Anda di halaman 1dari 10

TOGOG MINGGAT

:sebuah monolog

RUANGAN GELAP. TERDENGAR SUARA TOGOG.

TOGOG:

Akulah Togog, suara kebenaran yang diabaikan. Suara yang tenggelam dalam
riuh syahwat duniawi. Lantang aku bersuara pasti ditentang pula.

Akulah Togog, tetesan air pada batuan keras, bergulir di setiap sisinya, karena
tak kunjung melubanginya.

Tuanku bukanlah Maharaja, tapi kuasanya bisa mengendalikan para raja.


Tuanku bagai gurita raksasa. Tentakelnya terjulur kemana-mana, merangkul
para politisi, ekonom, jurnalis, seniman, budayawan, aparat pemerintah,
bahkan sang Raja itu sendiri.

Tuanku selalu meminta aku mengkritik, tapi tak satupun yang ia dengarkan,
masuk telinga kiri keluar telinga kiri, masuk telinga kanan keluar telinga
kanan. Penting baginya memberi ruang pada kritikan, sedang penerimaan itu
hal lain.

PERLAHAN LAMPU MENYALA. NARATOR MASUK, MENYAPA PENONTON.

NARATOR:

Assalamu'alaikum.... Salam sejahtera bagi kita semua, Shalom, Om


Swastyastu, Namo Buddhaya,Salam Kebajikan....

Selamat pagi/siang/malam saudara-saudaraku pecinta seni, salam


pramuka.....

Itu tadi suara Togog, tokoh dalam monolog ini. Bukan saya..., kalau saya....
(sebut nama)....bla, bla, bla....

Maklum, pandemi yang berkepanjangan dan tanpa solusi, selain stay at home,
membuat orang-orang seperti Togog stress.

Beberapa orang stress berduit memilih menghabiskan uang untuk belanja


tanaman, yang sebenarnya banyak dijumpai di pelosok-pelosok desa. Ada juga
yang belanja ikan cupang aneka warna dengan berbagai alasan.
Nah....ini ada yang istimewa, mereka lebih memilih mengotak-atik kata,
jadilah ia cerita, bahkan yang konon katanya puisi.... Lalu mereka hiasi jagad
maya dengan karya-karya mereka, jadilah mereka penyair dan penulis instan,
dan cukup bangga mendapat tutulan jempol , salah satunya saya sendiri....

Bagi mereka yang cukup tebal kantongnya, mereka beli penerbit, untuk
menerbitkan buku-buku, yang tak cukup tebal ya patungan sesama pengisi
buku. Semakin banyak peserta, semakin tebal buku, semakin ringan biaya
yang ditanggung masing-masing.

Kemudian tak peduli, buku-buku itu bakal menumpuk tanpa dibaca, dibeli
karena ewuh-pekewuh hubungan pertemanan, dan mungkin, juga para murid
yang ingin naik kelas. Bahkan tak peduli pula, apakah yang ia tulis
dibutuhkan orang atau tidak, punya manfaat atau tidak. Yang penting ia
puas, bukunya telah tercetak, dipajang di rak buku, fotonya ada di wall efbe,
atau media sosial lainnya. (TERTAWA) Masalahnya ini penyair, penulis, atau
penerbit? Lalu apa bedanya sama onani?

Kurang ajarnya, ada orang berduit, mengajak beberapa orang yang punya
nama untuk menerbitkan buku, hanya semata agar ia bisa dikatakan sejajar
dalam hal ilmu, atau mungkin supaya cepat laku. Diamput...! (TERTAWA)

Politik sudah merasuk ke segala lini kehidupan. Pertemanan, hubungan


suami-istri, syiar agama, pengobatan, musibah dan bencana, bantuan
kemanusiaan....semuanya.....yah, semuanya telah tersusupi permainan
politik. (TERTAWA)

NARATOR BERBALIK BADAN, MENINGGALKAN PENONTON. TETAP TERTAWA


DI AREA YANG LEBIH REDUP. MEMBELAKANGI PENONTON.

TUAN (MEMANGGIL DENGAN SUARA KERAS):

Togog..... Togog!!

TOGOG (TERGOPOH SAMBIL BERSERU):

Ya tuan....sebentar...

Ada apa tuan?

TUAN:
Ada kabar mahasiswa yang kemarin itu?

TOGOG:

Belum Tuan... Lagipula mahasiswa sekarang apa ada yang berani, Tuan.
Mereka tidak punya nyali.

TUAN:

Bukan nyali yang mereka butuhkan. Duit. Itu yang mereka butuhkan. Jika
ada duit, mereka pasti punya nyali!

TOGOG

Tapi Tuan, apakah ini solusi terbaik? Bagaimana kalau negeri menjadi kacau?
Rakyat pasti menderita, Tuanku!

TUAN:

Tidak. Tidak akan ada kekacauan. Semua bisa dikendalikan dengan duit! Ini
cuma permainan kecil, Togog!

TOGOG:

Sekecil apapun permainan, pastilah ada korban, Tuan. Ini akan sangat
berbahaya. Air mata dan darah akan tumpah, Tuan!

TUAN:

Togog, para wakil rakyat dan pimpinan kota tak ada kerjaan, selain
menghitung-hitung proyek. Sekali ini biar memeras sedikit otak dan jantung...,
anggap saja olahraga buat mereka. Tentu aku juga akan mempersiapkan
sedikit dana lebih, agar mereka bermain dengan sungguh-sungguh!

TUAN MELANJUTKAN KATA-KATANYA, DITUJUKAN KE PENONTON.


TUAN:

Begitulah, Togog selalu saja tidak begitu suka dengan kesukaanku.

Aku kadang merasa apa yang dikatakan Togog ada benarnya. Tapi aku
menolak untuk mengikutinya. Dengan duitku, aku masih bisa mengendalikan
permainan.

Maka, aku lebih suka membuatnya mabuk, agar otaknya mampet dari
produksi kata-kata yang menyerangku.

Banyak cara membuat orang mabuk dan aku selalu punya resep sesuai
karakter masing-masing.

TUAN MENGALIHKAN PANDANGANNYA DARI PENONTON, KEMBALI KE


TOGOG.

TUAN:

Togog, apa kau menyukainya?

TOGOG:

Tuanku memang sangat baik dan tahu selera orang. Aku sangat menyukainya.
Ini membuatku melayang ke alam para bidadari.

TUANKU BERBISIK KE ARAH PENONTON.

TUANKU:

Ia mulai mabok....

Kalian akan lihat betapa ia sangat menikmatinya.

Begitulah manusia, saat ia merasa nyaman, ia tak peduli sekitarnya, bahkan


enggan beranjak dari kenyamanannya..., sekali pun itu semu sifatnya.

Togog selalu menerima pemberianku dengan suka cita, sekali pun itu
memabukkan baginya dan melupakan tugas sucinya....

Jiwanya yang rapuh telah terseret dan menyerah ke dalam dekap halusinasi.
TOGOG SEMAKIN TENGGELAM DALAM KENIKMATAN HALUSINASI BAWAH
SADARNYA.

TOGOG:

Tuanku, betapa indah dan bahagianya bila hidup terus begini. Tak ada hiruk-
pikuk yang memenatkan otak. Tak ada iri, dengki dan permusuhan. Segalanya
terlihat sangat indah, Tuanku.

Lihatlah, Tuanku, para bidadari mengajakku menari, memainkan berbagai


alat musik, bahkan membacakan puisi!

Tuanku, mereka menyentuhku..., para bidadari itu menyentuhku! Mereka


menyentuhku sambil membacakan puisi.

Jemari halus dan hangat hembusan nafasnya, mengalirkan puisi ke dalam


jiwaku, memanggangku....

Aku terpanggang dalam bara gairah kebajikan, terlebur segala angkara dan
laku durjana.

Mbiluuung.....?

Mbiluung..., kaukah itu?

Mbiluuung.....!! (SENANG)

Sudah berkali-kali kukatakan padanya Mbilung. Ini bahaya. Korban pasti


berjatuhan. Darah pasti tumpah!

Telinganya sungguh bebal, tak ada lubang sama sekali. Kritikku masuk telinga
kiri, keluar telinga kiri. Masuk telinga kanan, keluar pula dari kanan.
Terpental!

Tapi aku tak bisa pergi darinya, Mbilung. Tak bisa meninggalkannya! Tak bisa!

Bukan aku tak mau seperti katamu, Mbilung. Aku menerima tugas ini dan
aku harus menyelesaikannya, bukan meninggalkannya!

Aku tahu Mbilung ia membungkamku, tapi ia tak benar-benar


membungkamku. Mungkin, memang, harus seperti ini yang aku jalani.
Menjadi budak alkohol, ganja, heroin, sabu, barangkali juga sudah menjadi
takdirku. Garis hidupku!!
Sebenarnya aku berharap telinganya mau sedikit terbuka. Mungkin aku butuh
waktu agak panjang, itulah kenapa aku bertahan dan mengikuti
permainannya.

Salah satu keahlian Tuanku adalah membuat orang mabuk. Jadi bila kamu
terlalu mengagungkan perempuan, maka Tuanku akan mengirim perempuan-
perempuan untuk merayumu sampai kau menyembah-nyembahnya,
melanggar segala aturan dan norma demi perempuan-perempuan itu. Bila kau
pemuja agama, maka Tuanku pasti akan mengirimkan ahli-ahli agama, hingga
kamu mabuk agama dan berani mengkafir-kafirkan orang. Bila kalian suka
beroposisi, maka Tuanku dengan segala cara akan support kalian sampai
kalian berantem, begitu juga sebaliknya.

Tuanku pun ahli mengendalikan situasi. Dua sisi yang berhadapan sama-
sama dipelihara. Siapa yang unggul, tergantung situasi selera Tuanku saat itu.

Dan bodohnya, para pemenang selalu merasa bahwa itu adalah hasil kerja
keras mereka! Itulah sebabnya sampai detik ini, jejak Tuanku tak pernah
terendus dalam setiap peritiwa pertikaian, yang kadang menelan korban jiwa.

Mbiluuung...jangan kau pandangi aku seperti itu. Ini bukan mauku Mbilung.
Ini sudah kehendak Penguasa Jagad Raya yang harus aku jalani, yang harus
aku patuhi!

Mbiluung..., cobalah mengerti keadaanku. Aku tak ingin selalu gagal. Biarlah
aku nistakan diriku sampai seperti ini, asalkan tugasku bisa terselesaikan.

TUANKU:

Togog....Togog...., dimana kamu?! Togoooog....!

Kemana pula Togog ini? Biasanya dia suka malas-malasan di bale ini, kalau
lagi ngefly...

Sepi sekali kalau Togog tak berkicau, meski kadang kicauannya sulit
kumengerti. Sekalinya kumengerti, kicauannya selalu membuatku marah.
Bayangkan saja, Togog selalu menentang rencana-rencana permainanku.

Bayangkan akan betapa sepinya dunia ini, kalau aku menuruti kemauan
Togog. Hidup akan terasa lurus-lurus saja, tak ada dinamika kehidupan!
Betapa akan sangat membosankan!

Bukankah hidup perlu perimbangan. Ada hitam ada putih. Ada baik ada jahat.
Aku cuma sedikit memicunya, tanpa berpihak! Aku support yang baik, aku
support pula yang jahat. Hanya agar mereka sedikit bersemangat dalam
pertarungan!

Aku sama sekali tidak respek pada anak Adipati Yudhonagoro. Cengeng!
Harusnya dia datangi orang yang memusuhinya. Ajak bertarung! Bukan malah
mengadu ke Baginda Raja, hanya karena yang memusuhinya adalah abdi
kerajaan. Merepotkan Raja dan pihak kerajaan, yang sedang berjuang
melepaskan jerat pandemi yang membelit rakyat, belum lagi masalah bencana
yang datang bertubi-tubi; gunung meletus, banjir, gempa, longsor, bantuan-
bantuan yang dikorupsi....

