Anda di halaman 1dari 2

INTEGRASI SOSIAL KUNCI SELESAIKAN PERSOALAN

PAPUA SECARA TUNTAS DAN BERMARTABAT

Untuk kesekian kalinya mahasiswa Papua terlibat bentrok dengan ormas dan aparat
keamanan. Makian rasis dan persekusi terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur,
pada 16 Agustus 2019 berbuntut panjang dan memicu aksi massa luas di Manokwari, Sorong,
Fak Fak, di Papua Barat; dan Biak, Timika, dan Jayapura di Papua. Ungkapan rasis pada orang
Papua sudah lama dan terus terjadi. Persipura, tim sepakbola asal Jayapura, kerap diteriaki
‘monyet’ oleh pendukung kesebelasan lawan. Bahkan Frans Kaisiepo, pahlawan nasional dari
Papua yang fotonya terdapat dalam pecahan uang kertas Rp 10 ribu, tak luput dari ledekan
bernada rasis. Lalu mengapa peristiwa kali ini dengan cepat mampu mengobarkan kemarahan
masyarakat Papua? Reaksi keras dan terus mengemukanya kekecewaan masyarakat Papua di
tengah tingginya perhatian pemerintah terhadap pembangunan di sana mengindikasikan adanya
persoalan serius dalam pendekatan yang selama ini ditempuh negara. Pendekatan pemerintah
cenderung menekankan integrasi teritorial dan pembangunan ekonomi namun mengabaikan
integrasi sosial dan pembangunan kemanusiaan.
Terlepas dari kontroversi yang terus ada hingga kini, Papua telah menjadi bagian
Indonesia yang sah dan diakui dunia internasional dengan disahkannya hasil Penentuan
Pendapat Rakyat (Pepera) oleh PBB melalui resolusi no 2504 pada tahun 1969 Namun Papua
bukanlah tanah kosong tak berpenghuni. Terdapat tujuh wilayah adat yang dihuni oleh ratusan
suku di sana. Integrasi teritorial Papua ke Indonesia semestinya dilanjutkan dengan integrasi
sosial, yakni memastikan masyarakat Papua dari Sorong sampai Merauke, merasa menjadi
bagian dari Bangsa Indonesia. Sayangnya pendekatan yang dilakukan negara justru membuat
integrasi sosial kian rapuh. Program transmigrasi misalnya, memunculkan persoalan pelik mulai
dari ganti rugi lahan yang tidak sepadan, deforestrasi, malnutrisi, hingga segregasi sosial antara
penduduk asli dan warga transmigran. Upaya meneguhkan kedaulatan teritorial juga kerap
dilakukan dengan cara koersif oleh aparat keamanan.
Di Papua, slogan “NKRI Harga Mati” menjadi mantera yg intimidatif. Para
pengkritiknya dengan mudah dicap sebagai pendukung separatis. Mahasiswa Papua di berbagai
kota kerap menjadi korban stigma dan prasangka. Mereka sulit mendapatkan tempat tinggal
karena dianggap sebagai pemabuk, biang onar, dan stigma negatif lainnya. Sehingga tinggal di
asrama Papua kerap menjadi satu-satunya pilihan meski mempertegas segregasi sosial dan
stigma. Pemerintah sibuk membangun infrastruktur tapi seolah lupa membangun manusia,
khususnya generasi muda Papua. Sepuluh kali Presiden Joko “Jokowi” Widodo berkunjung ke
Papua tapi belum sekalipun berkunjung ke Universitas Cenderawasih atau Universitas Papua,
tempat persemaian para intelektual dan calon pemimpin Papua. Kabupaten-kabupaten baru
dibentuk tapi pelayanan publik tetap terpuruk.
Demikian pula dengan keamanan, jumlah tentara terus bertambah tapi gangguan
keamanan terus terjadi. Pelaku kasus penembakan di Nduga, Papua akhir tahun lalu hingga kini
belum tertangkap. Semua itu menunjukkan bahwa penekanan semata pada integrasi teritorial
telah menciptakan jurang besar dalam relasi sosial antara masyarakat Papua dengan negara dan
kelompok masyarakat lainnya.
Berkobarnya bara Papua saat ini bertepatan dengan agenda perubahan UU Otsus yang
ditetapkan tahun 2001 dan pernah dipandang sebagai jalan tengah penyelesaian persoalan Papua.
Namun hingga 18 tahun pelaksanaan Otsus, persoalan Papua tak kunjung reda. Gejolak Papua
kali ini merupakan momentum yang tepat untuk merancang ulang skema penyelesaian yang
tuntas dan bermartabat, sehingga persoalan Papua tidak terus menerus mengganggu perjalanan
bangsa. Untuk itu pelibatan seluruh elemen masyarakat Papua adalah keniscayaan, terutama
kelompok-kelompok yang selama ini berseberangan dengan pemerintah seperti United
Liberation Movement for West Papua, Komite Nasional Papua Barat, para tokoh adat, tokoh
agama, serta elemen-elemen kepemudaan dan mahasiswa Papua. Pemerintah tidak perlu terlalu
khawatir bahwa membuka ruang dialog dengan mereka sama artinya dengan membuka jalan
bagi referendum yang berakhir seperti Timor Timur. Pengalaman Aceh menunjukkan bahwa
solusi damai dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia bisa dicapai. Terakhir, upaya
merangkul Papua bukan hanya tugas negara tapi juga tugas seluruh warga bangsa. Setelah 74
tahun merdeka sudah semestinya bangsa ini mampu menunjukkan jati diri sebagai bangsa yang
berperikemanusian, berperikeadilan, dan berkeadaban.

Anda mungkin juga menyukai