Anda di halaman 1dari 3

Asal Mula Bukit Jempol

Di kaki sebuah bukit, ada sebuah desa yang ditinggali oleh warga yang sehari-harinya
bertani, berternak dan berkebun yang tempatnya berada di bawah bukit yang indah. Mereka
hidup dengan bahagia, tenang dan tenteram, tak ada kata kekurangan di desa ini. Selain dari hasil
bertani, beternak dan berkebun, perekonomian juga ditunjang dari banyaknya wisatawan yang
mampir ke desa mendaki bukit untuk sekedar menikmati keindahan di puncak.
Hari hari mereka juga dijalani dengan penuh kebahagian, terlihat dari senyuman seorang
wanita paruh baya yang masih bersemangat mengaduh nasib dengan sebuah cangkul yang ia
bawa setiap harinya ke kebun yang lumayan jauh dari rumahnya jika ditempuh dengan hanya
berjalan kaki. Wanita itu bernama Ibu Masidah, beliau bisa dibilang tetua di desa itu, karena
umurnya juga tidak muda lagi, ia hidup dengan suaminya yang juga berumur sama dengannya
yang bernama Pak Tarman. Mereka hanya hidup berdua di sebuah gubuk yang jauh dari kata
layak untuk dihuni, tapi mereka dapat hidup dengan bahagia, mereka berdua sangatlah penting
bagi desa tersebut, karena setiap ada masalah di desa itu, para warga banyak yang meminta
bantuan kepada kedua suami istri ini, maka dari itu mereka sangat dijunjung oleh para warga
didesa itu.
Mereka berdua adalah orang-orang yang pandai agama dengan kata lain mereka adalah
orang yang taat kepada perintah Allah swt. Dan mereka juga tidak pernah meninggalkan
solatnya.
Pada suatu hari Ibu Masidah dan suaminya Pak Tarman berjalan menuju ke kebun untuk
melakukan kegiatan rutin yang selalu dilakukan oleh sepasang suami istri ini, di setiap perjalanan
menuju ke kebun, mereka selalu disapa oleh warga, karena para warga di desa tersebut sangat
menghormati mereka. Selain itu dikarenakan mereka juga sangat baik dan jiwa kekeluargaan
mereka sangatlah indah. Sesampainya di kebun, mereka langsung bersiap-siap untuk menggarap
tanah sebelum ditaburi bibit buah-buahan. Mereka berbagi pekerjaan, Pak Tarman bertugas
menggarap tanah dan Ibu Masidah bertugas menaburkan benih-benih serta menyirami bibit-bibit
itu agar tumbuh dengan subur dan sehat.
Mereka bekerja dengan penuh semangat sehingga tak terasa matahari sudah berada di
atas kepala dan adzan sudah berkumandang yang menunjukkan bahwa hari sudah siang, mereka
segera melepaskan peralatan kerja mereka di antaranya cangkul dan caping. Segera setelah
mereka selesai merapikan alat-alat kebun, mereka langsung segera pulang, seperti biasa di setiap
perjalanan, mereka selalu disapa oleh para warga-warga desa itu, dan tak jarang pula mereka
mampir untuk berbincang-bincang masalah kebun, sesampainya di rumah mereka langsung
membersihkan diri dan langsung menuju meja makan untuk menyantap makanan yang telah
disediakan oleh istrinya, setelah selesai makan mereka langsung pergi menuju kebun untuk
melakukan kegiatan berkebun lagi, mereka bekerja sampai matahari mulai tenggelam tepatnya
pada pukul 17:30 wib mereka sudah selesai melakukan pekerjaan, dan mereka langsung pulang
ke rumah untuk beristirahat.
Tidak peduli seberapa baiknya mereka, ada seorang warga yang sangat membenci Ibu
Masidah dan Pak Tarman karena tanaman yang mereka tanam selalu subur, orang itu bernama
Ibu Naning. Selama di perjalanan pulang Ibu Masidah dan suaminya, ia satu-satunya orang yang
tidak pernah menyapa mereka. Ibu Naning adalah orang yang terkenal memiliki banyak sekali
kebun, akan tetapi dari banyak kebun yang ia punya tak ada satu pun buah yang tumbuh, maka
dari itu ia sangat iri dengan Ibu Masidah dan Pak Tarman karena hasil kebun mereka sangatlah
bagus.
Di suatu malam Ibu Naning berniatan untuk mencuri dan menghancurkan semua buah
yang Ibu Masidah tanam, tepat pada pukul 01:00 WIB Ibu Naning melancarkan aksinya dia
mengenakan baju, celana, jaket dan topi yang serba hitam. Setelah ia sampai di kebun Ibu
Masidah, ia mengawasi daerah sekitarnya agar tidak ada warga yang tahu dengan aksinya.
Setelah merasa aman ia langsung melancarkan aksinya dengan sangat hati-hati ia mengambil
satu demi satu buahan yang Bu Masidah tanam. Setelah itu ia mengambil semua buahan yang
ada di kebun dan langsung menghancurkan semua sisa batang-batang dari buah-buahan tersebut
tanpa ada sisa sedikitpun dan ia tinggalkan begitu saja tanpa adanya rasa bersalah—seolah-olah
