Anda di halaman 1dari 55

LAPORAN KASUS

ILEUS OBSTRUKSI
Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
di Departemen Ilmu Bedah
RST Dr.Soedjono Magelang

Diajukan Kepada :

Pembimbing : Kolonel CKM dr. Ahmad Rusli Budi Sp.B

Disusun Oleh :

Anggun Ayu Ning Tyas 1710221001

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Bedah

FAKULTAS KEDOKTERAN UPN ”VETERAN” JAKARTA

RST DR.SOEDJONO MAGELANG

2017
LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN

KLINIK DEPARTEMEN ILMU BEDAH

Aftercare Patient dengan judul :

ILEUS OBSTRUKSI
Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
di Departemen Ilmu Bedah
RST Dr.Soedjono Magelang

Disusun Oleh:

Anggun Ayu Ning Tyas 1710221001

Telah disetujui oleh Pembimbing:

Nama pembimbing Tanda Tangan Tanggal

Kolonel CKM dr. Ahmad Rusli Budi Sp.B ....................... .............................


BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar belakang

Ileus obstruktif merupakan penyumbatan intestinal mekanik yang terjadi karena adanya

daya mekanik yang bekerja atau mempengaruhi dinding usus sehingga menyebabkan

penyempitan/penyumbatan lumen usus. Hal tersebut menyebabkan pasase lumen usus terganggu

(Ullah et al., 2009). Obstruksi intestinal secara umum didefinisikan sebagai kegagalan isi

intestinal untuk melanjutkan perjalanannya menuju ke anus. Obstruksi Intestinal ini merujuk

pada adanya sumbatan mekanik atau nonmekanik parsial atau total dari usus besar dan usus halus

(Thompson, 2005).
BAB II

STATUS PASIEN

II.1 Identitas

Nama : Tn. Tukiman

No CM : 144557

Umur : 60 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pekerjaan : Pedagang

Alamat : Cawang, Magelang

Tanggal masuk RS : 7 November 2017

II.2 Anamnesis

Keluhan utama : Nyeri perut sejak tadi pagi.

Riwayat penyakit sekarang :

Pasien datang ke IGD RST dr. Soedjono Magelang pukul 11.30 WIB dengan
keluhan nyeri perut sejak tadi pagi, nyeri perut dirasakan terutama pada bagian bawah.
Pasien tidak bisa buang angin dan BAB, mual-muntah (+), pusing (-)

Riwayat penyakit dahulu

DM (+)
Luka tusuk abdomen (+)

Riwayat Kebiasaan

Merokok (+), Alkohol (-)

II.3 Pemeriksaan Fisik

Status generalis

Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : compos mentis

Tanda Vital : TD : 130/80 mmHg

Nadi : 110 x/menit

RR : 20 x/ menit

S : 36,0°C

SpO2 : 95%

Kepala : konjungtiva tidak anemis, Sklera tidak ikterik,

Pupil bulat, isokor Ø 3 mm

Leher : Tidak ada pembesaran KGB

Thoraks :

Cor : Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : ictus cordis teraba

Perkusi : batas jantung normal

Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur -, gallop –

Pulmo: Inspeksi : pergerakan dinding dada kanan dan kiri simetris


Palpasi : stem fremitus kiri = kanan

Perkusi : sonor di seluruh lapang paru

Auskultasi : vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

Abdomen

Inspeksi : tampak kembung

Palpasi : tegang (+), nyeri seluruh lapang perut.

Perkusi : hipertimpani

Auskultasi : bising usus (+) meningkat

Ekstremitas atas & Ekstremitas bawah : Tidak ada kelainan

II.4 Resume

Tn. Tukiman datang ke IGD RST dr.Soedjono dengan keluhan nyeri pada perut sejak tadi
pagi, nyeri terutama dirasakan di bagian bawah. Pasien mengeluhkan tidak bisa buang angin dan
BAB serta BAK. Mual- muntah kehijauan (+), pusing (-)

Dari pemeriksaan lokalis di regio abdomen terdapat nyeri tekan diseluruh lapang perut,
perut tampak kembung dan tegang disertai hipertimpani.

II.5 Asessment
Akut Abdomen Susp Ileus Obstruksi

II.6 Planning Terapi


 Pasang DC
 IVFD RL 18 tpm
 Pasang NGT
 Injeksi pantoprazole 1A
 Injeksi ondansetron 1A
 RO Abdomen 3 posisi
 Lab DL, CT/BT, HbsAg
 Injeksi cefotaxim 2 x 1 gr
 Konsul dr spesialis bedah

Laboratorium pre Op ( 7 November 2017)


Px Hasil Range
WBC 23 3,5 - 10,0
RBC 3.36 3,9 - 5,5
HGB 9.1 11,5 - 16,5
HCT 22.6 35,0 – 55
MCV 83,5 75 – 100
MCH 27.1 25 – 35
MCHC 40.3 31 – 38
RDW 12,8 11 – 16
PLT 377 100 - 400
MPV 7,7 8 – 11
PCT 0,19 0,01 - 9,99
PDW 11,1 0,1 - 99,9

Px Hasil Range
Chlorida 94,95 96.00 – 106.0
Kalium 6.290 3.480 – 5.500
Natrium 133.7 135.4-145.0

Px Hasil Range
GOT 12 0.0-37

GPT 8 0.0-41
Gula 262 70-170
Sewaktu
Urea 174 17-43
Creatinine 4.6 0.9-1.3
Hasil Foto Abdomen 3 Posisi
Hasil EKG pre 0perasi
RIWAYAT RAWAT INAP
Follow up pre-operasi (7 November 2017)
S O A P
Perut Vital Sign: Ileus obstruksi Puasa
kembung, TD: 130/80 mmHg Infus RL/DS 30
tidak HR: 110x/mnt tpm (2500 cc/24
dapat RR: 20x/mnt jam)
BAB dan S: 36,2ºC Cefotaxim 2x1
buang Ranitidine 3x1
angin Status Generalis:
KU: baik, CM
Kepala/Leher: dbn
Thorax: dbn
Abdomen: tegang (+), BU
meningkat

Status Lokalis:
Auskultasi
BU meningkat
Inspeksi
Abdomen tampak tegang
Palpasi
Tegang (+), nyeri tekan seluruh
lapang perut (+)
Perkusi
Hipertimpani
Follow up pre-operasi (8 November 2017)
S O A P
Perut Vital Sign: Ileus obstruksi Puasa
kembung, TD: 120/90 mmHg Infus RL/DS 30
tidak HR: 98x/mnt tpm (2500 cc/24
dapat RR: 20x/mnt jam)
BAB dan S: 36ºC Cefotaxim 2x1
buang Ranitidine 3x1
angin Status Generalis: Raber dr. tatag
KU: baik, CM SpPD
Kepala/Leher: dbn
Thorax: dbn
Abdomen: tegang (+), BU
meningkat

Status Lokalis:
Auskultasi
BU meningkat
Inspeksi
Abdomen tampak tegang
Palpasi
Tegang (+), nyeri tekan seluruh
lapang perut (+)
Perkusi
Hipertimpani
Follow up pre-operasi (9 November 2017)
S O A P
Perut Vital Sign: Kesan Ileus Terapi lanjut
kembung, TD: 120/80 mmHg Obstruksi Monitor
BAB 1x HR: 95x/mnt Total input/output
sedikit RR: 20x/mnt
dan cair S: 36ºC

Status Generalis:
KU: baik, CM
Kepala/Leher: dbn
Thorax: dbn
Abdomen: tegang (+), BU
meningkat

Status Lokalis:
Auskultasi
BU meningkat
Inspeksi
Abdomen tampak tegang
Palpasi
Tegang (+), nyeri tekan seluruh
lapang perut (+)
Perkusi
Hipertimpani

