Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

KONSEP KEBIDANAN
Perkembangan Profesi Bidan Di Indonesia

Dosen Mata Kuliah :


Lisma Evareny, S. Kep, MPH

Disusun Oleh :
Asti Marian Sari
720200116

PROGRAM MATRIKULASI S2 ILMU KEBIDANAN


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ANDALAS
2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin. Segala puji bagi Allah SWT, yang tiada tuhan selain
Nya yang menguasai alam semesta ini, dan melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya
kepada kita semua, sehingga dengan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah pada
mata kuliah konsep kebidanan dengan pokok bahasan PERKEMBANGAN PROFESI
BIDAN DI INDONESIA.
Penyusunan makalah ini tidak akan terlaksana tanpa bimbingan dan pengarahan
dari semua pihak. Untuk itu pada kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terimakasih
kepada ibu Lisma Evareny, S. Kep, MPH sebagai dosen mata kuliah Konsep kebidanan
yang telah membimbing penulis.
Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik, saran dan evaluasi demi
perbaikan penulisan makalah ini.

Bengkulu, Maret 2021

Penulis
DAFTAR ISI

halaman
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1.................................................................................................................................. Latar
Belakang.................................................................................................................. 1
1.2.................................................................................................................................. Rumu
san Masalah............................................................................................................. 2
1.3.................................................................................................................................. Tujuan
Penulisan.................................................................................................................. 2
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1. Pengertian profesi bidan ........................................................................................ 4
2.2................................................................................................................................. Ciri-
ciri bidan sebagai profesi......................................................................................... 5
2.3................................................................................................................................. Perkem
bangan bidan di Indonesia...................................................................................... 5
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ....................................................................................................... 14
3.2 Saran ................................................................................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA
BAB II TINJAUAN TEORI

2.1 PENGERTIAN PROFESI

Profesi berasal dari bahasa latin "Proffesio" yang mempunyai dua pengertian
yaitu janji / ikrar dan pekerjaan. Arti yang lebih luas menjadi kegiatan "apa saja" dan
"siapa saja" untuk memperoleh nafkah yang dilakukan dengan suatu keahlian
tertentu, sedangkan dalam arti sempit profesi berarti kegiatan yang dijalankan
berdasarkan keahlian tertentu dan sekaligus dituntut pelaksanaannya sesuai norma -
norma sosial dengan baik. Beberapa pengertian profesi menurut beberapa ahli
diantaranya: 1. Abraham Flexnman (1915) menyatakan profesi adalah aktifitas yang
bersifat intelektual berdasarkan ilmu pengetahuan, digunakan untuk 5 tujuan praktik
pelayanan, dapat dipelajari, terorganisir secara internal dan artistik mendahulukan
kepentingan orang lain. 2. Chin Yakobus (1983) mengartikan profesi sebagai suatu
pekerjaan yang membutuhkan pengetahuan khusus dalam bidang ilmu,
melaksanakan cara-cara dan peraturan yg telah disepakati anggota profesi itu. 3.
Suesmann (1997) mengungkapkan bawa profesi berorientasi kepada pelayanan
memiliki ilmu pengetahuan teoritik dgn otonomi dari kelompok pelaksana. Secara
umum profesi dapat diartikan pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan
penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus.
Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta proses
sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi tersebut. Contoh profesi
adalah pada bidang hukum, kedokteran, keuangan, militer,dan teknik. Bidan adalah
seorang perempuan yang lulus dari pendidikan Bidan yang diakui pemerintah dan
organisasi profesi di wilayah Negara Republik Indonesia serta memiliki kompetensi
dan kualifikasi untuk diregister, sertifikasi dan atau secara sah mendapat lisensi
untuk menjalankan praktik kebidanan.
Bidan adalah tenaga professional yang bertanggung-jawab dan akuntabel,
yang bekerja sebagai mitra perempuan untuk memberikan dukungan, asuhan dan
nasehat selama masa hamil, masa persalinan dan masa nifas, memfasilitasidan
memimpin persalinan atas tanggung jawab sendiri dan memberikan asuhan kepada
bayi baru lahir, dan bayi. Asuhan ini mencakup upaya pencegahan, promosi
persalinan normal, deteksi komplikasi pada ibu dan anak, dan akses bantuan medis
atau bantuan lain yang sesuai, serta melaksanakan tindakan kegawat-daruratan.
Bidan mempunyai tugas penting dalam konseling dan pendidikan kesehatan, tidak
hanya kepada perempuan, tetapi juga kepada keluarga dan masyarakat. Kegiatan ini
mencakup pendidikan antenatal dan persiapan menjadi orang tua serta dapat meluas
pada kesehatan perempuan, kesehatan seksual atau kesehatan reproduksi dan asuhan
anak. Bidan dapat praktik diberbagai tatanan pelayanan: termasuk di rumah,
masyarakat, Rumah Sakit, klinik atau unit kesehatan lainnya.

