Anda di halaman 1dari 10

KETENTUAN SHALAT JUMAT DAN MEMAKMURKAN MASJID

DI SAAT WABAH PENYAKIT MENULAR

Oleh: Yuana Ryan Tresna


Pengasuh Ma’had Darul Hadits Khadimus Sunnah Bandung

PENDAHULUAN: MEMANTAPKAN KEIMANAN

Pada level keimanan, kita wajib mengimani bahwa Allah sajalah yang kuasa
menghidupkan dan mematikan manusia. Semuanya ada dalam genggaman Allah, baik
sakit maupun kesembuhan, baik kebaikan maupun keburukan. Orang beriman juga
harus meyakini bahwa semua hal termasuk musibah datangnya dari Allah. Oleh karena
itu, Allah-lah tempat meminta segala sesuatu (lihat QS. Al-Ikhlas: 2). Saat di timpa
musibah, setiap muslim wajib bersabar. Semua urusan ia serahkan kepada Allah. Inilah
esensi tawakal, dan tawakal adalah domain keimanan yang tak boleh tergoyahkan
sedikitpun.

Allah SWT berfirman:

‫ٱَّللُ بِ ُك ِّل َش ْى ٍء َعلِيم‬ ‫ٱَّللِ ۗ َوَمن يُ ْؤِم ۢن بِ ا‬


‫ٱَّللِ يَ ْه ِد قَ ْلبَوُۥ ۚ َو ا‬ ‫صيبَ ٍة إِاَّل ِبِِ ْذ ِن ا‬
ِ ‫مآ أَصاب ِمن ُّم‬
َ َ َ
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan
barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada
hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Taghabun: 11)

‫ٱَّللِ فَ ْليَ تَ َواك ِل ٱلْ ُم ْؤِمنُو َن‬


‫ٱَّللُ لَنَا ُى َو َم ْولَٰى نَا ۚ َو َعلَى ا‬
‫ب ا‬ ِ ِ ‫ا‬
َ َ‫قُل لن يُصيبَ نَآ إاَّل َما َكت‬
“Katakanlah: Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan
Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang
beriman harus bertawakal’.” (QS. Al-Taubah: 51)

Pada saat ditimpa musibah, kaum muslim harus bertaubat, meningkatkan ibadah,
banyak berdoa, dan melaksanakan berbagai amalan nafilah lainnya sebagai bentuk
taqarrub kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:

۟ ِ ۟ ِ ۟ ۟
‫َنف ُقوا َخْي ًرا ِّّلَن ُف ِس ُك ْم‬
‫ٱْسَعُوا َوأَطيعُوا َوأ‬ ْ َ َ ‫فَٱتا ُق‬
ْ ‫ٱستَطَ ْعتُ ْم َو‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫ٱَّلل‬
‫ا‬ ‫ا‬
‫و‬
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta
taatlah; dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu.” (QS. al-Taghabun: 16).

Namun demikian, pada tataran syariat, orang beriman harus memaksimalkan ikhtiar
dalam menghadapi wabah penyakit, apalagi dalam kondisi sudah berubah dari epidemi
menjadi pandemi. Orang beriman adalah mereka yang kokoh imannya dan total dalam
ketaatannya, tak tergoyahkan keyakinannya dan maksimal dalam menghindari
keburukan.

1
SIKAP RASULULLAH DAN PARA SHAHABAT SAAT MENGHADAPI WABAH

Agar wabah penyakit tidak menular makin luas, Nabi Muhammad SAW pernah
menginstruksikan kebijakan isolasi. Caranya adalah dengan menjaga agar masyarakat
yang berada di daerah wabah tidak keluar ke daerah lain, sedangkan masyarakat yang
berada di daerah lain agar tidak masuk ke dalamnya. Hal tersebut bisa jumpai dalam
banyak riwayat.

Dari Nabi SAW sesungguhnya beliau bersabda:

‫ض َوأَنْتُ ْم ِِبَا فَ ََل ََتُْر ُجوا ِمْن َها‬


ٍ ‫وىا َوإِذَا َوقَ َع ِِب َْر‬ ِ ‫إِذَا َِْسعتُم ِِبلطااع‬
ٍ ‫ون ِِب َْر‬
َ ُ‫ض فَ ََل تَ ْد ُخل‬ ُ ْْ
“Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya.
Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu."
(HR. al-Bukhari)

ٍ ‫اام فَأَخب ره عب ُد الار ْْح ِن بن عو‬


‫ف‬ َْ ُ ْ َ َْ ُ َ َ ْ ِ ‫غ بَلَغَوُ أَ ان الْ َوَِبءَ قَ ْد َوقَ َع ِِبلش‬ َ ‫اام فَلَ اما َجاءَ َس ْر‬ ِ ‫أَ ان عُمر َخرج إِ ََل الش‬
َ َ ََ
‫ض َوأَنْتُ ْم ِِبَا‬
ٍ ‫ض فَ ََل تَ ْق َد ُموا َعلَْي ِو َوإِ َذا َوقَ َع ِِب َْر‬
ٍ ‫اَّللُ َعلَْي ِو َو َسلا َم قَ َال إِ َذا َِْس ْعتُ ْم بِِو ِِب َْر‬
‫صلاى ا‬ ِ‫ول ا‬َ ‫أَ ان َر ُس‬
َ ‫اَّلل‬
ِ ِ
ُ‫فَ ََل ََتُْر ُجوا فَر ًارا مْنو‬
Sesungguhnya Umar sedang dalam perjalanan menuju Syam, saat sampai di wilayah
bernama Sargh. Saat itu Umar mendapat kabar adanya wabah di wilayah Syam.
Abdurrahman bin Auf kemudian mengatakan pada Umar jika Nabi Muhammad SAW
pernah berkata, "Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian
memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan
tempat itu." (HR. Muslim).

Rasulullah SAW bersabda:

‫َوإِ َذا َوقَ َع‬ ‫اَّللُ َعاز َو َج ال بِِو ََن ًسا ِم ْن ِعبَ ِادهِ فَِإ َذا َِْس ْعتُ ْم بِِو فَ ََل تَ ْد ُخلُوا َعلَْي ِو‬
‫الر ْج ِز ابْتَ لَى ا‬ِّ ُ‫الطااعُو ُن آيَة‬
ِ ِ ِ ٍ ‫ِِب َْر‬
ُ‫ض َوأَنْتُ ْم ِبَا فَ ََل تَفُّروا مْنو‬
“Wabah Tha’un adalah suatu ayat, tanda kekuasaan Allah Azza wa Jalla yang sangat
menyakitkan, yang ditimpakan kepada orang-orang dari hambaNya. Jika kalian
mendengar berita dengan adanya wabah Tha’un, maka jangan sekali-kali memasuki
daerahnya, dan jika Tha’un telah terjadi pada suatu daerah dan kalian disana, maka
janganlah kalian keluar darinya.” (HR. Muslim)

Beliau SAW juga bersabda:

ِ ‫ََّل تُوِردوا الْمم ِرض علَى الْم‬


‫ص ِّح‬ ُ َ َ ُْ ُ
2
"Janganlah kalian mencampurkan (unta) antara yang sakit dengan yang sehat" (HR. al-
Bukhari).

ٍ ‫يد َعن أَبِ ِيو قَ َال َكا َن ِِف وفْ ِد ثَِق‬


‫يف َر ُجل ََْم ُذوم فَأ َْر َس َل إِلَْي ِو‬ ِ ٍ
َ ْ ‫َع ْن يَ ْعلَى بْ ِن َعطَاء َع ْن َع ْم ِرو بْ ِن ال اش ِر‬
‫اك فَ ْارِج ْع‬
َ َ‫اَّللُ َعلَْي ِو َو َسلا َم إِ اَن قَ ْد َِبيَ ْعن‬
‫صلاى ا‬ ُّ ِ‫الن‬
َ ‫اِب‬
Dari Ya'la bin 'Atha dari 'Amru bin al-Syarid dari bapaknya dia berkata; "Dalam delegasi
Tsaqif (yang akan membaiat) terdapat seorang yang berpenyakit kusta. Maka
Rasulullah SAW mengirim seorang utusan supaya mengatakan kepadanya: ‘Kami telah
menerima baiat Anda. Karena itu Anda dipersilakan pulang’" (HR. Muslim).

Sebagaimana diketahui, baiat adalah sesuatu yang wajib dilakukan kepada Rasulullah
SAW dan lumrahnya dilakukan dengan cara berjabat tangan secara langsung. Akan
tetapi dalam kasus penderita kusta ternyata beliau memberikan solusi berbaiat dari
jarak jauh. Hal itu dilakukan agar kehadiran orang itu tidak mendatangkan potensi
bahaya bagi yang lainnya.

Begitulah Rasulullah SAW dan para sahabat dalam menghadapi wabah penyakit.
Mereka melakukan ikhtiar maksimal dalam menghindarinya, termasuk kebijakan tidak
memasuki daerah yang ada wabah dan tidak keluar jika daerahnya terkena wabah.

MENJAWAB SYUBHAT: TIDAK ADA PENULARAN

Adapun hadits Rasulullah SAW tentang tidak ada penularan sebagai berikut:

‫ص َف َر‬ ِ
َ ‫ىامةَ وَّل‬
َ ‫ وَّل‬،‫َّل َع ْد َوى وَّل طيَ َرَة‬
“Tidak ada penyakit menular, thiyarah dan burung hantu dan shafar (yang dianggap
membawa kesialan).” (HR. al-Bukhari)

Para ulama berbeda dalam memahami hadits ini. Dari kajian atas hadits-hadits Nabi
yang lain, dan fakta ilmu pengetahuan, maka kesimpulan yang tepat adalah apa yang
disebutkan dalam hadits tersebut adalah terkait sebab sakit, bahwa sakit dan sehat dari
Allah SWT. Jadi maksud penegasian tersebut bukanlah penolakan secara hakiki,
melainkan terkait keyakinan tentang sabab yang mendatangkan sakit. Pada level
keimanan, seorang wajib mengimani bahwa sakit datangnya dari Allah. Adapun
penularan adalah kondisi (halah) yang kadang terjadi dan kadang tidak. Ini adalah
tentang bahasan "‫( "سبب‬sebab) dan "‫( "حالة‬kondisi). Sebab sakit adalah dari Allah, bukan
karena penyakit itu sendiri. Ini adalah wilayah keimanan. Adapun hal-hal yang
mengantarkan pada sakit bisa terjadi karena penularan dari orang yang sudah
terserang penyakit. Demikianlah duduk masalahnya.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Badz al-Ma’un fi Fadh al-Tha’un
mengemukakan salah satu argumentasi kelompok jumhur ulama kaum muslim, bahwa
penyakit bisa menular tapi bukan sifat sendirinya. Menular dengan qadar yang Allah

3
tetapkan sebagai khasiat pada makhluq-Nya dan menjadi kebiasaan pada umumnya.
Contohnya seperti sifat membakar adalah khasiat yang Allah berikan kepada api, dan
terkadang bisa berlawanan dengan kebiasaannya. (Ibnu Hajar, Badz al-Ma’un fi Fadhl
al-Tha’un)

Artinya, hadits tersebut bukan menegasikan penularan. Karena memang faktanya ada,
dan Rasulullah menetapkan adanya penularan dalam hadits lain, sampai beliau
bersabda:

ِ
‫اّلسد‬ ِ
‫اجملذوم كما تَ ِف ُّر ِم َن‬ ‫فِار ِم َن‬
“Larilah dari penyakit kusta sebagaimana engkau lari dari singa” (HR. al-Bukhari).

Sebagian ulama juga memahami bahwa penafian tersebut bermakna larangan, yakni
larangan menularkan penyakit kepada yang lain. Sebagaimana hadits Nabi,

‫َّل ضرر وضرار‬


“Tidak ada yang memudharatkan dan dimudharatkan.”

Lafazh (‫ )ال‬disini adalah la nafyi lil jinsi dan bentuknya bersifat informatif. Tetapi
maknanya adalah larangan dari dharar (melakukan sesuatu yang membahayakan)
dan dari dhirar (membahayakan orang lain). Hal ini sangat mirip sekali dengan hadis:
‫ال عدوى وال طيرة‬, dan yang semisal sangatlah banyak.

Meski demikian, ada juga ulama yang memahami penyakit tidak menular dengan
sendirinya. Semua permulaan penyakit adalah dari Allah, berdasarkan ketetapan Allah.
Namun pemaknaan ini tidak sesuai dengan realitas dan adanya hadits-hadits lain yang
menetapkan adanya penularan.

KETENTUAN DALAM SHALAT JUMAT

Lantas bagaimana dengan shalat Jumat saat terjadi wabah penyakit menular? Ini
menjadi pertanyaan yang banyak ditanyakan, terutama saat terjadi wabah Corona
(Covid-19) seperti saat ini. Sebenarnya para ulama fiqih telah menetapkan larangan
bagi mereka yang terkena penyakit menular untuk beribadah di masjid sebab masjid
merupakan salah satu pusat keramaian.

Beberapa kaidah dasar dalam perkara ini adalah:

‫ضَرَر وَّل ِضر َار‬


َ ‫َّل‬
“Tidak boleh membahayakan diri dan membahayakan orang lain”

‫صالِ ِح‬ ِ ْ‫اس ِد أ َْوََل ِم ْن َجل‬


َ ‫ب الْ َم‬
ِ ‫درء الْم َف‬
َ ُ َْ
4
“Menghilangkan kerusakan didahulukan dari pada meraih kemaslahatan”.

‫اَلضَارُر يَُز ُال‬


“Bahaya harus dihilangkan”

Kaidah-kaidah itu semua dapat diterapkan dalam kondisi sekarang, bahwa bahaya yang
diduga akan ditimbulkan dari penyebaran wabah penyakit menular seperti virus
Corona harus dihilangkan dan dicegah.

Jika kita mengambil ibarat para ulama, maka kita akan jumpai beberapa ungkapan yang
relevan. Syaikh al-Islam Zakariya al-Anshari dalam Asna al-Mathalib dan Syaikh al-
Khatib al-Syirbini dalam Mughni al-Muhtaj tentang hal ini menulis sebagai berikut:

ْ ِ‫ص ََلة‬
،‫اْلُ ُم َع ِة‬ ِ ِِ ِِ ِ ِ ِ
َ ‫ص ُيُْنَ َعان م ْن الْ َم ْسجد َوم ْن‬ َ ‫َوقَ ْد نَ َق َل الْ َقاضي عيَاض َعن الْعُلَ َماء أَ ان الْ َم ْج ُذ‬
َ ‫وم َو ْاّلَبْ َر‬
ِ ‫اختِ ََل ِط ِه َما ِِبلن‬
‫ااس‬ ِ
ْ ‫َوم ْن‬
“Qadhi Iyadh menukil dari para ulama bahwasanya orang yang terkena penyakit
judzam (kusta) dan barash (sopak) dilarang mendatangi masjid, shalat Jumat dan dari
bercampur baur dengan masyarakat.” (al-Khatib al-Syirbini, Mughni al-Muhtaj, juz I,
hlm. 360).

Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan alasan larangan tersebut sebagai berikut:

‫ َو ِحينَئِ ٍذ فَيَ ُكو ُن الْ َمْن ُع َو ِاجبًا فِ ِيو‬،ِ‫ضَرِره‬ ِ


َ َ‫ َخ ْشيَة‬،‫ب الْ َمْن ِع ِِف ََْن ِو الْ َم ْج ُذوم‬
َ َ‫َسب‬
“Sebab pelarangan bagi penderita penyakit semisal kusta adalah khawatir bahaya
darinya. Karena itu, maka pelarangan ini menjadi hal wajib dalam konteks kusta
tersebut”. (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, juz I, hlm. 212).

Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdab menuturkan:

(Ketiga) Tidak wajib shalat Jumat bagi orang sakit, meskipun shalat Jumatnya orang
kampung tidak sah karena jumlah jama’ahnya kurang karena ketidakhadirannya.
Berdasarkan hadis riwayat Thariq dan lainnya, al-Bandanijy berkata: “andaikan orang
yang sakit memaksakan untuk shalat Jumat maka lebih utama”. Imam-imam madzhab
Syafi’i berpendapat: “bahwa sakit yang menggugurkan kewajiban shalat Jumat adalah
sakitnya orang yang mendapatkan masyaqqah yang berat bila dia hadir pada shalat
Jumat”. Imam al-Mutawalli berkata: “Orang yang terkena diare berat juga tidak wajib
shalat Jumat, bahkan jika dia tidak mampu menahan diarenya maka haramnya baginya
shalat berjama’ah di masjid, karena akan menyebabkan masjid menjadi najis”. Imam al-
Haramain berkata: “Sakit yang menggugurkan kewajiban shalat Jumat itu lebih ringan
keadaanya dari pada sakit yang menggugurkan kewajiban berdiri saat shalat fardhu.
Sakit tersebut seperti uzur jalanan becek atau hujan atau semisalnya”. (al-Nawawi, al-
Majmu’, juz 4, hlm. 352)

