Anda di halaman 1dari 5

TUGAS RESUME

HUKUM KELUARGA DAN HARTA KEKAYAAN PERKAWINAN

Nama : Rezanda Anugrah Bagaswara


NIM : 11000220410048
Kelas : MKN A2

MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO

1
Hukum Keluarga dan Harta Kekayaan Perkawinan

A. Hubungan Hukum Keluarga dan Harta Perkawinan

Perkawinan tidak hanya mempunyai dampak terhadap diri pribadi suami atau isteri, tidak
hanya mempunyai akibat dalam hubungan kekeluargaan, tidak hanya mempunyai akibat terhadap
hak dan kewajiban suami-isteri dalam keluarga, tetapi juga terhadap harta suami–isteri yang
terbentuk dalam perkawinan. Artinya, perkawinan juga mempunyai akibat yang bersifat Hukum
Kekayaan Keluarga. Dengan demikian bisa kita katakan, bahwa Hukum Harta Perkawinan dan Hukum
Keluarga mempunyai hubungan yang sangat erat yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, tetapi kita
bisa membedakannya.
Hukum Keluarga pada dasarnya adalah hukum yang mengatur tentang hubungan-hubungan
yang muncul dari hubungan kekeluargaan yang mempunyai ikatan satu sama lainnya atas dasar
perkawinan dan keturunan (hubungan darah). Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, harta
kekayaan perkawinan diatur dalam Buku I tentang Orang. Pengertian Hukum Orang itu sendiri dibagi
dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti sempit, Hukum Orang hanya mengatur tentang
Nama, Domisili, Nasionalitas, dan hak-hak kepribadian. Kemudian dalam arti luas, Hukum Orang
mengatur tentang keluarga atau Hukum Keluarga. Dalam kenyataanya istilah hukum orang ada yang
berpendapat bahwa istilah hukum orang itu kurang tepat, sehingga yang paling tepat adalah hukum
pribadi. Hukum pribadi didalamnya tidak hanya mengatur tentang orang sebagai manusia akan tetapi
juga mengatur badan hukum, karena pada dasarnya subjek hukum itu ada 2 yaitu orang dan badan
hukum. Apabila melihat komponen buku kesatu yang isinya adalah ketentuan-ketentuan tentang
Hukum Orang dan keluarga, maka dapat disimpulkan bahwa bagian terpenting dalam Hukum
Keluarga itu adalah hukum perkawinan yang kemudian menimbulkan hukum harta kekayaan
perkawinan.
Kemudian apabila kita membicarakan tentang Hukum Keluarga maka akan muncul suatu
ikatan antara suami/isteri yang terbentuk dalam suatu perkawinan. Hal ini diatur jelas dengan
terbitnya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berlaku efektif pada tanggal 1
Oktober 1975. Dalam UUP telah diatur mengenai Harta Kekayaan Perkawinan yang tercantum di
dalam Bab VII Pasal 35-37. Dengan demikian, apabila kasus perkawinan dan yang terkait ini terjadi
sebelum tanggal tersebut, dipastikan penyelesainnya dengan menggunakan hukum lama, yakni :
KUHPerdata, Hukum Adat, Hukum Islam atau aturan-aturan lainnya. Namun demikian, belum semua
ketentuan mendapat pengaturan lebih lanjut dalam Undang-Undang Perkawinan atau sudah diatur
dalam UUP tetapi tidak diatur lebih lanjut dalam PP No. 9 Tahun 1975. Hal inilah yang menimbulkan
realitas kemajemukan peraturan serta menimbulkan dilema dalam penerapan aturan bidang hukum
keluarga dan hukum perkawinan, sebagian telah tercapai unifikasi (Undang-Undang Perkawinan) dan
sebagian masih bersifat plural (Hukum lama).

B. Realitas Kemajemukan Aturan Hukum Keluarga dan Harta Perkawinan

Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa aturan hukum keluarga dan harta perkawinan dalam
pengaturannya terdapat realitas kemajemukan aturan. Hal ini dapat dilihat dari istilah yang berbeda
antara Harta Benda Perkawinan, Harta Kekayaan Perkawinan, dan Harta Gono-Gini. Karena sampai
saat ini Harta Benda Perkawinan telah diatur di dalam UUP sedangkan Harta Kekayaan Perkawinan
atau harta persatuan diatur di dalam KUHPerdata.
Dasar peraturan Hukum Keluarga dan Harta Perkawinan ada 5 yaitu UU No 1 tahun 1974, PP
No 9 Tahun 1975, KUHPerdata, Hukum Adat, (Parental, Patrilenial, Matrilenial), dan KHI. Dari
beberapa peraturan tersebut terdapat keragaman aturan atau sistem hukum, maka kita sebagai
praktisi hukum harus bisa menerapkan aturan hukum yang tepat sebagai landasan penyelesaian
sengketa khususnya terkait harta kekayaan perkawinan. Dalam menerapkannya apabila tidak terjadi
sengketa dalam penerapannya tidak perlu untuk menentukan hukum mana yang tepat, akan tetapi
kita hanya merujuk kepada kesepakatan yang berlaku antar para pihak. Salah satu contoh orang yang
beragama islam dalam pembagian harta perkawinan tidak harus tunduk terhadap KHI, boleh saja
menggunakan hukum yang dipilih berdasarkan kesepakatan. Hal ini diperjelas dalam Pasal 37 UUP
yang menyebutkan: ketika terjadi perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-

2
masing. Kemudian dilihat dari penjelasan Pasal 37 UUP, yang dimaksud hukum masing-masing adalah
hukum agama, hukum adat, dan hukum lain-lainnya termasuk KUHPerdata.

C. Perkawinan dan Harta Kekayaan Perkawinan

Berdasarkan UUP Pasal 2, perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu. Selanjutnya disebutkan tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan berlaku. Maka dapat disimpulkan perkawinan merupakan
suatu perbuatan hukum yang dilakukan secara sah menurut ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. Dari perkawinan yang dilakukan secara sah ini berakibat :

1. terciptanya hubungan suamin/isteri


2. terciptanya hubungan orangtua dan anak
3. dan tercipta harta kekayaan perkawinan

Dari pernyataan di atas , dapat diartikan bahwa keabsahan perkawinan menentukan


keabsahan harta kekayaan perkawinan. Harta merupakan barang (uang dan sebagainya) yang menjadi
kekayaan seseorang. Kondisi ekonomi yang timpang antara calon suami/isteri dan terjadinya
kemungkinan harta kekayaan seseorang (calon suami atau isteri) berubah statusnya apabila kemudian
mereka melangsungkan perkawinan sehingga menyebabkan adanya pemikiran untuk mengatur dan
melindungi harta kekayaan tersebut. Instrumen yang bisa digunakan untuk mengatur harta kekayaan
perkawinan tersebut dan untuk mencegah konflik yang mungkin timbul adalah dengan membuat
Perjanjian Pra Nikah/Perjanjian Kawin. Perjanjian Kawin atau Perjanjian Pra Nikah pada dasarnya
hakikatnya sama, yakni merupakan perjanjian yang dibuat calon suami isteri sebelum perkawinan
untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan perkawinan. Tujuannya sebagai tindakan
preventif dan mengantisipasi terjadinya konflik dan percekcokan dikemudian hari.
Dalam sistem hukum perkawinan pada umumnya mengatur perjanjian ini seperti di dalam
KUHPerdata, UUP ataupun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dengan demikian, oleh undang-
undang calon suami isteri diberi kebebasan atau opsi untuk mengatur harta perkawinan menurut
kehendak mereka dengan instrumen Perjanjian Kawin ini. Berikut akan dijelaskan terkait
perbandingan peraturan Harta Kekayaan Perkawinan dan Perjanjian Kawin yang ada di Indonesia :

Substansi UUP KHI KUHPerdata BW Belanda


Harta Perkawinan Pasal 35-37 Pasal 85-97 Pasal 119-138 Pasal 93-113
Perjanjian Kawin Pasal 29 Pasal 45-52 Pasal 139-185 Pasal 114-143