Dia pikir Raja cuma memikirkan dia saja! Cengeng! Banci! Memalukan!! Kalau
memang gak bisa bermain, ya jangan bermain! Netek saja di rumah!

Padahal aku sudah beri dia untuk membangkitkan jiwa satrianya...!


Tunggu...., ya....mungkin dia perlu sedikit dilebihkan dosisnya! Biar jadi lebih
greeng...! Masak anak Adipati Yudhonagoro lembek, nangisan!

Togooooog....Togooog!

TOGOG: (TERGESA, NAFAS TERSENGAL)

Tuanku....., Tuanku...., gawat Tuanku...., keadaan menjadi gawat Tuanku!

Mahasiswa-mahasiswa semakin brutal. Apa saja mereka bakar dan rusak!


Mereka sudah tak bisa berpikir, otak mereka beku!

Tuanku..., Tuanku...!

Hentikan mereka, Tuanku. Kasihan rakyat jadi takut. Rumah-rumah tertutup


rapat. Tempat usaha segera pula dikunci dari dalam. Orang-orang ketakutan.
Takut menjadi korban, sedang mereka tidak begitu paham apa yang
dipertentangkan.

TUANKU:

Tenang Togog. Mereka sedang olah raga. Biar saja. Sebentar lagi anak-anak itu
akan ada yang ditangkap. Aparat akan sedikit menekan, membubarkan. Aman
sudah! Semua sudah aku perhitungkan Togog! Jadi diam sajalah.

TOGOG:

Tapi, Tuanku, bagaimana dengan orang-orang lainnya. Warga yang terjebak?


Warga yang panik? Korban yang tidak Tuanku pikirkan!

TUANKU:

Jangan bicara sembarangan, Togog! Semua sudah aku perhitungkan.


Dan setelah ini, pundi-pundiku bakal bertambah. Keuntungan mengalir deras.
Perbaikan gedung dan sarana publik, order perlengkapan medis dan obat-
obatan, belanja perlengkapan keamanan, bantuan-bantuan kemanusiaan...,
semua itu ladang yang mengalirkan keuntungan dan menggemukkan pundi-
pundiku, Togog!

TOGOG:

Tuanku kali ini salah besar. Gejolak semakin meluas. Aparat tidak bisa
berbuat banyak, bahkan pasukan kerajaan kesulitan bergerak dan
menentukan sikap!

Darah tumpah dimana-mana, dan Tuanku masih bicara keuntungan pribadi!


Hati nurani Tuan sudah beku!

TUANKU:

Hentikan bicaramu Togog!

SUARA GUCI PECAH.

TOGOG:

Tuanku! Sekalipun kepalaku hancur terkena lemparan guci arak, aku tak
akan berhenti bersuara!

Tuanku sangat keterlaluan. Tuanku permainkan semua orang! Tuanku


permainkan nasib banyak orang! Akan tiba masanya Tuanku dilindas karma!
Do'a-do'a orang teraniaya bakal melindas dan menghancurkan Tuanku!

TUANKU:

Cukup! Badrun, Gerung, hajar dia! Kasih heroin, lipatkan dosisnya!

SENYAP SESAAT. SUARA PUKULAN TERDENGAR RIUH. BERCAMPUR SUARA


BENDA-BENDA JATUH. SENYAP LAGI SESAAT.

TOGOG: (MERINTIH)
Mbiluuuuuuung.... Mbiluuuuuung..., kau bawa kemana aku? Aku tak ingin
pergi Mbiluuuung, tugasku belum selesai.

Kau tak akan mengerti Mbiluuuung... Mbiluuung, hentikan, turunkan aku.


Biarkan aku tinggal di sini. Kau tak perlu memanggulku seperti ini,
Mbiluuung...

Mbiluuuuung...., kau bawa aku kemana Mbiluuung....

SENYAP. SELESAI.

Wagir, 15 Februari 2021

M Zain Dk

Anda mungkin juga menyukai