Anda di halaman 1dari 17

KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DI DALAM REFORMASI BIROKRASI

MENGENAI RETRIBUSI SAMPAH


DI KOTA BANDUNG
Oleh: Erlinda Nuraprilia Somantri
(20110328)
MSDMA-U4

Abstrak
Pemerintah sebagai penyedia pelayanan layanan publik yang dibutuhkan oleh masyarakat
harus bertanggung jawab dan terus berupaya untuk memberikan pelayanan yang terbaik
demi meningkatnya kualitas palayanan publik. Masalah kualitas pelayanan publik menjadi
salah satu topik yang menjadi bahan perbincangan di masyarakat. Karena banyak
masyarakat yang mengeluh akan kualitas pelayanan publik yang sangat kurang. Namun,
disisi lain kepuasan masyarakat menjadi bahan tolak ukur dari keberhasilan pemerintah
mengenai pelayanan publik yang diberikan oleh peyedia layanan publik tersebut. Apalagi
dengan adanya reformasi birokrasi yang harus di implementasikan di era global ini.
Menjadi suatu topik yang menarik untuk di perbincangkan dan diperdalam lebih luas lagi,
sebab tingkat kesejahteraan di masyarakat masih tergolong rendah. Dengan pemerintah
yang mengeluarkan kebijakan yaitu “Peraturan Walikota Bandung No 316 Tahun 2013”
tentang tarif jasa pengelolaan sampah. Dimana proses implementasi harus berjalan dengan
baik agar kualitas pelayanan publik di era reformasi birokrasi semakin baik. Maka tujuan
penelitian ini yaitu untuk mengkaji proses implementasi dari kebijakan tetribusi
pengelolaan sampah ini. Pada tahun 2017 proses implementasi kebijakan dari retribusi
sampah untuk kategori Komersial dan Non Komersial belum optimal. Perusahaan Daerah
Kebersihan Kota Bandung tidak dapat merealisasikan target anggarannya yang hanya
mencapai 68,40%. Khususnya di wilayah Bandung Timur, kebijakan terkait retribusi
sampah belum mampu dilaksanakan secara optimal dilihat dari beberapa kendala yang
dihadapi sehingga mempengaruhi terhadap pendapatan realisasi dari retribusi sampah ini.

Kata Kunci: Kualitas pelayanan publik, reformasi birokrasi dan retribusi sampah

1
Abstact
The government as a provider of public services needed by the community must be
responsible and continue to strive to provide the best service for improving the quality of
public services. The problem of the quality of public services has become a topic of
discussion in the community. Because many people complain about the lack of quality of
public services. However, on the other hand, community satisfaction is the benchmark for
measuring the success of the government regarding public services provided by these
public service providers. Especially with the bureaucratic reform that must be
implemented in this global era. It is an interesting topic to discuss and to be discussed
more broadly, because the level of welfare in society is still relatively low. With the
government issuing a policy, namely "Bandung Mayor Regulation No. 316/2013"
regarding the tariff for waste management services. Where the implementation process
must run well so that the quality of public services in the era of bureaucratic reform is
getting better. So the purpose of this study is to examine the implementation process of this
waste management contribution policy. In 2017, the policy implementation process for
waste retribution for the Commercial and Non-Commercial categories was not optimal.
The Regional Sanitation Company of Bandung City was unable to realize its budget target
which only reached 68.40%. Particularly in the East Bandung area, policies related to
waste retribution have not been able to be implemented optimally as seen from the several
obstacles faced that affect the realization of income from this waste retribution. 

Keywords: Quality of public services, bureaucratic reform and waste retribution

A. Pendahuluan
Pelayanan publik menjadi salah satu target utama untuk mencapai reformasi
birokrasi yang akan dilaksanakan, dengan seiring dengan digunakan reformasi pada sektor
atau bidang lain. Reformasi birokrasi ini dilaksanakan karena birokrasi merupakan
perangkat yang menjadi sentral aktivitas berbagai kegiatan di masyarakat, khususnya
dalam pelayanan yang berkenaan di segala bidang.
Pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah mengenai retribusi sampah
menjadi salah satu contoh untuk dilaksanakan dengan baik pada jaman era global tersebut.
Karena masih banyaknya masyarakat yang mengeluhkan kurangnya pelayanan retribusi
sampah di Kota Bandung ini. Maka birokrasi belum mampu menghapus sepenuhnya di

2
berbagai stigma negatif yang selama ini dilekatkan oleh masyarakat, yakni berbelit, tidak
jelas, kaku, ekslusif, tempat suap-menyuap dan terjadi penyalah gunaan wewenang.
Menurut Samapara 1994 (dalam Herdiansyah 2011:35) mengemukakan bahwa kualitas
pelayanan adalah pelayanan yang diberikan kepada pelanggan sesuai standar pelayanan
yang telah dibakukan sebagai pedoman dalam memberikan pelayanan. Karena hal ini
penting untuk dianalisis agar dapat mengetahui bagaimana kualitas pelayanan publik
dengan dikeluarkannya kebijakan peraturan Walikota Bandung No 316 Tahun 2013 tarif
jasa pengelolaan sampah dan realisasi penerimaan retribusi dari tarif jasa pengelolaan
sampah tersebut.
Semenjak kebijakan otomomi daerah diimplementasikan di masyarakat, pelayanan
publik menjadi ramai diperbincangkan, karena pelayanan publik merupakan salah satu
variabel yang membentuk ukuran dan keberhasilannya suatu pelaksanaan kebijakan
tersebut. Apabila pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah daerah baik atau
berkualitas, maka pelaksanaan kebijakan peraturan tersebut dinyatakan berhasil. Maka
menjadi kewajiban bagi pemerintah-pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas
pelayanan publik dan isu tentang pelayanan publik ini menjadi faktor pemicu adanya
pengaruh perubahan paradigma ilmu administrasi, termasuk perubahan global yang terjadi
di berbagai bidang kehidupan dan di berbagai dunia.
Meningkatnya kualitas pelayanan publik dan publik merasakan kepuasan atas
pelayanan tersebut merupakan tujuan akhir dari reformasi birokrasi yang dijalankan oleh
pemerintah. Capaian ini merupakan tujuan jangka menengah dan jangka panjang. Oleh
karena itu, semua Kementerian / Lembaga (K / L) serta pemerintah daerah yang
mempunyai target yang jelas setiap tahunnya. "Kita harus menuju ke sana, dan harus ada
ukuran-ukurannya, indikator- indikatornya setiap periode. Lalu indikator tahunan, lima
tahunan itu harus ada, konkret," kata Wakil Presiden (Wapres) Boediono seusai reformasi
birokrasi di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Rabu, 3 November 2010. Boediono
menambahkan dari reformasi birokrasi tidak bisa dirasakan seketika karena banyak aspek
yang harus diperbaiki. "Itu tidak bisa diharapkan dalam sehari dua hari, ini jangka
menengah dan panjang." Penegasan Wapres juga menjawab untuk menjawab keresahan
masyarakat integritas pelayanan publik yang terus menurun. Survei integritas publik yang
dirilis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan hasilnya terus menurun
dibandingkan tahun 2009. Pada 2009, Indeks Integritas mencapai 6,5 sedangkan pada 2010
menjadi 5,42. Penurunan tersebut disebabkan menurunnya "kualitas pelayanan publik" di

3
beberapa unit pelayanan. Survei berlangsung sejak April-Agustus 2010 dan dilakukan di
353 unit layanan yang tersebar di 23 instansi pusat, instansi vertikal, dan 22 pemerintah
kota. Boediono menambahkan pemerintah sedang menyusun rencana strategis reformasi
birokrasi jangka menengah sampai 2014 dan jangka panjang hingga 2025. Selain itu, lanjut
Boediono, pemerintah telah membentuk komite pengarah yang langsung diketuai oleh
Wapres. Dan tim reformasi birokrasi nasional yang diketuai oleh Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara E.E. Mangindaan. "Tim ini akan melaksanakan dan
melihat secara garis besar dan detail pelaksanaan dari grand design dan road map
reformasi birokrasi." Tim Independen Wapres menambahkan pihaknya juga telah
membentuk tim pendukung, yaitu tim independen dan tim quality assurance (penjaminan
kualitas). Keduanya bekerja di luar dua tim yang pertama. Tim independen terdiri dari
beberapa tokoh pemerintah atau non pemerintah, akademisi, serta dunia usaha. Tugasnya
memberikan pandangan dan evaluasi kepada komite pengarah reformasi birokrasi. Tim ini
diketuai oleh mantan Wakil Ketua KPK Erry Riyana. Sedangkan tim quality assurance
meneliti kualitas dari pelaksanaan setiap aspek reformasi birokrasi (Koran Jakarta,
November 2010).
Unsur pertama menunjukkan bahwa pemerintah daerah memiliki posisi kuat sebagai
regulator (pembuat aturan) dan sebagai pemegang monopoli layanan, dan menjadikan
Pemda bersikap statis dalam memberikan layanan, karena layanannya memang dibutuhkan
atau diperlukan oleh orang atau masyarakat atau organisasi yang berkepentingan. Posisi
ganda inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab buruknya pelayanan publik yang
dilakukan pemerintah daerah, karena akan sulit untuk memilih dan memilah antara
kepentingan menjalankan fungsi regulator dan melaksanakan fungsi meningkatkan
pelayanan. Unsur kedua, adalah orang, masyarakat atau organisasi yang berkepentingan
atau memerlukan layanan (penerima layanan), pada dasarnya tidak memiliki daya tawar
atau tidak dalam posisi yang setara untuk menerima layanan, sehingga tidak memiliki
akses untuk mendapatkan pelayanan yang baik. Posisi inilah yang mendorong terjadinya
komunikasi dua arah untuk melakukan obeservssi dan memperburuk citra pelayanan
dengan mewabahnya pungli, dan ironisnya dianggap saling menguntungkan. Unsur ketiga,
adalah kepuasan pelanggan menerima pelayanan, unsur kepuasan pelanggan menjadi
perhatian penyelenggara pelayanan (pemerintah), untuk menetapkan arah kebijakan
pelayanan publik yang berorienntasi untuk memuaskan pelanggan, dan dilakukan melalui
upaya memperbaiki dan meningkatkan kinerja manajemen pemerintahan daerah.

4
Kota Bandung sebagai ibu kota dari Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu kota
yang memiliki jumlah penduduk cukup banyak. Berdasarkan data dari BPS 2015 bahwa
dengan luas wilayah 167,31 km2. Terdiri dari 30 kecamatan dan 151 kelurahan.
Sedangkan perkembangan penduduknya sebagai berikut.

Tabel 1

Data Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan

di Kota Bandung Tahun 2011-2016

Tahun Jumlah Penduduk Laju Pertumbuhan Penduduk


PerTahun
(Year) (Population)
(Annual Population Growth Rate %)

-1 -2 -3

2011 2 429 176 0,71

2012 2 444 617 0,64

2013 2 458 503 0,57

2014 2 470 802 0,50

2015 2 481 469 0,43

2016 2 490 622 0,37

Sumber: Hasil penelitian (Diolah oleh peneliti), 2017

Dari data hasil penelitian di atas bisa disimpulkan bahwa khususnya penduduk di
Kota Bandung tiap tahun semakin bertambah. Sehingga dari segi laju pertumbuhan
penduduk per tahun kondisinya semakin menurun. Terlihat dari jumlah penduduk yang
terus bertambah maka akan terjadi dampang negatif terhadap meningkatnya jumlah
konsumsi dan pelayanan masyarakat di Kota Bandung.
Meningkatnya jumlah konsumsi masyarakat Kota Bandung, mengakibatkan
jumlah sampah yang dihasilkan pun bertambah. Dengan volume sampah di Bandung
Timur yang mencapai sekitar 1.500 ton per hari dan jumlah armada pengangkut sampah
yang terbatas, ritase pengangkutan sampah di Kota Bandung bisa dikatakan padat (PD

5
Kebersihan Kota Bandung, 2016). Namun, ironisnya sampai saat ini masih ada
masyarakat di wilayah Bandung Timur cenderung enggan dan mengeluh terhadap
pembayaran retribusi sampah, hal ini disebabkan karena masyarakat masih memiliki
paradigma yang salah terhadap sampah. Oleh sebab itu, yang mendasari terjadinya hal
tersebut dikarenakan masalah terkait sampah tidak diimbangi dengan peningkatan
pengetahuan tentang peraturan persampahan. masyarakat cenderung masih berpikir
bahwa sampah itu sebagai barang yang tidak ada nilainya, barang yang tak terpakai,
tidak memiliki manfaat dan tidak berguna sehingga masyarakat beranggapan tidak perlu
membayar retribusi sampah karena mereka tidak membutuhkan sampah dan sampah
bukanlah sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk keberlangsungan hidup mereka.
Filosofi tersebut yang perlu diperbaiki oleh masyarakat terhadap sampah.
Membahas masalah terkait tarif jasa atau retribusi sampah ini intinya adalah antara
bayar dan tidak bayar,berdasarkan hasil observasi, saat ini peraturan mengenai retribusi
sampah ini yang diatur dalam Peraturan Walikota Bandung Nomor 316 Tahun 2013
tentang Tarif Jasa Pengelolaan Sampah belum mampu memenuhi biaya operasional yang
dikeluarkan oleh pemerintah Kota Bandung padahal potensi penerimaan dari realisasi
retribusi tersebut cukup besar.

Tabel 2
Rekapitulasi Kuitansi Komersial dan Non Komersial Tahun 2017
Khusus Wilayah Bandung Timur
Segmen Permasalahan Jumlah

No. Komersial & Non


LBR NOMINAL
Komersial

1. Tutup 237 Rp. 53,034,000,-

2. Keberatan Tarif 16 Rp. 5,498,000,-

3. Tidak Mau Bayar 174 Rp. 62,491,000,-

4. Piutang 108 Rp. 66,906,000,-

5. Tagih Ulang 20 Rp. 31,394,000,-

6
Jumlah Bandung Timur 555 Rp. 219,323,000,-

Sumber: Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung

Terlihat bahwa penyebab lainnya yang menyebabkan biaya operasional yang


dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Bandung itu lebih besar dari pada realisasi penerimaan
terkait retribusi sampah yang dihasilkan oleh kategori Komersial dan Non Komersial
dikarenakan segmen permasalah tersebut. Pemicu yang menyebabkan kondisi pengelolaan
sampah di Wilayah Bandung Timur masih belum optimal dikarenakan kurangnya truk
pengangkut sampah. Maka pengangkutan sampah dari beberapa Tempat Penampungan
Sementara (TPS) ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti yang terletak di
Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat tidak bisa dilakukan secara cepat dalam
setiap harinya dan membutuhkan waktu yang lama dalam setiap pengangkutan karena
jaraknya yang jauh. hal itulah yang mengakibatkan penumpukan sampah tidak bisa
terhindari, akan sangat terasa lagi ketika musim hujan karena pada saat musim hujan
volume sampah cenderung meningkat.

Dari retribusi sampah ini menyebabkan pelayanan publik yang masih cukup kurang
baik di implementasikan di masyarakat masih banyak masyarakat yang mengeluhkan
kurangnya pelayanan tersebut yang banyak diakibatkan oleh beberapa faktor. Sehingga
dalam pelayanan publik inipun menjadi perbincangan yang cukup dalam untuk di
klarifikasi dengan baik. Oleh karena itu, Berbagai riset, penelitian, ide, gagasan dan kajian
tentang kualitas pelayanan publik telah dimunculkan dan dilakukan, baik dalam bentuk
opini, makalah, skripsi, tesis, maupun disertasi. Berbagai hal tentang kualitas pelayanan
publik tersebut telah pula dipublikasikan dalam koran, buku, majalah, jurnal, atau di
internet. Kualitas pelayanan publik akan selalu menarik untuk dikaji dan dibahas, karena
masyarakat selalu mengalami dinamika, ilmu pengetahuan dan teknologi pun selalu
mengalami perkembangan dengan pesat. Seiring dengan hal tersebut, tentu saja konsep,
dimensi, indikator-indikator tentang kualitas pelayanan publik akan mengalami perubahan
seiring dengan perubahan zaman. Kemampuan beradaptasi dengan perubahan tersebut,
akan menjadi modal bagi pengambil kebijakan untuk selalu meningkatkan kualitas
pelayanan publik. Kemampuan meningkatkan kualitas pelayanan publik, bagi kepala
negara/ daerah akan dapat meningkatkan kepercayaan publik/rakyat kepada mereka,

7
sehingga tidak menutup kemungkinan, bila mereka kembali mencalonkan diri sebagai
kepala negara/daerah akan dipilih lagi oleh rakyatnya bahkan kebaikan yang telah mereka
lakukan akan selalu dikenang oleh rakyatnya sepanjang masa. Buku ini akan membahas
panjang lebar tentang konsep, dimensi, dan implementasi kualitas pelayanan publik, dan
disertai dengan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, beserta penjelasannya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang dan fenomena masalah yang telah dijelaskan pada
bagian pendahuluan, penulis merumuskan permasalahan yang harus diselesaikan yaitu:
1. Apa saja faktor yang mempengaruhi pelayanan publik sehingga belum
dijalankan dengan optimal?
2. Bagaimana cara meningkatkan kuliatas pelayanan publik di Kota Bandung
untuk mencapai reformasi birokrasi yang baik?
C. Tujuan
Dari rumusan masalah dan latar belakang di atas, memiliki beberapa tujuan, yaitu
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui upaya peningkatan pelayanan publik terhadap masyarakat di
Kota Bandung.
2. Untuk mengetahui upaya dalam menciptakan reformasi birokrasi.
3. Untuk mengetahui kendala pelayanan publik terhadap masyarakat dalam
peningkatan pelayanan publik di Kota Bandung.

D. Pembahasan

1. Faktor Penyebab Retribusi Tarif Jasa Pengelolaan Sampah di Kota Bandung


Wali Kota Bandung Ridwan Kamil menilai, tarif retribusi sampah rumah tinggal di
Bandung masih belum proporsional. Dia menyebut, ada dua rencana dalam upaya
mereformasi sistem pengelolaan sampah di Bandung yang akan dimulai tahun ini.
"Selama ini biaya kebersihan Bandung itu tidak proporsional. Jadi kan basisnya kepala
keluarga, keluarga anak dua dan lima (tarifnya) disamakan, padahal produksi sampah

8
kan per kapita. Jadi menurut saya keliru dalam logikanya," ucap Ridwan saat ditemui
seusai kegiatan "Hari Peduli Sampah Nasional" di Balai Kota Bandung, Jalan
Wastukancana, Selasa (21/2/2017).
Rencana pertama, kata Ridwan, ia akan mengkaji ulang tarif ideal retribusi sampah
rumah tinggal. Jika hasil kajian telah muncul, ia akan membuat peraturan wali kota
sebagai payung hukum."Jadi ada dua target tahun ini kepada Dinas Kebersihan dan PD
kebersihan adalah satu menghitung ulang retribusi harusnya per kapita berapapun
harganya yang wajar. Sekarang lagi kajian oleh UPI kalau tidak, belum presentasi lagi
ke saya," ucapnya.
Langkah kedua yakni membuat nota kesepahaman dengan aparat kewilayahan di
tingkat RW untuk terlibat dalam pengambilan sampah rumah tangga. Selama ini,
sambung Ridwan, masyarakat kerap melakukan pungutan uang sampah tanpa standar
yang jelas. "Kedua mengelola sampah dari rumah itu tidak lagi dilakukan oleh RW
yang sifatnya dengan logika sendiri-sendiri yang kadang-kadanf cost-nya jadi tinggi.
Setiap pengambilan sampah dari rumah pun nanti akan dikelola Dinas Kebersihan di
mana RW dan petugasnya bagian dari sistem, bukan mereka bikin sistem sendiri,"
tuturnya. Dia menjelaskan, dengan sistem baru itu partisipasi masyarakat dalam
pembayaran iuran sampah diharapkan bisa lebih maksimal dan meringankan beban
operasional pengelolaan yang selama ini disubsidi oleh APBD. "Jadi nanti ada
standarisasi pungutan ke rumah. Harganya selama ini sering terjadi subsidi besar dari
APBD yang sebenarnya bisa di-cover oleh masyarakat sendiri. Jadi kita terlalu murah
biaya sampahnya," jelasnya.
Sementara itu, Direktur Utama PD Kebersihan Deni Nurdiana mengatakan,
partisipasi masyarakat dalam membayar retribusi sampah masih sangat minim.
"Sekarang tarifnya Rp 3000 atau maksimal Rp 20.000 per bulan dan (warga Bandung)
yang bayar baru 37 persen," ujar Deni saat dihubungi melalui sambungan telepon.
Dia menuturkan, pada tahun 2016 kontribusi pendapatan dari retribusi sampah rumah
tinggal baru Rp 9 miliar dari total pemasukan dari retribusi sampah sebesar Rp 30
miliar."Sebab itu, kita akan melakukan MoU dengan RW. Dia nantinya bertugas nagih
ke rumah langsung. Progresnya lagi digodok di Perwal," jelasnya.

9
Pengaruh Kualitas Tingkat Pelayanan, Kemampuan Membayar, dan Tarif
Retribusi Sampah terhadap Kemauan Membayar Sampah di Kabupaten
Bandung.

Berdasarkan hasil uji koefisien path ada dua persamaan yang terdapat nilai P < 0,05
maka berdasarkan theory trimming jalur-jalur yang nonsignifikan tersebut dibuang,
sehingga diperoleh jalur yang signifikan yaitu: Pertama, kualitas tingkat pelayanan,
kemampuan membayar, dan tarif retribusi sampah berpengaruh ke kemauan
membayar sampah bersifat langsung (direct) tanpa melalui perantara. Kualitas tingkat
pelayanan, kemampuan membayar, berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kemauan membayar dengan koefisien path pengaruh langsung masing-masing sebesar
0,260; 0,598; sedangkan tarif retribusi sampah berpengaruh negatif dan signifikan
dengan koefisien path pengaruh langsung sebesar 0,375. Kedua, kemampuan
membayar dan tarif retribusi sampah berpengaruh positif dan signifikan terhadap
penerimaan retribusi sampah. Koefisien path bersifat langsung (direct) tanpa melalui
perantara dengan koefisien path pengaruh langsung masing-masing sebesar 0,303 dan
0,718, maupun pengaruh tidak langsung melalui kemauan membayar sampah, dengan
koefisien path pengaruh total masing-masing sebesar 0,393 dan 0,662.

Pengaruh Kualitas Tingkat Pelayanan, Kemampuan Membayar, Tarif Retribusi


Sampah dan Kemauan Membayar terhadap Penerimaan Retribusi Sampah Di
Kota Bandung.

Dalam penelitian ini terdapat pengaruh langsung. Pertama, pengaruh langsung


kualitas tingkat pelayanan terhadap kemauan membayar sampah. Dalam penelitian ini,
hubungan kualitas tingkat pelayanan dengan kemauan membayar sampah mempunyai
pengaruh langsung dengan koefisien path sebesar 0,260 dan P sebesar 0,013 lebih
kecil dari 0,05. Ini berarti bahwa kualitas tingkat pelayanan berpengaruh langsung dan
signifikan terhadap kemauan membayar sampah. Hal ini disebabkan karena semakin
baik pelayanan yang diberikan petugas kebersihan maka masyarakat akan bersedia
membayar atas jasa yang diberikan. Hal ini seperti yang diungkapkan Kotler (1997)
yang mengatakan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan konsumen terhadap jasa yang
diberikan akan mempengaruhi tingkah laku konsumen selanjutnya. Hal ini juga sesuai

10
dengan penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi & Prayitno (2005) tentang tingkat
kepuasan atas pelayanan hotel yang menemukan ada dua variabel yang menentukan
tingkat kepuasan pelanggannya, yaitu kualitas pelayanan dan tingkat harga kamar, dan
masing-masing memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kepuasan
konsumen.

Kedua, pengaruh langsung kemampuan membayar terhadap kemauan membayar


sampah. Dalam penelitian ini, kemampuan membayar mempunyai pengaruh langsung
terhadap kemauan membayar sampah dengan koefisien path sebesar 0,598 dan P
sebesar 0,012 lebih kecil dari 0,05. Hal ini disebabkan karena semakin besar nilai
pendapatan seseorang maka akan semakin besar gaya pikulnya dan tentu akan
semakin tinggi pula tingkat kemampuannya untuk membayar, dalam hal ini, tarif
retribusi sampah. Dengan semakin tingginya kemampuan membayar maka seseorang
akan rela untuk membayar, mengorbankan atau menukarkan sesuatu untuk
memperoleh barang atau jasa (Widaningrum, 2007). Hasil penelitian ini mendukung
hasil penelitian Yadnya (2005) yang menyatakan bahwa pendapatan masyarakat
berpengaruh nyata dan positif terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
sampah, sehingga dapat disimpulkan bahwa pendapatan masyarakat yang tinggi dapat
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah. Hal ini juga sesuai
dengan hipotesis dan penelitian yang dilakukan oleh Widaningrum (2007) yang
menemukan bahwa kemauan membayar masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor
utama, yaitu penghasilan total keluarga dan jasa pelayanan yang diterimanya (untuk
masyarakat berpenghasilan menengah rendah), sementara tingkat kemauan membayar
masyarakat berpenghasilan menengah sedang dan tinggi, ditentukan oleh faktor jasa
pelayanan yang diterimanya dan penghasilan total keluarga. Menurut Justine (1996),
nilai kemauan membayar pada pengelolaan sampah dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu tingkat pelayanan, persepsi masyarakat terhadap nilai manfaat dari pelayanan
itu, dan penghasilan keluarga untuk daerah yang masyarakatnya berpenghasilan
rendah.

Ketiga, pengaruh langsung tarif retribusi sampah terhadap kemauan membayar


sampah. Dalam penelitian ini, tarif retribusi sampah berpengaruh langsung terhadap
kemauan membayar sampah dengan koefisien path sebesar -0,375 dan nilai P sebesar

11
0,037 lebih kecil dari 0,05. Ini berarti bahwa tarif retribusi sampah berpengaruh secara
langsung dan signifikan terhadap kemauan membayar sampah. Ini berarti bahwa
semakin tinggi tarif retribusi sampah maka kemauan masyarakat dalam membayar
sampah akan menurun. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh McIntosh
(2003) yang menyebutkan bahwa kemauan membayar seseorang dalam skala rumah
tangga (domestik) tergantung dari besaran tarif air bersih. Penelitian serupa juga
dilakukan oleh Nur As’adah, et al (2010) yang menemukan bahwa efektifitas tarif
retribusi sampah memberi pengaruh terhadap kemauan masyarakat dalam membayar
tarif retribusi sampah, artinya bila tarif retribusi sampah mengalami kenaikan maka
kemauan membayar retribusi sampah akan turun. Keempat, pengaruh langsung
kualitas tingkat pelayanan terhadap penerimaan retribusi sampah. Dalam penelitian
ini, kualitas tingkat pelayanan berpengaruh langsung terhadap penerimaan retribusi
sampah dengan koefisien path sebesar 0,438 dan nilai P sebesar 0,083 lebih besar dari
0,05. Ini berarti bahwa kualitas tingkat pelayanan berpengaruh secara langsung dan
tidak signifikan terhadap penerimaan retribusi sampah. Ini disebabkan karena kurang
kesadaran masyarakat dan masih berpikir bahwa masyarakat hanya berperan sebagai
pihak yang dilayani, dan tidak perlu memberikan kontribusi apapun, termasuk
melakukan pembayaran uang retribusi sampah, sehingga tidak mempengaruhi
penerimaan retribusi sampah. Hasil ini tidak mendukung hasil penelitian Arizal (2003)
yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang positif dan signifikan dari pelayanan
pemerintahan di bidang kebersihan terhadap penerimaan retribusi kebersihan. Kelima,
pengaruh langsung kemampuan membayar terhadap penerimaan retribusi sampah.

Analisis Penerimaan Retribusi Sampah oleh Masyarakat dalam Upaya


Peningkatan Pelayanan Pengelolaan Persampahan di Kota Bandung Bagian
Timur
Sistem pengelolaan persampahan kota merupakan salah satu aspek di rencana
pengembangan prasarana pengelolaan lingkungan kota sesuai yang tertuang dalam
rencana tata ruang wilayah Kota Bandung. Sehingga keberhasilan pembangunan Kota
Bandung tidak dapat terlepas dari sistem pengelolaan sampah yang dilakukan. Dasar
sistem pengelolaan sampah suatu kawasan adalah tata cara teknik operasional
pengelolaan sampah di perkotaan atau permukiman (SNI 19-2454-2002 dan SNI-T-12-
1991-03) serta standar pengelolaan sampah (SK-SNI T-13-1990-F). Sehubungan

12
dengan hal tersebut maka perlu dilakukan kajian terhadap kendala dalam pengelolaan
persampahan. Kajian tersebut dilakukan terhadap seluruh aspek yang terkait dalam
Pengelolaan Persampahan di Kota Bandung Pengelolaan Persampahan di Kota
Bandung 221 sistem pengelolaan persampahan. Terdapat 5 (lima) aspek utama dalam
pengelolaan persampahan yaitu 1) Teknik operasional, 2) Kelembagaan, 3)
Pembiayaan, 4) Peraturan, dan 5) Peran serta masyarakat (Damanhunri dkk, 2010).
Pada penelitian ini akan mengkaji aspek pembiayaan dalam pengelolaan persampahan
Kota Bandung. Kesediaan dan kemampuan membayar iuran sampah oleh masyarakat
perlu dianalisa, sehingga dapat diketahui variabel yang mempengaruhi serta diperoleh
penyelesaianya (Zakaria, 2013).
Pertumbuhan penduduk yang cepat, urbanisasi, industrialisasi dan pembangunan
ekonomi telah mengakibatkan timbulan besar limbah padat di daerah pemukiman di
seluruh dunia terutama di kota-kota di negara berkembang (Afroz, 2010). Di negara-
negara berkembang, sampah kota tidak dikelola dengan baik karena pemerintah kota
tidak dapat mengatasi laju percepatan produksi sampah (Ahmadou dkk, 2010).
Memperluas kegiatan ekonomi dan meningkatnya populasi yang menghasilkan limbah
padat yang berlebihan sehingga dibutuhkan biaya yang meningkat pula (Rahim dkk,
2012). Faktor pembiayaan merupakan salah satu faktor utama dalam sistem
pengelolaan sampah di suatu kawasan. Aspek pembiayaan merupakan sumber daya
penggerak agar roda sistem pengelolaan persampahan di kota tersebut dapat bergerak
dengan lancar (Damanhunri dkk, 2010). Sumber pembiayaan pengelolaan sampah di
Kota Bandung bersumber dari iuran jasa pelayanan persampahan dari masyarakat dan
APBD dari Pemerintah Kota Bandung. Untuk mengurangi beban APBD Kota Bandung
dan menuju “self finance”, maka partisipasi masyarakat terhadap kesediaan membayar
iuran sampah kota perlu ditingkatkan (Hartono, 2006).
Di Kota Bandung, sistem pengumpulan sampah dari sumber menuju Tempat
Pembuangan ,Sementara (TPS) terdekat dilakukan oleh petugas sampah tingkat
RT/RW dan masyarakat membayar jasa petugas sampah tersebut. Sementara
pengelolaan sampah di TPS merupakan tugas dari PD Kebersihan. Sehingga
masyarakat tidak secara langsung menerima pelayanan dari PD Kebersihan (Bappeda
Kota Bandung, 2014). Sampah yang terkumpul di TPS oleh PD Kebersihan dilakukan
pengelolaan seperti pengomposan, pengepresan di stasiun peralihan antara, dan
mayoritas diangkut menuju ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Selain itu PD

13
Kebersihan juga melakukan pelayanan umum yaitu penyapuan dibeberapa jalan utama
dan taman kota. Berdasarkan kegiatan pengelolaan yang dilakukan tersebut, PD
Kebersihan memerlukan biaya untuk melakukan pelayanan pengelolaan sampah di
Kota Bandung. Biaya tersebut bersumber dari iuran sampah kota atau retribusi sampah
dan subsidi dari APBD Kota Bandung.
Berdasarkan Peraturan Wali Kota Bandung Nomor 316 Tahun 2013, bahwa setiap
orang yang menggunakan dan menerima manfaat jasa pengelolaan sampah wajib
membayar jasa pengelolaan sampah. Kondisi ideal dalam pembiayaan terhadap
pengelolaan sampah adalah 80% bersumber dari partisipasi masyarakat dan 20% dari
APBD. Kondisi di lapangan menunjukan kesadaran pembayaran iuran jasa pengelolaan
sampah Kota Bandung sangat rendah. Hal ini dapat diketahui dari persentase
pembiayaan, yaitu 80% berasal dari APBD dan 20% dari iuran masyarakat (Bappeda
Kota Bandung, 2014). Untuk mengurangi beban APBD maka perlu mencari alternatif
pembiayaan dari masyarakat, sehingga perlu dilakukan analisa kesediaan dan
kemampuan membayar iuran pengelolaan sampah (Roy, 2013). Wilayah studi pada
penelitian ini adalah di Kota Bandung bagian timur yang terdiri dari 10 kecamatan.
Alasan pemilihan Kota Bandung bagian timur adalah wilayah timur Kota Bandung
merupakan daerah yang paling rendah penerimaan iuran sampah kota walaupun luas
wilayah paling besar dan jumlah kecamatan paling banyak (PD Kebersihan, 2013).
Berkenaan dengan hal tersebut, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam
peningkatan kualitas pelayanan publik, diantaranya adalah:
1) Revitalisasi, restrukturisasi, dan deregulasi di bidang pelayanan publik;
2) Peningkatan prefesionalisme pejabat pelayan publik;
3) Korporatisasi unit pelayanan publik;
4) Pengembangan dan pemanfaatan Electronic-Government (E-
Government) bagi instansi pelayanan publik;
5) Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik;
6) Pemberian penghargaan dan sanksi kepada unit pelayanan masyarakat. Sebagai
langkah awal dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik adalah melalui
revitalisasi, restrukturisasi, dan deregulasi di bidang pelayanan publik. Dilakukan
dengan mengubah posisi dan peran (revitalisasi) birokrasi dalam memberikan layanan
kepada publik. Dari yang suka mengatur dan memerintah, merubah menjadi suka
melayani, dari yang suka menggunakan pendekatan kekuasaan, berubah menjadi suka

14
menolong menuju kearah yang fleksibel kolaboratis, dan dari cara- cara sloganis
menuju cara-cara kerja yang realistis (Widodo, 2001:70). Sehubungan dengan itu,
Efendi (2005:7) menegaskan bahwa birokrasi publik jangan mengedepankan
wewenang, namun yang perlu didahulukan adalah peranan selaku pelayan publik.
Aspek lainnya yang penting dalam peningkatan kualitas pelayanan publik adalah
melakukan restrukturisasi kelembagaan dengan membentuk organisasi yang tepat
(Rauf, 2003:3). Bentuk organisasi yang tepat (rightsizing) dapat diartikan sebagai
upaya penyederhanaan birokrasi pemerintah yang diarahkan untuk mengembangkan
organisasi yang lebih proposional, datar (flat), transparan, hieraki yang pendek dan
terdesentralisasi kewenangannya. Postur organisasi pelayanan publik nantinya akan
lebih proporsional, efektif dan efesien serta didukung oleh sumber daya manusia yang
berkualitas. Hal ini bisa terjadi apabila pejabat publik mempunyai komitmen terhadap
empat prinsip kualitas pelayanan, yaitu reliability, surprise, recovery dan fairness
(Berry, 1995:17). Reabilitas menyangkut keandalan dan keakuratan dari jasa
pelayanan. Hal ini menyangkut pemenuhan akan janji. Kualitas jasa pelayanan akan
sangat tergantung dan biasanya diukur atas prinsip TERRA yang merupakan singkatan
dari elemen kualitas jasa yang meliputi: Tangibles, Empaty, Reliability,
Responsiveness dan Assurance.

E. Penutup
Upaya peningkatan kualitas pelayanan publik harus dilakukan secara terpadu,
dengan melakukan berbagai terobosan, antara lain melalui revitalisasi, restukturisasi, dan
deregulasi, peningkatan profesionalisme aparat dan partisipasi masyarakat, korparatisasi,
e-government, pemberian penghargaan dan sanksi kepada unit pelayanan masyarakat.
Untuk memastikan semua ini, perlu dikembangkan pengendalian melalui pengukuran
tingkat kepuasaan atas pelayanan publik sebagai usaha umpan balik untuk meningkatkan
kualitas pelayanan secara berkelanjutan.
Dalam upaya optimalisasi Implementasi Peraturan Walikota Bandung Nomor 316
Tahun 2013 tentang Tarif Jasa Pengelolaan Sampah, penulis menyarankan bahwa
penguatan dimensi sumber daya perlu dioptimalkan sehinga implementasi kebijakan ini
dapat berjalan dengan efektif. Kebijakan diarahkan kepada pemenuhan kecukupan personil
atau SDM tingkat teknis operasional dan penambahan sarana tempat pembuangan sampah
dan armada untuk mencukupi daya tampung serta kecukupan sarana daya angkut sampah.

15
Sehingga dengan pemenuhan sumber daya, baik personil atau SDM, maupun pemenuhan
sarana, permasalahan yang sering dijumpai di tingkat teknis operasional dapat teratasi.
Desain kebijakan secara sistemik (input-process-output-feedback) yang diawali dengan
disusunnya berdasarkan feed back lapangan tahun berjalan untuk tahun berikutnya.
Berdasarkan feed back temuan-temuan perm-asalahan yang didapatkan di lapangan, di-
identifikasikan kemudian diusulkan dari unit wilayah ke PD Kebersihan Kota Bandung
untuk diagendakan (agenda setting) dan diimple-mentasikan pada tahun berikutnya. Lalu
selanjutnya PD. Kebersihan dengan responsiveness-nya memasukan ke rencana tahunan
atau dalam implementasinya dilakukan secara bertahap yang terintegrasi dengan rencana
PD Kebersihan lainnya.

F. Daftar Pustaka

Hardiyansyah. 2018 (Edisi Revisi). Kualitas Pelayanan Publik. Yogyakarta:


Penerbit Gava Media.
https://www.google.com/url?q=http://eprints.polsri.ac.id/3539/4/BAB
%2520II.pdf&usg=AFQjCNFiA4ZCw_rA4SQ-iI4c-wuKvjlI2A

https://feb.moestopo.ac.id/wp-content/uploads/2020/09/1.pdf

https://www.researchgate.net/publication/335788910_Buku_Kebijakan_Publik/link
/5d7b168c4585155f1e3efbbb/download

https://scholar.google.co.id/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=teori+kebijakan+pemerintah&oq=teori+kebijaka#d=gs_
qabs&u=%23p%3DGHHm9I4A7OEJ

Sumber: Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung

https://www.researchgate.net/publication/312300272_Analisis_Penerimaan_Retribusi_Sa
mpah_oleh_Masyarakat_dalam_Upaya_Peningkatan_Pelayanan_Pengelolaan_Persampaha
n_di_Kota_Bandung_Bagian_Timur

16
17

Anda mungkin juga menyukai