Anda di halaman 1dari 8

Tugas Final

HUKUM DAGANG

OLEH:

VISTA RAHMASARI

H1A116864

Kelas: C

Dosen Pengajar:

Dr. Muhammad Satria, SH.,MH

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITS HALU OLEO

KENDARI
2019

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan “Pelaku Usaha” dalam UU No.5 Tahun

1999 tentang larangan persaingan usaha tidak sehat.

Jawab:

Subjek dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

(“UU 5/1999”) adalah pelaku usaha. Pengertian pelaku usaha menurut

Pasal 1 angka 5 UU 5/1999, yaitu:

“Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha,

baik yang berbentuk badan hukum atau badan hukum yang didirikan

dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum

negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama- sama

melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha

dalam bidang ekonomi.”

2. Jelaskan perbedaan antara badan usaha (perusahaan) yang “berBadan

Hukum” dan badan usaha yang “bukan berBadan Hukum”.

Jawab:

Perbedaan yang mendasar dari bentuk Usaha berbadan hukum dan

tidak berbadan hukum adalah :

- Usaha berbadan hukum adalah:


 Dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dalam

hubungan-hubungan hukum (rechtsbetrekking)

 Mempunyai harta kekayaan sendiri, dimana harta perusahaan

dan harta pribadi dipisahkan secara jelas.

 Mempunyai hak dan kewajiban

 Dapat digugat dan menggugat didepan pengadilan

Contoh : 

Perseroan Terbatas (PT), Perusahaan Umum (Perum),

Perusahaan Perseroan (Persero), Perusahaan Daerah

(Prusda), Koperasi, dan Yayasan.

Sejak pendiriannya disahkan, maka subyek hukum badan usaha

berbadan hukum itu adalah dia sendiri sebagai personifikasi orang

sebagai badan hukum. Oleh karenanya, dia sendiri telah diakui sebagai

badan hukum terpisah dari pendiri/pemegang saham. Dalam melakukan

perbuatannya, badan usaha berbadan hukum diwakilkan oleh

pengurus/direksi yang ditunjuk sesuai dengan akta pendirian/anggaran

dasar.

- Sedangkan usaha tidak berbadan hukum adalah:

 Tidak dapat melakukan perbuatan hukum dalam hubungan

hukum karena bukan merupakan subjek hukum


 Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum diletakan pada

mitra atau sekutu dari bentuk usaha tersebut, dengan pembatasan

pengaturan yang ditetapkan oleh undang-undang

 Harta kekayaan perusahaan dan pribadi tidak terpisah dengan

jelas, atau pada prinsipnya usaha ini tidak memiliki kekayaan

sendiri.

 Tidak mempunyai hak dan kewajiban

 Tidak dapat digugat dan menggugat pada bentuk usaha ini tetapi

dapat dilakukan pada pemilik atau pengurusnya karena

merekalah secara tidak langsung yang melakukan hubungan

hukum.

Contoh: 

Perusahaan Perseorangan, Persekutuan Perdata, Firma dan

Persekutuan Komanditer (CV)

Subyek hukum dalam badan usaha tidak berbadan hukum melekat

pada pendiri atau pengurusnya, dengan demikian badan usaha tersebut

bukan merupakan subyek hukum yang berdiri sendiri di luar

pendiri/pengurus. Dalam melakukan hubungan hukum dengan pihak

ketiga, badan usaha tidak berbadan hukum diwakilkan oleh pendiri yang

sekaligus juga bertindak sebagai pengurus.


3. Jelaskan siapa-siapa saja yang dapat diangkat untuk menjadi “Pembina”

dalam suatu yayasan!

Jawab:

Sebagaimana disebutkan dalam pasal 28 ayat (1) UU No. 28

tahun 2004, yang dinamakan Pembina adalah organ Yayasan yang

mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada Pengurus atau

Pengawas oleh Undang-undang ini atau Anggaran Dasar. Sedang yang

dapat diangkat sebagai anggota Pembina adalah adalah orang

perseorangan sebagai pendiri Yayasan dan/atau mereka yang

berdasarkan keputusan rapat anggota Pembina dinilai mempunyai

dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan.

Anggota Pembina tidak diberi gaji dan/atau tunjangan oleh

Yayasan.Masa jabatan Dewan Pembina tidak ditentukan lamanya.

Anggota Dewan Pembina tidak boleh merangkap menjadi anggota

Dewan Pengurus maupun Dewan Penasihat.

4. Untuk mendirikan yayasan diperlukan kekayaan yang dipisahkan dari harta

pribadi. Jelaskan bersumber dari mana saja “kekayaan yayasan” tersebut.

Jawab:

Pasal 26, Pasal 27 UU No 16 Tahun 2001 menyebutkan bahwa

sumber kekayaan yayasan dapat berasal dari salah satu atau dari

beberapa sumber. Yang utama adalah kekayaan yang dipisahkan dari

kekayaan pribadi oleh pendiri sebagaimana disebutkan pada Pasal 26


ayat (1) UU No 16 Tahun 2001, “Kekayaan Yayasan berasal dari

sejumlah kekayaan yang dipisahkan dalam bentuk uang atau barang”,

yang nilanya sebesar yang diatur pada Pasal 6, PP No 63 Tahun 2008

tentang pelaksanaan UU Yayasan.

Selain kekayaan tersebut, Pasal 26 ayat (2) menentukan bahwa

kekayaan yayasan dapat bersumber dari: a. Sumbangan atau bantuan

yang tidak mengikat; b. wakaf; c. hibah; d. hibah wasiat; e. perolehan

lain yang tidak bertentangan dengan AD Yayasan dan/atau peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Dalam hal tertentu, negara dapat memberikan bantuan kepada

Yayasan dengan tata cara yang diatur dalam Pasal 20-25, PP No 63

Tahun 2008 tersebut di atas. Antara lain yang penting di situ ialah

bantuan negara adalah bantuan dari negara kepada Yayasan yang

didirikan oleh Orang Indonesia yang pelaksanaannya dilakukan oleh

Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah. Bantuan dari pemerintah

pusat bersumber dari APBN, sedangkan bantuan dari pemerintah

daerah bersumber dari APBD.

Bantuan tersebut diberikan oleh pemerintah pusat apabila yayasan

memiliki program yang menunjang kegiatan pemerintah pusat atau

daerah apabila yayasan memiliki program yang menunjang kegiatan

pemerintah daerah setempat. Wujudnya, bisa uang, bisa jasa, atau


bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang yang dilakukan dengan

cara hibah atau cara lain.

Menurut ketentuan Pasal 22, bantuan negara kepada Yayasan

dapat diberikan dengan atau tanpa adanya permohonan dari Yayasan.

Bila tanpa permohonan berarti pemberiannya tergantung dari

kebijakan pemerintah berdasarkan ketentuan UU. Namun, jika dengan

permohonan, maka prosedurnya harus melalui pengajuan permohonan

oleh pengrus yayasan kepada menteri atau pimpinan lembaga

pemerintah nondepartemen yang ruang lingkup tugas dan tanggung

jawabnya berkaitan dengan kegiatan Yayasan; atau gubernur, bupati,

atau walikota di tempat kedudukan Yayasan dan/atau di tempat

Yayasan melakukan kegiatannya.

Status bantuan dan kekayaan yang telah ada sebelum bantuan

adalah kekayaan yayasan, bukan kekayaan pengurus, pembina, atau

pengawas. Oleh karena itu, pemakaiannya oleh yayasan harus

didasarkan pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh yayasan sendiri

dalam Anggaran Dasar (AD) Yayasan. Dalam hal yayasan mendirikan

badan usaha, maka dalam AD harus sudah tercantum hal tersebut

dengan memerhatikan Pasal 5, Pasal 7, dan Pasal 8 UU No 16 Tahun

2001 yang telah diubah dengan UU No 28 Tahun 2004. 

Tegasnya, setelah dana bantuan itu diberikan kepada yayasan,

maka yayasan dapat menggunakannya untuk kegiatan yayasan,


termasuk dalam mendirikan badan usaha dan/atau penyertaan modal

pada badan usaha prospektif.

5. Krisis ekonomi dan krisis lapangan kerja yang melanda Indonesia juga

berpengaruh sangat besar terhadap pertumbuhan lapangan kerja di Kota

kendari. Akibat kondisi tersebut, masyarakat berusaha untuk menciptakan

lapangan kerja sendiri dengan membuka peluang usaha antara lain

mendirikan toko, lapak, ataupun kios-kios dagang di pinggir jalan. Atas

pembukaan kios2 tsb, Pemda Kota Kendari mengharuskan kepada setiap

pengusaha tersebut untuk mengurus SITU (surat izin tempat usaha). Banyak

dikalangan pedagang tsb keberatan atas adanya kewajiban untuk mengurus

SITU yg diwajibkan oleh Pemkot. Pertanyaan: Apakah semua pedagang yg

membuka usaha dagang tersebut wajib mengurus SITU..? Jika memang wajib

apa dasar hukumnya ? dan jika pedagang keberatan untuk mengurus SITU,

peraturan mana yg bisa dijadikan dasar hukumnya? Jelaskan.

Jawab:

Anda mungkin juga menyukai