Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

RISIKO BUNUH DIRI

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


Rsiko Bunuh Diri

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


A. Definisi
Resiko bunuh diri adalah resiko untuk mencederai diri sendiri yang dapat
mengancam kehidupan. Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri karena merupakan
perilaku untuk mengakhiri kehidupannya. Perilaku bunuh diri disebabkan karena stress
yang tinggi dan berkepanjangan dimana individu gagal dalam melakukan mekanisme
koping yang digunakan dalam mengatasi masalah. Beberapa alasan individu mengakhiri
kehidupan adalah kegagalan untuk beradaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stress,
perasaan terisolasi, dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal/ gagal
melakukan hubungan yang berarti, perasaan marah/ bermusuhan, bunuh diri dapat
merupakan hukuman pada diri sendiri, cara untuk mengakhiri keputusasaan (Stuart,
2006).
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan. Bunuh diri merupakan keputusan terakhir dari individu untuk
memecahkan masalah yang dihadapi (Captain, 2008). Menciderai diri adalah tindakan
agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan. Bunuh diri mungkin
merupakan keputusan terakhir dari individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi
(Captain, 2008).

B. Etiologi
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya resiko bunuh diri ada dua
faktor, yaitu factor predisposisi (factor risiko) dan factor presipitasi (factor pencetus).
1. Faktor predisposisi
Stuart (2006) menyebutkan bahwa faktor predisposisi yang menunjang perilaku
resiko bunuh diri meliputi:
1) Diagnosis psikiatri
Tiga gangguan jiwa yang membuat klien berisiko untuk bunuh diri yaitu
gangguan alam perasaan, penyalahgunaan obat, dan skizofrenia.
2) Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan peningkatan resiko bunuh
diri adalah rasa bermusuhan, impulsif, dan depresi.
3) Lingkungan psikososial
Baru mengalami kehilangan, perpisahan atau perceraian,kehilangan yang dini,
dan berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor penting yang
berhubungan dengan bunuh diri.
4) Biologis
Banyak penelitian telah dilakukan untuk menemukan penjelasan biologis yang
tepat untuk perilaku bunuh diri. Beberapa peneliti percaya bahwa ada gangguan
pada level serotonin di otak, dimana serotonin diasosiasikan dengan perilaku
agresif dan kecemasan. Penelitian lain mengatakan bahwa perilaku bunuh diri
merupakan bawaan lahir, dimana orang yang suicidal mempunyai keluarga
yang juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Walaupun demikian,
hingga saat ini belum ada faktor biologis yang ditemukan berhubungan secara
langsung dengan perilaku bunuh diri
5) Psikologis
Leenars (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003) mengidentifikasi tiga bentuk
penjelasan psikologis mengenai bunuh diri. Penjelasan yang pertama
didasarkan pada Freud yang menyatakan bahwa “suicide is murder turned
around 180 degrees”, dimana dia mengaitkan antara bunuh diri dengan
kehilangan seseorang atau objek yang diinginkan. Secara psikologis, individu
yang beresiko melakukan bunuh diri mengidentifikasi dirinya dengan orang
yang hilang tersebut. Dia merasa marah terhadap objek kasih sayang ini dan
berharap untuk menghukum atau bahkan membunuh orang yang hilang
tersebut. Meskipun individu mengidentifikasi dirinya dengan objek kasih
sayang, perasaan marah dan harapan untuk menghukum juga ditujukan pada
diri. Oleh karena itu, perilaku destruktif diri terjadi
6) Sosiokultural
Penjelasan yang terbaik datang dari sosiolog Durkheim yang memandang
perilaku bunuh diri sebagai hasil dari hubungan individu dengan
masyarakatnya, yang menekankan apakah individu terintegrasi dan teratur atau
tidak dengan masyarakatnya

2. Faktor presipitasi
Stuart (2006) menjelaskan bahwa pencetus dapat berupa kejadian yang
memalukan, seperti masalah interpersonal, dipermalukan di depan
umum,kehilangan pekerjaan, atau ancaman pengurungan. Selain itu, mengetahui
seseorang yang mencoba atau melakukan bunuh diri atau terpengaruh media untuk
bunuh diri, juga membuat individu semakin rentan untukmelakukan perilaku bunuh
diri.
Faktor pencetus seseorang melakukan percobaan bunuh diri adalah perasaan
terisolasi karena kehilangan hubungan interpersonal/gagal melakukan hubungan
yang berarti, kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stres,
perasaan marah/bermusuhan dan bunuh diri sebagai hukuman pada diri sendiri,
serta cara utuk mengakhiri keputusasaan.

C. Jenis
Perilaku bunuh diri terbagi menjadi tiga kategori (Stuart, 2006):
1. Ancaman bunuh diri yaitu peringatan verbal atau nonverbal bahwa seseorang
tersebut mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang yang ingin bunuh diri
mungkin mengungkapkan secara verbal bahwa ia tidak akan berada di sekitar kita
lebih lama lagi atau mengomunikasikan secara non verbal.
2. Upaya bunuh diri yaitu semua tindakan terhadap diri sendiri yang dilakukan oleh
individu yang dapat menyebabkan kematian jika tidak dicegah.
3. Bunuh diri yaitu mungkin terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau
diabaikan. Orang yang melakukan bunuh diri dan yang tidak bunuh diri akan terjadi
jika tidak ditemukan tepat pada waktunya.
Sementara itu, Yosep (2010) mengklasifikasikan terdapat tiga jenis bunuh diri,
meliputi:
1.Bunuh diri anomik
Bunuh diri anomik adalah suatu perilaku bunuh diri yang didasari oleh faktor
lingkungan yang penuh tekanan (stressful) sehingga mendorong seseorang untuk
bunuh diri.
2.Bunuh diri altruistik
Bunuh diri altruistik adalah tindakan bunuh diri yang berkaitan dengan
kehormatan seseorang ketika gagal dalam melaksanakan tugasnya.
3.Bunuh diri egoistik
Bunuh diri egoistik adalah tindakan bunuh diri yang diakibatkan faktor dalam diri
seseorang seperti putus cinta atau putus harapan.

D. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala menurut Fitria (2009):
1. Mempunyai ide untuk bunuh diri
2. Mengungkapkan keinginan untuk mati
3. Impulsif
4. Menunjukan perilaku yang mencurigakan
5. Mendekati orang lain dengan ancaman
6. Menyentuh orang lain dengan cara menakutkan
7. Latar belakang keluarga

E. Kemampuan Mengatasi Masalah /Sumber Koping


1. Kemampuan personal: kemampuan yang diharapkan pada klien dengan resiko bunuh
diri yaitu kemampuan untuk mengatasi masalahnya.
2. Dukungan sosial: adalah dukungan untuk individu yang di dapat dari keluarga, teman,
kelompok, atau orang-orang disekitar klien dan dukungan terbaik yang diperlukan oleh
klien adalah dukungan keluarga.
3. Asset material: ketersediaan materi antara lain yaitu akses pelayanan kesehatan, dana
atau finansial yang memadai, asuransi, jaminan pelayanan kesehatan dan lain-lain.
4. Keyakinan positif: merupakan keyakinan spiritual dan gambaran positif seseorang
sehingga dapat menjadi dasar dari harapan yang dapat mempertahankan koping adaptif
walaupun dalam kondisi penuh stressor. Keyakinan yang harus dikuatkan pada klien
resiko bunuh diri adalah keyakinan bahwa klien mampu mengatas masalahnya.

F. Mekanisme Koping
Klien dengan penyakit kronis, nyeri, atau penyakit yang mengancam kehidupan
dapat melakukan perilaku destruktif-diri. Sering kali klien secara sadar memilih bunuh
diri. Menurut Stuart (2006) mengungkapkan bahwa mekanisme pertahanan ego yang
berhubungan dengan perilaku destruktif diri tidak langsung adalah penyangkalan,
rasionalisasi, intelektualisasi, dan regresi. Menurut Fitria (2012) mengemukakan rentang
harapan-putus harapan merupakan rentang adaptif-maladaptif.

Keterangan:
a. Peningkatan diri: seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahan diri secara
wajar terhadap situasional yang membutuhkan pertahan diri.
b. Beresiko destruktif: seseorang memiliki kecenderungan atau beresiko mengalami
perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhadap situasi yang seharusnya
dapat mempertahankan diri, seperti seseorang merasa patah semangat bekerja ketika
dirinya dianggap tidak loyal terhadap pimpinan padahal sudah melakukan pekerjaan
secara optimal.
c. Destruktif diri tidak langsung: seseorang telahmengambil sikap yang kurang tepat
terhadap situasi yangmembutuhkan dirinya untuk mempertahankan diri.
d. Pencederaan Diri: seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau pencederaan diri
akibat hilangnya harapan terhadapsituasi yang ada.
e. Bunuh diri: seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai dengan nyawanya
hilang.
G. Stressor Pencetus
Stuart (2006) menjelaskan bahwa pencetus dapat berupa kejadian yang
memalukan, seperti masalah interpersonal, dipermalukan di depan umum, kehilangan
pekerjaan, atau ancaman pengurungan. Selain itu, mengetahui seseorang yang mencoba
atau melakukan bunuh diri atau terpengaruh media untuk bunuh diri, juga membuat
individu semakin rentan untuk melakukan perilaku bunuh diri.

III. A. POHON MASALAH

Resiko perilaku kekerasan Akibat

Resiko Bunuh Diri Core Problem

Isolasi Sosial
Penyebab

Harga Diri Rendah Penyebab

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI


Subjektif :
1. Mengatakan keinginan bunuh diri.
2. Mengatakan keinginan untuk mati.
3. Mengatakan rasa bersalah dan keputusasaan.
4. Ada riwayat berulang percobaan bunuh diri sebelumnya dari keluarga.
5. Berbicara tentang kematian, menanyakan tentang dosis obat yang mematikan.
6. Mengatakan adanya konflik interpersonal.
7. Mengatakan telah menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil.
Objektif :
1. Impulsif.
2. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh).
3. Ada riwayat penyakit mental (depresi, psikosis, dan penyalahgunaan alkohol).
4. Ada riwayat penyakit fisik (penyakit kronis atau penyakit terminal).
5. Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau kegagalan dalam karier).
6. Status perkawinan yang tidak harmonis.

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Risiko Bunuh Diri
V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
1. Listening, Kontrak, Kolaborasi dengan Keluarga
Klien bisa ditolong dengan terapi dan bisa hidup lebih baik, jika ia mau berbicara dan
mendengar dalam upaya memecahkan persoalan, serta tidak ada alasan melalui
kesulitan sendirian tanpa bantuan orang lain. Selain itu, bila mendapati ada orang yang
hendak melakukan bunuh diri, sebaiknya dengarkan apa yang dia keluhkan. Berikan
dukungan agar dia tabah dan tetap berpandangan bahwa hidup ini bermanfaat, buat
lingkungan tempat dia tinggal aman dengan cara menjauhkan alat-alat yang bisa
digunakan untuk bunuh diri. “Kalau perlu buatlah semacam ‘kontrak’ pada dia untuk
tidak melakukan bunuh diri, meski tingkat keberhasilan ini sangat kecil. “Kesulitan
utama yang dihadapi apabila orang yang akan melakukan bunuh diri itu tidak
menunjukkan gejala-gejala tersebut. Pada tingkat permukaan dia tampak mengerti dan
memahami arti hidup, serta terkesan tidak akan melakukan bunuh diri, tetapi tiba-tiba
dia sudah mati bunuh diri. Lingkungan sosial, termasuk keluarga, juga menjadi sarana
yang baik untuk membantu mengurangi atau menghilangkan keinginan orang untuk
bunuh diri.
2. Pahami Persoalan dari “Kacamata” Mereka
Menghadapi orang yang berniat bunuh diri atau gagal melakukan bunuh diri, perlu sikap
menerima, sabar dan empati. Perawat berupaya agar tidak bersikap memvonis,
memojokkan, apalagi menghakimi mereka yang punya niat bunuh diri atau gagal
melakukan bunuh diri. “Kalau mereka merasa dipojokkan kemungkinan bunuh diri akan
semakin cepat”. Yang paling penting disini adalah mencoba menampung segala
keluhannya dan menjadi pendengar yang baik. Hindari argumentasi dan nasihat-nasihat.
Jangan harap kata-kata anda bisa menjadi senjata ajaib untuk menyadarkannya. Pada
dasarnya dalam diri orang yang ingin bunuh diri tersimpan sikap mendua atau
ambivalen. Sebagian dari dirinya ingin tetap hidup, tapi sebagian lagi ingin segera mati
untuk mengakhiri penderitaannya. Karena sedang menderita itulah, sebenarnya ia sangat
membutuhkan orang lain. Ia butuh ventilasi untuk mengalirkan masalah dan
perasaannya. Namun, orang yang berniat bunuh diri biasanya takut untuk mencoba
mencari pertolongan. Ia takut usaha itu justru akan menambah beban penderitaannya
karena bisa saja ia akan dibilang bodoh, sinting, berdosa, atau diberi cap negatif lainnya.
3. Pentingnya Partisipasi Masyarakat
Gangguan kejiwaan sebenarnya bisa sembuh hanya perlu terus dievaluasi karena bisa
sewaktu-waktu kambuh. Masih banyak stigma atau penilaian negatif di masyarakat
kepada klien gangguan kejiwaan. Namun, bila dibandingkan dulu, stigma sekarang
sudah menurun. Bahkan stigma membuat pihak keluarga klien juga tidak memahami
karakter anggota keluarganya yang menderita gangguan jiwa. Keluarga jadi bersikap
apatis dan sering mengelak bila diajak konsultasi ke psikiater.Padahal, dukungan
keluarga sangat penting untuk upaya penyembuhan klien gangguan kejiwaan. Keluarga
perlu didukung masyarakat sekitarnya agar klien gangguan jiwa dianggap sama dengan
penyakit-penyakit fisik lain seperti Decomp, DM,hepatitis, dan sebagainya. Yang
membutuhkan perawatan dan tenaga ahli serta dianggap sebagai cobaan yang bisa
menimpa siapa saja.
4. Express Feeling
Perlu ada dukungan dari lingkungan. Istilah ngetopnya sharing atau curhat, sehingga
membantu meringankan beban yang menerpa. Salah satu solusi yang ditawarkan selain
mengontrol emosi, lebih mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Express feeling
sangat penting agar masalah yang menekan semakin ringan.
5. Lakukan Implementasi khusus
1) Semua ancaman bunuh diri secara verbal dan non verbal harus ditanggap serius
oleh perawat, Laporkan sesegera mungkin dan lakukan tindakan pengamatan
2) Jauhkan semua benda yang berbahaya dari lingkungan klien.
3) Jika klien beresiko tinggi untuk bunuh diri, observasi secara ketat meskipun di
tempat tidur/kamar mandi.
4) Observasi dengan cermat saat klien makan obat, periksa mulut, pastikan bahwa obat
telah ditelan, berikan obat dalam bentuk cair bila memungkinkan.
5) Jelaskan semua tindakan pengamanan kepada klien, komunikasikan perhatian dan
kepedulian perawat
6) Waspadai bila klien terlihat tenang sebab mungkin saja ia telah selesai
merencanakan bunuh diri.

