Anda di halaman 1dari 37

PENGARUH GERAKAN MASSA 812 TERHADAP RATIFIKASI KONVENSI

INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS

OF RACIAL DISCRIMINATION (ICERD) OLEH MALAYSIA

Dosen: Yuswari O. Djemat,Drs.,MA

Disusun Oleh :

Mochamad Iqbal Tawakal

6211161073

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI

CIMAHI

2020
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Bicara soal rasisme di masa kini, nampaknya sudah mendarah daging di

kalangan masyarakat, lokal, nasional, maupun internasional. Rasisme adalah hal

yang sepele yang kita semua kira mudah diatasi, namun manakala sifat manusia

yang selalu ingin menang itu muncul, perilaku abusif yang berhubungan dengan

ras/etnis tak terhindarkan.

Secara tidak sadar-pun, kita bisa melakukan rasisme dalam kehidupan

sehari-hari kita. Misalnya dengan mengatakan, “Eh, kenapa makan roti dan susu

aja? Mau jadi bule?” Kita sudah bisa disebut seorang rasis. Mulut manusia bisa

digambarkan seperti percikan api di gudang elpiji, dengan beberapa lontaran

kata-kata saja, seorang manusia mampu menyulut sebuah perkara.

Pada praktiknya, rasisme seperti sudah menjamur di masyarakat. Fakta

bahwa di Indonesia yang bersemboyankan Bhinneka Tunggal Ika, yang memberi

banyak peluang membuat kita melakukan hal-hal kecil yang bisa menyinggung

suku atau ras lain di sekitar kita.

Rasisme yang lebih luas, internasional, lebih mengkhawatirkan lagi.

Bahkan, kasus-kasusnya berujung hingga pembunuhan, penyiksaan, teror, dan

perkara-perkara kemanusiaan lainnya. Walaupun organisasi internasional sudah

1
marak melakukan kampanye anti-rasisme, nampaknya tak menemukan cara agar

masyarakat dunia bersih dari rasisme.

Kata rasisme pertama kali digunakan secara umum pada 1930. Fenomena

rasisme sebenarnya sudah muncul jauh sebelumnya. Pengertian rasisme itu

sendiri selalu berubah. Tribalisme, Xenophobia, keangkuhan dan prasangka

serta permusuhan dan perasaan negatif terhadap satu kelompok etnis atau bangsa

yang lain -- kadang diiringi dengan sikap brutal --sering kali dihubungkan

dengan rasisme. Abad Pencerahan dan berkembangnya nasionalis

mememberikan konteks baru dalam perdebatan menyangkut segi-segi rasisme

ini.

Orang yang rasis adalah orang yang meyakini bahwa karakteristik

turunan yang dibawa sejak lahir secara biologis menentukan perilaku manusia.

Doktrin rasisme menegaskan bahwa darah adalah penanda identitas bangsa-

etnis. Rasisme, termasuk antisemitisme rasial (prasangka atau kebencian

terhadap Yahudi atas dasar teori biologis yang salah), selalu merupakan bagian

integral dari Sosialisme Nasional Jerman (Nazisme). 1 Nazi menganggap semua

sejarah manusia sebagai sejarah perjuangan yang ditentukan secara biologis

antara orang-orang dengan berbagai ras berbeda. Setelah naik ke tampuk

kekuasaan, Nazi mengesahkan UU Nuremberg pada tahun 1935, yang

mengodifikasikan apa yang mereka anggap sebagai definisi biologis ke-Yahudi-

1
Anonim, “Rasisme (Artikel Ringkas)”, diakses dari
https://encyclopedia.ushmm.org/content/id/article/racism-abridged-article , pada tanggal 20 April 2019
pukul 19:31.

2
an.2 Menurut teori ras Nazi, bangsa Jerman dan bangsa Eropa utara lainnya

adalah ras "Arya" yang unggul. Selama Perang Dunia II, dokter-dokter Nazi

mengadakan eksperimen medis palsu untuk menemukan bukti fisik keunggulan

bangsa Arya dan kelemahan bangsa non-Arya. Kendati telah membantai

tawanan non-Arya dalam jumlah yang tak terbilang pada eksperimen ini, Nazi

tidak dapat menemukan bukti apa pun untuk teori mereka tentang perbedaan ras

biologis di antara manusia.

Rasisme Nazi menimbulkan pembantaian dalam skala yang belum

pernah terjadi sebelumnya. Selama Perang Dunia II, pimpinan Nazi memulai apa

yang mereka sebut "bersih-bersih etnis" di kawasan Timur, yang meliputi

Polandia dan Uni Soviet, yang didudukinya. Kebijakan ini mencakup

pembantaian dan pemusnahan ras yang disebutnya "ras" musuh melalui

genosida terhadap kaum Yahudi Eropa dan penghancuran pimpinan bangsa

Slavia. Kaum Nazi yang rasis memandang penyandang cacat fisik dan mental

sebagai bahaya biologis bagi kemurnian ras Arya. Setelah merencanakan dengan

cermat, dokter-dokter Jerman mulai membunuhi orang-orang cacat di berbagai

lembaga penampungan di seluruh Jerman dalam operasi yang mereka perhalus

dengan istilah "eutanasia."

Ketuanan Melayu adalah konsep rasialis bahwa bangsa Melayu adalah

"tuan" atau "penguasa" Malaysia. Konsep ini tertuang dalam Pasal 153

Konstitusi Malaysia yang memberikan jaminan hak-hak khusus kepada etnis

2
Ibid.

3
Melayu di Malaysia3Pengaturan seperti ini biasanya disebut sebagai kontrak

sosial. Konsep ketuanan Melayu biasanya didengungkan oleh politikus-politikus

Malaysia, terutama yang berasal dari Organisasi Nasional Melayu Bersatu

(UMNO), partai yang memiliki pengaruh kuat di Malaysia.

Walaupun gagasan ini telah ada sebelum Malaysia merdeka, frasa

ketuanan Melayu sendiri tidak pernah mencuat sampai awal tahun 2000-an.

