Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

CARDIAC ARREST

OLEH

ALNI NURFIANA SARI

14420192183

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2021
A. Definisi
Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan
mendadak, bisa terjadi pada seseorang yang memang didiagnosa dengan penyakit
jantung ataupun tidak, waktu kejadiannya tidak bisa diperkirakan, terjadi dengan
sangat cepat begitu gejala dan tanda tampak [ CITATION Dar17 \l 1033 ] Cardiac
arrest atau kematian jantung mendadak merupakan berhentinya fungsi jantung
secara tiba-tiba pada seseorang yang telah atau belum diketahui menderita
penyakit jantung. Hal ini terjadi ketika sistem kelistrikan jantung menjadi tidak
berfungsi dengan baik dan menghasilkan irama jantung yang tidak normal.
[ CITATION Ism18 \l 1033 ]

Henti jantung (cardiac arrest) juga merupakan keadaan di mana sirkulasi


darah berhenti akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif.
Keadaan henti jantung ditandai dengan tidak adanya nadi dan tanda-tanda
sirkulasi lainnya [ CITATION Ame17 \l 1033 ]

B. Etiologi
Etiologi Cardiac Arrest Cardiac arrest dapat terjadi ketika adanya disfungsi
dari sistem listrik jantung, sehingga menyebabkan terjadinya aritmia. Aritmia
yang paling umum terjadi pada cardiac arrest adalah ventrikel fibrilasi. Cardiac
arrest dapat diubah apabila jika CPR (Cardiopulmonary resucitation) dilakukan
dan defibrilasi digunakan untuk mengejutkan jnatung dan mengembalikan irama
jantung yang normal dalam beberapa menit. Cardiac arrest dapat disebabkan oleh
semua hampir gangguan pada jantung yang dikenal. Penyebab yang paling umum
adalah : Jaringan parut yang terjadi karena serangan jantung sebelumnya atau
penyebab lain. Jantung yang terdapat bekas luka atau membesar karena sebab
apapun rentan untuk terjadi arirmia ventrikel yang mengancam. Enam bulan
pertama setelah serangan jantung adalah resiko periode yang sangat tinggi untuk
menderita cardiac arrest pada pasien dengan penyakit jantung aterosklerotik.
Penebalan otot jantung (cardiomyopathy) dari setiap penyebab (tekanan darah
tinggi atau penyakit katup jantung) apalagi ditambah dengan gagal jantung. Obat
jantung, dalam kondisi tertentu beberapa obat jantung dapat menyebabkan aritmia
yang selanjutnya dapat menyebabkan cardiac arrest. Kelainan listrik tertentu
seperti sindrom wolffparkinson- white dan sindrom QT panjang dapat
menyebabkan serangan jantung mendadak pada anak-anak dan orang muda.
Penggunaan narkoba, pada orang tanpa penyakit jantung organik, penggunaan
narkoba merupakan penyebab penting dari serangan jantung mendadak.
Sedangkan penelitian lain menyatakan penyebab cardiac arrest dapat terjadi oleh
banyak kondisi yang mendasarinya yang meliputi infark miokard, overdosis obat,
trauma, dan ganguan impuls yang meliputi ventrikel fibrilasi. [ CITATION Lem16 \l
1033 ]

C. Manifestasi Klinis
Cardiac Arrest dapat dating tiba-tiba dan berat, sehingga penderita tidak
sadar apa yang dialaminya. Akan tetapi tidak jarang gejala cardia arrest berawal
dari yang ringan, berupa nyeri ringan atau ketidaknyamanan pada dada. Orang
yang mengalaminya sering tidak menyadari ia mendapat henti jantung dan
menunggu lama sebelum akhirnya memutuskan untuk mencari pertolongan.
Dibawah ini adalah tanda dan gejala yang ring muncul pada henti jantung :
Tanda-tanda cardiac arrest) yaitu :
a. Ketiadaan respon : Pasien tidak berespon terhadap rangsangan suara,
tepukan di pundak ataupun cubitan
b. Ketiadaan pernafasan normal : tidak terdapat pernapasan normal ketika
jalan pernapasan dibuka
c. Tidak teraba denyut nadi di arteri besar (Karotis, Femoralis, Radialis)
[ CITATION Kas12 \l 1033 ]

D. Patofisiologi
Patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang
mendasarinya. Namun, umumnya mekanisme terjadinya kematian adalah
sama. Sebagai akibat dari henti jantung, peredaran darah akan berhenti.
Berhentinya peredaran darah mencegah aliran oksigen untuk semua organ
tubuh. Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya
suplai oksigen, termasuk otak. Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke
otak, menyebabkan korban kehilangan kesadaran dan berhenti bernapas
normal. Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani
dalam 5 menit dan selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit (Sudden
cardiac death).
Berikut akan dibahas bagaimana patofisiologi dari masing-masing etiologi
yang mendasari terjadinya cardiac arrest.[ CITATION Lem16 \l 1033 ]
1. Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner menyebabkan Infark miokard atau yang
umumnya dikenal sebagai serangan jantung. Infark miokard merupakan salah
satu penyebab dari cardiac arrest. Infark miokard terjadi akibat arteri koroner
yang menyuplai oksigen ke otot-otot jantung menjadi keras dan menyempit
akibat sebuah materia(plak) yang terbentuk di dinding dalam arteri. Semakin
meningkat ukuran plak, semakin buruk sirkulasi ke jantung. Pada akhirnya,
otot-otot jantung tidak lagi memperoleh suplai oksigen yang mencukupi untuk
melakukan fungsinya, sehingga dapat terjadi infark. Ketika terjadi infark,
beberapa jaringan jantung mati dan menjadi jaringan parut. Jaringan parut ini
dapat menghambat sistem konduksi langsung dari jantung, meningkatkan
terjadinya aritmia dan cardiac arrest.
2. Stress Fisik.
Stress fisik tertentu dapat menyebabkan sistem konduksi jantung gagal
berfungsi, diantaranya:
- Perdarahan yang banyak akibat luka trauma atau perdarahan dalam
- Sengatan listrik
- Kekurangan oksigen akibat tersedak, penjeratan, tenggelam ataupun
serangan asma yang berat
- Kadar Kalium dan Magnesium yang rendah
- Latihan yang berlebih, adrenalin dapat memicu SCA pada pasien yang
memiliki gangguan jantung.
- Stress fisik seperti tersedak, penjeratan dapat menyebabkan vagal
reflex akibat penekanan pada nervus vagus di carotic sheed.
3. Kelainan Bawaan
Ada sebuah kecenderungan bahwa aritmia diturunkan dalam keluarga.
Kecenderungan ini diturunkan dari orang tua ke anak mereka. Anggota
keluarga ini mungkin memiliki peningkatan resiko terkena cardiac arrest.
Beberapa orang lahir dengan defek di jantung mereka yang dapat
mengganggu bentuk(struktur) jantung dan dapat meningkatkan kemungkinan
terkena SCA.
4. Perubahan struktur jantung
Perubahan struktur jantung akibat penyakit katup atau otot jantung
dapat menyebabkan perubahan dari ukuran atau struktur yang pada akhirnrya
dapat mengganggu impuls listrik. Perubahan-perubahan ini meliputi
pembesaran jantung akibat tekanan darah tinggi atau penyakit jantung kronik.
Infeksi dari jantung juga dapat menyebabkan perubahan struktur dari jantung.
5. Obat-obatan
Antidepresan trisiklik, fenotiazin, beta bloker, calcium channel
blocker, kokain, digoxin, aspirin, asetominophen dapat menyebabkan aritmia.
Penemuan adanya materi yang ditemukan pada pasien, riwayat medis pasien
yang diperoleh dari keluarga atau teman pasien, memeriksa medical record
untuk memastikan tidak adanya interaksi obat, atau mengirim sampel urin dan
darah pada laboratorium toksikologi dapat membantu menegakkan diagnosis.
6. Tamponade jantung
Cairan yang yang terdapat dalam perikardium dapat mendesak jantung
sehingga tidak mampu untuk berdetak, mencegah sirkulasi berjalan sehingga
mengakibatkan kematian.

7. Tension pneumothorax
Terdapatnya luka sehingga udara akan masuk ke salah satu cavum
pleura. Udara akan terus masuk akibat perbedaan tekanan antara udara luar
dan tekanan dalam paru. Hal ini akan menyebabkan pergeseran mediastinum.
Ketika keadaan ini terjadi, jantung akan terdesak dan pembuluh darah besar
(terutama vena cava superior) tertekan, sehingga membatasi aliran balik ke
jantung. [ CITATION Lem16 \l 1033 ]
E. Pathway

Penyakit Jantung
(Hipertensi, Infark Kelainan Obat-obatan,
Miokarf, Aritmia Bawaan Merokok

Aritmia Cardiac

Cardiac Arrest

Aliran darah ke jantung


Jantung Kekurangan O2
menurun

Suplai O2 ke jaringan tidak adekuat O2 dan nutrient menurun

Hipoksia Vasokontriksi Jaringan Miokard


Serebral Pembuluh darah Iskemik

Penurunan Suplai dan kebutuhan


Metabolisme
Kesadaran O2 ke jantung tdk
seimbang

Gangguan Akral Dingin


Pertukaran Iskemia Otot
Gas Jantung
Gangguan Perfusi
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Elektrokardiogram
Biasanya tes yang diberikan ialah dengan elektrodiogram (EKG). Ketika
dipasang EKG, sensor dipasang pada dada atau kadang-kadang dibagian
tubuh lainnya misalnya tangan dan kaki. EKG mengukur waktu dan durasi
dari tiap fase listrik jantung dan dapat menggambarkan gangguan pada irama
jantung. Karena cedera otot jantung tidak melakukan impuls listrik normal,
EKG bias menunjukkan bahwa serangan jantung telah terjadi. EKG dapat
mendeteksi pola listrik abnormal, seperti interval QT berkepanjangan, yang
meningkatan risiko kematian mendadak.
2. Tes darah
a. Pemeriksaan Enzim Jantung
Enzim-enzim jantung tertentu akan masuk ke dalam darah jika jantung
terkena serangan jantung. Karena serangan jantung dapat memicu sudden
cardiac arrest. Pengujian sampel darah untuk mengetahuin enzim-enzim
ini sangat penting apakah benar-benar terjadi serangan jantung.
b. Elektrolit Jantung
Melalui sampel darah, kita juga dapat mengetahui elektrolit-elektrolit yang
ada pada jantung, di antaranya kalium, kalsium, magnesium. Elektroliy
adalah mineral dalam darah kita dan cairan tubuh yang membantu
menghasilkan impuls listrik. Ketidakseimbangan pada elektrolit dapat
memicu terjadinya aritmia dan sudden cardiac arrest.
c. Test Obat
Pemeriksaan darah untuk bukti obat yang memiliki potensi untuk
menginduksi aritmia, termasuk resep tertentu dan obat-obatan tersebut
merupakan obat-obatan terlarang.
d. Test Hormon
Pengujian untuk hipertiroidisme dapat menunjukkan kondisi ini sebagai
pemicu cardiac arrest.
3. Imaging Tes
a. Pemeriksaan Foto Thorax
Foto Thorax menggambarkan bentuk dan ukuran dada serta pembuluh
darah. Hal ini juga dapat menunjukkan apakah seseorang terkena gagal
jantung
b. Pemeriksaan Nuklir
Biasanya dilakukan Bersama dengan tes stress, membantu
mengidentifikasi masalah aliran darah ke jantung. Radioaktif yang dalam
jumlah kecil dapat mendeteksi bahan radioaktif mengalir melalui jantung
dan paru-paru
c. Ekokardiogram
Tes ini menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambaran
jantung. Echocardiogram dapat membantu mengidentifikasi apakah daerah
jantung telah rusak oleh Cardiac Arrest dan tidak memompa secara normal
atau pada kapasitas puncak (fraksi ejeksi) atau apakah adalah kelainan
katup
4. Electrical System (Electrophysiological) testing and mapping
Tes ini jika diperlukan biasanya dilakukan nanti setelah seseorang sudah
sembuh dan jika penjelasan yang mendasari serangan jantung belum
ditemukan. Dengan jenis tes ini, mungkin mencoba untuk menyebabkan
aritmia. Tes ini dapat membantu menemukan tempat aritmia dimulai. Selama
tes, kemudia kateter dihubungkan dengan electrode yang menjulur melalui
pembuluh darah ke berbagai tempat area jantung. Setelah ditempat, elektroda
dapat memetakan penyebaran impuls listrik melalui jantung pasien. Selain itu,
ahli jantung dapat menggunakan elektroda untuk merangsang jantung pasien
untuk mengalahkan penyebab yang mungkin memicu atau menghentikan
aritmia. Hal ini memungkinkan untuk mengamati lokasi aritmia.
5. Ejection Fraction Testing
Salah satu prediksi yang paling penting dari risiko sudden cardiac arrest
adalah seberapa baik jantung mampu memompa darah. Ini dapat menentukan
kapasitas pompa jantung dengan mengukur apa yang dinamakan fraksi ejeksi.
Hal ini mengacu pada persentase darah yang dipompa keluar dari ventrikel
setiap detak jantung. Sebuah fraksi ejeksi normal adalah 55 sampai 70 persen.
Fraksi ejeksi kurang dari 40 persen meningkatkan risiko sudden cardiac arrest.
Ini dapat mengukur fraksi ejeksi dalam beberapa cara, seperti dengan
echocardiogram, Magnetic Resonance Imaging (MRI) dari jantung,
pengobatan nuklir scan dari jantung atau computerized tomography (CT) Scan
Jantung.
6. Coronary Catheterization (Angogram)
Pengujian ini dapat menunjukkan jika arteri coroner terjadi penyempitan
atau penyumbatan. Seiring dengan fraksi ejeksi, jumlah pembuluh darah yang
tersumbat merupakan predictor penting sudden cardiac arrest. Selama
prosedur, pewarna cair disuntikkan ke dalam arteri hati melalui tabung
Panjang dan tipis (kateter) yang melalui arteri, biasanya melalui kaki, untuk
arteri didalm jantung. Sebagai pewarna mengisi arteri, arteri menjadi terlihat
pada X-ray dan rekaman video, menunjukkan daerah penyumbatan. Selain itu,
sementara kateter diposisikan, mungkin mengobati penyumbatan dengan
melakukan angioplasty dan memasukkan stent untuk menahan arteri terbuka
[ CITATION Lem16 \l 1033 ]

G. Komplikasi
1. Edema paru akut adalah timbunan cairan abnormal
dalam paru,baik di rongga interstisial maupun dalam alveoli. Oedema paru
merupakan tanda adanya kongesti paru tingkat lanjut, dimana cairan
mengalami kebocoran melalui dinding kapiler, merembes ke luar dan
menimbulkan dispnu yang sangat berat. Oedema terutama paling sering
ditimbulkan oleh kerusakan otot jantung akibat MI acut. Perkembangan
oedema paru menunjukan bahwa fungsi jantung  sudah sangat tidak adekuat.
2. Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk
memompa darah yang adekuat.
3. Syok kardiogenik adalah terjadi ketika jantung tidak
mampu mempertahankan kadiak output yang cukup untuk perfusi jaringan.
Hal ini biasanya muncul setelah adanya penyakit infark miokardial.
4. Efusi prekardial adalah mengacu pada masuknya cairan
ke dalam kantung pericardium.
5. Rupture miokard adalah sangat jarang terjadi tetapi,
dapat terjadi bila terdapat infark miokardium, proses infeksi, penyakit infeksi,
penyakit pericardium atau disfungsi miokardium lain yang membuat otot
jantung menjadi lemah.
6. Henti jantung adalah bila jantung tiba-tiba berhenti
berdenyut, akibatnya terjadi penghentian sirkulasi yang efektif. [ CITATION
Kas12 \l 1033 ]

H. Penatalaksanaan
Pasien yang mendadak kolaps ditangani melalui 5 tahap, yaitu:
1. Respons awal
2. Penanganan untuk dukungan kehidupan dasar (basic life support)
3. Penanganan dukungan kehidupan lanjutan (advanced life support)
4. Asuhan pasca resusitasi
5. Penatalaksanaan jangka Panjang [CITATION Suh17 \l 1033 ]
Respons awal dan dukungan kehidupan dasar dapat diberikan oleh dokter,
perawat, personil paramedic, dan orang yang terlatih. Terdapat keperluan untuk
meningkatkan keterampilan saat pasien berlanjut melalui tingkat dukungan
kehidupan lanjut, asuhan pascaresusitasi, dan penatalaksanaan jangka panjang.
1. Respons Awal
Respons awal akan memastikan apakah suatu kolaps mendadak benar-
benar disebabkan oleh henti jantung. Observasi gerakan respirasi, warna kulit,
dan ada tidaknya denyut nadi pada pembuluh darah karotis atau arteri
femoralis dapat menentukan dengan segera apakah telah terjadi serangan henti
jantung yang dapat membawa kematian. Gerakan respirasi agonal dapat
menetap dalam waktu yang singkat setelah henti jantung, tetapi yang penting
untuk diobservasi adalah stridor yang berat dengan nadi persisten sebagai
petunjuk adanya aspirasi benda asing atau makanan. Jika keadaan ini
dicurigai, maneuver Heimlich yang cepat dapat mengeluarkan benda yang
menyumbat. Pukulan di daerah prekordial yang dilakukan secara kuat dengan
tangan terkepal erat pada sambungan antara bagian sternum sepertiga tengah
dan sepertiga bawah kadang-kadang dapat memulihkan takikardia atau
fibrilasi ventrikel, tetapi tindakan ini juga dikhawatirkan dapat mengubah
takikardia ventrikel menjadi fibrilasi ventrikel. Karena itu, telah dianjurkan
untuk menggunakan pukulan prekordial hanya pada pasien yang dimonitor;
rekomendasi ini masih controversial. Tindakan ke tiga selama respons inisial
adalah membersihkan saluran nafas. Gigi palsu atau benda asing yang di
dalam mulut dikeluarkan, dan maneuver Heimlich dilakukan jika terdapat
indikasi mencurigakan adanya benda asing yang terjepit di daerah orofaring.
Jika terdapat kecurigaan akan adanya henti respirasi (respiratory arrest) yang
mendahului serangan henti jantung, pukulan prekordial kedua dapat dilakukan
setelah saluran napas dibersihkan.[CITATION Suh17 \l 1033 ]
2. Tindakan Dukungan Kehidupan Dasar (Basic Life Support)
Tindakan ini yang lebih popular dengan istilah resusitasi
kardiopulmoner (RKP;CPR;Cardiopulmonary Resuscitation) merupakan
dukungan kehidupan dasar yang bertujuan untuk mempertahankan perfusi
organ sampai tindakan intervensi yang definitive dapat dilaksanakan. Unsur-
unsur dalam tindakan RKP terdiri atas tindakan untuk menghasilkan serta
mempertahankan fungsi ventilasi paru dan tindakan kompresi dada. Respirasi
mulut ke mulut dapat dilakukan bila tidak tersedia perlengkapan penyelamat
yang khusus misalnya pipa napas orofaring yang terbuat dari plastic, obturator
esophagus, ambu bag dengan masker. Teknik ventilasi konvensional selama
RKP memerlukan pengembangan paru yang dilakukan dengan
menghembuskan udara pernapasan sekali setiap 5 detik, kalau terdapat dua
orang yang melakukan resusitasi dan dua kali secara berturut, setiap 15 detik
kalau yang mengerjakan ventilasi maupun kompresi dinding dada hanya satu
orang.[ CITATION Sub15 \l 1033 ]
Kompresi dada dilakukan berdasarkan asumsi bahwa kompresi jantung
memungkinkan jantung untuk mempertahankan fungsi pemompaan dengan
pengisian serta pengosongan rongga-rongganya secara berurutan sementara
katup-katup jantung yang kompeten mempertahankan aliran darah ke depan.
Telapak yang satu diletakkan pada sternum bagian bawah, sementara telapak
tangan yang lainnya berada pada permukaan dorsum tangan yang di sebelah
bawah. Sternum kemudian ditekan dengan kedua lengan penolong tetap
berada dalam keadaan lurus. Penekanan ini dilakukan dengan kecepatan
kurang lebih 80 kali per menit. Penekanan dilakukan dengan kekuatan yang
cukup untuk menghasilkan depresi sternum sebesar 3 hingga 5 cm, dan
relaksasi dilakukan secara tiba-tiba. Teknik RKP konvensional ini sekarang
sedang dibandingkan dengan teknik baru yang didasarkan pada ventilasi dan
kompresi simultan. Sementara aliran arteri karotis yang dapat diukur dapat
dicapai dengan RKP konvensional, data eksperimental dan pemikiran teoritis
mendukung bahwa aliran dapat dioptimalkan melaui kerja pompa yang
dihasilkan oleh perubahan tekanan pada seluruh rongga torasikus, seperti yang
dicapai dengan kompresi dan ventilasi simultan. Namun, tidak jelas apakah
teknik ini menyebabkan impedansi aliran darah koroner dan apakah
peningkatan aliran karotis menghasilkan peningkatan yang ekuivalen pada
perfusi serebral.   
Langkah-langkah penting dalam resusitasi kardiopulmoner.
a. Pastikan bahwa saluran nafas korban dalam keadaan lapang/ terbuka.
b. Mulailah resusitasi respirasi dengan segera.
c. Raba denyut nadi karotis di dalam lekukan sepanjang jakun (Adam’s
apple) atau kartilago tiroid.
d. Jika denyut nadi tidak teraba, mulai lakukan pijat jantung. Lakukan
penekanan sebanyak 60 kali per menit dengan satu kali penghembusan
udara untuk mengembangkan paru setelah setiap 5 kali penekanan dada.
[ CITATION Sub15 \l 1033 ]
3. Tindakan Dukungan Kehidupan Lanjut (Advance Life Support)
Tindakan ini bertujuan untuk menghasilkan respirasi yang adekuat,
mengendalikan aritmia jantung, menyetabilkan status hemodinamika (tekanan
darah serta curah jantung) dan memulihkan perfusi organ. Aktivitas yang
dilakukan untuk mencapai tujuan ini mencakup:
a. Tindakan intubasi dengan endotracheal tube
b. Defibrilasi/ kardioversi, dan/atau pemasangan pacu jantung
c. Pemasangan lini infuse.
Ventilasi dengan O2 atau udara ruangan bila O2 tidak tersedia dengan
segera, dapat memulihkan keadaan hipoksemia dan asidosis dengan segera.
Kecepatan melakukan defibrilasi atau kardioversi merupakan elemen penting
untuk resusitasi yang berhasil. Kalau mungkin, tindakan defibrilasi harus
segera dilakukan sebelum intubasi dan pemasangna selang infuse. Resusitasi
kardiopulmoner harus dikerjakan sementara alat defibrillator diisi muatan
arusnya. Segera setelah diagnosis takikardia atau fibrilasi ventrikel ditentukan,
kejutan listrik sebesar 200-J harus diberikan. Kejutan tambahan dengan
kekuatan yang lebih tinggi hingga maksimal 360-J, dapat dicoba bila kejutan
pertama tidak berhasil menghilangkan takikardia atau fibrilasi ventrikel. Jika
pasien masih belum sadar sepenuhnya setelah dilakukan reversi, atau bila 2
atau 3 kali percobaan tidak membawa hasil, maka tindakan intubasi segera,
ventilasi dan analisis gas darah arterial harus segera dilakukan. Pemberian
larutan NaHCO3 intravena yang sebelumnya diberikan dalam jumlah besar
kini tidak dianggap lagi sebagai keharusan yang rutin dan bisa berbahaya bila
diberikan dalam jumlah yang lebih besar. Namun, pasien yang tetap
mengalami asidosis setalah defibrilasi dan intubasi yang berhasil harus
diberikan 1 mmol/kg NaHCO3 pada awalnya dan tambahan 50% dosis
diulangi setiap 10-15 menit.
Setelah upaya defibrilasi pendahuluan tanpa mempedulikan apakah
upaya ini berhasil atau tidak, preparat bolus 1mg/kg lidokain diberikan
intravena dan pember ian ini diulang dalam waktu 2 menit pada pasien-pasien
yang memperlihatkan aritmia ventrikel yang persisten atau tetap menunjukkan
fibrilasi ventrikel. Penyuntikan lidokain ini diikuti oleh infuse lidokain dengan
takaran 1-4 mg/menit. Jika lidokain tidak berhasil mengendalikan keadaan
tersebut, pemberian intravena prokainamid (dosis awal 100mg/5 menit hingga
tercapai dosis total 500-800mg, diikuti dengan pemberian lewat infuse yang
kontinyu dengan dosis 2-5mg/menit). Atau bretilium tosilat (dosis awal 5-
10mg/kg dalam waktu 5 menit; dosis pemeliharaan (maintanance) 0,5-2
mg/menit), dapat dicoba. Untuk mengatasi fibrilasi ventrikel yang per sisten,
preparat epinefrin (0,5-1,0 mg) dapat diberikan intravena setiap 5 menit sekali
selama resusitasi dengan upaya defibrilasi pada saat-saat diantara setiap
pemberian preparat tersebut. Obat tersebut dapat diberikan secara intrakardial
jika cara pemberian intravena tidak dapat dilakukan. Pemberian kalsium
glukonat intravena tidak lagi dianggap aman atau perlu untuk pemakaian yang
rutin. Obat ini yang hanya digunakan pada pasien dengan hiperkalemia akut
dianggap sebagai pencetus VF resisten, pada keadaan adanya hipokalsemia
yang diketahui, atau pada pasien yang menerima dosis toksik antagonis hemat
kalsium.
Henti jantung yang terjadi sekunder akibat bradiaritmia atau asistol
ditangani dengan cara yang berbeda. Setelah diketahui jenis aritmianya, terapi
syok dari luar tidak memiliki peranan. Pasien harus segera diintubasi,
resusitasi kardiopulmoner diteruskan dan harus diupayakan untuk
mengendalikan keadaan hipoksemia serta asidosis. Epinefrin dan atau atropine
diberikan intravena atau dengan penyuntikan intrakardial. Pemasangan alat
pacing eksternal kini sudah dapat dilakukan untuk mencoba menghasilkan
irama jantung yang teratur, tetapi prognosis pasien pada bentuk henti jantung
ini umumnya sangat buruk. Satu pengecualian adalah henti jantung asistolik
atau bradiaritmia sekunder terhadap obstruksi jalan napas. Bentuk henti
jantung ini dapat memberikan respons cepat untuk pengambilan benda asing
dengan maneuver Heimlich atau, pada pasien yang dirawat di rumah sakit.
Dengan intubasi dan penyedotan sekresi yang menyumbat di jalan napas.
[ CITATION Suh17 \l 1033 ]
4. Perawatan Pasca Resusitasi
Fase penatalaksanaan ini ditentukan oleh situasi klinis saat terjadinya
henti jantung. Fibrilasi ventrikel primer pada infark miokard akut umumnya
sangat responsive terhadap teknik-teknik dukungan kehidupan (life support)
dan mudah dikendalikan setelah kejadian permulaan. Pemberian infuse
lidokain dipertahankan dengan dosis 2-4 mg/menit selama 24-72 jam setelah
serangan. Dalam perawatan rumah sakit, bantuan respirator biasanya tidak
perlu atau diperlukan hanya untuk waktu yang singkat dan stabilisasi
hemodinamik yang terjadi dengan cepat setelah defibrilasi atau kardioversi.
Dalam fibrilasi ventrikel sekunder pada IMA (kejadian dengan abnormalitas
hemodinamika menjadi predisposisi untuk terjadinya aritmia yang dapat
membawa kematian), upaya resusitasi kurang begitu berhasil dan pada pasien
yang berhasil diresusitasi, angka rekurensinya cukup tinggi. Gambaran klinis
didominasi oleh ketidak stabilan hemodinamik. Dalam kenyataan, hasil akhir
lebih ditentukan oleh kemampuan untuk mengontrol gangguan hemodiunamik
dibandingkan dengan gangguan elektrofisiologi. Disosiasi elektromekanis,
asitol dan bradiaritmia merupakan peristiwa sekunder yang umum pada pasien
yang secara hemodinamis tidak stabil dan kurang responsive terhadap
intervensi.
Hasil akhir (outcome) setelah serangan henti jantung di rumah sakit
yang menyertai penyakit nonkardiak adalah buruk, dan pada beberapa pasien
yang berhasil diresusitasi, perjalanan pasca resusitasi didominasi oleh sifat
penyakit yang mendasari serangan henti jantung tersebut.  Pasien dengan
kanker, gagal ginjal, penyakit system saraf pusat akut dan infeksi terkontrol,
sebagai suatu kelompok, mempunyai angka kelangsungan hidup kurang dari
10 persen setelah henti jantung di rumah sakit. Beberapa pengecualian utama
terhadap hasil akhir henti jantung yang buruk akibat penyebab bukan jantung
adalah pasien dengan obstruksi jalan nafas transien, gangguan elektrolit, efek
proaritmia obat-obatan dan gangguan metabolic yang berat, kebanyakan
mereka yang mempunyai harapan hidup baik jika mereka mendapat resusitasi
dengan cepat dan dipertahankan sementara gangguan transien dikoreksi.
[ CITATION Suh17 \l 1033 ]
5. Penatalaksanaan Jangka Panjang
Bentuk perawatan ini dikembangkan menjadi daerah utama aktivitas
spesialisasi klinis karena perkembangan system penyelamatan emergency
berdasar-komunitas. Pasien yang tidak menderita kerusakan system saraf
pusat yang ireversibel dan yang mencapai stabilitas hemodinamik harus
dilakukan tes diagnostik dan terapeutik yang ekstensif untuk tuntutan
penatalaksanaan jangka panjang. Pendekatan agresif ini dilakukan atas dasar
dorongan fakta bahwadata statistikdari tahun 1970 mengindikasikan
kelangsungan hidup setelah henti jantung di luar rumah sakit diikuti oleh
angka henti jantung rekuren 30 persen pada 1 tahun, 45 persen pada 2
tahundan angka mortalitas total hampir 60 persen pada 2 tahun. Perbandingan
historis mendukung bahwa statistik buruk ini dapat diperbaiki dengan
intervensi yang baru. Tetapi seberapa besar perbaikannya idak diketahui
karena kurangnya uji intervensi bersamaan yang terkendali.
Diantara pasien ini dengan penyebab henti jantung di luar rumah sakit
adalah MI akut dan transmural, penatalaksanaan sama dengan semua pasien
lain yang menderita henti jantung selama fase akut MI yang nyata. Untuk
hampir semua kategori pasien, bagaimanapun, uji diagnostic ekstensif
dilakukan menentukan etiologi, gangguan fungsional dan ketidakstabilan
elektrofisiologik sebagai penuntun penatalaksanaan selanjutnya. Secara
umum, pasien yang mempunyai henti jantung di luar rumah sakit akibat
penyakit jantung iskemik kronik, tanpa MI akut, dievaluasi untuk menetukan
apakah iskemia transien atau ketidakstabilan elektrofisologik merupakan
penyebab yang lebih mungkin dari peristiwa ini. Jika terdapat alas an untuk
mencurigai suatu mekanisme iskemik, pembedahan anti-iskemik atau
Intervensi medis (seperti angiografi, obat) digunakan untuk mengurangi beban
iskemik. Ketidakstabilan elektrofisiologik paling baik diidentifikasi dengan
menggunakan stimulasi elektris terprogram untuk menentukan apakah VT
atau VF tertahan dapat diinduksi pada pasien. Jika ya, informasi ini dapat
digunakan sebagai data dasar untuk mengevaluasi efektifitas obat untuk
pencegahan kekambuhan. Informasi ini juga dapat digunakan untuk
menentukan kecocokan untuk pembedahan antiaritmik dengan tuntunan peta.
Menggunakan teknik ini untuk menegakkan terapi obat pada pasien dengan
fraksi ejeksi 30 persen atau lebih, angka henti jantung rekuren adalah kurang
dari 10 persen selama tahun pertama tindak lanjut. Hasil akhir tidak sebaik
untuk pasien fraksi dengan fraksi ejeksi dibawah 30 persen, tetapi tetap lebih
baik dibandingkan riwayat alami yang tampak dari kelangsungan hidup
setelah henti jantung. Untuk pasien yang keberhasilan dengan terapi obat tidak
dapat diidentifikasi dengan teknik ini, pengobatan empirik dengan amiodaron,
penanaman defibrillator/kardioverter (ICD, implantable
cardioverter/defibrillator) dalam tubuh, atau pembedahan antiaritmia (seperti
bedah pintas koroner, aneurismektomi, kriobliasi), dapat dianggap sebagai
pilihan. Sukses pembedahan primer, diartikan sebagai mempertahankan hidup
prosedur dan kembali pada keadaan yang tak dapat diinduksi tanpa terapi
obat, adalah lebih baik dari 90 persen bila pasien dipilih untuk kemampuan
dipetakan dalam ruang operasi. Terapi ICD juga dikembangkan menjadi
sistem yang lebih menarik, termasuk kemampuan untuk memacu lebih baik
dibandingkan mengejutkan (shock out) beberapa aritmia pada pasien terpilih.
Susunan Intervensi tersedia untuk pasien ini, digunakan dengan pantas,
menunjukkan perbaikan perbaikan yang berlanjut pada hasil akhir jangka
panjang.[ CITATION Suh17 \l 1033 ]

I. Pengkajian Keperawatan
1. Pengkajian Primer
a. Circulation/Sirkulasi
Pemeriksaan/Pengkajian
1) Periksa denyut nadi karotis dan brakhialis, kualitas, dan karakternya
2) Periksa perubahan warna kulit seperti sianosis
b. Airway/Jalan Nafas
Pemeriksaan / pengkajian menggunakan metode look,listen, feel
1) Look : Lihat status mental, pergerakan/pengembangan dada, terdapat
sumbatan jalan napas/tidak, sianosis, ada tidaknya retraksi pada
dinding dada, ada/tidaknya penggunaan otot-otot tambahan
2) Listen : Mendengar aliran udara pernapasan, suara pernapasan, ada
bunyi napas tambahan seperti snoring, gurgling, atau stridor
3) Feel : merasakan ada aliran udara pernapasan, apakah ada krepitasi,
adanya pergeseran / deviasi trachea, ada hematoma pada leher, teraba
nadi karotis atau tidak
c. Breathing/Pernapasan
Pemeriksaan/Pengkajian menggunakan metode look,listen,feel
1) Look : Nadi karotis ada/tidak, frekuensi pernapasan tidak ada dan
tidak terlihat adanya pergerakan dinding dada, kesadaran menurun,
sianosis, identifikasi pola pernapasan abnormal, periksa penggunaan
otot bantu dan lain-lain
2) Listen : Mendengar hembusan napas
3) Feel : TIdak ada pernapasan melalui hidung/mulut
d. Disability
Pengkajian kesadaran dengan metode AVPU meliputi :
1) Alert (A) : Pasien tidak berespon terhadap lingkungan
sekelilingnya/tidak sadar terhadap kejadian
yang menimpa
2) Respon verbal (V) : Klien tidak berespon terhadap pertanyaan
perawat
3) Respon Nyeri (P) : Klien tidak berespon terhadap respon nyeri
4) Tidak Berespon (U) : Tidak berespon terhadap stimulus verbal dan
nyeri
e. Exposure
Tidak ada tanda tanda teroma/oedem [ CITATION Kar15 \l 1033 ]
2. Pemeriksaan Fisik
a. Kesadaran : tidak sadar
b. GCS: tidak normal
c. Kepala: Tidak terdapat hematom pada kepala, tidak ada distensi vena
leher,, trachea terlihat dan teraba pada garis tengah, pupil kiri dan kanan 5
mm
d. Leher : Tidak terdapat deformitas, tidak ada kekakuan
e. Dada : Dada Simetris, tidak ada pengembangan paru dari proses inspirasi
dan ekspirasi, tidak terdengar suara nafas, tidak terdengar suara jantung.
f. Abdomen : Tidak ada tanda trauma, distensi, ascites, dan nyeri tekan
g. Pelvis : Tidak ada luka, tidak ada deformitas
h. Paha : Tidak ada luka trauma, tidak ada deformitas
i. Kaki bagian bawah dan lengan : Tidak ada luka, pembengkakan,
deformitas[ CITATION Kar15 \l 1033 ]

J. Diagnosa Keperawatan
1. Penurunan Curah Jantung b/d Perubahan preload,afterload, dan kontratilitas
2. Gangguan Perfusi Jaringan perifer b/d Penuruan aliran arteria /vena
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan suplai oksigen tidak adekuat
[ CITATION PPN17 \l 1033 ]

K. Intervensi Keperawatan
1. Dx : Penurunan Curah Jantung b/d Perubahan preload,afterload,
dan kontratilitas
Intervensi : Perawatan Jantung Akut
Tujuan : Curah Jantung Meningkat
Kriteria Hasil :
 Kekuatan Nadi Perifer Meningkat
 Gambaran EKG Aritmia Menurun
 Sianosis Menurun
 Tekanan Darah Membaik
 CRT Membaik[ CITATION Tim182 \l 1033 ]

Observasi

 Identifikasi karakteristik  nyeri dada (meliputi faktor pemicu dan dan


pereda, kualitas, lokasi, radiasi, skala, durasi dan frekuensi)
 Monitor EKG 12 sadapan untuk perubahan ST dan T
 Monitor Aritmia( kelainan irama dan frekuensi)
 Monitor elektrolit yang dapat meningkatkan resiko aritmia( mis. kalium,
magnesium serum)
 Monitor enzim jantung (mis. CK, CK-MB, Troponin T, Troponin I)
 Monitor saturasi oksigen
 Identifikasi stratifikasi pada sindrom koroner akut(mis. Skor TIMI,
Killip, Crusade)
Terapiutik
 Pertahankan tirah baring minimal 12 jam
 Pasang akses intravena
 Puasakan hingga bebas nyeri
 Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi ansietas dan stress
 Sediakan lingkungan yang kondusif untuk beristirahat dan pemulihan
 Siapkan menjalani intervensi koroner perkutan, jika perlu
 Berikan dukungan spiritual dan emosional
Edukasi
 Anjurkan segera melaporkan nyeri dada
 Anjurkan menghindari manuver Valsava (mis. Mengedan sat BAB atau
batuk)
 Jelaskan tindakan yang dijalani pasien
 Ajarkan teknik menurunkan kecemasan dan ketakutan

Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian antiplatelat, jika perlu


 Kolaborasi pemberian antiangina(mis. Nitrogliserin, beta blocker,
calcium channel bloker)
 Kolaborasi pemberian morfin, jika perlu
 Kolaborasi pemberian inotropik, jika perlu
 Kolaborasi pemberian obat untuk mencegah manuver Valsava (mis.,
pelunak, tinja, antiemetik)
 Kolaborasi pemberian trombus dengan antikoagulan, jika perlu
 Kolaborasi pemeriksaan x-ray dada , jika perlu [ CITATION Tim183 \l
1033 ]

2. Dx : Gangguan Perfusi Jaringan perifer b/d Penuruan aliran arteria /vena


Intervensi : Perawatan Sirkulasi
Tujuan : Perfusi Perifer Meningkat
Kriteria Hasil :
 Tingkat Kesadaran Meningkat
 Nilai rata-rata tekanan darah membaik
 Kesadaran Membaik
 Tekanan Darah Diastolik membaik
 Tekanan Darah sistolik membaik[ CITATION Tim182 \l 1033 ]

Observasi

 Periksa sirkulasi perifer(mis. Nadi perifer, edema, pengisian kalpiler,


warna, suhu, angkle brachial index)
 Identifikasi faktor resiko gangguan sirkulasi (mis. Diabetes, perokok,
orang tua, hipertensi dan kadar kolesterol tinggi)

Terapeutik

 Lakukan hidrasi
Edukasi
 Anjurkan berhenti merokok
 Anjurkan berolahraga rutin
 Anjurkan menggunakan obat penurun tekanan darah, antikoagulan, dan
penurun kolesterol, jika perlu
 Anjurkan minum obat pengontrol tekakan darah secara teratur
 Anjurkan program rehabilitasi vaskuler
 Informasikan tanda dan gejala darurat yang harus dilaporkan( mis. Rasa
sakit yang tidak hilang saat istirahat, luka tidak sembuh, hilangnya rasa[
CITATION Tim183 \l 1033 ]

3. Dx : Gangguan Pertukaran Gas Berhubungan dengan Suplai oksigen tidak

adekuat

Intervensi : Pemantauan Respirasi


Tujuan : Pertukaran Gas Meningkat
Kriteria Hasil :
 Tingkat Kesadaran Meningkat
 PCO2 Membaik
 PO2 Membaik
 Takikardi Membaik
 PH Arteri Membaik
 Pola Nafas Membaik
 Sianosis Membaik
 Warna Kulit Membaik[ CITATION Tim182 \l 1033 ]
Observasi
 Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya napas
 Monitor pola napas (seperti bradipnea, takipnea, hiperventilasi,
Kussmaul, Cheyne-Stokes, Biot, ataksik
 Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
 Auskultasi bunyi napas
 Monitor saturasi oksigen
 Monitor nilai AGD
 Monitor hasil x-ray toraks

Terapeutik

 Atur interval waktu pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien


 Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu[ CITATION Tim183 \l 1033 ]

L. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi yang diharapkan
1. Sirkulasi darah kembali normal dehingga transport O2 kembali lancar
2. Sirkulasi darah kembali normal sehingga pertukaran gas dapat berlangsung
3. Kemampuan pompa jantung meningkat dan kebutuha oksigen ke otak
terpenuhi[ CITATION Kar15 \l 1033 ]
DAFTAR PUSTAKA

Association, A. H. (2017). About Cardiac Arrest. AHA Journals, 676-684.


Darwati, L. E., Winarni, I., & Haedar, A. (2017). Studi Fenomenologi : Pengalaman
Perawat Dalam Melaksanakan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Henti
Jantung Disalahsatu UGD Rumah Sakit Tipe A Di Jawa Timur. Jurnal
Medika Respati, 30-48.
Ismiroja, R., Mulyadi, & Kiling, M. (2018). Pengalaman Perawat Dalam Penanganan
Cardiac Arrest Di Instalasi Gawat Darurat RSUP PROF. Dr. R. D. KANDOU
MANADO. E-journal Keperawatan, 1-8.
Kartikawati, N. D. (2015). Buku Ajar dasar-Dasar Keperawatan Gawat Darurat.
Jakarta: Salemba Medika.
Kasron. (2012). Buku Ajar Anatomi Fisiologi Kardiovasculer. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Lemone, P., Burke, K., & Bauldof, G. (2016). Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Ed.5. Jakarta: EGC.
PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan
Pengurus PPNI.
PPNI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (I). Jakarta: Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
PPNI, T. P. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria
Hasil Keperawatan (1st ed). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan
Perawat Nasional Indonesia.
Subagjo, A. d. (2015). Buku Panduan Kursus Bantuan Hidup Jantung Dasar. Jakarta:
PP Perki.
Suharsono, T., & Ningsih, D. (2017). Penatalaksanaan Henti Jantung . Malang:
UMM Press.

Anda mungkin juga menyukai