Anda di halaman 1dari 5

PAJAK:

Pungutan Bijak atau Memalak?


Oleh: Aris Abu Arsa

Usaha pemerintah Indonesia untuk meningkatkan penerimaan pajak, melalui Kementerian Keuangan terus
berjalan. Pada awal Juli 2019 lalu, Kementerian Keuangan mengusulkan revisi Undang-Undang nomor 13
tahun 1985 tentang Bea Meterai untuk menggenjot penerimaan negara. Menteri Keuangan Sri Mulyani
menjelaskan, salah satu poin yang akan direvisi dari UU Bea Meterai lama adalah tarif bea meterai yang
saat ini Rp 3.000 dan Rp 6.000 menjadi satu tarif yakni Rp 10.000 hingga penegasan pihak terutang. Hal ini
disampaikan Menteri Sri Mulyani di depan DPR pada 3 Juli 2019. (Tirto.id, 5 Juli 2019)

Sehari sebelumnya, Menteri Sri Mulyani juga mengusulkan penerapan tarif cukai plastik sebesar Rp 30.000
per kilogram atau Rp 200 per lembarnya. Saat ini, hanya tiga jenis barang yang dikenai cukai, yaitu hasil
tembakau, minuman beralkohol dan etil alkohol. (Tirto.id, 5 Juli 2019)

Selain itu, pemerintah juga terus melakukan penyisiran wajib pajak (WP) yang belum terdaftar. Pemerintah
menilai, jumlah wajib pajak baik orang pribadi maupun badan usaha, yang sudah terdaftar saat ini masih
jauh dari jumlah potensial. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, jumlah WP orang pribadi saat ini
telah mencapai 42,5 juta. Namun ia melihat angka itu masih jauh dari potensinya. Dengan jumlah pekerja di
Indonesia mencapai sekitar 115 juta, Sri Mulyani mengatakan WP orang pribadi seharusnya minimal 90 juta
orang. (Kontan.co.id, 10 Juli 2019)

Penerimaan APBN dari sektor pajak memang belum memenuhi target. Pada 2018, misalnya, berdasarkan
data Kementerian Keuangan, kantong pajak hanya mampu terisi Rp 1.315,9 triliun atau 92,4 persen dari
target Rp 1.424 triliun. Hal ini membuat Indonesia kembali mengalami shortfall sekaligus tak pernah
mencapai target penerimaan pajak selama 10 tahun berturut-turut. Hingga 30 April 2019 lalu, setoran pajak
yang masuk ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP) hanya mencapai Rp 387 triliun atau 24,5 persen terhadap
APBN. (Tirto.id, 16 Mei 2019)

Di Indonesia, pajak masih menjadi sumber pendapatan utama APBN. Pada tahun 2018, penerimaan pajak,
kepabeanan dan cukai mencapai Rp 1.521,38 triliun atau 78,3 persen dari total pendapatan negara.
Sementara penerimaan negara bukan pajak hanya sekitar Rp 407,06 triliun atau 20,9 persen dari total
pendapatan negara. (Kementerian Keuangan RI, APBN Kita Edisi Januari 2019)

Perpajakan Indonesia

Di dalam Undang-Undang No 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
disebutkan bahwa pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sementara menurut Muda Markus dalam buku Perpajakan Indonesia, pajak adalah sebagian harta
kekayaan rakyat (swasta) yang, berdasarkan undang-undang, wajib diberikan oleh rakyat kepada negara
tanpa mendapat kontra prestasi secara individual dan langsung dari negara, serta bukan merupakan
penalti, yang berfungsi: i) sebagai dana untuk penyelenggaraan negara, dan sisanya jika ada, digunakan
untuk pembangunan, serta ii) sebagai instrumen/alat untuk mengatur kehidupan sosial ekonomi rakyat.