2.2 CIRI-CIRI BIDAN SEBAGAI PROFESI


Adapun ciri dari bidan sebagai profesi, yaitu :
1. Bidan disiapkan melalui pendidikan formal agar lulusannya dapat melaksanakan

pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya secara professional

2. Bidan memiliki alat yang dijadikan panduan dalam menjalankan profesinya, yaitu

standar pelayanan kebidanan, kode etik,dan etika kebidanan

3. Bidan memiliki kelompok pengetahuan yang jelas dalam menjalankan profesinya

4. Bidan memiliki kewenangan dalam menjalankan tugasnya

5. Bidan memberi pelayanan yang aman dan memuaskan sesuai dengan kebutuhan

masyarakat

6. Bidan memiliki organisasi profesi


7. Bidan memiliki karakteristik yang khusus dan dikenal serta dibutuhkan

masyarakat

8. Profesi bidan dijadikan sebagai suatu pekerjaan dan sumber utama penghidupan

2.3 Perkembangan Profesi bidan di Indonesia

Hari Bidan se-Dunia ("International Day of the Midwife", IDM ), pertama kali
diadakan pada tanggal 5 Mei 1991 dan sampai saat ini telah dirayakan oleh lebih dari
100 negara anggota "International Confederation of Midwife" (ICM atau
Konfederasi Bidan se-Dunia). Peringatan Hari Bidan se-Dunia tersebut diadakan
untuk menghormati jasa para bidan yang pada tahun 1987 mengadakan "International
Confederation of Midwives Conference" di Belanda.

Adapun ide untuk membentuk organisasi bidan internasional dimulai di Belgia


pada tahun 1919, ketika itu banyak asosiasi kebidanan nasional di berbagai negara
yang kemudian membentuk Uni Bidan Internasional, yang mengadakan Kongres
Internasional Pertama pada tahun 1922. Pada waktu itu hanya diwakili oleh negara-
negara di Eropa saja. Pertemuan selanjutnya diadakan berturut-turut pada tahun
1932, 1934, 1936 dan 1938. Meskipun selama perang banyak catatan organisasi yang
hilang, namun laporan tentang diadakannya kongres-kongres tersebut masih dapat
diselamatkan. Saat kongres-kongres tersebut para pemrakarsa menawarkan gagasan
yang menarik dalam masalah yang dihadapi oleh para bidan dalam konteks tahun
1930-an. Diantaranya adalah meningkatnya pengangguran masal, kemiskinan di
perkotaan dan pedesaan dan gizi buruk, bangkitnya fasisme dan belakangan tentang
adanya kemungkinan perang yang akan datang.

Berbasis di Perancis setelah perang dunia kedua, disepakati pada tahun 1953
diadakan "World Congress" bidan pertama, yang berlangsung di London pada tahun
1954. Pada Kongres tersebut disepakatilah nama baru organisasi yaitu "International
Confederation of Midwife" (ICM) serta AD/ART baru. Sekretariat ICM disepakati
pada "Royal College of Midwives" (RCM) yang berkantor pusat di London. Presiden
RCM, Nora Deane, kemudian terpilih sebagai Presiden ICM pertama dan Marjorie
Bayes terpilih sebagai Sekretaris Eksekutif, yang dijabatnya sampai tahun 1975.
Di Indonesia sendiri setiap tanggal 24 Juni diperingati pula sebagai Hari Bidan
Nasional. Sejarah lahirnya Hari Bidan Indonesia ini diawali dari Konferensi Bidan
Pertama di Jakarta pada tanggal 24 Juni 1951 atas prakarsa para bidan senior yang
berdomisili di Jakarta. Dalam sejarah bidan Indonesia juga menyebutkan bahwa
tanggal 24 Juni 1951 dipandang sebagai hari lahirnya Ikatan Bidan Indonesia (IBI).
Konferensi bidan pertama tersebut telah berhasil meletakkan landasan yang kuat
serta arah yang benar bagi perjuangan bidan selanjutnya, yaitu mendirikan sebuah
organisasi profesi bernama Ikatan Bidan Indonesia (IBI), yang berbentuk kesatuan,
bersifat Nasional, berazaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pada
konferensi IBI saat itu juga dirumuskan tujuan IBI, yaitu:

1. Menggalang persatuan dan persaudaraan antar sesama bidan serta kaum wanita
pada umumnya, dalam rangka memperkokoh persatuan bangsa.
2. Membina pengetahuan dan keterampilan anggota dalam profesi kebidanan,
khususnya dalam pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) serta kesejahteraan
keluarga.
3. Membantu pemerintah dalam pembangunan nasional, terutama dalam
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
4. Meningkatkan martabat dan kedudukan bidan dalam masyarakat. Dengan
landasan dan arah tersebut, dari tahun ke tahun IBI terus berkembang dengan
hasil-hasil perjuangannya yang semakin nyata dan telah dapat dirasakan
manfaatnya baik oleh masyarakat maupun pemerintah Indonesia sendiri.

Adapun sejarah panjang pendidikan bidan di Indonesia dimulai pada tahun


1851. Pendidikan bidan saat itu adalah masa penjajahan Belanda. Seorang dokter
militer Belanda, Dr. W. Bosch membuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di
Batavia. Pendidikan ini tidak berlangsung lama karena kurangnya peserta didik
dikarenakan adanya larangan bagi wanita untuk keluar rumah.

Kemudian pada tahun 1902 pendidikan bidan dibuka kembali bagi wanita
pribumi di Rumah Sakit militer di Batavia serta tahun 1904 pendidikan bidan bagi
wanita Indo dibuka di Makasar. Lulusan dari pendidikan ini harus bersedia
ditempatkan di mana saja tenaganya dibutuhkan dan mau menolong masyarakat
yang tidak atau kurang mampu secara cuma-cuma. Lulusan ini mendapat
tunjangan dari pemerintah kurang lebih 15-25 Gulden per bulan. Yang kemudian
dinaikkan menjadi 40 Gulden perbulan pada tahun 1922.

Pada tahun 1911/1912, dimulai pendidikan tenaga keperawatan secara


terencana di CBZ (RSUP) Semarang dan Batavia. Calon yang diterima adalah
dari HIS (pendidikan setara SD saat ini) dengan pendidikan keperawatan selama 4
tahun dan pada awalnya hanya menerima peserta didik pria, namun pada tahun
1914 kemudian diterima juga peserta didik wanita pertama. Bagi perawat wanita
yang lulus bisa melanjutkan kependidikan bidan selama 2 tahun. Untuk perawat
pria dapat meneruskan pendidikan keperawatan lanjutan selama dua tahun juga.

Selanjutnya, pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1935 mulai mendidik


bidan lulusan Mulo (setingkat SLTP bagian B) dan hampir bersamaan dengan itu
dibuka sekolah bidan di beberapa kota besar antara lain: di Jakarta di Rumah
Sakit Bersalin Budi Kemulyaan, RSB Palang Dua dan RSB Mardi Waluyo di
Semarang. Pada tahun itu juga dikeluarkan peraturan yang membedakan lulusan
bidan berdasarkan latar belakang pendidikan. Yaitu: - Bidan dengan latar
pendidikan Mulo dengan lama pendidikan 3 tahun disebut bidan kelas satu. -
Bidan dari lulusan perawat (mantri) disebut bidan kelas dua. Perbedaan ini sangat
berpengaruh dalam hal gaji pokok dan tunjangan bagi bidan.

Pada masa kemerdekaan Indonesia, maka pada tahun 1950-1953 dibuka


sekolah bidan dari lulusan SMP dengan batasan usia minimal 17 tahun dengan
lama pendidikan 3 tahun. Mengingat tenaga untuk menolong persalinan cukup
banyak maka kemudian dibuka lagi pendidikan pembantu bidan disebut
Penjenang Kesehatan E (PK/E) atau pembantu bidan (Pendidikan ini dilanjutkan
sampai tahun 1976 lalu kemudian sekolah itu ditutup). Peserta didik PK/E ini
adalah lulusan SMP ditambah 2 tahun kebidanan dasar. Lulusan PK/E kemudian
sebagian besar melanjutkan ke pendidikan bidan dengan tambahan waktu selama
2 tahun. Tahun 1953 dibuka kursus tambahan bidan (KTB) di Yogyakarta.
Lamanya kursus tersebut antara 7-12 minggu. Tahun 1960 KTB kemudian
dipindahkan ke Jakarta. Tujuan KTB adalah untuk memperkenalkan kepada
lulusan bidan mengenai perkembangan program KIA dalam pelayanan kesehatan
masyarakat, sebelum lulusan tersebut memulai tugasnya sebagai bidan, terutama
menjadi bidan di BKIA (Tapi kemudian pada tahun 1967 KTB ini ditutup)
Pendidikan guru bidan secara bersama-sama dengan guru perawat dan perawat
kesehatan masyarakat dibuka di Bandung pada tahun 1954. Pada awalnya
pendidikan ini hanya berlangsung satu tahun, akan tetapi kemudian menjadi 2
tahun dan terakhir berkembang menjadi 3 tahun.

Pada awal tahun 1972, institusi pendidikan ini lalu dilebur menjadi Sekolah
Guru Perawat (SGP). Pendidikan ini menerima calon dari lulusan sekolah perawat
dan sekolah bidan. Pada tahun 1970 dibuka program pendidikan bidan yang
menerima lulusan dari Sekolah Pengatur Rawat (SPR) dengan tambahan
pendidikan 2 tahun yang disebut Sekolah Pendidikan Lanjutan Jurusan Kebidanan
(SPLJK), akan tetapi pendidikan ini tidaklah dilaksanakan merata di seluruh
provinsi di Indonesia kala itu. Selanjutnya, mengingat jenis tenaga kesehatan
menengah dan bawah sangat banyak (24 kategori), maka pada tahun 1974,
Depkes R.I. kemudian melakukan penyederhanaan pendidikan tenaga kesehatan
non-sarjana.

Sekolah bidan pun ditutup dan dibuka Sekolah Perawat Kesehatan (SPK)
dengan tujuan adanya tenaga "multi purpose" di lapangan, dimana salah satu
tugasnya adalah menolong persalinan normal. Namun karena adanya perbedaan
falsafah dan kurikulum, terutama yang berkaitan dengan kemampuan seorang
bidan, maka tujuan pemerintah agar SPK dapat menolong persalinan tidak
tercapai atau terbukti tidak berhasil. Dalam periode tahun 1975-1984 ini institusi
pendidikan bidan ditutup, sehingga dalam 10 tahun Indonesia tidak menghasilkan
bidan. Namun organisasi profesi bidan (IBI) tetap ada dan terus berkembang.
Sempat pada tahun 1981 dibuka pendidikan diploma I Kesehatan Ibu dan Anak,
namun pendidikan ini hanya berlangsung 1 tahun serta saat itu tidak diberlakukan
oleh seluruh institusi pendidikan. Titik terang pendidikan bidan pun terbit
kembali.
Pada tahun 1985 dibuka lagi Program Pendidikan Bidan (PPB) yang menerima
lulusan dari SPR dan SPK. Pada saat itu dibutuhkan bidan yang memiliki
kewenangan dalam meningkatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak serta
keluarga berencana di masyarakat. Lama pendidikannya 1 tahun dan lulusannya
dikembalikan kepada institusi yang mengirimkan. Selanjutnya pada tahun 1989
dibuka "crash" program pendidikan bidan secara nasional yang memperbolehkan
lulusan SPK untuk langsung masuk program pendidikan bidan. Program ini
dikenal sebagai Program Pendidikan Bidan A (PPB/A), lama pendidikannya 1
tahun dan lulusannya kemudian ditempatkan di desa-desa, dengan tujuan untuk
memberikan pelayanan kesehatan terutama pelayanan kesehatan terhadap ibu dan
anak di daerah pedesaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan keluarga dan
menurunkan angka kematian ibu dan anak. Untuk itu pemerintah menempatkan
bidan di setiap desa sebagai PNS golongan II.

Pada tahun 1996 dimulailah era status bidan di desa sebagai pegawai tidak
tetap (bidan PTT) dengan kontrak selama 3 tahun dengan pemerintah, yang
kemudian dapat diperpanjang sampai dua kali tiga tahun. Penempatan bidan ini
menyebabkan orientasi sebagai tenaga kesehatan berubah. Bidan harus
dipersiapkan dengan sebaik-baiknya dan tidak hanya dibekali dengan kemampuan
klinik sebagai bidan, tetapi juga kemampuan untuk berkomunikasi, konseling dan
kemampuan untuk menggerakkan masyarakat desa dalam meningkatkan taraf
kesehatan ibu dan anak. Program Pendidikan Bidan A diselenggarakan dengan
peserta didik yang cukup besar.

Pada tahun 1996 sebagian besar desa sudah memiliki minimal seorang
bidan. Namun, lulusan pendidikan ini kenyataannya juga tidak memiliki
kemampuan dan keterampilan yang diharapkan dari seorang bidan profesional,
karena pendidikannya yang terlalu singkat dan jumlah peserta didik terlalu besar
dalam kurun waktu satu tahun akademik, sehingga kesempatan peserta didik
untuk praktik klinik kebidanan sangatlah kurang, sehingga tingkat kemampuan
yang dimiliki seorang bidan juga ikut berkurang. Pada tahun 1993, dibuka
Program Pendidikan Bidan B (PPB/B) yang peserta didiknya adalah lulusan
AKPER dengan lama pendidkan 1 tahun.

Tujuan pendidikan ini adalah untuk mempersiapkan tenaga pengajar pada


PPB A. Akan tetapi berdasarkan penelitian terhadap kemampuan klinik kebidanan
dari lulusan ini, juga tidak menunjukkan kompetensi yang diharapkan karena
lama pendidikan yang juga hanya 1 tahun. Sehingga pendidikan ini hanya
berlangsung sebanyak 2 angkatan (1995 dan 1996), lalu kemudian ditutup. Pada
tahun 1993 tersebut juga dibuka Program Pendidikan Bidan C (PPB/C) yang
menerima peserta didik dari lulusan SMP. Pendidikan ini dilakukan di 11 provinsi
yaitu: Aceh, Bengkulu, Lampung, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur,
dan Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan
Irian Jaya. Pendidikan ini memerlukan kurikulum 3700 jam dan dapat
diselesaikan dalam 6 semester. Selain pendidikan bidan di atas, juga sejak tahun
1994-1995 pemerintah menyelenggarakan uji coba pendidikan bidan jarak jauh
("Distance Learning") di tiga provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa
Timur.

Kebijakan ini dilakukan untuk memperluas cakupan upaya peningkatan


mutu tenaga kesehatan yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan peningkatan
mutu pelayanan kesehatan. Pengaturan penyelenggaraan ini diatur dalam SK
Menkes No. 1247/Menkes/SK/XII/1994. Diklat Jarak Jauh (DJJ) bidan ini adalah
ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan bidan agar
mampu melaksanakan tugasnya dan diharapkan berdampak pada penurunan AKI
dan AKB. DJJ bidan dilaksanakan dengan menggunakan modul sebanyak 22
buah. Adapun pendidikan ini dikoordinasikan oleh Pusdiklat Depkes dan
dilaksanakan oleh Bapelkes di tingkat propinsi.

Periode pelaksanaannya adalah: - DJJ I (1995-1996) dilaksanakan di 15


propinsi - DJJ II (1996-1997) dilaksanakan di 16 propinsi - DJJ III (1997-1998)
dilaksanakan di 26 propinsi (Secara kumulatif dari tahap I-III diikuti oleh 6.306
dan 3.439 (55%) peserta dinyatakan lulus) - DJJ tahap IV (1998-1999)
dilaksanakan di 26 propinsi dengan jumlah setiap propinsinya adalah 60 orang
kecuali Maluku, Irian Jaya dan Sulawesi Tengah masing-masing hanya 40 orang
dan propinsi Jambi 50 orang. Selain pelatihan DJJ, pada tahun 1994 juga
dilaksanakan pelatihan pelayanan kegawatdaruratan maternal dan neonatal (LSS;
"Life Saving Skill") dengan materi pembelajaran berbentuk 10 modul. Pada tahun
1996 IBI bekerjasama dengan Depkes R.I. dan "American College of Nursing
Midwife" (ACNM) dan Rumah Sakit swasta mengadakan "training of trainer"
(ToT) kepada anggota IBI sebanyak 8 orang untuk LSS yang kemudian menjadi
tim pelatih inti LSS di PP IBI. Tim pelatih LSS ini kemudian mengadakan ToT
dan pelatihan baik untuk bidan di desa maupun bidan praktek swasta. Pelatihan
praktek ini dilaksanakan di 14 propinsi dan selanjutnya melatih secara swadaya,
begitu juga guru atau dosen dari D3 kebidanan.

Pada tahun 1995-1998 IBI bekerja sama langsung dengan "Mother Care"
melakukan pelatihan dan "peer review" bagi bidan RS, bidan Puskesmas, dan
bidan di desa di propinsi Kalimantan selatan. Pada tahun 2000 telah ada tim
pelatih Asuhan Persalinan Normal (APN) yang dikoordinasikan oleh "Maternal
Neonatal Health" (MNH) yang sampai saat ini telah melatih APN di beberapa
propinsi/ kabupaten. Pelatihan LSS dan APN tidak hanya untuk pelatihan
pelayanan, tetapi juga melatih guru dan dosen-dosen dari Akademi Kebidanan.
Selain melalui pendidikan formal dan pelatihan, untuk meningkatkan kualitas
pelayanan juga diadakan seminar dan lokakarya organisasi ("Organization
Development", OD) yang dilaksanakan setiap tahun sebanyak 2 kali mulai tahun
1996 sampai dengan 2000 dengan biaya dari UNICEF.

Saat ini telah banyak pendidikan bidan Diploma 3 dan 4 yang


diselenggarakan oleh banyak Universitas/ Fakultas, Sekolah Tinggi Kesehatan
dan Politeknik Kesehatan di berbagai daerah di Indonesia dan untuk Diploma 4
meskipun merupakan pendidikan vokasi (non-sarjana), akan tetapi setelah lulus,
gelarnya adalah Sarjana Sains Terapan (S.SiT). Bahkan sejak tahun 2008 mulai
dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Universitas Brawijaya (UB) Malang
sudah mengadakan pendidikan Strata 1 kebidanan dengan gelar Sarjana
Kebidanan (S.Keb.). Beberapa Universitas juga sementara mempersiapkan
pembukaan program S1 ini. Untuk pendidikan Strata 2 sudah dibuka pada Unand
Padang, Universitas Pajajaran (Unpad) Bandung, Universitas Brawijaya, Stikes
Muhammadiyah Gombong dan masih banyak lagi, serta beberapa lainya
sementara proses pembukaan.

Untuk S2 ini ada yang bisa dilanjutkan dari Diploma 4/ S.SiT, maupun
S.Keb. tergantung penyelenggaranya. Adapun pendidikan S1 Kebidanan saat ini
merupakan pendidikan satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara tahap
pendidikan Akademik dan tahap pendidikan Profesi. Kurikulum pendidikan
akademik rata-rata terdiri dari 144 sks yang ditempuh selama 6 semester yang
terdiri dari mata kuliah keahlian (termasuk mata kuliah pilihan), praktikum, tugas
akhir dan memperoleh gelar Sarjana Kebidanan (S.Keb). Kurikulum pendidikan
profesi rata-rata terdiri dari 25-32 sks yang ditempuh selama 2-3 semester dan
memperoleh gelar Bidan (Bd.). Pemberian gelar Sarjana Kebidanan (S.Keb.) dan
gelar Bidan (Bd.) diberikan setelah menyelesaikan seluruh tahap, baik tahap
pendidikan akademik maupun profesi. Upaya yang dilakukan Depkes R.I. dalam
mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan adalah dengan
mengembangkan berbagai Program Kesehatan yang pro rakyat, yang salah
satunya adalah Program Desa Siaga.

Untuk mendukung Program Desa Siaga ini, maka diperlukan tenaga bidan
yang memiliki kompetensi di bidang kesehatan lingkungan, gizi masyarakat,
promosi kesehatan dan surveilans. Sehubungan dengan hal tersebut, mulai tahun
2008 Depkes R.I. (saat ini Kementerian Kesehatan, Kemenkes) bekerja sama
dengan Fakultas Kesehatan Masyarakat mengembangkan pendidikan S1
Kesehatan Masyarakat Peminatan Kebidanan Komunitas. Untuk memudahkan
calon peserta dalam mengikuti seleksi akademik pada tahap pertama dilakukan
secara serentak di Padang (wilayah Barat), Depok (Wilayah Tengah), dan
Makassar (Wilayah Timur). Ke depannya diharapkan dibukanya program
pendidikan Strata 3 untuk profesi bidan ini di Indonesia. Itulah sekilas cerita
tentang sejarah tanggal 5 Mei menjadi Hari Bidan se-Dunia ("International Day of
Midwife"), termasuk sejarah berdirinya organisasi bidan di Indonesia. Tak lupa
juga diceritakan sekilas tentang sejarah panjang pendidikan bidan di Indonesia
sejak jaman penjajahan Belanda.

BAB III
PENUTUP

3.2. Kesimpulan
Seiring berjalanya waktu perkembangan profesi bidan di Indonesia mulai
berkembang, hal ini dilihat dari jumlah institusi yang mencetak Pendidikan bidan,
diharapkan kedepan profesi bidan dapat berkembang seperti profesi yang lainya.

3.3. Saran
Pada kesempatan ini penulis dapat menyampaikan saran, bagi para bidan DI, DII
segera melanjutkan Pendidikan bidan DIII dengan Program Rekognisi Pembelajaran
Lampau ( RPL) dan DIII tetap melanjutkan pendidikanya, agar profesi bidan di Indonesia
dapat berdistribusi secara merata.

Anda mungkin juga menyukai