PEMBAHASAN
2.1 Demokrasi
Penyebutan akan istilah demokrasi pada mulanya berangkat dari bahasa Yunani,
yaitu dengan istilah democratos yang merupakan gabungan dari kata demos yang
berarti rakyat dan cratos yang memiliki arti kekuasaan atau kedaulatan. Dari
gabungan atas dua kata tersebut, maka dapat diterjemahkan bahwa demokrasi
adalah kedaulatan rakyat. Adapun kedaulatan rakyat yang dimaksud dalam
kehidupan bernegara tersebut adalah untuk menunjuk kepada sistem pemerintahan
yang dilaksanakan bersama rakyat (Erwin, 2013: 129)
Kutipan pengertian tersebut memiliki arti bahwa: 1) Warga negara dewasa turut
serta berpartisipasi dalam pemerintahan melalui wakilnya yang dipilih; 2) Negara
dan pemerintahannya mendorong dan menjamin kemerdekaan berbicara,
beragama, berpendapat, berserikat, menegakkan rule of law, adanya pemerintahan
mayoritas yang menghormati hak- hak kelompok minoritas; 3) Masyarakat yang
mana warga negaranya diperlkukan sama.
Dengan kata lain bahwa dalam sistem ketatanegaraan yang modern, demokrasi
mengalami perluasan makna dan nilai, bukan hanya memiliki dimensi politik,
sosiologis dan psikologis semata, melainkan lebih jauh dari itu juga dimensi
hukum. Dimensi politik selalu dikaitkan dengan proses- proses pengambilan
keputusan politik negara melalui peilihan umum, baik pada tingkat eksekutif,
seperti pemilihan presiden dan kepala daerah maupun juga proses pemilihan umum
pada tingkat legislatif dalam pemilihan wakil- wakil rakyat di perlemem. Dimensi
sosiologis bahwa demokrasi selalu dikaitkan dengan prinsip musyawarah yang
menjunjung tinggi nilai- nilai kebersamaan, musyawarah dan mufakat. Sedangkan
demokrasi hukum bahwa demokrasi selalu dikaitkan dengan penyelenggaraan
pemerintahan negara yang berdasarkan pada peraturan perundang- undangan.
Lonsep demokrasi inilah yang disebut dengan demokrasi konstitusional.
1. Kedaulatan rakyat.
2. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah.
3. Kekuasaan mayoritas.
4. Hak- hak minoritas.
5. Jaminan hak asasi manusia.
6. Pemilihan yang bebas dan jujur.
7. Persamaan di depan hukum.
8. Proses hukum yang wajar.
9. Pembatasan pemerintah secara konstitusional.
10. Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik.
11. Nilai- nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama dan mufakat.
Berbeda dengan pendapat tersebut di atas, menurut Sanusi (Karsadi, 2016:121)
mengidentifikasi adanya 10 pilar demokrasi konstitusional menurut UUD 1945
sebagai berikut:
Dengan melihat beberapa pilar atau sokoguru demokrasi tersebut, maka jelaslah
bahwa konsep demokrasi memiliki nilai- nilai dan makna yang penting dan
strategis bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai- nilai
demokrasi tersebut sesungguhnya sudah mengakar dari kehidupan masyarakat dan
bangsa Indonesia jauh sebelum indonesia merdeka dan sudah ditetapkan dalam
kehidupan masyarakat sehari- hari. Nilai – nilai demokrasi tersebut antara lain,
seperti nilai kebebasan (liberty), kemerdekaan (freedom), keadilan sosial (social
justice), hak asasi manusia (human right), peradilan yang bebas dan merdeka
(freedom the court), persamaan (equality), dan kedaulatan (sovereignty). Dengan
kata lain bahwa demokrasi merupakan seperangkat nilai- nilai yang dijunjung
tinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat di dalam kerangka civil society (masyarakat madani).
Menurut Henry B. Mayo (Erwin, 2013: 131) demokrasi harus didasari oleh
beberapa norma, yaki dengan:
1. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga
2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat
yang sedang berubah
3. Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur
4. Membatasi pemakaian kekerasan minimum
5. Mengakui serta meganggap wajar adanya keanekaragaman dalam masyarakat
yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat, kepentinagan, serta tingkah
laku
6. Menjamin tegaknya keadilan
1. Negara Hukum
Demokrasi suatu negra dapat berdiri, kalau negaranya adalah negara hukum,
yakni sebagai negara yang memberikan perlindungan hukum bagi warga
negaranya melalui pelembagaan peradilan yang bebas dan tidak memihak
sekaligus juga terdapat jaminan terhadap perlindungan hak asasi manusia.
2. Pemerintahan yang Good Govermance
Berdirinya suatu demokrasi sangat perlu ditopang oleh bentuk pemerintahan
yang good governance yang pelaksanaannya dapat dilakukan dengan efektif
dan efisien, responsif terhadap kebutuhan rakyat, dalam suasana demokratif,
akuntabel serta transparan.
3. Badan Pemegang Kekuasaan Legislatif
Istilah demokrasi “gelang karet” tersebut diatas digambarkan melalui tensi dua
tarikan politik dan ekonomi. Dua tarikan politik dan ekonomi tersebut diatas yang
kemudian ditunjukkan melalui tensi kuat atau tidak nya tarikan keduanya. Bila
dampak pembangunan ekonomi, seperti kesejahteraan masyarakat yang semakin
baik, dirasa cukup aman terhadap mekanisme politik yang berlangsung, maka
kontrol terhadap kehidupan politik terasa agak dilunakkan. Sebaliknya, bila
dampak yang lain yang menonjol, seperti masyarakat yang makin kritis dan sadar
akan hak-hak politiknya, maka kontrol terhadap kehidupan politik terasa agak
dikencangkan kembali. Akibat fleksibitas kontrol seperti ini membawa problem-
problem tersendiri dalam kehidupan politik Indonesia, sehingga menggaburkan
batas-batas antara tindakan yang demokratis , semi demokratis, dan tidak
demokratis, menjadi demikian kabur (Riswanda Imawan, 1997:x). Dampak lainnya
adalah etika politik bangsa Indonesia semakin kabur sebagai akibat demokrasi
“gelang karet” tersebut.
Masih pengalaman selama pemerintahan Orde Baru atau rezim Orde Baru
menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia mengalami defisit (defisit demokrasi).
Satu istilah yang digunakan oleh Franz Magnis-Suseno (Karsadi, 2016: 124) untuk
menunjukkan bahwa keberhasilan pemerintahan Orde Baru dalam bidang
pembangunan ekonomi, perwujudan administrasi kenegaraan, dan politik luar
negeri tidak dibarengi dengan keberhasilan dalam pembangunan kehidupan
demokratis. Ciri khas suasana politik dalam pemerintahan Orde Baru adalah
pendekatan top down. Kebijakan massa mengambang (floating mass), penataan
kembali kehidupan kepartaian, domestikasi pemilihan umum, lemahnya fungsi
DPR, menyusutnya ciri-ciri negara hukum menjadi negara kekuasaan,
kekhawatiran tak proposional alat-alat negara terhadap pertemuan, rapat, seminar
yang bernada kritis, dan sebagainya telah menciptakan suasana yang segala-
galanya tergantung dari koneksi dengan penguasa.