Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Fraktur Mandibula


Fraktur merupakan suatu kondisi terputusnya kontinuitas jaringan
tulang atau tulang rawan yang disebabkan oleh rudapaksa, dapat berupa trauma
langsung dan trauma tidak langsung (Smeltzer & Bare, 2002) dalam (Mesuri
& Huriani, 2014)
Fraktur mandibula adalah putusnya kontinuitas tulang mandibular.
Hilangnya kontinuitas pada rahang bawah (mandibula), dapat berakibat fatal
bila tidak ditangani dengan benar. Mandibula adalah tulang rahang bawah pada
manusia dan berfungsi sebagai tempat menempelnya gigi geligi. Klasifikasi
fraktur mandibula berdasarkan pada letak anatomi dari fraktur mandibula dapat
terjadi pada daerah-daerah dento alveolar, kondilus, koronoideus, ramus, sudut
mandibula, korpus mandibula, simfisis, dan parasimfisis (Hakim, 2016).
Fraktur mandibula merupakan kondisi diskontinuitas tulang mandibula
yang diakibatkan oleh trauma wajah ataupun keadaan patologis. Pukulan keras
pada muka dapat mengakibatkan terjadinya suatu fraktur pada mandibula
(Reksodiputro, 2017).

2.2 Etiologi
Menurut Helmi (2014), Fraktur mandibula dapat disebabkan oleh trauma
maupun proses patologik.
a. Fraktur traumatik disebabkan oleh:
1. Kecelakaan kendaraan bermotor (50,8%)
2. Terjatuh (22,3%)
3. Kekerasan atau perkelahian (18,8%)
4. Kecelakaan kerja (2,8%)
5. Kecelakaan berolahraga (3,7%)
6. Kecelakaan lainnya (1,6%)
b. Fraktur Patologik

5
6

Fraktur patologik dapat disebabkan oleh kista, tumor tulang,


osteogenesis imperfekta, osteomielitis, osteoporosis, atropi atau nekrosis
tulang.

2.3 Manifestasi klinis


Gejala umum fraktur menurut Lukman (2013), adalah sebagai berikut:
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
di imobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian yamg tidak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya
tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau
tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas
yang bisa diketahui dengan membandingkan ekstemitas normal.
Ekstremitas tak daat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur tulang panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.
Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5-5 cm (1-2
inchi).
4. Saat ekstremitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu degan
lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang
lebih berat.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cidera.

Gejala pada fraktur mandibula biasanya timbul rasa nyeri terus menerus
pendarahan oral, fungsi berubah, terjadi pembengkakan, krepitasi, sepsis pada
fraktur terbuka, dan deformitas. Jika fraktur ini mengenai korpus mandibula,
7

akan terlihat gerakan yang abnormal pada tempat fraktur sehingga gerakan
mandibula menjadi terbatas dan susunan gigi menjadi tidak teratur. Sebagian
besar fraktur mandibula terjadi tanpa terbukanya tulang dan tanpa kerusakan
jaringan keras atau lunak (Sukman, 2016).

2.4 Patofisiologi
Fraktur gangguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma gangguan
adanya gaya dalam tubuh yaitu stress, gangguan fisik, gangguan metabolik,
patologik. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang terbuka
maupun yang tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan
pendarahan, maka volume darah menurun. COP menurun maka terjadi
perubahan perfusi jaringan. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan
proliferasi menjadi oedem lokal dan terjadi penumpukan di dalam tubuh.
Fraktur terbuka atau tertutup akan mengenai serabut syaraf yang dapat
menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang
dan dapat terjadi neurovaskuler yang menimbulkan nyeri gerak sehingga
mobilitas fisik terganggu. Disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai
jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi terkontaminasi dengan
udara luar dan kerusakan jaringan lunak akan mengakibatkan kerusakan
integritas kulit. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma
gangguan metabolik, patologik yang terjadi itu terbuka atau tertutup. Pada
umumnya pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup adalah dilakukan
imobilitas yang bertujuan untuk mempertahankan fragmen yang telah
dihubungkan, tetap pada tempatnya sampai sembuh (Sylvia, 2006).

2.5 Komplikasi
Menurut Helmi (2014), Secara umum komplikasi fraktur terdiri atas
komplikasi awal dan komplikasi lama yaitu, sebagai berikut:
2.5.1 Komplikasi awal
1. Syok
Syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Hal
8

ini biasanya terjadi pada fraktur. Pada beberapa kondisi tertentu, syok
neurogenik sering terjadi pada fraktur femur karena sakit yang hebat pada
pasien.
2. Kerusakan arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai oleh: tidak adanya nadi, CRT
(Cappillary Refill Time) menurun, sianosis bagian distal, hematoma yang
lebar serta dingin pada ekstremitas yang disebabkan oleh tindakan
emergensi pembidaian, perubahan posisi pada orang sakit, tindakan reduksi,
dan pembedahan.
3. Sindrom kompartemen
Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana tejadi
terjebaknyaotot, tulang, syaraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut
akibat suatu pembengkakan dari edema atau perdarahan yang menekan otot,
syaraf, dan pembuluh darah. Kondisi sindrom kompartemen akibat
komplikasi fraktur hanya terjadi pada fraktur yang dekat dengan persendian
dan jarang terjadi pada bagian tengah tulang. Tanda khas untuk sindrom
kompartemen adalah 5P, yaitu: pain (nyeri lokal), paralysis (kelumpuhan
tungkai), pallor (pucat bagian distal), parestesia (tidak ada sensasi) dan
pulsesessness (tidak ada denyut nadi, perubahan nadi, perfusi yang tidak
baik, dan CRT > 3 detik (pada bagian distal kaki).
4. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma ortopedik infeksi dimulai pada kulit (superfisial) danmasuk
kedalam. Hal ini biasanya terjadi pada kasus fraktur tebuka, tapi bisa juga
karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin (ORIF dan
OREF) atau plat.
5. Avaskular nekrosis
Avaskular nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak
atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan
adanya Volkman’s Ischemia.
9

6. Sindrom emboli lemak


Sindrom emboli lemak FES (fist embolism syndrom) adalah komplikasi
serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi
karena sel-sel lemak yang dihasilkan sumsum tulang kuning masuk ke aliran
darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai
dengan gangguan pernafasan, takikardi, hipertensi, takipnea, dan demam

2.5.2 Komplikasi Lama


Menurut Helmi (2014), Secara umum komplikasi fraktur terdiri atas
komplikasi awal dan komplikasi lama yaitu, sebagai berikut:
1. Delayed Union.
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk sembuh atau tersambung
dengan baik. Ini disebabkan karena penurunan suplai darah ke tualang.
Delayed Union adalah fraktur yang tidak sembuh setelah selang waktu
3-5 ulan (tiga bulan untuk anggota gerak atas dan lima bulan untuk
anggota gerak bawah).
2. Non-union.
Disebut non-union apabila fraktur tidak sembuh dalam waktu antar
6-8 bulan dan tidak terjadi konsolidasi sehingga terdapat konsolidasi
sehingga terdapat pseudoartrosis (sendi palsu). Pseudoartrosis dapat
terjadi tanpa infeksi tetapi dapat juga terjadi bersama infeksi yang
disebut sebagai infected pseudoarthrosis.
3. Mal-union.
Mal-union adalah keadaan di mana fraktur sembuh pada saatnya,
tetapi terdapat deformitas yang berbentuk angulasi, varus/valgus,
pemendekan, atau menyilang, misalnya pada fraktur radius-ulna.

2.6 Klasifikasi Fraktur


Menurut Manalu (2018), klasifikasi fraktur mandibula diantaranya adalah:
10

1. Menunjukkan regio-regio pada mandibula yaitu: corpus, simfisis, sudut,


ramus, prosesus koronoid, prosesus kondilar, prosesus alveolar. Fraktur
yang terjadi dapat pada satu, dua atau lebih pada region mandibula ini.
2. Berdasarkan ada tidaknya gigi. Klasifikasi berdasarkan gigi pasien penting
diketahui karena akan menentukan jenis terapi yang akan kita ambil.
Dengan adanya gigi, penyatuan fraktur dapat dilakukan dengan jalan
pengikatan gigi dengan menggunakan kawat. Berikut derajat fraktur
mandibula berdasarkan ada tidaknya gigi:
1. Fraktur kelas 1: gigi terdapat di 2 sisi fraktur, penanganan pada fraktur
kelas 1 ini dapat melalui interdental wiring (memasang kawat pada gigi)
2. Fraktur kelas 2: gigi hanya terdapat di salah satu fraktur
3. Fraktur kelas 3: tidak terdapat gigi di kedua sisi fraktur, pada keadaan ini
dilakukn melalui open reduction, kemudian dipasangkan plate and
screw, atau bisa juga dengan cara intermaxillary fixation.dengan melihat
cara perawatan, maka pola fraktur mandibula dapat digolongkan
menjadi:
1. Fraktur Unilateral biasanya hanya tunggal, tetapi kadang terjadi lebih
dari satu fraktur yang dapat di jumpai pada satu sisi mandibula dan
bila hal ini terjadi, sering didapatkan pemindahan fragmen secara
nyata. Suatu fraktur korpus mandibula unilateral sering terjadi.
2. Fraktur Bilateral adalah suatu kombinasi antara kecelakaan langsung
dan tidak langsung. Fraktur ini umumnya akibat mekanisme yang
menyangkut angulus dan bagian leher kondilar yang berlawanan atau
daerah gigi kanius dan angulus yang berlawanan.
3. Multiple Fracture adalah gabungan yang sempurna dari kecelakaan
langsung dan tidak langsung dapat menimbulkan terjadinya fraktur
multipel. Pada umumnya fraktur ini terjadi karena trauma tepat
mengenai titik tengah dagu yang mengakibatkan fraktur pada simpisis
dan kedua kondilus.
4. Fraktur kominutif. Fraktur ini hampir selalu diakibatkan oleh
kecelakaan langsung yang cukup keras pada daerah fraktur, seperti
pada kasus kecelakaan terkena peluru saat perang. Dalam sehari-hari,
11

fraktur ini sering terjadi pada simfisis dan parasimfisis. Fraktur yang
disebabkan oleh kontraksi muskulus yang berlebihan. Kadang fraktur
pada prosesus koronoid terjadi karena adanya kontraksi refleks yang
datang sekonyong-konyong mungkin juga menjadi penyebab
terjadinya fraktur pada leherkondilar.Oikarinen dan Malstrom(1969),
dalam serangkaian 600 fraktur mandibula menemukan 49,1% fraktur
tunggal, 39,9 mempunyai dua fraktur, 9,4% mempunyai tiga fraktur,
1,2% , mempunyai 4 fraktur, dan 0,4% mempunyai lebih dari empat
fraktur.

2.7 Pemeriksaan penunjang


Menurut Wijaya & Putri (2013), pemeriksaan penunjang terdiri dari, sebagai
berikut:
1. X-ray : untuk menentukan luas/lokasi fraktur.
2. Scan tulang untuk memperlihatkan fraktur lebih jelas,mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak.
3. Arteriogram, dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler.
4. Hitung darah lengkap, homokonsentrasi mungkin meningkat, menurun pada
perdarahan : peningkatan leukosit sebagai respon terhadap peradangan.
5. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
6. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfus atau
cedera hati.
2.8 Penatalaksanaan
Menurut Borley (2007), penatalaksanaan kedaruratan pada fraktur
mandibula antara lain:
1. Penatalaksanaan Kedaruratan
a. Cari tanda-tanda syok/perdarahan dan periksa ABC
1) Jalan Napas
Untuk mengatasi keadaan ini, penderita di miringkan sampai tengkurap.
Mandibula dan lidah ditarik ke depan dan dibersihkan faringdengan
jari-jari.
2) Perdarahan pada luka
12

Cara paling efektif dan aman adalah dengan meletakkan kain yang
bersih (kalau bisa steril) yang cukup tebal dan dilakukan penekanan
dengan tangan atau dibalut dengan verban yang cukup menekan.
3) Syok
Syok bisa terjadi apabila orang kehilangan darahnya kurang lebih 30%
dari volume darahnya.Untuk mengatasi syok karena pendaharan
diberikan darah (tranfusi darah).
4) Cari trauma pada tempat lain yang beresiko (kepala dan tulang
belakang, iga dan pneumotoraks dan trauma pelvis).

Menurut Mediarti (2015), penatalaksanaan pada fraktur adalah sebagai


berikut:
Penatalaksaan pada klien dengan fraktur adalah sebagai berikut :
1. Terapi non farmakologi, terdiri dari :
a. Proteksi, untuk fraktur dengan kedudukan baik. Mobilisasi saja tanpa
reposisi, misalnya pemasangan gips pada fraktur inkomplit dan fraktur
tanpa kedudukan baik
b. Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips. Reposisi dapat dalam anestesi
umum dan lokal.
c. Traksi, untuk reposisi secara berlebihan.
2. Terapi farmakologi, terdiri dari :
a. Reposisi terbuka, fiksasi eksternal
b. Reposisi tertutup kontrol radiologi diikuti internal.

Terapi ini dengan reposisi anatomi diikuti dengan fiksasi internal. Tindakan
pada fraktur terbuka harus dilakukan secepat mungkin, penundaan waktu dapat
mengakibatkan komplikasi. Waktu yang optimal untuk bertindak sebelum 6-7
jam berikan toksoid, anti tetanus serum (ATS) / tetanus hama globidin. Berikan
antibiotik untuk kuman gram positif dan negatif dengan dosis tinggi. Lakukan
pemeriksaan kultur dan resistensi kuman dari dasar luka fraktur terbuka
(Mediarti, 2015).
13

2.9 Diagnosa keperawatan


Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien Fraktur menurut
Doenges (2011), antara lain :
1. Nyeri berhubungan dengan spasme otot, edema dan cidera pada jaringan
lunak.
2. Resiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan kehilangan intregitas
tulang
3. Resiko tinggi terhadap disfungsi terhadap disfungsi neurovaskuler prifer
berhubungandengan penurunan atau intrupsi aliran darah, edema
berlebihan, hipovolemia.
4. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah atau
emboli lemak.
5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka/tulang
neuromuskuler.
6. Kerusakan integrasi jaringan kulit berhubungan dengan fraktur terbuka,
bedah perbaikan,pemasangan traksi pen, kawat, sekrup.
7. Kurang pengetahuan terhadap kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungandengan kurang paparan informasi

2.10 Konsep Keperawatan


Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan sistem atau
metode proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5
tahap, yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan,
dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang
masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap
tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat
bergantung pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
a. Pengumpulan Data
1) Anamnese
14

a. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa
yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan,
asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa
medis.
b. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah
rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan
lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap
tentang rasa nyeri pasien digunakan:
(1) Provoking Incident : apakah ada peristiwa yang menjadi
faktor presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain : seperti apa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan pasien. Apakah terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
(3) Region : radiation, relief : apakah rasa sakit bisa reda,
apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa
sakit itu terjadi.
(4) Severity (Scale) of pain : seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan pasien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
(5) Time : berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab
dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana
tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya
penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan
yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu,
dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa
diketahui luka kecelakaan yang lain.
15

d. Riwayat Penyakit Dahulu


Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab
fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan
menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang
dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang
sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sangat beresiko terjadinya osteomyelitis
akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur,
seperti diabetes, osteoporosis yang sering teradi pada beberapa
keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara
genetik.
f. Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi pasien terhadap penyakit yang
diderita dan peran pasien dalam keluarga dan masyarakat serta
respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik
dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
g. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
pada kasus fratur akan timbul ketidaktakutan akan
terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani
penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan
tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan
hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat
menganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsial alkohol
yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah pasien
melakukan olahraga atau tidak.
(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
16

Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi


melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi,
protein, vit C dan lainnya untuk membantu proses
penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi pasien
bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi
yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan
terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor
oredisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia.
Selain itu juga menghambat degenerasi dan mobilitas
pasien.
(3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada
pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga untuk dikaji
frekuensi, konsistensi, warna serta bau feses pada pola
eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji
frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada
kedua pola ini juga dikaji pada kesulitan atau tidak
(4) Pola Tidur atau Istirahat
Semua pasien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan
gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan
kebutuhan tidur pasien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat
tidur.
(5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka
semua bentuk kegiatan pasien menjadi berkurang dan
kebutuhan pasien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal
lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas pasien
terutama pekerjaan pasien. Karena ada beberapa bentuk
17

pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding


pekerjaan lain.
(6) Pola Hubungan dan Peran
Pasien akan kehilangan peran dalam keluarga dan
dalam masyarakat. Karena pasien harus menjalani rawat
inap.
(7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada pasien fraktur yaitu timbul
ketakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal,
dan pandangan terhadap dirinya yang salah.
(8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada pasien fraktur daya rabanya berkurang teruama
pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain
tidak timbul gangguan. Begitu juga pada kognitifnya tidak
mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri
akibat fraktur.
(9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada pasien fraktur yaitu, pasien tidak bisa
melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat
inap dan keterbatasan gerak serta nyeri yang dialami pasien.
Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk
jumlah anak, lama perkawinannya.
(10) Pola Penanggulangan Stress
Pada pasien fraktur timbul rasa cemas tentang
keadaan dirinya, yaitu ketakutan timbul kecacatan pada diri
dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditemouh
pasien bisa tidak efektif.
(11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk pasien fraktur tidak dapat melaksanakan
kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan
18

konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan


keterbatasan gerak pasien.

2) Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status
general) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan
setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total
care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya
memperlibatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan :
(1) Keadaan Umum : baik atau buruknya yang dicatat adalah
tanda-tanda vital seperti :
(a) Kesadaran penderita : apatis, sopor, koma, gelisah,
kompos mentis tergantung pada keadaan pasien.
(b) Kesakitan, keadaan penyakit : akut, kronik, ringan,
sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut
(c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan
baik fungsi maupun bentuk
(2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(a) Sistem integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma
meningkat, bengkak, oedema, dan nyeri tekan
(b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris,
tidak ada penonjoan, tidak ada nyeri kepala.
(c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada
penonjolan, reflek menelan dada.
(d) Wajah
19

Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada


perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi,
simetris, tak oedema.
(e) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjugtiva tidak anemis
(karena tidak terjadi perdarahan).
(f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal.
Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
(g) Hidung
Tidak ada deformitas, tidak ada pernafasan cuping
hidung.
(h) Mulut dan Faring
Tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
(i) Thoraks
Tidak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada
simetris.
(j) Paru
(1) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit pasien yang
berhubungan dengan paru.
(2) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba
sama.
(3) Perkusi
Suara ketok sonor, tidak ada redup suara tambahan
lainnya.
(4) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
20

(k) Jantung
(1) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung
(2) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba
(3) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tidak ada mur-mur
(l) Abdomen
(1) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2) Palpasi
Turgor baik, tidak ada defands muskuler, hepar
tidak teraba.
(3) Perkusi
Suara thympani, tidak ada pantulan gelombang
cairan.
(4) Auskultasi
Peristaltik usus normal kurang lebih 20 kali/menit
(m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tidak ada hernia, tak ada pembesaran limpa, tak ada
kesulitan BAB
b) Keadaan Lokal
Harus diperhitungan keadaan proksimal serta bagian distal
terutama mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada
sistem muskuloskeletal adalah:
(1) Look (Inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain :
(a) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun
buatan seperti bekas operasi).
(b) Cape au lait spot (birth mark)
(c) Fistula
21

(d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau


hyperpigmentasi
(e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-
hal yang tidak biasa (abnormal)
(f) Posisi dan bentuk dari ekstremitas (deformitas)
(g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
(2) Feel (Palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi
penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi
anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang
memberikan informasi dua arah, baik penderita maupun
pemeriksa.
Yang perlu dicatat adalah :
(a) Perubahan suhu sekitar trauma (hangat) dan
kelembaban kulit. Capillary refill time normalnya 3-5
detik.
(b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi
atau oedema terutama disekitar persendian.
(c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak
kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan
yang terdapat dipermukaan atau melekat pada tulang.
Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila
ada benjolan perlu dideskripsikan permukaannya,
konsistensinya. Pergerakan terhadap dasar atau
permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
(3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian
diteruskan dengan menggerakkan ekstremitas dan dicatat
apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan.
Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan
22

sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah


pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam
ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah
gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang
dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
3) Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan radiologi
Sebagai penunjang pemeriksaan yang penting adalah
“pencitraan” mengguanakan sinar rontgen (x-ray). Untuk
mendapatan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang
yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP dan PA dan
lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan
(khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan patologi yang dicari
karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-
ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang
dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan.
Hal yang harus dibaca pada x-ray:
(1) Bayangan jaringan lunak.
(2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi.
(3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
(4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu teknik
khususnya seperti:
(1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi
struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada
kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks
dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain
juga mengalaminya.
(2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang syaraf spinal
dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang
mengalami kerusakan akibat trauma.
23

(3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang


rusak karena ruda paksa.
(4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan
secara trasnversal dari tulang dimana didapatkan suatu
struktur tulang yang rusak.
b) Pemeriksaan Laboratorium
(1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
(2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan
menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk
tulang.
(3) Enzim otot seperti Kreatinin Klinase, Laktat Dehidrogenase
(LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang
meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
c) Pemeriksaan lain-lain
(1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:
didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
(2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama
dengan pemeriksaan diatas tapi lebih diindikasikan bila
terjadi infeksi.
(3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
(4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek
karena trauma yang berlebihan
(5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya
infeksi pada tulang.
(6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

Anda mungkin juga menyukai