Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seperti yang dikemukakan sebelumnya, bahwa menurut geologi, zaman


dilluvium atau kala plastosen berlangsung kira-kira 3 juta sampai 10.000
tahun lalu. Dilihat dari keseluruhan sejarah bumi, kala plastosen merupakan
bagian masa geologi yang paling muda dan paling singkat, tetapi bagi sejarah
umat manusia, maka kala ini merupakan bagian paling tua dan terpanjang
dalam kehidupan.

Pada masa ini keadaan alam tidak stabil dan sering berganti bentuk fisik,
iklim dan sebagainya telah dihadapi manusia yang terus menerus mengalami
perkembangan bentuk fisik dan perkembangan akal budinya. Manusia dalam
hidup dan kehidupannya ditengah-tengah alam yang penuh tantangan itu
memfokuskan perhatiannya pada upaya mempertahankan diri dengan
kemampuannya yang masih serba terbatas. Karena itu, manusia pada itu,
manusia pada masa itu melakukan kegiatan perburuan dan pengumpulan
makanan sebagai kegiatan pokok sehari-hari dengan menggunakan peralatan
dari batu, kayu, dan tulang.

Cara hidup berburu dan meramu makanan dalam kala plastosen, mula-
mula dilakukan secara sederhana, kemudian berangsur-angsur mengalami
kemajuan sesuai dengan pengalaman yang diperoleh manusia dalam
mengatasi tantangan-tantangan yang dihadapinya dari masa ke masa. Proses
perkembangan tingkat kehidupan manusia tersebut, berlangsung dalam kurung
waktu yang panjang dan kemajuannya sangat lambat serta memperlihatkan
ketergantungannya kepada alam lingkungannya.

Untuk memahami lebih mendalam kehidupan berburu dan mengumpulkan


makanan tingkat sederhana dalam kala plastosen, maka perlu dibahas keadaan

1
bumi di kala Plastosen yang merupakan tantangan kehudupan, keadaan
binatang (fauna) dan tumbuh-tumbuhan (flora), keadaan manusia purba pada
masa itu dan bagaimana kemampuannya membuat alat-alat kebutuhan
hidupnya, serta kehidupan sosialnya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana keadaan bumi pada kala Plastosen?
2. Bagaimana keadaan binatang dan tumbuh-tumbuhann pada kala Plastosen?
3. Apakah jenis-jenis manusia purba di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui keadaan bumi pada kala Plastosen.
2. Untuk mengetahui keadaan binatang dan tumbuh-tumbuhan pada kala
Plastosen.
3. Untuk mengetahui jenis-jenis manusia purba di Indonesia.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Keadaan Bumi
Keadaan bumi umumnya dan Indonesia Khusunya pada kala Plastosen
adalah keadaan lingkungan fisik yang memberikan gambaran keadaan alam
yang bersifat anorgenis, seperti: tanah, iklim, air dan segala macam peristiwa
alam yang berkaitan dengan tanah, air, dan iklim. Keadaan lingkungan fisik
tersebut, sangat mempengaruhi hidup dan kehidupan manusia.
Keadaan alam fisik pada kala Plastosen, menurut hasil-hasil penelitian
para ahli geologi, paleontology, dan arkeologi, berkesimpulan bahwa pada
kala itu muka bumi sering mengalami perubahan oleh gerakan endogen
( gerakan – gerakan dari dalam bumi ) dan gerakan eksogen ( gerakan yang
berasal dari luar bumi ), atau oleh perubahan iklim. Pada kala plastosen ini
hewan dan tumbuh – tumbuhan telah hidup merata di muka bumi, sedangkan
beberapa daerah, antara lain di Afrika,Eropa dan Asia, termasuk kepulauan
Indonesia.
Unsur – unsur lingkungan yang terentuk pada kala Plastosen,
berupa daratan baru yang terangkat dari bawah muka laut ( gerakan
pengangkatan atau orogenesa ) serta undak – undak sungai dan pantai. Undah
– undak ini terjadi sebagai akibat naik turunnya dasar Denudasi yakni
berbagai proses pelapukan, transportasi, dan erosi yang berlangsung bersama
– sama serta dalam keseluruhan menyebabkan suatu daratan menjadi rendah.
B. Keadaan Binatang Dan Tumbuh-Tumbuhan
Keadaan binatang dan tumbuh-tumnuhan pada kala plastosen dapat
diketahui dari fosil-fosil hewan dan tumbuhan yang ditemukan dan pada
umumnya merupakan hasil evolusi dari masa sebelumnya. Dalam proses
perkembangan hewan dari zaman ke zaman, ternyata ada beberapa jenis
hewan yang punah atau mengalami perkembangan bentuk fisik pada satu
jaman tertentu, misalnya kuda(equus), gajah(elephas), dan sebagainya.