Suara oposisi paling besar terhadap konsep ini datang dari partai-partai non-

Melayu seperti Partai Aksi Demokratik (DAP); pada tahun 2000-an, Partai

Keadilan Rakyat yang multietnis juga memosisikan partainya menetang

ketuanan Melayu dan sebaliknya mempromosikan ketuanan rakyat. Pemikiran

atas supremasi Melayu mendapat perhatian publik pada tahun 1940-an, ketika

warga Melayu membentuk organisasi yang memprotes pembentukan Uni

Malaya dan kemudian memperjuangkan kemerdekaan. Pada tahun 1960-an,

terdapat usaha yang keras menentang konsep ketuanan Melayu yang dipimpin

oleh Partai Aksi Rakyat (PAP) dari Singapura (yang menjadi salah satu negara

bagian dari Malaysia dari tahun 1963 sampai 1965) dan oleh DAP setelah

Singapura memisahkan diri. Namun konstitusi yang berhubungan dengan

ketuanan Melayu semakin dikukuhkan setelah kerusuhan rasial 13 Mei tahun

1969 yang diikuti kampanye pemilu yang memfokuskan pada isu hak-hak non-

Melayu dan ketuanan Melayu. Periode ini tampak dengan munculnya kelompok

"Ultra" yang mengajukan sebuah pemerintahan satu partai yang dipimpin oleh
3
Meredith L. Weiss, "The 1999 Malayan General Elections: Issues, Insults, and Irregularities." Asian
Survey, Vol. 40, No. 3, (May 2003) hlm 430.

4
UMNO dan peningkatan tekanan pada konsep orang Melayu sebagai "rakyat

Malaysia" yang sebenarnya.

Kerusuhan ini menyebabkan perubahan drastis pada pendekatan

pemerintah terhadap isu-isu rasial dengan memperkenalkan Kebijakan Ekonomi

Baru (NEP) yang mengutamakan etnis Melayu. Kebijakan Kebudayaan Nasional

yang menekankan pada asimilasi warga non-Melayu ke dalam kelompok etnis

Melayu juga diperkenalkan pada tahun 1970. Namun semasa 1990-an Perdana

Menteri Mahathir bin Mohamad menolak pendekatan ini dengan konsep Bangsa

Malaysianya yang menekankan warga Malaysia, bukan etnis Melayu, sebagai

identitas negara Malaysia. Semasa tahun 2000-an, para politikus kembali

menekankan konsep ketuanan Melayu, dan secara publik mengkritik menteri-

menteri pemerintahan yang mempertanyakan konsep kontrak sosial.

Menurut banyak sejarawan, akar utama perselisihan antar etnis dan

ketuanan Melayu adalah kurangnya hubungan antara kaum Melayu dengan

kaum non-Melayu. Karena banyak imigran yang didatangkan sebagai "pekerja

pendatang" oleh Britania, para imigran ini merasa tidak perlu untuk berintegrasi

dengan masyarakat Melayu dan bahkan tidak banyak yang mau belajar bahasa

Melayu. Pengecualian terdapat pada kaum Cina Peranakan yang telah

berasimilasi dengan baik selama 600 tahun. Menurut Ming Shi-lu, nenek

moyang Cina Peranakan adalah "hadiah" yang diberikan kepada Sultan Melaka

sebagai tanda pengakuan hubungan bilateral antara Dinasti Ming dengan

Kesultanan Melaka. Pada saat pemerintahan Britania, kebanyakan Cina

5
Peranakan adalah saudagar-saudagar yang kaya dan dalam kesehariannya

berbahasa Melayu, berbusana Melayu, dan berkuliner Melayu.4

Kebijakan kependidikan Britania kemudian mensegregasi kaum-kaum

yang satu dengan yang lain. Britania memberikan pendidikan yang minim bagi

kaum Melayu, sedangkan kaum non-Melayu dibiarkan sendiri. Kaum Melayu

yang umumnya tinggal di pedesaan tidak dianjurkan bersosialisasi dengan kaum

non-Melayu perkotaan.5 Kondisi ekonomi Melayu yang miskin dibandingkan

dengan kaum Cina yang lebih baik juga membakar sentimen rasial ini.

Faktor lain yang mencuatkan ketuanan Melayu adalah pendudukan

Jepang di Malaya semasa Perang Dunia II. Perang Dunia ini "membangkitkan

kesadaran politik di antara warga Malaya dengan mengintensifkan komunalisme

dan kebencian rasial". Kebijakan Jepang atas "politisasi kaum petani Melayu"

secara sengaja membakar nasionalisme Melayu. Dua sejarahwan Melayu

menulis bahwa "Perlakuan tidak ramah yang diberikan Jepang kepada kaum

Cina dan perlakuan sebaliknya yang diberikan kepada kaum Melayu membantu

kaum Cina merasakan identitasnya yang terkucil secara lebih tajam..." Salah satu

komentator asing juga menyatakan "Semasa periode pendudukan ... sentimen

nasional Melayu telah menjadi kenyataan; sentimen ini sangatlah anti-Cina dan

dalam unjuk rasa diserukan 'Malaya untuk orang Melayu'..."6

4
Hwang, In-Won (2003). Personalized Politics: The Malaysian State under Mahathir, hlm. 25-26. Institute
of Southeast Asian Studies.
5
Ibid.
6
Ibid.

6
Federasi Malaya (Persekutuan Tanah Melayu) secara resmi merdeka dari

Imperium Britania tahun 1957. Konstitusi negara baru ini memiliki beberapa

ketentuan seperti Pasal 153 yang menjamin kaum Melayu mendapatkan hak-hak

istimewa. Komisi Reid yang menyusun konstitusi ini menyatakan bahwa pasal

153 hanyalah bersifat sementara dan harus ditinjau ulang oleh parlemen 15

tahun setelah kemerdekaan.7 Konstitusi ini tidak secara eksplisit menyatakannya

maupun mengklarifikasi tujuan pasal 153. Konstitusi menyatakan bahwa semua

warga Malaya setara di depan hukum tanpa menyebut-nyebut "Kedaulatan

Melayu" maupun gagasan-gagasan lain yang berhubungan dengan ketuanan

Melayu. Kewarganegaraan Jus soli yang memberikan kewarganegaraan kepada

siapapun yang lahir dalam Federasi Malaya juga diberikan walaupun tidak

secara retroaktif. Pemberian kewarganegaraan secara jus soli ini merupakan

"pengorbanan" kaum Melayu yang sebelumnya dengan keras berkampanye

menentang kewarganegaraan jus soli dalam Uni Malaya.8

Di sisi lain, bahasa Melayu dan Islam dijadikan bahasa nasional dan

agama resmi negara. Kedudukan Raja-raja Melayu juga tetap dipertahankan.

Keputusan ini bertujuan untuk menghargai kaum Melayu sebagai orang Malaya

yang sebenarnya, yakni menjadi seorang Malaya adalah sama halnya menjadi

seorang Melayu. Di mata banyak orang pula, hal ini memberikan Malaya

identitas Melayu.9 Seorang akademiawan mengajukan bahwa "Kaum Melayu

7
Ooi, Jeff (2005). "Social Contract: 'Utusan got the context wrong’"
8
Ongkili, James P. (1985). Nation-building in Malaysia 1946–1974, hlm. 113. Oxford University Press.
9
Milne, R.S. & Mauzy, Diane K. (1999). Malaysian Politics under Mahathir, hlm. 34. Routledge.

7
memiliki perasaan yang telah mendarah daging bahwa hanya merekalah yang

merupakan bumiputera, dan sehingganya mempunyai hak-hak istimewa tertentu

atas tanah Malaya." Dan sebenarnya pun pada tahun 1964 Tunku mengatakan

"Adalah dimengerti semua orang bahwa negara ini dari namanya, tradisi dan

karakternya, adalah Melayu. ... Di negara lain di mana pendatang asing mencoba

untuk mendominasi bidang ekonomi dan bidang-bidang lain, pada akhirnya akan

mendapatkan oposisi keras dari penduduk asli. Namun ini tidak sama halnya

dengan kaum Melayu. Oleh karena itu, sebagai gantinya, pendatang-pendatang

asing itu harus menghargai posisi orang Melayu..."10 Diajukan bahwa

nasionalitas Malaysia tidak muncul karena "semua simbol-simbol nasional

Malaysia diturunkan dari tradisi Melayu".11

Pembatasan konstitusional atas jumlah konstituensi Parlemen dari

pedesaan kemudian dicabut dan dianggap sebagai "penopang tak langsung" hak

khusus Melayu. Hal ini disebabkan karena kaum Melayu kebanyakan berpusat

di daerah pedesaan dan secara tidak langsung meningkatkan kekuasaan politik

kaum Melayu. Konstitusi awal negara secara implisit mengikuti sistem "satu

orang, satu suara". Perubahan pada konstituensi ini dikecam karena

"memberikan satu orang satu suara, yang lainnya banyak suara: tidak didasarkan

pada kemampuan intelektual tetapi hanya bertujuan untuk menjamin dominasi

kelompok-kelompok tertentu."12

10
Josey, Alex (1980). Lee Kuan Yew: The Crucial Years, hlm. 83–84. Times Books International.
11
Hwang, hlm. 49
12
Hickling, R.H. (1991). Essays in Malaysian Law, hlm. 69. Pelanduk Publications.

8
Ketentuan-ketentuan konstitusional yang dirujuk sebagai "Agenda

Melayu", mendapatkan sedikit sentimen dari kaum non-Melayu, walaupun

kebanyakan dari mereka mendapatkan kewarganegaraan dan secara teoretis

sejajar dengan warga Melayu di bawah konstitusi. Hal ini dapat disebabkan oleh

penerimaan kontrak sosial yang salah seorang sejarahwan menulis: "Pada tingkat

elit, kaum non-Melayu mengakui bahwa kaum Melayu secara politik superior

karena status penduduk asli mereka dan bahwa susunan pemerintahan Malaysia

memiliki karakter Melayu ... Kaum Melayu dijamin menjadi mayoritas baik

dalam parlemen negara bagian maupun parlemen federal ... Kaum Melayu

mengontrol posisi yang tertinggi dalam pemerintahan dan ... mendominasi

anggota kabinet federal." Seorang sejarahwan Melayu menulis bahwa "Sebagai

gantinya, kaum Cina mendapatkan melebihi apa yang kaum Cina Asia Tenggara

lainnya mimpikan — kewarganegaraan yang setara, partisipasi politik dan

jabatan, kesempatan ekonomi yang tidak dihalang-halangi, dan toleransi kepada

bahasa, agama, dan institusi kebudayaan mereka."13

Beberapa pihak mengekspresikan kekhawatirannya kepada pasal 153.

Sesaat sebelum kemerdekaan, China Press mensugestikan bahwa manakala hak-

hak khusus "dapat dimengerti pada awal pembangunan negara," jika "periode

'hak-hak khusus' tidak dibatasi, ataupun ruang lingkupnya tidak ditentukan

secara jelas, maka persengketaan yang tak habis-habisnya ... akan bermunculan

13
Hwang, hlm. 67

9
pada hari-hari mendatang," dan berargumen bahwa hak-hak khusus pada

akhirnya akan memisah-misahkan warga Malaya daripada menyatukannya.14

Demonstrasi yang digelar tanggal 8 Desember di Malaysia atau yang

disebut Aksi 812 dihadiri sekitar 55 ribu massa. Aksi 812 dipicu rencana

pemerintahan PM Malaysia Mahathir Mohamad yang akan meratifikasi

Konvensi Internasional dalam Eliminasi Segala Bentuk Diskriminasi Rasial atau

ICERD.

Puluhan ribu massa yang berpakaian serba putih berkumpul di Dataran

Merdeka Kuala Lumpur sambil meneriakkan 'Hancurkan ICERD' dan 'Hidup

Melayu'. Massa khawatir bahwa ratifikasi konvensi bisa mengganggu hak-hak

istimewa etnis Melayu dan mengancam status Islam sebagai agama resmi

Malaysia.

Argumen peserta Aksi 812, sebagaimana yang mereka cantumkan di

bentangan poster, menyebutkan bahwa ICERD bertentangan dengan Pasal 153

Konstitusi Malaysia. Pasal 153 memberikan tanggung jawab kepada Yang di-

Pertuan Agong (Raja Malaysia) untuk “melindungi kedudukan istimewa orang

Melayu dan anak negeri (…) Sabah dan Sarawak dan kepentingan sah kaum-

kaum lain”. Isi Pasal 153 Konstitusi Malaysia sering dijadikan dasar untuk

propaganda ketuanan Melayu. Ketuanan Melayu adalah sebuah kontrak sosial

yang mendudukkan orang-orang ras Melayu atau bangsa Melayu sebagai

penguasa atau tuan di Malaysia.


14
Hickling, hlm. 179.

10
11
1.2 Fokus Masalah

Penelitian ini membahas mengenai latar belakang yang menyebabkan

supremasi Bangsa Melayu di Malaysia. Penelitian ini juga membahas pengaruh

interaksi antara rakyat Malaysia, pemerintah Malaysia, dan ICERD pada

fenomena yang terjadi pada Desember 2018.

Dalam menganalisa fenomena rasisme yang terjadi di Malaysia, maka

dalam penelitian ini peneliti membatasi aspek-aspek sebagai berikut:

1.2.1 Batasan Bidang

Berdasarkan latar belakang yang telah peneliti jelaskan, peneliti

memfokuskan masalah terhadap pengaruh penolakan rakyat Malaysia terhadap

ratifikasi ICERD oleh pemerintah Malaysia.

1.2.2 Batasan Waktu

Dalam penelitian ini, peneliti membatasi kajian pengaruh Gerakan Massa

812 terhadap ratifikasi konvensi international Convention on The Elimination of

All Forms of Racial Discrimination (ICERD) oleh Malaysia dari akhir tahun

2018 hingga Agustus 2019. Dimana fenomena yang terjadi berawal pada

Desember 2018. Peneliti juga mengaitkan permasalahan yang terjadi dengan

latar belakang sejarah supremasi Bangsa Melayu di Malaysia.

1.3 Tinjauan Pustaka

12
Untuk memperoleh pijakan dalam mengkaji Pengaruh Gerakan Massa

812 Terhadap Ratifikasi Konvensi International Convention on The Elimination

of All Forms of Racial Discrimination (ICERD) oleh Malaysia, maka penulis

menggunakan beberapa tinjauan kepustakaan yang penulis anggap cukup

relevan dengan permasalahan yang akan diteliti. Tinjauan kepustakaan tersebut,

yaitu:

1.3.1 Hirschman, “The Making of Race in Colonial Malaya:

Political Economy and Racial Ideology,” Comell University, 1986

Jurnal ini merupakan hasil penelitian yang mengkaji ideologi

ekonomi politik dan ras di Semenanjung Malaysia.

Penafsiran konvensional tentang "masalah ras" di Semenanjung

Malaysia didasarkan pada apa yang dianggap tak terhindarkan gesekan

antara komunitas etnis dengan tradisi budaya yang sangat berbeda.

Dalam pandangan ini, asimilasi antara pribumi Penduduk Melayu dan

keturunan pendatang dari Cina dan India selalu merupakan kemungkinan

yang jauh. Dalam makalah ini berdebat "hubungan ras" modern di

Semenanjung Malaysia, dalam arti batas-batas kelompok yang tidak bisa

ditembus, adalah produk sampingan dari Inggris kolonialisme pada akhir

abad ke-19 dan awal abad ke-20. Sebelum 1850, hubungan antar etnis di

antara populasi Asia adalah ditandai oleh stereotip budaya dan

permusuhan sesekali, tetapi ada juga kemungkinan untuk aliansi antar-

13
etnis dan akulturasi. Pemerintahan kolonial langsung membawa teori

rasial Eropa dan membangun tatanan sosial dan ekonomi yang terstruktur

oleh "ras." Sebuah tinjauan atas tulisan para pengamat masyarakat

kolonial memberikan kesan kasar menguji hipotesis ini.

Sedangkan fokus peneliti dalam penelitian ini adalah pengaruh

Gerakan Massa 812 terhadap ratifikasi konvensi international

Convention on The Elimination of All Forms of Racial Discrimination

(ICERD) oleh Malaysia. Secara garis besar, kedua karya ilmiah ini

mengacu pada masalah rasial di Malaysia.

Jurnal ini sangat membantu bagi berlangsungnya penulisan

skripsi peneliti. Karena tulisan jurnali ini ada kesamaan dengan isi dari

penelitian ini. Jurnal ini juga dapat memperkuat penelitian yang

penelitian yang akan peneliti lakukan. Terutama mengenai masalah ras di

Malaysia hingga ratifikasi ICERD oleh Malaysia.

1.4 Perumusan Masalah

Berdasarkan penelitian di atas, maka masalah yang peneliti rumuskan

adalah sebagai berikut:

“Apa pengaruh Gerakan Massa 812 terhadap ratifikasi ICERD oleh

Malaysia?”

1.5 Tujuan Penelitian

14
1.5.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini untuk mendeskripsikan secara

jelas pengaruh Gerakan Massa 812 terhadap ratifikasi ICERD oleh

Malaysia.

1.5.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi

dan menggambarkan apa yang melatarbelakangi Gerakan Massa 812

sehingga dapat mempengaruhi ratifikasi ICERD oleh Malaysia.

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Manfaat Praktis

Sebagai salah satu syarat pembuatan tugas akhir dalam

menempuh ujian strata satu (S-1) pada Jurusan Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jendral Achmad Yani

1.6.2 Manfaat Teoritis

1. Sebagai sumbangan bagi pengembangan studi hubungan

internasional pada umumnya

15
2. Memberikan informasi dan sebagai referensi bahan kajian

bagi penstudi hubungan internasional khususnya yang

meneliti rasisme di Malaysia.

1.7 Kerangka Teoritis

1.7.1 Pendekatan Post-Modernisme

Munculnya teori dalam ilmu Hubungan Internasional seperti yang

kita ketahui tidak hanya muncul dari pemikiran alami dari ilmu itu

sendiri. Beberapa teori yang ada dalam Hubungan Internasional

merupakan sebuah teori adopsi dari ilmu lain. Selain terdapat teori yang

sudah mapan, terdapat teori alternatif yang berkembang di dalam studi

Hubungan Internasional. Teori posmodernisme merupakan teori yang di

adopsi dari ilmu lain dan merupakan teori anti-mainstream dan juga

merupakan teori alternatif. Posmodernisme dalam Hubungan

Internasional termasuk dalam kategori teori pospositivis. Posmodernisme

acap kali di sebut sebagai pos-strukturalisme dan dekonstruktivisme. 15

Teori ini muncul pada kisaran tahun 1960-an yaitu saat radikalisme

politik di Barat bermunculan. Namun ia lebih terkenal pada kisaran tahun

1980-an karena kontribusinya pada Hubungan Internasional.16 Pendapat

lain datang dari Walt (1998) yang menyatakan posmodernisme adalah

salah satu tradisi dalam Hubungan Internasional yang paling


15
Brown, Chris. 1994. “Critical Theory and Postmodernism in International Relations”, in; A.J.R. Groom &
Margot Light (eds.), “Contemporary International Relations: A Guide to Theory”. Pinter, hlm. 48.
16
Ibid.

16
berpengaruh dari akhir 1990-an sampai awal 2000-an.17 Tidak ada

definisi pasti tentang apa itu posmodernisme seperti yang diungkapkan

Richard Devetak.18 Terdapat beberapa pendapat tentang pengertian

posmodernisme itu sendiri. Posmodernisme mempunyai arti ‘after

modernity’ atau pasca modernitas. Oleh sebab itu posmodernisme erat

kaitannya dengan modernitas. Modernitas yang dianggap sebagai

penyebab kemajuan dan kehidupan yang lebih baik bagi semuanya

diklaim sebagai suatu penjara konseptual bagi kaum posmodernis.19

Sehingga posmodernisme muncul sebagai penentang pemikiran abad

pencerahan atau modernitas itu sendiri. Tokoh-tokoh dari

posmodernisme adalah Jacques Derrida, Michel Foucault, dan Jean-

Francois Lyotard.20

Terdapat empat poin penting yang ditekankan dalam pemikiran

kaum posmodernis ini.21 Pertama, hubungan antara kekuatan (power) dan

pengetahuan (knowledge) dalam studi Hubungan Internasional.

Pemikiran Michel Foucault adalah salah satu pemikiran tokoh yang

paling berpengaruh dalam pemikiran posmodernisme. Foucault

17
Weber, Cynthia, 2005. “International Relations Theory, A Critical Introduction”, Routledge, Bag. 4, hlm.
59-80.
18
Smith, Steve. 2001. “Reflectivist and Constructivist Approaches to International Theory,” in Baylis,
John & Smith, Steve (eds.) 2001. “The Globalization of World Politics”, 2nd edition. Oxford University
Press. Part 2 Chapter 11.
19
Jackson, R. & G. Sorensen. 2005. “Pengantar Studi Hubungan Internasional”. Diterjemahkan dari
bahasa Inggris oleh Dadan Suryadipura. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
20
Brown. hlm 66
21
Devetak, Richard. 2001. “Postmodernism”. in; Scott Burchill, et al, “Theories of International
Relations”, Palgrave, pp. 181.

17
mengemukakan bahwa knowledge (ilmu pengetahuan) dan power saling

mempengaruhi dan keduanya saling menguatkan satu sama lain. 22

Sejalan dengan Foucault, Jackson dan Sorensen (2005) juga beranggapan

bahwa pengetahuan dapat meluas dan meningkat, dengan demikian

kemampuan manusia dalam hal penguasaan juga ikut meningkat. Tidak

hanya atas dunia alam namun juga dunia sosial termasuk sistem

internasional. Konsep genealogi adalah suatu pemikiran historis yang

membahas tentang signifikasi dalam hubungan antara kekuasaan dan

pengetahuan. Konsep ini mencoba memberikan benang merah antara

klaim terhadap ilmu pengetahuan dengan klaim terhadap power dan

otoritas. Dengan kata lain, power digunakan sebagai pembentuk

knowledge.23 Kedua, pendekatan tekstual dalam posmodernisme. Derrida

(dalam Brown, 1994) mengatakan bahwa ‘there is nothing outside the

text’ dimana kaum posmodernis ini tak hanya memandang teks sebagai

tulisan belaka. Ia merupakan kumpulan fenomena yang dapat dipahami

dan ditelaah lebih lanjut sehingga hal tersebut dapat di dekontruksikan.

Oleh karenanya dibutuhkan suatu double reading. Tujuannya bukan

untuk mencari yang ‘tepat’ atau bahkan 'satu' pembacaan teks, melainkan

untuk menunjukkan bagaimana selalu ada lebih dari satu pembacaan dari

teks apapun.24 Ketiga, bagaimana posmodernisme memaknai negara dan

entitasnya. Negara, kedaulatan dan kekerasan adalah pembahasan yang


22
Ibid.
23
Ibid.
24
Brown, hlm. 68.

18
tak pernah berhenti dibahas dalam studi Hubungan Internasional.

Keempat, usaha posmodernisme untuk memikirkan kembali pemahaman

masyarakat terkait politik. Implikasi utama dari keadaan dunia sebelum

didekonstruksikan oleh posmodernisme salah satunya adalah, imajinasi

politik masyarakat menjadi semakin miskin dan seolah pemahaman

tentang dinamika politik dunia dibatasi.25

Terdapat lima asumsi dasar dari posmodernisme yang

diterangkan oleh Steans, Pettiford, dan Diez. Asumsi pertama bahwa

pada dasarnya sifat manusia adalah terbuka dan manusia bukan

immutable atau abadi. Dapat dipahami jika sifat manusia yang terbuka

dan immutable tersebut dapat mengubah manusia itu sendiri. Asumsi

kedua adalah manusia beserta nilai-nilai, keyakinan, dan tindakannya

beragam sesuai dengan konteks sosial dan budaya yang lebih luas, tidak

ada karakteristik atau nilai yang dalam penerapannya bersifat universal.

Asumsi ketiga yaitu tidak ada satu teori yang dapat memberikan

pemahaman umum secara logis mengenai apa yang terjadi. Asumsi

keempat adalah tidak adanya apa yang disebut ‘fakta’ di dunia ini, yang

ada hanya sebuah interpretasi dan interpretasi lain dari interpretasi

sebuah realita. Asumsi kelima bahwa pengetahuan bukanlah sebuah God

given atau pemberian dari Tuhan, melainkan hanya sebagai ciptaan,

25
Devetak, hlm. 152

19
kepercayaan yang dibuat oleh manusia.26 Manusia adalah origin dari

sebuah ilmu pengetahuan. Berdasarkan penjelasan tentang asumsi dasar

kaum posmodernis tersebut penulis berpendapat bahwa kaum

posmodernis bisa dilihat begitu bersifat skeptis. Contohnya pada

asumsinya tentang tidak adanya apa yang disebut ‘fakta’ di dunia ini.

Seperti teori dan perspektif lainnya, posmodernisme tak luput

dari sebuah kritikan karena kekurangan maupun kelebihannya. Kelebihan

dari posmodernisme sendiri adalah penuruan ego dan kesombongan

akademik. Skeptisisme bahwa posmodernisme mengaitkan dengan

pemikran universal yang dikatakan valid sepanjang masa.

Mengungkapkan pretensi akademik dengan jelas dan terpilah-pilah dapat

menjadi sesuatu yang baik. Kemudian kekurangan dari posmodernisme

adalah kritiknya yang dapat berbalik pada dirinya sendiri, dan dapat

menimbulkan nihilisme yaitu negativisme bagi dirinya sendiri yang pada

akhirnya menyebabkan posmodernisme terasingkan dari dunia sosial dan

politik. Nihilisme tidak dapat memberikan landasan pengetahuan apapun

sebab nihilisme menolak kemungkinan dan nilai pengetahuan.27 Sejalan

dengan asumsi tersebut, posmodernisme dianggap tidak mampu

memberikan cara untuk mengetahui pengetahuan yang dianggap baik

maupun buruk.28

26
Steans, Jill and Pettiford, Lloyd & Diez, Thomas. 2005. “Introduction to International Relations,
Perspectives & Themes”, 2nd edition, Pearson & Longman, Chap. 5, hlm. 129.
27
Jackson, hlm. 78.
28
Steans, hlm. 144.

20
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa

posmodernisme sebagai teori alternatif dan anti-mainstream cukup

memberikan kontribusi yang besar terhadap Hubungan Internasional

sehingga ia menjadi bahasan yang cukup diperhitungkan.

Posmodernisme muncul dengan penentangannya terhadap modernitas

yang yang dianggap sebagai penyebab kemajuan dan kehidupan. Hal

yang paling mencolok dari posmodernisme adalah bagaimana cara ia

menghubungkan power dan knowledge sehingga terdapat istilah konsep

genealogi. Terlepas dari asumsi-asumsinya, posmodernisme sejatinya

seperi teori dan perspektif lain yang mendatangkan kritik. Kritik ini pun

muncul sebagai koreksi terhadap sebuah teori atau perspektif yang

muncul untuk berbenah diri. Karena pada sejatinya tidak ada yang

sempurna begitupun sebuah teori. Penulis sendiri berpendapat bahwa

posmodernisme terlalu percaya diri dengan semua asumsi-asumsi yang ia

keluarkan. Tidak adanya kejelasan dasar teori membuat ia tak bisa

membedakan mana yang baik dan mana yang benar.

1.7.2 Teori Rasisme

Rasisme adalah kepercayaan pada superioritas satu ras atas yang

lain, yang seringkali menghasilkan diskriminasi dan prasangka terhadap

orang berdasarkan ras atau etnis mereka. Penggunaan istilah "rasisme"

tidak mudah jatuh di bawah satu definisi.29 Ideologi yang mendasari

29
Garner, Steve (2009). “Racisms: An Introduction”. Sage.

21
rasisme sering mencakup gagasan bahwa manusia dapat dibagi lagi

menjadi kelompok-kelompok berbeda yang berbeda karena perilaku

sosial dan kapasitas bawaan mereka, serta gagasan bahwa mereka dapat

digolongkan sebagai inferior atau superior.30 Contoh-contoh historis dari

rasisme institusional termasuk Holocaust, rezim apartheid di Afrika

Selatan, perbudakan dan pemisahan di Amerika Serikat, dan perbudakan

di Amerika Latin. Rasisme juga merupakan aspek dari organisasi sosial

banyak negara dan kekaisaran kolonial.

Sementara konsep ras dan etnis dianggap terpisah dalam ilmu

sosial kontemporer, kedua istilah ini memiliki sejarah panjang kesetaraan

dalam penggunaan populer dan literatur ilmu sosial yang lebih tua.

"Etnisitas" sering digunakan dalam arti dekat dengan yang secara

tradisional dikaitkan dengan "ras": pembagian kelompok manusia

berdasarkan kualitas yang dianggap penting atau bawaan dari kelompok

(mis. Leluhur bersama atau perilaku bersama). Oleh karena itu, rasisme

dan diskriminasi rasial sering digunakan untuk menggambarkan

diskriminasi berdasarkan etnis atau budaya, terlepas dari apakah

perbedaan-perbedaan ini digambarkan sebagai ras. Menurut konvensi

PBB tentang diskriminasi rasial, tidak ada perbedaan antara istilah

diskriminasi "rasial" dan "etnis". Konvensi PBB lebih lanjut

menyimpulkan bahwa superioritas yang didasarkan pada diferensiasi ras


30
Newman, D.M. (2012). “Sociology: exploring the architecture of everyday life”. Los Angeles: Sage. hlm.
405.

22
adalah salah secara ilmiah, secara moral dapat dikutuk, tidak adil secara

sosial dan berbahaya. Ia juga menyatakan bahwa tidak ada pembenaran

untuk diskriminasi rasial, di mana pun, secara teori atau dalam praktik.31

Ideologi rasis dapat mewujud dalam banyak aspek kehidupan

sosial. Rasisme dapat hadir dalam tindakan sosial, praktik, atau sistem

politik (mis., Apartheid) yang mendukung ekspresi prasangka atau

keengganan dalam praktik atau hukum yang diskriminatif. Tindakan

sosial yang terkait dapat mencakup nativisme, xenophobia, otherness,

segregasi, peringkat hierarkis, supremasi, dan fenomena sosial terkait.

1.8 Asumsi

Berdasarkan uraian diatas, peneliti menarik asumsi sebagai berikut:

1. Pengaruh gerakan massa sebuah negara dapat merubah proses pembuatan

kebijakan

1.9 Alur Pemikiran

ICERD Pemerintah
Malaysia

Adanya Menimbulkan
Supremasi ras Gerakan Massa
31
Ibid.
melayu 812

23
Batalnya
Ratifikasi

1.10 Metode Penelitian

Pada sub bab ini peneliti memaparkan secara singkat tentang

metode penelitian yang digunakan yang meliputi alasan-alasan pemilihan

suatu tipe atau metode penelitian tertentu, instrument penelitian objek

dan sampel penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data,

rencana pengujian keabsahan data dan tempat serta lokasi pengumpulan

data.

1.10.1 Tipe penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tipe

penelitian kualitatif. Alasan mengunakan metode

penelitian kualitatif karena objek penelitian yang

merupakan realitas sosial dipandang sebagai suatu gejala

atau fenomena yang bersifat dinamis, holistik, kompleks

dan penuh makna.

24
Dalam menganalisa dan membahas fenomena

yang diteliti, berdasarkan keterkaitan variabel, peneliti

menggunakan metode penelitian deskriptif analisis.

Deskriptif analisis yaitu suatu metode yang bertujuan

untuk menggambarkan, mencatat, menganalisis dan

mengintrepretasikan kondisi-kondisi yang sedang terjadi

atau ada. Dengan kata lain, penelitian deskriptif analisis

bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi

mengenai keadaan saat ini, dan melihat hubungan antar

variabel-variabelada.

Secara umum, ciri-ciri metode penelitian deskriptif

analaisis sebagai berikut :

1. Bersifat mendeskripsikan kejadian atau peristiwa yang

bersifat aktual.

2. Bersifat mencari informasi faktual dan dilakukan secara

mendetail guna mengidentifikasi masalah-masalah atau untuk

mendapatkan justifikasi keadaan dan praktik-praktik yang sedang

berlangsung.

3. Mendeskripsikan subjek yang sedang dikelola oleh

kelompok orang tertentu dalam waktu yang bersamaan.

25
4. Metode penelitian deskriptif analisis tidak menguji

hipotesa, melainkan hanya mendeskripsikan informasi apa

adanya sesuai dengan variabel yang diteliti.

1.10.2 Instrumen Penelitian

Objek dalam penelitian kualitatif adalah objek

alamiah, atau natural setting, sehingga metode penelitian

ini sering disebut metode naturalistik, dimana peneliti

menggambarkan objek penelitian secara apa adanya

berdasarkan data yang didapat melalui pengamatan

fenomena, studi literatur dan wawancara yang

menempatkan peneliti sebagai instrument penelitian.

Penelitian kualitatif juga lebih menekankan analisisnya

terhadap dinamika hubungan antara fenomena yang

diamati, dengan menggunakan logika ilmiah. Hal ini

bukan berarti bahwa pendekatan kualitatif sama sekali

tidak menggunakan dukungan data kuantitatif akan tetapi

penekanannya tidak pada pengujian hipotesa melainkan

pada usaha menjawab pertanyaan penelitian melalui cara-

cara berpikir formal dan agumentatif.

1.10.3 Teknik Pengumpulan Data

26
Dalam melakukan penelitian, penulis lebih banyak

menggunakan data sekunder, yaitu data yang diperoleh

melalui bahan pustaka. Adapun data-data tersebut,

diperoleh dengan metode penelitian sebagai berikut:

1. Studi Kepustakaan

Penelitian yang di lakukan melalui buku-

buku literatur, buku ilmiah, jurnal dan bahan

dokumentasi lainnya untuk mendapatkan informasi

dan teori-teori yang berhubungan dengan pokok

permasalahan yang sedang di bahas.

2. Wawancara

Peneliti melakukan wawancara dengan

Datuk Seri Zahrain Mohamed Hashim di Kedutaan Besar

Malaysia di Jakarta. Hal tersebut dilakukan untuk

menemukan permasalahan secara terbuka dimana

pihak yang diwawancarai diminta pendapatnya.

3. Koleksi dan Internet

Di samping bahan-bahan yang disediakan

di perpustakaan, masih terdapat pula bahan-bahan lain

berupa koleksi dari internet yang dapat di kumpulkan,

27
dan sangat membantu penulis dalam menyelesaikan

penulisan dalam penelitian ini.

1.10.4 Teknik Analisis Data

Teknis analisis data yang digunakan adalah

analisis data secara kualitatif, yakni melalui:

1. Reduksi Data, yaitu memilih dan memilah data-data

pokok yang sesuai dengan fokus penelitian.

2. Penyajian Data, yakni langkah-langkah menyajikan

data dalam bentuk: kata-kata, kalimat-kalimat,

gambar, simbol, skema, bagan, grafik, tabel dan

matriks.

3. Verifikasi Data, yaitu data yang terkumpul, diuji

secara empiris sehingga validitas, rehabilitas, dan

objekvitas data teruji.

1.10.5 Rencana Pengujian Keabsahan Data

Dalam pengujian keabsahan data yang telah di

dapatkan dari berbagai sumber untuk menunjang

penelitian. Hal ini dilakukan dengan cara:

28
1. Credibility

Uji kredibilitas terhadap data hasil

penelitian yang disajikan oleh peneliti agar hasil

penelitian yang dilakukan tidak meragukan sebagai

sebuah karya ilmiah dilakukan.

2. Transferability

Merupakan validitas eksternal dalam

penelitian kualitatif. Validitas eksternal menunjukkan

derajat ketepatan atau dapat diterapkannya hasil

penelitian ke populasi di mana sampel tersebut

diambil.

