Anda di halaman 1dari 6

Cipaganti Group

Case Analysis

Latar Belakang Masalah (Krisis)

Beragam usaha yang dijalankan perusahaan untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar.
Maka salah satu langkah yang diambil oleh Cipaganti Group adalah melalui Go Public. Maka pada tahun
2013, Cipaganti Group menjadi perusahaan terbuka yaitu PT. Cipaganti Citra Graha Tbk. Dalam proses
perjalanannya, perusahaan membutuhkan banyak pemasukan modal namun tidak sejalan dengan
keuntungan yang diperoleh terus mengalami penurunan. Untuk mengenai penyebab nya, bisa beragam
macam, yaitu salah satu factor terbesarnya karena ekonomi nasional dan adanya kesalahan system
pengelolaan perusahaan. Hal inilah menjadi permasalahan utama yang mengakibatkan korporasi tidak
dapat mengembalikan investasi yang seharusnya sudah jatuh tempo.

Masalah ini kian hari semakin kompleks dan mempengaruhi bidang usaha yang lainnya. Disaat
PT. Cipaganti Citra Graha Tbk (CPGT) mengalami masalah, maka perusahan-perusaaan lain yang berada
dalam naungan PT tersebut akan mengalami dampak imbasnya. Krisis ini pun muncul akibat kurangnya
perhatian dari pihak manajemen untuk mengelola system organisasi, sedangkan perusahan tersebut
merupakan suatu perusahaan besar yang terdiri dari beberapa perusahaan yang tergabung dalam
Cipaganti Group.

Tanggung jawab Direksi/Petinggi Koperasi

Melalui sebuah wawancara dengan pihak manajemen, kekhawatiran mitra bisnis diluapkan
secara protes dan complain kepada pihak Perusahaan Cipaganti, padahal seharusnya hanya kepada
Koperasi Perusahaan saja.

Koperasi Cipaganti

Akhir-akhir ini di media banyak beredar pemberitaan bahwa Koperasi Cipaganti Karya Graha
Persada, atau disingkat Koperasi Cipaganti saja, mulai mengalami kesulitan dalam membayar
imbal hasil/bunga bulanan kepada para investornya, dan sudah tentu para investor ini mulai ketar
ketir, belum lagi pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) langsung angkat tangan terhadap masalah
ini dan malah melemparnya ke pihak Kementerian Koperasi (tapi bener juga sih). Menariknya
banyak orang yang menyangka bahwa perusahaan yang listing di BEI, yakni Cipaganti Citra
Graha (CPGT) merupakan Koperasi Cipaganti tersebut, padahal bukan. Anyway, mari kita
pelajari lebih lanjut tentang Koperasi Cipaganti ini, termasuk bagaimana kira-kira ending dari
kasus keterlambatan pembayaran imbal hasilnya.

Koperasi Cipaganti, selanjutnya disebut ‘KC’, merupakan salah satu koperasi paling terkemuka
di Indonesia. Yang dimaksud dengan ‘koperasi’ itu sendiri adalah badan hukum yang memiliki
izin (dari Kementerian Koperasi) untuk mengumpulkan dana dari masyarakat, dalam hal ini
masyarakat yang menjadi anggota koperasi itu sendiri, dimana dana tersebut akan digunakan
untuk membiayai usaha tertentu. Jika anda hendak bergabung dengan KC, misalnya, maka anda
akan menanda tangani semacam surat perjanjian di depan notaris bahwa anda telah bergabung
menjadi anggota KC, dan bahwa anda akan menyetor dana sebesar sekian untuk dikelola oleh
KC pada usaha tertentu, dan bahwa anda akan menerima bunga yang dibayarkan setiap bulan.

Koperasi adalah jenis badan hukum yang jauh lebih sederhana dari perusahaan yang berbentuk
Perseroan Terbatas atau PT, tapi sama-sama bisa memperoleh pendanaan dari luar. Jika anda
memiliki sebuah PT, maka melalui PT tersebut anda bisa mengajukan pinjaman ke bank,
menerbitkan saham, hingga menerbitkan obligasi. However, proses untuk melakukan itu semua
tidaklah mudah. Ketika anda hendak pinjam dana ke bank, misalnya, maka anda harus
menyediakan aset senilai sekian sebagai jaminan, dan PT tersebut juga harus sudah beroperasi
sekian tahun serta memiliki track record yang bisa dipertanggung jawabkan.

Namun hal yang sama tidak berlaku untuk koperasi. Jika anda mengelola sebuah koperasi, maka
selama anda bisa meyakinkan para calon investor untuk menempatkan dananya pada koperasi
tersebut, then holaa.. you got the money! Anda tidak perlu memberikan jaminan apapun terhadap
si investor, yang penting anda bisa secara rutin membayarkan bunga yang memang sudah
dijanjikan setiap bulannya.

Konsep koperasi sendiri sebenarnya merupakan alternatif bagi orang atau sekelompok orang
yang membutuhkan dana/modal untuk mengembangkan usaha tertentu, namun tidak memiliki
akses ke perbankan apalagi pasar modal (kalau mau IPO). Jadi dengan adanya sistem koperasi
ini, seorang pengusaha bisa memperoleh pinjaman modal dari teman-temannya sendiri yang
kemudian ditampung dalam satu wadah yang disebut koperasi tadi. Koperasi ini dianggap
sebagai ‘milik bersama’, baik investor maupun pengelola, walaupun pada hakekatnya yang
memiliki akses terhadap dana yang ditampung di koperasi tersebut hanyalah
pengelola/pengusaha itu tadi saja. Para investor pasif tidak bisa begitu saja menarik dana, atau
mencairkan/menjual aset-aset yang dimiliki oleh koperasi, karena yang bisa melakukan itu hanya
pengelola koperasi yang bersangkutan.

Kelemahan Sistem Koperasi

Sebagai investor saham, penulis tidak pernah berminat untuk menempatkan investasi di
Koperasi, entah itu KC ataupun lainnya, karena: Pertama, saya belum pernah mendengar orang
yang kaya dari koperasi. Kalau di saham, tidak sedikit investor yang sukses besar, tapi di
Koperasi? Yang ada, semakin banyak orang yang menjadi anggota sebuah koperasi, misalnya
KC, maka yang semakin sukses justru pengurusnya. I mean, jika anda hendak sukses dari
Koperasi, maka anda harus mendirikan koperasi tersebut kemudian mengajak orang lain untuk
bergabung, dan bukannya dengan ikut koperasi punya orang.
Kedua, ketika sebuah perusahaan membutuhkan dana untuk mengembangkan usaha, maka
perusahaan akan secara jelas memperinci berapa dana yang dibutuhkan, akan digunakan untu apa
dana tersebut, kemudian bisa mengajukan pinjaman ke bank, menerbitkan saham, atau
menerbitkan obligasi. Ketika dana yang dibutuhkan sudah terkumpul, maka that’s it, acara
penggalangan dananya selesai (perusahaan tidak lagi berusaha mengumpulkan dana), dan
selanjutnya perusahaan bisa fokus pada pengembangan usaha menggunakan dana yang sudah
terkumpul tadi. Contohnya, kalau anda ikut membeli saham IPO, dan ternyata jumlah saham
yang tersedia lebih sedikit dari yang hendak anda beli, maka perusahaan yang bersangkutan tidak
akan menerbitkan saham baru ataupun menaikkan harga sahamnya, melainkan jumlah saham
yang anda terima tetap segitu, dan kelebihan uang yang anda bayarkan akan dikembalikan
(makanya kemudian ada istilah oversubscribe).

Sementara koperasi? Entah bagaimana dengan kegiatan usaha yang mereka lakukan, namun yang
jelas kegiatan penggalangan dananya dilakukan setiap saat dan hampir tidak pernah
mengenal kata berhenti. Contohnya di KC, sampai sekarang mereka masih menerima investor
baru, dan juga masih menerima tambahan setoran modal dari investor yang sudah ada.
Pertanyaannya, ketika KC pada mulanya membutuhkan dana katakanlah Rp100 milyar untuk
usaha tambang batubara, misalnya, maka ketika dana yang dikumpulkan dari masyarakat lebih
besar dari itu, katakanlah mencapai Rp150 milyar, lalu akan dipakai untuk apa kelebihan modal
senilai Rp50 milyar tersebut? Sementara untuk menemukan peluang usaha yang baru lagi, itu
juga tidak mudah bukan?

Tapi bahkan hal itu tidak menghentikan koperasi untuk terus menarik dana dari masyarakat, dan
hal ini mengingatkan penulis akan Skema Ponzi lagi. Kalau anda belajar sejarahnya, pencipta
skema Ponzi, yakni Charles Ponzi, sebenarnya tidak sengaja dalam menciptakan skema tersebut.
Pada tahun 1918, Charles, yang ketika itu bekerja di sebuah toko di Boston, Amerika Serikat,
menerima surat dari sebuah perusahaan di Spanyol yang memintanya untuk mengirim katalog
produk yang dijual tokonya. Didalam amplop surat tersebut, Charles menemukan sebuah kupon
yang disebut international reply coupon (IRC), yang bisa ditukar dengan selembar perangko.
Perusahaan Spanyol tadi menyertakan kupon IRC didalam suratnya agar Charles bisa menukar
kupon tersebut dengan perangko, sehingga ia tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk
mengirim katalog yang diminta ke Spanyol.

Menariknya, ketika Charles pergi ke Kantor Pos untuk menukar kupon tersebut dengan selembar
perangko, ternyata yang didapat bukan selembar perangko, melainkan beberapa, padahal yang
dibutuhkan hanya selembar. Peristiwa perang dunia kesatu menyebabkan terjadinya perbedaan
nilai antara biaya pengiriman pos di Eropa dan Amerika, dimana selembar kupon IRC hanya
bisa memperoleh selembar perangko di Italia atau Spanyol, namun di Amerika, kupon tersebut
bisa ditukar dengan beberapa lembar perangko. Alhasil Charles jadi memperoleh sejumlah uang
tunai ketika menjual kembali kelebihan perangko yang tidak digunakan.

Charles segera menyadari bahwa ia baru saja menemukan peluang bisnis disini. Ia langsung
menemui teman-temannya untuk meminjam uang, dan berjanji kepada mereka bahwa ia akan
mengembalikannya dalam waktu 90 hari, plus bunganya. Uang tersebut digunakan untuk
membeli kupon IRC dari Spanyol, yang akan ia tukarkan dengan perangko di Amerika,
kemudian perangko tersebut dijual untuk meraih keuntungan sekian kali lipat. Charles berhasil
mengumpulkan uang US$ 1,250, dimana ia berjanji akan memberikan bunga sebesar US$ 750.
Dan hanya dalam waktu 90 hari berikutnya, ia benar-benar membayar total US$ 2,000 kepada
teman-temannya.

Dan tak lama kemudian, berita tentang ‘investasi mudah’ yang ditawarkan oleh Charles seketika
booming. Teman-teman Charles tadi kembali meminjamkan uang kepadanya, bahkan dengan
jumlah yang lebih besar, termasuk mengajak orang lain untuk bergabung. Dan Charles menerima
berapapun uang yang dipercayakan kepadanya. Hanya dalam tempo kurang dari setahun, nilai
investasi yang ia kelola melonjak dari US$ 1,250 menjadi US$ 420,000, dan terus saja naik.

Namun setelah beberapa waktu, Charles sudah tidak lagi membeli kupon IRC tadi karena
supplier-nya di Spanyol sudah kehabisan stok, yang itu berarti ia sudah tidak lagi
menghasilkan keuntungan, padahal dana investor terus berebut untuk masuk. Dan fatalnya,
Charles membiarkan hal tersebut terjadi, hingga akhirnya ia terpaksa membayar bunga kepada
investor lama menggunakan dana yang disetor oleh investor baru, karena memang ‘perusahaan
investasinya’ sudah tidak lagi menghasilkan keuntungan.

Dan itulah awal mulai skema Ponzi yang terkenal. Bisa kita lihat disini bahwa Mr. Charles Ponzi
ini pada awalnya tidak berniat untuk berbuat jahat atau menipu investornya, namun kesalahannya
adalah dia terlalu serakah, dimana ia terus menampung dana yang masuk meski sebenarnya ia
tidak mampu lagi mencetak keuntungan.

Nah, meski tidak sama persis, namun di Koperasi juga bisa saja terjadi hal yang sama, karena
berbeda dengan perusahaan yang hanya menarik dana (dari bank, atau dari masyarakat melalui
skema penjualan saham) sebesar sekian kemudian selesai, sebuah koperasi biasanya menampung
berapapun dana yang disetor oleh anggotanya, padahal pengelola koperasi ini belum tentu
mampu untuk terus menemukan peluang usaha yang baru. Terkait kenapa Koperasi Cipaganti
(KC) terlambat dalam membayar bunga kepada para investornya, pihak pengelola mengatakan
bahwa itu karena bisnis batubara yang mereka jalani sedang lesu karena turunnya harga batubara,
sehingga mereka kesulitan dalam memutar modal yang diperoleh dari anggota koperasi
(investor). Tapi jika demikian maka kenapa sampai hari ini KC masih menerima setoran modal
dari nasabah? Jawabannya ya, karena mereka itu koperasi!

However, ini bukan berarti KC menjalankan skema Ponzi, dan juga tidak ada bukti terkait hal
itu. Namun yang penulis penulis garis bawahi disini adalah, ketika bisnis batubara yang dijalani
KC lesu, lalu bagaimana KC akan memutar dana milik para anggota koperasi, sementara jumlah
setoran dana juga terus bertambah?

Itu yang kedua. Yang ketiga, semua orang selalu mengatakan bahwa yang namanya investasi itu
ada risikonya. Termasuk menempatkan dana di koperasi, itu juga ada risikonya. Tapi yang
terkadang dilupakan orang disini adalah, risiko sudah pasti ada, namun seberapa besar risiko
tersebut? Dan apakah setimpal dengan tingkat imbal hasil yang bisa diperoleh?

Nama ‘Koperasi Cipaganti’ mendadak tenar belakangan ini hanya karena pengelolanya terlambat
dalam membayar bunga bulanan kepada para investor (entah terlambat atau memang tidak
dibayarkan, who knows), padahal selama bertahun-tahun sebelumnya bunga bulanan tersebut
selalu lancar dibayarkan (dan itu pula sebabnya KC sukses menjadi besar). Namun karena
adanya peristiwa ini, para investor seketika ‘sadar’ bahwa modal mereka mungkin saja tidak
balik lagi. Sebab jika untuk membayar bunga-nya saja KC mengalami kesulitan, lalu bagaimana
dengan pokok investasinya? Katakanlah anda menyetor Rp100 juta ke KC, dan dijanjikan akan
menerima bunga sebesar 1.5% per bulan, alias Rp1.5 juta. Tapi jika untuk Rp1.5 juta itu saja KC
tidak bisa membayarnya, lalu bagaimana mereka akan mengembalikan setoran modal anda yang
sebesar Rp100 juta tadi?

Dan hal inilah yang seringkali dilupakan oleh investor koperasi. Ketika KC mampu dengan rutin
membayar bunga kepada investornya, maka investor pun akan merasa tenang, dan berpikir
bahwa modalnya nggak kemana-mana. Tapi ketika KC mulai macet dalam pembayaran bunga
tersebut, maka barulah investor akan sadar bahwa modal mereka bisa saja tidak kembali sama
sekali. Padahal sejak awal, hanya karena koperasi lancar membayar bunga, itu tidak menjadi
jaminan bahwa modal yang anda tempatkan tidak akan hilang! Katakanlah KC rutin membayar
bunga 1.5% per bulan selama setahun, sehingga total keuntungan yang anda peroleh adalah 18%.
Tapi setelah akhir tahun, dana anda ternyata tidak bisa ditarik sama sekali, bagaimana tuh? Ya
itu berarti, kerugian yang anda derita menjadi jauh lebih besar ketimbang bunga yang sudah anda
peroleh, benar begitu bukan?

Jadi dalam hal ini, penulis menganggap bahwa investasi di koperasi memiliki risiko yang tidak
setimpal dengan potensi keuntungan yang bisa diperoleh. Kalau anda beli saham A di harga
Rp1,000, misalnya, dan ternyata itu merupakan keputusan yang keliru, dimana anda terpaksa
harus cut loss di harga Rp900. Maka meskipun anda rugi, namun uang anda masih ada sisanya
bukan? Memang, ada juga beberapa kasus dimana seorang investor saham bisa menderita
kerugian hingga 100%, dimana perusahaannya bangkrut sama sekali, sahamnya di-suspend dan
tidak dicabut lagi, harga sahamnya mati di gocap, dan seterusnya. Tapi penulis sendiri rasa-
rasanya belum pernah ketemu investor saham yang ‘habis’ seperti itu. Pada tahun 1998, Pak Lo
Kheng Hong pernah merugi hingga 90%, dan mungkin itu adalah ‘rekor’ kerugian terburuk yang
pernah dialami oleh seorang investor saham. Tapi toh beliau sukses bangkit lagi, dan malah jadi
investor besar hingga saat ini.

Sementara di koperasi, in case dimana koperasi tidak sanggup lagi membayar bunga maupun
pokok investasi para nasabahnya, maka aset-aset milik koperasi bisa dilikuidasi kemudian
dananya dibagikan kepada para nasabah. Tapi dalam prakteknya, penulis belum pernah
mendengar ada koperasi yang melakukan hal tersebut. Termasuk dalam kasus KC, kasusnya
masih tarik ulur sampai sekarang. Beberapa nasabah mengalami kesulitan dalam menarik pokok
investasinya, beberapa lancar saja, dan selebihnya macet sama sekali.

Kesimpulan

Koperasi Cipaganti adalah salah satu koperasi yang sudah cukup lama beroperasi di Indonesia
(kalau gak salah sudah lebih dari 10 tahun), dan selama itu hampir tidak pernah ada masalah
dengan para investornya. Jika belakangan ini mereka kesulitan dalam membayar bunga bulanan,
maka itu adalah karena adanya peristiwa yang tidak bisa dihindari, yakni penurunan harga
batubara dan mungkin juga masalah di bisnis lainnya yang dijalani oleh KC (kalau gak salah ada
bikin hotel juga, tapi pembangunannya mandek). Jadi kurang lebih sama lah seperti perusahaan
batubara yang sempat untung besar di tahun 2011, namun kesininya laba mereka turun drastis
dan sahamnya pun ikut turun, dan alhasil menyebabkan kerugian bagi para investor yang
memegang sahamnya.

Dan berbeda dengan perusahaan batubara yang langsung ‘angkat bahu’ ketika investor protes
kenapa sahamnya turun (apalagi Bakrie, jangan harap bisa ketemu mereka deh), manajemen KC
cukup bertanggung jawab dengan paling tidak bersedia bertemu dengan para investor (terakhir
tanggal 3 Mei kemarin). Persoalannya adalah, karena KC ini sudah terlanjur besar, maka
investornya juga sangat banyak, dan alhasil kasusnya jadi booming. Penulis terus terang tidak
tahu bagaimana kira-kira kelanjutan dari masalah KC ini, namun dengan ukuran dana kelolaan
yang pastinya sudah jauuuuh lebih besar ketimbang sekian tahun yang lalu, jelas tidak mudah
bagi KC untuk memutar dana kelolaan tersebut agar bisa memperoleh keuntungan yang paling
tidak cukup untuk membayar bunga kepada para investor. Tapi kalau kita melihat bahwa sektor
batubara perlahan tapi pasti mulai pulih kembali, maka mungkin juga terdapat harapan bahwa
pada akhirnya nanti bisnis batubara yang dijalani KC ini kembali pulih, dan mereka juga kembali
mampu membayar kewajibannya kepada para investor seperti biasa.

Kemudian terkait PT Cipaganti Citra Graha, Tbk (CPGT) yang listing di bursa, itu bukan
Koperasi Cipaganti/KC, karena tidak mungkin sebuah koperasi bisa IPO (CPGT ini sebuah PT,
bukan koperasi). CPGT merupakan salah satu anak usaha dari Grup Cipaganti yang khusus
bergerak di bidang jasa transportasi, travel wisata, dan penyewaan alat-alat berat. Sementara
untuk bisnis batubara dan lainnya, itu dipegang oleh anak usaha Grup Cipaganti yang lain lagi
(jadi CPGT sama sekali tidak mengelola bisnis batubara). Sementara KC, karena dia bukan
merupakan perusahaan, maka secara struktur perusahaan bukan merupakan bagian dari Grup
Cipaganti. Namun KC adalah salah satu pemegang saham dari CPGT, dalam hal ini sebanyak
4.4% per April 2014.

Grup Cipaganti adalah salah satu grup usaha paling terkemuka di Indonesia, tapi sekaligus yang
paling unik karena mereka juga mengelola sebuah koperasi, yakni Koperasi Cipaganti ini
(meskipun tidak melalui grup-nya), dimana anggotanya terbuka untuk umum (kalau koperasi
milik grup usaha lain kan, biasanya keanggotaannya terbatas untuk pihak internal, misalnya
koperasi karyawan PT ABCD, dan seterusnya). Jadi sayang sekali kalau reputasinya yang baik
selama ini harus tercoreng hanya karena masalah KC ini. Well, namun bisnis apapun selalu ada
risikonya bukan?

Anda mungkin juga menyukai