3
Keadaan kehidupan hewan dikala plastosen pada prinsipnya tidak banyak
berbeda dengan manusia, dalam arti kata bahwa hewan juga terikat oleh iklim
dan tumbuhan. Tiap perubahan iklim, dapat mengakibatkan berubah atau
berpindahnya kelompok hewan. Karena itu, disamping bencana alam dan
ancaman manusia serta sesame hewan, ancaman yang terbesar berasal dari
manusia. Hal ini disebabkan kemampuannya berburu dan mengumpul
makanan dari hasil alam sekelilingnya. Penangkapan hewan adalah kegiatan
pokok sehari-hari manusia ank arena itu dapat menyebabkan lenyapnya sebagian
hewan pada kala plestosen.

Upaya berburu hewan sudah dilakukan kelompok-kelompok manusia


purba, antara lain: rusa, babi hutan, Kijang, kerbau, kera, gajah, kuda nil, dan
beberapa jenis hewan buas lainnya. Perpindahan atau migrasi hewan dari
suatu tempat ke tempat lain karena perubahan iklim atau gangguan lainnya
perpindahan hewan dari daratan Asia ke kepulauan Indonesia pernah terjadi
kala Pleistosen akhir dan plestosen mulai dua jurusan atau arah pertama dari
arah barat melalui birma Semenanjung Malaka Sumatera Jawa dan Nusa
Tenggara kedua lewat Jalan Utara yaitu Cina Selatan Filipina dan Sulawesi
jenis hewan yang berimigrasi itu adalah waw waw tapir beruang dan stegodon
migrasi hewan dari Asia ke kepulauan Indonesia itu dimungkinkan oleh
terbentuknya paparan Sunda dan paparan Sahul pada kala pleistosen akhir dan
pleistosen sebagai akibat turunnya muka air laut di kepulauan Indonesia pada
waktu itu Sumatera Jawa dan Kalimantan bergabung dengan daratan Asia
Tenggara sedangkan Irian bergabung dengan daratan Australia hal ini
menyebabkan terjadinya persamaan fauna di Indonesia dengan daratan Asia
dan Australia.

Penelitian fosil fauna di Indonesia dimulai sejak permulaan abad ke-20


oleh para ahli geologi seperti: Rutien, Martin, Van Der Maarel, Von
Koenigswald, Ter Haar dan Oppenoorth. Fosil hewan di Indonesia pada
umumnya ditemukan di Jawa dan diketahui letak stratigrafinya, sehingga
digolongkan atas: fauna Jetis (Plestosen bawah), fauna Trinil (Plestosen

4
Tengah), dan Fauna (Plestosen Atas). Sedangkan di luar Jawa seperti di
Sulawesi, Flores, Sumba, dan Timor tidak diketahui letak stratigrafinya secara
jelas.

Fauna Jetis yang umumnya ditemukan di daerah sepanjang Pegunungan


Kendeng Mojokerto dan Sangiran antara lain: enimacha irrodus, leptobos
(lembu purba), Hippopotamus (sejenis kuda nil), cervus (rusa), stegodon
(gajah kecil), dan elephas (gajah besar). Fauna Trinil terutama ditemukan di
Trinil Ngawi dan Sangiran Surakarta antara lain: stegodon trigonocephalus,
elephas hysudrindicus (gajah) tapirus cf. Augustus cervus (rusa), Hippelaphus,
Felias Palaejavanica, Felias Tigris, dan sebagainya. Sedangkan fauno
ngandong yang ditemukan dalam undak-undak Bengawan Solo di Desa
Ngandong dan sekitarnya, antara lain: Felis Palleojavanica, Fellis Tigris
(sejenis harimau), Cervusn (Rusa), Heppelaphus, dan sebagainya.