3. Dependability

Reliabilitas atau peneltian yang dapat

dipercaya, dengan kata lain beberapa percobaan yang

dlakukan selalu mendapatkan hasil yang sama.

Penelitian yang dependability atau reliabilitas adalah

penelitian apabila penelitan dilakukan oleh orang lain

dengan proses yang sama akan memperoleh hasil yang

sama pula.

29
Pengujian dependability dilakukan dengan

cara melakukan audit terhadap keseluruhan proses

penelitian. Dengan cara auditor yang independen atau

pembimbing yang independen mengaudit keseluruhan

aktivitas yang dilakukan oleh peneliti dalam

melakukan penelitian.

4. Confirmability

Objektivitas pengujian kualitatif disebut juga

dengan uij confirmability penelitian. Penelitian bisa

dikatakan objektif apabila hasil penelitian telah

disepakati oleh banyak orang. Penelitian kualitatif uji

confirmability berarti menguji hasil penelitian yang

dikaitkan dengan proses yang telah dilakukan. Apabila

hasil penelitian merupakan fungsi dari proses

penelitian yang dilakukan, maka penelitian tersebut

telah memenuhi confirmability. Validitas atau

keabsahan data adalah data yang tidak berbeda rang

diperoleh oleh peneliti dengan data yang terjadi antara

data ungguhnya pada objek penelitian sehingga

keabsahan data yang telah disajikan dapat

dipertanggungjawabkan.

30
1.10.6 Lokasi dan Waktu Penelitian

1.10.6.1 Lokasi Penelitian

Lokasi yang penulis kunjungi

sebagai sumber data dan informasi, sebagai

berikut:

a. Kedutaan Besar Malaysia di Jalan H.R.

Rasuna Said Kav. X/6, No.1-3

Kuningan 12950 Jakarta Selatan,

Jakarta, Indonesia

31
1.10.6.2 Waktu Penelitian

No Kegiatan Bulan 2020


JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL
1. Tahap persiapan penelitian
a. Penyusunan dan pengajuan judul
b. Pengajuan proposal
c. Perijinan penelitian
2. Tahap pelaksanaan
a. Pengumpulan data
b. Analisis data
3. Tahap penyusunan laporan

32
1.11 Sistematika Penulisan

Untuk menghindari terjadinya tumpeng tindih dan untuk

mempermudah pembahasan penelitian ini, maka penleiti peril menyusun

sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I: Pendahuluan

Bab ini merupakan pendahuluan yang melandasi penyusunan

penulisan yang berisi antara lain : Latar Belakang Masalah, Fokus

Masalah atau Pembatasan Masalah, Tinjauan Pustaka, Perumusan

Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Teoritis,

Hipotesa atau Asumsi, Alur Pemikiran, Metode Penelitian, Sistematika

Penulisan.

BAB II: GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

Pada bab ini, peneliti memaparkan gambaran umum yang terkait

dengan variabel dalam penelitian yang memiliki relevansi terhadap

permasalahan yang diangkat dalam pembahasan.

33
BAB III: PENGARUH GERAKAN MASSA 812 TERHADAP

RATIFIKASI KONVENSI INTERNATIONAL CONVENTION ON

THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL

DISCRIMINATION (ICERD) OLEH MALAYSIA

Bab ini merupakan pemaparan yang dilakukan peneliti untuk

memberikan gambaran umum terkait pegaruh dari gaya suporter

hooligan Inggris terhadap gaya suporter sepakbola di Indonesia akibat

adanya globalisasi.

BAB IV: GAMBARAN UMUM MENGENAI PEMBATALAN

RATIFIKASI KONVENSI INTERNATIONAL CONVENTION ON

THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL

DISCRIMINATION (ICERD) OLEH MALAYSIA

Bab ini menjelaskan bagaimana adanya pembatalan ratifikasi

ICERD oleh Pemerintah Malaysia.

BAB V: PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir yang berisikan kristalisasi dari

hasil analisis dan intepretasi. Penulis merumuskan secara padat dan jelas

terhadap apa yang telah dipaparkan dan dianalisis pada bab-bab

sebelumnya.

34
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2016. “Rasisme (Artikel Ringkas)”, diakses dari

https://encyclopedia.ushmm.org/content/id/article/racism-abridged-article , pada tanggal

20 April 2019 pukul 19:31.

Baylis, John & Smith, Steve. 2001. “The Globalization of World Politics”. Oxford

University Press.

Brown, Chris. 1994. “Critical Theory and Postmodernism in International Relations”.

A.J.R.

Devetak, Richard. 2001. “Postmodernism”. Palgrave.

Garner, Steve. 2009. “Racisms: An Introduction”. SAGE Publications Ltd.

Groom & Margot Light. 1994. “Contemporary International Relations: A Guide to

Theory”. Pinter Pub Ltd.

Hickling, R.H. 1991. “Essays in Malaysian Law”. Pelanduk Publications.

Hwang, In-Won 2003. Personalized Politics: The Malaysian State under Mahathir.

Institute of Southeast Asian Studies.

Jackson, R. & G. Sorensen. 2005. “Pengantar Studi Hubungan Internasional”.

Diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Dadan Suryadipura. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

Josey, Alex. 1980. “Lee Kuan Yew: The Crucial Years. Times?”.Books International.

35
Milne, R.S. & Mauzy, Diane K. 1999. “Malaysian Politics under Mahathir”. Routledge.

Meredith L. Weiss. 2003. "The 1999 Malayan General Elections: Issues, Insults, and

Irregularities." Asian Survey.

Newman, D.M. 2012. “Sociology: Exploring The Architecture Of Everyday Life”. Los

Angeles: Sage.

Ongkili, James P. 1985. Nation-building in Malaysia 1946–1974. Oxford University

Press.

Ooi, Jeff. 2005. "Social Contract: “Utusan got the context wrong.”

Steans, Jill and Pettiford, Lloyd & Diez, Thomas. 2005. “Introduction to International

Relations, Perspectives & Themes”, 2nd edition, Pearson & Longman, Chap. 5, hlm.

129.

Weber, Cynthia, 2005. “International Relations Theory, A Critical Introduction”,

Routledge.

36

Anda mungkin juga menyukai