VI. STRATEGI PELAKSANAAN


SP1P
1. Mengidentifikasi benda-benda yang dapat membahayakan klien.
2. Mengamankan benda-benda yang dapat membahayakan klien.
3. Melakukan kontrak treatment.
4. Mengajarkan cara-cara mengendalikandorongan bunuh diri.
5. Melatih cara mengendalikan dorongan bunuh diri
SP2P
1. Mengidentifikasi aspek positif klien.
2. Mendorong klienuntuk berpikir positif tentang diri.
3. Mendorong klienuntuk menghargai diri sebagai individu yang berharga
SP3P
1. Mengidentifikasi pola koping yang biasa diterapkan klien.
2. Menilai pola koping yang biasa dilakukan.
3. Mengidentifikasi pola koping yang konstruktif
4. Mendorong klien memilih pola koping yang konstruktif
5. Menganjurkan klien menerapkan pola koping konstruktif dalam kegiatan harian.
SP4P
1. Membuat rencana masa depan yang realistis bersama klien
2. Mengidentifikasi cara mencapai rencana masa depan yang realistis.
3. Memberi dorongan klien melakukan kegiatan dalam rangka meraih masa depan yang
ralistis
4. Menganjurkan klien memasukkan kedalam jadwl kegiatan
SP1K
1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat klien.
2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala risiko bunuh diri, dan jenis perilaku bunuh
diri yang dialami klien beserta proses terjadinya.
3. Menjelaskan cara-cara merawat klien risiko bunuh diri.
SP2K
1. Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat kliendengan risiko bunuh diri.
2. Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat langsung kepada klien risiko bunuh
diri.
SP3K
1. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum obat
(discharge planning)
2. Menjelaskan follow up klien setelah pulang.
RUFA (Respon Umum Fungsi Adaptif)Bunuh Diri

(Skor: 1-10 Skala RUFA) (Skor: 11-20 Skala (Skor: 21-30 Skala RUFA
RUFA
Percobaan Bunuh Diri Ancaman Bunuh Diri Isyarat Bunuh Diri
1. Aktif mencoba bunuh diri 1. Aktif memikirkan 1. Mungkin sudah
dengan cara: rencana bunuh diri, memiliki ide untuk
a. gantung diri namun tidak disertai mengakhiri hidupnya,
b. minum racun dengan percobaan namun tidak disertai
c. memotong bunuh diri dengan ancaman dan
urat nadi 2. Mengatakan ingin percobaan bunuh diri
d. menjatuhkan bunuh diri namun 2. Mengungkapkan
diri dari tempat tanpa rencana yang perasaan seperti rasa
yang tinggi spesifik bersalah / sedih / marah /
2. Mengalami depresi 3. Menarik diri dari putus asa / tidak berdaya
3. Mempunyai rencana pergaulan sosial 3. Mengungkapkan hal-
bunuh diri yang spesifik hal negatif tentang diri
4. Menyiapkan alat untuk sendiri yang
bunuh diri (pistol, pisau, menggambarkan harga
silet, dll) diri rendah
4. Mengatakan: “Tolong
jaga anak-anak karena
saya akan pergi jauh!”
atau “Segala sesuatu akan
lebih baik tanpa saya.”
DAFTAR PUSTAKA

Stuart, G. W. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

Keliat A. Budi, Akemat. 2009. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: EGC.

Fitria,Nita.2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP & SP) untuk 7 Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat
bagi Program S1 Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai