Anda di halaman 1dari 24

Referat

ANGIOEDEMA

Disusun Sebagai Tugas Mengikuti kepanitraan Klinik Stase (KKS) SMF


Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Haji Medan Sumatra Utara

1
Pembimbing :
dr. SatriaYanis, Sp.KK

Disusun oleh:
1. Herly Mey nita (102119051)
2. Indah Dwiyana (102119041)
3. Reza Rahadian yusuf daen (16320246)
4. Rika Arianofela (16310256)
5. Restu Adi Warda (16310246)

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS BATAM DAN MALAHAYATI
TAHUN 2020

2
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas referat ini guna memenuhi
persyaratan kapaniteraan klinik senior di bagian ilmu Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Haji Medan
dengan judul “Angioedema”
Shalawat dan salam tetap terlafatkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga
dan para sahabatnya yang telah membawa kita ke zaman yang penuh ilmu pengetahuan, beliau
adalah figur yang senantiasa menjadi contoh suri tauladan yang baik bagi penulis untuk menuju
ridho Allah SWT.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dokter
pembimbing KKS dibagian ilmu Kulit dan Kelamin kepada dr. Satria Yanis,Sp.KK.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Paper masih terdapat banyak kekurangan
baik dalam cara penulisan maupun penyajian materi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca sehingga bermanfaat dalam penulisan referat
selanjutnya. Semoga Paper ini bermanfaat bagi pembaca dan terutama bagi penulis.

Wassalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh


Medan, 07 desember 2020

Penulis

3
DAFTAR ISI
Halaman Judul ............................................................................................. i
Kata Pengantar ............................................................................................. ii
Daftar Isi ...................................................................................................... iii
Daftar Gambar ............................................................................................. iv
Daftar Tabel ................................................................................................. v

BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2 Tujuan .................................................................................................... 3
1.3 Manfaat .................................................................................................. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 1


2.1. Definisi.................................................................................................. 1
2.2. Etiopatogenesis....................................................................................... 1
2.3. Klasifikasi..……...................................................................................... 2
2.4. Epidemiologi.......………….................................................................... 5
2.5 Gejala Klinis.................... ...................................................................... 6
2.6. Diagnosis ………................................................................................. 7
2.7. Diagnosis Banding……....................................................................... 8
2.8. Penatalaksanaan.................................................................................... 11
2.9. Komplikasi............................................................................................. 15
2.10. Prognosis……….................................................................................. 15

DAFTAR PUSTAKA

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Angioedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh meningkatnya
permeabilitas vaskular pada jaringan subkutan kulit, lapisan mukosa dan
submukosa. Hal ini pertama kali diungkapkan pada tahun 1586. Istilah lainnya
seperti giant urticaria, Quincke edema, dan angioneurotic edema telah digunakan
sejak dulu untuk menggambarkan kondisi seperti ini (Li HH, 2012).
Angioedema seringkali dihubungkan dengan urtikaria. Faktanya, sebanyak
50% pasien dengan urtikaria juga mengalami angioedema. Pada banyak kasus,
angioedema sangat mirip dengan urtikaria berdasarkan etiologi dan strategi
penatalaksanaannya (Li HH, 2012).
Urtikaria timbul akibat masuknya antigen ke area kulit yang spesifik dan
menimbulkan reaksi setempat yang mirip reaksi anafilaksis. Histamin yang
dilepaskan setempat akan menimbulkan vasodilatasi yang menyebabkan
timbulnya red flare (kemerahan) dan peningkatan permeabilitas kapiler setempat
sehingga dalam beberapa menit kemudian akan terjadi pembengkakan setempat
yang berbatas jelas (Guyton AC, Hall JE, 2009).
Di sisi lain, angioedema cukup berbeda dengan urtikaria. Angioedema selalu
melibatkan lapisan dermis yang lebih dalam atau jaringan submukosa atau
subkutaneus, sementara urtikaria melibatkan lapisan dermis yang lebih superficial
(Li HH, 2012).

B. ETIOPATOGENESIS
Pembengkakan yang terjadi pada angioedema merupakan hasil dari
peningkatan permeabilitas vaskuler lokal pada jaringan submukosa dan
subkutaneus (Li HH, 2012).

1
Angioedema dapat diklasifikasikan menjadi allergic angioedema,
pseudoallergic angioedema, non-allergic angioedema dan idiopathic angioedema
(Li HH, 2012).

a. Allergic angioedema
Berdasarkan studi yang dilakukan, angioedema paling sering disebabkan
oleh alergi. Sekitar 48 orang pasien dengan allergic angioedema, sebanyak
41.7% kasus disebabkan oleh makanan, 39.6% oleh obat-obatan, 8.3% oleh
binatang, dan sekitar 10.4% dipengaruhi oleh aeroalergen. Makanan yang
paling sering mencetuskan angioedema adalah makanan laut (70%).
Sedangkan obat-obatan yang diduga menjadi penyebab angioedema adalah
antibiotik (12 dari 19 kasus; 63.2%), paling sering amoxisilin (3 dari 12
kasus; 25%) (Kulthanan K, Jiamton S, Boochangkool K, Jongjarearnpraset
K, 2013).
Allergic angioedema seringkali dihubungkan dengan urtikaria.
Angioedema biasanya akan mucul dalam waktu 30 menit sampai 2 jam
setelah terpajan alergen (seperti makanan, obat-obatan, dan bahan latex).
Brown melaporkan sebanyak 142 pasien dengan anafilaksis yang dirawat di
IRD, didapatkan angioedema pada sekitar 40% kasus (Li HH, 2012)
Mast cell merupakan sel efektor utama terjadinya urtikaria dan
angioedema, meskipun sel-sel lainnya juga tidak diragukan kontribusinya
(Kaplan AP, 2009).
Alergen makanan yang masuk akan mengakibatkan terjadinya cross-
linking IgE yang melekat pada permukaan mast cell atau basofil. Akibat
keadaan tersebut, terjadi pelepasan mediator, misalnya histamin, leukotrien,
dan prostaglandin, yang selanjutnya akan mengakibatkan gejala klinis
(Soebaryo RW, Effendi EH, Noegrohowati T, 2010 ).
Pelepasan mediator oleh mast cell, terutama histamin, mengakibatkan
vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular (Gawkrodger DJ, 2009)

2
b. Pseudoallergic angioedema , Pseudoallergic angioedema tidak dimediasi
oleh reaksi hipersensitifitas IgE. Akan tetapi gejala yang ditimbulkan sangat
mirip dengan allergic angioedema. Contohnya angioedema yang diinduksi oleh
penggunaan NSAIDs seperti aspirin (Li HH, 2012).
Angioedema akibat induksi NSAIDs didapatkan pada sekitar 20% kasus.
Obat-obatan yang bertanggung jawab terhadap angioedema adalah ibuprofen
(57%), aspirin (19%), diklofenat (9.5%), asam mefenamat (4.8%), naproxen
(4.8%) dan meloxicam (4.8%) (Guyton AC, Hall JE, 2009),
Angioedema terjadi akibat blokade jalur pembentukan prostaglandin
oleh penggunaan obat-obatan seperti aspirin dan NSAIDs lainnya. Sehingga
terjadi akumulasi leukotrien vasoaktif (Gawkrodger DJ, 2009).
c. Non-allergic angioedema
Non-allergic angioedema merupakan angioedema yang tidak melibatkan
IgE atau histamin dan umumnya tidak berhubungan dengan terjadinya
urtikaria, termasuk diantaranya: (Li HH, 2012).
1. Angioedema Herediter (Hereditary Angioedema (HAE))
Angioedema herediter terdiri atas dua subtipe, yaitu:
 Angioedema herediter tipe 1 (85%) adalah kelainan yang
diturunkan secara autosomal dominan akibat mutasi pada gen
sehingga terjadi supresi C1-inhibitor sebagai akibat sekresi
abnormal ataupun degradasi intraseluler (Kaplan AP, 2009).
 Angioedema herediter tipe 2 (15%) adalah kelainan yang juga
diturunkan yang ditandai dengan mutasi yang menyebabkan
pembentukan protein yang abnormal. Kadar protein C1-inhibitor
bisa normal atau meningkat (Kaplan AP, 2009).
Kurangnya C1-inhibitor merangsang aktivasi jalur pembentukan
kinin. Kinin merupakan peptida dengan berat molekul yang rendah,
berpartisipasi dalam proses inflamasi dengan mengaktivasi sel
endotel. Akibatnya terjadi vasodilatasi, peningkatan permeabilitas
vaskular, dan mobilisasi asam arakhidonat. Reaksi radang seperti

3
kemerahan, rasa panas, edema, dan nyeri merupakan hasil dari
pembentukan kinin (Kaplan AP, 2009).

Gambar 1. Angioedema herediter. Kiri: Edema berat yang terjadi di


daerah wajah. Kanan: Angioedema menghilang dalam beberapa jam,
tampak wajah kembali normal (Kaplan AP, 2009).

2. Angioedema yang didapat (Acquired Angioedema (AAE))


Angioedema yang didapat (AAE) juga terdiri atas dua jenis. AAE-I
berkaitan dengan limpoma sel-B atau penyakit jaringan konektif yang
berhubungan dengan penggunaan C1-inhibitor. Sedangkan AAE-2
merupakan kelainan autoimun, yaitu adanya produksi autoantibody IgG
terhadap C1-inhibitor (Kaplan AP,2009)
3. Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor-induced
angioedema (AIIA)
Frekuensi terjadinya angioedema setelah pemberian terapi ACE-
inhibitor sekitar 0.1% sampai 0.7%. AIIA biasanya melibatkan kepala
dan leher, termasuk mulut, lidah, faring, dan laring. Angiotensin
Converting Enzyme (ACE) merupakan enzim utama yang bertanggung
jawab pada degradasi bradikinin. Pemberian ACE-inhibitor
dikontraindikasikan pada pasien yang memiliki riwayat angioedema
4
idiopatik, HAE, dan defisiensi C1-inhibitor yang didapat. Kebanyakan
AIIA muncul pada minggu pertama setelah pengobatan dimulai, hanya
sekitar 30% kasus AIIA muncul setelah beberapa bulan bahkan beberapa
tahun setelah dimulainya terapi ( Li HH, 2012).
d. Idiopathic angioedema
Istilah idiopatik merujuk pada suatu penyakit atau kondisi tanpa
diketahui penyebabnya. Berdasarkan respon terhadap terapi, beberapa kasus
mungkin saja dimediasi oleh aktivasi mast cell. Hal yang menjadi pemicu
paling sering adalah panas, dingin, stress emosional, dan latihan. Aktivasi
dan degranulasi mast cell dianggap menjadi penyebabnya (Kaplan Ap,
2009).
Diagnosis angioedema idiopatik ditegakkan apabila terdapat
angioedema, tidak ditemukan adanya urtikaria dan tidak ada penyebab
eksogen yang ditemukan (Kaplan AP, 2009).

C. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, angioedema (tidak termasuk angioedema herediter
[HAE] dan angioedema yang didapat [AAE]) terjadi pada 10-20% populasi pada
beberapa waktu dalam kehidupan. Mayoritas angioedema kronik adalah idiopatik.
Diperkirakan prevalensi HAE sebanyak 1 per 10.000-150.000 orang. AAE lebih
jarang ditemukan. Sampai tahun 2006, hanya sekitar 136 kasus yang dilaporkan
dalam literatur. Sedangkan menurut laporan, insidensi AIIA bervariasi dari 0.1% -
6% (Li HH, 2012).
Ras Afrika-Amerika lebih rentan menderita angioedema yang diinduksi oleh
penggunaan ACE-inhibitor. Sementara, angioedema tipe lainnya tidak memiliki
hubungan yang jelas antara ras dengan jumlah dan derajat keparahan penyakit (Li
HH,2012).
Angioedema idiopatik lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan
pria. Angioedema tipe lainnya tidak menunjukkan adanya hubungan yang kuat
antara insidensi angioedema dengan jenis kelamin. Pada HAE, estrogen

