk memenuhi kepentingan penguasa
seharusnya dijadikan guidance agar tidak terulang pada saat ini dan masa
mendatang. Oleh sebab itu, untuk mencegah hal yang demikian terulang kembali
maka tidak ada jalan lain bagi kita Bangsa Indonesia selain mengaktualisasi UUD
1945 dalam setiap perikehidupan sehingga UUD 1945 menjadi The Living
Constitution.
Kembali pada kasus Habib Rizieq, penegakan hukum pidana dalam kondisi apapun
termasuk Pandemi Covid-19 seharusnya juga didasarkan dan diilhami oleh UUD 1945
bukan dengan kepentingan diluar UUD 1945. Begitupun melihat kondisi pandemi ini,
tidak dapat dipungkiri lagi kita harus melihat dan telaah kembali mengenai Model
Kedaruratan yang dipilih oleh Pemerintah pada masa pandemi Covid-19.
Model kedaruratan sebenarnya dapat kita telusuri dari Hukum Tata Negara Darurat
di dalam UUD 1945. Pada hakikatnya Hukum Tata Negara Darurat adalah negara
yang dalam keadaan atau kondisi darurat dimana telah terjadi keadaan bahaya
secara tiba-tiba yang mengancam tertib umum. Kondisi ini menuntut negara untuk
bertindak dengan cara-cara yang tidak lazim menurut aturan hukum yang biasa
berlaku dalam keadaan normal. Pertanyaannya, apakah peraturan perundang-
undangan terkait Pandemi Covid-19 yang berlaku saat ini dapat dikualifisir sebagai
keadaan darurat? Hal ini menjadi penting untuk dikaji, karena pada kondisi darurat,
kekuasaan negara dalam hal ini pemerintah sangatlah besar sehingga dapat
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 42 dari 66
mereduksi hak-hak konstitusional dari warga negara. Pada titik ekstrimnya,
kekuasaan negara dalam keadaan darurat dapat menciderai demokrasi akibat dari
pelanggaran serius terhadap HAM.
Secara konstitusional, pengaturan negara dalam keadaan darurat dapat dilihat pada
ketentuan Pasal 12 dan Pasal 22 UUD 1945. Pasal 12 UUD 1945 menyatakan:
“Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya
ditetapkan dengan undang-undang”. Sedangkan Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945
menyatakan: “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak
menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Berdasarkan
kedua ketentuan tersebut, maka UUD 1945 memberikan dua kategori mengenai
suatu kondisi atau keadaan, yaitu: 1). Keadaan bahaya; dan 2). Hal ihwal
kegentingan yang memaksa.
Konsep keadaan darurat dalam UUD 1945 tersebut seyogyanya dipandang sebagai
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Pertama, baik
keadaan bahaya maupun hal ihwal kegentingan yang memaksa hanya Presiden yang
berhak untuk menetapkannya. Kedua, penetapan kondisi tersebut dituangkan melalui
undang-undang maupun peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
Akan tetapi yang patut menjadi concern yaitu apakah terdapat kesamaan antara
keadaan bahaya dan hal ihwal kegentingan yang memaksa? Tentu saja hal ini masih
harus dilihat konteks dari kedua pasal tersebut.
Jika kita lihat dari sudut legislasi yang dalam hal ini harus melalui tahapan dan
proses yang sudah baku, maka jika Presiden akan menetapkan suatu keadaan
bahaya akan tetapi harus melalui tahapan dan proses pembentukan undang-undang
yang sudah baku tersebut jelas tidak efisien. Dengan demikian langkah yang
ditempuh oleh Presiden adalah dengan menetapkan keadaan bahaya tersebut dalam
format peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Hal ini berarti
bahwa ketentuan Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 adalah jawaban dari penetapan
keadaan bahaya yang tidak dapat dituangkan dalam format undang-undang
sebagaimana dipersyaratkan oleh Pasal 12 UUD 1945.
Artinya, jika Pasal 12 dan Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 menjadi pondasi suatu
undang-undang tentang keadaan bahaya sekaligus epidemi ataupun pandemi, maka
sebagai pilar konstruksinya adalah Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 Tentang
Keadaan Bahaya; Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit
Menular; Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana;
dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Dengan demikian dapat pula ditafsirkan bahwa Pasal 22 UUD 1945 dapat berdiri
sendiri tanpa disandingkan dengan Pasal 12 UUD 1945. Walhasil “hal ihwal
kegentingan yang memaksa”, pada kondisi tertentu belum tentu mengenai keadaan
bahaya.
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 44 dari 66
dalam proses pembentukan undang-undang. Hal ini dapat saja terjadi agar tidak
terjadi kekosongan hukum (rechtvacuum).
Lebih lanjut kita melihat rumusan Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.” Jika
dikaitkan dengan Model Kedaruratan apapun maka hak-hak yang tercantum didalam
Pasal 28I secara Constitutional Imperative tidak dapat dikurangi dan dibatasi
(Non-derogable Rights), dan oleh karena itu meski dalam keadaan bahaya
sebagaimana Pasal 12 UUD 1945 hak-hak dalam Pasal 28I Ayat (1) maka
model kedaruratan sebagaimana Pasal 22 UUD 1945 harus menjamin dan
melindungi HAM secara utuh dan menyeluruh (derogable dan non-
derogable rights).
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 45 dari 66
Dibawah ini kami sampaikan skema kondisi hokum kedaruratan tersebut :
Mempedomani uraian yang telah kami sampaikan di atas, maka Arsitektur Hukum
Pandemi Covid-19 bukanlah arsitektur suatu keadaan bahaya dan tidak
terkait dengan bahaya atau ancaman terhadap keamanan dan pertahanan
negara.
Atas dasar itulah muncul istilah-istilah baru seperti “New Normal” yang hakikat
artinya tatanan hukum masih dalam keadaan normal. Hal ini dapat dibuktikan
dengan pembentukan UU Cipta Kerja melalui tahapan yang normal serta Pemilihan
Kepala Daerah yang tetap diselenggarakan untuk menjamin hak pilih sebagai hak
konstitusional.
Kemudian istilah “Pembatasan Sosial Berskala Besar” yang membidani lahirnya istilah
“Pelanggaran Protokol Kesehatan (Prokes)” bukan “Pelarangan Sosial Berskala Besar”
atau “Lockdown” yang melahirkan istilah “Kejahatan Prokes”. Inilah bagian dari
ketidakcermatan jaksa penuntut umum dalam merumuskan surat dakwaan. Sistem
hukum yang berlaku saat pandemi bukanlah rezim keadaan bahaya dimana setiap
pelanggaran dapat menjadi sebuah kejahatan akan tetapi pelanggaran tetaplah
dihukumi sebagai pelanggaran.
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 46 dari 66
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Kedua, dalam hukum Pidana dikenal Prinsip Ultimum Remedium yang berarti hukum
pidana adalah senajata pamungkas atau terakhir yang digunakan dalam penegakan
hukum. Akan tetapi ultimum remedium jika kita telusuri maka akan kita jumpa pula
dalam rezim hukum administrasi, para sarjana menyebut sanksi administratif sebagai
“in cauda venenum,racun yang berada di ekor”(lihat: Andri Gunawan Wibisana,
Tentang Ekor yang Tak Lagi Beracun: Kritik Konseptual atas Sanksi Administratif
dalam Hukum Lingkungan di Indonesia, Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 6,
No. 1, 2019, hal. 42). Mengapa sanksi administratif menjadi Ultimum Remedium? Hal
ini lazimnya berkaitan dengan perizinan, segala bentuk kegiatan baik bernilai
ekonomis ataupun tidak jika tidak memiliki izin atau dicabut izinnya maka tidak dapat
dilaksanakan. Akan tetapi jika dilaksanakan tanpa memiliki izin maka negara memiliki
hak untuk menghentikan pelaksanaan kegiatan tersebut dan menjatuhkan sanksi
denda.
