Anda di halaman 1dari 22

HUKUM PEMBUKTIAN DALAM

KASUS PIDANA PENCURIAN

DINDA FATHIRA

01051170107

KELAS B 2017

UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

JL. M.H. THAMRIN BOULEVARD KARAWACI

2019

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala

rahmat dan karunia-Nya yang memberikan kesehatan dan anugerah pada penulis

sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Makalah ini mengangkat judul “Hukum Pembuktian dalam Kasus Pidana

Pencurian”. Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi nilai Ulangan

Akhir Semester (UAS) pada mata kuliah Hukum Pembuktian.

Penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada Bapak Rizky Pratama

Putra Karo Karo, S.H., M.H., selaku dosen mata kuliah Hukum Pembuktian yang

telah memberikan bimbingan kepada penulis dalam penyusunan makalah dan

teristimewa kepada orang tua penulis yang selalu mendoakan, memberikan

motivasi, dan pengorbanannya baik dari segi materil maupun moril sehingga

penulis dapat menyelesaikan makalah ini;

Penulis mengakui bahwa makalah ini memiliki banyak kekurangan dan jauh

dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat

membangun kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, penulis berharap makalah sederhana ini dapat bermanfaat bagi pihak-

pihak yang membutuhkan dan memberikan inspirasi kepada pembaca.

Tangerang, 28 November 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMANJUDUL.................................................................................................i

KATA PENGANTAR ............................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

INTISARI................................................................................................................ v

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 6

1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 6

1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................................7

1.4 Manfaat Penulisan .......................................................................................... 7

1.5 Sistematika Penulisan .....................................................................................8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………...………………………...........9

2.1 Landasan Teori................................................................................................9

2.1.1 Tindak Pidana dalam KUHP…………………………………………...9

2.1.2 Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana……………………………..10

2.2 Landasan Konseptual……………………………………………………….12

2.2.1 Alat Bukti Sah menurut KUHAP……………………………………..12

2.2.2 Barang Bukti menurut KUHAP……………………………………....14

BAB III METODE PENELITIAN……………………………………………….16

3.1 Pendekatan Masalah……………………………………………………16

3.2 Sumber Data……………………………………………………………16

3.2.1 Bahan Hukum Primer…………………………………………….16

3.2.2 Bahan Hukum Sekunder………………………………………….16

iii
3.2.3 Bahan Hukum Tersier…………………………………………….16

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………………………...17

4.1 Hasil Penelitian…………………………………………………………17

4.2 Kasus dan Pembahasan…………………………………………………17

4.2.1 Kasus……………………………………………………………..17

4.2.2 Pembahasan………………………………………………………18

BAB V KESIMPULAN ………………………………………………………….19

5.1 Kesimpulan……………………………………………………………..19

5.2 Saram…………………………………………………………………...20

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………21

iv
INTISARI
__________________________________________________________________

Pencurian adalah perbuatan manusia dengan mengambil barang sesuatu yang


seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk
menguasai benda tersebut secara melawan hak. Kejahatan pencurian itu merupakan
delik yang dirumuskan secara formal dimana yang dilarang dan diancam dengan
hukuman. Pencurian dengan kererasan dalam hukum positif diatur dalam KUHP
Pasal 365 dengan ancaman hukumannya terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
hukuman penjara dan hukuman mati. Sebelum dijatuhkan hukuman tersebut maka
dibutuhkan bukti yang dibahas dalam Hukum Pembuktian.

Kata Kunci: Pencurian, Hukum, Pembuktian, Kasus Pidana

ABSTRACT
__________________________________________________________________

Theft is a human act by taking goods wholly or partly something that belongs to
another person, with the intention of controlling the object in contravention of
rights. The crime of theft is a formally constituted offense in which prohibited and
threatened with punishment. Violence theft in positive law is regulated in Article
365 of the Criminal Code with the threat of punishment divided into two parts,
namely: imprisonment and death. Before the sentence is handed down, evidence is
needed that is discussed in the Proof Law.

Keywords: Theft, Law, Evidence, Criminal Case

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pencurian adalah suatu tindakan melawan hukum yang tindakannya

mengambil ha katas barang orang lain secara terpaksa atau tidak terpaksa dan

secara diam-diam atau tidak diam-diam hingga dengan tindakannya tersebut

dapat mengakibatkan kerugian terhadap korban dari tindakan pengambilan

hak orang lain tersebut. (Mangkepriyanto 2019: 44)

Dijelaskan dalam Pasal 362 KUHP “Barang siapa mengambil barang

sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud

dimiliki dengan melawan hukum, diancam dengan pencurian, dengan pidana

penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah”.

Melihat dari rumusan pasal tersebut dapat diketahui, bahwa kejahatan

pencurian itu merupakan delik yang dirumuskan secara formal dimana yang

dilarang dan diancam dengan hukuman, dalam hal ini adalah perbuatan yang

diartikan “mengambil". (Siswandi 2017: 32)

Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan membahas mengenai

pembuktian dalam hukum acara pidana secara umum, pembuktian dalam

kasus pembuktian berikut contoh kasusnya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, permasalahan

dalam penulisan makalah ini dirumuskan sebagai berikut:

vi
1. Bagaimana klasifikasi dan penjelasan mengenai alat dan barang bukti

dalam hukum acara pidana di Indonesia?

2. Bagaimana pembuktian dalam kasus pencurian di Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan

Mengacu pada rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka

tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui sistem pembuktian dalam hukum acara pidana di

Indonesia.

2. Untuk mengetahui bentuk pembuktian terkait kasus pencurian berikut

analisisnya.

1.4 Manfaat Penulisan

1. Memberikan manfaat bagi pembaca sebagai wawasan dan rujukan tentang

hukum pembuktian yang berkaitan dengan kasus pencurian.

2. Makalah ini memberikan manfaat sebagai referensi akademis bagi pembaca

dari berbagai kalangan

3. Sebagai sumber wawasan pembaca mengenai pembuktian berikut

pembahaman melalui analisis kasus.

vii
1.5 Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan Landasan Teori dan Landasan Konseptual.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan Metode Penelitian yang membahas tentang metode

penelitian yang digunakan untuk mencapai kesimpulan dalam makalah ini.

BAB IV HASIL PENELITIAN & ANALISIS

Bab ini berisi tentang hasil penelitian dan analisis dari kasus

BAB V PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang berkaitan dengan analisis dari

bab-bab sebelumnya.

viii
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Tindak Pidana dalam KUHP

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “strafbaarfeit”

perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan dengan mana

disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang

melanggar larangan tersebut. Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak

terdapat penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaar

feit itu sendiri. Tindak pidana biasanya disamakan dengan delik, yang berasal

dari bahasa latin yakni kata delictum.

Delik tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai berikut

: “Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan

pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana”. (Pramuhita 2014: 13)

Dalam menetapkan dasar patut dipidananya perbuatan, KUHP bersifat

positivis dalam arti harus dicantumkan dengan undang-undang (asas legalitas

formil). Dengan demikian, KUHP tidak memberikan tempat bagi hukum yang

hidup di tengah-tengah masyarakat yang tidak tertulis dalam perundang-

undangan. Oleh karena itu, secara sosiologis KUHP telah ketinggalan zaman

dan sering tidak sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.

Delik materiil dimana dalam perumusan tindak pidana hanya disebutkan

akibat tertentu sebagai akibat yang dilarang. Apabila dijumpai delik yang hanya

dirumuskan akibatnya yang dilarang dan tidak dijelaskan bagaimana kelakuan

yang menimbulkan akibat itu, harus menggunakan ajaran “hubungan kausal”,

ix
untuk manggambarkan bagaimana bentuk kelakuan yang menurut logika dapat

menimbulkan akibat yang dilarang itu.

Sehingga untuk mengetahui perbuatan materiil dari tindak pidana yang

menyebabkan timbulnya akibat yang dilarang. Tanpa diketahui siapa yang

menimbulkan akibat yang dilarang itu, tidak dapat ditentukan siapa yang

bertanggung jawab atas perbuatan dengan akibat yang dilarang tersebut.

Delik formil ialah delik yang dianggap telah terlaksana apabila telah

dilakukan suatu perbuatan yang dilarang. Dalam delik formil hubungan kausal

mungkin diperlukan pula, tetapi berbeda dengan yang diperlukan dalam delik.

(Siswandi 2017: 34)

Hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil,

berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran

formal. Pada pemeriksaan perkara pidana, hakim berperan aktif dalam mencari

kebenaran materiil. Untuk mencari kebenaran materiil itu dibutuhkan bukti

yang cukup, pembuktian yang dibutuhkan akan dibahas dalam subbab setelah

ini.

2.1.2 Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi pedoman tata

cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang

didakwakan terhadap terdakwa. Pembuktian merupakan bagian terpenting

dalam sidang pengadilan karena dengan pembuktian akan tampak

apakah terdakwa bersalah atau tidak bersalah.

x
Sebelum hakim berperan dalam mencari kebenaran materi, maka kita

perlu mengetahui tahapannya terlebih dahulu. Menurut KUHAP, tahapan

dalam mencari kebenaran materiil merupakan sebagai berikut:

1. Penyidikan

2. Penuntutan

3. Pemeriksaan di persidangan

4. Pelaksanaan, pengamatan, dan pengawasan

Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat

bukti yang dipergunakan, penguraian alat bukti, dan dengan cara-cara

bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan serta dengan cara bagaimana

seorang hakim harus membentuk keyakinannya di depan sidang pengadilan

(Ante 2013: 98).

Prinsip pembuktian oleh hakim dan hakim konstitusi wajib menggali,

mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukumdan rasa keadilan yang hidup

dalam masyarakat (Pasal 5 ayat 1 UU 48/2009 Kekuasaan Kehakiman) (Karo

2018: 8)

Sistem pembuktian dalam perkara pidana di Indonesia adalah sistem

pembuktian berdasarkan undang- undang secara negatif dimana pembuktian

harus didasarkan pada undang-undang (Pasal 183 KUHAP) yakni dengan

sekurang- kurangnya dua alat bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan

bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang

bersalah melakukannya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, maka

terdakwa harus dibebaskan dari hukuman.

xi
Sebaliknya manakala kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan

alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa harus

dinyatakan bersalah dan selanjutnya dijatuhi hukuman. (Ante 2013: 98)

2.2 Landasan Konseptual

2.2.1 Alat Bukti Sah menurut KUHAP

Alat bukti yang sah menurut KUHAP dapat dilihat dengan

menghubungkan Pasal 183 dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Pada

Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah dibuktikan secara limitatif alat-alat bukti

yang sah menurut undang-undang yaitu:

a. Keterangan Saksi

Penjelasan terkait keterangan saksi terdapat dalam Pasal 1 angka 27

KUHAP yaitu salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa

keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar

sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan

dari pengetahuannya itu.

b. Keterangan Ahli

Keterangan ahli diatur di dalam Pasal 1 angka 28 KUHAP yaitu

keterangan yang diberikan seorang ahli yang memiliki keahlian

khusus tentang masalah yang diperlukan penjelasannya dalam suatu

perkara pidana yang sedang diperiksa, maksud keterangan khusus dari

ahli, agar perkara pidana yang sedang diperiksa menjadi terang demi

untuk penyelesaian pemeriksaan perkara yang bersangkutan.

xii
c. Alat Bukti Surat

Menurut ketentuan Pasal 187 KUHAP surat yang dapat dinilai sebagai

sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang ialah surat yang

dibuat atas sumpah jabatan atau surat yang dikuatkan dengan sumpah.

d. Alat Bukti Petunjuk

Alat bukti petunjuk sabagaimana yang terdapat dalam Pasal 188 ayat

(1) KUHAP, Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang

karena persesuainnya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun

dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu

tindak pidana dan siapa pelakunya. Penerapan alat bukti petunjuk

dalam persidangan juga terdapat dalam Pasal 188 ayat (3), yaitu

penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap

keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana,

setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan

kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.

e. Keterangan Terdakwa

Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam Pasal

184 ayat (1). Terkait dengan keterangan terdakwa terdapat dalam Pasal

189 ayat (1) KUHAP. Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa

nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui

sendiri atau alami sendiri. Pada prinsipnya keterangan terdakwa adalah

apa yang dinyatakan atau diberikan terdakwa di sidang pengadilan.

Adapun apa yang terdakwa terangkan dalam pemeriksaan pendahuluan

xiii
dahulu itu bukan merupakan suatu bukti yang sah, ia hanya dapat

digunakan untuk membantu menerangkan bukti di sidang pengadilan.

Dan hanya dapat digunakan terhadap terdakwa sendiri. Untuk

membuktikan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang

didakwakan kepadanya, maka keterangan terdakwa itu harus ditambah

lagi dengan satu alat bukti yang lain misalnya dengan keterangan saksi,

satu keterangan ahli atau satu surat maupun petunjuk. (Litigasi: 2018)

2.2.2 Barang Bukti menurut KUHAP

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memang tidak

menyebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti.

Namun dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan mengenai apa-apa saja

yang dapat disita, yaitu:

a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian

diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak

pidana;

b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan

tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;

c. benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak

pidana;

d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak

pidana;

xiv
e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana

yang dilakukan,

Atau dengan kata lain benda-benda yang dapat disita seperti yang

disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP dapat disebut sebagai barang

bukti. (Dianti: 2011)

xv
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Masalah

Dalam makalah ini penulis menggunakan pendekatan yuridis normatif

adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan

cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan

perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan ini

dikenal pula dengan pendekatan kepustakaan, yakni dengan mempelajari buku-

buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan

dengan penelitian ini.(Yudiono: 2013)

3.2 Sumber Data

Data yang penulis ambil terdiri dari 3 (tiga) sumber bahan hukum yaitu

bahan hukum primer,sekunder dan tersier. Untuk lebih jelasnya penulis akan

mengemukakan sebagai berikut:

3.2.1 Bahan Hukum Primer

1. Wetboek van Stafrecht, (KUH Pidana atau KUHP)

2. Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang

Hukum Acara Pidana

3.2.2 Bahan Hukum Sekunder

Penulis menggunakan artikel, disertasi dan jurnal dalam makalah ini.

3.2.3 Bahan Hukum Tersier

Penulis menggunakan intisari, website dan kamus hukum.

xvi
BAB IV

HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Dari tinjauan pustaka yang telah dijabarkan maka untuk dijatuhkannya

tindak pidana harus melalui proses pembuktian terlebih dahulu, yaitu melalui

proses: penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan, pelaksanaan,

pengamatan, dan pengawasan. Hakim juga berperan aktif dalam mencari

kebenaran materiil. Untuk mencari kebenaran tersebut maka dibutuhkan alat

bukti yang sah, yaitu: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan

kemudian keterangan terdakwa.

4.2 Kasus dan Pembahasan

4.2.1 Kasus

Perkara Nomor 255/Pid.B/2010/PN.BKL.

Shodiq: Terdakwa

Husnan: Pelapor/korban

Duduk Perkara:

Pada 26 April 2010 sekira pukul 19.00 WIB 26 April 2010 sekira

pukul 19.00 WIB Shodiq mengambil 1(satu) sandal converse warna

merah milik korban senilai Rp 80.000. Terdakwa dilaporkan pada 30

April 2010 kemudian ditahan hingga 29 Mei 2010. Terdakwa akhirnya

dibebaskan dengan syarat membayar uang perkara dan mengembalikan

barang curian.

xvii
Alat Bukti: 3 saksi (Munir, Fajar, dan Sardi). Pada pokoknya saksi

melihat sendiri bahwa terdakwa telah mencuri sandal tersebut.

4.2.2 Pembahasan

Jika hakim ingin menjatuhkan pidana dengan alat bukti yang telah

dilampirkan diatas maka telah sesuai karena dibutuhkan 2 (dua) alat bukti

dalam menjatuhkan pidana, dalam kasus ini terdapat 3 (tiga) saksi.

Namun, dibutuhkan prinsip pembuktian oleh hakim dan hakim

konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum

dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Maka dari itu keputusan Hakim dalam membebaskan terdakwa

adalah tindakan yang tepat, walaupun mencuri adalah tindakan yang

salah, tapi kerugian yang didapat oleh korban berupa sandal seharga Rp

80.000 tidak sebanding dengan kerugian immaterial yang terdakwa

dapatkan. Terdakwa ditahan selama 1 (satu) bulan dan menjadi tahanan

kota selama 2 (dua) bulan.

xviii
BAB V

KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

1. Dapat disimpulkan bahwa untuk dijatuhkannya tindak pidana harus melalui

proses pembuktian terlebih dahulu, yaitu melalui proses: penyidikan,

penuntutan, pemeriksaan di persidangan, pelaksanaan, pengamatan, dan

pengawasan. Hakim juga berperan aktif dalam mencari kebenaran materiil.

Dibutuhkan pula prinsip pembuktian oleh hakim dan hakim konstitusi wajib

menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukumdan rasa keadilan

yang hidup dalam masyarakat. Untuk mencari kebenaran tersebut maka

dibutuhkan alat bukti yang sah, yaitu: keterangan saksi, keterangan ahli,

surat, petunjuk, dan kemudian keterangan terdakwa.

2. Alat bukti dalam kasus ini kuat karena terdapat 3 (tiga) orang saksi. Namun,

dalam mencari kebenaran materiil dibutuhkan peran hakim, maka dalam

kasus ini hakim telah mengedepankan rasa keadilan yang hidup dalam hidup

masyarakat. Mencuri adalah hal yang salah tapi dibutuhkan pertimbangan

dari kedua belah pihak dalam memutus perkara. Walaupun, korban

mendapat kerugian materiil sebesar Rp 80.000 akan tetapi terdakwa

merasakan kerugian immateriil dengan ditahan selama 1 (satu) bulan dan 2

(dua) bulan sebagai tahanan kota.

xix
5.2 Saran

1. Saksi sebagai alat bukti, selain diberikan sumpah juga dibutuhkan lie

detector atau alat penunjang lainnya agar dapat dipastikan kebenarannya.

2. Pada praktiknya, dibutuhkan edukasi dari seluruh kalangan yang ikut andil

dalam awal proses pembuktian. Terutama polisi dalam proses penyidikan

harusnya memilih kasus yang diterima, jaksa, dan hakim diharapkan untuk

mempercepat proses persidangan agar tidak ada pihak yang dirugikan.

3. Diperlukan hakim yang memiliki integritas dan memiliki hati nurani dalam

proses pembuktian hingga memberikan keputusan.

xx
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Mangkepriyanto, Extrix. (2019). Pidana Umum dan Pidana Khusus. Bogor:

Guepedia.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum

Acara Pidana.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Jurnal

Ante, Susanti. (2013). Pembuktian dan Putusan Pengadilan dalam Acara Pidana.

Lex Crimen Vol. II/No. 2/Apr-Jun/2013.

Makalah

Siswandi. (2017). Pencurian Menurut KUHP, Teori Pembuktian, Alat Bukti

Menurut Kuhap dan UU ITE. Bandung: UNPAS.

Pramuhita, A. (2014). Strafbaaf Feit. Lampung: UNILA.

Yudiono, OS. (2013). Metode Penelitian. Lampung: UNILA.

Power Point

Karo, Rizky. (2018). Pembuktian dalam Hukum Pidana.

xxi
Website

Litigasi. Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Pidana.

https://litigasi.co.id/hukum-pembuktian-menurut-hukum-acara-pidana

Dianti, Flora. Apa Perbedaan Alat Bukti dengan Barang Bukti?

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4e8ec99e4d2ae/apa-

perbedaan-alat-bukti-dengan-barang-bukti-/

xxii

Anda mungkin juga menyukai