Anda di halaman 1dari 13

PERADANGAN / INFLAMASI

Dosen : Dr. Zaldi Z,SpM

Nama : Triska Aprillia

NIM : 191354

ARO - YBS Medan

Tahun 2020
DAFTAR ISI

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar belakang


1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan

BAB II

PERDANGAN atau INFLAMASI

2.1 Pengertian Inflamasi

2.2 Penyebab Inflamasi

BAB III

KONJUNGTIVITIS

3.1 Pengertian Konjungtivitis

3.2 Patofisiologi Konjungtivitis

3.3 Jenis konjungtivitis

BAB IV

PENUTUP
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ada suatu kecenderungan alamiah yang menganggap inflamasi


atau peradangan sebagai sesuatu yang tidak diinginkan, karena inflamasi dapatmenyebabkan
keadaan yang menggelisahkan. Tetapi inflamasi sebenarnya adalahgejala yang
menguntungkan dan merupakan suatu pertahanan, yang hasilnyaadalah netralisasi dan
pembuangan agen penyerang, penghancuran jaringannekrosis, dan pembentukan keadaan
yang dibutuhkan untuk perbaikan dan pemulihan

Inflamasi adalah reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan
lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat terjadi secara
lokal, sistemik, akut, dan kronik yang pada akhirnya menimbulkan kelainan patologis. Sekitar
2000 tahun yang lalu, orang Romawi mengenal respons inflamasi lokal ditandai dengan
bengkak, panas, sakit, dan kemerahan. Pada abad ke-2, Galen menambahkan pertanda
inflamasi kelima yaitu berupa kehilangan fungsi alat tubuh yang mengalami inflamasi
(Baratawidjaja dan Rengganis, 2012).

Sifat menguntungkan dari reaksi inflamasi secara dramatis diperlihatkan dengan apa
yang terjadi jika penderita tidak dapat menimbulkan reaksi inflamasi yang dibutuhkan.
Misalnya, jika diperlukan memberikan dosis tinggi obat-obatan yang mempunyai efek
samping yang menekan reaksi inflamasi. Dalam hal ini, , ada peluang besar timbulnya infeksi
yang sangat hebat, penyabaran yang cepat atau infeksi yang mematikan, yang disebabkan
oleh mikroorganisme yang biasanya tidak berbahaya.
Reaksi inflamasi itu sebenarnya adalah peristiwa yang terkoodinasi dengan baik yang
dinamis dan kontinyu. Untuk menimbulkan reaksi inflamasi, maka jaringan harus hidup dan
khususnya harus memiliki mikrosirkulasi fungsional. Jika jaringan yang nekrosis luas, maka
reaksi jaringan tidak ditemukan ditengah jaringan, tetapi pada tepinya, yaitu antara jaringan
mati dan jaringan hidup dengan sirkulasi yang utuh. Jika cidera yang langsung mematikan
hospes, maka tidak ada petunjuk adanya reaksi inflamasi, karena untuk timbulnya reaksi
inflamasi diperlukan waktu.
1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian diatas dapat dibuat beberapa rumusan masalah, antara lain:
1. Apa pengertian inflamasi?
2. Apa saja penyebab inflamasi?
3. Apa pengertian konjungtivitis?
4. Apa penyebab konjungtivitis?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan yang dapat disampaikan oleh penulis terkait dengan makalah ini, yaitu:
1. Mengetahui pengertian inflamasi.
2. Mengetahui sebab inflamasi dapat terjadi.
3. Mengetahui pengertian konjungtivitis
4. Mengetahui penyebab konjungtivitis
BAB II

INFLAMASI

2.1 Pengertian Inflamasi

Inflamasi adalah suatu respon jaringan terhadap rangsangan fisik atau kimiawi
yang merusak. Rangsangan ini menyebabkan lepasnya mediator inflamasi seperti histamin,
serotonin, bradikinin, prostaglandin dan lainnya yang menimbulkan reaksi radang berupa
panas, nyeri, merah, bengkak dan disertai gangguan fungsi.