Follow up pre-operasi (10 November 2017)


S O A P
Perut Vital Sign: Ileus Infus NaCl 30
kembung, TD: 150/90 mmHg Obstruksi tpm (2500 cc/ 24
sulit BAB HR: 120x/mnt Total jam)
dan RR: 20x/mnt Cefotaxim 2x1
buang S: 36ºC DM 2 Ranitidine 3x 1
angin Rencana operasi
Status Generalis: cito hari ini
KU: baik, CM
Kepala/Leher: dbn
Thorax: dbn
Abdomen: tegang (+), BU
meningkat

Status Lokalis:
Auskultasi
BU meningkat
Inspeksi
Abdomen tampak tegang
Palpasi
Tegang (+), nyeri tekan seluruh
lapang perut (+)
Perkusi
Hipertimpani

Laporan operasi (10 November 2017)


1. Dilakukan tindakan asepsis antisepsik
2. Incici kutis, subkutis dan fascia
3. Ditemukan ileus distensi dengan adhesi hebat di semua volvulus ileum
4. Ditemukan perforasi pada ileum 50 cm dari ligament treitz
5. Dilakukan reseksi dan anastomosis ileum end to end
6. Dilakukan cuci abdomen
7. Luka dijahit lapis demi lapis
8. Operasi selesai

Intruksi post operasi


1. Infus RL 30 tpm (2500 cc/24 jam)
2. Cefotaxim 2x1 gr
3. Ketorolac 3x1
4. Metronidazole 3x500 iv
5. Ranitidine 3x1 A
6. Puasa
7. Monitor input/output

Follow up post-operasi (10 November 2017)


S O A P
Luka Vital Sign: Post Infus RL 30 tpm
operasi TD: 150/90 mmHg laparotomy + Cefotaxim 2x1 gr
abdomen HR: 120x/mnt sepsis Ketorolac 3x1
RR: 20x/mnt Metronidazole
S: 36ºC DM 2 3x500 iv
Ranitidine 3x1 A
Status Generalis: Puasa
KU: baik, CM Monitor
Kepala/Leher: dbn input/output
Thorax: dbn Cek lab
Abdomen: BU (+), DL,Elektrolit,
GDS
Status Lokalis:
Auskultasi
BU (+)
Inspeksi
Luka post op laparatomi (+),
rembesan darah/ pus (-)
Palpasi
Tegang (+)
Perkusi
Timpani (+)

Laboratorium post Op ( 10 November 2017)


Px Hasil Range
WBC 17,8 3,5 - 10,0
RBC 2.77 3,9 - 5,5
HGB 7.3 11,5 - 16,5
HCT 20.4 35,0 – 55
MCV 73.6 75 – 100
MCH 26.5 25 – 35
MCHC 35.9 31 – 38
RDW 15.2 11 – 16
PLT 360 100 – 400
MPV 7.5 8 – 11
PCT 0,27 0,01 - 9,99
PDW 10.8 0,1 - 99,9

Px Hasil Range
Chlorida 96.05 96.00 – 106.0
Kalium 4.410 3.480 – 5.500
Natrium 132.6 135.4-145.0
GDS 116 70-170

Follow up post-operasi (11 November 2017)


S O A P
Luka Vital Sign: H+1 Post Infus RL : Kaen
operasi TD: 120/90 mmHg laparotomy + 3B (2500 cc/24
abdomen HR: 105x/mnt sepsis jam) 30 tpm
(+), RR: 20x/mnt Cefotaxim dan
mual- S: 36ºC DM 2 metronidazole
muntah stop
(+) Status Generalis: Meropenem 2x1
KU: baik, CM gr
Kepala/Leher: dbn Ranitidine 3x1
Thorax: dbn Lansoprazole 2x1
Abdomen: BU (+), Ketorolac 3x1
Transfusi
Status Lokalis: Minum pake
Auskultasi sendok
BU (+)
Inspeksi
Luka post op laparatomi (+),
rembesan darah/ pus (-)
Palpasi
Tegang (+)
Perkusi
Timpani (+)

Follow up post-operasi (12 November 2017)


S O A P
Luka Vital Sign: H+2 Post Aminofluid 500
operasi TD: 130/90 mmHg laparotomy + Kaen 3B 500 +
abdomen, HR: 105x/mnt eksplorasi di RL 1500 (2500 =
mual- RR: 20x/mnt volvulus + 30 tpm)
muntah S: 36ºC reseksi dan Terapi lanjutkan
(+), BAB anastomosis +
2x Status Generalis: sepsis +
KU: baik, CM hipokalemia +
Kepala/Leher: dbn hiponatremia
Thorax: dbn + anemia
Abdomen: BU (+), gravis

Status Lokalis: DM 2
Auskultasi
BU (+)
Inspeksi
Luka post op laparatomi (+),
rembesan darah/ pus (-)
Palpasi
Tegang (+)
Perkusi
Timpani (+)

Laboratorium post Op ( 12 November 2017)


Px Hasil Range
WBC 20.6 3,5 - 10,0
RBC 4.27 3,9 - 5,5
HGB 10 11,5 - 16,5
HCT 34,2 35,0 – 55
MCV 80 75 – 100
MCH 23.7 25 – 35
MCHC 29.5 31 – 38
RDW 13.2 11 – 16
PLT 505 100 – 400
MPV 7.4 8 – 11
PCT 0,37 0,01 - 9,99
PDW 16 0,1 - 99,9

Follow up post-operasi (13 November 2017)


S O A P
Luka Vital Sign: H+3 Post Aminofluid 500
operasi TD: 130/90 mmHg laparotomy + Kaen 3B 500 +
abdomen, HR: 105x/mnt eksplorasi di RL 1500 (2500 =
mual- RR: 20x/mnt volvulus + 30 tpm)
muntah S: 36ºC sepsis + Terapi lanjutkan
(+), BAB NGT di klem
(+) Status Generalis: DM 2 Diet cair 6x50 cc
KU: baik, CM
Kepala/Leher: dbn
Thorax: dbn
Abdomen: BU (+),

Status Lokalis:
Auskultasi
BU (+)
Inspeksi
Luka post op laparatomi (+),
rembesan darah/ pus (-)
Palpasi
Tegang (+)
Perkusi
Timpani (+)

Follow up post-operasi (14 November 2017)


S O A P
Luka Vital Sign: H+3 Post Aminofluid 500
operasi TD: 157/88 mmHg laparotomy + Kaen 3B 500 +
abdomen, HR: 98x/mnt eksplorasi di RL 1500 (2500 =
mual- RR: 18x/mnt volvulus + 30 tpm)
muntah S: 36,8ºC sepsis + Terapi lanjutkan
(+), BAB Anemia Diet cair 3x50 cc
(+) Status Generalis:
KU: baik, CM DM 2
Kepala/Leher: dbn
Thorax: dbn
Abdomen: BU (+),

Status Lokalis:
Auskultasi
BU (+)
Inspeksi
Cembung (+) Luka post op
laparatomi (+), rembesan darah/
pus (-)
Palpasi
Tegang (+)
Perkusi
Timpani (+)

Follow up post-operasi (15 November 2017)


S O A P
Luka Vital Sign: H+4 Post Terapi lanjutkan
operasi TD: 126/76 mmHg laparotomy Diet cair 3x50 cc
abdomen, HR: 89x/mnt eksplorasi di Cek darah rutin
mual- RR: 18x/mnt volvulus + Monitor input
muntah S: 36,8ºC sepsis + output
(+), BAB Anemia
(+), flatus Status Generalis:
(+) KU: baik, CM DM 2
Kepala/Leher: dbn
Thorax: dbn
Abdomen: BU (+),
Status Lokalis:
Auskultasi
BU (+)
Inspeksi
Cembung (+) Luka post op
laparatomi (+), rembesan darah/
pus (+) bau (+)
Palpasi
Tegang (+)
Perkusi
Timpani (+)

