Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN

ANALISIS KEBIJAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN


PRODUK BESI BAJA NASIONAL

PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI


BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN PERDAGANGAN
2015
KATA PENGANTAR

Segala puji dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas telah
dapat diselesaikannya penulisan analisis ini dengan baik dan sesuai
dengan waktu yang telah ditetapkan.
Analisis Kebijakan Pengamanan Perdagangan Produk Besi Baja
Nasional merupakan salah satu kajian yang bersifat jangka pendek yang
dilaksanakan oleh Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri pada Tahun
Anggaran 2015. Penulisan analisis didasarkan atas pentingnya peran
pemerintah dalam melindungi dan memajukan industri dan melindungi
tenaga kerja domestik.
Kami menyadari bahwa analisis ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu diharapkan sumbangan pemikiran dari para pembaca sebagai
bahan penyempurnaan. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak, yang secara langsung dan tidak langsung
telah membantu penyelesaian kajian ini. Semoga Analisis Kebijakan
Pengamanan Perdagangan Produk Besi Baja Nasional dapat bermanfaat.

Jakarta, Juni 2015


Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri

i
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................... i
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................. 4
1.1. Latar Belakang ................................................................................................ 4
1.2. Tujuan ............................................................................................................. 6
1.3. Ruang Lingkup ................................................................................................ 6
1.4. Metodologi ...................................................................................................... 6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 7
2.1. Landasan Teori ............................................................................................... 7
2.1.1. Hambatan Perdagangan Tarif ................................................................ 7
2.1.2. Hambatan Perdagangan Non Tarif ........................................................ 9
2.2. Penelitian Terdahulu ..................................................................................... 16
BAB III. GAMBARAN UMUM INDUSTRI BESI BAJA NASIONAL ................ 18
3.1 Perkembangan industri besi baja nasional ..................................................... 18
3.2 Perkembangan kinerja ekspor impor produk besi baja ................................... 22
BAB IV. PENGAMANAN PERDAGANGAN PRODUK BESI BAJA DAN
DAMPAKNYA .......................................................................................... 25
4.1 Kebijakan pengamanan perdagangan besi baja nasional ............................... 25
4.1.1. Kebijakan Anti Dumping ...................................................................... 27
4.1.2. Kebijakan Tindakan Pengamanan Perdagangan (Safeguard) ............. 33
4.2 Implikasi kebijakan ......................................................................................... 40
BAB V. PENUTUP......................................................................................... 46
5.1 Kesimpulan .................................................................................................... 46
5.2 Rekomendasi ................................................................................................. 47

ii
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Pohon Industri Besi Baja Nasional (Tanpa 18


Stainless Steel)
Gambar 3.2 Konsumsi dan Penguasaan Pasar Dalam Negeri 22
Gambar 3.3 Komposisi Kinerja Impor Besi Baja 23
Gambar 4.1 Kinerja Impor HRC 28
Gambar 4.2 Kinerja Impor H & I Section, dan Tin Plate 29
Gambar 4.3 Kinerja Impor CRC dan HRP 31
Gambar 4.4 Komposisi Impor Besi Baja Terkena BMAD 32
Gambar 4.5 Kinerja Impor Paku 33
Gambar 4.6 Kinerja Impor Kawat Bindrant, Kawat Seng, dan 35
Tali Kawat Baja
Gambar 4.7 Kinerja Impor Kawat Bronjong 36
Gambar 4.8 Kinerja Impor BJLAS, Casing dan Tubing, serta 38
HRC
Gambar 4.9 Komposisi Impor Besi Baja terkena BMTP 39

iii
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Industri besi baja nasional memiliki peran yang sangat strategis,


antara lain sebagai penggerak ekonomi bagi industri nasional yang
menggerakkan industri-industri yang menjadi input dan industri-
industri yang menggunakan produk industri besi baja sebagai
inputnya. Setiap peningkatan Rp 1 di sektor industri baja akan
meningkatkan permintaan di sektor tambang bijih besi, energi,
investasi, infrastruktur, teknologi dan SDM sebesar Rp 1,27 dan setiap
peningkatan Rp 1 di sektor industri baja akan meningkatkan
permintaan di sektor infrastruktur dan industri manufaktur lainnya
sebesar Rp 1,021.

Namun, industri besi baja nasional sedang mengalami gejolak di


tengah perannya yang sangat strategis. Kurangnya pasokan bahan
baku membuat pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan melalui
impor. Berdasarkan data Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia,
dari total kebutuhan scrap nasional, hanya 30 persen yang dapat
dipenuhi dari dalam negeri. Sebagian besar sisanya masih
mengandalkan pasokan impor dari Afrika Selatan, Amerika Serikat,
Singapura dan Australia2. Sementara itu, impor scrap juga mengalami
kendala karena pernah ditemukan scrap impor yang diindikasi
mengandung bahan beracun berbahaya (B3) sehingga diterapkan
mekanisme impor tentang verifikasi bahan baku besi bekas scrap.

Selain itu, maraknya importasi produk besi baja dan adanya


praktik perdagangan tidak jujur (unfair trade) membuat produk besi
baja nasional tidak mampu bersaing dan menyebabkan kerugian bagi
industri nasional.

1
Berdasarkan penelitian kementerian perindustrian yang dipaparkan dalam FGD Industri Besi
Baja Nasional pada 1 April 2014.
2
Suara Karya

4
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Dalam rangka menyelamatkan industri besi baja, perlu dilakukan
berbagai upaya terutama dukungan pemerintah. Kementerian
Koordinator Perekonomian telah menyelenggarakan rapat koordinasi
yang melibatkan kementerian-kementerian terkait guna merumuskan
paket tindakan yang harus dilakukan. Berdasarkan permasalahan
yang dihadapi, dukungan pemerintah yang dibutuhkan antara lain
mencakup kemudahan berinvestasi dalam pembangunan smelter dan
pembaruan teknologi terutama di sektor hulu, serta pengamanan di
sektor hilir atas produk-produk impor yang semakin meningkat
dan/atau dijual dengan harga dumping.

Tindakan tercepat yang bisa dilakukan sebagai upaya untuk


menyelamatkan industri besi baja nasional salah satunya adalah
mengamankan perdagangan produk besi baja di dalam negeri,
terutama untuk produk antara seperti HRC/P, wire rod, CRC/S, serta
produk akhir seperti tin plate. Produk antara berperan krusial dalam
industri besi baja nasional karena jumlah produsen dalam sektor ini
mencapai 76 perusahaan dari total perusahaan di industri besi baja
sejumlah 111 perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa industri besi
baja nasional terkonsentrasi pada produk antara.

Dalam rangka mengamankan dan menyelamatkan industri besi


baja nasional, terutama terkait dengan impor besi baja, pemerintah
telah melakukan beberapa kebijakan. Salah satunya adalah
mengendalikan impor produk besi baja melalui regulasi tentang
Ketentuan Impor Besi atau Baja (Permendag No.54/M-
DAG/PER/12/2010 yang telah diubah menjadi Permendag No.08/M-
DAG/PER/2/2012) maupun Ketentuan tentang Impor Baja Paduan
(Permendag No.28/M-DAG/PER/6/2014). Selain itu, pemerintah juga
menerapkan tindakan pengamanan berupa pengenaan Bea Masuk
Anti Dumping (BMAD) dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan
(BMTP).

5
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Hingga tahun 2015, jumlah tindakan pengenaan BMAD atas impor
produk besi baja nasional mencapai 12 tindakan, 5 tindakan
dikenakan untuk produk akhir seperti CRC, tin plate dan I & H section;
6 tindakan dikenakan untuk produk antara seperti HRC dan wire rod;
dan 1 tindakan dikenakan untuk produk hulu (besi mangan karbon dan
silikon).

Sementara hingga Januari 2015, jumlah tindakan BMTP yang


dikenakan atas produk impor besi baja sebanyak 10 kasus, yang
seluruhnya merupakan produk akhir besi baja. Hal ini tentunya
mengancam industri besi baja nasional secara keseluruhan,
mengingat posisi strategisnya sebagai penggerak ekonomi bagi
industri-industri lainnya yang menjadi input terutama sektor hulu
industri besi baja.

1.2. Tujuan

Tujuan kajian adalah sebagai berikut :

1. Mengidentifikasi kebijakan pengamanan perdagangan yang


diterapkan Indonesia terhadap produk besi baja.
2. Mengidentifikasi dampak kebijakan pengamanan perdagangan
terhadap pengembangan industri besi baja nasional.

1.3. Ruang Lingkup

Ruang lingkup kajian dibatasi pada aspek-aspek sebagai berikut :

1. Kebijakan pengamanan perdagangan mencakup tindakan


pengenaan BMAD dan BMTP terhadap produk besi baja
2. Nilai dan pangsa impor produk Indonesia yang dikenakan
kebijakan pengamanan perdagangan.

1.4. Metodologi

Metodologi yang digunakan dalam kegiatan ini adalah dengan


pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif dilakukan
dengan pengumpulan data sekunder dari berbagai sumber data dan
selanjutnya diolah dengan menggunakan alat analisa statistik.

6
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Hambatan Perdagangan Tarif

Tarif adalah hambatan perdagangan dalam bentuk


penetapan pajak atas impor. Terdapat dua alasan yang
mendasari pemerintah memberlakukan tarif impor, yakni
untuk melindungi industri domestik yang bersaing dengan
produk-produk impor dan untuk meningkatkan pendapatan
pemerintah. Di negara berkembang, pendapatan pemerintah
melalui tarif impor lebih mudah didapatkan dibanding dengan
pajak penghasilan, sehingga penetapan tarif impor untuk
meningkatkan pendapatan pemerintah banyak dipraktikan di
negara-negara berkembang. Namun, hal ini relatif tidak
penting bagi negara maju untuk dijadikan sebagai sumber
pendapatan pemerintahnya.

Penetapan tarif impor akan mempengaruhi harga


keseimbangan domestik, namun tidak pada harga
keseimbangan dunia. Diasumsikan sebuah perekonomian
mengekspor barang Y dan mengimpor barang X. Pemerintah
menetapkan tarif impor sehingga harga domestik untuk
barang X menjadi naik sesuai dengan besaran tarif tersebut.
Harga domestik dinotasikan sebagai p= px/py . Karena
barang ekspor tidak dikenakan tarif (pajak ekspor), maka
hubungan harga domestik dan harga dunia adalah px=
px*(1+t) dan py= py* atau p=p*(1+t). Rasio harga domestik
akan lebih besar dari rasio harga dunia (p > p*)3.

3
Markusen et al. International Trade Theory and Evidence. (United States: McGraw-Hill, 1996)
hlm. 246

7
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Gambar 2.1 Dampak tarif impor

Sumber: Markusen (1996)

Sedikitnya ada tiga dampak dari kebijakan penetapan


tarif. Pertama, tingkat kesejahteraan (welfare) lebih rendah
jika diterapkan kebijakan tarif dibanding perdagangan bebas,
namun lebih tinggi bila dibandingkan dengan kondisi autarki.
Kedua, tarif impor menyebabkan pergerakan level produksi
kembali ke titik autarki. Hal ini diakibatkan oleh harga
domestik yang menyebabkan distorsi dalam pembuatan
keputusan pelaku ekonomi domestik. Karena harga barang X
domestik lebih tinggi, yang kemudian dipersepsikan sebagai
tanda bahwa barang X lebih bernilai, sehingga banyak
produser yang memproduksi barang X. Padahal, keunggulan
komparatif negara tersebut adalah barang Y sehingga
keuntungan dari adanya spesialisasi (keunggulan
komparatif) tersebut hilang. Ketiga, penurunan impor yang
disebabkan oleh diterapkannya kebijakan tarif impor
mendorong penurunan pada volume ekspor. Dengan
demikian, penetapan tarif berdampak pada impor dan ekspor
dalam keseimbangan umum4.

4
Ibid., hlm 247

8
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
2.1.2. Hambatan Perdagangan Non Tarif

a. Kuota

Kebijakan tarif impor mempengaruhi harga secara


langsung, sedangkan kuota mempengaruhi kuantitas
secara langsung. Kuota adalah sebuah hambatan
perdagangan dalam bentuk penetapan maksimal
kuantitas barang impor. Misal, sebuah negara H
mengimpor barang X kemudian menerapkan kuota atas
impor tersebut. Dengan adanya pembatasan volume
impor, maka terjadi kekurangan pasokan barang X dan
menyebabkan terjadinya kenaikan harga barang X di
negara H tersebut. Gap antara harga dunia dan harga
domestik ini menguntungkan pihak-pihak importir di
negara H karena mereka dapat mengimpor barang X
dengan harga dunia dan menjualnya dengan harga
domestik yang lebih tinggi. Keuntungan akibat
kelangkaan barang yang disebabkan oleh kuota disebut
keuntungan kuota (quota rents)5.

Gambar 2.2 Dampak kuota impor

Sumber: Markusen (1996)

5
Ibid., hlm 268

9
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Bentuk lain dari kuota adalah voluntary export
restraint (VER), kuota yang secara sukarela ditetapkan
oleh negara pengekspor. Implikasi dari kebijakan ini
adalah keuntungan kuota (quota rents) beralih dari
negara pengimpor ke negara pengekspor.

b. Dumping dan Antidumping

Terdapat dua pengertian dumping menurut, yaitu 1)


praktik penjualan suatu barang pada tingkat harga di
pasar ekspor yang lebih rendah dari tingkat harga
domestik, dan 2) praktik penjualan suatu barang pada
tingkat harga di pasar ekspor yang lebih rendah dari
biaya rata-rata (average cost) produksi barang tersebut.
Berdasarkan alasan pengenaannya, dumping
dikategorikan menjadi dua bentuk. Pertama, karena
turunnya permintaan di pasar domestik akibat
terjadinya siklus bisnis, membuat perusahaan menjual
kelebihan produksinya ke pasar ekspor dengan harga
yang lebih murah untuk mendorong penjualan. Bentuk
yang seperti ini disebut sporadic dumping karena
berhubungan dengan fluktuasi ekonomi. Kedua, ketika
perusahaan menjual produknya dengan harga yang
lebih rendah di pasar ekspor dengan tujuan untuk
menekan perusahaan domestik atau mencegah
masuknya pesaing baru, disebut sebagai predatory
dumping6.

Tindakan dumping tersebut termasuk dalam


persaingan dagang yang tidak sehat. Namun, banyak
pemerintahan negara yang menerapkan tindakan
dumping untuk melindungi industri dalam negeri yang
melakukan proses produksi dengan identifikasi produk

6
Ibid., hlm 355-357

10
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
yang sama. Tindakan dumping inilah yang melahirkan
tindakan baru dalam perjanjian WTO berupa tindakan
antidumping, guna meminimalisir dampak yang akan
dirasakan oleh masing-masing negara atas tindakan
tersebut.

Sesuai dengan Agreement of Antidumping WTO,


suatu negara diperbolehkan untuk melakukan
pembelaan atas tindakan dumping yang dianggap
merugikan dari sisi material pada industri dalam negeri.
Tindakan antidumping yang diterapkan oleh pemerintah
harus melalui proses penyelidikan yang didukung oleh
fakta-fakta yang terjadi di lapangan untuk membuktikan
adanya dumping yang dilakukan oleh negara lain.
Selain hal tersebut, dalam penyelidikan tersebut juga
perlu menunjukkan dumping telah menyebabkan
kerugian atan mengancam keberlangsungan industri
dalam negeri.

Penerapan tindakan antidumping dilakukan berupa


pengenaan bea masuk tambahan pada produk tertentu
dari suatu negara pengekspor guna menghapus
kerugian industri dalam negeri. Ada tiga alternatif cara
yang digunakan untuk melakukan perhitungan untuk
mengetahui apakah produk tersebut masuk dalam
tindakan dumping berat atau ringan. Pertama adalah
dengan melihat harga di pasar domestik ekportir.
Kedua, dengan melihat harga yang dikenakan oleh
eksportir di negara lain atau perhitungan yang dilihat
dari kombinasi biaya produksi eksportir, biaya terkait
lainnya dan margin keuntungan normal7.

7
Puska Daglu. Analisis Kebijakan Pengamanan Perdagangan Indonesia di Negara Tujuan Ekspor
(Jakarta: Kementerian Perdagangan, 2013) hlm. 4

11
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Perhitungan untuk tindakan dumping tidak dapat
dijadikan dasar penerapan tindakan anti dumping jika
pada kenyataannya tidak terjadi kerugian industri dalam
negeri atas adanya impor barang sejenis. Sehingga
penyelidikan untuk penerapan tindakan antidumping ini
harus dilakukan secara terperinci. Tahap penyelidikan
dan pengevaluasian harus melihat semua faktor
ekonomi yang relevan dan berkaitan dengan
industrinya.

Tata cara dalam melakukan anti dumping diatur


secara terperinci dalam Peraturan Pemerintah No.34
Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan
Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan.
PEraturan tersebut mengatur mulai dari dilakukannya
investigasi hingga memberikan kesempatan kepada
semua pihak untuk mengajukan bukti dan
pembelaannya. Tindakan ini akan dikenakan dengan
batas waktu hingga lima tahun dari tanggal
penetapannya. Kecuali penyelidikan menunjukkan
bahwa mengakhiri tindakan antidumping akan
menyebabkan kerugian.

Penyelidikan antidumping dapat dihentikan bila


diketahui margin dumping tidak signifikan atau kurang
dari 2% dari harga ekspor produksi serta melihat
volume atas barang impor yang dituduh dumping
sangat kecil atau kurang dari 3% dari total impor produk
tersebut. Selain itu, penyelidikan dapat dihentikan jika
beberapa negara yang masing-masing memasok

12
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
kurang dari 3% impor atau secara akumulasi mencapai
7% atau lebih dari total impor8.

c. Subsidi dan Countervailing Duties

Subsidi merupakan bantuan keuangan oleh


pemerintah atau badan publik dalam wilayah anggota
WTO yang memberikan manfaat9. Pemberian subsidi
hanya untuk suatu perusahaan atau industri yang
dilindungi secara hukum. Subsidi dikategorikan dalam
tiga kategori. Pertama, subsidi yang dilarang baik
berupa subsidi ekspor maupun subsidi untuk
penggunaan barang domestik dibandingkan barang
impor. Subsidi dilarang karena secara langsung
mempengaruhi perdagangan dan memberikan efek
negatif pada kepentingan anggotanya.

Kedua, subsidi yang dapat ditindaklanjuti. Subsidi ini


memberikan pengaruh bagi kepentingan negara
anggota lainnya, yaitu kerugian industri dalam negeri
dari negara lainnya, pembatalan atau gangguan dari
manfaat yang diperoleh secara langsung atau tidak
langsung dengan negara anggota yang
menandatangani perjanjian GATT. Kerugian yang
dianggap serius adalah total ad valorem subsidi produk
melebihi 5%. Jika terlihat total yang melebihi batas
tersebut, maka negara yang mendapat pengaruh
tersebut dapat melakukan perujukan kepada badan
penyelesaian sengketa. Tujuannya untuk meminta
dilakukan penghapusan pemberian subsidi guna
menarik efek negatif yang ditimbulkan.

8
Peraturan Pemerintah No.34 Tahun 2011 Pasal 6 ayat (2)
9
WTO. 2013. Agreement on Implementation of Article VI of the General Agreement on
Tariffs and Trade 1994 (Anti-Dumping Agreement)

13
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Ketiga, subsidi yang tidak dapat ditindaklanjuti,
subsidi ini berupa subsidi non-spesifik maupun subsidi
khusus yang melibatkan bantuan terhadap penelitian
sektor industri dan kegiatan pembangunan pra-
kompetitif, bantuan kepada daerah tertinggal atau jenis
bantuan tertentu untuk menyesuaikan fasilitas yang ada
terhadap adanya pemberlakuan suatu perundingan
atau peraturan.

Selain itu, tindakan lain atas adanya barang impor


bersubsidi adalah tindakan imbalan. Tindakan imbalan
(countervailing) atas barang impor bersubsidi.
Ketentuan tersebut mengatur mengenai inisiasi kasus
tindakan imbalan, penyelidikan oleh otoritas nasional
dan aturan penetapan bukti-bukti untuk memastikan
bahwa semua pihak yang berkepentingan dapat
menyajikan informasi dan argumen yang jelas.

Perhitungan jumlah subsidi juga diatur dalam


ketentuan sebagai dasar untuk penentuan kerugian
pada industri dalam negeri. Semua faktor ekonomi yang
relevan harus diperhitungkan dalam menilai keadaan
suatu industri dan hubungan sebab akibat harus
terpenuhi antara impor bersubsidi dan dugaan
kerugian. Investigasi tindakan imbalan akan segera
diakhiri dalam kasus dimana jumlah subsidi adalah de
minimis (subsidi kurang dari 1% ad valorem) atau
volume impor bersubsidi aktual atau potensial
maupun kerugian dapat diabaikan. Kecuali dalam
keadaan luar biasa, investigasi harus dapat
disimpulkan dalam waktu satu tahun setelah inisiasi
dan tidak boleh melebihi 18 bulan.

14
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Semua bea masuk imbalan (countervailing duties)
harus dihentikan dalam waktu 5 tahun dari tanggal
pengenaan kecuali pihak yang berwenang menentukan
bahwa berdasarkan review menjelang berakhirnya
pengenaan bea masuk imbalan akan cenderung
mengarah pada berlanjutnya atau berulangnya subsidi
dan kerugian.

d. Safeguard

Safeguard adalah cara yang dilakukan untuk


melindungi suatu industri dalam negeri dari peningkatan
impor yang tidak terduga untuk setiap produk yang
menyebabkan atau mungkin menyebabkan terjadinya
kerugian atas industri tersebut10. Sama halnya dengan
tindakan antidumping, penerapan safeguard di
Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah No.34
Tahun 2011. Sebelum menerapkan safeguard,
dilakukan penyelidikan terlebih dahulu oleh otoritas
berwenang yang dalam hal ini adalah Komite
Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI). Dalam
penyelidikan safeguard, dilakukan pemberitahuan
umum untuk mendengarkan masukkan dan saran lain
dari berbagai pihak yang berkepentingan untuk
memberikan bukti-bukti. Tindakan safeguard dapat
dilakukan dengan penerapan safeguard sementara,
dimana penerapan saferguard didasarkan pada
penentuan awal terhadap kerugian serius.

Tindakan safeguard didasari untuk mencegah atau


memulihkan kerugian serius akibat adanya impor.
Namun, tindakan ini tidak akan berlaku untuk produk
dari anggota negara berkembang. Hal tersebut dapat

10
Agreement on Safeguard Article 2

15
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
terjadi jika negara berkembang yang nilai produk
impornya tidak melebihi 3% dan pangsa impornya
kurang kurang dari 3% serta secara kolektif tidak
melebihi 9% dari total impor produk yang dimaksud11.

2.2. Penelitian Terdahulu

Analisis mengenai dampak kebijakan perdagangan yang bersifat


restriksi terhadap ekonomi dan sosial cukup umum dalam literatur
akademi dan diksusi kebijakan. Indikator tingkat restriksi perdagangan
sebuah negara digunakan untuk melihat dampak kebijakan terhadap
pertumbuhan ekonomi (Edwards, 1998; Frankel dan Romer, 1999),
kemiskinan (Dollar dan Kraay, 2003), atau produktifitas perusahaan
(Melitz, 2003) (Kee et al, 2009).

Kee et al (2009) melakukan analisis yang bertujuan untuk


memberikan ukuran mengenai bentuk retriksi perdagangan yang
didasarkan pada teori perdagangan dan memberikan berbagai bentuk
restriksi perdagangan dalam definisi lainnya (Anderson and Neary
1992; 1994; 1996; 2003; 2007). Dalam penerapan implementasi
empiris mengenai indeks retriksi masih banyak ditemui batasan pada
persyaratan terhadap data yang akan diolah. Hambatan yang dihadapi
tersusun dalam bentuk indeks. Indeks yang pertama adalah TRI. TRI
akan merangkum distorsi yang berkaitan terhadap kebijakan
perdagangan yang dilakukan oleh masing-masing negara dan
berhubungan dengan keuntungan yang akan diperoleh dari hal
tersebut. Indeks yang kedua adalah OTRI, OTRI merangkum dampak
yang akan dirasakan dari penerapan kebijakan perdagangan yang
berhubungan dengan kegiatan impornya. Indeks yang ketiga adalah
MA-OTRI, MA-OTRI merangkum dampak dari kebijakan perdagangan
negara-negara lain pada ekspor masing-masing negara.

11
Peraturan Pemerintah No.34 Tahun 2011 Pasal 90

16
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Semua indeks tersebut memperlihatkan penggunaan tingkatan
batas tarif dalam penerapan perlindungan dan Ad Valorem
Equivalents (AVEs) dalam NTBs. Hasil penelitian memperlihatkan
bahwa negara-negara yang kesejahteraannya berada dibawah
memiliki restriksi perdagangan yang jauh lebih ketat dan hambatan-
hambatan yang lebih tinggi. Hal ini terjadi karena hubungan timbal
balik dalam perjanjian perdagangan baik secara bilateral maupun
multilateral. Dalam penelitian ini juga menunjukkan bahwa NTB
berkontribusi besar bagi restriksi perdagangan di negara. Selain itu, di
34 dari 78 negara dalam sampel, restriksi dengan NTB lebih besar
dibanding retriksi menggunakan tarif. Dengan demikian, NTB harus
menjadi prioritas bagi negosiator perdagangan, terutama bagi yang
mencari akses lebih baik ke pasar negara maju, dimana restriksi
dengan NTB akan terlihat lebih kuat (Kee et al, 2009).

Tarif nominal dan pengamanan perdagangan yang diterapkan


memperlihatkan kinerja yang efektif untuk sektor perdagangan
Indonesia pada awal 2008 (kee et al,2009). Hal ini merujuk pada
perbandingan angka-angka yang telah dihitung menggunakan RERP
periode tahun 1987 hingga 1995 (Fane and Condo,1996). Tarif impor
telah diturunkan, khususnya melalui pengaturan perdagangan
preferensial regional. Penjelasan pengaturan tersebut dibuat dalam
dua cara yang berbeda. Pajak ekspor bertahan di sektor sumber daya
alam tertentu, namun harga telah berkurang. Kami menemukan
bahwa lebih dari setengah dari dukungan yang efektif diberikan
kepada tradable sektor produk yang berasal dari subsidi pada bahan
bakar, pupuk, listrik dan bahan bakar gas cair, dan bukan dari
kebijakan perdagangan. Kelemahan tugas dan pembebasan bagi
eksportir meningkatkan tingkat efektif perlindungan bagi sektor
tradable secara keseluruhan hingga dari 1%, dan tanpa sektor input-
output lebih dari 3% (Marks dan Raharja, 2012).

17
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
BAB III. GAMBARAN UMUM INDUSTRI BESI BAJA NASIONAL

3.1 Perkembangan industri besi baja nasional

Jika dilihat dari pohon industrinya, industri besi baja nasional


memiliki pohon industri yang lengkap dari proses hulu hingga hilir
(Gambar 1). Pohon industri adalah skema yang menggambarkan
diversifikasi produk dalam sebuah industri beserta turunan-
turunannya. Industri besi baja dimulai dari sektor yang paling hulu
yakni bijih besi dan berakhir pada produk-produk baja yang digunakan
oleh industri pengguna seperti baja profil, paku, kawat, dan baja
batangan.

Gambar 3.1. Pohon Industri Besi Baja Nasional (Tanpa Stainless


Steel)

Sumber: Kementerian Perindustrian, diolah IISIA (2014)

Pohon industri juga mencerminkan skema proses produksi besi


baja. Dimulai dari sektor paling hulu yakni penambangan bijih besi

18
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
sebagai bahan baku utama pembuatan besi, dilanjutkan dengan
proses ore dressing yang menghasilkan konsentrat (iron ore
concentrate). Selanjutnya dalam proses aglomeration dihasilkan pellet
dan sinter. Pellet dan sinter digunakan sebagai bahan baku
pembuatan besi (iron making), menghasilkan sponge iron, hot bricket
iron, hot metal, dan pig iron.

Besi-besi tersebut, dan bahan baku lainnya termasuk scrap,


selanjutnya diolah dalam proses steel making & casting menjadi baja
kasar. Produk baja kasar mencakup bloom, billet, slab, dan iron/steel
cast. Proses selanjutnya adalah hot forming atau dicanai panas.
Dalam tahap ini, billet diolah menjadi round billet, wire rod, dan bar.
Slab diolah menjadi hot rolled coil dan plate. Sementara bloom
langsung diolah menjadi produk akhir berupa heavy profile dan rail.
Setelah melalui tahap hot forming, sebagian produk diproses lebih
lanjut melalui cold forming, seperti wire rod yang diolah menjadi wire
dan hot rolled coil yang diolah menjadi cold rolled coil. Selebihnya,
produk langsung diproses menjadi produk akhir.

Sementara itu, berdasarkan tahap produksinya, produk besi baja


dapat dikelompokkan menjadi produk hulu, produk antara, dan produk
akhir. Produk hulu dimulai dari hasil proses penambangan hingga iron
making, mencakup pellet, sinter, sponge iron, hot bricket iron, hot
metal, pig iron. Produk antara mencakup baja kasar (bloom, billet,
slab, dan iron/steel cast), round billet, wire rod, bar, hot rolled
coil/plates. Produk akhir mencakup antara lain wire, cold rolled
coil/sheets heavy profile, wire mesh, profile & deformed bar, dan tin
plate.

Selain berdasarkan tahap produksinya, produk besi baja terutama


yang termasuk dalam produk antara, juga dikelompokkan berdasarkan
bentuk dan fungsinya yaitu long product dan flat product. Flat product
digunakan untuk menunjang industri otomotif dan home appliance,
terdiri dari hot rolled coil/plates (HRC/P) dan cold rolled coil/sheet

19
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
(CRC/S). Sementara long product digunakan untuk pemenuhan
industri konstruksi dan infrastruktur, terdiri dari bars, structurals, wire
rod. Permintaan keduanya dalam periode 2002-2010, mengalami
pertumbuhan dengan trend yang meningkat. Baik untuk konsumsi flat
product maupun long product, keduanya masih banyak yang berasal
dari impor. Khusus untuk industri long product, utilisasi produksi
rendah (sekitar 60%), barang impor banyak di pasar, sehingga
produksi lokal hanya terserap sebagian di pasar12.

Hampir semua produk dari hulu hingga hilir tersebut dapat


diproduksi oleh industri besi baja nasional. Namun demikian, masih
ada beberapa produk yang belum dapat diproduksi di Indonesia
ataupun yang baru akan dibangun industrinya. Terutama di sektor
hulu, beberapa produk seperti iron concentrate, pellet, hot bricket iron
belum dapat diproduksi oleh industri nasional. Bijih besi sebagai
bahan baku utama dalam pembuatan besi baja juga tidak cukup
dipenuhi dari dalam negeri saja. Hal ini disebabkan karena sekitar
90% bijih besi dunia berasal dari jenis cebakan besi yang disebut
sebagai cherty Banded Iron Formation/ BIF (Guilbert and Park, 1986).
Sementara itu, secara geologi wilayah Indonesia hanya merupakan
busur magmatis dan hanya sedikit mempunyai potensi cebakan besi
tipe Banded Iron Formation/ BIF (Pardianto, 2011).

Namun demikian, hal yang menggembirakan adalah produksi baja


kasar nasional (billet, slab, ion/steel cast) dari tahun ke tahun
menunjukkan perkembangan yang berarti. Selama tahun 2009-2013,
produksi besi/baja kasar tumbuh 10,1% per tahun. Meskipun
demikian, terjadi defisit suplai sebesar 4,9 juta ton pada tahun 2013
akibat produksi besi baja kasar baru mencapai mencapai 5,9 juta ton
di saat kebutuhan nasional terhadap besi baja kasar mencapai 10,8
juta ton. Padahal kapasitas industrinya mencapai 12,9 juta ton.
Tingkat utilisasi yang masih rendah ini mendorong pemenuhan

12 th
75 OECD Steel Committee Meeting pada Desember 2013

20
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
kebutuhan besi baja kasar nasional melalui impor. Impor besi baja
kasar pada tahun 2013 tercatat sebanyak 4,9 juta ton, tumbuh 24,1%
per tahun dalam lima tahun terakhir.

Sementara besi beton/profil ringan, dengan tingkat penguasaan


dalam negeri telah mencapai 97,5% mampu memenuhi kebutuhan
nasional meskipun masih melakukan impor untuk spesifikasi tertentu.
Produksi besi beton/profil ringan mencapai 2,4 juta ton di tahun 2013,
tumbuh 7,1% per tahun, dengan konsumsi nasional mencapai 2,5 juta
ton yang juga tumbuh 7,1%.

Di sektor antara, seperti produk wire rod, selama tahun 2009-2013


produksinya tumbuh 5,0% per tahun dan pada tahun 2013 mencapai
1,2 juta ton ton. Tingkat produksi ini masih belum mampu memenuhi
kebutuhan nasional wire rod yang mencapai 1,4 juta ton pada tahun
2013.

Selain itu, produk hot rolled coil/plates (HRC/P) juga menunjukkan


perkembangan yang berarti. Konsumsi nasional produk HRC/P
meningkat signifikan selama tahun 2009-2013 sebesar 20,8% per
tahun, namun pertumbuhan produksi nasionalnya hanya sebesar
8,4% per tahun. Produksi HRC/P yang mencapai 3,7 juta ton di tahun
2013, baru dapat memenuhi 58,2% kebutuhan HRC/P nasional yang
mencapai 6,2 juta ton. Selebihnya, kebutuhan HRC/Plates nasional
dipenuhi melalui impor. Importasi produk HRC/P juga mengalami
peningkatan signifikan dalam periode yang sama, sebesar 35,7% per
tahun atau mencapai 2,6 juta ton di tahun 2013. Tingginya impor
tersebut menimbulkan permasalahan tersendiri bagi industri nasional
yang memicu diambilnya tindakan pengamanan perdagangan dalam
bentuk pengenaan BMTP dan BMAD. Sementara kebutuhan nasional
akan produk hilir atau produk akhir besi baja semakin meningkat
seiring dengan berkembangnya industri pengguna. Pada tahun 2013,
konsumsi produk akhir besi baja mencapai 12,7 juta ton atau tumbuh
15,1% per tahun (Worldsteel Association, 2014).

21
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Ribu Ton
Besi/Baja Kasar Ribu Ton Besi Beton/Profile Ringan
25,000 6,000

5,000
20,000

4,000
10,806.4
2,454.0
15,000 2,328.1
9,161.5
2,053.6
3,000 1,958.9
1,899.2
5.5 8.3
10,000 6,727.3 6,873.1 7.0 60.2
3.8 65.0
6,154.8 9.9
2,000 17.2 5.5 32.4
4,876.6 53.8 54.0
13.2 1.5 3,817.7
2.2
2,402.0 2,175.2
5,000 2,092.5 2,270.0 2,402.1
1,000 1,862.5 1,910.4 2,031.2

5,347.6 5,935.2
4,064.4 4,338.5 4,669.5

0 0
2009 2010 2011 2012 2013 2009 2010 2011 2012 2013

Produksi Impor Ekspor Konsumsi Produksi Impor Ekspor Konsumsi

Ribu Ton Wire Rod Ribu Ton HRC/ Plates


3,000 14,000

2,500 12,000

1,361.3 10,000
2,000 1,084.5
6,195.3
1,227.8
1,041.2
5,570.5
953.1 8,000
4,551.2
1,500
205.3 47.7
165.1 50.7 176.6 3,538.9 73.1
6,000 164.0
223.8 149.4
132.6 180.7 3,026.0
395.0 2,591.6
1,000 163.3
2,384.0
4,000 420.9 1,802.1
462.3
1,099.7
1,232.5 828.2
1,066.1 1,129.1
500 1,025.7
922.3
2,000 3,676.8
3,144.1 3,350.6
2,660.1 2,860.1

0 0
2009 2010 2011 2012 2013 2009 2010 2011 2012 2013

Produksi Impor Ekspor Konsumsi Produksi Impor Ekspor Konsumsi

Gambar 3.2 Konsumsi dan Penguasaan Pasar Dalam Negeri

Sumber: Kementerian Perindustrian (2014)

3.2 Perkembangan kinerja ekspor impor produk besi baja

Dalam memenuhi kebutuhan konsumsi domestik, selain dipenuhi


dari produksi nasional, produk besi baja juga diimpor dari berbagai
negara. Selama tahun 2010-2014, secara total impor besi baja
meningkat signifikan sebesar 10,4% per tahun mencapai 14,16 juta

22
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
ton atau senilai USD 12,65 miliar di tahun 2014. Namun, impor besi
baja di tahun 2014 tersebut telah berkurang 11,95% dibanding tahun
sebelumnya yang mencapai 16,04 juta ton atau senilai USD 14,40
miliar.

Dari total produk besi baja impor tersebut, sebagiannya telah dan
sedang dikenakan tindakan pengamanan berupa tindakan
antidumping dan tindakan pengamanan perdagangan (safeguard).
Jumlah impor produk yang dikenakan tindakan pengamanan tersebut,
secara kumulatif 2010-2014, mencapai 27% dari impor produk besi
baja, yang terdiri dari 20% impor yang dikenakan BMAD dan 7% impor
yang dikenakan BMTP.

Komposisi Kinerja Impor Besi Baja


(Kumulatif 2010-2014)

Total Besi Baja BMAD


yang terkena 20%
Total Besi Baja
TPP
yang tidak
27%
terkena TPP
BMTP
73%
7%

Gambar 3.3 Komposisi Kinerja Impor Besi Baja

Sumber: BPS (2015), diolah

Impor yang dikenakan BMAD beberapa diantaranya adalah


produk HRC dan CRC. Impor HRC, secara kumulatif 2010-2014,
mencapai 6,82 juta ton atau 37,77% dari impor besi baja yang
dikenakan TPP. Impor HRC terus mengalami lonjakan signifikan sejak
tahun 2010 hingga 2013. Namun demikian, impor HRC di tahun 2014

23
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
turun 14,60% dibanding tahun sebelumnya. Sementara impor CRC,
secara kumulatif juga berperan besar terhadap impor besi baja,
mencapai 19,26% dari impor besi baja yang dikenakan TPP atau
sebesar 3,48 juta ton. Impor HRC melonjak signifikan di tahun 2010-
2012, dan mulai turun di tahun 2013. Impor CRC di tahun 2014 juga
turun signifikan 44,50% dibanding tahun 2013.

Selain diimpor, besi baja juga diekspor untuk memenuhi


kebutuhan konsumsi dunia. Tercatat selama tahun 2010-2014, eskpor
besi baja turun 0,22% per tahun. Namun demikian, di tahun 2014
ekspor besi baja mencapai 2,27 juta ton atau meningkat signifikan
88,26% dibanding tahun 2013 yang mencapai 1,21 juta ton. Produk
HRC, selain impornya meningkat signifikan, ekspornya juga
memperlihatkan kinerja yang sama. Ekspor HRC meningkat
meningkat 27,8% per tahun selama 2010-2014. Bahkan ekspornya di
tahun 2014 meningkat drastis hingga mencapai 49,67 ribu ton atau
naik 67,12% dibanding tahun 2013 yang hanya mencapai 29,72 ribu
ton.

24
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
BAB IV. PENGAMANAN PERDAGANGAN PRODUK BESI BAJA
DAN DAMPAKNYA

4.1 Kebijakan pengamanan perdagangan besi baja nasional

Dalam rangka mengamankan dan menyelamatkan industri besi


baja nasional, terutama terkait dengan impor besi baja, pemerintah
telah melakukan beberapa kebijakan. Salah satunya adalah
mengendalikan impor produk besi baja melalui regulasi tentang
Ketentuan Impor Besi atau Baja (Permendag No.54/M-
DAG/PER/12/2010 yang telah diubah menjadi Permendag No.08/M-
DAG/PER/2/2012) maupun Ketentuan tentang Impor Baja Paduan
(Permendag No.28/M-DAG/PER/6/2014). Selain itu, pemerintah juga
menerapkan tindakan pengamanan berupa pengenaan Bea Masuk
Anti Dumping (BMAD) dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan
(BMTP).

Permendag No.54/M-DAG/PER/12/2010 tentang Ketentuan Impor


Besi atau Baja dimaksudkan untuk peningkatan tertib administrasi di
bidang impor besi atau baja guna menciptakan perdagangan yang
sehat dan iklim usaha yang kondusif. Peningkatan tertib administrasi
tersebut dilakukan antara lain dengan pengaturan bahwa impor besi
atau baja hanya dapat dilakukan oleh Importir Produsen (IP) Besi atau
Baja dan Importir Terdaftar (IT) Besi atau Baja. IP-Besi atau Baja
adalah perusahaan yang telah memiliki izin usaha industri atau izin
usaha lainnya yang mengimpor Besi atau Baja untuk keperluan proses
produksinya atau perusahaan yang telah memiliki izin usaha industri
atau izin usaha lainnya yang mengimpor Besi atau Baja untuk
digunakan sendiri sebagai pendukung keperluan proses produksinya
atau kegiatan usahanya. Sementara IT-Besi atau Baja adalah
perusahaan yang telah memiliki izin usaha yang mengimpor produk
Besi atau Baja untuk disalurkan kepada perusahaan produsen atau
pengguna akhir.

25
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Selain itu, setiap impor besi atau baja oleh IP-Besi atau Baja atau
IT-Besi atau Baja harus dilakukan verifikasi atau penelusuran teknis
impor terlebih dahulu oleh surveyor di pelabuhan muat sebelum
dikapalkan. Verifikasi tersebut mencakup jenis dan jumlah barang,
klasifikasi barang sesuai Pos Tarif/HS 10 (sepuluh) digit, dan
pelabuhan tujuan.

Terkait dengan tindakan trade remedies, pemerintah dengan aktif


telah memberlakuan kebijakan trade remedies (antidumping,
antisubsidi dan safeguard) sesuai dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 34 Tahun 2011. Dalam rangka melindungi kepentingan industri
dalam negeri, dalam hal terjadi lonjakan impor, adanya pratik dumping
(unfair trade), dan menyebabkan kerugian serius, dapat dilakukan
tindakan pengamanan secara temporer berupa pengenaan tambahan
bea masuk bagi porduk impor tersebut.

Berdasarkan Agreement on Antidumping, negara anggota dapat


menerapkan tindakan antidumping terhadap produk impor yang
terbukti melakukan dumping, yakni harga impor berada di bawah
harga normal value-nya serta menyebabkan kerugian atau ancaman
kerugian serius bagi industri dalam negeri. Pembuktian dilakukan
melalui penyelidikan yang dilakukan oleh otoritas berwenang, dalam
hal ini Komite Anti-Dumping Indonesia (KADI). Bentuk tindakan
antidumping tersebut berupa pengenaan bea masuk anti dumping
(BMAD) yang ditetapkan kepada perusahaan negara asal impor
selama 4 tahun, yang bisa diperpanjang hingga 4 tahun berikutnya
melalui review.

Selain pengenaan BMAD, tindakan trade remedies yang dapat


dilakukan adalah dengan menerapkan BMTP terhadap impor produk
besi baja. Berdasarkan Agreement of Safeguard, negara anggota
dapat menerapkan safeguard (tindakan pengamanan) jika terjadi
lonjakan impor, baik secara absolut maupun relatif, dan kondisi
tersebut menyebabkan kerugian serius atau ancaman kerugian serius

26
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
bagi industri dalam negeri produk sejenis atau produk yang secara
langsung bersaing. Safeguard dapat diterapkan setelah dilakukan
penyelidikan oleh otoritas berwenang, dalam hal ini Komite
Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) dan dalam penyelidikan
itu terbukti adanya kerugian serius yang dialami akibat terjadinya
lonjakan impor.

4.1.1. Kebijakan Anti Dumping

Sejak tahun 1997, Indonesia telah menaruh perhatian


pada pengamanan produk besi baja nasional dengan
mengenakan tindakan pengamanan pertama kali terhadap
impor produk HRC yang berasal dari negara RRT, Ukraina,
Rusia, dan India. BMAD tersebut dikenakan selama lima
tahun dengan besaran 30% untuk RRT, 18-42% untuk
Ukraina, dan 19-39% untuk Rusia, sementara BMAD untuk
India dicabut. Dalam perkembangannya, produk HRC
kembali dikenakan BMAD di tahun 2008, 2011, dan 2013.
Pengenaan BMAD di tahun 2013 merupakan lanjutan dari
pengenaan BMAD di tahun 2008 yang diperpanjang melalui
sunset review.

Selama enam tahun terakhir, perkembangan impor HRC


menunjukkan masih adanya peningkatan meskipun telah
dikenakan BMAD. Peningkatan impor tersebut mencapai
21,1% setiap tahunnya. Di tahun 2010, impor HRC naik
29,2% dibanding tahun 2009, volumenya mencapai 805,184
ton. Peningkatan yang lebih tinggi terjadi di tahun 2011 yang
volumenya mencapai 1,2 juta ton atau meningkat 55,2%
dibanding tahun sebelumnya. Volume impor HRC terus
meningkat hingga mencapai 1,7 juta ton di tahun 2013. Baru
kemudian di tahun 2014, impor HRC dapat ditekan meskipun
masih mencatat jumlah yang tinggi, yakni 1,4 juta ton.

27
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Dilihat dari sisi permintaannya, kebutuhan nasional atas
HRC mencapai 3,6 juta ton di tahun 2014, jauh di atas
produksi nasionalnya yang hanya mencapai 1,8 juta ton. Di
sisi lain, capaian produksi HRC nasional tersebut baru
memanfaatkan 60,0% dari kapasitas produksinya.
Kurangnya pasokan dari dalam negeri ini menyebabkan
tetap tingginya pemintaan terhadap HRC impor untuk
memenuhi kebutuhan industri nasional, meskipun telah
dikenakan BMAD.

Ribu Ton HRC


1.800
Volume Impor HRC
1.600

1.400
Perpanjangan
1.200
pengenaan BMAD thd
1.000 impor asal RRT, India,
Pengenaan BMAD Rusia, Taiwan, Thailand
800
thd impor asal
600 Korsel dan
Malaysia
400 Pengenaan BMAD thd
impor asal RRT, India,
200
Rusia, Taiwan, Thailand
0
2009 2010 2011 2012 2013 2014

Gambar 4.1 Kinerja Impor HRC

Sumber: BPS (2015), diolah

Sementara itu, produksi HRC di RRT mencapai 156,5


juta ton13 melebihi kebutuhan domestiknya sehingga juga
mampu memasok untuk kebutuhan dunia mengingat RRT
merupakan negara penghasil HRC terbesar di dunia. Di
bulan September 2014, RRT mampu memproduksi HRC
sebesar 16,0 juta ton, naik 2,4% dibanding bulan yang sama
13
www.meps.co.uk, MEPS-HRC Quarterly Steel Data, diakses pada tanggal 24 Juni 2015

28
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
di tahun sebelumnya. Selama periode Januari-September
2014, total produksi HRCnya mencapai 137,6 juta ton,
cenderung tidak berfluktuasi dibanding tahun sebelumnya14.
Tidak mengherankan jika kebutuhan nasional juga banyak
dipasok oleh impor HRC asal RRT.

Dalam perkembangannya, industri besi baja dalam


negeri kembali menghadapi serangan produk impor
dumping, khususnya untuk produk wire rod. Pada tahun
1998, Indonesia mengenakan BMAD atas impor produk wire
rod yang berasal dari India dan Turki masing-masing
sebesar 23% dan 9-13%. Tahun 1999, Indonesia kembali
menetapkan pengenaan BMAD untuk tiga produk sekaligus,
yakni besi mangan karbon & besi mangan silicon, tin plate,
serta I & H section.

H & I Section, dan Tin Plate


Ribu Ton
140 periode
pengenaan
120 BMAD....
100

80
periode pengenaan
60
BMAD....
40

20
Volume Impor H&I SECTION Volume Impor TIN PLATE
0
2009 2010 2011 2012 2013 2014

Gambar 4.2 Kinerja Impor H & I Section, dan Tin Plate

Sumber: BPS (2015), diolah

14
www.yieh.com, Steel News, diakses pada tanggal 24 Juni 2015

29
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Di tahun 2010, impor I & H Section kembali dikenakan
BMAD, selama lima tahun. Sejak dikenakannya BMAD
tersebut, impor I & H section memperlihatkan penurunan
yang berarti, hingga kembali mencapai titik terendahnya
dalam enam tahun terakhir, yakni 44,316 ton setelah sempat
mencapai 80,983 ton di tahun 2010.

Sementara itu, tin plate juga kembali dikenakan BMAD di


tahun 2014 selama lima tahun. Impor tin plate asal Korea
Selatan, RRT, dan Taiwan dinilai mengandung dumping
sehingga merugikan industri domestik. Kinerja impornya
mencapai 113,112 ton di tahun 2014, meningkat 14,8%,
dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 98,487 ton.

Di tahun 2012 dan 2013, BMAD dikenakan atas impor


HRP dan CRC masing-masing selama tiga tahun enam
bulan untuk HRP dan 3 tahun untuk CRC. Kinerja impor
selama periode pengenaan BMAD menunjukkan penurunan
yang signifikan dan diperkirakan akan terus turun hingga
berakhirnya pengenaan BMAD tersebut. Impor HRP berhasil
ditekan hingga mencapai 357,373 ton di tahun 2014, turun
signifikan 42,1% dibanding tahun 2013 yang mencapai
617,114 ton, atau turun 27,5% dibanding tahun 2011 yang
mencapai 493,248 ton. Sementara impor CRC juga berhasil
ditekan hingga mencapai 381,845 ton di tahun 2014, turun
44,5% dibanding tahun 2013 yang mencapai 688,036 ton.

30
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
CRC dan HRP
Ribu Ton

1.000

800

600 periode
pengenaan
BMAD....
400

200
Volume Impor CRC Volume Impor HRP

0
2009 2010 2011 2012 2013 2014

Gambar 4.3 Kinerja Impor CRC dan HRP

Sumber: BPS (2015), diolah

Secara keseluruhan, pada tahun 2014, nilai impor


produk yang dikenakan BMAD mencapai USD 1,6 miliar atau
2,3 juta ton. Nilai ini turun 27,5% dibanding tahun 2013 yang
mencapai USD 2,3 miliar atau 3,2 juta ton. Turunnya nilai
impor ini sebagai imbas dari penerapan BMAD setidaknya
dalam lima tahun terakhir (2009-2013). Selama periode
tersebut, impor produk yang dikenakan BMAD tumbuh rata-
rata 13% per tahun.

Secara kumulatif, hingga tahun 2015, jumlah tindakan


pengenaan BMAD atas impor produk besi baja nasional
mencapai 12 tindakan, 5 tindakan dikenakan untuk produk
akhir seperti CRC, tin plate dan I & H section; 6 tindakan
dikenakan untuk produk antara seperti HRC dan wire rod;
dan 1 tindakan dikenakan untuk produk hulu (besi mangan
karbon dan silikon). Nilai kumulatifnya mencapai USD 11,6

31
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
miliar, atau 16,3% dari total impor besi baja. Nilai ini
didominasi oleh impor HRC yang mencapai USD 5,3 miliar,
atau 45,9% dari impor besi baja yang dikenakan BMAD.

Komposisi Impor berdasarkan Produk


6%
CRC

H&I SECTION
26%
19%
HRC

3% HRP

46% TIN PLATE

Gambar 4.4 Komposisi Impor Besi Baja Terkena BMAD

Sumber: BPS (2015), diolah

Dari 12 tindakan anti dumping yang telah dikenakan oleh


Indonesia, 8 diantaranya merupakan pengenaan impor
produk besi baja asal RRT, diikuti oleh negara asal impor
Taiwan (5 tindakan), Rusia dan Korea Selatan ( 4 tindakan),
India (3 tindakan). Selain itu pangsa impor produk besi baja
yang berasal dari kelima negara tersebut juga tinggi, nilainya
mencapai 48,7% sementara volumenya mencapai 50,1%
pada tahun 2013. Hal ini menunjukkan bahwa RRT, Taiwan,
Rusia, Korea Selatan, dan India merupakan negara pesaing
utama untuk produk besi baja nasional di pasar dalam
negeri.

32
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
4.1.2. Kebijakan Tindakan Pengamanan Perdagangan (Safeguard)

BMTP terhadap impor produk besi baja pertama kali


diterapkan pada tahun 2009 untuk produk paku. BMTP
dikenakan selama tiga tahun dengan besaran masing-
masing tahun mencapai 145%, 115%, dan 85%. Pangsa
impor untuk produk paku tersebut didominasi oleh antara lain
Thailand (35,1%), RRT (22,7%), Taiwan (18,7%), dan
Vietnam (16,2%).

Ribu Ton
Paku
12.0
Volume Impor Paku
10.0

8.0

6.0 periode
pengenaan
4.0 BMTP
2.0

-
2009 2010 2011 2012 2013 2014

Gambar 4.5 Kinerja Impor Paku

Sumber: BPS (2015), diolah

Selama periode pengenaan BMTP atas impor paku


berlaku, kinerja impor paku berhasil ditekan secara
signifikan. Impor paku pada tahun pertama pengenaan
BMTP (tahun 2010) mencapai 2,576 ton atau turun sebesar
49,1% dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 5,060
ton. Di tahun 2012 yang merupakan akhir periode
pengenaan BMTP atas impor paku, volume impor telah turun
39,7% dibanding tahun 2009 atau menjadi 3,051 ton.

33
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Namun demikian, impor paku kembali mengalami
lonjakan tinggi pasca berakhirnya pengenaan BMTP. Di
tahun 2013, impor paku mencapai 8,662 ton atau meningkat
drastis 184,0% dibanding tahun sebelumnya, dan meningkat
71,2% dari tahun 2009. Peningkatan impor paku ini terus
berlangsung hingga tahun 2014 mencapai 9,831 ton. Hal ini
menunjukkan bahwa pengenaan BMTP pada paku sangat
berpengaruh dalam menekan laju impor.

Paku termasuk produk hilir yang tidak dapat bersaing


dengan barang impor karena harga barang impor yang jauh
lebih murah. Tingginya biaya produksi menyebabkan harga
jual paku nasional cenederung lebih tinggi dibanding paku
impor. Sebagian besar paku diproduksi untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi domestik sehingga masuknya paku
impor dengan harga yang murah membuat produsen paku
kehilangan pasar utamanya.

Selain paku, Indonesia juga mengenakan BMTP untuk


empat produk besi baja sekaligus di tahun 2011, yakni kawat
bindrant, kawat seng, tali kawat baja (steel wire rope), dan
tali kawat baja lainnya. Pangsa impor untuk produk-produk
tersebut didominasi terutama oleh RRT. Hal ini menegaskan
bahwa Indonesia menjadi salah satu negara sasaran bagi
RRT untuk menyalurkan kelebihan produksi besi bajanya.

Impor kawat bindrant mulai dikenakan BMTP sejak


tanggal 23 Maret 2011 hingga 22 Maret 2014. Di tahun 2011,
impor kawat bindrant sebesar 9,278 ton, turun 36,3%
dibanding tahun sebelumnya. Sampai tahun 2013, impor
kawat bindrant berhasil ditekan hingga mencapai 11,528 ton
atau turun 20,8% dibanding impornya di tahun sebelum
pengenaan BMTP (tahun 2010) yang mencapai 14,560 ton.

34
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Namun demikian, sama halnya dengan paku, impor
kawat bindrant kembali meningkat tajam pasca periode
pengenaan BMTP. Impor kawat bindrant mencapai 43,550
ton di tahun 2014, atau naik 199,1% dari tahun 2010.

Kawat Bindrat, Kawat Seng, dan Tali Kawat Baja


Ribu Ton
50.0
45.0
40.0
35.0
30.0
periode
25.0 pengenaan
20.0 BMTP
15.0
10.0
5.0
-
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Volume Impor Kawat Bindrat Volume Impor Kawat Seng
Volume Impor Tali Kawat Baja

Gambar 4.6 Kinerja Impor Kawat Bindrant, Kawat Seng,


dan Tali Kawat Baja

Sumber: BPS (2015), diolah

Sementara itu, impor kawat seng telah turun signifikan


sejak masih dalam masa penyelidikan hingga awal
pengenaan BMTP di tahun 2011, yakni mencapai 17,688 ton
atau turun 35,4% dibanding tahun 2010 yang impornya
mencapai 27,369 ton. Meskipun demikian, impor kawat
bindrant kembali meningkat di tahun 2012, yang naik 5,2%
dibanding tahun 2011. Impor kawat bindrant kembali
memperlihatkan penurunannya yang signifikan di tahun
2013, yang turun 38,2% dibanding tahun 2012 atau turun
58,0% dari tahun 2010.

35
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Di sisi lain, impor tali kawat baja (termasuk tali kawat
baja lainnya) cenderung turun sejak tahun 2009, sebelum
dimulainya penyelidikan oleh KPPI. Di tahun 2009, impor tali
kawat baja mencapai 27,111 ton, kemudian turun 20,3% di
tahun 2010 hingga mencapai 21,608 ton. Sejak pengenaan
BMTP atas impor tali kawat baja tahun 2011, impornya terus
tertekan hingga hanya mencapai 12,942 ton atau turun
40,1% dari tahun 2010. Penurunan impor ini terus
berlangsung hingga tahun berikutnya, yang mencapai titik
terendahnya selama lima tahun terakhir yakni sebesar 5,923
ton atau turun 54,2% dari tahun 2011. Namun demikian, di
tahun 2013-2014, impor tali kawat baja kembali meningkat
meskipun pengenaan BMTP masih berlangsung.

Ribu Ton
Kawat Bronjong
7.0

6.0 periode
pengenaan
5.0 BMTP ... -2016
4.0

3.0

2.0
Volume Impor Kawat
1.0
Bronjong
-
2009 2010 2011 2012 2013 2014

Gambar 4.7. Kinerja Impor Kawat Bronjong

Sumber: BPS (2015), diolah

Di tahun 2012, Indonesia mengenakan BMTP atas impor


kawat bronjong. Impor kawat bronjong sejak tahun 2010
melonjak pesat dari 2,426 ton menjadi 5,696 ton di tahun
2011 dan 6,390 ton di tahun 2012. Sejak berlakunya

36
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
pengenaan BMTP di akhir 2012, impor kawat bronjong
hingga kini terus memperlihatkan penurunan yang sginifkan.
Impor kawat bronjong di tahun 2013 turun 13,0% dibanding
tahun 2012, begitupun dengan impornya di tahun 2014 yang
juga turun 13,8% dibanding tahun sebelumnya.

Sementara di tahun 2013 dan 2014, BMTP dikenakan


untuk impor BJLAS, casing dan tubing, serta HRC. Impor
BJLAS meningkat sejak tahun 2009 dan peningkatannya
terus berlangsung hingga tahun 2013 dengan tren sebesar
55,5% setiap tahun. Sementara peningkatan impor
tertingginya terjadi di tahun 2010, yang naik signifikan
mencapai 145,2% dari tahun sebelumnya. Sejak
dikenakannya BMTP atas impor BJLAS di tahun 2013, impor
BJLAS memperlihatkan penurunan yang berarti. Selama
satu tahun berlakunya BMTP tersebut, impor BJLAS telah
berhasil ditekan hingga menjadi 225,570 ton atau turun
30,0% dibanding impornya di tahun lalu yang mencapai
321,896 ton.

Demikian halnya dengan kinerja impor casing dan


tubing. Dalam masa awal pengenaan BMTP atas impor
casing dan tubing, impornya turun drastis hingga hanya
mencapai 18,914 ton atau turun 79,7% dibanding tahun 2013
yang mencapai 93,972 ton. Volume impor casing dan tubing
di tahun 2014 tersebut merupakan titik terendahnya selama
lima tahun terakhir.

Di sisi lain, impor HRC masih menunjukkan peningkatan


meskipun telah dikenakan BMTP sejak pertengahan tahun
2014. Selama enam tahun terakhir, impor HRC meningkat
105,3% setiap tahun. Volume impor HRC di tahun 2014
mencapai 605,668 ton, meningkat drastis dari impornya di
tahun 2009 yang hanya sebesar 18,518 ton.