Berkenaan dengan pemberian sebagian harta kekayaan rakyat kepada negara, menimbulkan pertanyaan:
rakyat yang mana yang wajib memberikan, atas dasar apa rakyat memberikan kekayaan, berapa besar
sebagian harta kekayaan yang harus diberikan, kapan rakyat mempunyai kewajiban tersebut, serta
bagaimana tata cara pelaksanaan pemberiannya?

1
Rakyat yang wajib membayar pajak disebut sebagai subjek pajak atau wajib pajak. Sementara dasar atau
alasan yang menyebabkan subjek pajak membayar pajak atau membayarkan sebagian harta kekayaannya
kepada negara disebut objek pajak. Objek pajak bisa berupa suatu peristiwa, kejadian, keadaan, perbuatan,
atau transaksi yang menunjukkan bahwa subjek pajak mempunyai atau mendapatkan suatu harta
kekayaan. (Muda Markus, Perpajakan Indonesia: Suatu Pengantar).

Menurut Muda Markus, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini ditentukan oleh keputusan politik
menyangkut pajak. Yang menentukan pengambilan keputusan politik mengenai pajak adalah rakyat itu
sendiri melalui wakilnya, yaitu parlemen yang di Indonesia adalah DPR bersama negara yang diwakili oleh
lembaga eksekutif (Pasal 23 ayat 2 UUD 1945). Hasil keputusan politik bersama antara wakil rakyat dan
wakil negara tentang pajak yang berupa perjanjian itu harus dituangkan dalam bentuk undang-undang,
yaitu Undang-Undang Pajak. Alasannya supaya pemberian wajib sebagian harta kekayaan rakyat kepada
negara tanpa imbalan langsung tersebut tidak dinamakan perampokan atau perampasan harta kekayaan
rakyat oleh negara, karena pemberian tersebut sudah disetujui oleh rakyat sendiri. Tujuan penuangan
keputusan bersama itu ke dalam bentuk undang-undang adalah supaya semua orang terikat untuk
mematuhinya dan supaya tercipta keadilan dan kepastian hukum. (Muda Markus, Perpajakan Indonesia:
Suatu Pengantar).

Dengan demikian, selama dilandasi undang-undang, berapapun pungutan pajak dan apapun yang menjadi
objek pajak, sah-sah saja. Persoalannya, proses penetapan undang-undang yang dilakukan oleh pemerintah
dan wakil rakyat tersebut, tidak menjamin keadilan itu sendiri. Dalam praktiknya, penetapan undang-
undang sarat dengan kepentingan politik dan ekonomi, dan seringkali abai terhadap kepentingan rakyat.

Pungutan dalam Islam

Di dalam Islam, ada beberapa pungutan yang wajib diserahkan oleh rakyat kepada negara, sebagai sumber
pemasukan baitul mal. Pungutan tersebut ada yang wajib diserahkan, baik dalam kondisi terdapat harta di
dalam baitul mal maupun tidak terdapat harta, sesuai dengan ketentuan dari masing-masing jenis
pungutan tersebut. Diantara pungutan ini adalah zakat, jizyah, kharaj, rikaz, khumus, dan usyur. Ada juga
pungutan yang bisa diwajibkan, dalam kondisi harta baitul mal kosong atau tidak mencukupi untuk
memenuhi pembelanjaan yang wajib dikeluarkan oleh baitu mal, baik dalam kondisi ada harta ataupun
tidak. Termasuk jenis inilah apa yang disebut sebagai dharibah atau pajak.

Pungutan-pungutan wajib ini merupakan pungutan yang kewajibannya ditetapkan berdasarkan syariat,
bukan hanya berdasarkan penetapan pemerintah atau keputusan pengadilan, ataupun kesepakatan antara
wakil pemerintah dan wakil rakyat. Hal ini karena Islam telah melarang pengambilan harta dari pemiliknya
dengan cara yang tidak disyariatkan.

Diriwayatkan dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:

َ ْ ‫امة م ْن َسبْع أَ َرض‬


‫ي‬
َ َ ًْ َ َ َ ْ َ
َ َ‫ فَإهَّ ُى ُي َط َّوقُ ُى يَ ْو َم اهقي‬،‫األ ْرض ُظوْ ًما‬ ‫من أخذ ِشْبا ِمن‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
Barangsiapa mengambil sejengkal tanah secara dhalim, maka sesungguhnya akan dikalungkan padanya
tujuh lapis bumi pada hari kiamat. (HR. Bukhari dan Muslim)

Diriwayatkan dari Uqbah bin ‘Amir, bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda:

ْ ُ ْ ُ ُ َْ َ
َ ‫اْلَوَّ َة‬
‫ب َممس‬ ‫اح‬
ِ ‫ص‬ ‫ال يدخن‬

Tidak akan masuk surga orang-orang yang memungut al-maks[u]. (HR. Ahmad dan ad-Darimi)

2
Al-maks[u] adalah harta yang dipungut dari barang dagangan yang melewati perbatasan negara. Di dalam
Islam, ia merupakan pungutan yang tidak disyariatkan. Imam asy-Syaukani dalam Nail al-Authar
menyatakan: “Kata shahib al-maks[i] adalah para pemungut pajak dari manusia tanpa haq”.

Sementara Imam al-Baghawi dalam kitab Syarh as-Sunnah menyatakan: “Yang dimaksud shahib al-maks[i]
adalah mereka yang memungut dari para pedagang yang berlalu di wilayah mereka dengan memberi nama
al-usyr. Adapun para petugas yang bertugas mengumpulkan shadaqah atau mengambil jizyah dari ahli
dzimmah atau yang mempunyai perjanjian (dengan negara Islam), hal ini memang ada dalam syariat Islam
selama mereka tidak melampaui batas dalam hal itu. Apabila mereka melampaui batas, maka mereka juga
berdosa dan berbuat dhalim.”

Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam al-Amwal fi Daulah al-Khilafah menyatakan: “Sebenarnya al-maks[u]
yang dicela dan diancam keras bagi yang memungutnya, adalah harta yang dipungut dari kaum Muslim
tanpa alasan yang haq, seperti mengambil ‘usyur dari mereka, atau mengambil lebih dari ¼ ‘usyur dari
perdagangan mereka yang melewati perbatasan negara. Hal ini karena seorang muslim tidak diwajibkan
membayar ‘usyur, dan tidak wajib atas barang dagangannya, kecuali membayar zakatnya, berupa ¼ ‘usyur.
Ia bukanlah dharibah (pajak yang disyariatkan), bukan pula ‘usyur.”

Dengan demikian, hadits diatas adalah dalil diharamkannya secara keras pungutan pajak yang tidak
disyariatkan. Adapun pajak yang disyariatkan, yang disebut dharibah, maka dibolehkan dalam kondisi
tertentu.

Ketentuan Pajak dalam Islam

Pajak dalam khazanah fiqih Islam diistilahkan dengan adh-dharibah. Menurut Imam Ibnu Taimiyah,
penggunaan istilah ini tidak dijelaskan batasannya oleh bahasa, selain mengikuti konvensi manusia. Secara
‘urf, disebut dharibah karena lima yudhrabu ‘ala an-nas (apa yang dibebankan kepada manusia). (Ibnu
Taimiyah, Majmu’ Fatawa).

Istilah ini merupakan istilah asing, bukan dari khazanah Islam, yang kemudian diadopsi oleh para fuqaha’.
Akan tetapi faktanya ada dalam khazanah fiqih Islam. Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, dharibah
adalah harta yang diambil dari rakyat untuk mengurus negara. Di dalam kehidupan kaum muslim, juga ada
harta yang diambil negara khilafah untuk mengurus urusan mereka. Karena itu, istilah dharibah ini
kemudian digunakan, dan penggunaan seperti ini diperbolehkan dalam Islam.

Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam al-Amwal fi Daulah al-Khilafah menyebutkan bahwa definisi dharibah
adalah harta yang diwajibkan Allah swt kepada kaum muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan
pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, pada kondisi di baitul mal kaum muslim tidak
ada uang/harta.

Tidak setiap warga negara Khilafah bisa diwajibkan dharibah kepadanya. Dharibah hanya dibebankan
kepada kaum muslim, sementara non muslim tidak diwajibkan. Hal ini dikarenakan, dharibah digunakan
untuk pembiayaan berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang menjadi kewajiban bagi
kaum muslim. Untuk non muslim, syariat tidak pernah mewajibkan kepada mereka selain jizyah, sehingga
tidak boleh mengambil harta lain dari mereka selain jizyah. (Taqiyyuddin an-Nabhani, Muqaddimatu ad-
Dustur).

Kaum muslim yang dibebankan dharibah adalah yang mampu dan mempunyai kelebihan harta. Nabi saw
bersabda:

َ ْ َ َ َ َ َ َ َّ ُ ْ َ
ِِ َ ‫الصدق ِة َما كن َ ْن ظْ ِر‬ ‫خْي‬

3
Sebaik-baik sedekah adalah harta yang diberikan dari orang yang kaya. (HR. Ibnu Khuzaimah)

Ghaniy disini maksudnya adalah harta yang tidak dibutuhkan oleh seseorang untuk mencukupi
kebutuhannya. Banyak dalil lain yang menunjukkan bahwa harta yang diwajibkan kepada kaum muslim
untuk dibayarkan, baik zakat, nafkah keluarga maupun yang lain, adalah kelebihan harta yang digunakan
untuk memenuhi kebutuhannya secara ma’ruf.

Hal ini juga berlaku untuk dharibah. Dengan kata lain, harta tersebut diambil dari kelebihan kebutuhannya
untuk pangan, sandang, papan, istri, pembantu dan kebutuhan lain yang lazim. Karena inilah yang masuk
dalam kategori ‘an dhahr*in+ ghaniyy*in+. (Taqiyyuddin an-Nabhani, Muqaddimatu ad-Dustur).

Allah swt berfirman:

ْ ْ ُ َ ُ َ َ َ ُ
‫َوي َ ْسئَووهك َماذا يُو ِفقون ق ِن اه َعف َو‬

Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: Yang lebih dari keperluan. (QS.
Al-Baqarah [2]: 219)

Syaikh Abdul Qadim Zallum menyatakan: “Dengan kata lain, pengeluaran tersebut tidak memerlukan usaha
yang sungguh-sungguh, melainkan kelebihan dari kebutuhan. Dharibah diambil dari kelebihan tersebut.
Jadi bukan berasal dari harta yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan”. (Abdul Qadim Zallum, al-
Amwal fi Daulah al-Khilafah).

Pembebanan kewajiban dharibah ini bisa dilakukan jika kondisi baitul mal kaum muslim tidak ada harta.
Jika di dalam baitul mal terdapat harta dari pemasukan-pemasukan yang disyariatkan di dalam Islam, maka
segala pembiayaan pengeluaran yang wajib ditunaikan oleh baitul mal diambil dari harta tersebut, dan
tidak diperbolehkan menarik dharibah. Hanya saja, dalam kondisi tertentu, beban yang dipikul negara bisa
sangatlah besar, sehingga pendapatan baitul mal tidak cukup untuk menutupi pembiayaan wajib baitul mal
tersebut. Pada kondisi ini, maka kewajiban pembiayaan berbagai kebutuhan dan untuk pos-pos
pengeluaran tersebut beralih kepada seluruh kaum muslim. Selain itu, jika berbagai kebutuhan dan pos-pos
pengeluaran itu tidak dibiayai, maka akan timbul kemudharatan terhadap kaum muslim. Padahal Allah swt
telah mewajibkan negara dan kaum muslim untuk menghilangkan kemudharatan yang menimpa kaum
muslim.