5
berpengaruh terhadap frekuensi serangan dan derajat keparahan gejala yang

6
ditimbulkan. Berdasarkan literatur, estrogen dianggap mampu memperburuk
angioedema tipe tertentu (Li HH, 2012).
Angioedema dapat terjadi pada segala tingkatan usia. Orang-orang dengan
predisposisi untuk terjadinya angioedema mengalami peningkatan frekuensi
serangan setelah dewasa dan insidensi puncaknya terjadi pada dekade ketiga.
Reaksi alergi terhadap makanan paling sering pada anak-anak. Pasien dengan
HAE, onset gejala sering kali terjadi di usia pubertas. Usia rata-rata pada pasien
dengan angioedema karena induksi oleh ACE-inhibitor adalah 60 tahun.
Angioedema idiopatik paling sering terjadi pada usia 30-50 tahun dibandingkan
grup usia lainnya (Li HH,2012).

D. DIAGNOSIS
Dengan anamnesis yang teliti dan pemeriksaan klinis, diagnosis urtikaria
dan angioedema mudah ditegakkan, namun beberapa pemeriksaan diperlukan
untuk membuktikan penyebabnya, misalnya: (Aisyah S, 2009)
1. Pemeriksaaan darah, urin rutin, dan feses rutin untuk menilai ada
tidaknya infeksi yang tersembunyi atau kelainan pada alat dalam.
2. Pemeriksaan gigi, teling-hidung-tenggorok, serta usapan vagina perlu
untuk menyingkirkan adanya infeksi fokal.
3. Pemeriksaan kadar IgE, eosinofil dan komplemen.
4. Tes kulit, meskipun terbatas penggunaannya dapat digunakan dalam
menentukan diagnosis. Uji gores (scratch test) dan uji tusuk (prick test),
serta tes intradermal dapat dipergunakan untuk mencari allergen inhalan,
makanan dermatofit dan kandida.
5. Tes eliminasi makanan dengan cara menghentikan semua makanan yang
dicurigai untuk beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu demi
satu.
6. Pemeriksaan histopatologik, walaupun tidak selalu diperlukan, dapat
membantu diagnosis. Biasanya terdapat kelainan berupa pelebaran
kapiler di papilla dermis, geligi epidermis mendatar, dan serat kolagen

7
membengkak. Pada tingkat permulaan tidak tampak infiltrasi selular dan

8
pada tingkat lanjut terdapat infiltrasi leukosit, terutama di sekitar
pembuluh darah.
7. Pada urtikaria fisik akibat sinar dapat dilakukan tes foto tempel.
8. Suntikan mecholyl intradermal dapat dilakukan pada diagnosis urtikaria
kolinergik.
9. Tes dengan es (ice cube test).
10. Tes dengan air hangat.
Anamnesis yang komprehensif sangat esensial bagi pasien yang menderita
urtikaria, yang meliputi durasi serangan, frekuensi serangan, durasi munculnya
lesi, penyakit yang disertai, pengobatan sebelumnya, efek samping yang terjadi,
riwayat penyakit keluarga, pekerjaan, dan dampak penyakit terhadap aktivitas
pasien sehari-hari. Pemeriksaan fisis yang lengkap untuk mencari morfologi dan
durasi (dengan memberikan tanda disekeliling lesi), luka, dan tanda-tanda
penyakit sistemik harus diperhatikan, walaupun biasanya normal. Biasanya pasien
diambil gambarnya saat dilakukan pemeriksaan karena biasanya lesi menghilang
atau berkurang pada kunjungan berikutnya (Aisyah S, 2009).

9
Gambar 2. Algoritme dalam mendiagnosis angioedema (Grattan CE, 2008)

E. DIAGNOSIS BANDING
Berdasarkan gejala yang ditimbulkan, angioedema didiagnosis banding
dengan beberapa penyakit lainnya, seperti eritema multiforme, vaskulitis
urtikarial, dan dermatitis herpetiformis: (Gawkrodger DJ, 2009).
1. Eritema multiforme
Eritema multiforme adalah kelainan pada kulit yang dimediasi oleh
sistem imun, dengan karakteristik target lesion pada tangan dan kaki.
Penyebab yang pasti belum diketahui, namun faktor-faktor penyebab selain
alergi terhadap obat sistemik ialah peradangan oleh bakteri dan virus
10
tertentu, rangsangan fisik, misalnya sinar matahari, hawa dingin, faktor
endokrin seperti kehamilan dan haid, dan penyakit keganasan. Gejala khas
ialah bentuk iris (target lesion) yang terdiri atas tiga bagian, yaitu bagian
tengah berupa vesikel atau eritema yang keungu-unguan, dikelilingi oleh
lingkaran konsentris yang pucat dan kemudian lingkaran yang merah
(Hamzah M, 2009).
Eritema multiforme paling sering terjadi pada usia dewasa muda
dibandingkan anak-anak. Herpes Simplex Virus (HSV) diduga menjadi
faktor pencetus utama timbulnya penyakit ini. Eritema multiforme biasanya
terjadi pada kulit yang sering terkena paparan sinar matahari. Mungkin pula
ditemukan adanya fenomena Koebner ( Mallory SB, 2009).
Eritema multiforme juga berupa urtika pada mulanya, namun jika lesi
menetap lebih dari 48 jam, maka diagnosis angioedema dapat disingkirkan
(Gawkrodger DJ, 2009).

Gambar 3. Eritema multiforme. Tampak adanya target lesion pada punggung


tangan. (Gawkrodger DJ, 2009).

2. Vaskulitis urtikarial
Vaskulitis urtikarial adalah radang pembuluh darah. Kelainan kulit dapat
berupa palpable purpura yang mengenai kapiler, berbentuk purpura
multiple, bila dipalpasi terasa papul-papul, lesi juga dapat berupa plaque,
urtika, angioedema, pustul, vesikel, ulkus, nekrosis, dan livido retikularis.
Kadang terdapat edema subkutan di bawah lesi. Tempat predileksinya di
11
daerah ekstensor tungkai bawah. Lama lesi antara 1-4 minggu. Pada waktu

12
timbul, dapat disertai demam, malaise, arthralgia, dan mialgia. Vakulitis
urtikarial berbeda dengan urtikaria yang cepat hilang. Pada penyakit ini lama
urtika lebih dari 24 jam. Rasanya seperti terbakar atau nyeri (Djuanda A,
2009).

Gambar 4. Vaskulitis dengan purpura dan nekrosis kulit (Gawkrodger DJ,


2009).

3. Dermatitis Herpetiformis
Dermatitis herpetiformis adalah penyakit kronik dan berlangsung seumur
hidup, dapat terjadi pada usia anak-anak maupun dewasa, tetapi biasanya
dimulai pada usia dekade dua sampai empat (Brehmer E, Anderson, 2008).
Ruam bersifat polimorfik berupa eritema, papulo-vesikel, vesikel/bula,
tersusun berkelompok dan simetrik serta disertai rasa sangat gatal. Mulainya
penyakit biasanya perlahan-lahan, perjalanannya kronik dan residif
(Brehmer E, Anderson, 2008). Tempat predileksinya ialah dipunggung,
daerah sakrum, bokong, daerah ekstensor di lengan atas, sekitar siku, dan
lutut. Kelainan yang utama ialah vesikel, oleh karena itu disebut
herpetiformis yang berarti seperti herpes zoster. Dinding vesikel atau bula
tegang (Wiryadi BE, 2009).