Inflamasi atau peradangan adalah suatu respon protektif yang ditujukan untuk
menghilangkan penyebab awal jejas sel serta membuang sel dan jaringan nekrotik yang
diakibatkan oleh kerusakan asal Inflamasi melaksanakan tugas pertahanannya dengan
mengencerkan, menghancurkan atau menetralkan agen berbahaya (misalnya mikroba atau
toksin). Inflamasi kemudian menggerakkan berbagai kejadian yang akhirnya menyembuhkan
dan menyusun kembali tempat terjadinya jejas. Dengan demikian, inflamasi juga terkait erta
dengan proses perbaikan, yang mengganti jaringan yang rusak dengan regenerasi sel
parenkim, dan atau dengan pengisian setiap defek yang tersisa dengan jaringan parut fibrosa.

Pada saat respon radang meliputi suatu perangkat kompleks berbagai kejadian yang
sangat harmonis, garis besar suatu inflamasi adalah sebagai berikut. Stimulus awal radang
memicu pelepasan mediator kimia dari plasma atau dari jaringan ikat. Mediator terlarut itu,
bekerja bersama atau secara berurutan, memperkuat respon awal radang dan mempengaruhi
perubahannya dengan mengatur respon vaskular dan selular berikutnya. Respon radang
diakhiri ketika stimulus yang membahayakan menghilang dan mediator radang telah hilang,
dikatabolisme atau diinhibisi.

Pada bentuk akutnya ditandai oleh tanda klasik : nyeri (dolor), panas (kolor),
kemerahan (rubor), bengkak (tumor), dan hilangnya fungsi (fungsiolesa). Secara histologis,
menyangkut rangkaian kejadian yang rumit, mencakup dilatasi arteriol, kapiler, dan venula,
disertai peningkatan permeabilitas dan aliran darah; eksudasi cairan, termasuk protein
plasma; dan migrasi leukositik ke dalam fokus peradangan.
2.2 Penyebab Inflamasi
- Benda Fisik
a) Benda – benda Traumatik :
 Jarum
 Pisau
 Kapak
 Tombak
 Panah
 Binatang buas
b) Suhu
c) Listrik
 Voltase tinggi
d) Radiasi
 Sinar X
 Nuklir
- Benda Infektif
a. Bakteri / Kuman / Basil
1) Golongan Kokus
a) Stafilokokus
b) Streptokokus
c) Meningokokus
d) Pneumokokus
e) Diplokokus
2) Golongan virus
a) RNA : Polio, rabies
b) DNA : HIV
3) Golongan Ricketsia
4) Golongan Klamidia
5) Golongan mikrobakterium :
a) KP
b) MH
b. Golongan Parasit
1) Malaria
2) Sifilis
3) Kencing tikus
4) Cacing : Cacing Kremi, cacing pita, cacing tambang, cacing gelang
5) Elephanthiasis
c. Golongan Jamur- jamur
1) Kandida sp
2) Kriptokokus neoformans
3) Epidermophyta
4) Aspergyllus sp
5) Tinea : Ingunialis, Kapitis, Versikolor
BAB III

KONJUNGTIVITIS

3.1 Pengertian Konjungtivitis

Konjungtivitis merupakan salah satu jenis inflamasi yang dapat terjadi pada mata.
Konjungtivitis dapat terjadi karena berbagai macam faktor diantara lain: alergi, penggunaan
kontak lensa, bakteri, virus, bahkan efek samping penggunaan obat. Meskipun jarang
menyebabkan kebutaan, konjungtivitis tetap menjadi gangguan yang serius karena dapat
mengganggu aktivitas dan untuk mengatasinya diperlukan konsultasi lebih lanjut dengan
dokter serta pengobatan dengan mempertimbangkan penyebabnya.

Dalam penelitian terhadap inflamasi, pengamatan dapat dilakukan dengan berbagai


macam parameter. Pengamatan pada jumlah leukosit dapat dilakukan untuk mengetahui
stadium inflamasi yang terjadi. Pada kondisi inflamasi, jumlah leukosit akan meningkat
sebagai respon pertahanan tubuh karena adanya serangan benda asing seperti virus, bakteri,
dan sebagainya. 3 Untuk inflamasi yang disebabkan bakteri seperti konjungtivitis,
pengamatan dapat dilakukan terhadap jumlah leukosit jenis neutrophil dan limfosit.
Peningkatan kedua jenis leukosit ini akan menjadi indikator adanya infeksi oleh bakteri
mengingat peran keduanya sebagai sistem pertahanan tubuh terhadap serangan bakteri.

