Anda di halaman 1dari 3

Nama : Ignasius G. M. B.

Wale

NPM : 17.75.6143

Karl Popper adalah filsuf yang familiar tidak hanya di kalangan para filsuf tetapi juga
di kalangan masyarakat luas dengan prinsip falsifikasinya. Pada hakikatnya arah dari prinsip
falsifikasi Popper adalah tanggapan kritis terhadap dua permasalahan dalam ilmu pengetahuan,
yakni permasalahan induksi dan demarkasi. Prinsip falsifikasi dengan metode deduktif menjadi
solusi kritis Popper terhadap permasalahan-permasalahan itu. Popper sendiri menerapkan prinsip
falsifikasi ini dalam ilmu-ilmu alam, dan terutama dalam ilmu-ilmu sosial politik. Dengan
paradigma falsifikasi yang dikemukakannya, dapatlah dipertanyakan: apakah yang sebetulnya
dikehendaki Popper, khususnya sehubungan dengan cita-cita sosial yaitu mengenai ke mana
perubahan sosial harus diarahkan?

Dalam kaitannya dengan tujuan penerapan prinsip falsifikasi di atas, Popper pun
mengusulkan adanya suatu iklim atau budaya masyarakat terbuka (open society). Gagasan
masyarakat terbuka ini sangatlah substansial karena pemikiran yang ditawarkan sarat dengan
nilai-nilai humanis universal, seperti kebebasan, pengakuan atas perbedaan, jaminan atas hak-
hak mendasar, menghargai rasionalitas, dan kepedulian pada pihak lain. 1 Nilai-nilai humanis itu
diusung Popper sebagai episteme masyarakat terbuka dalam menjalankan demokrasi politik dan
sosial. Jelas bahwa pemikirannya ini berlawanan dengan iklim sosial politik dan budaya
masyarakat tertutup yang mengidolakan totalitarianisme, heteronomistik, otoritarianisme, dan
feodalisme. Dalam situasi yang demikian (tertutup), kehidupan pun menjadi terarah pada suatu
situasi dilematis, dilema authority dan freedom, dilema kekuasaan dan kebebasan. Kebebasan
individu dihadapkan pada kekuasaan yang tentu dimiliki kaum penguasa. Dilema authority dan
freedom ini menjadi masalah pokok dalam perkembangan pikiran tentang demokrasi yang
merupakan salah satu alternatif tentang cara penyelenggaraan kekuasaan politik.2 Paham ini
berpendirian bahwa rakyat yang diperintah adalah juga yang memerintah. Jelas dalam hal ini apa
yang disebut alternatif itu menjadi sesuatu yang tidak mungkin terjadi di dalam masyarakat
tertutup. Di indonesia sendiri, iklim masyarakat tertutup itu sangat jelas terasa dalam era Orde
Baru. Pada masa ini demokrasi hanya tertera sebagai hitam di atas putih, masyarakat tidak
memiliki kebebasan, tidak ada pengakuan atas perbedaan, jaminan atas hak-hak dasar manusia
sangat minim, pemerintah memegang kuasa penuh dan pastinya kebal kritik. Ini sungguh
1
Kasdin Sihotang, “Pendidikan Terbuka Untuk Masyarakat Terbuka”, Majalah Prisma, I (vol 30, 2011), hlm. 93.
2
Ignasius Wale, “Otoritarianisme; Antara Tanggung Jawab dan Tindak Sewenang-wenang” (Karya akhir, SMA
Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu-Mataloko), hlm. 44.
merupakan suatu situasi yang sulit. Lalu, bagaimana dengan kondisi Indonesia pada saat ini?
Sudahkah kita tentram dalam iklim masyarakat terbuka yang demokratis?

Buah pemikiran Popper tentang masyarakat terbuka dapat dijadikan titik pijak dalam
merefleksi dan memperbaiki tatanan sosial politik Indonesia. Beberapa hal yang bisa diteropong
melalui pemikirannya ini yakni bahwa, pertama, animo bangsa Indonesia untuk maju tampak
begitu besar. Tumbangnya Orde Baru digantikan Orde Reformasi merupakan bukti nyata bahwa
bangsa ini memiliki kehendak kuat untuk maju. Melalui reformasi, sebagian besar elemen
bangsa ingin membangun sistem pemerintahan yang lebih bersih, berwibawa, dan profesional
berbasis pada nilai-nilai demokrasi. Hal tersebut sudah ditandaskan sebagai tekad bersama.
Bagaimanapun juga, tekad itu harus diejawantahkan secara konsisten.

Kedua, realitas empiris bangsa ini adalah pluralitas. Tidak ada bangsa Indonesia
tanpa keanekaragaman. Keanekaragaman merupakan kenyataan tak terbantahkan. Sayangnya,
keanekaragaman itu belum merasuk di benak kesadaran masyarakat. Ia masih berada dalam
tataran historis-empiris. Salah seorang akademisi negeri ini pernah mengatakan bahwa fakta
kemajemukan dalam bangsa ini seharusnya diakui sebagai aset sangat berharga untuk
demokrasi.3 Itu merupakan potensi yang dapat dikembangkan untuk memberdayakan masyarakat
terbuka.

Ketiga, Kualitas hidup berbangsa dan bernegara masih mengindikasikan karakter


masyarakat tertutup. Dalam banyak kasus, masih sering kita temukan bahwa pengakuan atas
perbedaan dalam berkeyakinan, kebebasan berekspresi dalam ruang publik, serta pengakuan atas
hak-hak mendasar setiap pribadi dan kelompok belum menyentuh kehidupan bersama.
Pelarangan terhadap umat agama tertentu untuk beribadah dan bahkan pembakaran atau
pengrusakan tempat ibadah, minimnya penerimaan aspirasi publik dalam perumusan peraturan
atau kurangnya pelibatan publik dalam penetapan kebijakan-kebijakan negara (semisal
pelemahan fungsi KPK yang adalah tumpuan utama untuk mewujudkan pemerintahan yang
bersih). Demikianlah beberapa contoh dari banyak contoh lain yang bisa menggambarkan
langkah mundur demokrasi Indonesia.

Gagasan masyarakat terbuka Karl Popper sangatlah tepat bila diletakkan dalam
bingkai tiga hal di atas. Persoalan mendasar yang kemudian harus dihadapi bersama adalah
bagaimana melabuhkan gagasan masyarakat terbuka itu dalam kenyataan hidup sehari-hari.
Dalam hal ini, seperti telah disebutkan dalam poin kedua di atas, kita harus mengakui dan
3
Eep Saefulloh Fatah, Provokasi Awal Abad; Membangun Panca Daya, Merebut Kembali Kemanusiaan (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 13.
menerima keanekaragaman atau kemajemukan sebagai aset kekayaan bangsa dan bukan sebagai
ancaman. Karena itu, karakter pribadi demokratis sangat diperlukan demi terwujudnya
masyarakat terbuka. Artinya, kita memerlukan pribadi-pribadi yang berani bersuara dan
bertindak mengakui perbedaan sebagai hal mendasar, pribadi yang memberi ruang kebebasan
eksistensial lebih luas kepada setiap individu, pribadi yang mengakui dan menghormati hak-hak
mendasar dalam hidup bersama, pribadi yang berpikiran luas, dan pribadi yang selalu berpikir
positif terhadap sesama. Dengan adanya pribadi-pribadi berkarakter demikian, maka kita mampu
(seperti yang dikehendaki Popper) memerangi kecenderungan verifikasi alamiah pada manusia;
kecenderungan membenarkan diri dan bukannya mempersalahkan diri.4 Kita (masyarakat bangsa
Indonesia) pun dengan sendirinya mampu bergerak maju, hidup sejahtera dalam iklim demokrasi
yang sehat.

4
Diktat Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan, “Karl Popper: Ilmu Pengetahuan yang Terbuka pada Kritik”, hlm. 64.

Anda mungkin juga menyukai