Anda di halaman 1dari 11

TUGAS PANCASILA

INTOLERANSI YANG MEMBAHAYAKAN


PANCASILA DEWASA INI

NAMA : RIA RESI VERANIKA

NIM : 51418408

PRODI : MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS WIDYA MANDALA MADIUN


ABSTRAK
Pancasila merupakan Dasar Negara bangsa Indonesia. Dimana proses pembuatan
Pancasila bersumber pada pemikiran-pemikiran tokoh bangsa Indonesia. Berlandaskan
budaya bangsa Indonesia, sifat dan corak masyarakatnya serta tradisi-tradisi yang ada pada
Negara Indonesia. Para tokoh tersebut tidak asal dalam merumuskan Dasar Negara. Mereka
membutuhkan waktu berpikir yang matang untuk mendapatkan Dasar Negara yang bisa
diakui dan diterapkan di Negara Indonesia.

Sebagai pedoman hidup bangsa Indonesia, selayaknya kita sebagai rakyat Indonesia
menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila ke kehidupan kita sehari-hari.

Indonesia memilikiri tradisi dan pemikiran tersendiri yang utamanya adalah Gotong
Royong, yang mungkin tidak ada di Negara lain. Gotong Royong sangat melekat di jati diri
bangsa Indonesia. Karena tradisi Gotong Royong sudah ada sejak zaman nenek moyang
bangsa Indonesia sehingga menjadi tradisi yang sampai saat ini masih terus dijalankan.

Termasuk juga toleransi sangatlah penting diterapkan di segala kehidupan manusia. Tidak
hanya di Indonesia saja, namun di Negara luar juga. Banyak sekali kaum minoritas yang ada
di Indonesia ini. Mereka membutuhkan bantuan dan juga perlindungan yang sama dengan
kaum mayoritas. Jadi mereka tidak boleh diasingkan atau dikucilkan karena perbedaan.

Namun keadaan toleransi di Indonesia saat ini berbeda dengan keadaan toleransi zaman
dahulu. Sekarang banyak sekali rakyat Indonesia yang tidak bisa menghormati akan adanya
perbedaan. Bahkan perbedaan pandangan, perbedaan agama sering sekali menjadi awal
dalam suatu kerusuhan.

Berbagai surve menguatkan bahwa itu semua terjadi karena ideology dan paham
radikalisme telah menjangkiti pikiran sejumlah besar masyarakat. Sejalan dengan itu, rasa
nasionalisme dan nilai-nilai kebangsaan terus menipis.

Seperti inilah keadaan toleransi antar bangsa Indonesia. Tidak seperti dulu lagi yang
sangat mengedepankan persatuan walaupun pilihan akan pimpinannya berbeda. Toleransi
sebagai tonggak untuk menjaga persatuan suatu Negara agar bisa tentram dan aman.
KEYWORD
Pancasila, Gotong-Royong, Intoleransi
INTOLERANSI YANG MEMBAHAYAKAN
PANCASILA DEWASA INI

Pancasila merupakan Dasar Negara bangsa Indonesia. Dimana proses pembuatan


Pancasila bersumber pada pemikiran-pemikiran tokoh bangsa Indonesia. Berlandaskan
budaya bangsa Indonesia, sifat dan corak masyarakatnya serta tradisi-tradisi yang ada pada
Negara Indonesia. Para tokoh tersebut tidak asal dalam merumuskan Dasar Negara. Mereka
membutuhkan waktu berpikir yang matang untuk mendapatkan Dasar Negara yang bisa
diakui dan diterapkan di Negara Indonesia.

