Anda di halaman 1dari 3

Kehidupan Yang Harus Didengar

Cerita pengalamanku yang seorang pelajar yang belum memiliki kartu sakti agar lolos
dari surat cinta bapak polisi, sehingga untuk datang dan pulang dari dan ke tempat pemberi
ilmu itu menaiki angkutan umum. Akan ada interaksi para penumpang angkutan umum yang
mempunyai karakter dan sifatnya masing-masing serta masalah kehidupannya yang membuat
hidupnya ruang sempit dan panas ini namun dengan pemanis kekonyolan mereka. Konyol!
Hingga membuatku sejenak lari dari kenyataan pahit hidup ini.

Saat mentari sedang hangat-hangatnya dan angin sepoi menyapaku. Bel berbunyi,
akhir dari pembelajaran sore itu dan semua bersiap untuk pulang. Namun masih ada sepucuk
kertas untuk dibawa dan diselesaikan untuk hari esok. Aku yang telah lelah masih harus
dihadapkan dengan kesulitan karna harus menaiki angkot, seperti itulah mereka menyebut
angkutan umum ini. Angkot yang kutumpangi penuh sesak akan bawaan kehidupan yang
sebenarnya enggan untuk dengar maupun kulihat apalagi mencari jalan keluarnya.

Didalam angkot ada seorang ibu penjual sayuran dari pasar dan seorang wanita muda
berpendidikan lengkap dengan emblemnya. Angkot ini penuh karena barang bawaan dari si
nenek ini bawaan yang dibawanya menimbulkan bau.

“Bau banget sih bawaannya, bawa ikan busuk ya, penumpang lain kan jadi nggak
nyaman. Besok lagi bawa mobil sendiri kalo bawa barang yang baunya nyengat nek. Dah tua
kok masih nggak paham.” Sorai sang wanita muda dengan santainya.

“Maaf nak, nenek cuma sebentar hanya sampai pertigaan depan situ.” Jawab sang
nenek dengan lemah lembut.

“Ih…, bau banget turun sekarang aja sih nek. Bau banget nih nek gak kuat ah. Jangan-
jangan nenek bawa bangkai ikan beneran ya.” Jawab sang wanita muda dengan kerasnya.

Aku memang mencium bau tak sedap itu namun bukan seperti itu cara memberi tahu
nenek bungkuk yang telah letih mencari uang. Menurutku cara nya keterlaluan aku ingin
membalas perkataan sang wanita muda itu namun aku masih enggan. Tak lama kami sampai
ke pertigaan yang nenek itu maksud, lalu ia turun dengan bawaannya dan dengan ekspresi
yang sedih oleh perlakuan wanita muda tadi.
Setelah sang nenek turun lalu masuklah anak laki-laki lengkap dengan tas
dipunggungnya. Ia duduk diampingku. Aku sekilas melihat sang wanita muda itu tersenyum
setelah si nenek turun. Ia lalu memijit layar ponsel yang telah retak karna terlalu seringnya ia
berkomentar pedas. Tak lama ada dua anak perempuan menghentikan angkot yang telah
sesak ini namun mereka tidak naik karna menurut mereka angkot ini telah penuh.

Sang wanita muda hanya melirik sekilas dan berkata “Kalo gak mau naik yaudah gak
usah pulang aja sekalian dasar tukang pilih-pilih. Tempatnya aja masih muat.” Mendengarnya
berkata begitu merekapun naik dan satu orang masih diluar dengan muka bingung akan
duduk dimana. “Hei, kamu anak laki-laki kamu keluar biar adek itu bisa duduk diluar terus
kamu entar ngantung aja,” seru sang wanita muda melihat muka bingung dari anak
perempuan itu. Sang anak laki-laki keluar dengan menggigit bibirnya.

Setelah semua masuk keheninganpun mencekam. Angkot berjalan dengan bau bensin
yang menyengat dan tidak nyaman karna pak supir mengamudi dengan ugal-ugalan. Satu
persatu penumpang turun dan yang tersisa hanya aku, sang wanita muda dan seorang anak
perempuan. Dalam keheningan itu anak perempuan tadi tertawa dengan terbahak-bahak.

“Ih! Berisik banget sih, anak perempuan kok ketawanya kayak gitu gak ada sopan-
sopannya.” Seru sang wanita muda.

“Biarin sih suka-suka aku, situ kok repot banget ngurusin gue.”

Aku telah lelah mendengar pembicaraan yang dari tadi mebuat telingaku panas.
Akhirnya suarakupun keluar.

“Berisik banget ya disini. Mbak beremblem yang berpendidikan kok mulutnya gak
bias dijaga ya. Dari tadi komentar aja. Ngaca sama kelakuan diri sendiri dong. Jangan suka
ngurusin orang lain.”

Suaraku ini menyebar dan mengejutkannya. Tak terima dinasehati anak bau kencur ia
pun naik pitam. Dengan kerasnya ia mengetok atap angkot dan menyuruhku turun padahal
tujuanku masih jauh. Namun dengan senang hati aku turun karna sudah Lelah mendengar
perkatannya yang pedas itu.

Aku turun dan membayar angkot itu namun pak supir menolaknya namun aku
memaksanya. Seperempat jam aku menyusuri jalan yang tak sing lagi tiba-tiba ada motor
berhenti di depanku ia menawarkanku untuk naik dan akan mengantarkanku ke rumah. Aku
mempercayaainya karna ia adalah temanku.

Di perjalanan pulang aku melihat wanita muda yang tadi menyuruhku turun, ku lihat
ia meneteskan air mata saat seorang lelaki seusiaku memarahinya karena lelaki itu telah
menunggu lama. Dari kejauhan ku lihat lelaki itu mengayunkan tangannya. Aku tak begitu
peduli karena perlakuan dia tadi lalu aku pun pulang dengan berat hati.

Anda mungkin juga menyukai