Laboratorium post Op ( 15 November 2017)


Px Hasil Range
WBC 15.8 3,5 - 10,0
RBC 4.58 3,9 - 5,5
HGB 10 11,5 - 16,5
HCT 37.5 35,0 – 55
MCV 80 75 – 100
MCH 21.8 25 – 35
MCHC 26.7 31 – 38
RDW 13.2 11 – 16
PLT 538 100 – 400
MPV 7.8 8 – 11
PCT 0,42 0,01 - 9,99
PDW 16 0,1 - 99,9

Follow up post-operasi (16 November 2017)


S O A P
Luka Vital Sign: H+5 Post Terapi lanjutkan
operasi TD: 110/60 mmHg laparotomy
abdomen, HR: 81x/mnt eksplorasi di
mual- RR: 18x/mnt volvulus +
muntah S: 36,8ºC sepsis +
(+), BAB Anemia
(+), flatus Status Generalis:
(+) KU: lemah, CM DM 2
Kepala/Leher: dbn
Thorax: dbn
Abdomen: BU (+),

Status Lokalis:
Auskultasi
BU (+)
Inspeksi
Cembung (+) Luka post op
laparatomi (+), rembesan darah/
pus (-)
Palpasi
Tegang (+)
Perkusi
Timpani (+)

Follow up post-operasi (17 November 2017)


S O A P
Luka Vital Sign: H+6 Post Terapi lanjutkan
operasi TD: 107/66 mmHg laparotomy
abdomen, HR: 95x/mnt eksplorasi di
mual- RR: 18x/mnt volvulus +
muntah S: 37.8ºC sepsis +
(+), BAB Anemia
(+) Status Generalis:
kehitama KU: lemah, CM DM 2
n, flatus Kepala/Leher: dbn
(+), Thorax: dbn
lemas (+) Abdomen: BU (+),

Status Lokalis:
Auskultasi
BU (+)
Inspeksi
Cembung (+) Luka post op
laparatomi (+), rembesan darah/
pus (-)
Palpasi
Tegang (+)
Perkusi
Timpani (+)

Follow up post-operasi (18 November 2017)


S O A P
Luka Vital Sign: H+7 Post Terapi lanjutkan
operasi TD: 128/76 mmHg laparotomy Cek albumin
abdomen, HR: 103x/mnt eksplorasi di
mual- RR: 18x/mnt volvulus +
muntah S: 36ºC sepsis +
(+), BAB Anemia
(+) Status Generalis:
kehitama KU: lemah, CM DM 2
n, flatus Kepala/Leher: dbn
(+), Thorax: dbn
lemas (+) Abdomen: BU (+),

Status Lokalis:
Auskultasi
BU (+)
Inspeksi
Cembung (+) Luka post op
laparatomi (+), rembesan darah/
pus (-)
Palpasi
Tegang (+)
Perkusi
Timpani (+)

Follow up post-operasi (19 November 2017)


S O A P
Luka Vital Sign: H+8 Post Terapi lanjutkan
operasi TD: 128/76 mmHg laparotomy
abdomen, HR: 103x/mnt eksplorasi di
mual- RR: 18x/mnt volvulus +
muntah S: 36ºC sepsis +
(+), BAB Anemia
(+) Status Generalis:
kehitama KU: lemah, CM DM 2
n, flatus Kepala/Leher: dbn
(+), Thorax: dbn
lemas (+) Abdomen: BU (+),

Status Lokalis:
Auskultasi
BU (+)
Inspeksi
Cembung (+) Luka post op
laparatomi (+), rembesan darah/
pus (-)
Palpasi
Tegang (+)
Perkusi
Timpani (+)

Follow up post-operasi (20 November 2017)

S O A P
Luka Vital Sign: H+9 Post Ganti verban tiap
operasi TD: 137/80 mmHg laparotomy hari
abdomen, HR: 86x/mnt eksplorasi di Meropenem stop
mual- RR: 22x/mnt volvulus + Levofloxacin 1x
muntah S: 36ºC sepsis 750 mg
(+), BAB Gentamicin 2x80
(+) Status Generalis: DM 2 mg
kehijauan KU: lemah, CM Ketorolac stop
, flatus Kepala/Leher: dbn Alinamin 3x1 A
(+), Thorax: dbn Lansoprazole 2x1
lemas (+) Abdomen: BU (+), Novorapid 3x14
unit
Status Lokalis: Ondansetron kp
Auskultasi Parasetamol kp
BU (+) Pindah ruang dari
Inspeksi ICU-Cempaka
Cembung (+) Luka post op
laparatomi (+), rembesan darah/
pus (-)
Palpasi
Tegang (+)
Perkusi
Timpani (+)
Follow up post-operasi (21 November 2017)

S O A P
Luka Vital Sign: H+10 Post Terapi lanjutkan
operasi TD: 140/70 mmHg laparotomy
abdomen, HR: 108x/mnt eksplorasi di
mual- RR: 22x/mnt volvulus +
muntah S: 37,2ºC sepsis
(+), BAB
(+) Status Generalis: DM 2
kehijauan KU:baik, CM
, flatus Kepala/Leher: dbn
(+), Thorax: dbn
Abdomen: BU (+),

Status Lokalis:
Auskultasi
BU (+)
Inspeksi
Cembung (+) Luka post op
laparatomi (+), rembesan darah/
pus (-)
Palpasi
Tegang (+)
Perkusi
Timpani (+)
Follow up post-operasi (22 November 2017)

S O A P
Luka Vital Sign: H+11 Post Terapi lanjutkan
operasi TD: 140/70 mmHg laparotomy
abdomen, HR: 96x/mnt eksplorasi di
mual- RR: 20x/mnt volvulus +
muntah S: 36ºC sepsis
(+), BAB
(+) Status Generalis: DM 2
kehijauan KU:baik, CM
, flatus Kepala/Leher: dbn
(+), Thorax: dbn
Abdomen: BU (+),

Status Lokalis:
Auskultasi
BU (+)
Inspeksi
Cembung (+) Luka post op
laparatomi (+), rembesan darah/
pus (-)
Palpasi
Tegang (+)
Perkusi
Timpani (+)
Follow up post-operasi (23 November 2017)

S O A P
Luka Vital Sign: H+12 Post Terapi lanjutkan
operasi TD: 140/70 mmHg laparotomy Rujuk ke RSPAL
abdomen, HR: 96x/mnt eksplorasi di Harjolukito
mual- RR: 20x/mnt volvulus +
muntah S: 36ºC sepsis
(+), BAB
(+) Status Generalis: DM 2
kehijauan KU:baik, CM
, flatus Kepala/Leher: dbn
(+), Thorax: dbn
Abdomen: BU (+),

Status Lokalis:
Auskultasi
BU (+)
Inspeksi
Cembung (+) Luka post op
laparatomi (+), rembesan darah/
pus (-)
Palpasi
Tegang (+)
Perkusi
Timpani (+)
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

III.1 Definisi

Ileus obstruktif merupakan penyumbatan intestinal mekanik yang terjadi karena

adanya daya mekanik yang bekerja atau mempengaruhi dinding usus sehingga

menyebabkan penyempitan/penyumbatan lumen usus. Hal tersebut menyebabkan pasase

lumen usus terganggu (Ullah et al., 2009). Obstruksi intestinal secara umum didefinisikan

sebagai kegagalan isi intestinal untuk melanjutkan perjalanannya menuju ke anus.


Obstruksi Intestinal ini merujuk pada adanya sumbatan mekanik atau nonmekanik parsial

atau total dari usus besar dan usus halus (Thompson, 2005).

III.2 Anatomi

Usus halus berbentuk tubuler, dengan prakiraan panjang sekitar 6 meter pada

orang dewasa, yang terbagi atas tiga segmen yaitu duodenum, jejunum, dan ileum.

Duodenum, merupakan segmen yang paling proksimal, terletak retroperitoneal

berbatasan dengan kaput dan batas inferior dari korpus pankreas.

Doudenum dipisahkan dari gaster oleh adanya pylorus dan dari jejunum oleh

batas Ligamentum Treitz. Jejunum dan ileum terletak di intraperitoneal dan bertambat ke

retroperitoneal melalui mesenterikum. Tak ada batas anatomi yang jelas untuk

membedakan antara Jejunum dan Ileum; 40% panjang dari jejunoileal diyakini sebagai

Jejunum dan 60% sisanya sebagai Ileum. Ileum berbatasan dengan sekum di katup

ileosekal (Whang et al., 2005)

Usus halus terdiri atas lipatan mukosa yang disebut plika sirkularis atau valvula

conniventes yang dapat terlihat dengan mata telanjang. Lipatan ini juga terlihat secara

radiografi dan membantu untuk membedakan antara usus halus dan kolon. Lipatan ini

akan terlihat lebih jelas pada bagian proksimal usus halus daripada bagian distal. Hal lain

yang juga dapat digunakan untuk membedakan bagian proksimal dan distal usus halus

ialah sirkumferensial yang lebih besar, dinding yang lebih tebal, lemak mesenterial yang

lebih sedikit dan vasa rekta yang lebih panjang. Pemeriksaan makroskopis dari usus halus

juga didapatkan adanya folikel limfoid. Folikel tersebut, berlokasi di ileum, juga disebut

sebagai Peyer Patches. (Whang et al., 2005)


Usus besar terdapat diantara anus dan ujung terminal ileum. Usus besar terdiri atas

segmen awal (sekum), dan kolom asendens, transversum, desendens, sigmoid, rectum dan anus.

Sisa makanan dan yang tidak tercerna dan tidak diabsorpsi di dalam usus halus didorong ke

dalam usus besar oleh gerak peristaltik kuat otot muskularis eksterna usus halus. Residu yang

memasuki usus besar itu berbentuk semi cair; saat mencapai bagian akhir usus besar, residu ini

telah menjadi semi solid sebagaimana feses umumnya. Meskipun terdapat di usus halus, sel-sel

goblet pada epitel usus besar jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang di usus halus. Sel

goblet ini juga bertambah dari bagian sekum ke kolon sigmoid. Usus besar tidak memiliki plika

sirkularis maupun vili intestinales, dan kelenjar usus/intestinal terletak lebih dalam

daripada usus halus (Eroschenko, 2003).


Suplai Vaskuler

Pada usus halus, A. Mesenterika Superior merupakan cabang dari Aorta tepat dibawah A.

Soeliaka. Arteri ini mendarahi seluruh usus halus kecuali Duodenum yang sebagian atasnya

diperdarahi oleh A. Pankreotikoduodenalis Superior, suatu cabang dari A. Gastroduodenalis.

Sedangkan separuh bawah Duodenum diperdarahi oleh A. Pankreotikoduodenalis Inferior, suatu

cabang A. Mesenterika Superior.

Pembuluh - pembuluh darah yang memperdarahi Jejunum dan Ileum ini beranastomosis satu

sama lain untuk membentuk serangkaian arkade. Bagian Ileum yang terbawah juga diperdarahi

oleh A. Ileocolica. Darah dikembalikan lewat V. Messentericus Superior yang menyatu dengan

V. lienalis membentuk vena porta. (Price, 2003).

Pada usus besar, A. Mesenterika Superior memperdarahi belahan bagian kanan (sekum,

kolon ascendens, dan dua pertiga proksimal kolon transversum) : (1) ileokolika, (2) kolika

dekstra, (3) kolika media, dan arteria mesenterika inferior memperdarahi bagian kiri (sepertiga
distal kolon transversum, kolon descendens dan sigmoid, dan bagian proksimal rektum) : (1)

kolika sinistra, (2) sigmoidalis, (3) rektalis superior (Whang et al., 2005).

Pembuluh limfe

Pembuluh limfe duodenum mengikuti arteri dan mengalirkan cairan limfe; 1. Ke atas

melalui nodi lymphatici pancreoticoduodenalis ke nodi lymphatici gastroduodenalis dan

kemudian ke nodi lymphatici coeliacus dan 2. ke bawah, melalui nodi lymphatici

pancreoticoduodenalis ke nodi lyphatici mesentericus superior sekitar pangkal arteri mesenterica

superior. Pembuluh limfe jejunum dan ileum berjalan melalui banyak nodi lymphatici

mesentericus dan akhirnya mencapai nodi lymphatici mesentericus suprior, yang terletak sekitar

pangkal arteri mesentericus superior. Pembuluh limfe sekum berjalan melewati banyak nodi

lymphatici mesentericus dan akhirnya mencapai nodi lymphatici msentericus superior. Pembuluh

limfe untuk kolon mengalirkan cairan limfe ke kelenjar limfe yang terletak di sepanjang

perjalanan arteri vena kolika. Untuk kolon ascendens dan dua pertiga dari kolon transversum

cairan limfenya akan masuk ke nodi limphatici

mesentericus superior, sedangkan yang berasal dari sepertiga distal kolon transversum dan kolon

descendens akan masuk ke nodi limphatici mesentericus inferior (Snell, 2004).

Persarafan

Saraf - saraf duodenum berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis (vagus) dari pleksus

mesentericus superior dan pleksus coeliacus. Saraf untuk jejunum dan ileum berasal dari saraf

simpatis dan parasimpatis (nervus vagus) dari pleksus mesentericus superior (Snell, 2004).
Rangsangan parasimpatis merangasang aktivitas sekresi dan pergerakan, sedangkan rangsangan

simpatis menghambat pergerakan usus. Serabut - serabut sensorik sistem simpatis

menghantarkan nyeri, sedangkan serabut - serabut parasimpatis mengatur refleks usus. Suplai

saraf intrinsik, yang menimbulkan fungsi motorik, berjalan melalui pleksus Auerbach yang

terletak dalam lapisan muskularis, dan pleksus Meissner di lapisan submukosa (Price, 2003).

Persarafan usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom dengan pengecualian pada

sfingter eksterna yang berada dibawah kontrol voluntary (Price, 2003). Sekum, appendiks dan

kolon ascendens dipersarafi oleh serabut saraf simpatis dan parasimpatis nervus vagus dari

pleksus saraf mesentericus superior. Pada kolon transversum dipersarafi oleh saraf simpatis

nervus vagus dan saraf parasimpatis nervus pelvikus. Serabut simpatis berjalan dari pleksus

mesentericus superior dan inferior. Serabut - serabut nervus vagus hanya mempersarafi dua

pertiga proksimal kolon transversum; sepertiga distal dipersarafi oleh saraf parasimpatis nervus

pelvikus. Sedangkan pada kolon descendens dipersarafi serabut - serabut simpatis dari pleksus

saraf mesentericus inferior dan saraf parasimpatis nervus pelvikus (Snell, 2004).

Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan sekresi dan kontraksi,

serta perangsangan sfingter rektum, sedangkan perangsangan parasimpatis mempunyai efek

berlawanan. (Price, 2003).

III.3 Etiologi

Ileus obstruktif sering dijumpai dan merupakan penyebab terbesar pembedahan pada akut

abdomen. Hal ini terjadi ketika udara dan hasil sekresi tak dapat melewati lumen intestinal

karena adanya sumbatan yang menghalangi.


Obstruksi mekanik dari lumen intestinal biasanya disebabkan oleh tiga mekanisme ; 1.

blokade intralumen (obturasi), 2. intramural atau lesi intrinsic dari dinding usus, dan 3. kompresi

lumen atau konstriksi akibat lesi ekstrinsik dari intestinal. Berbagai kondisi yang menyebabkan

terjadinya obstruksi intestinal biasanya terjadi melalui satu mekanisme utama. Satu pertiga dari

seluruh pasien yang mengalami ileus obstruktif, ternyata dijumpai lebih dari satu faktor etiologi

yang ditemukan saat dilakukan operasi. (Thompson, 2005)

III.4 Patofisiologi

Respon Usus Halus Terhadap Obstruksi

Normalnya, sekitar 2 L asupan cairan dan 8 L sekresi dari gaster, intestinal dan

pankreaticobilier ditansfer ke intestinal setiap harinya. Meskipun aliran cairan menuju ke


intestinal bagian proksimal, sebagian besar cairan ini akan diabsorbsi di intestinal bagian distal

dan kolon. Ileus obstruktif terjadi akibat akumulasi cairan intestinal di proksimal daerah

obstruksi disebabkan karena adanya gangguan mekanisme absorbsi normal proksimal daerah

obstruksi serta kegagalan isi lumen untuk mencapai daerah distal dari obstruksi.

Akumulasi cairan intralumen proksimal daerah obstruksi terjadi dalam beberapa jam dan

akibat beberapa faktor. Asupan cairan dan sekresi lumen yang terus bertambah terkumpul dalam

intestinal. Aliran darah meningkat ke daerah intestinal segera setelah terjadinya obstruksi,

terutama di daerah proksimal lesi, yang akhirnya akan meningkatkan sekresi intestinal. Hal ini

bertujuan untuk menurunkan kepekaan vasa splanknik pada daerah obstruksi terhadap mediator

vasoaktif. Pengguyuran cairan intravena juga meningkatkan volume cairan intralumen. Sekresi

cairan ke dalam lumen terjadi karena kerusakan mekanisme absorpsi dan sekresi normal.

Distensi lumen menyebabkan terjadinya kongestif vena, edema intralumen, dan iskemia.

Gas intestinal juga mengalami akumulasi saat terjadinya ileus obstruktif. Sebagian kecil

dihasilkan melalui netralisasi bikarbonat atau dari metabolism bakteri. Gas di Intestinal terdiri

atas Nitrogen (70%), Oksigen (12%), dan Karbon Dioksida (8%), yang komposisinya mirip

dengan udara bebas. Hanya karbon dioksida yang memiliki cukup tekanan parsial untuk

berdifusi dari lumen. Intestinal, normalnya, berusaha untuk membebaskan obstruksi mekanik

dengan cara meningkatkan peristaltik. Periode yang terjadi ialah berturut-turut: terjadinya

hiperperistaltik, intermittent quiescent interval, dan pada tingkat akhir terjadi ileus. Bagian distal

obstruksi segera menjadi kurang aktif. Obstruksi mekanik yang berkepanjangan menyebabkan

penurunan dari frekuensi gelombang - lambat dan kerusakan aktivitas gelombang spike, namun

intestinal masih memberikan respon terhadap rangsangan.


Ileus dapat terus menetap bahkan setelah obstruksi mekanik terbebaskan. Tekanan

intralumen meningkat sekitar 20 cmH2O, sehingga menyebabkan aliran cairan dari lumen ke

pembuluh darah berkurang dan sebaliknya aliran dari pembuluh darah ke lumen meningkat.

Perubahan yang serupa juga terjadi pada absorbsi dan sekresi dari Natrium dan Khlorida.

Namun, peningkatan tekanan intralumen tidak selalu terjadi dan mungkin terdapat

mekanisme lain yang menyebabkan perubahan pada mekanisme sekresi. Peningkatan sekresi

juga dipengaruhi oleh hormon gastrointestinal, seperti peningkatan sirkulasi vasoaktif intestinal

polipeptida, prostaglandin, atau endotoksin.

Peningkatan volume intralumen menyebabkan terjadinya distensi intestinal di bagian

proksimal obstruksi, yang bermanifestasi pada mual dan muntah. Proses obstruksi yang

berlanjut, kerusakan progresif dari proses absorbsi dan sekresi semakin ke proksimal.

Selanjutnya, obstruksi mekanik ini mengarah pada peningkatan defisit cairan intravaskular yang

disebabkan oleh terjadinya muntah, akumulasi cairan intralumen, edema intramural, dan

transudasi cairan intraperitoneal. Pemasangan nasogastric tube malah memperparah terjadinya

defisit cairan melalui external loss.

Hipokalemia, hipokhloremia, alkalosis metabolik merupakan komplikasi yang sering dari

obstruksi letak tinggi. Hipovolemia yang tak dikoreksi dapat mengakibatkan terjadinya

insufisiensi renal, syok, dan kematian. Stagnasi isi intestinal dapat memfasilitasi terjadinya

proliferasi bakteri. Bakteri Aerob dan Anaerob berkembang pada daerah obstruksi. Koloni

berlebihan dari bakteri dapat merangsang absorbtif dan fungsi motorik dari intestinal dan

menyebabkan terjadinya translokasi bakteri dan komplikasi sepsis.

Obstruksi Gelung Tertutup


Terjadi saat obstruksi terdapat di dua tempat. Volvulus merupakan sebab yang paling

sering dan dapat juga menyebabkan terjadinya perputaran mesenterium. Obstruksi di bagian

distal dari usus besar juga dapat menyebabkan terjadinya closed loop obstruction jika katup

ileocekal masih tersisa. Saat tekanan intralumen di segmen obstruksi meningkat, sekresi cairan

ke dalam lumen meningkat sementara absorbsinya menurun. Kepentingan klinis yang mungkin

terjadi akibat fenomena ini ialah meningkatnya resiko kejadian strangulasi. Distensi pada

obstruksi gelung tertutup terjadi sangat cepat sehingga biasanya strangulasi terjadi lebih dahulu

bahkan sebelum gejala klinis dari obstruksi tampak jelas.

Obstruksi Parsial Intestinal

Pada obstruksi parsial, lumen tak sepenuhnya tersumbat. Adhesi merupakan penyebab

tersering dari gangguan ini dan jarang sekali mengakibatkan terjadinya strangulasi. Obstruksi

parsial kronis dapat menyebabkan terjadinya penebalan dinding intestinal akibat hipertrofi otot.

Perpanjangan waktu kontraksi dan peningkatan kelompok kontraksi merupakan

karakteristik yang dapat ditemukan. Kelainan motoris ini dan kemungkinan berhubungan dengan

pertumbuhan bakteri dapat menyebabkan terjadinya malabsorbsi, distensi dan diare sekretorik.

Obstruksi kolon

Patofisiologi terjadinya obstruksi pada kolon berbeda dengan intestinal. Kolon khususnya

yang bagian distal memiliki kemampuan yang terbatas pada absorbsi. Akumulasi Cairan dan gas

di kolon terjadi lebih lambat karena posisinya yang berada paling distal dari saluran pencernaan
dan karena sebagian besar cairan telah diabsorbsi di usus halus. Distensi yang terjadi secara

perlahan ini memungkinkan kolon untuk beradaptasi dan dekompresi dapat terjadi karena katup

ileocecal yang inkompeten. Seperti disebutkan sebelumnya, katup ileocecal yang kompeten dapat

menyebabkan terjadinya closed loop obstruction. Dilatasi cecal dan penipisan dinding cecum

akibat penambahan diameter dapat meningkatkan resiko terjadinya rupture.