Pengobatan untuk konjungtivitis saat ini seperti dekongestan, antibiotik, NSAID,dan


anti virus dalam bentuk tetes mata beresiko menyebabkan respon alergi pada konjungtiva
karena adanya benzalkonium klorida dalam sediaanya. Selain itu perlu dipertimbangkan
adanya riwayat alergi seperti alergi terhadap antibiotik tertentu.

3.2 Patofisiologi Konjungtivitis

Berkaitan dengan lokasi anatomis konjungtiva sebagai struktur terluar mata,


konjungtiva memiliki resiko yang besar untuk terinfeksi berbagai jenis mikroorganisme.
Untuk mencegah terjadinya infeksi, konjungtiva memiliki pertahanan berupa tear film yang
berfungsi untuk melarutkan kotoran-kotoran dan bahan-bahan toksik yang kemudian
dialirkan melalui sulkus lakrimalis ke meatus nasi inferior. Disamping itu, tear film juga
mengandung beta lysine, lisozim, Ig A, Ig G yang berfunsi untuk menghambat pertumbuhan
kuman. Apabila terdapat mikroorganisme patogen yang dapat menembus pertahanan tersebut,
maka akan terjadi infeksi pada konjungtiva berupa konjungtivitis.
3.3 Jenis konjungtivitis

- Konjungtivitis Bakteri

1. Definisi
Konjungtivitis bakteri adalah inflamasi konjungtiva yang terjadi akibat paparan
bakteri. Menurut Tarabishy dan Bennie (2008), konjungtivitis bakteri umum di jumpai pada
anak-anak dan dewasa dengan mata merah. Meskipun penyakit ini dapat sembuh sendiri
(self-limiting disease), pemberian antibakteri dapat mempercepat proses penyembuhan dan
mengurangi resiko komplikasi.

2. Etiologi
Jenis konjungtivitis hiperakut (purulen) dapat disebabkan oleh N Gonorrhoeae,
Neisseria kochii, dan N.meningitidis. Jenis konjungtivitis akut (mukopurulen) sering
disebabkan oleh Streptococcus Pneumoniae pada daerah dengan iklim sedang dan
Haemophillus aegyptius pada daerah dengan iklim tropis. Konjungtivitis bakteri akibat S
Pneumoniae dan H Aegyptius dapat disertai dengan perdarahan subkonjungtiva. Konjungtiva
subakut paling sering disebabkan oleh H influenzae dan terkadang oleh Escherichia coli dan
spesies proteus. Konjungtivitis bakteri kronik terjadi pada pasien dengan obstruksi ductus
nasolacrimalis dan dakriosistitis kronik yang biasanya unilateral

3. Faktor Resiko
Faktor predisposisi terjadinya konjungtivitis bakteri akut adalah kontak dengan
individu yang terinfeksi. Kelainan atau gangguan pada mata, seperti obstruksi saluran
nasolakrimal, kelainan posisi kelopak mata dan defisiensi air mata dapat pula meningkatkan
resiko terjadinya konjungtivitis bakteri dengan menurunkan mekanisme pertahanan mata
normal. Penyakit dengan supresi imun dan trauma 9 juga dapat melemahkan sistem imun
sehingga infeksi dapat mudah terjadi. Transmisi konjungtivitis bakteri akut dapat diturunkan
dengan higienitas yang baik, seperti sering mencuci tangan dan membatasi kontak langsung
dengan individu yang telah terinfeksi.

4. Tanda dan Gejala


Secara umum, konjungtivitis bakteri bermanifestasi dalam bentuk iritasi dan
pelebaran pembuluh darah (injeksi) bilateral, eksudat purulen, eksudat purulen dengan
palpebra saling melengket saat bangun tidur, dan kadang-kadang edema palpebra. Infeksi
biasanya mulai pada satu mata dan melalui tangan menular ke sisi lainnya

5. Diagnosis
konjungtivitis bakteri dapat ditegakkan melalui riwayat pasien dan pemeriksaan mata
secara menyeluruh, seperti pemeriksaan mata eksternal, biomikroskopi menggunakan slit-
lamp dan pemeriksaan ketajaman mata. Kerokan konjungtiva untuk pemeriksaan
mikroskopik dan biakan disarankan untuk semua kasus dan diharuskan jika penyakitnya
purulen, bermembran atau berpseudomembran. Pemeriksaan gram melalui kerokan
konjungtiva dan pengecatan dengan Giemsa menampilkan banyak neutrofil polimorfonuklear

6. Terapi spesifik
konjungtivitis bakteri tergantung pada temuan agen mikrobiologiknya. Sambil
menunggu hasil laboratorium, dokter dapat memulai terapi dengan antimikroba topikal
spektrum luas seperti polymyxin-trimethoprim. 10 Pada setiap konjungtivitis purulen dengan
diploccus gram negatif (sugestif neisseria), harus segera diberikan terapi topikal dan sistemik.
Jika kornea tidak terkena, maka ceftriaxone 1 g yang diberikan melalui dosis tunggal per
intramuskular biasanya merupakan terapi sistemik yang adekuat. Jika kornea terkena, maka
dibutuhkan ceftriaxone parenteral, 1-2 g per hari selama 5 hari. Pada konjungtivitis akut dan
hiperakut, saccus conjungtivalis harus dibilas dengan larutan saline agar menghilangkan
sekret (Garcia-Ferrer,2008). Beberapa antibiotik topikal lain yang biasa digunakan adalah
bacitracin, chloramphenicol, ciprofloxacin, gatifloxacin, gentaicin, levofloxacin,
moxifloxacin, neomycin dan lainnya. Selain itu, lensa kontak juga tidak disarankan untuk
dipakai sampai infeksi disembuhkan.

7. Komplikasi
Ulserasi kornea marginal terjadi pada infeksi N gonorrhoeae, N kochii, N
meningitidis, H aegyptius, S aureus, dan M catarrhalis. Jika produk toksik N gonorrhoeae
berdifusi melalui kornea masuk ke bilik mata depan, dapat timbul iritis toksik

- Konjungtivitis Virus

1. Definisi
Konjungtivitis virus adalah inflamasi konjungtiva yang terjadi akibat berbagai jenis virus.
Penyakit ini berkisar antara penyakit berat yang dapat menimbulkan cacat, sampai infeksi
ringan yang cepat sembuh sendiri
2. Etiologi
Virus yang paling sering menginfeksi konjungtiva adalah adenovirus. Adenovirus dengan
serotipe 3, 4, 5, dan 7 memiliki peran penting dalam demam faringokonjungtival. Anak-anak
yang mengalami infeksi ini akan cenderung terkena infeksi saluran pernafasan atas.
Adenovirus serotipe 8 dan 19 cenderung berperan pada keratokonjungtivitis epidemika
3. Tanda dan Gejala
Manifestasi klinis utama konjungtivitis virus adalah hiperemia akut, fotofobia, mata
berarir (watery discharge) serta edema pada kelopak mata. Pada konjungtivitis virus jenis
demam faringokonjungtival umumnya ditemukan demam 38,3°C-40°C, sakit tenggorokan
dan konjungtivitis folikular pada satu atau dua mata. Folikel sering mencolok pada kedua
konjungtiva dan mukosa faring. Limfadenopati preaurikular (tidak nyeri tekan) merupakan
tanda yang khas. Konjungtivitis virus jenis ini lebih sering ditemukan pada anak-anak dan
mudah menular melalui kolam renang ber-khlor rendah, bisa unilateral maupun bilateral
Keratokonjungtivitis epidemika umumnya bersifat bilateral. Awalnya hanya
mengenai satu mata saja dan biasanya mata pertama yang terkena cenderung lebih parah.
Temuan klinis pada pasien ini adalah injeksi konjungtiva, nyeri sedang, dan mata berair yang
dalam 5-14 hari akan diikuti oleh fotofobia, keratitis epitel dan kekeruhan pada
subepitelialnya. Sensasi kornea normal dan nodus preaurikular positif adalah tanda yang
khas. Pada anak-anak, mungkin terdapat gejala sistemik infeksi virus, seperti demam, sakit
tenggorokan, otitis media dan diare.
Keratokonjungtivitis virus herpes simpleks biasanya mengenai anak kecil dan ditandai
dengan injeksi unilateral, iritasi, sekret mukoid, nyeri dan fotofobia ringan. Penyakit ini
terjadi pada infeksi primer HSV atau saat episode kambuh herpes mata, sering disertai
keratitis herpes simpleks dan lesi-lesi kornea bersatu membentuk ulkus dendritik (Garcia-
Ferrer,2008). Pada konjungtivitis hemoragika akut, terjadi nyeri, fotofobia, sensasi benda
asing, mata berair, kemerahan, edema palpebra hingga perdarahan subkonjungtiva.
Perdarahan yang terjadi umumnya difus, dimana pada fase awal berupa bintik-bintik, mulai
dari konjungtiva bulbaris superior dan menyebar ke bawah. Kebanyakan pasien juga
mengalami limfadenopati preaurikular, folikel konjungtiva dan keratitis epitel

4. Diagnosis
Dalam penegakan diagnosis, anamnesis dan pemeriksaan (baik pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan mata) harus dilakukan secara komprehensif. Perlu ditanyakan mengenai onset,
lokasi (unilateral atau bilateral), durasi, penyakit penyerta seperti gangguan saluran nafas
bagian atas, gejala penyerta seperti fotofobia, riwayat penyakit sebelumnya, serta riwayat
keluarga. Pemeriksaan selsel radang terlihat dalam eksudat atau kerokan yang diambil dengan
spatula platina steril dari permukaan konjungtiva kemudian di pulas dengan pulasan Gram
(untuk mengidentifikasi organisme) dan dengan pulasan Giemsa (untuk menetapkan jenis dan
morfologi sel). Pada konjungtivitis virus biasanya banyak ditemukan sel mononuklear
khususnya limfosit dalam jumlah yang banyak

5. Penatalaksanaan
Umumnya konjungtivitis yang menyerang anak-anak di atas 1 tahun dan dewasa
dapat sembuh sendiri dan mungkin tidak memerlukan terapi. Demam faringokonjungtival
biasanya sembuh sendiri dalam 2 minggu tanpa pengobatan. (Garcia-Ferrer, 2008).
Penatalaksanaan konjungtivitis virus biasanya menggunakan kompres dingin, artificial tears,
dan pada beberapa kasus digunakan antihistamin. (Azari, 2013). Pada ulkus kornea dilakukan
debridemen (pengusapan ulkus dengan kain secara hati-hati, penetesan obat antivirus dan
penutupan mata)
- Konjungtivitis Jamur
Konjungtivitis jamur sering disebabkan oleh Candida albicans, namun hal ini jarang
terjadi. Umumnya terdapat bercak putih dan pada kerokan konjungtiva akan ditemukan sel
radang polimorfonuklear. Selain Candida albicans, konjungtivitis jamur dapat pula
disebabkan oleh Sporothrix schenckii, Rhinosporidium seeberi dan Coccidioides immitis

- Konjungtivitis Kimia atau Iritatif


Konjungtivitis kimia-iritatif disebabkan adanya pajanan substansi iritan, seperti asam,
alkali, asap dan angin, yang memasuki sakus konjungtivalis. Hal ini akan memicu timbulnya
gejala berupa nyeri, pelebaran pembuluh darah, fotofobia dan blefarospasme. Penggunaan
obat-obat topikal jangka panjang seperti dipivefrin, miotik, neomycin, dll yang digabung
dengan bahan pengawet atau toksik. Penanganan konjungtivitis kimia-iritatif dapat diatasi
dengan penghentian substansi penyebab dan pemberian tetes mata ringan
BAB IV
PENUTUP

Inflamasi atau radang adalah suatu respon jaringan terhadap rangsangan fisik atau
kimiawi yang merusak. Rangsangan ini menyebabkan lepasnya mediator radang seperti
histamin, serotonin, bradikinin, prostaglandin dan lainnya yang menimbulkan reaksi
inflamasi berupa panas, nyeri, merah, bengkak dan disertai gangguan fungsi.

Dapat kita simpulkan bahwa inflamasi bukanlah suatu penyakit, melainkan


manifestasi dari suatu penyakit. Dimana inflamasi merupakan respon fisiologis lokal
terhadap cidera jaringan. Inflamasi dapat pula mempunyai pengaruh yang menguntungkan,
selain berfungsi sebagai penghancuran mikroorganisme yang masuk dan pembuatan dinding
pada rongga akses, inflamasi juga dapat mencegah penyebaran infeksi. Tetapi ada juga
pengaruh yang merugikan dari inflamasi, karena secara seimbang radang juga memproduksi
penyakit. Misalnya, abses otak dan mengakibatkan terjadinya distori jaringan yang permanen
dan menyebabkan gangguan fungsi.

Anda mungkin juga menyukai