Anda di halaman 1dari 36

Referat

ALERGI MAKANAN

Oleh:
Imanuel Soni Tanudjaya, S. Ked
04054822022083

Pembimbing:
Dr. Nova Kurniati, Sp.PD, KAI

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Tuhan YME karena atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul Alergi
Makanan.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Dr. Nova Kurniati, Sp.PD, KAI selaku pembimbing yang telah
membantu dalam penyelesaian referat ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada teman-teman, dan semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan laporan kasus ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam
penyusunan referat ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh
karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan.
Demikianlah penulisan referat ini, semoga bermanfaat, amin.

Palembang, September 2020

Penulis

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Referat
Alergi Makanan

Oleh:
Imanuel Soni Tanudjaya, S.Ked

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Junior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Univesitas Sriwijaya RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 18
Agustus – 21 September 2020.

Palembang, September 2020

Dr. Nova Kurniati, Sp.PD, KAI

iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 2
2.1. Definisi ................................................................................................... 2
2.2. Epidemiologi ........................................................................................... 2
2.3. Etiologi .................................................................................................. 4
2.4. Patogenesis ......... .................................................................................... 8
2.5. Patofisiologi ........................................................................................... 13
2.6. Klasifikasi ............................................................................................... 15
2.7. Manifestasi Klinis .................................................................................. 17
2.8. Penegakan Diagnosis ............................................................................. 20
2.9. Tatalaksana ............................................................................................. 22
2.10. Prognosis ................................................................................................ 25
2.11. Kompetensi ........................................................................................... 26
BAB III KESIMPULAN.......................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 28

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Alergi makanan didefinisikan sebagai suatu efek kesehatan yang merugikan


yang timbul akibat adanya respon imun spesifik yang terjadi secara reproduktif
saat terpapar oleh makanan tertentu.1 Reaksi alergi makanan disebabkan oleh
berbagai protein dari makanan yang spesifik. Penyebab tersering alergi makanan
pada orang dewasa adalah kacang-kacangan, ikan, dan kerang. Sedangkan
penyebab tersering alergi makanan pada anak adalah susu, telur, kacang-
kacangan, ikan, dan gandum.2
Prevalensi alergi makanan ditemukan meningkat secara signifikan dalam
dua dekade terakhir. Diperkirakan lebih dari 220 juta orang di seluruh dunia
menderita alergi makanan.3 Alergi makanan diperkirakan ditemukan pada 2-5%
orang dewasa, dibandingkan dengan 6-8% pada anak-anak. Sekitar 15% pasien
dengan diagnosis alergi makanan pada awal kehidupan akan berkembang menjadi
masalah pada usia dewasa. Pada orang dewasa, reaksi pertama memuncak pada
awal usia 30 tahun.4 Alergi makanan dibagi atas alergi makanan yang dimediasi
oleh IgE, alergi makanan campuran, dan alergi makanan yang tidak dimediasi
oleh IgE.5 Manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada pasien dengan alergi
makanan dapat berupa reaksi hipersensitifitas lokal ataupun sistemik yang cukup
bervariasi pada setiap individu. Gejala yang timbul juga dapat berupa gejala
ringan hingga gejala berat yang mengancam jiwa. 2
Telaah ilmiah ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai alergi
makanan dan dapat menjadi salah satu sumber bacaan tentang Alergi makanan.
Dengan demikian, penegakan diagnosis alergi makanan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan tepat.
Pada akhirnya, diagnosis yang adekuat diharapkan dapat menghasilkan
tatalaksana yang tepat, terutama pada manifestasi akut yang timbul, serta
memberikan informasi mengenai kemungkinan makanan yang menimbulkan
gejala pada pasien sehingga timbulnya manifestasi serupa pada pasien dapat
dicegah.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Alergi makanan didefinisikan sebagai suatu efek kesehatan yang
merugikan yang timbul akibat adanya respon imun spesifik yang terjadi
secara reproduktif saat terpapar oleh makanan tertentu. Definisi ini
mencakup berbagai gangguan yang dimediasi oleh IgE yang biasanya
memiliki onset relatif cepat setelah terpapar makanan yang menimbulkan
respon dan dapat bermanifestasi berupa urtikaria; gejala gastrointestinal
seperti mual, muntah, dan nyeri perut; dan kesulitan bernapas karena
bronkokonstriksi atau edema laring, bahkan dapat berupa reaksi anafilaksis
sistemik dan kolaps kardiovaskular. Hal ini juga mencakup kondisi yang
tidak dimediasi oleh IgE yang lebih kronis seperti penyakit celiac,
enterokolitis akibat protein makanan, dan esofagitis eosinofilik dengan
manifestasi spesifik yang berkaitan dengan jaringan yang terkena.1
Tidak semua reaksi makanan yang tak diinginkan dapat disebut
sebagai alergi makanan. Reaksi makanan yang tidak diinginkan dibagi
menjadi reaksi toksik dan reaksi non-toksik. Reaksi toksik ditimbulkan
iritan tertentu atau racun dalam makanan, misalnya jamur, susu atau
daging terkontaminasi, atau sisa pestisida dalam makanan. Reaksi non-
toksik dapat berupa reaksi imunologis dan reaksi non-imunologis
(intoleransi makanan). Intoleransi makanan dapat diakibatkan zat yang
terdapat pada makanan tersebut (seperti histamin yang terdapat pada ikan
yang diawetkan), farmakologi makanan (seperti tiramin pada keju), atau
akibat kelainan pada orang tersebut (seperti defisiensi laktosa), atau
idiosinkrasi. Sedangkan alergi makanan adalah respons abnormal terhadap
makanan yang diperantarai reaksi imunologis.2

2.2. Epidemiologi
Alergi makanan sangat umum ditemukan di seluruh dunia dan

2
menjadi salah satu masalah kesehatan utama pada masyarakat. Meskipun
data epidemiologi yang tepat masih kurang, tampak jelas bahwa prevalensi
alergi makanan meningkat secara signifikan dalam dua dekade terakhir.
Diperkirakan lebih dari 220 juta orang di seluruh dunia menderita alergi
makanan. Alergi makanan lebih banyak ditemukan pada populasi anak-
anak tetapi telah terjadi peningkatan jumlah kasus pada orang yang lebih
tua yang mengalami gejala alergi makanan.3 Alergi makanan diperkirakan
ditemukan pada 2-5% orang dewasa, dibandingkan dengan 6-8% pada
anak-anak. Penelitian memperkirakan sekitar 15% pasien dengan
diagnosis alergi makanan pada awal kehidupan akan berkembang menjadi
masalah pada usia dewasa. Penelitian yang sama menemukan bahwa usia
pada reaksi pertama memuncak pada awal usia 30 tahun, meskipun
terdapat kisaran yang luas.4
Sudah lama alergi makanan dianggap sebagai penyakit yang hampir
eksklusif pada pediatrik karena pada sebagian besar kasus penyakit ini
dimulai pada masa kanak-kanak dan cenderung menghilang seiring dengan
pertumbuhan.3 Sebagian besar alergi makanan pada masa anak-anak,
kemudian menghilang setelah usia 3 tahun. Alergi makanan yang baru
muncul pada usia dewasa jarang terjadi.2 Namun, peningkatan jumlah
kasus saat ini pada populasi orang dewasa dan lanjut usia, terutama di
negara-negara barat, serta lingkungan dan perubahan gaya hidup, telah
sangat mempengaruhi epidemiologi alergi makanan dengan peningkatan
yang terus meningkat bahkan di usia lanjut.3
Meskipun makanan apa pun dapat menyebabkan alergi yang
dimediasi oleh Ig E, beberapa makanan bertanggungjawab atas sebagian
besar reaksi, seperti ikan/makanan laut dan kacang tanah/kacang pohon.
Kedua kelompok makanan ini sama-sama diperkirakan berperan dalam
terjadinya alergi makanan hingga mencapai angka 2% dari populasi di
Amerika Serikat. Makanan lain yang menyebabkan alergi pada orang
dewasa bervariasi di seluruh dunia, kemungkinan besar mencerminkan
keunggulan makanan itu dalam budaya diet tertentu.4

3
2.3. Etiologi
Hampir setiap jenis makanan memiliki potensi untuk menimbulkan
reaksi alergi. Sifat fisikokimia yang berperan dalam alergenisitas masih
belum banyak diketahui. Alergen dalam makanan terutama berupa protein
yang terdapat di dalamnya. