Anda di halaman 1dari 4

Mawar Hitam

Kavya, seorang anak perempuan cantik dari suatu suku berkulit hitam ini tinggal bersama
kedua orang tuanya. Ayah Kavya sedang sakit keras. Mereka sudah berusaha mengobati sang
ayah namun tidak ada hasil apapun. Kavya dan keluarganya tinggal di dekat perbatasan antara
suku berkulit hitam dengan suku berkulit putih. Kedua suku itu hidup secara damai dan tidak
pernah ada perseteruan. Mendengar tentang suatu kabar bahwa di suku berkulit putih terdapat
seorang tabib yang sangat tersohor serta baik hati. Ibu Kavya pun meminta anaknya untuk
menemui sang tabib tersebut.

“Kavya, bisakah ibu meminta tolong kepadamu untuk menemui sang tabib dan
memintanya untuk mengobati ayahmu, Nak! Sedangkan ibu akan tetap di sini untuk menjaga
ayah.”

“Jika itu yang bisa menyembuhkan ayah dari sakitnya. Kavya akan pergi segera, Bu.”

Karena rasa sayang yang begitu besar kepada ayahnya, Kavya pun pergi untuk menemui
sang tabib tersebut pada keesokan harinya. Kavya yakin bahwa Tuhan akan selalu menjaganya
dalam perjalanan. Walaupun Kavya juga belum mengetahui pasti keberadaan tabib tersebut,
tetapi ia tetap pergi dengan penuh kayakinan dalam dirinya.

Sesampainya di daerah perbatasan, Kavya mengamati keadaan sekitarnya.

“Ternyata tidak ada yang menjaga daerah perbatasan ini”, ucap Kavya dalam hatinya.

Kavya pun masuk ke dalam wilayah suku kulit putih. Tiba-tiba ada suara yang
meneriakinya.

“Hey, berhenti kamu!”

Kavya pun segera menghentikan langkahnya dan kemudian menoleh. Kavya melihat
seorang lelaki tua yang berpenampilan layaknya seorang kepala suku. Dari raut wajah lelaki itu,
sepertinya ia tidak menyukai kedatangan Kavya. Dan ternyata memang benar bahwa lelaki itu
sangatlah tidak suka kepada orang berkulit hitam masuk dalam wilayah suku berkulit putih.

“Ada maksud apa kamu datang kemari ? Siapa namamu?”

“Nama saya Kavya, Pak. Saya datang kemari untuk menemui seorang tabib yang tinggal
di sini. Ayah saya sedang sakit keras dan membutuhkan obat dari sang tabib. Maaf bila saya
lancang masuk dalam wilayah suku bapak.”

Ketika kepala suku tersebut sedang melontari beberapa pertanyaan kepada Kavya dengan
nada tinggi, kemudian datanglah seorang lelaki muda yang gagah dan segera menghentikan
perbincangan yang sedikit menegangkan tersebut.

“Permisi pak kepala suku, maaf saya memotong pembicaraan bapak. Tidak sengaja saya
tadi mendengar pembicaraan bapak dengan anak ini dan sepertinya anak ini tidaklah berbohong.
Biarkanlah anak ini memasuki wilayah kita dan menemui sang tabib. Saya sendiri yang akan
memastikan bahwa anak ini tidak akan berbuat macam-macam di wilayah kita.”
“Saya pegang ucapanmu, saya mengizinkan anak ini untuk masuk wilayah kita. Tapi jika
ternyata dugaan saya benar dan anak ini adalah seorang mata-mata yang disuruh oleh suku
berkulit hitam untuk menghancurkan wilayah kita, aku akan menghukum mati dirimu beserta
anak ini.”

Akhirnya lelaki muda tersebut mengajak Kavya untuk meninggalkan bapak kepala suku
tersebut. Di sepanjang perjalanan menuju rumah sang tabib, Kavya menceritakan apa yang
sedang terjadi pada ayahnya saat ini hingga akhirnya Kavya berada di tempat ini.

***

Di waktu yang bersamaan, kepala suku tersebut mengabarkan kepada warganya bahwa
telah ada seorang anak kecil dari suku berkulit hitam yang telah memata-matai wilayahnya.
Kemudian, para penduduk itu mencari-cari keberadaan Kavya untuk ditawan dan akan diberi
hukuman mati.

“Kita semua harus menyebar untuk mencari keberadaan anak perempuan dari suku
berkulit hitam itu. Sepertinya suku mereka sedang mencari perkara dengan suku kita. Padahal
selama ini kita tidak pernah mengajak ribut mereka,” ucap kepala suku.

Para warga pun mulai menyebar untuk mencari Kavya. Namun, mereka tidak kunjung
menemukan Kavya sebab ternyata Kavya beserta lelaki muda yang mengantarkannya tersebut
melewati sebuah jalan rahasia yang jarang diketahui oleh penduduk suku tersebut.

Rupanya lelaki muda yang mengantarkan Kavya tersebut telah mengetahui akal busuk
kepala suku yang mana ia sangat tidak menyukai orang yang berkulit hitam. Alasannya sebab si
kepala suku sangatlah iri hati kepada kepala suku berkulit hitam yang memimpin sukunya
dengan baik sehingga keadaan wilayahnya sangat maju. Namun, ternyata warga dari suku
berkulit hitam mencari obat kepada warga suku berkulit putih.

***

Sesampainya Kavya dan lelaki muda di rumah sang tabib. Mereka diterima dengan
sangat baik di sana. Kemudian Kavya pun menceritakan kepada sang tabib mengenai ayahnya.
Namun, ternyata sang tabib tidak bisa ikut bersama Kavya untuk mengobati ayahnya di rumah.
Sebab ada sebuah pantangan, di mana sang tabib tidak boleh meninggalkan wilayah dari
sukunya. Hati Kavya pun mulai hancur. Ia tidak tahu harus melakukan apalagi untuk
kesembuhan ayahnya.

“Jangan khawatir, Nak! Saya bisa memberikan obat untuk ayahmu. Ceritakan saja ciri-
ciri penyakit ayahmu tersebut!”

Tidakkah gajah dapat di tangan manusia. Pikiran Kavya pun kembali positif untuk
kesembuhan ayahnya. Ia menceritakan ciri-ciri penyakit ayahnya kepada sang tabib. Semua
serba mungkin untuk kesembuhan ayahnya, walau hanya dengan obat sang tabib jika Tuhan telah
berkehendak.
Tabib pun menyiapkan ramuan obat untuk ayah Kavya. Setelah ramuan obat siap, tabib
memberikannya kepada Kavya dan menjelaskan penggunaan obat ini.

“Terima kasih tabib, semoga ayahku dapat sembuh setelah meminum obat ini. Dan
semoga Tuhan membalas kebaikanmu ini.”

Setelah itu, Kavya dan lelaki muda tersebut meninggal-kan tempat sang tabib tersebut.
Namun, tiba-tiba tabib menghentikan langkah mereka dan ia memberitahu bahwa mereka harus
berhati-hati selama dalam perjalanan karena semua warga beserta kepala suku sedang mencari
Kavya saat ini. Namun, kepala suku tidak memberitahukan warga jika Kavya ingin kemari
menemui sang tabib.

***

Lelaki muda tersebut mengantarkan Kavya kembali ke rumahnya mlewati suatu jalan
rahasia. Entah siapa pemuda tersebut, mengapa ia bisa mengetahui jalan rahasia yang tidak ada
satu pun orang yang mengetahui keberadaan mereka. Sesampainya di perbatasan suku, Kavya
harus kembali ke rumah sendiri tanpa si pemuda. Karena Kavya sangatlah mencemasi kondisi
ayahnya, hingga ia lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada lelaki muda tersebut.

Sesampainya di rumah, Kavya sangatlah sedih melihat ayahnya yang sudah tergeletak tak
bernyawa. Tangisannya pun banjir dalam pelukan ibunya. Karena selama ini Kavya dan ayahnya
sangatlah dekat dan pada akhir hidup sang ayah Kavya tidak bisa di sampingnya sangat membuat
Kavya kecewa.

Setelah pemakaman sang ayah selesai. Kavya mencerita-kan perjalanannya ke suku kulit
putih dan juga lelaki muda yang telah membantunya. Dan seketika suatu hal melintas dalam
pikirannya, bahwa ia belum sempat mengucapkan terima kasih kepada lelaki muda tersebut.

“Ibu izinkan Kavya untuk kembali ke sana dan mengucapkan terima kasih kepada lelaki
muda tersebut, Ibu.”

“Baiklah jika itu keinginanmu. Tetapi, kamu akan pergi bersama ibu agar ibu bisa
memastikan bahwa kamu baik-baik saja dalam perjalanan.”

Kavya dan ibunya pun pergi untuk menemui lelaki muda tersebut melewati jalan rahasia
yang telah dilewati Kavya dan lelaki muda waktu itu. Namun, sesampainya di jalan Kavya
bertemu dengan penduduk suku berkulit putih. Kemudian Kavya dan ibunya segera ditangkap.
Tiba-tiba lelaki muda tersebut kembali datang untuk membantu Kavya bersama sang tabib dan ia
menjelaskan kepada penduduk tersebut mengenai apa yang sebenarnya terjadi hingga akhirnya
penduduk percaya akan penjelasan dari lelaki muda dan tabib tersebut. Amarah penduduk suku
berkulit putih akhirnya meledak akan fitnah yang telah disebarkan oleh kepala suku. Akhirnya
kepala suku itu pun ditangkap dan akan dihukum mati oleh para warganya sendiri.

“Maafkan segala kesalahanku yang telah menyebarkan fitnah kebencian ini kepada
kalian. Namun, kumohon jangan hukum mati aku!”
Kavya pun kemudian memohon kepada para penduduk agar tidak melakukan hukuman
mati kepada si kepala suku.

“Mohon ampunilah kesalahan kepala suku, biarkan ia memimpin suku ini kembali
menjadi lebih baik. Lagi pula ia telah mengakui kesalahannya dan sudah berjanji tidak akan
mengulanginya lagi.”

“Baik sekali hatimu itu, Nak. Bagaikan bunga mawar yang indah dan harum. Engkau
tetap membalas kejahatan kepala suku ini dengan kebaikan dalam dirimu,” kata seorang warga.

“Aku melakukan ini sebab ayahku pernah berkata jika suatu kejahatan tidak perlu dibalas
dengan kejahatan pula.”

Akhirnya kepala suku pun dibebaskan dan ia mengucapkan maaf kepada Kavya. Kepala
suku berjanji akan menjadi pemimpin yang lebih baik lagi. Dan Kavya pun mengucapkan terima
kasih kepada si lelaki muda karena telah membantu Kavya selama ini, walaupun pada akhirnya,
Kavya tetap tidak bisa menyelamatkan hidup sang ayah yang telah membuat sebagian hidup
dalam dirinya menjadi hitam sebab kehilangan ayahnya. Sekarang suku berkulit putih dan hitam
pun hidup dengan damai kembali.

***

Anda mungkin juga menyukai