Setelah melalui proses perumusan dasar Negara yang panjang, akhirnya semua pihak
setuju Pancasila dijadikan sebagai Dasar Negara bangsa Indonesia. Karena sesuai dengan jati
diri bangsa Indonesia. Sila pertama yang menunjukkan bahwa bangsa Indonesia merupakan
bangsa yang beragama dan percaya akan adanya tuhan. Sila kedua menunjukkan bahwa
bangsa Indonesia menjunjung nilai kemanusiaan dalam kehidupan kesehariannya. Sila ketiga
menunjukkan bahwa bangsa Indonesia selalu menjunjung tinggi nilai persatuan walaupun
berbeda agama, ras, suku, bahasa dsb. Sila keempat menunjukkan bahwa bangsa Indonesia
adalah bangsa yang selalu bermusyawarah dalam menentukan suatu hal untuk mendapatkan
mufakat. Terakhir sila kelima menunjukkan bahwa bangsa Indonesia selalu menjunjung
keadilan bagi siapa pun tanpa pandang bulu.

Sebagai pedoman hidup bangsa Indonesia, selayaknya kita sebagai rakyat Indonesia
menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila ke kehidupan kita sehari-hari.
Mulai dari hal sekecil apapun, seperti makan harus duduk dan tidak boleh berdiri,
menggunakan tangan kanan untuk makan dan masih banyak lagi. Itu semua merupakan
contoh etika kesopanan yang harus mulai ditanamkan ke rakyat Indonesia sedari kecil agar
terbiasa hinga dewasa nanti.

Apabila seluruh rakyat Indonesia menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya


maka akan membuat bangsa Indonesia terhindar dari segala perpecahan, konflik, maupun
berbagai bahaya lainnya. Dan tidak hanya itu, Indonesia akan dipandang sebagai Negara yang
santun dan ramah kepada dunia luar.
Indonesia memilikiri tradisi dan pemikiran tersendiri yang utamanya adalah Gotong
Royong, yang mungkin tidak ada di Negara lain. Gotong Royong sangat melekat di jati diri
bangsa Indonesia. Karena tradisi Gotong Royong sudah ada sejak zaman nenek moyang
bangsa Indonesia sehingga menjadi tradisi yang sampai saat ini masih terus dijalankan.

Seperti halnya antara orang satu dengan orang yang lain tidak bisa hidup sendiri atau
individualis. Mereka pasti membutuhkan orang lain dalam membantu kehidupannya. Contoh
saja, dalam sebuah kereta api, pasti kita akan mengutamakan orang yang difabel, orang tua
atau ibu hamil untuk duduk di bangku. Itulah sebagai contoh kecil jika bangsa Indonesia
sudah menanamkan sifat kegotong royongan dan juga tolong menolong dari kecil.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Bung Hatta ketika memberi tanggapan atas pidato
Soekarno dan tanggapan Radjiman:

“Memang kita harus menentang individualism dan saya sendiri boleh katakana lebih dari
20 tahun berjuang untuk menentang individualism. Kita mendirikan Negara baru di atas dasar
gotong royong dan hasil usaha bersama…….. Dasar yang kita kemukakan adalah dasar
gotong royong dan usaha bersama. Pendek kata dasar collectivisme.” (Ibid:262-263)

Namun dewasa ini budaya gotong-royong yang ada di Negara Indonesia sudah mulai
terkikis. Mereka sudah acuh dengan kebutuhan orang lain dan tidak ada kemauan untuk
membantu sesama masyarakatnya. Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila sudah mulai dilupakan oleh masyarakat Indonesia. Padahal hal tersebut sangatlah
penting untuk keberlanjutan bangsa Indonesia. Karena gotong-royong sebagai ciri khasnya
bangsa Indonesia. Hal tersebut jika dibiarkan bisa membahayakan bangsa Indonesia karena
akan timbulnya perpecahan dan mengancam kesatuan bangsa Indonesia.

Sudah bertahun-tahun bangsa Indonesia mengalami krisis multidimensi. Dari hari ke hari
situasi terus saja mengarah kepada kondisi yang memprihatinkan. Krisis ekonomi yang
sedang menghebat ternyata juga disertai dengan krisis kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di sana-sini terdapat berbagai pergolakan yang mengancam kehidupan bersama. Daerah-
daerah tertentu mulai menggulirkan rencana untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Semua ini tentu berdampak cukup besar bagi kelangsungan hidup
bersama.

Seperti yang sekarang ini kita rasakan memanasnya situasi bangsa Indonesia. Disebabkan
karena kurangnya komunikasi antar masyarakat serta kurangnya toleransi antar
masyarakatnya. Padahal Indonesia merupakan Negara yang luas, dengan belasan ribu pulau
sehingga banyak sekali perbedaan antar satu daerah dengan daerah yang lain. Entah itu
perbedaan agama, ras, suku, bahasa, adat istiadat dan sebagainya. Mereka tidak bisa
menerima akan adanya perbedaan tersebut, kaum mayoritas yang ingin menang disetiap
aspirasi suaranya dan juga kaum minoritas yang ingin aspirasinya didengar.

Banyak sekali kasus intoleransi yang gencar terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Tanggal
6 Desember lalu di Bandung terjadi aksi pembubaran paksa acara kebaktian di kompleks
Sasana Budaya Ganesha (Sabuga). Kemudian sehari setelahnya, ada penurunan paksa baliho
Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta karena menampilkan sosok mahasiswi
berjilbab pada iklan penerimaan mahasiswa baru itu. Selang tiga hari setelah insiden tersebut,
Sembilan warga muslim yang datang ke Kupang, Nusa Tenggara Timur, untuk mengikuti
acara keagamaan di Atambua, Belu, diusir oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan
Brigade Meo Timor.

“Penting bagi siapapun yang peduli dengan perkembangan demokrasi, kebebasan


beragama dan toleransi untuk berbicara terbuka dan lantang tentang kasus-kasus intoleransi.
Terutama pemerintah Indonesia yang seharusnya berani mengambil langkah hokum dengan
menuntut setiap pelaku ke meja hijau. Harus ada revisi aturan yang tidak lagi tepat
diberlakukann dan tentunya pemberlakuan aturan baru yang lebih tepat.” ujar Jeremy
Menchik (asisten professor di Pardee School of Global Studies di Boston University dan
anggota fakultas ilmu politik dan agama)

Toleransi tidak selalu positif. Toleransi dalam arti negative adalah pembiaran ataupun
ketidakpedulian terhadap kejahatan, ketidakadilan, dan penindasan terhadap mereka yang
berbeda. Pelakunya bisa Negara atau masyarakat sendiri. Negara mengambil sikap toleransi
negative jika tidak tegas menindak kelompok-kelompok yang menindas minoritas.

Ketidaktegasan aparat kepolisian dalam menindak intoleransi dapat dinilai sebagai


pemihakan terhadap kelompok pelaku kekerasan tersebut. Sikap itu juga membuat kelompok-
kelompok garis keras menjadi penguasa riil yang mudah memaksakan kehendak mereka,
bahkan terhadap pemerintah.

Dunia internasional sudah tahu bahwa pembubaran ibadah, pembakaran tempat-tempat


ibadah, dan penganiayaan atas penganut agama minoritas sering terjadi dalam masyarakat
kita. Semua insiden itu dapat dicegah seandainya aparat kepolisian kita memiliki sikap
konsekuen, taat asas, dan tegas terhadap kelompok-kelompok intoleran.

Sehingga penyebab meningkatnya intoleransi bukanlah demokrasi, melainkan suatu


pemerintahan yang toleran terhadap intoleransi. Pemerintahan seperti itu tidak hanya
membiakkan intoleransi pada ranah social dan cultural. Kelembekan sikap politis para
pemimpinnya merupakan sebuah pengantar ke dalam kegagalan demokrasi.

Seharusnya dari perbedaan-perbedaan itulah kita bisa saling menghormati dan


menoleransi antar masyarakatnya agar nilai-nilai Pancasila tetap dilestarikan. Sesuai sila
Pancasila ke-3 “Persatuan Indonesia”. Dan perlu diingat bahwa untuk merebut kemerdekaan
Indonesia dari tangan penjajah sangatlah susah. Mereka para pejuang bangsa berkorban
hingga titik darah penghabisan untuk merebut kemerdekaan Indonesia. Kita masyarakat yang
hidup di jaman setelah penjajahan hanya bertugas meneruskan perjuangan dengan cara
menjaga persatuan.

Soekarno pernah berkata “Kita mendirikan bangsa Indonesia semua buat semua! Bukan
Kristen buat Indonesia, bukan Islam buat Indonesia tetapi Indonesia buat Indonesia, semua
buat semua! Negara yang kita dirikan haruslah Negara gotong-royong.”

Di era reformasi, kembali Kabinet Gotong-Royong didengungkan oleh pemerintahan


Abdurrahman Wahid untuk mengedepankan kembali semangat kebersamaan. Elaborasi ini
tidak hendak menilai kegagalan atau keberhasilan cabinet, melainkan hendak menampakkan
betapa “gotong-royong” sudah mendarah daging dalam perjuangan bangsa Indonesia untuk
mengedepankan usaha bersama.

Dalam merebut kemerdekaan bukanlah orang Jawa saja yang berperang, bukan juga
orang Islam yang berperang, namun semua elemen masyarakat apapun agamanya, apapun
rasnya mereka ikut berjuang demi satu tujuan yaitu Indonesia merdeka.

Dalam siding BPUPKI , dialektika antara golongan Islam dan kebangsaan juga menjadi
konteks. Hal ini setidaknya Nampak dari seringnya Soekarno menyebut kedua golongan ini
dalam pidatonya. Beberapa kutipan berikut akan memperjelas konteks dialektika Islam
Nasionalis ini :
“Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun saudara-
saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat…. Kita hendak mendirikan
suatu Negara semua buat semua (Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995:71)”.

“Saya minta, saudara Bagoes Hadikoesomo dan saudara-saudara Islam lain: maafkan saya
memakai perkataan “kebangsaan” ini….Saya pun orang Islam (Sekretariat Negara Republik
Indonesia, 1995:74)”.

“Saya yakin tidak ada satu golongan di antara Tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam
maupun golongan yang dinamakan golongan kebangsaan. Ke sinilah kita harus menuju
semuanya….. Untuk pihak Islam, inilah tempat yang baik untuk memelihara agama…..
(Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995:74-75)”.

“Oleh karena itu saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam,
maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip yang ketiga ini, yakni permusyawaratan
perwakilan (Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995:78)”.

Sangat disayangkan sekali perjuangan yang penuh pengorbanan itu harus dikotori dengan
tindakan-tindakan anti toleransi dan rasisme yang gencar terjadi di Negara Indonesia
belakangan ini. Dan itu hanya dilakukan oleh segelintir rakyat Indonesia yang ingin
aspirasinya selalu menang. Padahal rakyat Indonesia terdiri dari berbagai perbedaan dan
memiliki pandangan yang berbeda-beda akan suatu hal. Tapi mereka selalu ingin menang
dalam menyuarakan aspirasinya. Entah itu yang dibungkus oleh masalah agama ataupun
dengan bungkusan yang lain.

Toleransi sangatlah penting diterapkan di segala kehidupan manusia. Tidak hanya di


Indonesia saja, namun di Negara luar juga. Banyak sekali kaum minoritas yang ada di
Indonesia ini. Mereka membutuhkan bantuan dan juga perlindungan yang sama dengan kaum
mayoritas. Jadi mereka tidak boleh diasingkan atau dikucilkan karena perbedaan.

Apalagi ditambah dengan suasana politik Indonesia yang semakin hari semakin memanas.
Antara 2 kubu saling sindir, adu fitnah, menyebarkan berita bohong untuk menjatuhkan
lawannya. Sangat disayangkan sekali karena hal itu bisa membodohkan pandangan
masyarakat Indonesia akan suatu hal. Politik memanglah persaingan yang tidak menentu.
Mungkin untuk saat ini dia menjadi lawan di kubu A tetapi kemungkinan suatu saat nanti dia
akan menjadi kawan di kubu A tersebut.
Bahkan terkadang apa yang mereka bicarakan di depan media sangatlah berbeda dengan
kenyataan yang ada. Mereka ingin sekali menarik perhatian masyarakat untuk bisa
memenangkan pemilu dan memberi keuntungan untuk partai politiknya. Apapun cara pasti
dilakukan dan dihalalkan.