Sanksi bagi pelanggar prokes sudah ditetapkan melalui Peraturan Gubernur yang
menurut UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan materi muatannya bukan ketentuan pidana. Sedangkan peraturan
perundang-undangan di level provinsi yang materi muatannya berupa ketentuan
pidana adalah Peraturan Daerah (Perda). Berdasarkan alasan yuridis tersebut maka
sanksi dalam Pergub PSBB tidak diberikan izin dan pencabutan izin adalah ultimum
remedium. Yang perlu kita ingat rezim hukum yang berlaku saat ini bukan rezim
hukum keadaan bahaya. Dengan kondisi demikian jika terdapat pihak yang
mengajukan suatu izin maka secara hukum harus diberikan jawaban mengenai
pemberian izin atau tidak. Hal ini menjadi sangat penting karena sifat peraturan
perundang-undangan dibawah undang-undang sifatnya administratif. Jika pemberian
izin atau tidak memberikan izin tidak dilakukan maka sama halnya dengan melawan
hukum administrasi.
Perlu kita ketahui bersama, pada hari kedatangan Habib Rizieq secara yuridis
merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah sebagaimana ketentuan
Pasal 4 juncto Pasal 1 Angka 1UU No. 6/2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan
yaitu:
“Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab melindungi
kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan
Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
melalui penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan”
“Kekarantinaan Kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau
masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang
berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat”
Ketiga, penerapan pasal 160 dan 216 KUHP yang tidak tepat. Norma yang terdapat
didalam kedua pasal tersebut adalah secara garis besar adalah menghasut orang
supaya melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau pegawai negeri yang
ditugaskan mengawasi sesuatu, atau tidak menuruti perintah Undang-Undang atau
perintah jabatan. Kedua pasal tersebut jika dikaitkan dengan Pasal 93 UU No. 6/2018
Tentang Kekarantinaan Kesehatan menyebabkan meluasnya persona yang dijadikan
terdakwa. Pada rumusan Pasal 93 adalah mengenai sanksi yang dikenakan jika
melanggar Pasal 9 Ayat (1) uu aquo. Sedangkan rumusan Pasal 9 ayat (1) adalah
“Setiap Orang wajib mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan.” Unsur
setiap orang pada rumusan pasal 9 aquo tidak terdapat kualifikasi oleh karena itu
seluruh warga negara yang hadir di Bandara dan Petamburan tidak terkecuali Bayu
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 48 dari 66
Meghantara (selaku Walikota Jakarta Pusat), Ferguson (Kasat Intelkam Polres Metro
Jakarta Pusat), dan Heru Novianto (selaku Kapolres Jakarta Pusat) yang ingin
menemui Habib Rizieq juga bertentangan dengan Pasal 9 Ayat (1) UU a quo. Selain
itu, protokol kesehatan sebagimana dimaksud oleh Jaksa Penuntut Umum hanya
berpusat pada kerumunan. Bagaimana dengan penggunaan masker dan disinfeksi
dan usaha lainnya yang telah dilakukan apakah bukan bagian dari protokol
kesehatan?
Selanjutnya Pasal 160 KUHP menurut Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No.
7/PUU-VII/2009 merupakan delik materil yang mensyaratkan adanya suatu akibat.
Uniknya putusan tersebut, MK dalam mengartikan kata “menghasut” hanya
berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional,
2003:392), tindakan penghasutan adalah suatu perwujudan untuk “membangkitkan
hati orang supaya marah (untuk melawan atau memberontak)”, atau menurut
Black‟s Law Dictionary edisi ke-8 halaman 1.262 dengan menggunakan padanan kata
menghasut dengan “provocation” diartikan sebagai, “something (such as word or
action) that affects a person‟s reason and self-control, esp. causing the person to
commit a crime impulsively”.
Keempat, Ormas Front Pembela Islam sudah bubar, ibarat terdapat seorang
tersangka atau terdakwa yang telah meninggal dunia untuk apa melanjutkan proses
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 49 dari 66
penyidikan, penuntutan, dan persidangannya? Apa motif dan relevensinya
meletakkan Front Pembela Islam dalam surat dakwaan? Jika hanya ingin mendalilkan
bahwa Front Pembela Islam yang memiliki catatan hitam dengan Imam Besarnya
adalah Habib Rizieq maka sudah sepatutnya Habib Rizieq dihukum, maka buatlah ini
menjadi preseden bagi para koruptor yang berasal dari partai politik dengan segala
catatan hitamnya. Tulis dengan jelas dan terang pada tiap surat dakwaan tindak
pidana korupsi bahwa partai tersebut kadernya telah banyak melakukan korupsi
bahkan sampai buron, ada yang sudah tertangkap dan adapula yang masih bebas.