37
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
BJ LAS ,Casing dan Tubing, HRC
Ribu Ton
700.0
Volume Impor BJ LAS Volume Impor Casing dan Tubing HRC
600.0

500.0

400.0
periode
300.0 pengenaan
BMTP ...
200.0 -2017
100.0

-
2009 2010 2011 2012 2013 2014

Gambar 4.8 Kinerja Impor BJLAS, Casing dan Tubing,


serta HRC

Sumber: BPS (2015), diolah

Pengenaan BMTP atas impor I dan H section dari baja


paduan lainnya merupakan tindakan terbaru yang dikenakan
di awal tahun 2015. Lonjakan impor atas produk tersebut
terjadi sejak tahun 2010. Peningkatan impor I dan H section
tersebut secara signifikan terjadi di tahun 2011 yang naik
412,0% dibanding tahun 2010. Volume impornya di tahun
2011 mencapai 104, 083 ton, jauh lebih tinggi dibanding
volume impor di tahun 2010 yang hanya mencapai 20,330
ton. Sejak dimulainya penyelidikan atas lonjakan impor
tersebut oleh KPPI, kinerja impor I dan H section telah
menunjukkan penurunan signifikan menjadi 241,619 ton,
turun 39,0% dibanding tahun sebelumnya yang mencapai
395,815 ton.

Secara keseluruhan, nilai impor produk yang dikenakan


BMTP mencapai USD 762,2 juta atau 1,2 juta ton di tahun

38
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
2014. Nilai ini turun dibanding tahun 2013 yang mencapai
USD 1,1 miliar. Namun jika dilihat dari pertumbuhannya
selama enam tahun terakhir, nilai impor produk yang
dikenakan BMTP tumbuh drastis sebesar 30,4% per tahun
dan volumenya tumbuh 47,2% per tahun.

Secara kumulatif (2009-2014), produk-produk yang


dikenakan BMTP tersebut menyumbang 5,4% terhadap
impor besi baja atau nilainya mencapai USD 3,9 miliar. Nilai
ini didominasi oleh impor BJLAS dan HRC yang masing-
masing mencapai 1,4% terhadap impor besi baja yang
dikenakan BMTP.

Komposisi Impor berdasarkan Produk


2% 2% 5%
0% BJ LAS
1%
Casing dan Tubing

HRC
26%
I dan H section dari Baja Paduan Lainnya
18%
Kawat Bindrat

Kawat Bronjong

20% Kawat Seng

26% Paku

Tali Kawat Baja

Gambar 4.9 Komposisi Impor Besi Baja terkena BMTP

Sumber: BPS (2015), diolah

Hingga Januari 2015, jumlah tindakan safeguard yang


dikenakan atas produk impor besi baja sebanyak 10 kasus,
yang seluruhnya merupakan produk hilir besi baja.
Pengamanan bagi produk hilir besi baja merupakan tindakan

39
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
yang sangat dibutuhkan oleh industri besi baja karena sektor
ini memiliki dampak yang besar, baik bagi industri hulu
sebagai pemasok bahan baku, maupun bagi industri
pengguna sebagai konsumen akhir produk besi baja.

Jumlah perusahaan yang bergerak di sektor hilir


mencapai lebih dari 50 perusahaan. Dengan karakteristik
sektor hilir yang terdiri dari banyak perusahaan ini, mampu
menyerap tenaga kerja yang besar dan mendorong sektor
perekonomian secara umum. Selain itu, pengamanan
perdagangan di sektor hilir sejalan dengan hilirisasi yang
diusung oleh pemerintah dalam mendorong perekonomian.

4.2 Implikasi kebijakan

Kebijakan pengamanan perdagangan, sebagaimana telah


dirumuskan di dalam PP Nomor 34 Tahun 2011 sebagai ketentuan
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang
Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization
(Persetujuan Pembentukan Oorganisasi Perdagangan Dunia),
mempunyai tujuan untuk meningkatkan, memperluas, memantapkan
dan mengamankan pasar dan meningkatkan kemampuan daya saing
terutama dalam perdagangan internasional. Hal ini juga sejalan
dengan prinsip WTO yang salah satunya mengusung perdagangan
yang adil (fair trade), sehingga memberikan kesempatan bagi negara-
negara untuk bisa memberikan pengamanan bagi industri dalam
negerinya dari kerugian yang diakibatkan oleh adanya perdagangan
yang tidak adil (unfair trade) dengan mengenakan tarif impor
tambahan sebagai kompensasi kerugian tersebut.

Kebijakan pengamanan perdagangan dalam bentuk tindakan


antidumping dan safeguard, termasuk dalam kebijakan perdagangan
yang restriktif. Restriksi perdagangan, seperti yang dijelaskan oleh
Kee et al (2009) dapat memberikan dampak bagi perekonomian,
kesejahteraan, dan kegiatan perdagangan itu sendiri.
40
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Salah satu sektor yang banyak menerapkan restriksi tersebut
adalah industri besi baja. Dalam industri besi baja, kebijakan
pengamanan perdagangan produk besi baja dilakukan sebagai salah
satu upaya untuk menjaga agar kinerja perdagangan besi baja secara
umum, maupun kinerja industrinya secara khusus, dapat
berkesinambungan di tengah kondisi industri yang bergejolak.
Berdasarkan hasil penelitian Marks dan Rahardja (2012), tingkat
proteksi perdagangan Indonesia di sektor besi dan baja sebesar
28,6% untuk besi dan baja dasar dan sebesar 42,7% untuk produk
besi dan baja. Angka tersebut merupakan tingkat proteksi efektif atau
effective rate of protection (ERP), yang menggunakan data tarif rata-
rata tertimbang dan metode Balassa. ERP digunakan untuk mengukur
dampak dari tarif impor dan kebijakan lainnya terhadap harga output
dan harga inputnya. Semakin tinggi ERP menunjukkan semakin kuat
kebijakan tersebut menjadi insentif untuk produksi domestik. Untuk
sektor produk besi dan baja, tingkat ERP hasil studi tersebut sebesar
42,7%, relatif tinggi dibanding sektor lainnya15. Artinya, kebijakan yang
dilakukan pemerintah, termasuk tarif bea masuk dan kebijakan
pengamanan perdagangan, memberi dampak positif bagi industri besi
dan baja nasional.

Dari sejumlah tindakan pengamanan perdagangan yang


diterapkan oleh pemerintah di sektor besi baja, yang dinilai memiliki
pengaruh besar bagi industri adalah pengamanan perdagangan di
sektor hilir. Seluruh tindakan safeguard yang dilakukan atas produk
besi baja dikenakan untuk produk akhir yang merupakan output dari
sektor hilir. Sementara itu, hampir separuh tindakan anti dumping
pada produk besi baja juga dikenakan untuk produk akhir. Tindakan
pengamanan yang pengaruhnya positif terutama bagi sektor hilir
adalah safeguard atas impor kawat.

15
Tingkat ERP yang tertinggi adalah Gula sebesar 638,5% , sementara yang terendah adalah
Minyak sawit sebesar -43,0%.

41
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Pengaruh yang paling terasa dari kebijakan tersebut adalah
berhasil menekan laju impor produk besi baja. Sebagaimana
dijelaskan pada sub bab sebelumnya, selama periode pengenaan
BMTP dan BMAD, kinerja impor umumnya memperlihatkan penurunan
yang signifikan. Akibat dari penurunan impor ini, produk akhir besi
baja nasional dapat kembali terserap di pasar.

Namun demikian, produk besi baja nasional pun masih terbatas


jumlahnya, di tengah tingginya kebutuhan nasional akan produk besi
baja, khususnya produk akhir. Mengingat belum dapat terpenuhinya
kebutuhan nasional dari pasokan domestik tersebut, maka impor besi
baja bukan serta merta menjadi kegiatan yang haram dilakukan dan
selalu memberikan dampak buruk bagi industri. Di samping itu,
spesifikasi yang dibutuhkan dalam produk besi baja, baik sebagai
bahan baku dan antara, maupun sebagai produk akhir yang
dibutuhkan oleh industri pengguna, sangat beragam sementara
industri dalam negeri memiliki keterbatasan dalam jenis produk yang
diproduksi.

Di sisi lain, pengamanan perdagangan untuk produk hulu dan


antara, memberikan pengaruh yang negatif, terutama bagi industri hilir
sebagai pengguna outputnya. Kurangnya pasokan domestik untuk
memenuhi kebutuhan nasional disertai dengan adanya pengenaan
BMAD atas impor produk tersebut, menyebabkan industri di sektor hilir
sulit mendapatkan bahan baku. Sebagai akibatnya, harga bahan baku
menjadi mahal. Hal ini memperparah kondisi industri besi baja yang
pada akhirnya berimbas pada tingginya harga jual produk akhir
sehingga menurunkan daya saing.

Sektor hilir perlu mendapat perhatian khusus mengingat perannya


dalam menyuplai kebutuhan industri pengguna, terutama untuk
kebutuhan antara lain konstruksi, pembangunan infrastruktur, otomotif,
dan rumah tangga, serta dalam menyerap tenaga kerja. Jumlah
perusahaan di dalam industri besi baja ini didomonasi oleh produsen

42
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
produk hilir, meskipun banyak diantaranya yang skala perusahaannya
tidak sebesar di sektor hulur. Sebagai dampak langsung yang
dirasakan oleh industri akibat kebijakan pengamanan perdagangan
yang diterapkan adalah berhenti beroperasinya berapa perusahaan di
sektor hilir karena tidak mampu bersaing dengan produk impor.
Produk impor memiliki harga yang lebih murah dengan kualitas yang
lebih bagus, tidak mengherankan jika industri pengguna banyak
memilih untuk menggunakan produk impor. Selain harga dan kualitas,
secara kuantitas pun produk lokal tidak mampu mencukupi kebutuhan
permintaan nasional.