Terutama yang terjadi di Indonesia saat ini. Kepentingan politik yang dibungkus dengan
urusan agama. Seolah-olah agama dibuat mainan oleh para politikus. Mereka ingin terlihat
baik dan bergaul dengan para pemuka agama untuk memperlihatkan sisi kekhusyukan
agamanya. Bahkan ada pula pemuka agama yang sangat tidak etis untuk berbicara di depan
khalayak umum ketika sedang memberi tausiah. Sesekali dalam tausiahnya pasti dicampuri
masalah politik untuk memilih pimpinan yang seperti ini seperti itu. Padahal yang namanya
tausiah haruslah khusyu mengenai isi tausiah tersebut bukan untuk tunggangan politik.

Terlebih di musim politik saat ini. Banyak sekali pemuka agamayang ditunggangi politik
untuk menjelekkan pimpinan Indonesia saat ini. Mengejek, menertawakan, merendahkan
pimpinan Indonesia. Sangatlah tidak patut ketika tausiah dikumandangkan tetapi isi dalam
tausiahnya tidaklah pantas untuk didengar. Mereka merasa dirinya paling benar, dan semua
masyarakat haruslah sama pilihannya dengannya. Padahal rakyat Indonesia banyak,
pilihannya tidak hanya tertuju pada satu pilihan itu.

Berbagai surve menguatkan bahwa itu semua terjadi karena ideology dan paham
radikalisme telah menjangkiti pikiran sejumlah besar masyarakat. Sejalan dengan itu, rasa
nasionalisme dan nilai-nilai kebangsaan terus menipis.

Seperti inilah keadaan toleransi antar bangsa Indonesia. Tidak seperti dulu lagi yang
sangat mengedepankan persatuan walaupun pilihan akan pimpinannya berbeda. Toleransi
sebagai tonggak untuk menjaga persatuan suatu Negara agar bisa tentram dan aman.

Situasi di atas tentu menjadi keprihatinan setiap warga yang peduli pada nasib bangsanya.
Berbagai upaya telah diambil, terutama oleh pemerintah yang saat ini sedang berkuasa,
namun perbaikan yang diharapkan ternyata belum juga datang dengan segera. Rakyat kecil
seakan akan merasa putus asa melihat pertentangan politik yang terus menerus terjadi.
Mereka kecewa melihat perilaku pemegang kuasa. Mereka kecewa karena politik tak lagi
diabdikan bagi kepentingan mereka. Inilah salah satu bentuk duka dan kecemasan yang
dialami bangsa dewasa ini. Penderitaan yang sedang terjadi adalah penderitaan kolektif
bangsa, maka yang bertanggung jawab untuk memperbaikinya adalah seluruh lapisan
masyarakat Indonesia pula.

Oleh karena itu dibutuhkan kerja sama antara masyarakat dan juga aparat keamanan
untuk tetap menjaga keamanan, kenyamanan dalam kehidupan bermasyarakat terutama saat
beribadah. Toleransi sangat diperlukan agar Negara Indonesia kembali nyaman, aman dan
tentram bagi golongan mayoritas ataupun minoritas serta saling menjaga satu sama lain.
DAFTAR PUSTAKA
Dewantara, W Agustinus, (2017), Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa Ini, Yogyakarta:
PT. Kanisius

Dewantara, W Agustinus, (2017), Alangkah Hebatnya Negara Gotong Royong


(Indonesia dalam Kacamata Soekarno, Yogyakarta: PT. Kanisius

https://nasional.kompas.com

https://www.voaindonesia.com

Anda mungkin juga menyukai