Satu hal yang pasti, para warga negara yang hadir di bandara dan petamburan
meski dicekoki dengan pemberitaan buruk dan pembunuhan karakter Habib Rizieq
mereka tetap dengan penuh kesadaran hukum hadir dengan masker dan prokes
lainnya.
Kelima, berdasarkan seluruh uraian pada bagian ini, maka sangat terlihat surat
dakwaan jaksa penuntut umum tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap.
Sebagaimana diketahui dalam perkara ini, Terdakwa telah didakwa oleh Jaksa
Penuntut Umum dengan Dakwaan yakni:
DAKWAAN PERTAMA:
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 50 dari 66
ATAU
DAKWAAN KEDUA:
DAKWAAN KETIGA:
ATAU
DAKWAAN KEEMPAT:
ATAU
DAKWAAN KELIMA:
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 51 dari 66
S.Pdi, H. AHMAD SABRI LUBIS, ALI ALWI ALATAS Bin ALWI ALATAS,
IDRUS alias IDRUS AL-HABSYI, MAMAN SURYADI tersebut,
sebagaimana diatur dan diancam pidana sesuai Pasal 82A ayat (1) jo.
Pasal 59 ayat (3) huruf d dan d Undang Undang Republik Indonesia No.
16 Tahun 2017 Tentang Penerapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang No. 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Undang-
undang No. 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan
Menjadi Undang-Undang Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 10
huruf b KUHP Jo. Pasal 35 ayat (1) KUHP”.
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 52 dari 66
B.1 KEBERATAN TIM PENSIHAT HUKUM TERDAKWA ATAS DAKWAAN
PERTAMA JPU YANG KE – 1 (SATU).
Bahwa hal ini sangat jelas di atur dalam Yurisprudensi Tetap MAHKAMAH
AGUNG – RI No : 71 K/Kr/1968, dengan Majelis Hakim Agung :
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 54 dari 66
Sangat jelas JPU dalam DAKWAAN PERTAMA Telah Menggabungkan
Unsur – unsur pasal 160 KUHP digabungkan dengan Unsur – unsur delik
Pasal 93 UU No 6. Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Bahwa demikian Pula Dakwaan Pertama JPU dalam Perkara a quo, yang
mendakwa TERDAKWA dengan Cara MENGGABUNGKAN Unsur – unsur
Delik Pasal 160 KUHP dengan unsur – unsur delik Pasal 93 UU No 6
Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan Yang merupakan Kesalahan
yang sangat Essensial dan mengakibatkan DAKWAAN PERTAMA JPU
tersebut KABUR / TIDAK JELAS (OBSCURE LIBEL). Sebagaimana yang
telah diatur dalam YURISPRUDENSI TETAP MAHKAMAH AGUNG R.I.
No: 71 K/Kr/1968, Tentang HUKUM PIDANA dan HUKUM ACARA PIDANA.
Bahwa dari kutipan unsur – unsur Pasal 160 KUHP dan Pasal 93 UU
No: 6 tahun 2018, ternyata sangat jelas perbedaan unsur – unsur
dari Pasal 160 KUHP dibandingkan dengan unsur – unsur Pasal 93
UU No: 6 tahun 2018. tentang Kekarantinaan Kesehatan tersebut.
Maka kedua Pasal tersebut unsur – unsur nya berbeda dan Ancaman
HUKUMAN nya juga BERBEDA, Oleh karena itu TIDAK
DIMUNGKINKAN atau TIDAK DIBENARKAN digabungkan
menjadi SATU SURAT DAKWAAN. Seperti DAKWAAN PERTAMA JPU
tersebut.
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 56 dari 66
“menyatakan dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa SUDARMADJI
tersebut BATAL DEMI HUKUM.”
Maka kedua pasal tersebut yaitu Pasal 160 KUHP (UU pidana Umum)
TIDAK dapat didakwakan BERSAMAAN dengan Pasal 93 UU No 6 Tahun
2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU Pidana Khusus).
(2) Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum,
diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang
khusus itulah yang diterapkan.
Maka dapat kami Tim Kuasa Hukum dari Terdakwa bahwa dakwaan pertama
JPU No Reg Perkara : PDM-012/JKT-TIM/Eku/03/2021, tertanggal 4
Maret 2021, yang MENDAKWA PARA TERDAKWA dengan RUMUSAN unsur –
unsur Pasal 160 KUHP DIGABUNGKAN atau BERSAMA – SAMA dengan
Rumusan unsur – unsur Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang
Kekarantinaan Kesehatan adalah BATAL DEMI HUKUM.
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 58 dari 66
Bahwa setelah kami TIM PENASIHAT HUKUM mencermatii SURAT DAKWAAN
PERTAMA halaman 2, DAKWAAN KEDUA halaman 10, DAKWAAN KETIGA
halaman 18, DAKWAAN KEEMPAT halaman 26, DAKWAAN KELIMA halaman 45,
kami TIM PENASIHAT HUKUM kutip sebagai berikut:
“Bahwa terdakwa Moh. RIZIEQ Bin HUSEIN SHIHAB alias HABIB MUHAMMAD
RIZIEQ SHIHAB (dituntut dalam perkara terpisah, yang menyatakan dirinya
Imam Besar pada Organisasi FPI, yang telah dilarang berdasarkan SURAT
KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI DALAM NEGERI R.I; MENTERI
HUKUM dan HAM R.I.; MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
R.I.; JAKSA AGUNG R.I; KEPALA KEPOLISIAN NEGARA R.I; dan
KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME R.I.;
Nomor : 220-4780 tahun 2020, No: M.HH – 14. HH05.05 tahun 2020,
Nomor: 690 tahun 2020, No : 264 tahun 2020, Nomor. KB / 3 / XII /
2020, dan Nomor: 320 tahun 2020, tanggal 30 Desember 2020.
Tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta
Penghentian Kegiatan FRONT PEMBELA ISLAM (FPI), baik bertindak
sendiri maupun secara bersama – sama dengan Haris Ubaidilah, Terdakwa
Ahmad Sabri Lubis; Terdakwa Ali Alwi alatas Bin Alwi Alatas; Terdakwa Idrus
alias Idrus Alhabsyi; dan Terdakwa Maman Suryadi, pada hari sabtu tanggal 14
November 2020 sekira jam 18. 30 WIB, atau setidak- tidaknya pada suatu
waktu lain dalam bulan November 2020, bertempat jalan Paksi
petamburan III. Jalan KS. Tubun Kelurahan: Petamburan, Kecamatan:
Tanah Abang, Kota Jakarta Pusat, atau setidak – tidak nya disuatu tempat
lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, Menurut Pasal 85 KUHAP dan Keputusan MA. R.I. No. 49 / KMA / SK / II
/ 2021. Tentang Penunjukan Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk memeriksa
dan Memutus perkara Pidana an. Terdakwa MOH. RIZIEQ alias HABIB
MUHAMMAD RIZIEQ SHIHAB Bin HUSEIN SHIHAB. Dkk Tanggal 24
Februari 2021, Maka Pengadilan Negeri Jakarta Timur berwenang untuk
memeriksa dan mengadili, mereka yang melakukan, yang menyuruh
melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan, dimuka
umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan
perbuatan pidana kekarantinaan kesehatan sebagaimana Pasal 93 UU
R.I No: 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, melakukan
kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik
ketentuan undang – undang maupun perintah jabatan yang diberikan
berdasarkan ketentuan Undang – Undang.
Bahwa dari uraian peristiwa yang di DAKWAKAN oleh JPU kepada Terdakwa
sebagaimana uraian yang diuraikan dalam yang telah TIM PENASIHAT HUKUM
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 59 dari 66
kutip diatas, ternyata setelah di cermati, tidak ada Relevansinya antara
Peristiwa Hukum yang di Dakwakan yaitu Hal ikhwal Perbuatan TERDAKWA
Tentang LARANGAN berdasarkan SURAT KEPUTUSAN BERSAMA
MENTERI DALAM NEGERI R.I; MENTERI HUKUM dan HAM R.I.;
MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA R.I.; JAKSA AGUNG R.I;
KEPALA KEPOLISIAN NEGARA R.I; dan KEPALA BADAN NASIONAL
PENANGGULANGAN TERORISME R.I.; Nomor : 220-4780 tahun 2020,
No: M.HH – 14. HH05.05 tahun 2020, Nomor: 690 tahun 2020, No :
264 tahun 2020, Nomor. KB / 3 / XII / 2020, dan Nomor : 320 tahun
2020, tanggal 30 Desember 2020 Tentang Larangan Kegiatan,
Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FRONT
PEMBELA ISLAM (FPI), Dengan RUMUSAN unsur – unsur Pasal Yang di
DAKWAKAN kepada Terdakwa yang mengakibatkan DAKWAAN menjadi
KABUR atau TIDAK JELAS.
Selain tidak ada hubungan dengan unsur-unsur pasal yang didakwakan kepada
Terdakwa Jaksa Penuntut Umum juga telah memanipulasi FAKTA karena Acara
Peringatan Maulid Nabi SAW diselenggarakan pada tanggal 14 November
2020, sementara SKB larangan Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan
Atribut serta Penghentian Kegiatan FRONT PEMBELA ISLAM (FPI), baru terbit
pada tanggal 30 Desember 2020.
Kronologis peristiwa telah diputarbalikan oleh JPU, seolah – olah Pelarangan FPI
oleh Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri RI, Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia RI, Menteri Komunikasi dan Informatika RI, Jaksa Agung RI,
Kepala Kepolisian Negara RI, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme No. 220-4780 tahun 2020, Ni. M.HH-14.HH05.05 tahun 2020, No.
690 tahun 2020, No. 264 tahun 2020, No. KB/3/XII/2020, dan N0. 320 tahun
2020 tanggal 30 Desember 2020 tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan
Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam terjadi
terlebih dahulu baru pristiwa yang didakwakan terjadi.
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 60 dari 66
Organisasi Kemasyarakatan adalah melanggar asas yang paling utama
dalam hukum pidana sebagaimana pasal 1 ayat 1 KUHP, yang menyatakan:
“Tiada satu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas ketentuan pidana
dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu terjadi.”
Bahwa pada faktanya Hb. Assayid Bahar Bin Smith alias Habib Bahar Bin Ali Bin
Smith TIDAK PERNAH menjadi anggota ataupun sebagai pengurus FPI. Selain
itu putusan terhadap Habib Bahar Bin Smith bukan produk dari PN Yogyakarta
melainkan PN Bandung. Hal ini menunjukkan kengawuran dan kesembronoan
JPU dalam merumuskan dakwaan ini sehingga menyebabkan dakwaan tidak
cermat, tidak jelas dan tidak lengkap. Sehingga selayaknya DAKWAAN INI
BATAL DEMI HUKUM.
Bahwa dakwaan JPU yang berasumsi seolah-olah ormas dilarang untuk untuk
melakukan aktifitas, menggunakan simbol, atribut dan identitas lainnya
dikarenakan SKT telah berakhir, menunjukkan keterbatasan pengetahuan
hukum JPU.
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 64 dari 66
BAB V
PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas, maka kami memohon agar Majelis Hakim Pemeriksa
Perkara berkenan memeriksa, mengadili dan menjatuhkan putusan sela dengan amar
putusan sebagai berikut :
ATAU
Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex
aequo et bono).
Allah tidak menyukai perkataan buruk, (yang diucapkan) secara terus terang kecuali
oleh orang yang dizalimi. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (QS.
An-Nisa' Ayat 148)
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 65 dari 66
Nota Keberatan
HABIB RIZIEQ SYIHAB
Halaman 66 dari 66