Berdasarkan data tabel di atas, dapat dilihat dari perbedaan jumlah pasal di atas sudah
menunjukkan betapa sumirnya atau terjadi dilema dalam penerapan ketentuan yang diatur dalam
UUP. Hal ini dapat menimbulkan pertanyaan Apakah ketentuan-ketentuan yang tersebut di atas dapat
diterapkan dengan mudah baik dalam lingkup Kenotariatan, Peradilan, dan dalam lingkup lembaga-
lembaga yang terkait seperti Catatan Sipil dan Badan Pertanahan Nasional. Dengan demikian oleh
undang-undang calon suami isteri diberi kebebasan dalam mengatur harta perkawinan menurut
kehendak mereka sendiri dengan instrumen Perjanjian Pra Nikah ini.
Pembuatan Perjanjian Kawin dalam praktik selama ini tidak semata merupakan tindakan
realistis dari calon suami atau isteri saja, namun sangat dipengaruhi oleh adat istiadat dan budaya
masyarakat lingkungannya. Menurut KUHPerdata ada resiko yang besar apabila perkawinan tidak
dibuat Perjanjian Kawin terlebih dahulu akan terjadi persatuan bulat yang bisa juga terdiri dari aktiva
dan pasiva baik sebelum maupun setelah perkawinan. Misalkan, ada seorang isteri telah mempunyai
hutang sebelum perkawinan dan kemudian kawin tanpa membuat Perjanjian Kawin, saat itu pula
suami telah terbebani sebesar 50% dari hutang yang dibuat isteri tersebut. Maka hutang-hutang
tersebut menjadi hutang persatuan. Dengan demikian tidak mengherankan apabila Perjanjian Kawin
dahulu hanya dibuat oleh mereka yang tunduk pada golongan KUHPerdata saja.
Berbeda dengan UUP, Harta Bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan,
hutang bersama adalah hutang yang dibuat selama perkawinan. Sedangkan harta bawaan tetap harta
pribadi dan hutang bawaan tetap hutang pribadi. Maka disini ada batasan yang jelas ketika
hutang/harta itu diperoleh terjadi setelah perkawinan, hutang atau harta itu menjadi milik bersama.

3
Misalkan, ada calon suami yang kaya kemudian membangun sebuah rumah yang dibuat sebelum
perkawinan. Setelah terjadi perkawinan dengan calon isteri, kepemilikan rumah itu tetap menjadi
milik harta pribadi suami bukan isterinya yang hanya menumpang. Lain halnya rumah tersebut
apabila dibangun selama perkawinan, maka rumah itu menjadi bagian harta bersama.