5
Dalam al-Muqaddimah al-Hadramiyyah disebutkan:

Di antara udzur shalat Jumat dan shalat berjama’ah adalah hujan yang dapat
membasahi pakaiannya dan tidak diketemukan pelindung hujan, sakit yang teramat
sangat, merawat orang sakit yang tidak terdapat yang mengurusinya, mengawasi
kerabat (istri, mertua, budak, teman, ustadz, orang yang memerdekannya) yang hendak
meninggal atau berputus asa, khawatir akan keselamatan jiwa atau hartanya, menyertai
kreditur dan berharap pengertiannya karena kemiskinannya, menahan hadats
sementara waktu masih lapang, ketiadaan pakaian yang layak, kantuk yang teramat
sangat, angin kencang, kelaparan, kehausan, kedinginan, jalanan becek, cuaca panas,
bepergian ke sahabat dekat, memakan makanan busuk setengah matang yang tidak bisa
dihilangkan baunya, runtuhnya atap-atap pasar, dan gempa. (al-Hadrami al-Sa’di, al-
Muqaddimah al-Hadramiyyah, hlm. 91)

Oleh karena itu, Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 14 Tahun 2020 tentang
Penyelenggaran Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19 sudah tepat. Beberapa
ketentuan berdasarkan penjelasan para para ahli fikih di atas adalah sebagai berikut:
1. Orang yang telah terpapar virus Corona, wajib menjaga dan mengisolasi diri agar
tidak terjadi penularan kepada orang lain. Baginya shalat Jumat dapat diganti
dengan shalat zhuhur, karena shalat Jumat merupakan ibadah wajib yang
melibatkan banyak orang sehingga berpeluang terjadinya penularan virus secara
massal. Baginya haram melakukan aktifitas ibadah sunnah yang membuka peluang
terjadinya penularan, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat Tarawih dan
Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan
tabligh akbar;
2. Orang yang sehat dan yang belum diketahui atau diyakini tidak terpapar COVID-19,
harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau
sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia boleh
meninggalkan salat Jumat dan menggantikannya dengan shalat zhuhur di tempat
kediaman, serta meninggalkan jamaah shalat lima waktu/rawatib, Tarawih, dan
Ied di masjid atau tempat umum lainnya;
b. Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya rendah
berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia tetap wajib menjalankan
kewajiban ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar
COVID-19, seperti tidak kontak fisik langsung (bersalaman, berpelukan, cium
tangan), membawa sajadah sendiri, dan sering membasuh tangan dengan sabun.
Jika kami tambahkan, bisa juga dengan membuat jarak dalam shaf (para ulama
membolehkan/shalatnya tetap sah, meski makruh). Demikian juga dengan shalat
Jumat, bisa dilakukan dengan pembatasan dalam jumlah minimal (Seperti
madzhab Hanafi minimal 3 orang, madzhab Maliki minimal 12 orang, madzhab
Syafi'i minimal 40 orang, dst.);
3. Dalam kondisi penyebaran COVID-19 tidak terkendali di suatu kawasan yang
mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan shalat Jumat di
kawasan tersebut, sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib
6
menggantikannya dengan shalat zhuhur di tempat masing-masing. Demikian juga
tidak boleh menyelenggarakan aktifitas ibadah yang melibatkan orang banyak dan
diyakini dapat menjadi media penyebaran COVID-19, seperti jamaah shalat lima
waktu/rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta
menghadiri pengajian umum dan majelis taklim;
4. Dalam kondisi penyebaran COVID-19 terkendali, umat Islam wajib
menyelenggarakan shalat Jumat dan boleh menyelenggarakan aktifitas ibadah yang
melibatkan orang banyak, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat Tarawih
dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan
majelis taklim dengan tetap menjaga diri agar tidak terpapar COVID-19.

Itulah langkah terbaik saat ini. Hal ini juga selaras dengan sikap sebagian besar
shahabat dan para tabi’in –semoga Allah meridhai mereka semua-. Kisah dari shahabat
Amru bin al-Ash ra., penting untuk kita simak. Ketika mewabahnya penyakit, bangkitlah
shahabat Abu Ubaidah bin al-Jarrah ra. diantara umat lalu berkata: “Wahai manusia,
sesungguhnya penyakit ini adalah rahmat dari Tuhan kalian dan panggilan dari Nabi
kalian, juga (menyebabkan) kematian orang-orang shalih sebelum kalian, dan Abu
Ubaidah memohon kepada Allah SWT agar mendapatkan bagian penyakit itu untuknya,
sehingga terjangkitlah beliau dan wafatlah ia. Lalu Muadz bin Jabal ra.
menggantikannya memimpin umat, lalu ia bersabda kepada khalayak dan berkata
sebagaimana Abu Ubaidah ra. berkata namun ia menambahkan dengan permohonan
agar keluarganya pun mendapatkan penyakit tersebut, maka terjangkitilah putranya
bernama Abdurrahman dan meninggallah. Beliaupun berdoa bagi dirinya maka
terjangkitilah ia seraya berkata: “Dengan ini, aku tidak mencintai sedikitpun bagianku
di dunia.” lalu wafatlah beliau. Kemudian beliau digantikan oleh Amru bin al-Ash ra.,
ketika menjadi pemimpin menggantikan pendahulunya namun berbeda pandangan
dengan mereka, beliau berseru kepada khalayak umat dengan mengatakan:

‫فتحصنوا منو ِف اْلبال‬


ّ ‫أيها الناس !إن ىذا الوجع إذا وقع فإمنا يشتعل اشتعال النار‬
“Wahai manusia, sesungguhnya penyakit ini apabila menimpa, maka ia akan bekerja
bagaikan bara api, maka bentengilah dari penyakit ini dengan berlari ke gunung-
gunung.” (Ibn Hajar al-Asqalani, Badz al-Ma’un fi Fadhl al-Tha’un, hlm. 163)

MENJAWAB SYUBHAT: MASJID TEMPAT BERLINDUNG DARI PENYAKIT

Ada sebagian syubhat atau keraguan yang disampaikan sebagai kalangan bahwa saat
wabah penyakit menyebar, justru umat Islam semestinya mendatangi masjid. Masjid
dianggap sebagai tempat yang aman dari penyakit. Hal tersebut didasarkan pada
beberapa hadits. Berikut ini adalah hadits-hadits yang dimaksud beserta tanggapannya:

Pertama, dari Anas bin Malik ra, Rasulullah SAW bersabda:

.‫اج ِد‬
ِ ‫ض ص ِرفَت عن ع اما ِر الْمس‬ ِ ِ ‫إِ ان هللا تَع َاَل إِ َذا أَنْزَل ع‬
ََ ُ ْ َ ْ ُ ِ ‫اّلر‬
ْ ‫اىةً م َن ال اس َماء َعلَى أ َْى ِل‬
ََ َ َ َ

7
“Sesungguhnya apabila Allah ta'ala menurunkan penyakit dari langit kepada penduduk
bumi maka Allah menjauhkan penyakit itu dari orang-orang yang meramaikan masjid.”
(HR. Ibnu Asakir dan Ibnu Adi).

Pada sanad hadits tersebut ada rawi bernama Zafir bin Sulaiman, para ulama seperti
Ibn 'Adi mengomentari dalam kitabnya al-Kamil: “Pada sanad ini terdapat Zafir bin
Sulaiman, hadits-hadits yang diriwayatkannya terbalik-balik sanad dan matannnya.
Secara umum, hadits yang diriwayatkannya tidak memiliki tabi’ dan hadisnya ditulis
dengan menyertakan kedhaifannya.”

Ibn Hajar mengomentari dalam al-Taqrib: shaduq banyak sekali kekeliruan dalam
hadisnya, dan menyebutkan dalam Mathalib al-'Aliyah dengan sebutan: Ia dhaif.

Kedua, hadits dari Anas bin Malik ra, Rasulullah SAW bersabda:

ِِ ٍ
‫ف َعْن ُه ْم‬ َ َ‫إِذا َأر َاد هللا بَِق ْوم عاىةً نَظََر إِ ََل ْأى ِل املَساجد ف‬
َ ‫صَر‬
“Apabila Allah menghendaki penyakit pada suatu kaum, maka Allah melihat ahli masjid,
lalu menjauhkan penyakit itu dari mereka.” (HR. Ibnu Adi, al-Dailami, Abu Nu'aim dan
al-Daraquthni).

Hadits ini dinilai dhaif, gharib (munkar) oleh Imam Ibn Katsir, dimana beliau
menyatakan dengan menukil ucapan Imam al-Daraquthni.

