Dwi Ayu Rizkia 88170019 - LP Ensefalopati Metabolik
Dwi Ayu Rizkia 88170019 - LP Ensefalopati Metabolik
SIKLUS EPILEPTIKUS
NIM : 88170020
ARS UNIVERSITY
BANDUNG
2021
Laporan Pendahuluan
1. Definisi Penyakit
Status epileptikus adalah kondisi kejang berkepanjangan mewakili keadaan darurat
medis dan neurologis utama. International League Against Epilepsy mendefinisikan
status epileptikus sebagai aktivitas kejang yang berlangsung terus menerus selama 30
menit atau lebih (Nia Kania,2007). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika
seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama
lima menit atau lebih, harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus.
Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang lalu, status
epileptikus didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian
kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang
berlangsung lebih dari 30 menit. Masalah dasarnya diperkirakan akibat gangguan listrik
(disritmia) pada sel saraf di salah satu bagian otak, yang menyebabkan sel ini
mengeluarkan muatan listrik abnormal, berulang, dan tidak terkontrol. Karakteristik
kejang epileptik adalah suatu manifestasi muatan neuron berlebih ini.
2. Anatomi Fisiologi
Sel saraf, seperti juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial membran. Potensial
membran yaitu selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel. Potensial intrasel lebih
negatif dibandingkan dengan ekstrasel. Dalam keadaan istirahat potensial membran
berkisar antara 30-100 mV, selisih potensial membran ini akan tetap sama selama sel
tidak mendapatkan rangsangan. Potensial membran ini terjadi akibat perbedaan letak dan
jumlah ion-ion terutama ion Na+, K + dan Ca+. Bila sel saraf mengalami stimulasi,
misalnya stimulasi listrik akan mengakibatkan menurunnya potensial membran. (Guyton,
Arthur 1987).
Neurotransmitter merupakan zat kimia yang disintesis dalam neuron dan disimpan
dalam gelembung sinaptik pada ujung akson. Zat kimia ini dilepaskan dari ujung akson
terminal dan juga direabsorbsi untuk daur ulang. Neurotransmiter merupakan cara
komunikasi antar neuron. Setiap neuron melepaskan satu transmitter. Zat – zat kimia ini
menyebabkan perubahan permeabilitas sel neuron, sehingga neuron menjadi lebih kurang
dapat menyalurkan impuls. Diketahui atau diduga terdapat sekitar tiga puluh macam
neurotransmitter, diantaranya adalah Norephinephrin, Acetylcholin, Dopamin, Serotonin,
Asam Gama-Aminobutirat (GABA) dan Glisin. (Price,Sylvia 1995)
Tempat –tempat dimana neuron mengadakan kontak dengan neuron lain atau dengan
organ –organ efektor disebut sinaps. Sinaps merupakan satu – satunya tempat dimana
suatu impuls dapat lewat dari suatu neuron ke neuron lainnya atau efektor. Ruang antara
satu neuron dan neuron berikutnya ( atau organ efektor ) dikenal dengan nama celah
sinaptik (synaptic cleft). Neuron yang menghantarkan impuls saraf menuju ke sinaps
disebut neuron prasinaptik.Neuron yang membawa impuls dari sinaps disebut neuron
postsinaptik. (Price,Sylvia 1995).
Timbulnya kontraksi pada otot rangka mulai dengan potensial aksi dalam serabut –
serabut otot. Potensial aksi ini menimbulkan arus listrik yang menyebar ke bagian dalam
serabut, dimana menyebabkan dilepaskannya ion – ion kalsium dari retikulum
sarkoplasma. Selanjutnya ion kalsium menimbulkan peristiwa – peristiwa kimia proses
kontraksi. (Guyton, Arthur 1987).