D. Apakah Ketentuan Harta Benda Perkawinan UUP Sudah atau Belum Berlaku?

Ketentuan Harta Benda Perkawinan diatur didalam UUP Pasal 37 , yang berbunyi :
“ bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing”
Dari bunyi pasal di atas , yang dimaksud hukum masing-masing itu adalah hukum adat, hukum agama,
atau hukum lainnya diantarannya KUHPerdata. Jadi apabila kita cermati dari bunyi Pasal 37 UUP,
apabila terjadi perceraian maka untuk harta benda diselesaikan menurut hukum yang dahulu tidak
menggunakan UUP. Berbeda dengan pendapatnya Tan Tiong Kie, yang mengatakan bahwa segala
harta benda perkawinan apabila terjadi perceraian maka berlaku menggunakan UUP.
Selanjutnya dalam SEMA No. MA/Pemb/0807/1975 tanggal 20-08-1975, menyebutkan harta
benda perkawinan tidak diatur di dalam PP, karenanya belum dapat diperlakukan secara efektif.
SEMA ini dikeluarkan pada tanggal 20-08-1975, yang mana dalam kondisi tersebut UUP belum berlaku
tetapi sudah muncul UUP. Kemudian Mahkamah Agung , mengungkapkan agar tidak terjadi
kerancuan hukum apabila terjadi sengketa kemudian mengeluarkan SEMA tersebut.
Hal ini diperkuat kembali dengan adanya Yurisprudensi : MA No. 726 K/Sip/1976 tgl 15-11-
1977,
“ bahwa sekalipun UUP telah berlaku, tetapi untuk pelaksanaanya masih memerlukan PP yang
mengatur sebagai pengganti ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata (BW) belum ada, maka bagi
penggugat dan tergugat WNI Keturunan Cina masih berlaku ketentuan-ketentuan mengenai
perkawinan yang tercantum dalam KUHPerdata. “ Dari penjelasan Yurisprudensi MA tersebut,
memberikan penjelasan bahwa apabila belum ada PP yang mengatur pelaksanaan UUP, maka WNI
Keturunan Cina menggunakan KUHPerdata.
Hal ini diperkuat dengan Putusan MA No. 54 PK/Pdt/2012, bahwa para pihak adalah sama-sama
keturunan TiongHoa sehingga mereka terikat perkawinan, maka segala hal yang berkaitan harta,
mereka tunduk dan terikat terhadap aturan hukum perdata berdasarkan KUHPerdata Buku Kesatu,
Bab VI, Bagian kesatu tentang Persatuan Harta Kekayaan menurut Undang-Undang.
Dalam beberapa Pendapat Hukum tersebut telah menjelaskan bahwa sistem hukum harta
benda perkawinan yang tidak diatur lanjut dalam PP, menimbulkan kerancuan hukum dalam
praktinya. Misalnya dalam lingkup peradilan, antara PN yang satu dengan PN yang lainnya, bahkan
dalam satu PN tidak terdapat kesatuan persepsi. Kemudian di kalangan Notaris, dalam penerapan
landasan aturan, baik Harta Kekayaan Perkawinan + Perjanjian Kawin dan problem kewenangan
bertindak. Jadi sudah seharusnya bahwa UUP harus merevisi keberadaan Undang-Undangnya untuk
menambah pengaturan mengenai harta benda perkawinan secara komprehensif agar tidak terjadi
kerancuan hukum yang terjadi saat ini. Kerancuan hukum ini terjadi apabila terjadi perceraian antara
calon suami atau isteri membawa harta / hutang bawaan, maka antara Pengadilan yang satu dengan
lainnya dalam praktik berbeda penerapan aturannya, ada yang menggunakan konsep UUP dan juga
KUHPerdata berbeda pengaturannya. Lain halnya apabila antara calon suami isteri sebelum
perkawinan tidak membawa Harta Bawaan/Pribadi, maka hartanya akan diperoleh selama
perkawinan dan menjadi milik bersama. Jadi apabila terjadi perceraian antara UUP dan KUHPerdata
tidak ada perbedaan pengaturannya.

E. Harta Kekayaan Perkawinan Menurut UUP

Istilah yang dipakai dalam UUP yaitu Harta Benda Perkawinan. Ada yang berpendapat bahwa
istilah Harta Benda Perkawinan maknanya lebih sempit disbanding Harta Kekayaan Perkawinan.
Karena Harta Benda hanya menyangkut aktiva saja tidak menyangkut passiva, padahal yang namanya
Harta Kekayaan Perkawinan itu terdiri dari aktiva dan passiva. Berikut istilah-istilah yang dipakai
didalam UUP yaitu:
1. Harta Benda Perkawinan ( Judul Bab VII )
2. Harta Bersama ( Pasal 35 Ayat 1 )
3. Harta Bawaan ( Pasal 35 Ayat 2 )
4. Harta Hadiah ( Pasal 35 Ayat 2 )

4
5. Harta Warisan ( Pasal 35 Ayat 2 )

Harta Benda Perkawinan menurut UUP, diatur didalam Bab VII Pasal 35-37. Dalam Pasal 35
UUP, menyebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
Maka dari ketentuan tersebut konsep harta perkawinan menurut pasal 35 yaitu : Harta Bersama
diartikan sebagai harta benda yang diperoleh selama perkawinan, sedangkan harta pribadi yaitu harta
bawaan (sebelum perkawinan), dan harta hadiah atau harta warisan (setelah perkawinan).

Anda mungkin juga menyukai