Anda di halaman 1dari 3

NAMA : AMIR ARDI

KELAS : XII TITL

UNDANG-UNDANG
PERKAWINAN
EDISI LENGKAP

1. Undang-undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.


2. PPRI No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang- undang No.1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan.
3. PPRI No.10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai
Negeri Sipil.
4. PPRI No. 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No.10
Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
5. PPRI No.54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
6. Peraturan Menteri Hukum dan Ham RI No. M.01 HL.03.01 Tahun 2006 Tentang
Tata Cara Pendaftaran Anak Untuk Memperoleh Kewarganegaraan Republik
Indonesia.
7. Kepmendagri No. 97 Tahun 1978 Tentang Penunjukkan Pemuka Agama Sebagai
Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan Bagi Umat Kristen Indonesia yang
Tunduk Kepada Staatblad 1933-75 Jo Staatblad 1936-607 dan Bagi Umat Hindu
dan Budha.

Hukum nikah pada dasarnya adalah sunah bagi mereka yang sudah mampu.
Namun, ada beberapa kondisi khusus yang membuat hukumnya menjadi berbeda. tirto.id -
Kata pernikahan berasal dari bahasa arab, yakni an-nikah. Secara bahasa, kata nikah
memiliki dua makna. Pertama, nikah berarti jimak, atau hubungan seksual. Selain itu,
nikah juga bisa bermakna akad, yaitu ikatan atau kesepakatan.

Adapun secara istilah, definisi nikah berbeda-beda menurut ulama fikih dari empat
mazhab. Dalam buku Ensiklopedia Fikih Indonesia: Pernikahan (2019), karya Ahmad
Sarwat, terdapat penjelasan soal definisi nikah menurut empat mazhab fikih (hlm 4-5).
Keempat definisi itu ialah: Mazhab Hanafi: Nikah adalah akad yang berarti mendapatkan
hak milik untuk melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang tidak ada halangan
untuk dinikahi secara syari.

Mazhab Maliki: Nikah adalah sebuah akad yang menghalalkan hubungan seksual
dengan perempuan yang bukan mahram, bukan majusi, bukan budak, dan ahli kitab,
dengan sighah.

Mazhab Syafii: Nikah adalah akad yang mencakup pembolehan melakukan


hubungan seksual dengan lafaz nikah, tazwij atau lafaz yang maknanya sepadan Mazhab
Hambali: Nikah adalah akad perkawinan atau akad yang diakui di dalamnya lafaz nikah,
tazwij dan lafaz yang punya makna sepadan. Karena mayoritas umat Islam di Indonesia
mengikuti Mazhab Syafii, penjelasan berikut mengenai hukum pernikahan akan merujuk
pada pendapat ulama fikif dari mazhab ini.

Sebagaimana dilansir laman NUOnline, Sa‘id Mushtafa Al-Khin dan Musthafa al-
Bugha, dalam kitab Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imamis Syâfi’i (Juz IV, hlm. 17)
menjelaskan: “Nikah memiliki hukum yang berbeda-beda, tidak hanya satu. Hal ini
mengikuti kondisi seseorang [secara kasuistik].” Keterangan tersebut menunjukkan bahwa,
secara syariat, hukum nikah bisa berbeda-beda sesuai dengan kondisi masing-masing
orang. Berdasar penjelasan Sa‘id Musthafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha dalam kitab
Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imamis Syâfi’i, hukum nikah adalah sebagai berikut:

1. Sunah Nikah sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW.


Oleh karena itu, hukum asal nikah adalah sunah bagi seseorang yang
memang sudah mampu untuk melaksanakannya. Hal ini sebagaimana hadis Nabi
Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari (nomor 4779), yang
artinya berikut ini: “Wahai para pemuda, jika kalian telah mampu, maka
menikahlah. Sungguh menikah itu lebih menenteramkan mata dan kelamin. Bagi
yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa bisa menjadi tameng
baginya.”
2. Sunah Ditinggalkan Nikah juga bisa dianjurkan atau disunahkan untuk tidak
dilakukan.

Hukum tersebut berlaku bagi orang yang ingin menikah, namun tidak
memiliki kelebihan harta untuk biaya menikah sekaligus menafkahi istri. Dalam
kondisi seperti ini, orang tersebut sebaiknya mencari nafkah, beribadah dan
berpuasa sambil berdoa Allah SWT segera mencukupi kemampuannya untuk
menikah. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat An-Nur ayat 33,
yang artinya: “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga
kesucian (diri)nya, sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan
karunia-Nya.”

3. Makruh Nikah pun bisa dihukumi makruh.


Hukum ini berlaku bagi orang yang memang tidak menginginkan untuk
menikah, karena faktor perwatakannya ataupun penyakit. Seseorang itu juga tidak
memiliki kemampuan untuk menafkahi istri dan keluarganya. Jadi, apabila
dipaksakan menikah, orang itu dikhawatirkan tidak bisa memenuhi hak dan
kewajibannya dalam pernikahan.

Anda mungkin juga menyukai