Dalam fungsi tubuh normal, serabut –serabut otot rangka dirangsang oleh serabut –
serabut saraf besar bermielin. Serabut –serabut saraf ini melekat pada serabut serabut
otot rangka dalam hubungan saraf otot ( neuromuscular junction) yang terletak di
pertengahan otot. Ketika potensial aksi sampai pada neuromuscular junction, terjadi
depolarisasi dari membran saraf , menyebabkan dilepaskan Acethylcholin, kemudian
akan terikat pada motor end plate membrane, menyebabkan terjadinya pelepasan ion
kalsium yang menyebabkan terjadinya ikatan Actin – Myosin yang akhirnya
menyebabkan kontraksi otot. Oleh karena itu potensial aksi menyebar dari tengah serabut
ke arah kedua ujungnya, sehingga kontraksi hampir bersamaan terjadi di seluruh
sarkomer otot. (Guyton, Arthur 1987).
3. Etiologi
Secara umum penyebab kejang dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu:
a. Idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisi
genetic
b. Kriptogenik : dianggap simptomatik tatapi penyebabnya belum diketahui, termasuk
disini sindrom west, sindrom lennox-gastaut, dan epilepsi mioklonik, gambaran klinik
sesuai dengan ensefalopati difus.
c. Imptomatik : disebabkan oleh kelainan/lesi ada susunan saraf pusat misalnya
trauma kepala, infeksi susunan saraf (SSP), kelainan kongenital, lesi desak ruang,
gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan neuro
degenerative.
4. Manifestasi Klinis
a. Kejang Parsial Sederhana
Hanya jari atau tangan yang bergetar; atau mulut yang bergergerak tak terkontrol;
bicara tidak dapat dimengerti; mungkin pening; dapat mengalami perubahan
penglihatan, suara, bau atau pengecapan yang tak lazim atau tak menyenangkan.
b. Kejang Parsial Kompleks
Masih dalam keadaan sedikit bergerak atau gerakan secara otomatis tetapi tidak
bertujuan; dapat mengalami perubahan emosi, ketakutan, marah, kegirangan, atau
peka rangsang yang berlebihan; tidak mengingat periode tersebut ketika sudah
berlalu.
c. Kejang Umum (kejn ang grand Mal)
Mengenai kedua hemisfer otak, kekuatan yang kuat dari seluruh tubuh diikuti dengan
perubahan kedutan dari relaksasi otot dan kontraksi (kontraksi tonik klonik umum)
5. Patofisiologi
Kejang dipicu oleh perangsangan sebagian besar neuron secara berlebihan, spontan,
dan sinkron sehingga mengakibatkan aktivasi fungsi motorik (kejang), sensorik, otonom
atau fungsi kompleks (kognitif, emosional) secara lokal atau umum. Mekanisme
terjadinya kejang ada beberapa teori:
a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K, misalnya pada
hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri dapat terjadi
pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
b. Perubahan permeabilitas membran sel syaraf, misalnya hipokalsemia dan
hipomagnesemia.
c. Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan
neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan. Misalnya
ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan menimbulkan kejang.
(Silbernagl S, Lang F. 2006).
Fase – fase terjadinya serangan kejang :
a. Fase Prodromal
Beberapa jam/hari sebelum serangan kejang. Berupa perubahan alam rasa
(mood), tingkah laku
b. Fase Aura
Merupakan fase awal munculnya serangan. Berupa gangguan perasaan,
pendengaran, penglihatan, halusinasi, reaksi emosi afektif yang tidak menentu.
c. Fase Iktal
Merupakan fase serangan kejang, disertai gangguan muskuloskletal. Tanda lain :
hipertensi, nadi meningkat, cyanosis, tekanan vu meningkat, tonus spinkter ani
meningkat, tubuh rigid-tegang-kaku, dilatasi pupil, stridor, hipersalivasi, lidah
resiko tergigit, kesadaran menurun.
d. Fase Post Iktal
Merupakan fase setelah serangan. Ditandai dengan : confuse lama, lemah, sakit
kepala, nyeri otot, tidur lama, amnesia retrograd, mual, isolasi diri.
6.
3) Circulation
Pada fase iktal terjadi peningkatan nadi dan sianosis, klien biasanya dalam
keadaan tidak sadar.
4) Disability
Klien bisa sadar atau tidak tergantung pada jenis serangan atau karakteristik dari
epilepsi yang diderita. Biasanya pasien merasa bingung, dan tidak teringat
kejadian saat kejang
5) Exposure
Pakaian klien di buka untuk melakukan pemeriksaan thoraks, apakah ada cedera
tambahan akibat kejang
e. Pengkajian sekunder
1) Identitas klien meliputi
Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa,alamat, tanggal masuk rumah
sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis.
