Anda di halaman 1dari 8

37. Penjelasan Dr.

Tan Shot Yen


soal bahayanya susu
ANUNG NUR RACHMI·WEDNESDAY, JUNE 10, 2015·

Kebohongan Manfaat Susu, Wajib Anda Ketahui

Berikut ini adalah penjelasan dr. Tan Shot Yen tentang Kebohongan Manfaat Susu yang
belum diketahui khalayak ramai.

Benarkah susu sapi baik untuk kesehatan, benarkah susu sapi baik untuk tulang? Atau
malah sebaliknya. Bahkan itu hanya sekedar bualan belaka, sebagai copywriting sebuah
iklan produk susu? Mari kita simak ulasan berikut ini…

Dear dr Tan,

saya senang sekali membaca rubrik yang Dokter asuh. Jawaban dokter dari setiap
pertanyaan sangat tegas, lugas dan cerdas.

Saya pernah dengar seminar dari salah seorang ahli gizi manusia harus mengonsumsi
susu sejak lahir hingga menutup mata (meninggal) sedangkan menurut dokter Tan
manusia hanya mengonsumsi susu sejak 0-2 tahun saja itupun hanya ASI.

Saya yang orang awam ini jadi bingung Dok. Anak saya sudah berumur 3 tahun, apakah
anak saya masih perlu mengonsumsi susu?

Saya harap Dokter berkenan untuk menjawabnya.

Veni, Bekasi

——————————————

Jawaban :

dr. Tan Shot Yen :

Hai Veni,
Jika anda mengikuti rubrik saya sungguh-sungguh dan MEMBACA SEMUA
INFORMASI BERMANFAAT melalui jalur internet dengan situs-situs yang dapat
dipertanggungjawabkan sebagaimana pernah saya kutipkan sebelumnya, tentu anda tidak
akan bingung.

Anda akan terbiasa bertanya,”Mengapa?” dan “Mengapa?” lagi dan selanjutnya menjadi
kritis dengan jawaban yang diberikan sebelum ‘menelan’ mentah-mentah jawaban dari
siapa pun, pakar di bidang apa pun.

Letak permasalahannya bukan pada perdebatan atau siapa yang salah dan siapa yang
benar. Jika pendapat pakar (yang bisa salah bisa benar) saja yang dijadikan pegangan,
maka kepentingannya terletak justru pada si pakar tersebut – dan apa/siapa yang
dibelanya, ada unsur kepentingan apa di balik opini-opininya, pihak mana yang
mendukungnya untuk menyuarakan pendapatnya itu.

Begitu pula dengan menghadapi semua paparan saya. Karena itu saya selalu sertakan
bacaan atau sumber informasi lain sebagai pembanding, jika pembaca membutuhkannya
untuk memperluas pandangan serta menilai. Sehingga pada akhirnya kita sama-sama
paham, siapa yang diuntungkan atau sebenarnya masyarakat diperlakukan sebagai tujuan
atau sekadar dijadikan sarana diam-diam demi kepentingan yang sesungguhnya BUKAN
untuk setinggi-tingginya kesehatan manusia.

Karena itu, ilmu kesehatan sangat tidak mungkin berdiri sendiri. Kita perlu merujuk pada
antropologi, sejarah pola hidup dan pola makan manusia, sejarah kepentingan teknologi
industri pangan maupun kesehatan, dan kembali lagi : apakah cocok untuk kesejahteraan
manusia yang optimal lahir-batin-mental-spiritual?

Saya tidak pernah paham dengan alasan mengapa manusia harus mengonsumsi susu
selama usia pertumbuhan yang bukan dari ASI, apalagi sepanjang hayat – seakan-akan
bahasanya seperti yang sering dipakai di kalangan pergaulan anak gadis saya: “Nggak
cocok? Paksain ajaaaaaaa!!”

1. Kita perlu belajar dari hewan menyusui.


Bahwa susu hanya cocok sebagai “makanan antara”, ketika bayinya belum sanggup
mengunyah dan mencerna. Begitu bisa tegak, berjalan, mencari makan dan mampu
mengunyah makanan padat, maka SUSU BUKAN LAGI KONSUMSI ALAMIAHNYA.
Saya tidak menyamakan manusia dengan hewan menyusui, tapi kita perlu belajar dari
alam, fakta dan menyadari berbagai unsur permainan “kepentingan yang lain” di balik
jargon kesehatan yang hanya dipakai untuk nilai jual. Faktanya, enzim pencernaan
manusia untuk mencerna kasein susu juga sudah mulai menyusut pada usia 2-3 tahun.
Berbarengan dengan itu, gigi manusia pun SUDAH KOMPLIT di usia 2 tahun. Ahaa!
Cocok, bukan? Lepas dari susu, kunyah makanan padatnya!

2. Alam tidak menyediakan susu apa pun selain ASI untuk konsumsi manusia.

Susu sapi hanya untuk generasi penerus sapi. Susunannya pun sama sekali tidak cocok
untuk manusia. Sekali lagi, komposisi susu sapi hanya untuk membuat anak-anak sapi
gemuk, bertulang besar, tidak perlu pandai apalagi menikmati umur panjang. Susu sapi
alami sama sekali tidak cocok untuk manusia. Karena “dipaksakan” supaya cocok, maka
agar tidak mengandung bakteri, manusia melakukan sterilisasi susu antara lain dengan
pasteurisasi – efek sampingnya? semua zat gizi susu rusak total (karena itu setelah proses
sterilisasi perlu diimbuhkan berbagai zat dari luar supaya kelihatan “bergizi”-proses
pasca sterilisasi inilah membuat heboh ‘menyusup’nya bakteri beberapa waktu yang
lalu).

Begitu pula agar kolesterol susu sapi yang tinggi tidak membuat manusia kegemukan dan
naik kolesterolnya, ditemukanlah teknik yang membuat susu sapi mendapat istilah
‘skim’, karena minyaknya ditarik/diambil – efek sampingnya? manusia tetap gemuk.
Karena bukan melulu kolesterol yang bermasalah, tapi GULA SUSU (Laktosa) dan
KEASAMANNYA yang membuat tulang justru semakin keropos.

Supaya “cocok” juga untuk kebutuhan kecerdasan anak manusia, maka pemaksaannya
adalah lewat jalur teknologi. Susu sapi yang miskin gizi itu ditambahkan zat-zat/asam
amino yang diduga sebagai bagian dari kebutuhan perkembangan saraf dan otak. Padahal,
kecerdasan LEBIH DARI SEKADAR ASAM AMINO atau zat yang diimbuhkan
tersebut. Kecerdasan anak berkaitan sangat erat dengan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) saat
anak mengintegrasikan KECERDASAN PERTAMANYA secara instinktual untuk
merayap menemukan puting susu ibu selepas dilahirkan sekaligus gerakan merayap
tersebut menyelesaikan dan mengintegrasikan refleks-refleks primitifnya!

Kecerdasan terletak pada antibodi prima MANUSIA yang alami, yang hanya terdapat
dalam ASI hingga usia 2 tahun saja. Kecerdasan juga berhubungan dengan pematangan
“sambungan-sambungan sistem syaraf” dari 3 susunan otak manusia (reptilian brain yang
primitif: hanya mengurus sistem pertahanan diri/survival, mamalian brain yang berfungsi
mengenali cinta, rasa aman, peduli, kekeluargaan dan neo-mamalian brain yang baru
setelah usia 6 tahun mengenal istilah cara pikir ‘rasional’). Kecerdasan manusia bukan
melulu tentang pandai berhitung dan berbahasa asing, tapi cerdas secara emosional,
spiritual. Sehingga yang membuat manusia maju dan makmur bukan hanya mereka yang
ber IQ (Intelligence Quotient) tinggi, tapi juga ber EQ (Emotional Quotient) tinggi
sehingga mampu menjalin relasi, serta ber SQ (Spiritual Quotient) membanggakan-
sehingga mampu bersyukur, berhubungan mesra dengan Penciptanya. Mana ada anak
sapi bisa begini?

3. Jika argumen bahwa susu diasup sebagai sumber kalsium (yang dipercaya menguatkan
tulang),

maka perlu ditegaskan kembali :

APAKAH HANYA SUSU SATU-SATUNYA SUMBER KALSIUM?

Saya mencurigai ‘nasehat-nasehat’ yang menganjurkan orang minum susu akhirnya


sebatas karena penelitian yang sangat sepihak, sangat kadaluwarsa bahkan, dan celakanya
: karena ‘kepercayaan’ seri nutrisi jaman penjajahan Belanda yang masih berurat akar.

Tulang pun menjadi kuat BUKAN SEMATA-MATA HANYA KARENA KALSIUM.


Melainkan kita perlu mengasup Magnesium, Seng (Zinc), Boron, Mangaan, Provitamin
D-3, dll.

Nenek moyang kita sebelum mengenal pabrik susu tidak pernah menderita patah tulang
akibat keropos sebelum waktunya. Mengapa? sekali lagi, mereka mengonsumsi makanan
ALAM yang DIKUNYAH, yang juga memperkuat tulang selepas susu ibu di atas 2
tahun!

Saya pernah menulis di tabloid ini pula, bahwa mengonsumsi 1 cangkir selada air/bokor
(iceberg lettuce) memberikan kekuatan tulang yang di hari tua, mencegah terjadinya
patah tulang panggul! (telah dirisetkan oleh paraahli dari Harvard University, Amerika
Serikat yang melibatkan 72.000 wanita).

Kalsium pada susu yang bukan ASI sekali lagi saya tegaskan, TIDAK DIKENAL oleh
tubuh manusia. Oleh karenanya bersifat “Non-bio-available”- jadi, bukannya membuat
tulang lebih kuat, malah kalsium akan ‘nyasar’ ke tempat yang salah… dan tempat yang
paling sering menjadi sasaran pendaratan kalsium adalah.. dinding pembuluh darah!

Bukannya mendapatkan manfaat positif dari susu, malah mendapat bonus penyakit yang
sangat tidak menyenangkan: penebalan dinding pembuluh darah dan segala akibatnya
(sebagaimana telah dipaparkan dalam salah satu jurnal kedokteran anak oleh Dr. Frank
Oski, Upstate Medical Center Department of Pediatrics, USA). Orang Amerika dan
Eropa Utara mengonsumsi 800 mg – 1200 mg kalsium sehari, tapi tetap saja mereka lebih
menderita osteoporosis/keropos tulang daripada orang Asia dan Afrika yang
mengonsumsi 300 mg – 500 mg kalsium per hari.

Mengapa? daging merah, gula, tepung dan bahan makanan berupa bumbu non-alam
menyebabkan keasaman darah meningkat (pH asam). Untuk menetralisirnya, tubuh
mengambil kalsium (yang bersifat alkalis) dari tulang. Sehingga masalah osteoporosis
bukanlah bahwa seseorang itu tidak cukup memakan kalsium.

Masalahnya adalah mereka kehilangan kalsium. Dengan demikian, mengasup lebih


banyak kalsium ke dalam tubuh bukanlah jawabannya, karena Anda bisa kehilangan lebih
banyak daripada yang Anda asup (misalnya dengan tetap memakan daging merah, gula,
terigu, beras, berbagai saus dan kecap produksi pabrik, dll).

Apabila ekstra kalsium yang dikonsumsi berasal dari makanan yang mengandung protein
tinggi seperti susu, keju dan es krim, keadaan menjadi lebih buruk karena makanan ini
adalah pembentuk asam yang sangat tinggi. Tubuh semakin kehilangan kalsium.
4. Dari hasil konvensi dunia (World Breastfeeding Week, 1-7 Agustus 2006), Elisabeth
Sterken, BSc.MSc Nutritionist INFACT Canada/North America menuliskan bahwa susu
bukan ASI menyebabkan: meningkatnya risiko sakit pada anak seperti asma, alergi,
penurunan perkembangan kecerdasan, peningkatan risiko infeksi saluran napas atas,
kekurangan nutrisi yang tidak didapatkan dalam susu non ASI, risiko kanker masa anak,
risiko penyakit kronik, risiko diabetes, risiko penyakit kardiovaskuler, risiko kegemukan,
risiko infeksi pencernaan, risiko radang telinga, risiko semua efek samping akibat
PENAMBAHAN ZAT YANG TIDAK SEMESTINYA DALAM SUSU BUBUK/CAIR
(sudah terbukti mulai bakteri hingga melamin, bukan? tunggu saja ‘seri berikutnya’)

Anda belum mengikuti pelatihan saya mengenai “teknik membaca label makanan
produksi pabrik”, bukan? Naaaaaahh!! ada baiknya anda mulai membalik kemasan susu
anak anda. Banyak istilah “ajaib” yang membuat anda mengerenyitkan dahi.

Semua susu sudah mengandung laktosa/gula susu, seperti saya sebut di atas. Namun
supaya “betah” di lidah anak yang doyan manis “tingkat tinggi” (yang penting doyan,
kan? Mana ada pabrik mau peduli dengan masalah kelebihan karbohidrat buruk!) tetap
diimbuhi “sukrosa” (gula rantai panjang!) atau “corn syrup” (gula ‘pembunuh’ nomor
satu di Amerika Serikat), belum lagi “perisa” (Apakah anda paham betul istilah ini?
Nama lainnya adalah rasa SINTETIS!), dan susunya pun berasal dari “skimmed,
powdered, milk”.

Bahkan susu cair pun melalui proses skim dahulu. Anda perlu pun bisa terheran-heran,
mengapa susu yang sudah cair perlu dijadikan bubuk, lalu dibuat ‘cair’ lagi.

30-40 tahun yang lalu (ketika anak Indonesia mentah-mentah menolak susu karena tidak
doyan bau susu dan harus ‘dipaksa’ minum), label komposisi susu bubuk cukup tertulis:
WHOLE MILK. Titik.

Risiko whole milk pun membuat manusia terpaksa seperti sapi sungguhan: gemuk,
bodoh, lamban, berusia pendek).
Semestinya para pakar yang memang mau menyuarakan tentang susu, sebelumnya perlu
mengikuti konvensi dunia serupa ini yang memang diselenggarakan bagi para pakar,
pengayom kesehatan dan informasi yang terbaru bagi masyarakatnya.

Konvensi ilmiah yang berkualitas tinggi dan kredibel tentu diselenggarakan tanpa
sponsor pabrik teknologi pangan atau farmasi yang mempunyai kepentingan di
dalamnya!

5. Sebagai tambahan, salah satu pilihan : anda bisa membuka situs Dr. Mercola,
http://www.mercola.com, ketik “milk” (atau topik apa pun yang anda ingin ketahui) di
kolom mesin pencari artikelnya. Anda akan berkelana ke ‘dunia baru’ dan membaca
berbagai hal yang telah diperjuangkan banyak orang saat ini, sementara negara kita masih
menjadi ‘keranjang pembuangan’ berbagai produk yang sudah tidak lagi diterima
masyarakat dari mana produk itu berasal.

Saya sangat menyesali kepercayaan dan mitos akan susu ini merasuk di benak ibu-ibu
yang hidup dengan ekonomi pas-pas-an, sehingga ada faham ‘asal anak sudah minum
susu, rasanya aman!’ – padahal gizi anak membutuhkan lebih.

Anak bergigi membutuhkan makanan untuk dikunyah, dengan sumber karbohidrat-


protein-dan lemak yang jauh lebih tinggi tingkatannya.

Bukan susu yang berasal dari sapi dengan pakan buatan manusia bernama MBM/Meat-
Bone-Meal yang menyebabkan sapi membentuk protein asing bernama Prion sebagai
cikal bakal sapi gila/madcow (Lihat Nyata edisi II Agustus 08, edisi IV Mei 08)

Anak-anak kita bertulang dan bergigi kuat hingga akhir hayatnya karena gaya hidup
sehat, bukan minum susu segelas tiap malam sambil terpana di depan televisi atau game
komputer, yang lincah hanya kedua jempol tangan kanan-kirinya.

Gaya hidup sehat mengandalkan makanan alam lepas campur tangan industri, tubuh
bergerak keseluruhan bermain petak umpet, lompat tali atau layang-layang.

(Sumber : Rubrik dr. Tan Shot Yen di Tabloid Nyata).


[Bacaan bagus untuk kita yang ingin membangun pola hidup sehat. Susu bukan minuman
super seperti yang selama ini diagung-agungkan. Salam Sehat Holistik !

dr. Medi Wirawan, DFM, MPH

Rumah Sehat Holistik Jangan Mau Sakit Magelang]

Anda mungkin juga menyukai