Anda di halaman 1dari 4

Covid-19 dan Problem Implementasi PSBB

republika.co.id/berita/q8xghc458/covid19-dan-problem-implementasi-psbb

17 April
2020

Kebijakan PSBB tak mengandung unsur kebaruan sama sekali dalam


menanggulangi Covid-19

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Satriantoro *)

Pemerintah Pusat pada 1 April lalu akhirnya mengeluarkan kebijakan terkait pembatasan
sosial berskala besar (PSBB). Sebelumnya, dinamika di publik terbelah terkait perlukah
Indonesia menerapkan lockdown (karantina wilayah). Kebijakan ini, meskipun terlambat,
menjadi arahan bagi pemerintahan daerah yang telah lama menunggu instruksi pusat
dalam rangka menghadapi wabah Covid-19.

PSBB berbeda dengan karantina wilayah atau lockdown. Menurut Undang-Undang


Nomor 6 Tahun 2018, PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam
suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi, sedemikian rupa
untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.

Sementara itu, karantina wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah,
termasuk pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau
terkontaminasi. Hal itu dilakukan sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan
penyebaran penyakit atau kontaminasi.

Dalam PSBB, pengaturan juga meliputi penutupan berbagai macam aktivitas kegiatan
yang ramai. Sebut saja, perkantoran, sekolah, dan kegiatan publik lainnya. Namun,
mobilitas pergerakan manusia tidak dilarang. Ini berbeda dengan kebijakan karantina
wilayah yang benar-benar menutup akses suatu wilayah.

Gerak-cepat pemda

Sebelum PSBB diterapkan, pemerintah daerah (pemda) telah bergerak lebih cepat dalam
menangani kasus Covid-19 di wilayah masing-masing. Ini merespons lamanya
pemerintah pusat dalam merumuskan kebijakan nasional terkait penanganan wabah ini.
Pemerintah tercatat, baru mengeluarkan kebijakan tersebut setelah beberapa daerah
terlebih dulu menetapkan kebijakannya masing-masing.

Misalkan Provinsi DKI Jakarta dan Kota Solo (Jawa Tengah) yang meliburkan perkantoran,
sekolah, dan aktivitas publik--jauh sebelum PSBB diterapkan. Bahkan, kita bisa juga
melihat Kota Tegal (Jawa Tengah), Kota Tasikmalaya (Jawa Barat), dan Provinsi Papua
yang menerapkan karantina wilayah sebelum adanya PSBB. Ini menjadi wajar karena
saat itu tak kunjung datang arahan dari pemerintahan pusat. Daerah berinisiatif
bergerak dahulu sebelum wabah ini menjadi lebih buruk.
1/4
Problem PSBB

Melihat lebih dalam kebijakan PSBB ini, setidaknya ada beberapa hal yang menjadi
masalah. Pertama, tentu tentang lambannya komunikasi pusat ke daerah dalam
melakukan sosialisasi kebijakan negara. Hal ini membuat daerah telah bergerak masing-
masing.

Kondisi ini tentu tidak sepenuhnya dapat disalahkan. Daerah tak bisa menunggu dalam
menghadapi wabah ini. Sebab, pemerintah pusat pun baru mengeluarkan kebijakan
PSBB sekian lama setelah banyaknya warga terjangkit virus korona baru.

Kedua, kebijakan PSBB tidak mengandung unsur kebaruan sama sekali. Kebijakan yang
telah diterapkan beberapa daerah hakikatnya sama saja karakteristiknya dengan PSBB.
Yakni, mengurangi keramaian aktivitas di tengah masyarakat. Ambil contoh, kebijakan
Kota Solo dan DKI Jakarta yang tak jauh berbeda substansinya dengan kebijakan PSBB.

Ketiga, penerapan PSBB di daerah memerlukan persetujuan pemerintah pusat melalui


izin Menteri Kesehatan. Ini sesuai Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes)Nomor 9
Tahun 2020. Padahal, prosedur demikian tentu menambah rumitnya eksekusi kebijakan
di tengah situasi kini.

Sebab, alur birokrasi daerah justru bertambah dalam rangka gerak-cepat menghadapi
wabah Covid-19. Hal itu berujung pada tak efektifnya kebijakan ini di tataran praktis.

Merujuk pada Permenkes tersebut, ada beberapa pertimbangan PSBB dapat disetujui
pemerintah pusat. Yakni, melihat jumlah kasus atau jumlah kematian, lalu kaitan
epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah lain, serta memperhatikan kesiapan
sisi sosial ekonomi suatu daerah.

Hingga kini, tercatat beberapa daerah tetap bertahan dengan kebijakannya sendiri
karena alasan “terpaksa”. Kota Tegal, misalnya. Meskipun sudah ada instruksi
pemerintah pusat terkait kebijakan PSBB, Pemerintah Kota Tegal tetap menerapkan
karantina wilayah. Mereka saat ini sedang mengurus proses PSBB di tingkat pusat dan
hingga kini belum disetujui pemerintah pusat.

Tak jauh berbeda, Kota Sorong di Papua Barat sebelumnya juga menerapkan karantina
wilayah sampai tanggal 10 April. Saat ini mereka sudah mengajukan pengajuan PSBB ke
pemerintah pusat, tetapi belum disetujui.

Tegal dan Sorong bahkan tercatat sempat “melawan” pemerintah pusat dengan
bersikukuh melakukan penutupan wilayah, meskipun hal ini kemudian tidak berlanjut.

Beragam fenomena tersebut bisa menjadi preseden buruk bagi pemerintah pusat. Yakni
menambah catatan tidak memuaskannya pemerintah dalam menangani wabah Covid-
19.

Tentu publik masih ingat dengan komentar pembantu–pembantu Presiden yang tampak
2/4
menyepelekan wabah ini. Jangan sampai kekecewaan publik ditambah lagi dengan
adanya kebijakan yang justru sulit diimplementasikan karena terlalu birokratis.

Sinergi: sebuah keniscayaan

Kita tentu mengharapkan sinergi antara pusat dan daerah, apalagi dalam keadaan
seperti ini. Pemerintah pusat melalui Presiden mesti muncul dalam mengorkestrasi
segala kebijakan penanganan Covid-19. Saatnya satukan suara dan pandu daerah dalam
menghadapi krisis ini.

Ke depan, pemerintah pusat juga perlu memperbaiki pola komunikasi kebijakan yang
ada. Arahan komunikasi pusat ke daerah mesti cepat dan responsif. Selain itu kebijakan
yang dikeluarkan mesti tepat dan juga solutif.

Pemerintah pusat jangan gengsi untuk mengoreksi kebijakannya agar lebih aplikatif.
Semoga.

Arif Satriantoro - (Dok Ist)

*) Penulis merupakan mahasiswa master Ilmu Komunikasi pada Universitas Sains Malaysia
(USM).

PolitikKlik di Sini

3/4
4/4

Anda mungkin juga menyukai