Ketiga, shahabat Anas bin Malik ra berkata: "Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:

‫ِا‬
‫ِف‬ َ ِّ‫ت إِ ََل عُ اما ِر بُيُ ِوِت والْ ُمتَ َحاب‬
‫ني‬ ُ ‫ض َع َذ ًاِب فَِإ َذا نَظَْر‬
ِ ‫ " إِِّّن َّل َُى ُّم ِِب َْى ِل ْاّل َْر‬:‫ول هللاُ َعاز َو َج ال‬ ُ ‫يَ ُق‬
ِ
"‫ت َعْن ُه ْم‬ ُ ْ‫صَرف‬ ْ ‫ين ِِبّْل‬
َ ‫َس َحا ِر‬ َ ‫والْ ُم ْستَ ْغف ِر‬
Allah Azza wa Jalla berfirman: "Sesungguhnya Aku bermaksud menurunkan azab
kepada penduduk bumi, maka apabila Aku melihat orang-orang yang meramaikan
rumah-rumah-Ku, yang saling mencintai karena Aku, dan orang-orang yang memohon
ampunan pada waktu sahur, maka Aku jauhkan azab itu dari mereka. (HR. al-Baihaqi,
dalam Syu'ab al-Iman)

Pada semua jalur sanad hadits di atas, berpangkal pada rawi bernama Shalih al-Marri.
Para ahli hadits menilai sebagai rawi yang munkar.

Keempat, al-Imam al-Sya'bi, ulama salaf dari generasi tabi'in ra berkata:

ِ ‫" َكانُوا إِ َذا فَرغُوا ِمن شي ٍء أَتَوا الْمس‬


"‫اج َد‬ ََ ُ َْ ْ َ
“Mereka (para sahabat) apabila ketakutan tentang sesuatu, maka mendatangi masjid.”
(HR. al-Baihaqi, dalam Syu'ab al-Iman).

8
Perlu diketahui riwayat ini maqthu dari al-Syabi', sehingga tidak layak dijadikan
sebagai hujjah. Sebenarnya atsar ini statusnya hasan, namun seringkali keliru
menerjemahkan kalimat “faraghu”, yang ia artikan "apabila ketakutan". Semestinya
diartikan “apabila selesai dari suatu hal”.

Itu adalah dari tinjauan kritik sanad. Kita akui bahwa tidak semua kedhaifannya parah.
Ada beberapa yang dhaif ringan, sehingga masih memungkinkan digunakan dalam
fadha’il al-mal tentang keutamaan masjid. Namun hadits-hadits di atas tidak lolos dari
aspek kritik matan.

Dalam tinjauan kritik matan, hadits tersebut bertentangan dengan matan hadits lain
yang lebih kuat. Misalnya hadits riwayat imam al-Bukhari yang menegaskan bahwa jika
Allah menurunkan adzab, maka semua pasti kena, baik kepada orang shalih maupun
ahli maksiat; apakah ahli masjid ataupun yang tak pernah ke masjid.

‫اب َم ْن َكا َن فِي ِه ْم ُثُا بُعِثُوا‬ ٍ ‫اَّلل علَي ِو وسلام إِذَا أَنْزَل ا‬ ِ‫اَّلل‬
ُ ‫اب الْ َع َذ‬ َ ‫اَّللُ بَِق ْوم َع َذ ًاِب أ‬
َ ‫َص‬ َ َ َ َ ْ َ ُ ‫ا‬ ‫ى‬‫صلا‬
َ ‫ول ا‬ ُ ‫قَ َال َر ُس‬
‫َعلَى أ َْع َماِلِِ ْم‬
“Ibnu Umar ra. mengatakan, Rasulullah SAW bersabda: "Jika Allah menurunkan adzab,
maka adzab itu akan mengenai siapa saja yang berada di tengah-tengah mereka, lantas
mereka dihisab sesuai amalan mereka." (HR. al-Bukhari).

Demikian juga jika dikaitkan dengan adanya penyebaran wabah penyakit, justru kita
diperintahkan untuk melakukan isolasi diri dan mengisolasi yang lain, atau dalam
istilah adalah lockdown. Haditsnya sudah kami sampaikan pada bagian sebelumnya.

Adapun jaminan Allah bagi orang yang memakmurkan masjid adalah terkait pentunjuk
(hidayah). Allah SWT berfirman:

ِ ِ ِ‫اج َد ا‬ ِ ‫ما َكا َن لِْلم ْش ِركِني أَ ْن ي عمروا مس‬


ْ َ‫ك َحبِط‬
‫ت أ َْع َما ُِلُْم َوِِف‬ َ ِ‫ين َعلَى أَنْ ُف ِس ِه ْم ِِبلْ ُك ْف ِر أُولَئ‬
َ ‫اَّلل َشاىد‬ َ َ ُُ َْ َ ُ َ
ِ ‫اَّللِ من آمن ِِب اَّللِ والْي وِم‬
‫اآلخ ِر َوأَقَ َام ال ا‬ ِ ‫ِا‬ ِ ِ
ْ‫صَلةَ َوآتَى الازَكاةَ َوََل‬ َْ َ َ َ ْ َ ‫ إمنَا يَ ْع ُم ُر َم َساج َد ا‬.‫الناار ُى ْم َخال ُدو َن‬
ِ ِ َ ِ‫اَّللَ فَ َع َسى أُولَئ‬
َ ‫ك أَ ْن يَ ُكونُوا م َن الْ ُم ْهتَد‬
‫ين‬ ‫ش إَِّل ا‬
َ ْ‫ََي‬
“Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman
kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan
tidak takut (kepada siapapun) selain Allah, maka merekalah yang termasuk golongan
orang-orang yang selalu mendapat petunjuk (dari Allah Ta’ala)” (QS. At-Taubah: 18).

Dengan demikian, dalam kondisi tersebarnya wabah penyakit dengan penularan yang
tinggi dan tak terkendali, tidak tepat jika malah berkumpul dalam jumlah besar di
masjid-masjid. Masjid bukan tempat berlindung dari penyakit. Masjid adalah tempat
bagi umat Islam beribadah dan bertaubat.

9
PENUTUP: MUHASABAH KOLEKTIF

Mereka yang positif terkena penyakit menular dilarang untuk mendatangi pusat
keramaian, salah satunya masjid, sehingga dalam kasus shalat Jumat, ia cukup shalat
zhuhur di rumah. Adapun bagi masyarakat lain yang masih sehat, apabila tidak ada
kekhawatiran timbul bahaya penularan penyakit saat shalat Jumat, maka selama itu
pula shalat Jumat tetap wajib dilakukan. Sedangkan apabila menurut ahli yang
kompeten atau pihak berwenang dikhawatirkan terjadi penularan apabila hadir dalam
shalat Jumat, maka shalat Jumat bagi mereka tidak wajib dikerjakan. Hal itu sesuai
instruksi Nabi Muhammad SAW agar mengisolasi wabah. Sebagai gantinya, ia harus
menunaikan shalat zhuhur.

Namun jika kondisinya tidak diketahui, apakah membahayakan atau tidak, tingkat
penularan tinggi atau rendah, penularan wabah penyakit masih terkendali atau tidak,
maka sikap yang terbaik adalah menggunakan kaidah, “menghilangkan keburukan lebih
didahulukan dari pada meraih kemaslahatan” seperti yang telah disebutkan pada bagian
sebelumnya. Kondisi ini terjadi bisa karena tidak adanya penjelasan dari pihak
berwenang (pemerintah), atau karena ketidak-terbukaan pemerintah dalam perkara
ini.

Fatwa terkait kegiatan ibadah di masjid sudah ada. Tinggal “fatwa” (kebijakan) untuk
yang lainnya seperti buruh pabrik, karyawan swasta, pedagang pasar, dll. Pemerintah
harus berani mengambil sikap terbaik, apapun risikonya, demi menjaga jiwa rakyatnya.
Artinya adalah harus adanya kebijakan yang tegas dan adil.

Satu hal yang penting adalah pemerintah harus jujur dan transparan terkait data.
Jangan ada yang ditutup-tutupi, sehingga rakyat mendapat informasi yang akurat; mana
yang tingkat penularannya tinggi dan mana yang rendah; dan apakah kondisinya masih
terkendali atau tidak. Umat harus berani melakukan kontrol kepada penguasa, dan
memberikan koreksi dalam buruknya penanganan (kebijakan) terhadap penyebaran
wabah penyakit yang membahayakan rakyatnya. Karena agama (al-din) adalah nasihat,
termasuk kepada penguasa.

Akhirnya, selain harus kembali kepada Allah dengan taubat baik secara personal
maupun koletif, kita wajib melakukan ikhtiar maksimal untuk menghindari dari wabah
penyakit dan tidak menimpakan dharar kepada orang lain. Kebijakan social distancing
dan lockdown adalah salah satu ikhtiar tersebut. Perkara tersebut sudah dipraktikan
oleh para shahabat dan tabi'in. Namun untuk lockdown, perlu kebijakan berani dari
negara. []

10

Anda mungkin juga menyukai