Anda di halaman 1dari 13

KONSEP DASAR, PERKEMBANGAN BUDAYA DIDUNIA, PENGERTIAN,

KAJIAN, HAMBATAN, MINAT KAJIAN KONSELING LINTAS BUDAYA

Disusun Guna Memenuhi tugas


Mata Kuliah : Konseling Lintas Budaya
Kelas : BPI A4
Dosen Pengampu : Widayat Mintarsih, M.Pd.

Disusun Oleh :
Lulu Ma’natul Fadlillah (1901016019)
Anggita Hikmatul Hinayah (1901016031)

BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konseling lintas budaya adalah pelbagai hubungan konseling yang melibatkan para
peserta yang berbeda etnik atau kelompok-kelompok minoritas; atau hubungan konseling
yang melibatkan konselor dan klien yang secara rasial dan etnik sama, tetapi memiliki
perbedaan budaya yang dikarenakan variabelvariabel lain seperti seks, orientasi seksual,
faktor sosio-ekonomik, dan usia (Atkinson, Morten, dan Sue, 1989:37).
Para ahli dan praktisi lintas budaya pun berbeda paham dalam menggunakan
pendekatan universal atau etik, yang menekankan inklusivitas, komonalitas atau
keuniversalan kelompok-kelompok; atau pendekatan emik (kekhususan-budaya) yang
menyoroti karakteristik-karakteristik khas dari populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-
kebutuhan konseling khusus mereka.
Namun, Fukuyama (1990) yang berpandangan universal pun menegaskan, bahwa
pendekatan inklusif disebut pula konseling “transcultural” yang menggunakan pendekatan
emik; dikarenakan titik anjak batang tubuh literaturnya menjelaskan karakteristik-
karakteristik, nilai-nilai, dan teknik-teknik untuk bekerja dengan populasi spesifik yang
memiliki perbedaan budaya dominan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa konsep-konsep dasar konseling lintas budaya?
2. Bagaimana perkembangan budaya di dunia?
3. Apa saja kajian konseling lintas budaya?
4. Apa pengertian konseling lintas budaya?
5. Apa saja hambatan-hambatan konseling lintas budaya?
6. Bagaimana minat terhadap kajian konseling lintas budaya?

C. Tujuan
1. Mengetahui konsep-konsep dasar konseling lintas budaya
2. Mengetahui perkembangan budaya di dunia
3. Mengetahui kajian konseling lintas budaya
4. Mengetahui pengertian konseling lintas budaya
5. Mengetahui hambatan-hambatan konseling lintas budaya
6. Mengetahui minat terhadap kajian konseling lintas budaya
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Konseling Lintas Budaya


1. Latar Belakang Konseling Lintas Budaya
Isu-isu tentang antar atau lintas budaya yang disebut juga multibudaya meningkat
dalam dekade 1960-an, yang selanjutnya melatari kesadaran bangsa Amerika pada
dekade 1980-an. Namun, rupanya kesadaran itu disertai dengan kemunculan kembali
sikap-sikap rasialis yang memecah-belah secara meningkat pula (Hansen, L. S.,
1997:41). Hal ini menjelaskan pandangan, bahwa dibutuhkan pendekatan baru untuk
kehidupan pada abad-21, baik yang melingkup pendidikan bagi orang biasa maupun
profesional dalam bidang lintas serta keragaman budaya.
Pendidikan yang dimaksud hendaknya menegaskan dimensidimensi keragaman dan
perbedaan. Dengan kata lain, kecenderungan pendidikan yang berwawasan lintas budaya
sangat diperlukan dalam kehidupan manusia abad-21. Dasar pertimbangan yang melatari
sangat pentingnya wawasan lintas budaya dalam bidang pendidikan, terutama
dipengaruhi oleh globalisasi dan modernisasi yang sangat pesat, yang antara lain ditandai
dengan kecenderungan besar perubahan kehidupan sebagai berikut.
Pertama, kehidupan demokratisasi yang ditunjukkan dengan kesadaran akan hak
asasi yang semakin meningkat pada setiap lapisan masyarakat. Kedua, transparansi
sebagai dampak dari perkembangan jenis media dan informasi yang semakin beragam,
yang menuntut kemampuan memproses dan memproduksi secara cerdas. Ketiga,
efisiensi dalam pemanfaatan waktu yang menuntut manusia untuk pandai membuat
keputusan dalam bentuk perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan penaksiran serta
penerimaan risiko dari setiap keputusan secara bertanggungjawab.
Dalam bidang konseling dan psikologi, pendekatan lintas budaya dipandang sebagai
kekuatan keempat setelah pendekatan psikodinamik, behavioristik dan humanistik (Paul
Pedersen, 1991). Banyak pengarang menulis tentang konseling lintas budaya sering dari
populasi minoritas mereka sendiri, untuk menyebut jalan pergerakan dari suatu yang
menegaskan landasan pengetahuan Eurosentrik, yang sebelumnya melingkupi landasan
pengetahuan pluralistik. Pada akhirnya, pandangan lintas budaya ditandai oleh
pendekatan holistik untuk membantu dan penyembuhan, terfokuskan pada kelompok dan
keluarga alih-alih pada individu, dan menggunakan sudut pandang yang integral
alih-alih yang linear. Suatu masalah yang berkaitan dengan lintas budaya adalah bahwa
orang mengartikannya secara berlain-lainan atau berbeda, yang mempersulit untuk
mengetahui maknanya secara pasti atau benar. Dapat dinyatakan, bahwa konseling lintas
budaya telah diartikan secara beragam dan berbeda-beda, sebagaimana keragaman dan
perbedaan budaya yang memberi artinya.

2. Pengertian Konseling Lintas Budaya


Definisi-definisi awal tentang lintas budaya cenderung untuk menekankan pada ras,
etnisitas, dan sebagainya; sedangkan para teoretisi mutakhir cenderung untuk
mendefinisikan lintas budaya terbatas pada variabelvariabelnya (Ponterotto, Casas,
Suzuki, dan Alexander, 1995; Locke, 1992; Sue dan Sue, 1990).
Namun, argumen-argumen yang lain menyatakan, bahwa lintas budaya harus
melingkupi pula seluruh bidang dari kelompok-kelompok yang tertindas, bukan hanya
orang kulit berwarna, dikarenakan yang tertindas itu dapat berupa gender, kelas, agama,
keterbelakangan, bahasa, orientasi seksual, dan usia (Trickett, Watts, dan Birman, 1994;
Arrendondo, Psalti, dan Cella, 1993; Pedersen, 1991).
Dilihat dari sisi identitas budaya, konseling lintas budaya merupakan hubungan
konseling pada budaya yang berbeda antara konselor dengan konseli. Burn (1992)
menjelaskan cross cultural counseling is the process of counseling individuals who are of
different culture/cultures than that of the therapist. Oleh sebab itu menurutnya
sensitivitas konselor terhadap budaya konseli menjadi sangat penting. Ia menegaskan:
Dalam pandangan Rendon (1992) perbedaan budaya bisa terjadi pada ras atau etnik
yang sama ataupun berbeda. Oleh sebab itu definisi konseling lintas budaya yang dapat
dijadikan rujukan adalah sebagai berikut. Konseling lintas budaya adalah pelbagai
hubungan konseling yang melibatkan para peserta yang berbeda etnik atau kelompok-
kelompok minoritas; atau hubungan konseling yang melibatkan konselor dan konseli
yang secara rasial dan etnik sama, tetapi memiliki perbedaan budaya yang dikarenakan
variabel-variabel lain seperti seks, orientasi seksual, faktor sosio-ekonomik, dan usia
(Atkinson, Morten, dan Sue, 1989:37).
Dedi Supriadi (2001:6) mengajukan alternatif untuk keefektifan konseling, setelah
mengemukakan definisi konseling lintas budaya. Bagi Dedi, konseling lintas budaya
melibatkan konselor dan konseli yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda,
dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada
pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Agar berjalan
efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri
dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki
keterampilan-keterampilan yang responsif secara kultural. Dengan demikian, maka
konseling dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara konselor
dan klien (Dedi Supriadi, 2001:6).

3. Pendekatan Konseling Lintas Budaya


Sedikitnya ada tiga pendekatan dalam konseling lintas budaya:
 Pendekatan universal atau etik yang menekankan inklusivitas, komonalitas atau
keuniversalan kelompok-kelompok.
 Pendekatan emik (kekhususanbudaya) yang menyoroti karakteristik-karakteristik khas
dari populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhan konseling khusus mereka.
 Pendekatan inklusif atau transcultural, yang terkenal sejak diterbitkan sebuah karya
Ardenne dan Mahtani’s (1989) berjudul Transcultural Counseling in Action. Mereka
menggunakan istilah trans sebagai lawan dari inter atau cross cultural counseling
untuk menekankan bahwa keterlibatan dalam konseling merupakan proses yang aktif
dan resiprokal (Palmer and Laugngani, 2008 : 156). Namun, Fukuyama (1990) yang
berpandangan universal pun menegaskan, bahwa pendekatan inklusif disebut pula
konseling “transcultural” yang menggunakan pendekatan emik; dikarenakan titik
anjak batang tubuh literaturnya menjelaskan karakteristik-karakteristik, nilai-nilai,
dan teknik-teknik untuk bekerja dengan populasi spesifik yang memiliki perbedaan
budaya dominan.

B. Kajian Konseling Lintas Budaya


Istilah berwawasan lintas budaya dapat digunakan secara simultan dengan istilah – istilah
lain, seperti : multi-kultural, antar budaya, inter-kultural, silang-budaya, cross cultural, trans-
kultural, cuonseling across-cultural (Dedi, S. 20015). Menurut Von-Tress (1988, dalam
Dayakisni. 2003. 336) konseling berwawasan lintas budaya adalah konseling di mana
penasihat (konselor) dan kliennya adalah berbeda secara budaya (kultural) oleh karena secara
sosialisasi berbeda dalam memperoleh budayanya, subkulturnya, racial etnic, atau lingkungan
sosial-ekonominya.
Sedangkan Dedi, S. (2001.6) menyatakan, konseling lintas budaya adalah konseling yang
melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan
karena itu proses konseling sangat rawan terjadi bias–bias budaya (cultural biases) pada pihak
konselor, sehingga konseling berjalan tidak efektif.
Konselor berwawasan lintas budaya adalah konselor yang memiliki kepekaan budaya dan
mampu melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas
budaya, dan memiliki keterampilan yang responsif secara kultural. Dari segi ini, maka
konseling berwawasan lintas budaya pada dasarnya merupakan sebuah "pejumpaan budaya" (
encounter) antara konselor dengan budayanya sendiri dengan klien dari budaya berbeda atau
sama dengan yang melayaninya.
Kajian-kajian tentang konsep konseling berwawasan lintas budaya di atas berlaku juga
untuk konsep yang sepadan lainnya seperti multi budaya (multi cultural), antar-budaya
(intercultural), atau trans-budaya (transcultura ) yang digunakan secara berganti-ganti dalam
berbagai literatur untuk maksud yang sama. Sehingga pembahasan konseling berwawasan
lintas budaya dapat juga dipahami sebagai pembahasan konseling multi budaya, konseling
antar budaya, konseling silang budaya atau konseling trans-budaya.
Di samping itu, dalam berbagal literatur digunakan pula istilah konseling untuk populasi
khusus (counseling for special populations) dan konseling multi-etnik (multi-ethnic
counseling), konseling untuk mahasiswa internasional (counseling for international
students) .Selama proses konseling berwawasan lintas budaya berlangsung konselor dan klien
masing-masing akan menjadikan budaya yang dimiliki sebagai investasi awal untuk
pemecahan masalah. Selanjutnya konselor dan klien akan membesarkan investasi itu melalui
perolehan pengalaman dalam proses kelompok, pematangan diri masing–masing dengan
saling tukar kesadaran budaya, yang semuanya bertujuan untuk pemecahan masalah dan
pengembangan potensi anggota kelompok.
Bantuan atau intervensi yang berwawasan lintas budaya dalam konseling adalah bantuan
yang didasarkan atas nilai/keyakinan, moral, sikap dan perilaku individu sebagai refleksi
masyarakatnya, dan tidak semata-mata mendasarkan teori belaka dengan anggapan bahwa
pendekatan terapi yang sama bisa secara efektif diterapkan pada semua klien dari berbagai
budaya (Corey.1997.43) Kebanyakan teori konseling yang diterapkan pada banyak negara
umumnya berdasar pada teori Barat yang menekankan kepada budaya individualistik.
Sementara banyak negara yang mengaplikasikan teori Barat sebenarnya adalah negara
dengan budaya kolektif, yang oleh Triandis (1986) sebagai salah seorang pelopor psikologi
lintas budaya membedakan lebih spesifik bahwa masyarakat Barat bercirikan budaya
individualistik yang mengutamakan perilaku “individualistik” dan “kebebasan” sementara
masyarakat Timur bercirikan budaya kolektif yang menekankan kepada “keanggotaan
kelompok “, “harmoni” dan “kebersamaan”.
Pedersen (1991) mengutip pendapat Brislin (1990), yang menyebutkan bahwa ada tujuh
aspek budaya pada diri individu, yaitu: (1) bagian jalan hidup yang digunakan orang, (2)
gagasan yang diwariskan dari generasi ke generasi, (3) pengalaman masa kanak-kanak yang
berkembang menjadi nilai-nilai yang kemudian terinternalisasi, (4) sosialisasi anak-anak ke
kedewasaan, (5) pola-pola konsep dan tindak secara konsisten, (6) pola-pola budaya
dipelihara meskipun mungkin tidak sesuai, dan (7) rasa tidak berdaya atau kebingungan
menakala terjadi perubahan pola-pola budaya.
Konseling berwawasan lintas budaya sekarang menjadi begitu penting, ketika perjumpaan
budaya dalam masyarakat global menjadi semakin terbuka dan hampir tanpa batas. Ketika
konseling yang lebih mementingkan individu dalam proses konseling, tanpa peduli atmosfir
yang melingkupi proses konseling, baik dalam konseling individual maupun konseling
kelompok, atau atmosfir baru yang muncul dalam proses konseling, maka proses konseling
akan berupa semacam khotbah indoktrinasi, atau pengajaran.
Di samping itu pula, konseling berwawasan lintas budaya meliputi isu tentang penerapan
dan implikasi teori-teori, pendekatan-pendekatan dan prinsip-prinsip konseling yang berasal
dari suatu konteks budaya tertentu ke dalam konteks budaya lain yang berbeda. Misalnya,
penerapan pendekatan Direktif, Non-Direktif, Psikoanalitik, Eksistensialisme, Kognivistik,
Developmental, Rasional-Emotif, dan Behavioristik yang berasal dari Barat ke dalam konteks
budaya Indonesia.

C. Minat Kajian Konseling Lintas Budaya


Supriatna (2011:177) menjelaskan untuk memasukkan unsur keberwawasan budaya
dalam merancang dan mengimplementasikan program bimbingan dan konseling disekolah,
terlebih dahulu dilakukan pengkajian dalam rangka menjawab tantangan utama bagi
seseorang konselor sekolah. Pengkajian dapat dilakukan baik dalam bentuk studi litaratur,
pengamatan intensif, maupun secara partisipasi dalam pergaulan dengan khalayak konselital.
Pengkajian yang dimaksud terutama difokuskan atau untuk menjawab tantangan, bahka
konselor sekolah yang bekerja dengan individu yang berbeda dengan latar belakang
budayanya, hendaknya mampu dan sanggup mendemostrasikan pemahaman dan apresiasinya
terhadap perbedaan budaya.
Kemampuan dan kesanggupan tersebut pada gilirannya diformulasikan ke dalam
sebagian pernyataan tujuan yang akan dicapai melalui program bimbingan dan konseling
yang dirancang, dan ketrampilan-ketrampilan yang bersifat responsif untuk kepentingan
layanan konseling terhadap konseli. Langkah berikutnya adalah merefleksikan kondisi
lingkungan budaya persekolahan. Baik yang menyangkut keragaman asal-usul personel
sekolah dan pola interaksi di antara mereka, berbagai variabel latar belakang yang
memungkinkan bias budaya, maupun budaya organisasi dan kepemimpinan yang
berkembang di sekolah. Refleksi ini penting, terutama untuk merancang perangkat-perangkat
pengindentifikasi dan garis-garis besar strategis intervensi melalui layanan bimbingan dan
konseling.
Dalam pengimplementasiannya, konselor sekolah yang responsif secara budaya harus
berupaya menggunakan kesadaran, pengetahuan dan ketrampilan-ketrampilan mulltibudaya
di dalam konteks pertemuan yang terfokus pada perkembangan akademik, karier, pribadi
ataupun sosial serta kebutuhan para siswa dari lingkungan yang secara budaya berbeda.
Penerapan konseling berwawasan lintas budaya mengharuskan konselor peka dan tanggap
terhadap budaya, keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya antar kelompok klien
yang satu dengan kelompok klien yang lainnya, dan antara konselor sendiri dengan kliennya.

D. Hambatan Konseling Lintas Budaya

Menurut Sue (1981 : 1) faktor-faktor penghambat konseling lintas-budaya


a. Bahasa
Perbedaan bahasa merupakan penghambat terbesar yang perlu diperhatikan dalam proses
konseling lintas budaya. Menurut Arredondo pada waktu ini hanya sedikit praktisi
konseling bilingual (menguasai dua bahasa). Keadaan seperti itu juga terjadi di Indonesia,
apalagi masyarakat kita multi etnis. Adapun yang menjadi penyebab adanya hambatan-
hambatan ini ialah sebagai berikut:
1) Tingkat penguasaan bahasa sangat kurang
2) Minim dalam kosa kata
3) Minim dalam ungkapan-ungkapan
4) Penggunaan dialek yang berbeda- beda.
5) Merasa menjadi etnis yang mayoritas sehingga menganggap orang lain selalu
mengerti apa yang ia maksudkan.
6) Perbedaan kelas sosial
7) Usia
8) Latar pendidikan keluarga
9) Penggunaan bahasa gaul.

b. Nilai (value) 
Merupakan kecenderungan/disposisi mengenai preferensi (kelebih-sukaan) yang
didasarkan pada konsepsi tertentu, yaitu hal yang dikehendaki/diinginkan dan disukai
orang banyak. Ini berkenaan dengan baik/buruk, pantas/tidak pantas, patut/tidak patut.
Nilai merupakan konstruk yang disimpulkan (sebagai sesuatu yang dianut masyarakat
secara kolektif dan pribadi-pribadi secara perorangan). Istilah nilai menunjuk suatu konsep
yang dikukuhi individu atau anggota suatu kelompok secara kolektif mengenai sesuatu
yang diharapkan dan berpengaruh terhadap pemilihan cara maupun tujuan tindakan dari
beberapa alternative (Kluckhohn dalam Berry, 1999). Nilai menjadi faktor penghambat
dalam Konseling Lintas Budaya bilamana:
1)      Memaksakan Nilai diri terhadap orang lain
2)      Memaksakan Nilai golongan mayoritas terhadap nilai golongan minoritas.
Di Indonesia tidak sedikit terdapat perbedaan nilai yang ada pada konselor dan nilai-
nilai yang dianut klien. Klien menganut nilai dari kehidupan keluarga itupun masih sering
terdapat kesenjangan dengan orang tuanya apalagi dengan konselor yang merupakan orang
asing bagi klien. Kesenjangan nilai bisa juga terjadi karena antara konselor dan klien
berasal dari latar kehidupan sosial yang berbeda, tingkat sosial ekonomi, usia, agama,
suku, jenis kelamin dan sebagainya.

c. Stereotip/ Prasangka
Sampai dengan tahun 2000 mungkin ada 6 milyar manusia di atas muka bumi-di
antaramya tidak ada yang sama persis. Orang-orang bisa memiliki badan yang besar dan
kecilm dan memiliki warna kulit yang beragam. Kita memakai pakaian yang berbeda dan
mempunyai ide yang berbeda tentang kecantikan. Banyak dari kita yang percaya hanya
ada satu Tuhan, dan masih ada orang yang percaya akan adanya banyak tuhan, dan masih
ada orang lain yang tidak percaya adanya tuhan.
Stereotype dan prasangka adalah salah satu dinding penghalang bagi komunikasi
intercultural. Istilah stereotype merupakan perluasan istilah yang umum digunakan untuk
mengacu pada judgment negative atau positif yang dibuat dan ditunjukkan kepada
individu-individu didasarkan pada beberapa pengamatan atau keyakinan anggota
kelompok, dimana prasangka berkenaan dengan kebencian atau kecurigaan yang irasional
terhadap suatu kelompok, ras, agama, atau orientasi seks. Istilah-istilah tersebut dengan
pembuatan judgment tentang individu-individu didasarkan atas anggota kelompok.
Dalam proses konseling, tingkat perbedaan pengalaman antara konselor dengan klien,
persepsi dan wawasan mereka terhadap dunia dapat merupakan hambatan besar. Konselor
dari kelas sosial menengah mungkin kurang paham terhadap kebiasaan hidup klien dari
kelas sosial bawah dan atas.

E. Perkembangan Budaya di Dunia


Dunia kita nampaknya bergerak dan diwarnai oleh menonjolnya pola struktur, sistem
nilai kebudayaan yang berciri kemanusiaan (Haryati Subadio). Kalau kila sepaham
dengan Tylor (1977), kebudayaan diberi pengertian sebagai 'human products' di mana
kebudayaan merupakan hasil kemampuan manusia yang bersifat khas. Adapun
perbedaan budaya diantaranya:
a) Amerika Kulit Putih dan Amerika Keturunan Asia
Menurut kerangka berpikir budaya Barat, konseling adalah kegiatan kelas-
menengah orang kulit putih Amerika yang memegang teguh nilai-nilai dan ciri-ciri
yang berbeda dengan nilai-nilai kelompok-kelompok orang yang berasal dari dunia
Ketiga di Amerika (Sue, 1981). Timbul persoalan jika konseling dengan nilai-nilai
hidup kelas-menengah orang kulit putih diberlakukan bagi kelompok-kelompok
minoritas yang berasal dari Dunia Ketiga di Amerika Serikat, yang mempunyai
nilai-nilai dan ciri-ciri yang berbeda.
Dalam hubungan ini, (Sciarra, 2004) mengemukakan perbandingan antara
nilai-nilai budaya orang Amerika Kulit Putih kelas-menengah dengan orang
Amerika keturunan Asia sebagai berikut.
Dimensi Kelompok Etnis
Orang Amerika Orang Amerika
Putih Kelas Menengah Keturunan Asia
Hubungan manusia Menguasai alam Keserasian dengan alam
dengan alam
Orientasi waktu Masa depan Masa lalu dan kini
Definisi diri Individu Kelateral
Bentuk kegiatan yang Berbuat Berbuat
disukai
Sifat dasar individu Baik dan buruk Baik

Konseli/klien di Indonesia mempunyai persamaan ciri-ciri dengan suku bangsa Asia,


karenanya dapat berlaku pola budaya berbagai suku bangsa Asia. Pola umum
budaya tersebut sebagai berikut.
1. Kesetiaan kepada orang tua. Anak-anak Amerika keturunan Asia pada
segala usia diharapkan untuk menghormati dan setiap kepada orang tua mereka.
Bagi remaja, hal ini bisa berarti merupakan tekanan budaya bagi pemilihan karir
karena harus sesuai dengan yang dikehendaki orang tua mereka.
2. Saling bergantung dalam Keluarga. Budaya Amerika-Euro Putih menyamakan
kematangan perkembangan dengan kemampuan memenuhi kebutuhan diri,
dalam budaya orang Amerika keturunan Asia, kematangan perkembangan
berarti meningkatnya kemampuan memenuhi kebutuhan keluarga. Segala hal
yang mungkin merusak keserasian dan fungsi keluarga terlarang. Segala sesuatu
yang negatif mengenai anggota keluarga perorangan dapat membawa rasa malu
bagi seluruh keluarga. Potensi konflik antara anak-anak dengan orang tua sangat
besar bila anak- anak mengalami akulturasi budaya Barat dengan cepat.
3. Si stem Patriarki. Dengan beberapa kecualian, budaya orang Amerika keturunan
Asia cenderung bersifat patriarki, lebih memberikan hak dan keistimewaan
kepada anak laki daripada perempuan. Bila konselor melakukan konsultasi
bagi kedua orang tua, konselor sekolah hendaknya mempersilahkan lebih
dahulu sang ayah sebagai bukti pengakuan dari sistem patriarki.
4. Pengendalian emosi. Budaya Amerika-Asia tidak menyenangi penampakan
emosi dan perasaan sebagaimana adanya dalam diri mereka jika situasi tidak
mengijinkan, dan berbicara mengenai masalah seksual dianggap tabu.
5. Komunikasi konteks-tinggi. Komunikasi orang Amerika-Asia cenderung
bersifat konteks tinggi, yaitu situasi menentukan makna lebih daripada kata-
kata aktual. Misalnya, kata tidak bisa berarti ya atau tidak tergantung atas
konteks (nada suara, intonasi, dan tanda-tanda nonverbal yang menyertai
pesan). Juga konteks menentukan apakah jenis pesan verbal tertentu
diperbolehkan atau tidak. Misalnya, seorang siswa Amerika keturunan Asia
mungkin mengatakan ya kepada konselor karena konteks tidak dapat
mengijinkan siswa untuk berkata tidak, meskipun tidak adalah apa yang
dimaksud siswa. Atau siswa Amerika keturunan Asia mungkin menghindari
kontak mata dengan konselor, yang hal ini adalah tanda menghormati dalam
budaya siswa, tetapi dalam budaya dominan tentu saja, hal itu tidak hormat.
b) Jawa- Sumatra
Perbedaan Jawa Sumatera

Gaya bahasa Halus, sopan, dan lemah Terkesan kasar, nada


lembut tinggi
Karakter Ramah dan tertutup Ramah, terbuka

Sifat Tidak enakan To the point

c) Indonesia- Korea
Perbedaan Indonesia Korea

Bahasa Terdapat banyak bahasa Terdapat 1 bahasa saja

Karakter Ramah Tertutup


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dilihat dari sisi identitas budaya, konseling lintas budaya merupakan hubungan konseling
pada budaya yang berbeda antara konselor dengan konseli. Kemudian juga terhadapat
beberapa hambatan dalam konseling lintas budaya, seperti dalam bahasa, nilai dan prasangka.
Tak hanya itu dunia kita nampaknya bergerak dan diwarnai oleh menonjolnya pola struktur,
sistem nilai kebudayaan yang berciri kemanusiaan (Haryati Subadio). Kalau kila sepaham
dengan Tylor (1977), kebudayaan diberi pengertian sebagai 'human products' di mana
kebudayaan merupakan hasil kemampuan manusia yang bersifat khas.
DAFTAR PUSTAKA
Dewantara, KH. 1977. Pendidikan 9(cetakan kedua). Yogyakarta: Majalis Luhur Persatuan Taman
Siswa.
Samovar, Larry A, Richard E, Porter, Edwin R. McDaniel. (2017). Communication Between Cultures.
Boston: Cengage Learning US.
Sue, D. . (1981). Counseling The Culturally Different : Theory and Practice. (I. John Wiley and Sons,
ed.). New York.
Supriyatna, M. 2011. Bimbingan dan Konseling Berbasis Kompetensi. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.
Supriatna, Mamat.2009. Bimbingan dan Konseling Lintas Budaya. (Materi PLP)

Anda mungkin juga menyukai