Rupture dapat disebabkan oleh iskemia yang terjadi pada dinding kolon, diastasis dari

lapisan otot, ataupun karena invasi bakteri di dinding kolon. Obstruksi kolon berakibat pada
motilitas abnormal namun tidak hiperperistaltik.

III.5 Klasifikasi

Berdasarkan penyebabnya ileus obstruktif dibedakan menjadi tiga kelompok (Yates,

2004) :

a. Lesi-lesi intraluminal, misalnya fekalit, benda asing, bezoar, batu empedu.


b. Lesi-lesi intramural, misalnya malignansi atau inflamasi.

c. Lesi-lesi ekstramural, misalnya adhesi, hernia, volvulus atau intususepsi.

Ileus obstruktif dibagi lagi menjadi tiga jenis dasar (Sjamsuhidajat & Jong, 2005):

1. Ileus obstruktif sederhana, dimana obstruksi tidak disertai dengan terjepitnya pembuluh

darah.

2. Ileus obstruktif strangulasi, dimana obstruksi yang disertai adanya penjepitan pembuluh

darah sehingga terjadi iskemia yang akan berakhir dengan nekrosis atau gangren yang

ditandai dengan gejala umum berat yang disebabkan oleh toksin dari jaringan gangren.

3. Ileus obstruktif jenis gelung tertutup, dimana terjadi bila jalan masuk dan keluar suatu

gelung usus tersumbat, dimana paling sedikit terdapat dua tempat obstruksi.

Untuk keperluan klinis dan berdasarkan letak sumbatan, ileus obstruktif dibagi dua (Ullah et

al., 2009):

1. Ileus obstruktif usus halus, yaitu obstruksi letak tinggi dimana mengenai duodenum,

jejunum dan ileum

2. Ileus obstruktif usus besar, yaitu obstruksi letak rendah yang mengenai kolon,sigmoid

dan rectum.

III.6 Manifestasi Klinis

Terdapat 4 tanda kardinal gejala ileus obstruktif :

1. Nyeri abdomen

2. Muntah
3. Distensi

4. Kegagalan buang air besar atau gas (konstipasi).

Gejala ileus obstruktif tersebut bervariasi tergantung kepada:

1. Lokasi obstruksi

2. Lamanya obstruksi

3. Penyebabnya

4. Ada atau tidaknya iskemia usus (Ullah et al., 2009)

Gejala utama dari obstruksi ialah nyeri kolik, mual dan muntah dan obstipasi. Adanya

flatus atau feses selama 6-12 jam setelah gejala merupakan ciri khas dari obstruksi parsial.

Nyeri kram abdomen bisa merupakan gejala penyerta yang berhubungan dengan

hipermotilitas intestinal proksimal daerah obstruksi. Nyerinya menyebar dan jarang

terlokalisir, namun sering dikeluhkan nyeri pada bagian tengah abdomen. Saat peristaltik

menjadi intermiten, nyeri kolik juga menyertai. Saat nyeri menetap dan terus menerus kita

harus mencurigai telah terjadi strangulasi dan infark. (Whang et al., 2005)

Tanda-tanda obstruksi usus halus juga termasuk distensi abdomen yang akan sangat

terlihat pada obstruksi usus halus bagian distal ileum, atau distensi bisa tak terjadi bila

obstruksi terjadi di bagian proksimal usus halus, dan peningkatan bising usus. Hasil

laboratorium terlihat penurunan volume intravaskuler, adanya hemokonsentrasi dan

abnormalitas elektrolit. Mungkin didapatkan leukositosis ringan. Muntah terjadi setelah

terjadi obstruksi lumen intestinal dan menjadi lebih sering saat telah terjadi akumulasi cairan

di lumen intestinal. Derajat muntah linear dengan tingkat obstruksi, menjadi tanda yang lebih
sering ditemukan pada obstruksi letak tinggi. Obstruksi letak tinggi juga ditandai dengan

bilios vomiting dan letak rendah muntah lebih bersifat malodorus. (Thompson, 2005).

Kegagalan untuk defekasi dan flatus merupakan tanda yang penting untuk membedakan

terjadinya obstruksi komplit atau parsial. Defekasi masih terjadi pada obstruksi letak tinggi

karena perjalan isi lumen di bawah daerah obstruksi. Diare yang terus menerus dapat juga

menjadi tanda adanya obstruksi partial.

Tanda-tanda pada pemeriksaan fisik dapat saja normal pada awalnya, namun distensi

akan segera terjadi, terutama pada obstruksi letak rendah. Tanda awal yang muncul ialah

penderita segera mengalami dehidrasi. Massa yang teraba dapat di diagnosis banding dengan

keganasan, abses, ataupun strangulasi.

Auskultasi digunakan untuk membedakan pasien menjadi tiga kategori : loud, high pitch

dengan burst ataupun rushes yang merupakan tanda awal terjadinya obstruksi mekanik. Saat

bising usus tak terdengar dapat diartikan bahwa obstruksi telah berlangsung lama, ileus

paralitik atau terjadinya infark. Seiring waktu, dehidrasi menjadi lebih berat dan tanda-tanda

strangulasi mulai tampak.

Pemeriksaan lipat paha untuk mengetahui adanya hernia serta rectal toucher untuk

mengetahui adanya darah atau massa di rectum harus selalu dilakukan. Tanda-tanda

terjadinya strangulasi seperi nyeri terus menerus, demam, takikardia, dan nyeri tekan bisa tak

terdeteksi pada 10-15% pasien sehingga menyebabkan diagnosis strangulasi menjadi sulit

untuk ditegakkan. Pada obstruksi karena strangulasi bisa terdapat takikardia, nyeri tekan

lokal, demam, leukositosis dan asidosis. Level serum dari amylase, lipase, lactate

dehidrogenase, fosfat, dan potassium mungkin meningkat. Penting dicatat bahwa parameter
ini tak dapat digunakan untuk membedakan antara obstruksi sederhana dan strangulasi

sebelum terjadinya iskemia irreversible.

III.7 Diagnosis

Diagnosis ileus obstruktif tidak sulit; salah satu yang hampir selalu harus ditegakkan atas

dasar klinik dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, kepercayaan atas pemeriksaan radiologi

dan pemeriksaan laboraorium harus dilihat sebagai konfirmasi dan bukan menunda mulainya

terapi yang segera.

Diagnosa ileus obstruktif diperoleh dari :

1. Anamnesis

Pada anamnesis ileus obstruktif usus halus biasanya sering dapat ditemukan

penyebabnya, misalnya berupa adhesi dalam perut karena pernah dioperasi sebelumnya atau

terdapat hernia (Sjamsuhudajat & Jong, 2004). Pada ileus obstruktif usus halus kolik dirasakan di

sekitar umbilkus, sedangkan pada ileus obstruktif usus besar kolik dirasakan di sekitar

suprapubik. Muntah pada ileus obstruktif usus halus berwarna kehijaun dan pada ileus obstruktif

usus besar onset muntah lama.

2. Pemeriksaan Fisik

a. Inspeksi

Dapat ditemukan tanda-tanda generalisata dehidrasi, yang mencakup kehilangan turgor kulit

maupun mulut dan lidah kering. Pada abdomen harus dilihat adanya distensi, parut abdomen,

hernia dan massa abdomen. Inspeksi pada penderita yang kurus/sedang juga dapat ditemukan

“darm contour” (gambaran kontur usus) maupun “darm steifung” (gambaran gerakan usus),

biasanya nampak jelas pada saat penderita mendapat serangan kolik yang disertai mual dan
muntah dan juga pada ileus obstruksi yang berat. Penderita tampak gelisah dan menggeliat

sewaktu

serangan kolik.

b. Palpasi dan perkusi

Pada palpasi didapatkan distensi abdomen dan perkusi tympani yang menandakan adanya

obstruksi. Palpasi bertujuan mencari adanya tanda iritasi peritoneum apapun atau nyeri tekan,

yang mencakup ‘defance musculair’ involunter atau rebound dan pembengkakan atau massa

yang abnormal.

c. Auskultasi

Pada ileus obstruktif pada auskultasi terdengar kehadiran episodic gemerincing logam bernada

tinggi dan gelora (rush’) diantara masa tenang. Tetapi setelah beberapa hari dalam perjalanan

penyakit dan usus di atas telah berdilatasi, maka aktivitas peristaltik (sehingga juga bising usus)

bisa tidak ada atau menurun parah. Tidak adanya nyeri usus bias juga ditemukan dalam ileus

paralitikus atau ileus obstruktif strangulata.

Bagian akhir yang diharuskan dari pemeriksaan adalah pemeriksaan rectum dan pelvis.

Pada pemeriksaan colok dubur akan didapatkan tonus sfingter ani biasanya cukup namun ampula

recti sering ditemukan kolaps terutama apabila telah terjadi perforasi akibat obstruksi. Mukosa

rectum dapat ditemukan licin dan apabila penyebab obstruksi merupakan massa atau tumor pada

bagian anorectum maka akan teraba benjolan yang harus kita nilai ukuran, jumlah, permukaan,

konsistensi, serta jaraknya dari anus dan perkiraan diameter lumen yang dapat dilewati oleh jari.

Nyeri tekan dapat ditemukan pada lokal maupun general misalnya pada keadaan peritonitis. Kita

juga menilai ada tidaknya feses di dalam kubah rektum. Pada ileus obstruktif usus feses tidak

teraba pada colok dubur dan tidak dapat ditemukan pada sarung tangan. Pada sarung tangan
dapat ditemukan darah apabila penyebab ileus obstruktif adalah lesi intrinsik di dalam usus

(Sjamsuhidajat & Jong, 2005).

Diagnosis harus terfokus pada membedakan antara obtruksi mekanik

dengan ileus; menentukan etiologi dari obstruksi; membedakan antara obstruksi parsial atau

komplit dan membedakan obstruksi sederhana dengan strangulasi. Hal penting yang harus

diketahui saat anamnesis adalah riwayat operasi abdomen (curiga akan adanya adhesi) dan

adanya kelainan abdomen lainnya (karsinoma intraabdomen atau sindroma iritasi usus) yang

dapat membantu kita menentukan etiologi terjadinya obstruksi. Pemeriksaan yang teliti untuk

hernia harus dilakukan. Feses juga harus diperiksa untuk melihat adanya darah atau tidak,

kehadiran darah menuntun kita ke arah strangulasi.

3. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium pada pasien yang diduga mengalami obstruksi intestinal

terutama ialah darah lengkap dan elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kreatinin dan serum amylase.

Obstruksi intestinal yang sederhana tidak akan menyebabkan perubahan pada hasil laboratorium

jadi pemeriksaan ini tak akan banyak membantu untuk diagnosis obsruksi intestinal yang

sederhana. Pemeriksaan elektrolit dan tes fungsi ginjal dapat mendeteksi adanya hipokalemia,

hipokhloremia dan azotemia pada 50% pasien.

4. Pemeriksaan Radiologi

a. Foto polos abdomen (foto posisi supine, posisi tegak abdomen atau

posisi dekubitus) dan posisi tegak thoraks Temuan spesifik untuk obstruksi usus halus ialah

dilatasi usus halus ( diameter > 3 cm ), adanya air-fluid level pada posisi foto abdomen tegak,

dan kurangnya gambaran udara di kolon. Sensitifitas foto abdomen untuk mendeteksi adanya
obstruksi usus halus mencapai 70-80% namun spesifisitasnya rendah. Pada foto abdomen dapat

ditemukan beberapa gambaran, antara lain:

1) Distensi usus bagian proksimal obstruksi

2) Kolaps pada usus bagian distal obstruksi

3) Posisi tegak atau dekubitus: Air-fluid levels

4) Posisi supine dapat ditemukan :

a) distensi usus

b) step-ladder sign

5) String of pearls sign, gambaran beberapa kantung gas kecil yang berderet

6) Coffee-bean sign, gambaran gelung usus yang distensi dan terisi udara dan gelung usus yang

berbentuk U yang dibedakan dari dinding usus yang oedem.

7) Pseudotumor Sign, gelung usus terisi oleh cairan.(Moses, 2008)

Ileus paralitik dan obstruksi kolon dapat memberikan gambaran serupa dengan obstruksi usus

halus. Temuan negatif palsu dapat ditemukan pada pemeriksaan radiologis ketika letak obstruksi

berada di proksimal usus halus dan ketika lumen usus dipenuhi oleh cairan saja dengan tidak ada

udara. Dengan demikian menghalangi tampaknya airfluid level atau distensi usus. Keadaan

selanjutnya berhubungan dengan obstruksi gelung tertutup. Meskipun terdapat kekurangan

tersebut, foto abdomen tetap merupakan pemeriksaan yang penting pada pasien dengan obstruksi

usus halus karena kegunaannya yang luas namun memakan

biaya yang sedikit.


b. Enteroclysis

Enteroclysis berfungsi untuk mendeteksi adanya obstruksi dan juga untuk

membedakan obstruksi parsial dan total. Cara ini berguna jika pada foto polos abdomen

memperlihatkan gambaran normal namun dengan klinis menunjukkan adanya obstruksi atau

jika penemuan foto polos abdomen tidak spesifik. Pada pemeriksaan ini juga dapat

membedakan adhesi oleh karena metastase, tumor rekuren dan kerusakan akibat radiasi.

Enteroclysis memberikan nilai prediksi negative yang tinggi dan dapat dilakukan dengan dua

kontras. Barium merupakan kontras yang sering digunakan. Barium sangat berguna dan
aman untuk mendiagnosa obstruksi dimana tidak terjadi iskemia usus maupun perforasi.

Namun, penggunaan barium berhubungan dengan terjadinya peritonitis dan penggunaannya

harus dihindari bila dicurigai terjadi perforasi. (Nobie, 2009)

c. CT-Scan

CT-Scan berfungsi untuk menentukan diagnosa dini atau obstruksi strangulate dan

menyingkirkan penyebab akut abdomen lain terutama jika klinis dan temuan radiologis lain

tidak jelas. CT-scan juga dapat membedakan penyebab obstruksi intestinal, seperti adhesi,

hernia karena penyebab ekstrinsik dari neoplasma dan penyakit Chron karena penyebab

intrinsik. Obstruksi ditandai dengan diametes usus halus sekitar 2,5 cm pada bagian proksimal

menjadi bagian yang kolaps dengan diameter sekitar 1 cm. (Nobie, 2009)

Tingkat sensitifitas CT scan sekitar 80-90% sedangkan tingkat spesifisitasnya sekitar 70-

905 untuk mendeteksi adanya obstruksi intestinal. Temuan berupa zona transisi dengan dilatasi

usus proksimal, dekompresi usus bagian distal, kontras intralumen yang tak dapat melewati

bagian obstruksi dan kolon yang mengandung sedikit cairan dan gas. CT scan juga dapat
memberikan gambaran adanya strangulasi dan obstruksi gelung tertutup. Obstruksi Gelung

tertutup diketahui melalui gambaran dilatasi bentuk U atau bentuk C akibat distribusi radial vasa

mesenteric yang berpusat pada tempat puntiran. Strangulasi ditandai dengan penebalan dinding

usus, intestinal pneumatosis (udara didinding usus), gas pada vena portal dan kurangnya uptake

kontras intravena ke dalam dinding dari bowel yang affected. CT scan juga digunakan untuk

evaluasi menyeluruh dari abdomen dan pada akhirnya mengetahui etiologi

dari obstruksi.

Keterbatasan CT scan ini terletak pada tingkat sensitivitasnya yang rendah (<50%) untuk

mendeteksi grade ringan atau obstruksi usus halus parsial. Zona transisi yang tipis akan sulit

untuk diidentifikasi. (Nobie, 2009)

d. CT enterography (CT enteroclysis)

Pemeriksaan ini menggantikan enteroclysis pada penggunaan klinis. Pemeriksaan ini

merupakan pilihan pada ileus obstruksi intermiten atau pada pasien dengan riwayat komplikasi

pembedahan (seperti tumor, operasi besar). Pada pemeriksaan ini memperlihatkan seluruh

penebalan dinding usus dan dapat dilakukan evaluasi pada mesenterium dan lemak perinerfon.

Pemeriksaan ini menggunakan teknologi CT-scan dan disertai dengan penggunaan kontras dalam

jumlah besar. CT enteroclysis lebih akurat disbanding dengan pemeriksaan CT biasa dalam

menentukan penyebab obstruksi (89% vs 50%), dan juga lokasi obstruksi (100% vs 94%).

(Nobie, 2009)

e. MRI

Keakuratan MRI hampir sama dengan CT-scan dalam mendeteksi adanya obstruksi. MRI juga

efektif untuk menentukan lokasi dan etiologidari obstruksi. Namun, MRI memiliki keterbatasan
antara lain kurangterjangkau dalam hal transport pasien dan kurang dapat menggambarkan massa

dan inflamasi. (Nobie, 2009)

f. USG

Ultrasonografi dapat menberikan gambaran dan penyebab dari obstruksi dengan melihat

pergerakan dari usus halus. Pada pasien dengan ilues obtruksi, USG dapat dengan jelas

memperlihatkan usus yang distensi. USG dapat dengan akurat menunjukkan lokasi dari usus

yang distensi. Tidak seperti teknik radiologi yang lain, USG dapat memperlihatkan peristaltic,

hal ini dapat membantu membedakan obstruksi mekanik dari ileus paralitik. Pemeriksaan USG

lebih murah dan mudah jika dibandingkan dengan CT-scan, dan spesifitasnya dilaporkan

mencapai 100%. (Nobie, 2009)

III.8 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari ileus obstruktif, yaitu (Nobie, 2009)

1. Ileus paralitik

2. Appensicitis akut

3. Kolesistitis, koleliathiasis, dan kolik bilier

4. Konstipasi

5. Dysmenorhoe, endometriosis dan torsio ovarium

6. Gastroenteritis akut dan inflammatory bowel disease

7. Pancreatitis akut
III.9 Penatalaksanaan

Pasien dengan obstruksi intestinal biasanya mengalami dehidrasi dan kekurangan

Natrium, Khlorida dan Kalium yang membutuhkan penggantian cairan intravena dengan cairan

salin isotonic seperti Ringer Laktat. Urin harus di monitor dengan pemasangan Foley Kateter.

Setelah urin adekuat, KCl harus ditambahkan pada cairan intravena bila diperlukan. Pemeriksaan

elektrolit serial, seperti halnya hematokrit dan leukosit, dilakukan untuk menilai kekurangan

cairan. Antibiotik spektrum luas diberikan untuk profilaksis atas dasar temuan adanya translokasi

bakteri pada ostruksi intestinal. (Evers, 2004)

Dekompresi

Pada pemberian resusitasi cairan intravena, hal lain yang juga penting untuk dilakukan

ialah pemasangan nasogastric tube. Pemasangan tube ini bertujuan untuk mengosongkan

lambung, mengurangi resiko terjadinya aspirasi pulmonal karena muntah dan meminimalkan

terjadinya distensi abdomen.

Pasien dengan obstruksi parsial dapat diterapi secara konservatif dengan resusitasi dan

dekompresi saja. Penyembuhan gejala tanpa terapi operatif dilaporkan sebesar 60 – 85% pada

obstruksi parsial. (Evers, 2004)

Terapi Operatif

Secara umum, pasien dengan obstruksi intestinal komplit membutuhkan terapi operatif.

Pendekatan non – operatif pada beberapa pasien dengan obstruksi intestinal komplit telah

diusulkan, dengan alasan bahwa pemasangan tube intubasi yang lama tak akan menimbulkan

masalah yang didukung oleh tidak adanya tanda-tanda demam, takikardia, nyeri tekan atau

leukositosis.

Namun harus disadari bahwa terapi non operatif ini dilakukan dengan erbagai
resikonya seperti resiko terjadinya strangulasi pada daerah obstruksi dan penundaan terapi pada

strangulasi hingga setelah terjadinya injury akan menyebabkan intestinal menjadi ireversibel.

Penelitian retrospektif melaporkan bahwa penundaan operasi 12 – 24 jam masih dalam batas

aman namun meningkatkan resiko terjadinya strangulasi.

Pasien dengan obstruksi intestinal sekunder karena adanya adhesi dapat diterapi dengan

melepaskan adhesi tersebut. Penatalaksanaan secara hati hati dalam pelepasan adhesi tresebut

untuk mencegah terjadinya trauma pada serosa dan untuk menghindari enterotomi yang tidak

perlu. Hernia incarcerata dapat dilakukan secara manual dari segmen hernia dan dilakukan

penutupan defek. Penatalaksanaan pasien dengan obstruksi intestinal dan adanya riwayat

keganasan akan lebih rumit. Pada keadaan terminal dimana metastase telah menyebar, terapi

non-operatif, bila berhasil, merupakan jalan yang terbaik; walaupun hanya sebagian kecil kasus

obstruksi komplit dapat berhasil di terapi dengan non-operatif

Pada umumnya dikenal 4 macam (cara) tindakan bedah yang dikerjakan pada obstruksi ileus.

1. Koreksi sederhana (simple correction). Hal ini merupakan tindakan bedah sederhana

untuk membebaskan usus dari jepitan, misalnya pada hernia incarcerata non-strangulasi,

jepitan oleh streng/adhesi atau pada volvulus ringan.

2. Tindakan operatif by-pass. Membuat saluran usus baru yang "melewati" bagian usus

yang tersumbat, misalnya pada tumor intralurninal, Crohn disease, dan sebagainya.

3. Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat obstruksi,

4. misalnya pada Ca stadium lanjut.

5. Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis ujungujung

6. usus untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus, misalnya pada carcinomacolon,

invaginasi strangulata, dan sebagainya. Pada beberapa obstruksi ileus, kadang-kadang


dilakukan tindakan operatif bertahap, baik oleh karena penyakitnya sendiri maupun

karena keadaan penderitanya, misalnya pada Ca sigmoid obstruktif, mula-mula dilakukan

kolostomi saja, kemudian hari dilakukan reseksi usus dan anastomosis. (Ullah etal.,

2009).

2.10 Komplikasi

Komplikasi pada pasien ileus obstruktif dapat meliputi gangguan keseimbangan elektrolit

dan cairan, serta iskemia dan perforasi usus yang dapat

menyebabkan peritonitis, sepsis, dan kematian (Ullah et al., 2009).

III.10 Prognosis

Mortalitas obstruksi tanpa strangulata adalah 5% sampai 8% asalkan operasi dapat segera

dilakukan. Keterlambatan dalam melakukan pembedahan atau jika terjadi strangulasi atau

komplikasi lainnya akan meningkatkan mortalitas sampai sekitar 35% atau 40%. Prognosisnya

baik bila diagnosis dan tindakan dilakukan dengan cepat (Nobie, 2009).
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai