Anda di halaman 1dari 13

Makalah Teknologi Reproduksi Ternak

“Transfer Embrio dan Penerapannya di Indonesia”

Dosen : drh. Anak Agung Putu Joni W., M. Si.

Disusun oleh:

Andi Nurman Syah


2D
05.03.19.1838
.

PRODI PENYULUHAN PETERNAKAN


DAN KESEJAHTERAAN HEWAN
POLITEKNIK PEMBANGUNAN PERTANIAN (POLBANGTAN) GOWA
BONE
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya kepada saya untuk menyelesaikan tugas makalah Mata Kuliah
Tekhnologi Reproduksi Ternak. Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas
mata kuliah Tekhnologi Reproduksi Ternak. Saya berharap makalah ini bisa
memberi banyak manfaat untuk setiap orang yang membacanya dan menambah
wawasan serta pengetahuan bagi kita semua. Tak lupa pula saya ucapkan banyak
terima kasih untuk setiap orang yang sudah mendukung serta membantu Saya
sehingga makalah ini dapat selesai tepat pada. Saya menyadari bahwa makalah
yang Saya buat ini masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu saya akan
menerima dengan senang hati setiap kritik dan saran yang membangun. Mohon
maaf jika masih banyak kekurangan dalam penulisan maupun isi dari makalah
saya.

Bone, 31 Januari 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ii


DAFTAR ISI ..........................................................................................................iii
BAB I ...................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN .................................................................................................. 4
A. Latar Belakang ..............................................................................................4
B. Rumusan Masalah .......................................................................................4
C. Tujuan ...........................................................................................................4
BAB II ..................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN ...................................................................................................... 5
A. Prinsip dan Proses ET..................................................................................5
1. Pemilihan Sapi Indukan Donor ............................................................ 5
2. Superovulasi Sapi Donor ...................................................................... 5
3. Melakukan Inseminasi Sapi Yang Telah Di Ovulasi ........................ 6
4. Flushing taau Pembilasan .................................................................... 8
5. Evaluasi Embrio ..................................................................................... 9
6. Seleksi dan Persiapan Betina Penerima............................................ 9
7. Pelaksanaan ET ................................................................................... 10
B. Penerapan ET di Indonesia .......................................................................10
C. Pernasalahan dan Solusi Penerapan ET di Indonesia .............................11
BAB III .................................................................................................................. 12
PENUTUP ............................................................................................................. 12
A. Kesimpulan .................................................................................................12
B. Saran ...........................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 13

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam era globalisasi industri peternakan yang sedang berkembang saat


ini, telah diterapkan berbagai macam metode peningkatan potensi ternak
melalui perbaikan mutu dan kapasitas genetiknya. Salah satu metode
bioteknologi reproduksi tingkat sel yang sudah terbukti dapat dipakai untuk
mempersingkat waktu pencapaian perbaikan tingkat mutu genetik diharapkan
adalah transfer embrio (TE). Keuntungan penggunaan metode transfer embrio
adalah dapat ditingkatkannya kapasitas reproduksi dari suatu ternak. Transfer
embrio (ET) merupakan salah satu langkah dalam proses mengeluarkan satu
atau lebih embrio dari suatu saluran reproduksi betina donor atau embrio yang
diproduksi dalam laboratorium melalui suatu metode tertentu seperti fertilisasi
in vitro maupun cloning sel dan memindahkannya ke satu atau lebih betina
penerima. Secara normal sel telur betina hanya keluar pada kondisi birahi saja
atau ovulasi dan itupun hanya satu biji. Dengan ET ini menciptakan kloning
bukanlah sesuatu hal yang mustahil lagi dan dengan ET sendiri diharapkan
dapat memperetik ternak maupun hewan yang melakukannya. ET sudah
masuk ke Indonesia sejak 1980-an namun tidak terlalu terkenal karena
dianggap menyalahi aturan atau kuasa sang pencipta. Bagaimanakah
perkembangan dari ET di Indonesia? Lebih lengkapnya akan dibahas dalam
makalah ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka yang menjadi masalah dalam


makalah ini yaitu:
1. Apa saja yang menjadi prinsip dan proses ET?
2. Bagaimanakah penerapan ET di Indonesia?
3. Bagaimanakah permasalahan dan solusi dalam penerapan ET di
Indonesia?

C. Tujuan

Berdasarkan rumusan madalah diatas maka yang menjadi tujuan dalam


makalah ini yaitu
1. Mengetahui apa yang menjadi prinsip dan proses ET
2. Mengetahui bagaimana penerapan ET di Indonesia
3. Mengetahui permasalahan dan solusi dalam penerapan ET di Indonesia
4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Prinsip dan Proses ET

Transfer embrio atau embryo transfer merupakan suatu rangkaian


prosedur kerja biologis yang berkesinambungan dan juga bertahap kronologis
teratur dengan mengaplikasikan metode-metode reproduksi. Transfer embrio
itu sendiri terdirii dari 2 rangkaian yang dimana seluruh kegiatan yang
dilakukan sebelum atau sampai panen embrio (embryo recovery, lushing) dan
transfer embrio disebut kegiatan rangkaian primer. Dan prosedur kerja
selanjutnya yang merupakan kegiatan pascapanen disebut kegiatan
rangkaian sekunder. Kegiatan primer ini harus dilakukan berbeda dengan
kegiatan sekunder yang sifatnya optional yang tergantung situasi tuntutan
kebutuhan tindakan yang diperlukan. Jika dilihat transfer embrio memiliki
prinsip sebagai berikut:
a. Pembuahan dimana sperma jantan diambil dan sel telur betina juga di
ambi
b. Pembuahan dalam ET bisa dilakukan dengan cara alami atau dapat juga
dibantu dengan teknologi inseminasi
c. Pertemuan atau terjadinya pembuahan bisa dilakukan pula secara in
vitro di lab yang akan menghasilkan zigot
d. Zigot nantinya akan berkembang menjadi embrio
e. Setelah dipastikan akan dihasilkan embrio lebih dari yang seharusnya
baru nantinya akan dimasukkan ke resipien.
Proses pelaksanaan ET terbagi menjadi 7 bagian diantaranya:

1. Pemilihan Sapi Indukan Donor

Beberapa kriteria indukan donor yang layak ialah:


a. Sapi memiliki saluran reproduksi normal dan sehat serta riwayat
postpartum (siklus estrus teratur dimulai dari usia muda)
b. Sapi potong atau perah harus berusia minimal 60hari pasca partum
sebelum prosedur pemindahan dimuai
c. Riwayat tidak boleh terdiri dari dua perkembangbiakan perkonsepsi
d. Anak sapi sebelumnya dengan interval 365 hari
e. Tidak ada kesulitan nifas atau kelainan reproduksi
f. Tidak ada cacat genetic konformasi atau terdeteksi.

