Anda di halaman 1dari 10

A.

Definisi

Gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah suatu keadaan patologis sebagai


akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus dengan berbagai gejala yang timbul
akibat keterlibatan esofagus, laring, dan saluran nafas. GERD bisa dibagi menjadi tipe erosif
dan non-erosif. Di Indonesia penyakit ini sering tidak terdiagnosis oleh dokter bila belum
menimbulkan keluhan yang berat, seperti refluks esofagitis.

Refluks gastroesofagus adalah peristiwa masuknya isi lambung ke dalam esofagus


yang terjadi secara intermiten pada setiap orang, terutama setelah makan. Refluks yang
terjadi tanpa menimbulkan gejala dan perubahan histologik mukosa esofagus, disebut refluks
gastroesofagus fisiologik. Bila refluks terjadi berulang-ulang, sehingga timbul gejala dan
komplikasi, disebut refluks gastroesofagus patologik atau penyakit refluks gastroesofagus,
suatu istilah yang meliputi refluks esofagitis dan refluks simtomatis. Pada refluks esofagitis
terjadi perubahan histologik, sedangkan refluks simtomatis menimbulkan gejala tanpa
perubahan histologik dinding esofagus. Manifestasi klinis penyakit refluks gastroesofagus
sangat bervariasi dan gejala yang timbul kadang-kadang sukar dibedakan dengan kelainan
fungsional lain dari traktus gastrointestinal. Penatalaksanaan penyakit refluks gastroesofagus
tergantung dari berat ringannya penyakit dan terdiri dari beberapa tahap / fase.

B. Epidemiologi

Studi di Indonesia menyebutkan bahwa prevalensi GERD meningkat akhir-akhir ini.


Prevalensi GERD di Rumah Sakit Dr. Ciptomangunkusumo meningkat dari 5,7% pada tahun
1997 menjadi 25,18% pada tahun 2002. Studi lain yang menemukan bahwa karakteristik
yang paling banyak dari GERD di Rumah Sakit Dr. Ciptomangunkusumo adalah esofagitis
grade A, pasien wanita, dan rerata usia 48,61 tahun (simpang baku [SB] 8,64 tahun), serta
terdapat korelasi antara obesitas atau obesitas abdomen dan GERD erosif. Sedangkan, data
epidemiologi di Amerika menunjukkan 1 dari 5 orang dewasa memiliki gejala refluks
esofagus berupa heartburn dan atau regurgitasi asam lambung sekali dalam seminggu. Data
tersebut juga menunjukkan bahwa lebih dari 40% di antaranya memiliki gejala–gejala
tersebut sedikitnya sekali dalam sebulan. Sementara di Asia, prevalensi bervariasi antara 3-
5%.

C. Etiologi
Penyakit refluks gastroesofagus disebabkan oleh proses yang multifaktor. Pada orang
dewasa faktor-faktor yang menurunkan tekanan sfingter esofagus bawah sehingga terjadi
refluks gastroesofagus antara lain coklat, obat-obatan (misalnya aspirin), alkohol, rokok,
kehamilan. Faktor anatomi seperti tindakan bedah, obesitas, pengosongan lambung yang
terlambat dapat menyebabkan hipotensi sfingter esofagus bawah sehingga menimbulkan
refluks gastroesofagus. hernia hiatal akan melemahkan katup bawah esofagus dan
meningkatkan risiko refluks gastroesofagus.

Hernia hiatal terjadi ketika bagian atas lambung bergerak ke dalam rongga dada
melalui lubang kecil yang ada di diafragma (hiatus diafragma). Diafragma adalah otot yang
memisahkan rongga perut dengan rongga dada. Banyak orang dengan hernia hiatal tidak
memiliki masalah GERD. Namun, adanya hernia hiatal akan berisiko lebih besar untuk
mengalami pengembalian isi lambung lebih mudah ke esofagus.

Batuk, muntah, tegang, atau tiba-tiba beraktivitas berat dapat menyebabkan peningkatan
tekanan dalam perut mengakibatkan hernia hiatus. Obesitas dan kehamilan juga berkontribusi
terhadap kondisi ini. Banyak orang sehat usia 50 tahunan lebih memiliki hernia hiatus kecil.
Meskipun dianggap sebagai kondisi usia pertengahan, hernia hiatus mempengaruhi orang-
orang dari segala usia. Hernia hiatus biasanya tidak memerlukan pengobatan. Namun,
pengobatan mungkin diperlukan jika hernia adalah dalam bahaya menjadi strangulasi
(terpelintir sehingga memotong suplai darah, disebut hernia paraesophageal) atau dipersulit
oleh GERD parah atau esofagitis (radang kerongkongan). Dokter mungkin melakukan
operasi untuk mengurangi ukuran hernia atau untuk mencegah terjadinya strangulasi.

D. Patofisiologi
Patofisiologi GERD terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara faktor ofensif
dan defensif dari sistem pertahanan esofagus dan bahan refluksat lambung. Yang termasuk
faktor defensif sistem pertahanan esofagus adalah LES, mekanisme bersihan esofagus, dan
epitel esofagus. LES merupakan strukur anatomi berbentuk sudut yang memisahkan esofagus
dengan lambung. Pada keadaan normal, tekanan LES akan menurun saat menelan sehingga
terjadi aliran antegrade dari esofagus ke lambung. Pada GERD, fungsi LES terganggu dan
menyebabkan terjadinya aliran retrograde dari lambung ke esofagus.

Terganggunya fungsi LES pada GERD disebabkan oleh turunnya tekanan LES akibat
penggunaan obat-obatan, makanan, faktor hormonal, atau kelainan struktural. Mekanisme
bersihan esofagus merupakan kemampuan esofagus membersihkan dirinya dari bahan
refluksat lambung; termasuk faktor gravitasi, gaya peristaltik esofagus, bersihan saliva, dan
bikarbonat dalam saliva. Pada GERD, mekanisme bersihan esofagus terganggu sehingga
bahan refluksat lambung akan kontak ke dalam esofagus; makin lama kontak antara bahan
refluksat lambung dan esofagus, maka risiko esofagitis akan makin tinggi. Selain itu, refluks
malam hari pun akan meningkatkan risiko esofagitis lebih besar.

Hal ini karena tidak adanya gaya gravitasi saat berbaring. Mekanisme ketahanan
epitel esofagus terdiri dari membran sel, intercellular junction yang membatasi difusi ion H+
ke dalam jaringan esofagus, aliran darah esofagus yang menyuplai nutrien-oksigen dan
bikarbonat serta mengeluarkan ion H+ dan CO2 , sel esofagus mempunyai kemampuan
mentransport ion H+ dan Cl intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler.

E. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala khas GERD adalah regurgitasi dan hearburn. Regurgitasi merupakan
suatu keadaan refluks yang terjadi sesaat setelah makan, ditandai rasa asam dan pahit di lidah.
Heartburn adalah suatu rasa terbakar di daerah epigastrium yang dapat disertai nyeri dan
pedih. Dalam bahasa awam, heartburn sering dikenal dengan istilah rasa panas di ulu hati
yang terasa hingga ke daerah dada. Kedua gejala ini umumnya dirasakan saat setelah makan
atau saat berbaringGejala yang timbul kadang-kadang sukar dibedakan dengan kelainan
fungsional lain dari traktus gastrointestinal, antara lain:

Gejala lain GERD adalah kembung, mual, cepat kenyang, bersendawa, hipersalivasi,
disfagia hingga odinofagia. Disfagia umumnya akibat striktur atau keganasan Barrett’s
esophagus. Sedangkan odinofagia atau rasa sakit saat menelan umumnya akibat ulserasi berat
atau pada kasus infeksi. Nyeri dada non-kardiak, batuk kronik, asma, dan laringitis
merupakan gejala ekstraesofageal penderita GERD.

DIAGNOSIS

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosa GERD yaitu:

 Endoskopi

Dewasa ini endoskopi merupakan pemeriksaan pertama yang dipilih oleh evaluasi pasien
dengan dugaan PRGE.Namun harus diingat bahwa PRGE tidak selalu disertai kerusakan mukosa yang
dapat dilihat secara mikroskopik dan dalam keadaan ini merupakan biopsi.Endoskopi menetapkan
tempat asal perdarahan, striktur, dan berguna pula untuk pengobatan (dilatasi endoskopi).

Gambar 1: Salutran cerna bagian atas


Klasifikasi Los Angeles

Derajat kerusakan Gambaran endoskopi


A Erosi kecil-kecil pada mukosa esophagus dengan diameter < 5 mm
B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter > 5 mm tanpa
saling berhubungan
C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh
lumen
D Lesi mukosa esophagus yang bersifat sirkumferensial
(mengelilingi seluruh lumen esophagus)

 Radiologi

Pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus
esofagitis ringan.Di samping itu hanya sekitar 25 % pasien PRGE menunjukkan refluks barium secara
spontan pada pemeriksaan fluoroskopi. Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiologi dapat berupa
penebalan dinding dan lipatan mukosa, tukak, atau penyempitan lumen.

 Tes Provokatif
a. Tes Perfusi Asam (Bernstein) untuk mengevaluasi kepekaan mukosa esofagus terhadap asam.
Pemeriksaan ini dengan menggunakan HCL 0,1 % yang dialirkan ke esofagus. Tes Bernstein
yang negatif tidak memiliki arti diagnostik dan tidak bisa menyingkirkan nyeri asal esofagus.
Kepekaan tes perkusi asam untuk nyeri dada asal esofagus menurut kepustakaan berkisar
antara 80-90%.
b. Tes Edrofonium
Tes farmakologis ini menggunakan obat endrofonium yang disuntikan intravena. Dengan
dosis 80 µg/kg berat badan untuk menentukan adanya komponen nyeri motorik yang dapat
dilihat dari rekaman gerak peristaltik esofagus secara manometrik untuk memastikan nyeri
dada asal esofagus.
 Pengukuran pH dan tekanan esofagus
Pengukuran pH pada esofagus bagian bawah dapat memastikan ada tidaknya RGE, pH
dibawah 4 pada jarak 5 cm diatas SEB dianggap diagnostik untuk RGE. Cara lain untuk memastikan
hubungan nyeri dada dengan RGE adalah menggunakan alat yang mencatat secara terus menerus
selama 24 jam pH intra esofagus dan tekanan manometrik esofagus. Selama rekaman pasien dapat
memeberi tanda serangan dada yang dialaminya, sehingga dapat dilihat hubungan antara serangan dan
pH esofagus/gangguan motorik esofagus.Dewasa ini tes tersebut dianggap sebagai gold standar untuk
memastikan adanya PRGE. Namun tidak semua bayi yang muntah atau regurgitasi diindikasikan
untuk melakukan pemeriksaan ini.1
 Tuttle test acid reflux
Tes ini menggunakan asam hidrokhloric (0.1N per 1.7m 2) atau dengan jus apel yang tidak
dimaniskan (300ml per 1.7m2) yang ditelan oleh pasien lalu pH dimonitor selama 30 menit,
penurunan pH dibawah 4 merupakan kasus abnormal. 1
 Tes Gastro-Esophageal Scintigraphy

Tes ini menggunakan bahan radio isotop untuk penilaian pengosongan esofagus dan sifatnya
non invasive.
 Pemeriksaaan Esofagogram

Pemeriksaan ini dapat menemukan kelainan berupa penebalan lipatan mukosa esofagus, erosi,
dan striktur.

 Manometri esofagus

Tes ini untuk menilai pengobatan sebelum dan sesudah pemberian terapi pada pasien
NERD.Pemeriksaan ini juga untuk menilai gangguan peristaltik/motilitas esofagus.

 Histopatologi

Pemeriksaan untuk menilai adanya metaplasia, displasia atau keganasan.Tetapi bukan untuk
memastikan NERD.

TATALAKSANA

Pengobatan penderita GERD terdiri dari:

a. Tahap I

Bertujuan untuk mengurangi refluks, menetralisasi bahan refluks, memperbaiki


barrier anti refluks dan mempercepat proses pembersihan esofagus dengan cara :

1. Posisi kepala atau ranjang ditinggikan (6-8 inci)

2. Diet dengan menghindari makanan tertentu seperti makanan berlemak, berbumbu,


asam, coklat, alkohol, dll.

3. Menurunkan berat badan bagi penderita yang gemuk


4. Jangan makan terlalu kenyang

5. Jangan segera tidur setelah makan dan menghindari makan malam terlambat

6. Jangan merokok dan menghindari obat-obat yang dapat menurunkan SEB seperti
kafein, aspirin, teofilin, dll.

b. Tahap II
Menggunakan obat-obatan, seperti :

1. Obat prokinetik yang bersifat mempercepat peristaltik dan meninggikan tekanan SEB,
misalnya Metoklopramid : 0,1 mg/kgBB 2x sehari sebelum makan dan sebelum tidur dan
Betanekol : 0,1 mg/kgBB 2x sehari sebelum makan dan sebelum tidur.

2. Obat anti-sekretorik untuk mengurangi keasaman lambung dan menurunkan jumlah


sekresi asam lambung, umumnya menggunakan antagonis reseptor H2 seperti Ranitidin :
2 mg/kgBB 2x/hari, Famotidin : 20 mg 2x/hari atau 40 mg sebelum tidur (dewasa), dan
jenis penghambat pompa ion hidrogen sepertiOmeprazole: 20 mg 1-2x/hari untuk dewasa
dan 0,7 mg/kgBB/hari untuk anak.

3. Obat pelindung mukosa seperti Sukralfat: 0,5-1 g/dosis 2x sehari, diberikansebagai


campuran dalam 5-15 ml air.

4. Antasida

Dosis 0,5-1 mg/kgBB 1-2 jam setelah makan atau sebelum tidur, untuk menurun-kan
refluks asam lambung ke esofagus.

c. Tahap III

Pembedahan anti refluks pada kasus-kasus tertentu dengan indikasi antara lain
mal-nutrisi berat, GERD persisten, dll. Operasi yang tersering dilakukan yaitu fundo-
plikasi Nissen, Hill dan Belsey.

Tujuan pengobatan GERD adalah untuk mengatasi gejala, memperbaiki kerusakan


mukosa, mencegah kekambuhan, dan mencegah komplikasi. Berdasarkan Guidelines for
the Diagnosis and Management of Gastroesophageal Reflux Disease tahun 1995 dan
revisi tahun 2013, terapi GERD dapat dilakukan dengan:

1. Treatment Guideline I: Lifestyle Modification


2. Treatment Guideline II: Patient Directed Therapy
3. Treatment Guideline III: Acid Suppression
4. Treatment Guideline IV: Promotility Therapy
5. Treatment Guideline V: Maintenance Therapy
6. Treatment Guideline VI: Surgery Therapy
7. Treatment Guideline VII: Refractory

GERD Secara garis besar, prinsip terapi GERD di pusat pelayanan kesehatan
primer berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and Management of
Gastroesophageal Reflux Disease adalah dengan melakukan modifikasi gaya hidup
dan terapi medikamentosa GERD. Modifikasi gaya hidup, merupakan pengaturan
pola hidup yang dapat dilakukan dengan:

1. Menurunkan berat badan bila penderita obesitas atau menjaga berat badan
sesuai dengan IMT ideal
2. Meninggikan kepala ± 15-20 cm/ menjaga kepala agar tetap elevasi saat
posisi berbaring
3. Makan malam paling lambat 2 – 3 jam sebelum tidur
4. Menghindari makanan yang dapat merangsang GERD seperti cokelat,
minuman mengandung kafein, alkohol, dan makanan berlemak - asam -
pedas

Terapi medikamentosa merupakan terapi menggunakan obat-obatan. PPI


merupakan salah satu obat untuk terapi GERD yang memiliki keefektifan serupa
dengan terapi pembedahan. Jika dibandingkan dengan obat lain, PPI terbukti paling
efektif mengatasi gejala serta menyembuhkan lesi esofagitis Yang termasuk obat-obat
golongan PPI adalah omeprazole 20 mg, pantoprazole 40 mg, lansoprazole 30 mg,
esomeprazole 40 mg, dan rabeprazole 20 mg. PPI dosis tunggal umumnya diberikan
pada pagi hari sebelum makan pagi. Sedangkan dosis ganda diberikan pagi hari
sebelum makan pagi dan malam hari sebelum makan malam. Menurut Konsensus
Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal di Indonesia tahun 2013,
terapi GERD dilakukan pada pasien terduga GERD yang mendapat skor GERD-Q > 8
dan tanpa tanda alarm.

Penggunaan PPI sebagai terapi inisial GERD menurut Guidelines for the
Diagnosis and Management of Gastroesophageal Reflux Disease dan Konsensus
Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal di Indonesia adalah dosis
tunggal selama 8 minggu. Apabila gejala tidak membaik setelah terapi inisial selama
8 minggu atau gejala terasa mengganggu di malam hari, terapi dapat dilanjutkan
dengan dosis ganda selama 4 – 8 minggu. Bila penderita mengalami kekambuhan,
terapi inisial dapat dimulai kembali dan dilanjutkan dengan terapi maintenance.

Terapi maintenance merupakan terapi dosis tunggal selama 5 – 14 hari untuk


penderita yang memiliki gejala sisa GERD. Selain PPI, obat lain dalam pengobatan
GERD adalah antagonis reseptor H2, antasida, dan prokinetik (antagonis dopamin dan
antagonis reseptor serotonin). Antagonis reseptor H2 dan antasida digunakan untuk
mengatasi gejala refluks yang ringan dan untuk terapi maintenance dikombinasi
dengan PPI. Yang termasuk ke dalam antagonis reseptor H2 adalah simetidin (1 x 800
mg atau 2 x 400 mg), ranitidin (2 x 150 mg), farmotidin (2 x 20 mg), dan nizatidin (2
x 150 mg). Prokinetik merupakan golongan obat yang berfungsi mempercepat proses
pengosongan perut, sehingga mengurangi kesempatan asam lambung untuk naik ke
esofagus. Obat golongan prokinetik termasuk domperidon (3 x 10 mg) dan
metoklopramid (3 x 10 mg).

KOMPLIKASI

Komplikasi dari GERD terdiri atas komplikasi esofagus dan ekstra esofagus. Komplikasi di
esofagus yang dapat ditemukan berupa perdarahan, striktur, perforasi, Barret’s esophagus
(BE), dan kanker esofagus. Sedangkan, komplikasi di luar esofagus meliputi sakit
tenggorokan, tonsilofaringitis, sinusitis, laringitis, karies dentis, pneumonia, dan asma
bronkial.

SUMBER : Yusuf, Ismail. 2009. Diagnosis Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) Secara
Klinis. PPDS Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM Vol. 22, No.3, Edition September -
November 2009.

Anda mungkin juga menyukai