Anda di halaman 1dari 1

Tenaga pengajar di sekolah yang didominasi oleh Generasi X—dengan berbagai latar

pengalaman budaya yang berbeda, dengan minimnya penguasaan teknologi. Tidak sedikit
guru dan orangtua justru mengeluhkan perilaku anak-anak generasi milenial. Mereka kerap
dituding sebagai generasi yang manja, motivasi belajar yang rendah, sampai terlalu banyak
menghabiskan waktu di depan televisi atau ponsel pintar. Labeling negatif disematkan.
Mereka adalah generasi galau, labil, tidak konsisten. Pasalnya, anak-anak itu sering tidak
betah berdiam di suatu tempat dalam rentang waktu cukup lama serta sering berpindah-
pindah hobi.

Keluhan guru dan orangtua tidak sepenuhnya salah juga tidak seluruhnya benar. Bruce
Tulgan, konsultan dan penulis buku It's Okay to Manage Your Boss, mengingatkan,
"Generasi Milenial akan memerlukan pengawasan paling tinggi dalam sejarah dunia. Namun,
mereka juga bisa menjadi generasi paling hebat dalam dunia kerja."

Bagaimana sikap yang tepat menghadapi generasi milenial ini? Sekolah, guru, dan orang tua
hendaknya tidak terjebak pada formalisme kuantitas berapa lama mereka harus belajar. Siswa
generasi milenial tidak harus mengulang pengalaman belajar Generasi X, duduk mulai pagi
sampai siang dalam kelas.

Sebagai penduduk asli dunia digital anak-anak dan para siswa menggenggam informasi di
genggaman tangannya melalui gawai atau telepon pintar. Artinya, kesempatan mereka belajar
tidak melulu dalam kelas. Di kafe atau ruang publik yang memiliki titik hotspot adalah
'sekolah kedua'.

Hal itu bereda dengan Generasi X yang dijuluki sebagai digital immigrants, warga pendatang
dunia digital. Generasi ini tidak bisa memaksakan gaya belajarnya kepada generasi milenial.

Lantas apa yang dibutuhkan oleh generasi milenial dalam proses pembelajaran? Selain pengawasan
yang proporsional mereka tetap manusia yang membutuhkan feedback, perhatian, dan penghargaan
dari guru dan orangtua. Generasi digital adalah pembelajar otodidak yang tangguh.

Maka, dalam suasana pembelajaran anak-anak itu memerlukan tujuan yang jelas. Mengapa
mereka mempelajari tema tertentu dan untuk apa tema itu dipelajari. Makna belajar harus
dipetakan. Di tengah beragam informasi yang cukup mudah diakses, menentukan tujuan dan
makna belajar menemukan urgensinya. Siswa generasi milenial tidak sekadar belajar—
mereka memerlukan tujuan dan makna belajar yang pasti.

Interaksi sosial dalam dunia digital yang egaliter, cair, tidak bossy mewarnai interaksi sosial
mereka di dunia nyata. Dalam kadar dan peran tertentu guru dan orang tua tidak selalu
berposisi sebagai 'atasan' dengan perintah dan instruksi yang wajib dituruti. Generasi
milenial, siswa milenial, anak-anak milenial memerlukan figur guru dan orangtua yang care,
gemar berdiskusi, memberi bimbingan dalam komunikasi yang sejajar, dan menularkan
nasehat yang tidak menggurui.

Menurut John W. Santrock "Pendidikan karakter merupakan pendekatan langsung untuk


pendidikan moral dengan memberi pelajaran kepada peserta didik tentang pengetahuan moral
dasar untuk mencegah mereka melakukan perilaku tidak bermoral atau membahayakan bagi
diri sendiri maupun orang lain," dilansir Kompas.com (20/10/2015).

Anda mungkin juga menyukai