Anda di halaman 1dari 13

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Demokrasi

2.1.1 Pengertian Demokrasi

Penyebutan akan istilah demokrasi pada mulanya berangkat dari bahasa Yunani,
yaitu dengan istilah democratos yang merupakan gabungan dari kata demos yang
berarti rakyat dan cratos yang memiliki arti kekuasaan atau kedaulatan. Dari
gabungan atas dua kata tersebut, maka dapat diterjemahkan bahwa demokrasi
adalah kedaulatan rakyat. Adapun kedaulatan rakyat yang dimaksud dalam
kehidupan bernegara tersebut adalah untuk menunjuk kepada sistem pemerintahan
yang dilaksanakan bersama rakyat (Erwin, 2013: 129)

Menurut Karsadi (2016:115) esensi dari pengertian demokrasi sesungguhnya


adalah kedaulatan rakyat. Sebagaimana perkembangan demokrasi di negara-
negara modern “Government of the people, by the people, and for the people”.
(pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat). Esensi dari pengertian
ini bahwa demokrasi sesungguhnya menempatkan rakyat menjadi subjek dan
sekaligus objek dari demokrasi itu sendiri. Pemerintah berasal dari rakyat melalui
proses demokrasi yaitu pemilihan umum, dimana untuk menjalankan roda
pemerintahan dan penyelenggaraan negara akan diwakili oleh wakil- wakil rakyat,
baik yang duduk di eksekutif maupun legislatif, dan tujuan utama
diselenggarakannya pemerintahan adalah untuk kesejahteraan rakyat semata.

Dalam perkembangannya, kata demokrasi mengalami dinamika dan menjadi


populer di berbagai kalangan untuk menjelaskan bahwa rakyat adalah pemegang
utama kedaulatan, kekuasaan dan atau pemerintahan. Di dalam Kamus umum
Bahasa Indonesia, kata demokrasi diartikan sebagai pemerintahan oleh rakyat
dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh
mereka atau oleh wakil- wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan bebas.

Pengertian demokrasi yang lain dikemukakan Hornby dkk. (Karsadi (2016:116)


yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan demokrasi adalah:
(1) Country with principles of government in which all adult citizens share
through their electd representatives; (2) country with government which
encourages and allows rights of citizenship such as freedom of speech, religion,
opinion, and association, the assertion of rule of law, majority rule, accompanied
by respect for rights of minorities; (3) society in which there is treatment of each
other by citizens as equals.

Kutipan pengertian tersebut memiliki arti bahwa: 1) Warga negara dewasa turut
serta berpartisipasi dalam pemerintahan melalui wakilnya yang dipilih; 2) Negara
dan pemerintahannya mendorong dan menjamin kemerdekaan berbicara,
beragama, berpendapat, berserikat, menegakkan rule of law, adanya pemerintahan
mayoritas yang menghormati hak- hak kelompok minoritas; 3) Masyarakat yang
mana warga negaranya diperlkukan sama.

2.1.2 Konsep Demokrasi

Demokrasi secara konseptual dipandang sebagai kerangka berpikir dalam


melakukan pengaturan urusan umum atas dasar prinsip dari, oleh dan untuk rakyat
diterima baik sebagai ide, norma dan sistem sosial maupun sebagai wawasan, sikap
dan perilaku individual yang secara kontekstual diwujudkan, dipelihara dan
dikembangkan. Oleh karena itu, konsep demokrasi dilihat sebagai konsep yang
bersifat multidimensional, yakni secara fisiologis demokrasi sebagai ide, norma,
prinsip, secara sosiologis sebagai sistem sosial dan psikologis sebaga wawasan,
sikap, dan perilaku individu dalam hidup bermasyarakat.

Demokrasi bukanlah sekedar mengandung konsep dalam arti politik semata,


yakni kebebasan rakyat dalam memilih pilihan politik dan wakilnya, melainkan
demikrasi itu mengandung konsep dalam arti sosiologis dan psikologis. Demokrasi
secara sosiologis merupakan aktualisasi kedaulatan rakyat yang berkembang
berabad- abad lamanya dalam sistem sosial. Secara sosiologis pula, bahwa
demokrasi mengandung nilai- nilai sosial , seperti nilai kebersamaan, keterwakilan,
kebebasan, toleransi dan nilai- nilai musyawarah. Dalam perspektif demokrasi
yang paling sederhana, secara sosiologis demokrasi semacam ini dapat ditemukan
dalam masyarakat desa, yakni demokrasi desa. Sedangkan secara psikologis,
demokrasi mengandung konsep sikap dan perilaku wakil- wakil rakyat yang dapat
melaksanakan amanah tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab, jujur dan
berkepribadian luhur sesuai dengan Pancasila.

Dengan kata lain bahwa dalam sistem ketatanegaraan yang modern, demokrasi
mengalami perluasan makna dan nilai, bukan hanya memiliki dimensi politik,
sosiologis dan psikologis semata, melainkan lebih jauh dari itu juga dimensi
hukum. Dimensi politik selalu dikaitkan dengan proses- proses pengambilan
keputusan politik negara melalui peilihan umum, baik pada tingkat eksekutif,
seperti pemilihan presiden dan kepala daerah maupun juga proses pemilihan umum
pada tingkat legislatif dalam pemilihan wakil- wakil rakyat di perlemem. Dimensi
sosiologis bahwa demokrasi selalu dikaitkan dengan prinsip musyawarah yang
menjunjung tinggi nilai- nilai kebersamaan, musyawarah dan mufakat. Sedangkan
demokrasi hukum bahwa demokrasi selalu dikaitkan dengan penyelenggaraan
pemerintahan negara yang berdasarkan pada peraturan perundang- undangan.
Lonsep demokrasi inilah yang disebut dengan demokrasi konstitusional.

Untuk memperjelas konsep demokrasi, maka perlu dijelaskan mengenai pilar


atau sokoguru demokrasi, unsur- unsur, tetapi antara satu dengan yang lain
berbeda- beda. Perbedaan itu berkaitan dengan perspektif dan sudut pandang yang
digunakan para ahli dalam memahami.

Sebagai sistem sosial kenegaraan, menurut USIS (Karsadi, 2016: 121)


mengintisarikan demokrasi sebagai sistem yang memiliki 11 pilar atau sokoguru
sebagai berikut:

1. Kedaulatan rakyat.
2. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah.
3. Kekuasaan mayoritas.
4. Hak- hak minoritas.
5. Jaminan hak asasi manusia.
6. Pemilihan yang bebas dan jujur.
7. Persamaan di depan hukum.
8. Proses hukum yang wajar.
9. Pembatasan pemerintah secara konstitusional.
10. Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik.
11. Nilai- nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama dan mufakat.
Berbeda dengan pendapat tersebut di atas, menurut Sanusi (Karsadi, 2016:121)
mengidentifikasi adanya 10 pilar demokrasi konstitusional menurut UUD 1945
sebagai berikut:

1. Demokrasi yang berKetuhanan Yang Maha Esa.


2. Demokrasi dengan kecerdasan
3. Demokrasi yang berkedaulatan rakyat.
4. Demokrasi dengan rule of law.
5. Demokrasi dengan pembagian kekuasaan negara.
6. Demokrasi dengan hak asasi manusia.
7. Demokrasi dengan pengadilan yang merdeka.
8. Demokrasi dengan otonomi daerah.
9. Demokrasi dengan keadilan sosial.
10. Demokrasi yang berkeadilan sosial.

Dengan melihat beberapa pilar atau sokoguru demokrasi tersebut, maka jelaslah
bahwa konsep demokrasi memiliki nilai- nilai dan makna yang penting dan
strategis bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai- nilai
demokrasi tersebut sesungguhnya sudah mengakar dari kehidupan masyarakat dan
bangsa Indonesia jauh sebelum indonesia merdeka dan sudah ditetapkan dalam
kehidupan masyarakat sehari- hari. Nilai – nilai demokrasi tersebut antara lain,
seperti nilai kebebasan (liberty), kemerdekaan (freedom), keadilan sosial (social
justice), hak asasi manusia (human right), peradilan yang bebas dan merdeka
(freedom the court), persamaan (equality), dan kedaulatan (sovereignty). Dengan
kata lain bahwa demokrasi merupakan seperangkat nilai- nilai yang dijunjung
tinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat di dalam kerangka civil society (masyarakat madani).

2.1.3 Norma- Norma yang Mendasari Demokrasi

Menurut Henry B. Mayo (Erwin, 2013: 131) demokrasi harus didasari oleh
beberapa norma, yaki dengan:
1. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga
2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat
yang sedang berubah
3. Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur
4. Membatasi pemakaian kekerasan minimum
5. Mengakui serta meganggap wajar adanya keanekaragaman dalam masyarakat
yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat, kepentinagan, serta tingkah
laku
6. Menjamin tegaknya keadilan

Sementara menurut Nurcholish Madjid (Erwin, 2013:130), yang menjadi


pandangan hidup demokrasi haruslah disadari atas tujuh norma sebagai
berikut:
1. Kesadaran Atas Pluralisme
Masyaraat sudah dapat memandang secara positif kemajemukan dan
keberagaman dalam masyarakat, serta telah mampu mengelaborasikan ke
dalam sikap tindak secara kreatif.
2. Musyawarah
Korelasi prinsip ini ialah kedewasaan untuk menerima bentuk-bentuk
kompromi dengan bersikap dewasa dalam mengemukakan pendapat,
mendengarkan pendapat orang lai, menerima perbedan pendapat, dan
kemungkinan megambil pendapat yng lebih baik.
3. Pemufakatan yang Jujur dan Sehat
Prinsip masyarakat demokrasi dituntut untuk menguasai dan menjalankan seni
permusyawaratan yang jujur dan sehat guna mencapai pemufakatan yang juga
jujur dan sehat, bukannya pemufakatan yang dicpai melalui intrik-intrik yang
curang, tidak sehat atau sifatnya melalui konsfirasi.
4. Kerjasama
Prinsip kerjasama antarwarga dalam msyarakat dan sikap saling memercayai
itikad baik masing-masing, kemudian jalinan dukung-mendukung secara
fungsional anatar berbagai umsur kelembagaan kemasyarakatan yang ada,
merupakan segi penunjang efisiensi untuk demokrasi.
5. Pemenuhan Segi-Segi Ekonomi
Untuk mendukung hadirnya stuasi demokrasidlam masyarakat sangat perlu
memperhatikan pemenuhan segi-segi ekonominya terutama pemenuhan
terhadap keperluan pokok, yaitu pangan, sandang, dan papan. Pemenuhan
kebutuhan ekonomi harus pula mempertimbangkan aspek keharmonisan dan
keteraturan ekonomi harus pula mempertimbangkan aspek kehrmonisan dan
keteraturan sosial (seperti masaah mengapa kita makan nasi, bersandangkan
sarung, kopiah, kebaya, serta berpapankan rumah ‘joglo’ yang dalam
pemenuhannya tidak lepas dari perencanaan sosial budaya).
6. Pertimbangan Moral
Pandangan hidup demokratis mewajibkan adanya keyakinan bahwa cara
berdemokrasi haruslah sejalan denagn tujuan. Bahkan sesungguhnya klaim
atas suatu tujuan yang baik haruslah diabsahkan oleh kebaikan ara yang
ditempuh untuk meraihnya.
7. Sistem Pendidikan Yang Menunjang
Pendidikan demokrasi selama ini pada umumnya masih terbatas pada usaha
indoktrinisasi dan penyuapan konsep- konsep secara verbalistik. Terjadinya
diskrepansi (jurang pemisah) antara das sein dan das sollen dalam konteks ini
adalah akibat dari kuatnya budaya “menggurui” dalam masyarakat kita,
sehingga verbalisme yang dihasilkannya juga menghasilkan kepuasan
tersendiri dan membuat yang berssangkutan telah berbuat sesuatu dalam
penegakan demokrasi hanya karena telah berbicara tanpa perilaku.

2.1.4 Komponen- Komponen Penegak Demokrasi

Erwin (2013: 132) mengatakan tegaknya demokrasi suatu negara sangat


bergantung pada komponen- komponen sebagi berikut:

1. Negara Hukum
Demokrasi suatu negra dapat berdiri, kalau negaranya adalah negara hukum,
yakni sebagai negara yang memberikan perlindungan hukum bagi warga
negaranya melalui pelembagaan peradilan yang bebas dan tidak memihak
sekaligus juga terdapat jaminan terhadap perlindungan hak asasi manusia.
2. Pemerintahan yang Good Govermance
Berdirinya suatu demokrasi sangat perlu ditopang oleh bentuk pemerintahan
yang good governance yang pelaksanaannya dapat dilakukan dengan efektif
dan efisien, responsif terhadap kebutuhan rakyat, dalam suasana demokratif,
akuntabel serta transparan.
3. Badan Pemegang Kekuasaan Legislatif

4. Peradilan yang Bebas dan Mandiri


5. Masyarakat Madani
6. Pers yang Bebas dan Bertanggung Jawab
7. Infrastruktur Politik

2.1.5 Dinamika Demokrasi di Indonesia dan Problematikanya

Pada konteks dan tataran yang ideal, demokrasi mengandung nilai-nilai


kedaulatan, kebebasan, kemerdekaan, keadilan, persamaan, hak asasi manusia, dan
peradilan yang merdeka dan bebas, tetapi dalam praktik penyelenggara
pemerintahan negara, nilai-nilai demokrasi tersebut menjadi sulit dicapai dan
diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Praktik
penyelenggaraan demokrasi yang demikian sungguh-sungguh mencederai nilai-
nilai demokrasi itu sendiri. Bahkan, dalam berbagai kasus penyelenggaraan
pemerintahan negara, terjadi penyanderaan demokrasi hanya dengan alasan dapat
mengganggu stabilitas nasional, ketertiban umum, dan keamanan nasional. Di sisi
lain, bahwa demokrasi itu sendiri dibungkus dengan nilai kebebasan dan keadilan,
tetapi dalam praktiknya yang terjadi adalah praktik penyelenggaraan pemerintahan
yang mengarah pada tirani, monarki, oligarki dan otoritarian, bahkan dalam
beberapa kasus penyelenggaraan pemerintahan dikhawatirkan diikuti oleh praktik
kleptokrasi.

Keberhasilan demokrasi di indonesia tidak dapat hanya diukur secara kuantitatif


dari terselenggaranya pemilihan presiden dan pemilihan umum legislatif semata,
melainkan bahwa apakah demokrasi itu mampu mewujudkan keadilan sosial dan
kesejahteraan bagi masyarakat, terlaksannya kebebasan berserikat dan berkumpul,
adanya akses masyarakat terhadap sumber-sumber ekonomi nasional (akses
ekonomi), akses politik, jaminan keamanan dan kenyamanan, terlindunginya hak-
hak minoritas, peradilan yang mandiri, bebas, dan merdeka, adanya jaminan Hak
Asasi Manusia, terciptanya pemerintahan yang “clean and good governance” , dan
terselenggaranya pemerintahan yang menjunjung tinggi prinsip “rule of law” serta
terwujudnya “equality before the law” dalam penegakan hukum. Dengan kata lain,
bahwa demokrasi yang diterapkan di indonesia tidak sekedar menekankan pada
aspek formalitas semata, tetapi justru yang terutama dan terpenting dari demokrasi
di Indonesia adalah aspek substansinya. Dari perspektif ini, substansi demokrasi
dapat diartikan bahwa demokrasi sebagai bentuk penyelenggaraan pemerintahan
dan penyelenggaraan negara harus dapat mewujudkan keadilan dalam kemakmuran
dan kemakmuran dalam keadilan bagi seluruh rakyat, bukan hanya untuk
memakmurkan dan menyejahterakan segelintir orang yang duduk di pemerintahan,
elite partai politik, dan sebagian kelompok masyarakat tertentu serta kroni-kroni
penguasa

Perkembangan demokrasi di Indonesia mengalami pasang surut. Berbagai


persoalan dan masalah-masalah dalam implementasi demokrasi semakin rumit dan
kompleks. Ada sebagian kalangan menyebutnya bahwa demokrasi yang diterapkan
di Indonesia sebagai “demokrasi gelang karet”, tetapi ada sebagian kalangan
lainnya menyebutnya demokrasi yang di laksanakan di Indonesia mengalami
“defisit demokrasi”. Sebagian lainnya menyebutnya bahwa demokrasi yang
dikembangkan di Indonesia sebagai demokrasi beku “frozen democracy” atau bisa
disebut sebagai involusi politik. Ketiga sebutan tersebut menunjukan bahwa proses
dan dinamika perkembangan demokrasi di Indonesia sejak kemerdekaan
mengalami kemandekan, bahkan dapat disebut sebagai kemunduran, terutama pada
saat rezim Orde Baru berkuasa. Pada saat itu demokrasi yang sedang dijalankan
menurut versi rezim Orde Baru merupakan demokrasi Pancasila, tetapi itu baru
dilihat dari segi formalitas. Sebaliknya dilihat dari segi substansi, demokrasi yang
dijalankan pada saat itu merupakan demokrasi yang banyak kalangan menyebutnya
sebagai demokrasi semu.

Pengalaman selama masa Orde Baru menunjukkan bahwa demokrasi yang


diterapkan di Indonesia menurut Riswanda Imawan (Karsadi, 2016: 125) dengan
meminjam istilah dari Arief Budiman merupakan “demokrasi gelang karet”.
Demokrasi “gelang karet” dicerminkan melalui tarikan antara stabilitas politik
(tarikan politik) dan pembangunan ekonomi (tarikan ekonomi) kedua titik yang
berbeda. Untuk mengukur stabilitas politik diukur melalui rendahnya (kalau perlu
tidak adanya) demonstrasi, keresahan sosial, gerakan separatis, dan sebagainya,
telah membawa politik Indonesia condong ke arah praktik-praktik otoritarianisme.
Depolitisasi, floating mass, sampai sensor yang ketat terhadap kehidupan pers
merupakan fenomena yang mendukung penilaian terhadap stabilitas politik.
Sebaliknya, pemilihan indikator-indikator pembangunan ekonomi, seperti angka
pertumbuhan ekonomi, jumlah investasi, dan sebagainya telah membawa suasana
liberal ke dalam masyarakat Indonesia. Maraknya budaya global yang menohok
budaya lokal, munculnya sifat konsumeris (terutama di kalangan generasi muda)
merupakan fenomena tarikan liberal.

Istilah demokrasi “gelang karet” tersebut diatas digambarkan melalui tensi dua
tarikan politik dan ekonomi. Dua tarikan politik dan ekonomi tersebut diatas yang
kemudian ditunjukkan melalui tensi kuat atau tidak nya tarikan keduanya. Bila
dampak pembangunan ekonomi, seperti kesejahteraan masyarakat yang semakin
baik, dirasa cukup aman terhadap mekanisme politik yang berlangsung, maka
kontrol terhadap kehidupan politik terasa agak dilunakkan. Sebaliknya, bila
dampak yang lain yang menonjol, seperti masyarakat yang makin kritis dan sadar
akan hak-hak politiknya, maka kontrol terhadap kehidupan politik terasa agak
dikencangkan kembali. Akibat fleksibitas kontrol seperti ini membawa problem-
problem tersendiri dalam kehidupan politik Indonesia, sehingga menggaburkan
batas-batas antara tindakan yang demokratis , semi demokratis, dan tidak
demokratis, menjadi demikian kabur (Riswanda Imawan, 1997:x). Dampak lainnya
adalah etika politik bangsa Indonesia semakin kabur sebagai akibat demokrasi
“gelang karet” tersebut.

Dalam praktik berdemokrasi muncul problem lain dari demokrasi “gelang


karet” yang berlangsung selama pemerintahan rezim Orde Baru. Selama ini sering
ditemukan pernyataan bahwa demokrasi Indonesia memiliki ciri khas, dan sangat
berbeda dengan demokrasi lain. Bahkan di kalangan pejabat sering ditemukan
pernyataan bahwa demokrasi di Indonesia tidak dapat diukur dengan indikator
yang bersifat universal. Padahal secara substansial bahwa demokrasi itu merupakan
ajaran yang sangat universal, yaitu demokrasi itu berkaitan dengan hak-hak politik
yang paling mendasar bagi manusia. Dari nilai-nilai universal demokrasi itulah,
seperti kedaulatan rakyat, keadilan, kebebasan, kemerdekaan, persamaan hak,
HAM, peradilan yang adil, bebas, dan merdeka, dan sebagainya yang menyamakan
demokrasi Indonesia dengan demokrasi lain, sebaliknya perbedaan perkembangan
sosial ekonomi hanyalah variabel dinamika dari demokrasi itu sendiri.

Masih pengalaman selama pemerintahan Orde Baru atau rezim Orde Baru
menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia mengalami defisit (defisit demokrasi).
Satu istilah yang digunakan oleh Franz Magnis-Suseno (Karsadi, 2016: 124) untuk
menunjukkan bahwa keberhasilan pemerintahan Orde Baru dalam bidang
pembangunan ekonomi, perwujudan administrasi kenegaraan, dan politik luar
negeri tidak dibarengi dengan keberhasilan dalam pembangunan kehidupan
demokratis. Ciri khas suasana politik dalam pemerintahan Orde Baru adalah
pendekatan top down. Kebijakan massa mengambang (floating mass), penataan
kembali kehidupan kepartaian, domestikasi pemilihan umum, lemahnya fungsi
DPR, menyusutnya ciri-ciri negara hukum menjadi negara kekuasaan,
kekhawatiran tak proposional alat-alat negara terhadap pertemuan, rapat, seminar
yang bernada kritis, dan sebagainya telah menciptakan suasana yang segala-
galanya tergantung dari koneksi dengan penguasa.

Istilah “defisit demokrasi” tersebut diatas, secara konkret dapat ditunjukkan


melalui pasang surutnya antara gelombang keterbukaan (salah satu dari ciri
demokrasi atau negara yang demokratis) dengan ketertutupan. Pemerintah
Indonesia di nilai masih samar-samar dan belum beres untuk menata struktur-
struktur kekuasaan politik. Pola peningkatan keterbukaan masih bersifat on-of dan
buka of-on. Pola on-of didalam praktik demokrasi di Indonesia dicerminkan dari
setiap gelombang keterbukaan selalu berakhir dalam ketertutupan. Sikap
pemerintah Indonesia waktu itu masih memiliki kecurigaan terhadap gerakan
prodemokrasi yang ingin menyelamatkan kelangsungan substansi demokrasi di
negara Indonesia. Gerakan prodemokrasi yang dimotori oleh kalangan intelektual
Indonesia yang independen bekerja untuk memperbaiki demokrasi Indonesia yang
mengalami defisit (defisit demokrasi). Gelombang keterbukaan yang digaungkan
oleh pemerintah masih bersifat semu (pseudo democracy), justru yang terjadi
sebaliknya, yaitu penangkapan para aktivis prodemokrasi tanpa melalui proses
peradilan yang benar.

Selain istilah demokrasi “gelang karet” dan “defisit demokrasi”(on-of yang


diartikan keterbukaan diakhiri dengan ketertutupan), demokrasi yang berlangsung
selama masa pemerintahan Orde Baru menurut Heru Nugroho (Karsadi, 2016: 126)
sering disebut sebagai demokrasi beku (frozen democracy) atau dengan meninjam
terminologi Cliford Geertz bahwa demokrasi Indonesia disebut sebagai gejala
involusi politik. Menurutnya bahwa demokrasi beku digambarkan sebagai
demokrasi yang ditandai oleh suatu kondisi masyarakat dimana sistem politik
demokrasi yang sedang bersemi berubah menjadi layu karena berbagai kendala
yang ada. Hal ini ditunjukkan pula bahwa proses perubahan politik tidak menuju
pada perubahan tatanan sosial-politik yang demokratis, tetapi yang terjadi justru
berjalan menyimpang atau bahkan berlawanan dengan arah demokrasi yang
sesungguhnya yang dicita-citakan. Itulah sebabnya demokrasi beku di cerminkan
sebagai demokrasi jalan ditempat, sehingga tidak menjangkau target demokratisasi.

Untuk menjelaskan kondisi demokrasi beku (fozen democracy), dapat


digunakan empat indikator yang mendasari beroperasinya konsep demokrasi beku
dari Sorensen (Karsadi, 2016:127). Indikator-indikator demokrasi beku:
sempoyongannya ekonomi, baik pada tingkat nasional maupun lokal, mandeknya
proses pembentukan masyarakat warga (civil society), konsolidasi sosial-politik
yang tidak pernah mencapai solidaritas, namun cenderung semu, dan penyelesaian
masalah-masalah sosial-politik-hukum yang tidak pernah tuntas yang diwariskan
oleh rezim-rezim pendahulu (seperti pelanggaran HAM, KKN, kekejaman aparat
birokrasi dan militer, penegakan hukum, dan lain-lain).

Cara kerja indikator-indikator tersebut tampak jelas di dalam penyelenggaraan


pemerintahan negara. Pertama, pasca Orde Baru ekonomi nasional mengalami
kemunduran. Negara hanya sibuk dengan kebijakan-kebijakan yang merespon
globalisasi, pasar bebas, privatisasi, akibatnya terabaikannya ekonomi kerakyatan.
Padahal saat krisis, ekonomi kerakyatan dapat menjadi pilar penyanggah
perekonomian nasional. Itulah sebabnya ekonomi nasional menjadi sempoyongan
dan kesejahteraan rakyat menjadi terabaikan. Kedua, menguatnya kekuatan
masyarakat warga (civil society) pasca runtuhnya Orde Baru tidak dibarengi
dengan ketertiban sosial dan keberadaan masyarakat (civility). Akibatnya, ketika
negara lemah dan masyarakat kuat yang muncul adalah social chaos. Harapan
terbentuknya masyarakat madani (civil society) masih jauh dari harapan. Ketiga,
konsolidasi sosial-politik masih berjalan tersendat-sendat, baik di tingkat elit-elit
nasional, lokal maupun pelaku-pelaku politik yang mewakili akar rumput (grass
root). Elit politik masih sekadar memperjuangkan kepentingan pribadi atau
kelompok, sementara masyarakat lapis bawah apatis terhadap kepemimpinan yang
ada, sehingga mereka tidak jarang berbuat luar jalur hukum. Keempat, kasus-kasus
pelanggaran hukum dan HAM,KKN, dan sebagainya belum dapat diusut secara
tuntas. Akibatnya, yang muncul adalah political distrust yang bisa mengancam
legitimasi pemerintah dan demokratisasi.
Dinamika demokrasi di era reformasi belum menunjukkan kemajuan yang
berarti bagi terwujudnya negara yang demokratis. Demokrasi yang dipraktikkan
dalam penyelenggaraan pemerintahan negara tidak terlalu jauh berbeda dengan
praktik-praktik demokrasi apa yang disebut demokrasi “gelang karet” atau
demokrasi yang defisit (defisit demokrasi) atau demokrasi yang beku (frozen
democracy). Meskipun, ada klaim dari sebagian kalangan pejabat negara bahwa
demokrasi sekarang sudah tumbuh dan berkembang ke arah demokratisasi, seperti
legitimasi pemerintah yang dipilih langsung oleh rakyat, pemilihan wakil-wakil
rakyat secara langsung, one man one vole, pemilihan kepala daerah secara
langsung, dan terbentuknya lembaga-lembaga negara yang independen, seperti
KPK, KY, dan Mahkamah Konstitusi, tetapi dalam praktiknya proses
demokratisasi masih tersandera oleh praktik-praktik penyelenggaraan negara yang
masih koruptif, manupulatif, KKN, dan maraknya praktik-praktik money politic
pada saat pesta demokrasi.

Secara formalitas dapat dikatakan bahwa dinamika demokrasi di Indonesia


mengalami kemajuan. Kemajuan ini dapat dilihat dari indikator, seperti kebebasan
berbicara dan berserikat, kebebasan pers, HAM, dan sebagainya, tetapi secara
substansial bahwa demokrasi yang dipraktikkan dalam penyelenggaraan negara
dan pemerintahan Indonesia masih timpang. Berbagai kasus yang mencederai
praktik-praktik demokrasi yang waktu ke waktu semakin menggurita dan tidak
terkendali lagi, seperti masih adanya oknum pejabat daerah dan kepala daerah, baik
ditingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota tersandung kasus korupsi dan
suap, masih ada oknum pejabat negara tersandung kasus korupsi, masih belum
akuratnya data pada saat berlangsungnya pemilu, baik pemilu legislatif maupun
pemilihan kepala daerah, money politic pada saat pemilihan umum, masih adanya
oknum aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, dan Mahkamah Agung) yang
tersandung kasus korupsi, suap, dan gratifikasi, serta berbagai penyimpangan dan
penyelewengan lainnya yang semakin lama semakin menggurita di semua level
pemerintahan.

Esensi demokrasi yang salah satunya ditandai oleh keterwakilan rakyat di


parlemen ternyata dalam praktik ketatanegaraan belum mampu memperjuangkan
aspirasi dan kepentingan rakyat. Biaya sosial dan ekonomi berdemokrasi yang
begitu besar dengan menggunakan anggaran negara dan daerah yang besar dan
energi sosial politik masyarakat yang berkuras untuk pesta demokrasi, tetapi dalam
praktiknya setelah wakil-wakil rakyat yang terpilih melalui pemilihan umum belum
maksimal memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat. Sebaliknya, para
wakil rakyat di parlemen pusat maupun parlemen di daerah justru disibukkan oleh
urusan proyek- proyek yang nilainya sangat fantastis. Kepentingan konstituen di
daerah menjadi kurang terurus meskipun seringkali dengan biaya yang besar
mereka seringkali melakukan reses di daerah pemilihan (Dapil) masing- masing.
Anomali seperti ini mewarnai parlemen, sehingga mereka seringkali mendapat
kritik dan protes dari masyarakat pemilih (konstituennya). Contoh konkret dari
kasus ini adalah kasus suap dan gratifikasi pembangunan infrastruktur dasar di
daerah (di Papua, Maluku, dan lain- lain) melalui opetasi tangkap tangan (OTI)
oleh KPK terhadap oknum anggota DPR. Kasus tersebut mencerminkan kurangnya
sensitivitas (sense of crisis) wakil- wakil rakyat di parlemen, padahal masih banyak
rakyat di daerah- daerah yang kehidupannya masih miskin, infrastruktur dasar di
daerah masih kurang dan terbatas (jalan, transportasi, listrik, air bersih, sarana dan
prasarana kesehatan, pendidikan dan lain- lain). Kondisi yang demikian itu oleh
Frans Magnis- Suseno (Karsadi, 2016: 129) menyebutnya bahwa yang berdaulat
dalam demokrasi bukan rakyat, tetapi kedaulatan ada dii tangan “Tuan- Tuan”.
Itulah sebabnya demokrasi Indonesia dipersiapkan dan digambarkan dengan defisit
demokrasi.

Anda mungkin juga menyukai