2) Keluhan utama
Klien masuk dengan kejang, dan disertai penurunan kesadaran
3) Riwayat penyakit
Klien yang berhubungan dengan faktor resiko bio-psiko-spiritual. Kapan klien
mulai serangan, pada usia berapa. Frekuansi serangan, ada faktor presipitasi
seperti suhu tinggi, kurang tidur, dan emosi yang labil. Apakah pernah
menderita sakit berat yang disertai hilangnya kesadaran, kejang, cedera otak
operasi otak. Apakah klien terbiasa menggunakan obat-obat penenang atau obat
terlarang, atau mengkonsumsi alcohol. Klien mengalami gangguan interaksi
dengan orang lain / keluarga karena malu ,merasa rendah diri, ketidak
berdayaan, tidak mempunyai harapan dan selalu waspada/berhati-hati dalam
hubungan dengan orang lain.
- Riwayat kesehatan
- Riwayat keluarga dengan kejang
- Riwayat kejang demam
- Tumor intrakranial
- Trauma kepala terbuka, stroke
4) Riwayat kejang :
- Bagaimana frekwensi kejang.
- Gambaran kejang seperti apa
- Apakah sebelum kejang ada tanda-tanda awal.
- Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan
- Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
- Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
5) Pemeriksaan fisik
- Kepala dan leher
Sakit kepala, leher terasa kaku
- Thoraks
Pada klien dengan sesak, biasanya menggunakan otot bantu napas
- Ekstermitas
Keletihan, kelemahan umum, keterbatasan dalam beraktivitas, perubahan
tonus otot, gerakan involunter/kontraksi otot
- Eliminasi
Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter. Pada post iktal
terjadi inkontinensia (urine/fekal) akibat otot relaksasi
- Sistem pencernaan
Sensitivitas terhadap makanan, mual/muntah yang berhubungan dengan
aktivitas kejang, kerusakan jaringan lunak
f. Pemeriksaan Diagnostik
1) Lumbal Punksi
Proses inflamasi maupun infeksi dapat menyebabkan kejang melalui mekanisme
perangsangan langsung pada SSP, seperti pada meningitis dan ensefalitis
maupun proses sistemik lain yang berdampak pada SSP. Sampai saat ini
pemeriksaan LP tidak rutin dikerjakan pada SE, direkomendasikan hanya pada
pasien SE yang memiliki manifestasi klinis infeksi SSP.
2) Elektoensefalografi (EEG)
EEG sangat berperan untuk menunjukkan fokus dari suatu kejang di area
tertentu otak. Membedakan kejang umum dan kejang parsial/fokal sangatlah
penting oleh karena berkaitan dengan pemilihan obat antikonvulsan terutama
pada epilepsi. Pemeriksaan EEG telah direkomendasikan untuk dilakukan
secara rutin pada pasien dengan kejang epileptik, sedangkan pada SE,
rekomendasi pemeriksaan EEG tergantung pada kecurigaan etiologinya dan
masih menjadi perdebatan.
3) Pencitraan
American Academy Neurology (AAN) tahun 1996 merekomendasikan
pemeriksaan pencitraan (neuroimaging) yang bersifat darurat apabila dicurigai
terdapat suatu penyakit struktural yang serius pada SSP, khususnya apabila
ditemukan deficit neurologis fokal dan perubahan kesadaran yang menetap.
Pada pedoman tersebut tidak disebutkan indikasi dilakukannya pencitraan pada
anak dengan SE.
4) Pencitraan hanya dilakukan jika ada kecurigaan kelainan anatomis otak dan
dikerjakan jika kondisi telah stabil dan SE telah dapat diatasi. MRI diketahui
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan CT-scan,
namun belum tersedia secara luas di unit gawat darurat. CT-scan dan MRI dapat
mendeteksi perubahan fokal yang terjadi baik yang bersifat sementara maupun
kejang fokal sekunder.
7. Analisa Data
NO DATA ETIOLOGI MASALAH
1. Objektif : Ketidakpatenan jalan
- Pada fase iktal gigi nafas
mengatup
- Peningkatan sekresi mucus
- Sianosis
- Lidah tergigit
1. Objektif : Kejang Ketidakefektifan
- Peningkatan sekresi ↓ bersihan jalan nafas
mukus Kejang motorik
↓
- Pasien mengalami
Spasme otot pernafasan
penurunan kesadaran atau ↓
tidak sadar Penumpukan seket
- Sianosis ↓
- Refleks batuk menurun Ketidakefektifan bersihan
jalan nafas
9.
9. Perencanaan
Perencanaan
No Dx Keperawatan Tujuan
Intervensi Rasional
1 Ketidakefektifan bersihan
jalan nafas
1 Pola napas tidak efektif Mempertahankan a. Anjurkan klien untuk a. Menurunkan resiko aspirasi atau
berhubungan dengan pola pernapasan mengosongkan mulut dari benda / zat masuknya benda asing ke faring
kerusakan neuromuskuler, efektif dengan jalan tertentu / gigi palsu atau alat lainnya b. Meningkatkan aliran (drainase) secret,
peningkatan sekresi mucus napas paten jika fase aura terjadi dan untuk mencegah lidah jatuh sehingga menyumbat
menghindari rahang mengatup jika jalan napas
kejang terjadi tanpa ditandai gejala c. Untuk memfasilitasi usaha bernapas
awal. d. Mencegah tergigitnya lidah dan
b. Letakkan klien pada posisi miring, memfasilitasi saat melakukan penghisapan
permukaan datar, miringkan kepala lender. Jalan napas buatan mungkin
selama serangan kejang diindikasikan setelah meredanya aktivitas
c. Tanggalkan pakaian pada daerah kejang jika pasien tersebut tidak sadar dan
leher, dada, dan abdomen tidak dapat mempertahankan posisi lidah
d. Masukkan spatel lidah / jalan yang aman
napas buatan atau gulungan benda e. Menurunkan resiko aspirasi atau asfiksia
lunak sesuai indikasi f. Dapat menurunkan hipoksia serebral
e. Lakukan penghisapan sesuai sebagai akobat dari sirkulasi yang menurun
indikasi atau oksigen sekunder terhadap spasme
f. Berikan tambahan oksigen / vaskuler selama serangan kejang
ventilasi manual sesuai kebutuhan g. Munculnya apneu yang berkepanjangan
pada fase posiktal pada fase posiktal membutuhkan dukungan
g. Siapkan / bantu melakukan ventilator mekanik
intubasi jika ada indikasi
2 Resiko tinggi injuri b.d Mengurangi resiko a. Kaji karakteristik kejang a. Untuk mengetahui seberapa besar
perubahann kesadaran , injuri pada pasien b. Jauhkan pasien dari benda benda tingkatan kejang yang dialami pasien
kerusakan kognitif,selama tajam / membahayakan bagi pasien sehingga pemberian intervensi berjalan lebih
kejang atau kerusakan c. Masukkan spatel lidah / jalan baik
perlindungan diri. napas buatan atau gulungan benda b. Benda tajam dapat melukai dan
lunak sesuai indikasi mencederai fisik pasien
d. Kolaborasi dalam pemberian obat c. Dengan meletakkan spatel lidah diantara
anti kejang rahang atas dan rahang bawah, maka resiko
pasien menggigit lidahnya tidak terjadi dan
jalan nafas pasien menjadi lebih lancer
d. Obat anti kejang dapat mengurangi
derajat kejang yang dialami pasien, sehingga
resiko untuk cidera pun berkurang
DAFTAR PUSTAKA
Nia Kania, dr., SpA., MKes,Kejang pada Anak, Disampaikan pada acara Siang Klinik
Penanganan Kejang Pada Anak di AMC Hospital Bandung, 12 Februari 2007.
Hanhan UA, Fiallos MR, Orlowski JP. Status epilepticus. Pediatr Clin North Am
2001;48:683-94
Trihono, Patini P., dkk. 2012. Kegawatan pada Bayi dan Anak. Departemen Ilmu Kesehatan
Anak FKUI-RSCM. Dalam https://fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2016/01/Buku-PKB-
61.pdf