2. Superovulasi Sapi Donor


Superovulasi merupakan teknologi di bidang peternakan yang menjadi

5
kunci keberhasilan transfer embrio. Mengapa demikian? Itu dikarenakan
superovulasi adalah sumber dari embrio yang nantinya akan digunakan.
Superovulasi ini sendiri merupakan rangkaian dari TE yang bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan produksi induk betina.
superovulasi pada ternak adalah proses induksi hormon eksogen
kedalam tubuh ternak untuk meningkatkan jumlah oosit yang dilepaskan
mencapai dua belas (12) oosit dengan tujuan untuk meningkatkan
produktivitas dari ternak yang dipelihara (sapi, kambing, kuda, kerbau dan
sebagainya). Aplikasi atau penerapan merupakan tahapan yang sangat
menentukan keberhasilan superovulasi. Sebelum kita bisa menerapkan
teknologi superovulasi pada ternak tentunya kita harus mengetahui syarat-
syarat ternak yang bisa dijadikan sebagai donor dalam proses ini. Dalam
aplikasi superovulasi pada ternak kita akan dihadapkan pada tiga komponen
utama keberhasilan superovulasi .
dalam sebuah buku yang saya baca mengatakan pemberian hormon
secara eksogen seperti follicle stimulating hormone (FSH) dan pregnant mare
serum gonadotrophin (PMSG) baik intramuskuler, intrauterin maupun
intraovari (Price at al., 1999; Adriani et al., 2003; Duggavathi et al., 2005;
Gonzalez-Bulnes et al., 2004 ; Adriani et al., 2009). Semakin dekat titik
Pemberian hormon dengan sel target maka semakin sedikit konsentrasi
hormon yang diberikan (Adriani et al., 2009). Teknis pelaksanaan intraovari
dengan cara spuit yang berisi cairan hormon yang sudah dilengkapi dengan
jarum ukuran 22G diletakkan dalam selongsong logam dengan panjang 30 cm
dan diameter 1,8 cm. Sebuah batang pengendali jarum ujungnya diletakkan
pada pangkal spuit dan ujung lainnya mencuat sampai keluar selongsong.
Selongsong logam untuk memasukkan hormon dimasukkan ke dalam vagina
sampai dekat pangkal serviks, ovarium ditarik dengan tangan yang masuk
melalui rektum, ovarium didekatkan pada dinding vagina yang dekat dengan
pangkal serviks. Jarum ditusukkan menembus dinding vagina sampai ujung
jarum masuk ke dalam bagian medula dari ovarium (Adriani et al., 2009).
Keberhasilan superovulasi ini tergantung pada sapi donor yang digunakan,
hormone apa yang disuntikkan serta skill dari orang yang melakukan
superovulasi itu sendiri karena apabila sel telur atau ovulasi tidak tersedia
dalam jumlah banyak maka superovulasi dinyatakan tidak berhasil. Untuk
meningkatkan jumlah sel telur dan embrio maka diperlukan perlakukan induksi
superovulasi dengan hormone PMSG dan FSH yang dapat menghasilkan sel
telur dan embrio dalam jumlah yang banyak.

3. Melakukan Inseminasi Sapi Yang Telah Di Ovulasi


Pada dasarnya inseminasi pada sapi yang telah diovulasi tidak jauh beda
dengan inseminasi pada umunya, bedanya pada inseminasi sapi yang telah di

6
ovulasi perlu mendapatkan perhatian khusus Dalam pelaksanaan akhir
superovulasi, donor harus diamati tanda-tanda berahinya secara teliti. Dalam
suatu buku mengatakan ternak sapi yang disuperovulasi kadang-kadang tidak
memperlihatkan gejala berahi sejelas sapi berahi yang tidak disuperovulasi,
sehingga alat bantu deteksi estrus sangat bermanfaat. Sekitar 10% dari donor
tidak pernah memperlihatkan gejala-gejala berahi. Donor-donor yang tidak
memperlihatkan gejala berahi sebaiknya tidak dikawinkan.
Dalam buku itu juga mengatakan Waktu donor memperlihatkan gejala
berahi yang pertama atau awal berahi (standing estrus) adalah merupakan
data penunjang (point of reference) untuk menentukan waktu yang tepat untuk
IB. Ovulasi terjadi selama periode waktu tertentu, transport sperma dan ova
berubah pada donor yang disuperovulasi, karenanya disarankan untuk
mengawinkan atau menginseminasi lebih dari satu kali dan gunakan semen
dengan konsentrasi yang lebih tinggi dengan kualitas yang lebih baik dari
biasanya. Penggunaan semen cair yang baru ditampung (fresh semen)
adalah lebih baik dari semen beku, karena karena viabilitasnya lebih lama
dalam saluran reproduksi hewan betina. Untuk semen cair gunakan dengan
konsentrasi 50 x 106 motil spermatozoa per ml. Inseminasi dengan semen
cair ini dilakukan dua kali, pertama 12 jam dari awal berahi, kedua 24 jam dari
awal berahi, masing-masing satu dosis dengan konsentrasi 50 x 106 motil
spermatozoa per ml. Jika semen beku digunakan untuk IB, dapat dari ampul
maupun jerami plastik (straw). Biasanya semen beku memiliki konsentrasi
awal sebelum pembekuan paling sedikit 20 juta motil spermatozoa per dosis.
Apapun kemasan semen beku diharapkan dosis awal sebelum pembekuan
adalah 20 juta spermatozoa motil (tetapi ada juga yang memberi 25-30 juta
spermatozoa motil). Waktu inseminasi pertama adalah Transfer Embrio pada
Ternak Sapi 12 jam setelah awal berahi, IB kedua 12 jam kemudian masing-
masing satu dosis semen beku. Semen beku dalam kemasan jerami plastik
sistem Perancis (0,5 ml dan 0,25 ml), Kontinental (0,3 ml) maupun kemasan
ampul dicairkan dengan air hangat 35 oC (95 oF) selama 30 detik dan
secepat mungkin diinseminasikan. Konsentrasi setelah pencairan minimal
40% (ada juga yang membakukan 50%) spermatozoa harus motil. Pola
hormonal yang berubah akan menciptakan saluran reproduksi donor yang
disuperovulasi memiliki lingkungan yang kurang menguntungkan (more hostile
enviroment) dari pada ternak sapi yang tidak disuperovulasi, karenanya
penggunaan semen harus memiliki kualitas terbaik. Penggunaan semen
dengan kualitas buruk atau sedang sering menghasilkan ova yang tidak
terfertilisasi atau embrio yang berdegenerasi. Inseminator harus
menginseminasi dengan cara yang terbaik, sesteril mungkin karena stress
dari superovulasi menyebabkan saluran reproduksi bagian atas menjadi
sangat sensitif. Manipulasi yang kasar dan berlebihan dapat menyebabkan
7
kegagalan imbriae mengambil seluruh ova. Infeksi yang ditimbulkan pada
waktu inseminasi dapat menurunkan angka fertilisasi dan angka pemanenan.
Lagipula pada waktu inseminasi pertama, mungkin masih banyak folikel yang
belum ovulasi, karenanya saluran reproduksi jangan terlalu banyak
dimanipulasi untuk mencegah folikel ruptur. Selain itu, jika terjadi banyak
ovulasi dan ovaria membesar, terjadi perdarahan yang lebih dari pada normal
dan ukuran relatif dari organ berubah. Hal ini akan meningkatkan
kemungkinan terjadinya perlekatan organ (adhesions) sebagai akibat
seringnya dilakukan inseminasi.

4. Flushing taau Pembilasan

Flushing dilakukan pada hari keenam sampai kedelapan setelah IB yang


pertama. Pemanenan embrio dilakukan dengan langkah-langkah sebagai
berikut :
a. Penyiapan media flushing (Larutan fisiologis + Calf serum 1% + Antibiotik
0,1%) dan preparat anastesi lokal.
b. Penyiapan peralatan : Folley Catheter, stilet, Cervic expander, selang
silikon, botol penampung media, jarum suntik 18 G, spuit 50cc, 20cc,
10cc, 5cc, gunting, plastik sarung tangan plastik, intra uterin injector/gun
spul.
c. Fiksasi ternak pada kandang jepit kemudian keluarkan feses dari rektum
dan dilakukan pengecek ovarium untuk mengetahui jumlah corpus
luteum (CL) terhadap sapi donor yang telah diprogam superstimulasi/
superovulasi tersebut.
d. Anastesi epidural dilakukan dengan menggunakan preparat anastesi
lokal, pemasukan preparat anastesi dilakukan diantara tulang
sakraltulang ekor I atau diantara tulang ekor I-II. Setelah anastesi
bereaksi dilakukan fiksasi terhadap ekor ternak.
e. Pembersihan sekitar vulva dengan air bersih, kemudian disinfeksi
dengan kapas alkohol dan dikeringkan dengan kertas tissue.
f. Memanipulasi servik dengan menggunakan servik expander untuk
mempermudah pembukaan servik, kemudian dimasukkan Folley catheter
dan diposisikan dalam sepertiga apex depan kornua uteri kiri/kanan dan
balon catheter diisi udara sesuai dengan besar diameter lumen uterus
(10-15 ml) dengan menggunakan spuit 20cc untuk fiksasi folley catheter.
g. Selanjutnya stilet dikeluarkan, kemudian folley catheter disambung
dengan perangkat alat flushing yang dihubungkan dengan media flushing
dan wadah hasil flushing.
h. Flushing dilakukan dengan cara membilas kornua uteri secara
berulangulang menggunakan media flushing dengan volume setiap
pembilasan antara 10-60 ml (sesuai kapasitas kornua uteri), hal tersebut
8
dilakukan sampai media flushing habis, kegiatan tersebut dilakukan pada
kornua uteri kanan dan kiri secara bergantian. Hasil flushing ditampung
dalam wadah hasil flushing, diusahakan volume media flushing yang
masuk ke dalam kornua sama dengan volume hasil flushing.
i. Setelah selesai flushing, kemudian uterus di-spool dengan
antibiotik/antiseptik sebanyak 10-50 ml dengan menggunakan intrauterin
injektor (gun spool) dan sapi donor diinjeksi dengan preparat
Prostaglandin F2α (PGF2α) sebanyak 1 (satu) dosis dengan tujuan
meluruhkan CL supaya sapi donor bersiklus kembali.

5. Evaluasi Embrio

Cara melakukan evaluasi embrio ialah dengan memperhatikan beberapa


hal betikut ini
a. Keteraturan bentuk embrio
b. Kekompakan blastomer atau sel yang membelah dalam batas embrio
c. Variasi ukuran sel
d. Warna dan tekstur sitoplasma atau cairan dinding sel
e. Diameter keseluruhan embrio
f. Adanya sel yang diekstrusi
g. Keteraturan zona pelusida atau lapisan pelindung protein dan
polisakarida di sekitar embrio bersel tunggal
h. Adanya vesikel atau struktur kecil seperti gelembung di sitoplasma
Dalam evaluasi embrio, embrio dibagi menjadi 4 grade mulai dari grade 1
yang memiliki kualitas sangat baik atau baik, grade 2 yang memiliki kualitas
cukup baik, grade 3 yang memiliki kualitas buruk sampai grade 4 yang
embrionya sudah mati atau degenerasi

6. Seleksi dan Persiapan Betina Penerima

Seleksi dan persiapan betina penerima memiliki beberapa kriteria


diantaranya:
a. Sapi yang reproduktif sehat, yang menunjukkan kemudahan beranak
dan yang memiliki kemampuan pemerahan dan pengasuhan yang baik
merupakan prospek penerima
b. Berada pada bidang nutrisi yang tepat (skor kondisi tubuh 3 untuksapi
potong dan skor kondisi tubuh perah 3 hingga 4). Sapi ini juga harus
mengikuti program kesehatan kawanan yang sehat.
c. Kondisi di saluran reproduksi penerima harus sangat mirip dengan yang
ada di donor
d. Sinkronisasi siklus estrus antara donor dan penerima, secara optimal
dalam satu hari satu sama lain. Sinkronisasi penerima dapat dilakukan

9
dengan cara dan waktu kerja sama dengan sapi donor.

7. Pelaksanaan ET

Pelaksanaan ET:
a. Penyimpanan embrio dalam stral dilakukan secara makroskopis
b. Palpasi atau pemeriksaan pada ovarium penerima (resipien)
c. Meletakkan straw embrio pada gun ET
d. Masukkan secara hati-hati gun kedalam serviks resipien, lewati serviks
e. Arahkan ker cornea uterus yang CL siap
f. Lepaskan embryo secara perlahan dan hati-hati

B. Penerapan ET di Indonesia

Iman Supriatna dalam bukunya menjelaskan bahwa sebelum krisis


moneter, Indonesia telah mengimpor daging dan ternak potong (sapi potong
hidup) dari negara-negara tetangga. Pada saat krisis moneter, meningkatnya
nilai tukar dolar untuk pembayaran sapi impor menyebabkan pengalihan
penyediaan sapi bakalan dari dalam negeri. Eksploitasi ternak potong dalam
negeri menjadi salah satu jalan untuk memenuhi kebutuhan pangan hewani
nasional. Hal ini ternyata berdampak secara langsung kepada produksi ternak
nasional dengan menurunnya kualitas ternak potong (low proile) karena
secara umum terjadi seleksi negatif dalam kegiatan penyediaan dan
perdagangan bakalan sapi potong (Supriatna et al. 2005). Di beberapa daerah
peternakan sapi perah rakyat, sudah terlihat ada penurunan kualitas sapi
perah (Supriatna et al. 2007, Noor et al. 2008). Demikian pula pada ternak
kerbau yang dipelihara rakyat di daerah sudah tampak banyaknya kerbau
albino dan kerbau dengan tanduk mengarah kebawah yang merupakan
indikasi adanya dampak inbreeding yang negatif (Sianturi 2012). Selain itu
menurut hasil pendataan populasi sapi perah, sapi potong dan kerbau tahun
2011 (PSPK 2011) untuk populasi kerbau tercatat pada tahun 2003 sebanyak
1,4 juta ekor sedangkan pada tahun 2011 sebanyak 1,3 juta ekor sehingga
ratarata pertumbuhannya -0,58 persen atau berkurang rata rata sekitar 7,8
ribu. Gambaran ini diperkuat dengan adanya data mengenai konsumsi daging
sapi dan kerbau per kapita penduduk setiap minggu pada tahun 2007 sekitar
8 mg. Konsumsi ini menurun sampai 6 mg pada tahun 2009 (BPS 2011).
Salah satu upaya menghadapi dan menanggulangi persoalan tersebut di atas
diperlukan penggunaan teknologi tepat guna diantaranya inseminasi buatan
dan transfer embrio.
Transfer embrio baik pada sapi dan domba sudah dapat dijalankan oleh
beberapa perguruan tinggi seperti Institut Pertanian Bogor, Universitas Gajah
Mada, Universitas Brawijaya, Universitas Airlangga, lembaga-lembaga
10
penelitian seperti Balai Penelitian Ternak, dan LIPI, perusahaan peternakan
swasta, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan memiliki Balai
Embrio Ternak (BET) Cipelang, yang merupakan balai produsen embrio
ternak (sapi). Balai Embrio Ternak (BET) mulai operasional sejak tahun 1994.
Pelaksanaan TE sebenarnya sudah diperkenalkan di Indonesia sejak awal
dasawarsa 1980-an, dengan keberhasilan yang variatif dan rendah, rataan
panen 4 embrio per program superovulasi, dengan angka kebuntingan 30-
40% di peternakan rakyat dan sekitar 50% pada peternakan swasta bermodal
kuat. Dari perhitungan harga untuk pelaksanaan TE yang ada saat ini, harga
embrio segar laik transfer Rp 0,55 juta, embrio beku Rp 0,6 juta per embrio.
Harga 1 ekor pedet TE yang baru lahir dari embrio segar Rp 1,5 juta dan dari
embrio beku Rp 2,4 juta. Harga pedet yang baru lahir hasil TE dari embrio
beku sekitar 2 kali lebih tinggi dari hasil IB.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa di masa sekarang ini transfer embrio
sudah mulai dilirik oleh berbagai pihak, hal ini dibuktikan dengan sudah
banyaknya pihak yang mencoba dan mengaplikasikan transfer embrio itu
sendiri dan menghasilkan anakan ternak yang memiliki mutu genetic yang
baik. Contohnya ada pada Balai Embrio Ternak Cipelang yang telah aktif dan
ikut serta dalam melakukan transfer embrio.

C. Pernasalahan dan Solusi Penerapan ET di Indonesia

Kendala umum pelaksanaan TE adalah hampir seluruh peralatan, obat-


obatan, hormon bahkan air yang cocok untuk dipergunakan dalam pembuatan
medium lushing masih sangat tergantung dari pasokan luar negeri, harganya
luktuasi tergantung kurs dolar dan kadangkala peralatan dan obat-obatan
yang diimpor rusak atau hilang di pelabuhan. Program TE ini cocok diterapkan
pada perusahaan peternakan besar yang kuat modal atau untuk balai-balai
pembibitan sedangkan untuk peternakan rakyat masih harus dipertimbangkan.
Dari hasil analisa pelaksanaan program TE di Indonesia, dijumpai kesulitan
dalam penyediaan resipien yang laik transfer. Selain itu teknologi yang
digunakan untuk melakukan transfer embrio terbilang rumit dan yang
menggunakannya pun harus ahli sehingga dibutuhkan kemahiran dalam
menjalankan teknologi tersebut. Menurut saya pribadi salah satu solusi dari
permasalahan diatas ialah dengan memperbanyak pelatihan terhadap
generasi muda mengenai tata cara melakukan transfer embrio mulai dari awal
sampai akhir. Untuk masalah alat sendiri di zaman sekarang ini tentunya tidak
menutup kemungkinan aka nada alat yang akan dihasilkan dari dalam negeri
sehingga dapat mengurangi biatya pembelian alat.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Transfer embrio atau embryo transfer merupakan suatu rangkaian


prosedur kerja biologis yang berkesinambungan dan juga bertahap
kronologis teratur dengan mengaplikasikan metode-metode reproduksi.
Transfer embrio itu sendiri terdirii dari 2 rangkaian yang dimana seluruh
kegiatan yang dilakukan sebelum atau sampai panen embrio (embryo
recovery, lushing) dan transfer embrio disebut kegiatan rangkaian primer.
Dan prosedur kerja selanjutnya yang merupakan kegiatan pascapanen
disebut kegiatan rangkaian sekunder.
2. Transfer embrio sudah mulai dilirik oleh berbagai pihak, hal ini dibuktikan
dengan sudah banyaknya pihak yang mencoba dan mengaplikasikan
transfer embrio itu sendiri dan menghasilkan anakan ternak yang
memiliki mutu genetic yang baik.
3. Permasalahan penerapan ET jatuh pada peralatan yang mahal dan sulit
digunakan.

B. Saran

Ketika melakukan ET sebaiknya memperhatikan bagian terpenting dari


ET itu sendiri yaitu superovulasi, proses pemilihan betina, donor serta
resipien.

12
DAFTAR PUSTAKA

Afriani, T. 2017. Superovulasi Pada Ternak. Padang: Andalas University


Press.

BET. 2016. Standar Operasional Prosedur (Sop) Seksi Produksi Dan Aplikasi
(Pa). Bogor: Balai Embri Tertak Cipelang.

BET. 2021. Aplikasi Transfer Embrio Pada Ternak Sapi. Bogor: Balai Embrio
Ternak Cipelang.

Putu, A. 2021. Transfer Embrio. Makassar: UNHAS

Supriatna, I. 2018. Transfer Embrio Pada Ternak Sapi. Bogor: SEAMEO


BIOTROP.

13

Anda mungkin juga menyukai