Rasulullah saw bersabda:

َ ‫َض‬ َ َ َ َ َ
َ ‫ال‬
‫ار‬ ِ ‫ال َضر َو‬
Tidak boleh ada bahaya (dharar) dan (saling) membahayakan. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam kondisi semacam ini, Allah swt memberikan hak kepada negara untuk memungut harta dari kaum
muslim dalam rangka menutupi berbagai kebutuhan dan kemashlahatan tersebut, dengan cara menarik
dharibah dari mereka yang mampu. (Taqiyyuddin an-Nabhani, Muqaddimatu ad-Dustur)

Dharibah hanya boleh dipungut sampai batas kekurangan yang dibutuhkan, tidak boleh melebihinya. Jika
melebihi kebutuhan, maka termasuk pungutan yang tidak disyariatkan, dan termasuk kedhaliman. Ia
dihukumi sebagaimana hukum al-maks[u].

Mengenai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang pembiayaannya bisa dengan mewajibkan
dharibah saat baitul mal kosong, telah dijelaskan oleh Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab al-Amwal fi
Daulah al-Khilafah. Pos-pos pengeluaran itu adalah: 1) Pembiayaan jihad dan segala hal yang harus

4
dipenuhi yang terkait dengan jihad, 2) Pembiayaan industri militer dan industri serta pabrik-pabrik
penunjangnya, yang memungkinkan negara memiliki industri militer, 3) Pembiayaan para fuqara’, orang-
orang miskin dan ibnu sabil, 4) Pembiayaan untuk gaji tentara, para pegawai, hakim, guru, dan lain-lain
yang melaksanakan pekerjaan untuk kemashlahatan kaum muslim, 5) Pembiayaan yang harus dikeluarkan
untuk kemashlahatan dan kemanfaatan umat, yang keberadaannya sangat dibutuhkan, dan jika tidak
dibiayai maka bahaya akan menimpa umat, dan 6) Pembiayaan untuk keadaan darurat (bencana).

Penutup

Pungutan harta yang dilakukan negara atas rakyatnya, dilandasi oleh sistem politik dan ekonomi yang
diadopsi oleh negara yang bersangkutan. Dalam sistem politik demokrasi, pungutan tersebut cukup
dilegitimasi dengan undang-undang yang ditetapkan oleh negara dan wakil rakyat, sehingga menjadi
pungutan yang legal, bukan pungutan liar. Dalam sistem ekonomi kapitalis, pajak merupakan sumber
pendapatan utama negara. Selain itu, ia juga berfungsi sebagai salah satu instrumen kebijakan fiskal.

Sementara dalam sistem politik Islam, setiap pungutan yang diambil negara dari rakyatnya, harus memiliki
pijakan syariah. Jika ia bukan merupakan pungutan yang disyariatkan, maka ia termasuk kedhaliman dan
dianggap mengambil harta secara batil. Dharibah atau pajak dalam Islam, bukanlah merupakan sumber
pendapatan utama negara. Ia dipungut dalam kondisi kosongnya baitul mal kaum muslim, setelah
dioptimalkannya sumber pendapatan yang lain.

Sistem politik dan ekonomi Islam merupakan sistem yang berlandaskan aqidah Islam. Ia berisi aturan-
aturan syariat dari Allah swt untuk menyelesaikan persoalan politik dan ekonomi. Islam sendiri adalah
agama yang sempurna, yang mengatur segala aspek kehidupan. Pengaturan segala aspek kehidupan
dengan Islam, insyaallah akan mengantarkan pada keberkahan dunia akhirat. Sebaliknya, berpaling dari
sistem Islam yang merupakan aturan dari al-Khaliq hanya akan mengantarkan pada kesengsaraan dunia
akhirat.

Allah swt berfirman:


َ َ َ ْ َ ْ َ ُ ُ ُ ْ َ ً ْ َ ً َ َ ُ َ َّ َ ْ ْ َ َ َْ َ ْ ََ
‫ام ِة أ َْ َمى‬ َ
‫ومن أعرض َن ِذل ِري ف ِإن َل م ِعيشة ضوًك وَنُشه يوم اه ِقي‬

Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang
sempit dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta. (QS. Thaahaa [20]: 124)

Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Anda mungkin juga menyukai