Namun demikian, sektor hulu juga tidak bisa diabaikan. Untuk


mengoptimalkan perdagangan produk besi baja nasional dan dalam
rangka mendukung pengembangan industri besi baja nasional, perlu
mengintensifkan kebijakan terkait pemenuhan kebutuhan bahan baku.
Hal ini tidak serta merta berarti membuka keran impor bahan baku
sebesar-besarnya, melainkan menyeleksi impor untuk produk-produk
bahan baku yang secara kuantitas belum cukup banyak tersedia di
dalam negeri dan spesifikasi produk yang belum bisa diproduksi oleh
industri dalam negeri. Selain itu, perlu tetap mengamankan
perdagangan produk besi baja di sektor hilir dari produk-produk impor
yang mengandung dumping dan secara kuantitatif membanjiri pasar
domestik sehingga semakin menurunkan daya saing produk nasional.

Di samping itu, mengingat kondisi industri besi baja nasional serta


permasalahan yang terjadi, sejumlah kebijakan diperlukan untuk
mendukung pengembangan industri besi baja nasional dari setiap
stakeholder terkait. Kebijakan di bidang industri, energi, investasi, dan
perdagangan secara bersama-sama harus dilakukan sebagaimana
yang sedang dilakukan oleh beberapa kementerian dan instansi di
bawah koordinasi Kementerian Koordinator Perekonomian. Kebijakan
tersebut antara lain standardisasi teknologi yang digunakan oleh
industri besi baja, optimalisasi instrumen pengamanan perdagangan,

43
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
retsrukturisasi tarif MFN bagi produk besi baja, dan seleksi investasi
untuk pabrik baja.

Kebijakan restrukturisasi tarif bea masuk MFN bagi produk besi


baja dilakukan dengan menaikkan tarif bea masuk MFN produk besi
baja yang mencakup 166 pos tarif. Kebijakan ini telah dikeluarkan
pemerintah pada tanggal 13 Mei 2015 dan mulai berlaku sejak tanggal
25 Mei 2015. Tarif impor MFN merupakan tarif yang ditetapkan
berlaku umum dan sama bagi setiap negara, tanpa terkecuali.
Pengecualian hanya berlaku bagi importir yang menggunakan skema
tarif preferensi atas impor produk dari negara-negara yang memiliki
perjanjian kerjasama atau FTA dengan Indonesia atau ASEAN, seperti
ACFTA, IJEPA, dan lainnya.

Kenaikan tarif bea masuk MFN bagi produk besi baja dinilai akan
kurang memberikan dampak atau pengaruh yang signifikan bagi
kegiatan importasi besi baja. Sebagian besar impor besi baja berasal
dari RRT, pangsa impor besi baja asal RRT mencapai 24,2% dari total
impor besi baja Indonesia di tahun 2014. Impor asal RRT yang
dilakukan dengan menggunakan Surat Keterangan Asal (SKA) form E
dalam rangka ACFTA akan mendapat fasilitas bea masuk sesuai
dengan tarif preferensinya yang pada dasarnya lebih rendah
dibanding MFN. Dalam ACFTA, tarif bea masuk untuk produk besi
baja sebagian besarnya nol persen sebagaimana tertuang dalam
Lampiran PMK No.117/PMK.011/2012. Selain RRT, pangsa impor
besi baja terbesar lainnya berasal dari Jepang (20,3%) dan Korea
Selatan (10,9%), yang keduanya juga memiliki FTA dengan Indonesia
yakni IJEPA dan AKFTA.

Namun demikian, kenaikan tarif bea masuk MFN tersebut


diharapkan mampu mengendalikan impor dari negara-negara lain di
luar skema kerjasama yang telah dibentuk. Negara asal impor besi
baja yang juga memiliki pangsa besar namun belum mempunyai FTA

44
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
dengan Indonesia antara lain Rusia (5,2%), Taiwan (4,8%), dan
Ukraina (1,5%).

45
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
BAB V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Kebijakan pengamanan perdagangan telah aktif dilakukan


pemerintah untuk produk besi baja dalam bentuk tindakan
antidumping dan safeguard. Secara kumulatif, sejak tahun 1997
hingga tahun 2015, jumlah tindakan antidumping atas impor produk
besi baja nasional mencapai 12 tindakan, 5 tindakan dikenakan untuk
produk akhir seperti CRC, tin plate dan I & H section; 6 tindakan
dikenakan untuk produk antara seperti HRC dan wire rod; dan 1
tindakan dikenakan untuk produk hulu (besi mangan karbon dan
silikon). Nilai impor produk tersebut secara kumulatif, dari tahun 2009
hingga 2014 mencapai USD 11,6 miliar, atau 16,3% dari total impor
besi baja. Nilai ini didominasi oleh impor HRC yang mencapai USD
5,3 miliar, atau 45,9% dari impor besi baja yang dikenakan BMAD.

Sementara itu, jumlah tindakan safeguard yang dikenakan atas


produk impor besi baja sebanyak 10 kasus, yang seluruhnya
merupakan produk hilir besi baja. Secara kumulatif (2009-2014),
produk-produk yang dikenakan BMTP tersebut menyumbang 5,4%
terhadap impor besi baja atau nilainya mencapai USD 3,9 miliar. Nilai
ini didominasi oleh impor BJLAS dan HRC yang masing-masing
mencapai 1,4% terhadap impor besi baja yang dikenakan BMTP.

Dampak kebijakan pengamanan perdagangan dalam mendorong


industri besi baja nasional dapat dirujuk berdasarkan hasil penelitian
Marks dan Rahardja (2012). Tingkat proteksi perdagangan atau
effective rate of protection (ERP) Indonesia di sektor besi dan baja
sebesar 28,6% untuk besi dan baja dasar dan sebesar 42,7% untuk
produk besi dan baja, relatif tinggi dibanding sektor lainnya. Artinya,
kebijakan yang dilakukan pemerintah, termasuk tarif bea masuk dan
kebijakan pengamanan perdagangan, memberi pengaruh positif untuk
mendorong produksi bagi industri besi dan baja nasional.
46
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Pengaruh yang paling terasa dari kebijakan tersebut adalah
berhasil menekan laju impor produk besi baja, terlihat selama periode
pengenaan BMTP dan BMAD, kinerja impor umumnya mengalami
penurunan yang signifikan. Akibat dari penurunan impor ini, terutama
untuk produk akhir (hilir) besi baja nasional memberikan dampak
positif terhadap penyerapan produk lokal.

Disamping menerapkan tindakan antidumping dan safeguard,


upaya pemerintah dalam mengamankan perdagangan dalam rangka
mendukung pengembangan industri besi baja nasional adalah dengan
menaikkan tarif bea masuk MFN. Kenaikan tarif bea masuk MFN bagi
produk besi baja dinilai akan kurang memberikan dampak atau
pengaruh yang signifikan dalam menahan laju impor besi baja karena
sebagian besar negara asal impor utama memiliki skema preferensi
tarif dengan Indonesia. Namun demikian, kenaikan tarif bea masuk
MFN tersebut diharapkan mampu mengendalikan impor dari negara-
negara lain.

5.2 Rekomendasi

Untuk mengoptimalkan pengembangan industri besi baja nasional


melalui kebijakan pengamanan perdagangan produk besi baja, perlu
menetapkan tindakan antidumping atau safeguard yang lebih
memperhatikan kemampuan produsen dalam negeri dalam memenuhi
kebutuhan permintaan domestik. Artinya, jika produksi domestik belum
mampu mencukupi permintaan dalam negeri, maka tindakan
pengamanan terhadap produk tersebut dapat berpotensi menghambat
industri besi baja.

Selain itu, untuk mengotimalkan pengembangan industri besi baja


perlu dilakukan intensifikasi kebijakan terkait pemenuhan kebutuhan
bahan baku. Pasokan bahan baku bagi sektor hilir dapat dipenuhi
dengan mengoptimalkan utilisasi industri besi baja di sektor hulu dan
sektor antara yang masih rendah.

47
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
DAFTAR PUSTAKA

Dollar, D. dan Kraay, A. 2003. Trade, Growth and Poverty. Economic


Journal, vol. 114(493) (Februari), pp. F22–49.

Edwards, S. 1998. Openness, Productivity and Growth: What Do We


Really Know? Economic Journal, vol. 108(447) (Maret), pp. 383–98.

Frankel, J. dan Romer, D. 1999. Does Trade Cause Growth? American


Economic Review, vol. 89(3) (Juni), pp. 379–99

Kee et al. 2009. Estimating Trade Restrictiveness Indices. The Economic


Journal, 119 (Januari), 172–19

Khrisna, Kala. 2009. Background Paper on The IMF’s Trade


Restrictiveness Index. MPRA Paper No. 21316

Krugman, Paul R. dan Maurice Obstfeld. 2003. International Economics


Theory and Policy 3rd Edition. United States: Pearson Education

Marks, Stephen dan Sjamsu Raharja. 2012. Effective rates of protection


revisited for Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 48:1,
57-84

Markusen et al. 1996. International Trade Theory and Evidence. United


States: McGraw-Hill

Melitz, M. 2003. The Impact Of Trade On Intra-Industry Reallocations And


Aggregate Industry Productivity. Econometrica, vol. 71(6) (November),
pp. 1695–725

Pardianto, Bambang. 2011. Peluang Bijih Besi dalam Pemenuhan


Kebutuhan Komoditas Mineral Strategis Nasional. Buletin Sumber
Daya Geologi Volume 6 Nomor 2 – 2011.

IISIA. 2014. Usulan Industri Baja Nasional Menyikapi Tantangan Kondisi


Global Saat Ini.

48
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Kemenko Perekonomian. 2014. Rapat Koordinasi Pengembangan Industri
Baja Nasional.

Permendag No.08/M-DAG/PER/2/2012 tentang Perubahan Permendag


No.54/M-DAG/PER/12/2010 tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja.

Permendag No.28/M-DAG/PER/6/2014 tentang Ketentuan tentang Impor


Baja Paduan.

Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP Kemendag. 2013.


Analisis Kebijakan Pengamanan Perdagangan Indonesia di Negara
Tujuan Ekspor Tahun 2013. Jakarta: Kementerian Perdagangan

WTO. 2013. Agreement on Implementation of Article VI of the


General Agreement on Tariffs and Trade 1994 (Anti-Dumping
Agreement).

https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/agrm8_e.htm

KADI. 2014

KPPI. 2014

49
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Anda mungkin juga menyukai