ia tak memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Keesokan harinya Ibu Masidah bangun sangat pagi untuk melakukan kegiatan
rutinitasnya seperti menyediakan makanan untuk sang suami tercinta, membersihkan rumah dan
berkebun yang ia lakukan bersama sang suami. Setelah makan bersama, mereka langsung
bersiap-siap untuk berkebun. Seperti biasa mereka selalu disapa oleh warga-warga di desa sana.
Sambil berbincang-bincang di tengah jalan tak terasa mereka sudah sampai di kebun mereka, dan
sesampainya di sana alangkah terkejutnya mereka, kebun yang mereka tinggalkan kemarin sore
dalam keadaan baik-baik saja porak poranda. Batang-batang buah berserakan di mana-mana.
“Alangkah teganya orang yang menghancurkan kebun kami ini,” pikir mereka.
Tanpa berpikir panjang mereka langsung melaporkan hal ini kepada perangkat desa dan
mereka meminta untuk membuat pertemuan/musyawarah warga di balai desa ini.
Keesokan harinya mereka berkumpul di balai desa.
“Apakah semua warga telah dikumpulkan” ucap pak Kepala Desa kepada warga.
“Sudah semua pak” kata salah satu warga.
Setelah itu Pak Kades langsung menceritakan tentang mengapa mereka dipanggil ke balai
desa.
“Maaf telah mengganggu waktu kalian. Ini sangatlah penting bagi kita, warga kita. Ibu
kita ini telah mengalami kemalangan atau musibah. Kebun yang Ibu Masidah punya telah hancur
diporak-porandakan oleh seseorang yang tidak memiliki hati,” ucap Pak Kades.
Sontak warga yang mendengar kabar buruk itu langsung terkejut.
“Apakah itu benar Bu Masidah” cetus Bu Naning, ia berlaku seolah-olah bukan ia yang
menghancurkan kebun Bu Masidah.
“Ia, Bu Naning,” Jawab bu masidah dengan nada yang lemah, karena sedari tadi Ibu
Masidah Hanya menangis.
Lalu Pak Kades berkata, “Sekarang ayo mengakulah, siapa yang membuat onar ini. Kami
tak akan menghukum jika berani mengakui, akan tetapi jika ketahuan di antara kalian yang tidak
mengaku, saya akan mengusir dia.”
“Saya tidak melakukannya.” ucap semua warga.
Suasana di sana menjadi gaduh karena tak ada satupun yang mau mengakui kesalahan
tersebut. Tiba-tiba suara keras yang datang dari suara Pak Tarman layaknya seperti suara petir
yang menyambar di tengah derasnya hujan, memecahkan suasana kegaduhan di balai desa it,
sembari menunjuk bukit itu dengan ibu jarinya.
“Jika kalian tidak ada yang mau mengakui kesalahan ini, maka saya bersumpah pada
suatu saat bukit ini, bukit yang menjadi tempat kalian mencari nafkah akan hancur
setengahnya!!” ucap Pak Tarman dengan nada tinggi dan lantang dengan raut wajah yang
memerah karena sedari tadi Pak Tarman hanya bisa menahan emosinya.
Dengan ucapan Pak Tarman tadi keadaan di balai desa tersebut menjadi tambah gaduh,
Pak Tarman meninggalkan balai desa itu dengan penuh amarah. Ia langsung menarik tangan
istrinya untuk pergi dari sana. Bu Masidah yang sedari tadi menangis hanya bisa mengikuti
ajakan suaminya, lalu mereka pun pergi meninggalkan desa itu, tak ada satupun warga desa yang
tahu kemana mereka berdua pergi.
Keesokan harinya suasana desa menjadi sangat sepi tak ada kegiatan di sana, tak ada
yang berkebun, tak ada yang keluar dari rumah dan tak ada kegiatan di atas bukit itu, karena
mereka takut dengan sumpah yang diucapkan oleh Pak Tarman. Karena doa orang yang
terzholimi adalah doa yang paling cepat Allah s.w.t kabulkan.
Satu minggu telah berlalu suasana di desa itu masih sangat sepi, tiba-tiba keadaan di desa
itu menjadi gaduh, semua orang berlarian tidak tahu kemana, Bu Naning keluar dari rumah dan
bertanya pada semua orang yang berlarian tak karuan arahnya itu, tapi tak ada satu pun jawaban
yang ia dapatkan.
Tiba-tiba ia merasa seperti ada yang bergetar pada tubuhnya, ia teringat dengan ucapan
Pak Tarman satu minggu yang lalu jikalau bukit itu akan hancur setengahnya, lalu ia berlari
kearah bukit itu, alangkah terkejutnya ia melihat bukit itu yang mulai hancur. Perlahan-lahan
reruntuhan bukit itu seolah-olah mengejar Bu Naning, ia berlari ketakutan tapi naas takdir
berkata lain dia terbawah oleh reruntuhan bukit tersebut dan ia meninggal dunia karna tertutup
reruntuhan bukit tersebut. Dan sisa reruntuhan itu berbentuk seperti ibu jari manusia.
Setelah kejadian ini bukit itu banyak dikunjungi oleh para wisatawan karena bentuknya
yang aneh, seperti ibu jari manusia atau jari Jempol, dan dikelilingi banyak sawah-sawah
penduduk yang semakin menambah keindahan dari gunung itu,

Anda mungkin juga menyukai