Anda di halaman 1dari 5

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Manusia merupakan salah satu aset terpenting dalam pembangunan suatu


bangsa. Sebagai usaha pemenuhan kebutuhan hidupnya, manusia selalu berusaha
untuk mencari dan menghasilkan yang terbaik. Menurut Abraham Maslow,
manusia memiliki lima tingkatan kebutuhan yang akan berusaha untuk dipenuhi,
antara lain: (1) Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan tubuh manusia untuk
mempertahankan hidup yang meliputi makanan, air, udara, rumah, pakaian dan
seks. (2) Kebutuhan rasa aman adalah kebutuhan perlindungan bagi fisik manusia.
(3) Kebutuhan sosial adalah kebutuhan atas perlunya manusia berhubungan satu
dengan yang lainnya. (4) Kebutuhan ego adalah kebutuhan untuk berprestasi
sehingga mencapai derajat yang lebih tinggi dari yang lainnya. (5) Kebutuhan
aktualisasi diri adalah keinginan dari seorang individu untuk menjadikan dirinya
sebagai orang yang terbaik sesuai dengan potensi dan kemampuan yang
dimilikinya.
Berdasarkan data survei Susenas (2017) diketahui bahwa persentase
pengeluaran rata-rata per kapita sebulan untuk makanan adalah 48.68%. Angka ini
menunjukkan bahwa makanan merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi
manusia. Daging merupakan sumber utama protein hewani. Salah satu jenis
daging yang paling banyak dikonsumsi masyarakat adalah daging sapi. Daging
sapi merupakan bahan makanan yang mempunyai peran penting dalam memenuhi
gizi masyarakat Indonesia. Permintaan terhadap produk-produk untuk pemenuhan
gizi seperti produk daging sapi semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan
jumlah penduduk dan peningkatan taraf hidup masyarakat Indonesia.
Permintaan terhadap daging sapi yang tinggi membuat pemerintah harus
melakukan impor daging sapi setiap tahunnya. Menurut Hizkia Respatiadi, Kepala
Bagian Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) panjangnya rantai
distribusi daging sapi untuk bisa sampai ke tangan konsumen juga merupakan
salah satu penyebab harga daging sapi yang beredar di pasar menjadi tinggi
(Gideon 2018).
Kementrian Perdagangan menyatakan bahwa harga daging sapi pada
periode 2012-2016 meningkat hingga 14.17%. Kenaikan harga sapi hingga
mencapai Rp 130,000/kg pada awal tahun 2016 disikapi oleh Presiden Jokowi
dengan mengubah aturan impor ternak maupun produk hewan. Aturan yang
diubah terletak pada wilayahnya, di mana Indonesia tidak lagi memakai sistem
basis negara (country based), melainkan beralih memakai sistem zonasi (zone
based). Perbedaan dari kedua peraturan impor ternak ini terletak pada wilayahnya.
Country based merupakan peraturan impor ternak yang mengharuskan daging
yang dapat diimpor adalah daging yang berasal dari negara yang terbebas penyakit
mulut dan kuku (PMK). Sedangkan zone based merupakan peraturan impor ternak
yang belum terbebas dari penyakit mulut dan kuku (PMK) dari negara asalnya.
Kebijakan ini juga dibuat agar Indonesia dapat memperluas sumber pasokan
daging sapi sehingga tidak hanya bergantung pada Australia dan Selandia Baru.
Secara umum perkembangan produksi daging sapi di Indonesia periode
2013-2017 (Kementerian Pertanian) mengalami pertumbuhan sebesar 2.56%.
2

Meskipun produksi daging sapi mengalami pertumbuhan, Direktur Jenderal


Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, I Ketut Diarmita
menyatakan bahwa produksi daging sapi dalam negeri pada tahun 2017 sebesar
334,770 ton, sementara perkiraan kebutuhan daging sapi dalam negeri sebesar
604,968 ton. Kebutuhan produksi daging sapi yang tidak bisa dipenuhi menjadi
salah satu penyebab terjadinya lonjakan harga daging sapi yang cukup tinggi.
Data Kemendag terkait pertumbuhan harga daging sapi di Indonesia periode
Maret 2013-2018 dapat dilihat pada Gambar 1.