Fauna lain yang ditemukan dan berasal dari kala Pleistosen akhir,
antara lain ditemukan di Cabbenge (SulSel) yang ditemukan oleh Van
Heekeren 1946-1947 dan 1950 di desa Sompoh dan Celeko antara lain:
archidiskodon celebensis (jenis gajah purba) stegodon sampoensis (jenis
gajah katai), Celebochoerus Heekeren (jenis babi raksasa), anoa, hiu, dan
buaya di Timor ditemukan Stegodon Timorensis di Flores ditemukan
Stegodon Trigonocephalus florensis dan ditemukan Stegodon Subanensis.

Tentang keadaan tumbuh-tumbuhan yang hidup pada kala Plestosen,


antara lain Palvenesis wallichii dari family Stercualiaccae dan pohon jeruk,
pohon salam (Altyngia Exessa) dan pohon rasamala. (Liquidambar excels).
Penemuan dimana ditemukan di Trinil dan Madiun. Tumbuh-tumbuhan ini
sama dengan manusia tertua di Indonesia. Jenis tumbuhan tersebut
memberikan petunjuk tentang iklim waktu itu dan tumbuh di atas tanah yang
tingginya 600-1200 meter.

5
C. Manusia Purba

Penelitian ilmiah tentang fosil manusia purba di Indonesia, baru dimulai


pada akhir abad ke- 19, khususnya penelitian paleoantropologi.penelitian itu
dapat dibagi atas 3 tahapan,yakni (a) 1889-1909,(b) 1931-1941,(c) 1952-
sekarang. Penelitian tahap pertama,ditandai dengan penemuan tengkorak
manusia di wajak, tulungagung,Kediri 1889. Penemuan ini menyebabkan
Eugene Dubois, seorang dokter tentara belanda,memindahkan kegiatannya
dari Sumatra barat ke pulau Jawa. Penemuan pertama dubois berupa fosil atap
tengkorak,pithecanthropus erectus di trinil ( ngawi ) pada 1891 ( sekarang
tersipan di leiden,belanda ).

Penelitian tahap ke dua,dilakukan oleh Ter Haar,Oppenort dan Von


Koeningstwart pada 1931- 1933 di ngandong,blora,berupa tengkorak dan
tulang kering pithecanthropus soloensis. Penelitian selanjutnya oleh Von
Koeningstwart pada 1936-1941 di sangiran ( Surakarta ) berupa fosil rahang,
gigi dan tengkorak,dan disebut Megantropus Palaeojavanicus.

Penelitian tahap ke-3 mulai 1952 di sangiran,Surakarta,berupa bagian


tubuh Pithecantropus yang belum ditemukan sebelumnya, seperti tulang –
tulang muka, dasar tengkorak dan tulang pinggul. Dalam tahap ini di temukan
fosil tengkorak di tempat yang baru, yaitu di sambung macam,sraen.
Penelitian tahap ke -3 ini dilaksanakan oleh orang – orang Indonesia
sendiri,terutama oleh para doctor dan geolok,dipimpin oleh prof.Dr.I.Jacob
yang memulai penelitiannya di sangiran dan sepanjang bengawan solo.

Jenis – jenis manusia purba yang ditemukan di Indonesia adalah :

1. Megantropus
Megantropus Paleojavanicus adalah fosil manusia yang paling
primitive yang pernah ditemukan di Indonesia, oleh Von Koeningswald,
berupa rahang bawah dan atas serta gigi lepas pada 1936-1941 di sangiran,
Surakarta. Megantropus di perkirakan hidup pada dua juta sampai satu juta

6
tahun yang lalu. Badannya sangat tegap, gerahamnya besar, dagu tidak
ada. Mereka hidup dengan mengumpulkan makanan terutama tumbuh –
tumbuhan.
Megantropus belum dapat ditemukan kedudukannya yang pasti dalam
evolusi manusia dan hubunganya dengan Pithecantropus. Ada juga yang
menggolongkan sebagai spesies Homo Bilis, Homo Paleojavanicus, Homo
Erectus atau Homo Sapiens Erectus, dan ahli menganggapnya
Australopthecus.

2. Pithecanthropus
Fosil Pithecanthropus paling banyak ditemukan pada kala
plastosen di Indonesia ( domain ), hidup pada plastosen awal dan plastosen
tengah, dan mungkin juga plastosen akhir. Fosilnya ditemukan di Perning,
Kedungburs, Trinil, Sangiran, Sambung Macam, dan Ngandong.
Ciri-ciri tubuhnya: tinggi 165-180 cm, badan tegap ( tidak setegap
Megantropus ) geraham besar,rahang kuat,tonjolan kening sangat
nyata,atap tengkorak tebal,dagu tidak ada,hidup lebar,isi tengkorak di atas
tulang belakang belum menyamai keadaan pada manusia.
Jenis – jenis Pithecanthropus yang ditemukan di Indonesia, antara
lain : Pithecanthropus Mojokerto atau Robustus, Pithecanthropus Erectus
dan Pithecanthropus soloensis. Mojokertensis ditemukan di Perning
Mojokerto 1936, di Sangiran ( Surakarta ). Pithecanthropus Erectus
ditemukan di Trinil ( Ngawi ) serta di sangiran dan Pithecanthropus
Soloensis ditemukan di Sangiran dan Sambung Macan – Sragen, dan
ngandong ( blora ). Pithecanthropus Mojokertensis diperkirakan hidup
½ – ¼ juta tahun yang lalu, bersamaan dengan Megantropus, sedangkan
Pithecanthropus Soloensis memperlihatkan persamaan dengan
Pithecanthropus Erectus dan Pithecanthropus Mojokertensis, tetapi Chou –
Kou – Tien, Dekat beijin. Sebagian ahli menganggap Pithecanthropus
Soloensis termasuk Homo Neanderthalensis, bahkan Homo Sapiens.

7
3. Homo
Fosil manusia jenis homo yang berasal dari kala Plastosen si
Indonesia adalah Homo Wajakensis, ditemukan di dekat Campurdarat,
Tulungagung ( Jawa Timur ) oleh Van Rietchoten tahun 1889. Homo
wajakensis ini mempunyai ciri – ciri Mongoloid dan Australomelanesid.
Mungkin dari ras wajak inilah berasal Subras Melayu Indonesia kemudian
berevolusi ras Australomelanesid.
Ras Wajak hidup antara 40.000 – 250.000 tahun yang lalu, sejenis
dengan manusia niah di serawag ( Malasyia ). Homo Wajakensis adalah
Homo Sapiens yang menurunkan Ras Wajak, yang hidup sekitar 40.000
tahun yang lalu, namun belum sama dengan manusia sekarang. Ras Wajak
tidak dapat dipastikan berevolusi langsung dari Pithecantropus, karna ada
jarak 250.000 tahun. Mungkin saat itulah Pithecantropus setengah
berevolusi menjadi Homo.

8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kala Plastosen, yang berlangsung selama beberapa juta tahun,
merupakan masa yang terpanjang yang dilalui manusia dalam sejarah
kehidupannya. Keadaan alam yang tidak stabil serta silih berganti dalam
bentuk fisik, Iklim dan sebagainya telah dihadapi oleh manusia yang terus
mengalami perkembangan bentuk lahiriya dan perkembangan akal
budinya. Penghidupan terpusat pada mempertahankan diri di tengah –
tengah alam yang serba penuh tantangan, dengan kemampuannya yang
masih serba terbatas. Perburuan dan pengumpulan makanan menjadi
kegiatan poko sehari – hari dan peralatan dari abut, kayu,dan tulang di
pakai untuk keperluan kegiatan tersebut. Di Indonesia, cara hidup berburu
dan meramu makanan secara sederhana di alami oleh manusia jenis
Pithecantropus ( Homo Erectus ) dan manusia Wajak ( Homo Sapiens )
selama kala Plasteson ini.
Tingkat penghidupan di kala Plastosen, yang mula – mula bersifat
sangat sederhana itu berangsur – angsur mengalami kemajuan sesuai
dengan pengalaman – pengalaman yang di peroleh manusia dari masa ke
masa. Kemajuan- kemajuan dalam masa kehidupan manusia yang panjang
itu tanpak sangat lambat dan memperlihatkan juga ketergantungannya
kepada alam lingkungannya.

B. Saran
Diharapkan agar Mahasiswa dapat memahami maksud dari
makalah ini dan bisa menambah pengetahuan dan wawasan tentang
kehidupan manusia purba pada zaman dahulu.

9
DAFTAR PUSTAKA

Hermianto. 2015. Sejarah Indonesia Masa Praaksara. Yogyakarta: Penerbit


Ombak.
Rahim Rauf Abd. Dan M.Saleh Madjid. 2012. Sejarah Indonesia Lama 1
(Zaman Purba). Makassar: Penerbit Rayhan Intermedia.
Djoened Poespoegoro,Marwati,1990, sejarah nasional Indonesia I, Balai
Pustaka,jakarta

10

Anda mungkin juga menyukai