13
Dermatitis herpetiformis juga diawali dengan papul atau plak urtikaria,
akan tetapi munculnya bula akan menyingkirkan diagnosis tersebut (Hunter
JAA, Savin JA, Dahl MV, 2009).

Gambar 5. Pola distribusi dermatitis herpetiformis (Grattan CEH, 2009).

Gambar 6. Dermatitis herpetiformis pada siku (Gawkrodger DJ, 2009).

F. PENATALAKSANAAN
Pengobatan urtikaria atau angioedema, terdiri atas terapi medikamentosa dan
non-medikamentosa (Grattan CE, 2008).
1. Non-medikamentosa
Pasien sebaiknya diberi penjelasan dan informasi tentang faktor
pencetus, pengobatan dan prognosis penyakit. Pengobatan yang paling ideal
14
tentu saja adalah mengobati penyebab atau bila mungkin menghindari
penyebab yang dicurigai. Bila tidak mungkin, paling tidak mencoba
mengurangi penyebab tersebut, minimal tidak menggunakan atau tidak
melakukan kontak dengan penyebabnya. Pengobatan lokal di kulit dapat
diberikan secara simptomatik, misalnya anti pruritus (calamine atau menthol
1%). Pasien juga diminta untuk menghindari penggunaan obat-obatan
seperti aspirin, NSAIDs, kodein dan morfin. Selain itu, mengindari faktor
pencetus seperti stress, konsumsi alkohol, dan pajanan terhadap panas secara
berlebihan juga penting untuk dilakukan. Eliminasi diet dicobakan pada
pasien yang sensitif terhadap makanan (Aisyah S, 2009).
2. Medikamentosa
Di samping terapi non-medikamentosa, pasien perlu mendapatkan
intervensi tambahan, termasuk pengobatan sistemik yaitu: (Grattan CE,
2008).
- First line therapies
Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat.
Cara kerja antihistamin telah diketahui dengan jelas, yaitu menghambat
histamin pada reseptor-reseptornya. Berdasarkan reseptor yang
dihambat, antihistamin dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu
antagonis reseptor H1 (antihistamin 1, AH1) dan reseptor H2 (AH2)
(Aisyah S, 2009).
Secara klinis dasar pengobatan pada urtikaria dan angioedema
bergantung pada efek antagonis terhadap histamin pada reseptor H1,
namun efektivitas tersebut acapkali berkaitan dengan efek samping
farmakologik, yaitu sedasi. Dalam perkembangannya terdapat
antihistamin yang baru yang berkhasiat terhadap reseptor H 1 tetapi
nonsedasi, golongan ini disebut sebagai antihistamin non-klasik (Aisyah
S, 2008).
Pada umumnya, antihistamin H1 cepat diabsorbsi, dan mencapai
puncak dalam 2 jam (Grattan CEH, 2009).

15
Biasanya antihistamin golongan AH1 yang klasik menyebabkan
kontraksi otot polos, vasokonstriksi, penurunan permeabilitas kapiler,
penekanan sekresi dan penekanan pruritus. Selain efek ini terdapat pula
efek yang tidak berhubungan dengan antagonis reseptor H1, yaitu efek
antikolinergik atau menghambat reseptor alfa-adrenergik (Aisyah S,
2009).
Antihistamin H1 klasik, contohnya hydroxyzine, diphenhydramine,
dan cyproheptadine. Hydroxyzine ternyata lebih efektif daripada
antihistamin lain untuk mencegah urtikaria, dermografisme, dan urtikaria
kolinergik.(3) Obat ini merupakan antihistamin short-acting, dosis 10-25
mg setiap 6 jam. Hydroxyzine juga dapat dikombinasi dengan
antihistamin long-acting seperti chlorpheniramine maleate.
Chlorpheniramine atau diphenhydramine seringkali diberikan pada
wanita hamil karena lebih aman, tetapi pemberian cetirizine, loratidine,
dan mizolastine sebaiknya dihindari ( Hunter JAA, Savin JA, Dahl MV,
2009).
Antihistamin H1 yang non-klasik contohnya terfenadine, astemizole,
loratadine, dan mequitazine. Golongan ini diabsorpsi lebih cepat dan
mencapai kadar puncak dalam waktu 1-4 jam. Masa awitan lebih lambat
dan mencapai efek maksimal dalam waktu 4 jam (misalnya terfenadine),
sedangkan astemizole dalam waktu 96 jam setelah pemberian oral.
Efektivitasnya berlangsung lebih lama berbanding AH1 klasik, bahkan
astemizole masih efektif hingga 21 hari setelah pemberian dosis tunggal
secara oral. Golongan ini juga dikenal sehari-hari sebagai antihistamin
yang long-acting. Loratadine (dosis dewasa 10 mg/hari) merupakan
derivat azatadine. Cetirizine (dosis dewasa 10 mg/hari) hanya
dimetabolisme di hati dalam jumlah sedikit, dan lebih banyak
diekskresikan dalam bentuk urin. Cetirizine lebih bersifat sedatif
dibandingkan plasebo pada beberapa studi dan paling baik digunakan di
malam hari (Grattan CEh, 2009).

16
Keunggulan lain AH1 non-klasik adalah tidak mempunyai efek
sedasi karena tidak dapat menembus sawar darah otak. Di samping itu
golongan ini tidak memberi efek antikolinergik, tidak menimbulkan
potensiasi dengan alkohol, dan tidak terdapat penekanan pada SSP serta
relatif non-toksik (Aisyah S, 2009).
Obat antihistamin mampu menembus plasenta. Namun tidak ada
sumber yang dapat dipercaya yang mengatakan bahwa antihistamin
bersifat teratogenik, tetapi sebaiknya penggunaannya dihindari pada
wanita hamil, khususnya pada trimester pertama (Grattan CEH, 2009).

- Second line therapies


Doxepin adalah suatu antidepressant trisiklik dengan aktivitas
antihistamin yang kuat, dimulai dengan dosis 10-30 mg, sangat berguna
pada pasien yang sering merasa cemas di malam hari (Grattan CEH,
2009).
Pemberian kortikosteroid sistemik oral lebih efektif pada urtikaria
berat dengan pemberian prednisolon dosis tinggi yaitu 0.5-1.0
mg/kgBB/hari (Grattan CEH, 2009).
Untuk kasus darurat pada angioedema non-herediter yang
menyebabkan angioedema orofaring-laring, diberikan epinefrin.
Epinefrin bekerja secara cepat dengan menstimulasi β-adrenoreceptor
sehingga terjadi vasokonstriksi dan stabilisasi mast cell. Angioedema
pada orofaring sangat membahayakan dan harus ditangani secepatnya
dengan memberikan epinefrin (adrenalin) 0.5-1.0 mg secara
intramuskular. Pemberian dapat diulang setiap 10-15 menit, tergantung
pada tekanan darah dan nadi yang harus dipantau sampai terjadi
perbaikan klinis. Efek samping epinefrin adalah takikardi, kecemasan,
dan sakit kepala. Oleh karena itu, penggunaannya harus berhati-hati pada
pasien dengan hipertensi, penyakit serebrovaskular, penyakit jantung
iskemik dan diabetes mellitus (Grattan CE, 2008).