116328 117020
114280
110520
Rupiah per Kg

102212
97709

2013 2014 2015 2016 2017 2018 (April)

Sumber: Kemendag (2018)


Gambar 1 Harga daging sapi di Indonesia periode 2013-2018
Salah satu solusi yang diambil oleh pemerintah untuk memperbaiki defisit
daging sapi adalah dengan membuka keran impor daging kerbau yang harganya
jauh lebih murah dibandingkan daging sapi. Daging kerbau yang di impor ke
Indonesia berasal dari India. India dipilih karena India merupakan negara
pemasok daging kerbau terbesar di seluruh dunia. Pada bulan Juli 2016, Bulog
menyatakan bahwa pada tahap awal akan masuk 9000 ton daging kerbau yang
akan dijual dengan harga Rp 60,000/kg. Sedangkan pada bulan Juli 2016 harga
daging sapi masih berkisar Rp 80,000/kg sampai dengan Rp 120,000/kg. Oleh
karena itu, dengan adanya impor daging kerbau dari India diharapkan masyarakat
dapat menjadikan daging kerbau substitusi dari daging sapi, sehingga dapat
menekan permintaan terhadap daging sapi sehingga harga daging sapi dapat turun.
Sejak Juli 2016, konsumen daging sapi memiliki alternatif daging untuk
memenuhi kebutuhan protein hewani yaitu melalui daging kerbau. Direktur
Utama Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Bulog), Djarot Kusumayakti
menyatakan bahwa hingga Desember 2016 jumlah impor daging kerbau dari India
sebanyak 70,000 ton dan mencanangkan akan mengimpor kembali sebanyak
30,000 ton hingga Idul Fitri 2017 (Laoli 2015).
Kebijakan ini menimbulkan banyak pro-kontra dari berbagai pihak. Pihak-
pihak yang menentang dalam hal ini adalah pemerintah di beberapa daerah dan
organisasi-organisasi yang merasa dirugikan dengan adanya kebijakan impor
daging kerbau India. Usaha-usaha yang dilakukan Pemerintah untuk
mensosialisasikan daging kerbau sebagai alternatif daging sapi tidak sepenuhnya
bisa diterima, Gubernur Jawa Timur, Soekarwo menyatakan bahwa penduduk
Jawa Timur lebih menyukai mengkonsumsi daging sapi daripada daging kerbau
dikarenakan daging kerbau memiliki serat yang kasar. Soekarwo bahkan membuat
surat edaran larangan impor daging kerbau masuk ke Jawa Timur (Ariyanti 2016).
Pemerintah dinilai terlalu tergesa-gesa dalam memutuskan impor daging kerbau
dari India oleh Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI). Hal
3

tersebut disebabkan karena kerbau dari India belum masuk dalam kategori daging
yang bebas dari penyakit mulut dan kuku sesuai dengan putusan Mahkamah
Konstitusi (2009) bahwa Indonesia hanya boleh mengimpor daging dari negara
yang telah bebas penyakit mulut dan kuku (Fajriah 2016). Menurut Usep Iskandar
Wijaya, ketua Persatuan Pedagang Pasar dan Warung Tradisional (Pesat) Jawa
Barat, impor daging kerbau dari India ini tidak menjadikan Indonesia mandiri dan
justru akan merugikan para peternak sapi. Pemerintah pusat dinilai terlalu
mengandalkan impor dalam pencarian solusi. Penerapan kebijakan impor daging
kerbau dari India bertujuan untuk menekan harga daging sapi yang terlampau
tinggi dan juga memperkenalkan bahwa masyarakat memiliki pilihan dalam
memenuhi konsumsi protein hewani selain daging sapi.
Distribusi daging kerbau impor dari India di Indonesia tersebar ke
beberapa wilayah yaitu Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.
Berdasarkan uraian fenomena yang terjadi akibat dilakukannya impor kerbau,
maka penulis tertarik untuk menganalisis implikasi kebijakan impor daging
kerbau terhadap pemasaran daging sapi di Indonesia, khususnya di kota Bogor.

Perumusan Masalah

Kebutuhan manusia akan protein hewani tidak bisa dihindari. Semakin


produktif manusia akan semakin membutuhkan asupan gizi yang memadai. Oleh
sebab itu permintaan terhadap daging sapi akan selalu ada. Meskipun produksi
daging sapi terus mengalami pertumbuhan, peningkatan produksi yang ada belum
sebanding dengan peningkatan kebutuhan konsumen. Tidak terpenuhinya
kebutuhan produksi atau defisit daging sapi ini kemudian menyebabkan terjadinya
lonjakan harga daging sapi yang cukup tinggi seperti yang terlihat pada Gambar 1.
Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan impor
daging kerbau India. Kebijakan ini tidak sepenuhnya diterima secara terbuka oleh
masyarakat di Indonesia. Timbul berbagai pro-kontra mengenai kebijakan ini.
Terdapat berbagai wilayah yang dijadikan target impor daging kerbau, dan salah
satunya adalah Kota Bogor. Selain itu, Kota Bogor merupakan salah satu wilayah
yang memiliki jumlah konsumsi daging tertinggi. Berdasarkan uraian di atas
maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana persepsi konsumen Kota Bogor terhadap kebijakan impor
daging kerbau?
2. Bagaimana pengaruh kebijakan impor daging kerbau terhadap volume
penjualan daging sapi di Indonesia terutama di Kota Bogor?
3. Bagaimana implikasi manajerial bagi pemerintah dalam mempromosikan
daging kerbau impor?

Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi persepsi konsumen Kota Bogor terhadap kebijakan impor


daging kerbau.
2. Mengidentifikasi pengaruh kebijakan impor daging kerbau terhadap volume
penjualan daging sapi di Indonesia terutama di Kota Bogor.
4

3. Merumuskan implikasi manajerial bagi beberapa stakeholder dalam


mempromosikan daging kerbau impor.

Manfaat Penelitian

1. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi


terkait dengan persepsi konsumen terhadap kebijakan impor daging kerbau,
sehingga pemerintah dapat merumuskan strategi pemasaran yang tepat untuk
meningkatkan minat konsumen terhadap daging kerbau impor.
2. Bagi pedagang daging di pasar tradisional dan/atau pasar modern penelitian
ini diharapkan dapat memberikan informasi faktor mana yang paling
dipertimbangkan oleh konsumen daging kerbau sehingga dapat meningkatkan
minat dan penjualan daging kerbau baik di pasar tradisional maupun pasar
modern.
3. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
pengaplikasian dari ilmu-ilmu yang sudah diperoleh.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini hanya sebatas menguji dan menganalisis


apakah terdapat hubungan antara persepsi konsumen terhadap kebijakan impor
daging kerbau dengan kesediaan membeli daging kerbau impor di Kota Bogor.
Penelitian dilakukan di Kota Bogor dengan responden yang dipilih adalah tidak
vegetarian, berusia >17 tahun dan berdomisili di Kota Bogor.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Perilaku Konsumen

Engel et al. (2012) mendefinisikan perilaku konsumen sebagai tindakan


yang langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi dan menghabiskan
produk dan jasa termasuk proses keputusan yang mendahului dan mengikuti
tindakan ini.
Schiffman dan Kanuk (2010) mengartikan istilah perilaku konsumen
sebagai perilaku yang diperlihatkan konsumen dalam cara mencari, membeli,
menggunakan, mengevaluasi dan menghabiskan produk atau jasa yang mereka
harapkan dan memuaskan kebutuhan mereka.
Kotler dan Keller (2009) mendefinisikan perilaku konsumen sebagai studi
tentang cara individu, kelompok dan organisasi menyeleksi,membeli,
menggunakan dan mendisposisikan barang, jasa, gagasan, atau pengalaman untuk
memuaskan kebutuhan dan keinginan mereka.
Untuk Selengkapnya Tersedia di Perpustakaan SB-IPB

Anda mungkin juga menyukai