Disusun Oleh :
AFANDI MAHARDIKA / 04
DECKA RIDHO ARIRAYA / 17
DIMAS FERREL SUMARSONO / 21
RADEN IAN SULASMONO / 36
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
menganugerahkan banyak nikmat sehingga kami dapat menyusun Makalah ini dengan baik.
Makalah ini berisi tentang uraian mengenai “Pancasila Sebagai Ideolgi Bangsa’’.
Laporan ini kami susun secara cepat dengan anggota kelompok kami diantaranya;
AFANDI MAHARDIKA ,DECKA RIDHO ARIRAYA ,DIMAS FERREL SUMARSONO
,RADEN IAN SULASMONO. Oleh karena itu kami sampaikan terima kasih atas waktu, tenaga
dan pikirannya yang telah diberikan. Dan atas bantuan Dosen pembimbing kita kami mengucap
terimakasih.
Dalam penyusunan Makalah ini, kami menyadari bahwa hasil laporan praktikum ini
masih jauh dari kata sempurna.
Sehingga kami selaku penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca sekalian. Akhir kata Semoga Makalah ini dapat memberikan manfaat untuk
kelompok kami khususnya, dan para pelajar lainnya.
1.3. Tujuan
Tujuan dari rumusan masalah tersebut adalah:
1.3.1. Agar pembaca mengetahui apa saja tantangan yang dihadapi Pancasila
terhadap ideologi dunia
1.3.2. Agar pembaca mengetahui tantangan yang dihadapi Pancasila terhadap
agama
1.3.3. Agar pembaca mengetahui kesaktian Pancasila dalam menghadapi
tantangan-tantangannya
BAB 2
TOPIK BAHASAN
Selain pemikir-pemikir dari Indonesia, di dunia juga terdapat tokoh-tokoh pemikir yang
mempunyai pendapat-pendapat yang berbeda mengenai definisi ideologi, seperti:
Kedudukan Pancasila sebagai ideologi negara karena ideologi Pancasila menghadapi tantangan
dari berbagai ideologi dunia dalam kebudayaan global. Pada bagian ini, perlu di identifikasikan
unsur – unsur yang mempengaruhi ideologi Pancasila dan sebagai perbandingan antara Pancasila
dengan ideologi dunia, antara lain yaitu :
1. Unsur atheisme yang terdapat dalam idologi Marxisme atau komunisme bertentangan
dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Unsur individualisme dalam liberalisme tidak sesuai dengan prinsip nilai gotong royong
dalam sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
3. Kapitalisme yang memberikan kebebasan individu untuk menguasai sistem
perekonomian negara tidak sesuai dengan prinsip ekonomi kerakyatan
Hal ini menjadi penting sebab sejak awal pencetusannya bangsa Indonesia sudah hidup
dalam keragaman yang luar biasa. Baik secara agama, budaya maupun ras dan etnis. Bahkan,
di luar agama-agama formal yang diakui oleh negara, ada keyakinan-keyakinan yang banyak
dengan konsep teologis masing-masing. Dan karenanya memang kurang tepat untuk
menyalahkan kelompok agama tertentu, atau tepatnya menuduhnya bertentangan dengan
Pancasila dengan memakai kacamata “penafsiran agama kita”. Dalam pandangan Islam,
sekali lagi dalam pandangan Islam, konsep ketuhanan Kristiani dengan trinitas tidak sejalan
dengan konsep keesaan Tuhan (tauhid) dalam Islam. Sehingga, sudah pasti dalam pendangan
umat Islam, hal itu tidak sesuai dengan sila pertama Pancasila. Tapi, sekali lagi, itu dalam
pandangan Islam.Hal lain yang juga menjadi masalah adalah bahwa dalam memahami
konsep keesaan Tuhan Islam mengajarkannya dalam tiga aspek. Pertama adalah aspek
ketuhanan itu sendiri yang lebih dikenal dengan “tauhid rububiyah”. Kedua adalah aspek
sifat atau karakter Tuhan yang dikenal dengan “tauhid asma was-sifat”. Dan ketiga adalah
aspek penyembahan atau ibadah yang lazim dikenal dengan “tauhid
ubudiyah atau uluhiyah”.Yang pasti adalah bahwa Islam memang mengakui berdasarkan
sejarah keyakinan orang-orang musyrik bahwa semua manusia itu, apapun bentuk
penyembahannya ternyata yakin kepada Tuhan yang satu. “Wa lain sa-altahum man
khalaqassamaqati wal-ardh..layaqukunna Allah”. Bahwa orang-orang Musyrik Arab yang
ketika menyembah ratusan patung-patung sekalipun yakin bahwa secara rububiyah hanya ada
satu Tuhan.
Permasalahannya kemudian adalah, dan ini inti kesalahan dalam pandangan Islam,
kalaupun mereka yakin bahwa ada satu Tuhan, tapi mereka masih juga mengaitkan beberapa
sifat makhluk kepada Tuhan. Dan yang paling parah mereka mengambil perantara-perantara-
perantara antara diri mereka dan Tuhan yang (semestinya) tunggal dalam penyembahan.
Maka, sebagai bangsa dengan pancasila sebagai asas dalam bernegara, harusnya konsensus
itu adalah konsensus kebangsaan. Bukan konsensus keagamaan. Sebab sampai kapan pun
agama-agama tidak akan pernah disatukan dalam konsensus kemanusiaan. Akan ada
perbedaan-perbedaan, bahkan dalam prinsip sekalipun. Di sinilah kemudian dalam
pandangan saya pentingnya mendudukan masalah pada tempatnya. Sebagai orang Islam
dengan segala perbedaan dengan teman-teman sebangsa dari agama dan keyakinan lain, saya
tidak perlu menuduhnya bertentangan dengan pancasila. mereka bisa memahami arti
ketuhanan yang maha esa itu berdasarkan agama dan keyakinan mereka. Tapi di sisi lain
maafkan kalau dalam pandangan kami umat Islam konsep keyakinan anda itu berdasarkan
“penafsiran ketuhanan agama” kami tidak sesuai. Tapi itu dari sudut pandang agama kami.
Dan karenanya, sikap yang terbaik sekaligus adil dan bijaksana adalah serahkanlah kepada
masing-masing pemeluk agama itu untuk menafsirkan pancasila sesuai dengan pemahaman
agama dan keyakinan masing-masing. Bahkan, pemerintah sesungguhnya tidak punya
otoritas untuk menafsirkan pancasila berdasarkan pemahaman atau penafsirannya sendiri.
Dan ini juga bagi saya yang harusnya menjadi pertimbangan pemerintah dalam menentapkan
sebuah UU atau aturan tentang ormas di negara ini. Selama ormas itu mengakui Pancasila
sebagai dasar dalam menjalankan kehidupan bernegara, terlepas dari pemahaman dan
penafsirannya, seharusnya dibiarkan bahkan didukung. Sebab, ketika pemerintah cenderung
memaksakan penafsirannya maka rentang akan terbentuk “kediktatoran” dalam bernegara.
Agama dan Pancasila, bagai dua sisi keping mata uang. Tak bisa dipisahkan,
saling mengisi, dan menjadi satu kesatuan. Jika ada yang mempertentangkan, antara Agama
dengan Pancasila, itu namanya kelewatan. Jahat dan kejam. Yang merumuskan Pancasila
adalah, Soekarno dan founding fathers lain beragama Islam. Sila pertama juga sangat jelas.
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dijiwai oleh nilai-nilai agama.Agama itu mempersatukan.
Pancasila juga. Agama butuh keyakinan. Pancasila juga sama. Agama butuh pengamalan.
Begitu juga Pancasila butuh diaktualisasikan dan diimplementasikan. Seorang intelektual, tak
akan berkata sembarangan dan serampangan. Apa yang dikatakannya, akan terlebih dulu
dipikir dan dipertimbangkan matang-matang. Karena jika salah ucap, dampaknya akan besar.
Pancasila tanpa nilai-nilai agama akan redup, tak bersinar, dan tak memiliki jiwa dan roh.
Dengan agamalah, Pancasila menjadi ideologi penggerak, pendobrak, pemersatu, dan
pencerah.
Pada studi kasus ini, kami mengambil satu peristiwa konflik yang terjadi di tanah Papua,
tepatnya di Nduga. Konflik di Nduga berawal dari tragedi penembakan oleh Organisasi
Papua Merdeka (OPM) kepada para pekerja jembatan yang sampai menewaskan belasan
orang di awal tahun 2018. Efek dari penembakan tersebut pemerintah Indonesia kemudian
mengirimkan pasukan TNI untuk mengejar para pelaku penembakan dan untuk menjaga
keselamatan, penduduk beberapa distrik yang berjumlah ribuan orang di Nduga diharuskan
untuk mengungsi.
Apabila kita membaca paragraf diatas sebenarnya maksud dari pemerintah Indonesia
sungguh baik, yaitu untuk melindungi penduduk setempat dari gencatan senjata antara TNI
dengan OPM. Namun, nyatanya yang terjadi sungguh kebalikannya, dilansir dari
KOMPAS.id. Selasa tanggal 30 Juli 2019, bahwa para pengungsi di Nduga mengalami
wabah kelaparan yang berujung kematian(BBC, 2019).
John Jonga, anggota tim kemanusiaan, menyatakan pengungsi yang meninggal - sebagian
besar perempuan berjumlah 113 orang - adalah akibat kedinginan, lapar dan sakit. "Anak-
anak ini tidak bisa tahan dingin dan juga ya makan rumput. Makan daun kayu. Segala macam
yang bisa dimakan, mereka makan," kata anggota timnya, John Jonga saat merilis hasil
temuannya di Jakarta, Rabu (14/08). Dari perkataan john jonga tersbut kita bisa pahami,
bahwa buntut dari kelaparan yang tidak bisa mereka tahan lagi itu mereka jadi harus
memakan makanan-makanan yang tidak lazim, seperti rumput, daun-daunan, dan lain-lain.
Makanan-makanan yang mereka makan itu kemudian menyebabkan penyakit semacam
infeksi cacing dan lain sebagainya.
Dari fakta tersebut, kita jadi mempertanyakan kemana pemerintah saat mengetahui
rakyatnya sedang dilanda bencana dan membutuhkan pertolongan ini. Maksud baik yang
ingin menjauhkan penduduk setempat dari wilayah konflik malah menjadi petaka yang
menimbukan ratusan jiwa tak bersalah melayang.
Pada kasus seperti ini, Ideologi bangsa yaitu Pancasila benar-benar diuji. Sebab
sesungguhnya apa yang menimpa rakyat Nduga nampaknya bertolak belakang seratus
delapan puluh derajat dengan kelima sila dari Pancasila. Kemudian muncul pertanyaan,
Apakah penderitaan rakyat Nduga pantas terjadi di tengah bangsa yang Ber-Ketuhanan Yang
Maha Esa? Apakah penderitaan rakyat Nduga pantas terjadi di tengah bangsa yang ber-
Perikemanusiaan Yang adil dan Beradab? Apakah penderitaan rakyat Nduga pantas terjadi di
tengah bangsa yang ber-Persatuan Indonesia? Apakah penderitaan rakyat Nduga pantas
terjadi di tengah bangsa yang ber-Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan namun terkesan tidak mau mempertimbangkan usul dan
pendapat yang berbeda dari para pemimpin Papua dan rakyat Nduga yang menjadi korban?
Apakah penderitaan rakyat Nduga pantas terjadi di tengah bangsa yang menyebut diri ber-
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia?
Faktanya, berbagai kasus kekerasan di Papua yang tidak mampu diselesaikan secara adil
dan bermartabat merupakan bukti “kegagalan ideologis” selama lebih dari lima dekade
integrasi Papua dengan Indonesia. Dinamakan “kegagalan ideologis” karena kita masih
mengedepankan pendekatan keamanan dalam menyelesaikan konflik di Papua. Padahal
mestinya kita menggunakan kekuatan dan daya tarik ideologi Pancasila untuk meyakinkan
orang asli Papua tentang makna menjadi bagian dari bangsa Indonesia yang ber-ideologi
Pancasila dalam kata dan perbuatan. Ini menjadi bukti kalau para pemegang kekuasaan di
Indonesia masih kurang memahami dan belum bisa mengimplementasikannya untuk
mengelola negara.
Solusi
Terhadap kasus yang sudah dijabarkan di atas, kelompok kami berpendapat bahwa
sebenarnya letak kesalahan bukan pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, tetapi
pada Pemerintah sebagai pengelola negara dan pemegang kekuasaan. Karna sejatinya
Pancasila bukanlah kalimat-kalimat kosong yang tidak ada artinya. Di dalamnya terdapat
jiwa, budaya, keadilan, toleransi, dan cita-cita bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar.
Namun, pemerintah sebagai kumpulan orang yang diberi mandat malah tidak
mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Seharusnya pemerintah pusat Bersama dengan pemerintah daerah bisa saling terhubung
dan bekerja sama untuk turun langsung ke lokasi memberikan bantuan dan dukungan agar
masyarakat yang berada di daerah konflik tersebut lebih merasa terayomi oleh pemerintah.
dengan hal kecil seperti itu membuat para korban disana merasa diperhatikan dan nilai
ideologi Pancasila akan merata dan tidak ada yang merasa terasingkan.
Jadi pada dasarnya, pemerintah sekali lagi harus menegakkan ideologi Pancasila dan tidak
hanya sebatas ucapan karna dalam memecahkan masalah diatas pemerintah seharusnya
memberikan keaman serta keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia termasuk papua.
Pemerintah Indonesia harus bertanggungjawab penuh atas ideologi yang diberikan kepada
rakyat hingga rakyat bisa merasakan dampaknya.
BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pancasila sudah menjadi Ideologi bangsa selama tujuh dekade lebih lamanya,
berbagai tantangan sudah pernah dilalui, dari sejak pemberontakan G30SPKI sampai
peristiwa yang baru-baru ini terjadi. Sejatinya Pancasila lewat nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya berhasil mempertahankan kesatuan Republik Indonesia.
Hanya saja, para pemimpin yang silih berganti lambat laun mulai kehilangan kendali
dan gagal dalam mengimplementasikan nilai-nilai nya. Diharapkan dari makalah ini
pembaca jadi dapat lebih memahami Pancasila dan mampu mengimplementasikannya
dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
BBC. (2019). Korban meninggal akibat konflik di Nduga, Papua 182 orang: “Bencana besar tapi di
Jakarta santai-santai saja.” BBC NEWS. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49345664
hidayah, S. nur. (2019). Pancasila Sebagai Ideologi Nasional. https://doi.org/10.31227/osf.io/n4f68
KabarPapua.co. (2019). Ada Tragedi Kemanusiaan di Pengungsian Warga Nduga Papua. Liputan6.
https://www.liputan6.com/regional/read/3917412/ada-tragedi-kemanusiaan-di-pengungsian-
warga-nduga-papua
Komarudin, U. (2020). Agama dan Pancasila. AKURAT.Co. https://akurat.co/news/id-1014892-read-
agama-dan-pancasila
Morin, S. (2019). Kasus Nduga, Suatu Bukti Belum Menyentuhnya Ideologi Pancasila di Papua?
Kompasiana. https://www.kompasiana.com/patricemorin/5d52a1e2097f3641155976e2/kasus-
nduga-suatu-bukti-kegagalan-ideologi-pancasila-di-papua
Taufiqurrahman. (2018). Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi. RISTEKDIKTI.
Yulianto, A. (2017). Pancasila dan Agama-Agama. REPUBLIKA.Co.Id.
https://republika.co.id/berita/oxjkqy396/pancasila-dan-agamaagama