17
- Third line therapies
Pasien urtikaria berat yang tidak berespon dengan pemberian
antihistamin menunjukkan adanya penyebab autoimun, sehingga perlu
diberikan imunoterapi. Cyclosporine dan plasmapheresis berhasil
digunakan untuk mengobati urtikaria. Cyclosporine (3–5 mg/kgBB/hari)
sebaiknya menjadi pilihan pertama. Jika respon pasien terhadap
cyclosporine kurang, bisa diberikan immunoglobulin intravena atau
plasmapheresis (Grattan CE, 2008).
Respon angioedema herediter terhadap pengobatan konvensional untuk
urtikaria sangat kurang. Pada angioedema herediter, pemberian
kortikosteroid, antihistamin, dan norepinefrin tidak memiliki efek. Pada
serangan yang bersifat akut, diberikan plasma C1-esterase inhibitor. Jika
tidak tersedia, dapat diberikan infus dengan fresh frozen plasma 500-2000
ml. Untuk tindakan profilaksis, bisa diberikan Androgen (Danzol 200-600
mg/hari), diatur berdasarkan gambaran klinis dan inhibitor levels. C4 tidak
perlu distabilisasikan (Sterry W, Paus R, Burgdorf W, 2010).

G. KOMPLIKASI
Normalnya, urtikaria tidak menimbulkan komplikasi meskipun rasa gatal
yang ditimbulkan akan mempengaruhi aktivitas sehari-hari bahkan menyebabkan
depresi. Pada reaksi anafilaktif akut, edema pada laring merupakan komplikasi
paling serius, bisa menyebabkan asfiksia, dan edema pada trakeobronkial bisa
menyebabkan asma (Buxton PK, 2009).

H. PROGNOSIS
Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dapat
diatasi, urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit dicari (Aisyah
S, 2009).

18
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah S. Urtikaria. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: FKUI; 2005. p. 169- 75.
Brehmer E, Andersson. Acute allergic urticaria/angioedema. Dermatopathology:
A Resident's Guide. Berlin: Springer; 2006. p. 195-7.
Buxton PK. Urticaria. ABC of Dermatology. 4th ed. London: BMJ Books; 2003.
p. 38-9.
Djuanda A. Vaskulitis kutis. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: FKUI; 2005. p. 337-8. Gawkrodger DJ.
Urticaria and angioedema. Dermatology: An Illustrated Colour Text. 3rd
ed. London: Churchill Livingstone; 2003. p. 72-8.
Grattan CE, Black AK. Urticaria and angioedema. In: Bolognia JL, Jorizzo JL,
Rapini RP, editors. Dermatology. 2nd ed. New York: Mosby Elsevier; 2008.
Grattan CEH, Black AK. Urticaria and mastocytosis. In: Burns T, Breathnach S,
Cox N, Griffiths C, editors. Rook's Textbook of Dermatology. 7th ed.
Oxford: Blackwell Science; 2004. p. 47.12- 47.27.
Guyton AC, Hall JE. Urtikaria. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11th ed.
Jakarta: EGC; 2008. p. 471.
Hamzah M. Eritema multiforme. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: FKUI; 2005. p. 162.
Hunter JAA, Savin JA, Dahl MV. Reactive erythemas and vasculitis. Clinical
Dermatology. 3rd ed. Oxford: Blackwell Science; 2002. p. 94-9.
Kaplan AP. Urticaria and angioedema. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's

19
Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: McGraw- Hill Medical;
2009. p. 330-42.
Kulthanan K, Jiamton S, Boochangkool K, Jongjarearnprasert K. Clinical and
etiological aspects. [online]. 2007. [cited 2013, Feb 4]. Available from:
http://ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12639808 .
Li HH. Angioedema. [online]. 2012. [cited 2013, Feb 4]. Available from:
http://www.medscape.com/article/135208 .
Mallory SB, Bree A, Chern P. Hypersensitivity disorders/unclassified disorders.
Illustrated Manual of Pediatric Dermatology: Diagnosis and Management.
1st ed. London: Taylor & Francis; 2005. p. 179-80.
Soebaryo RW, Effendi EH, Noegrohowati T. Kelainan kulit akibat alergi
makanan. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: FKUI; 2005. p. 159.
Sterry W, Paus R, Burgdorf W. Allergic diseases. Dermatology: Thieme Clinical
Companions. 5th ed. New York: Thieme; 2006. p. 173-4.
Wiryadi BE. Dermatosis vesikobulosa kronik. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah
S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: FKUI; 2005. p.
211.

20

Anda mungkin juga menyukai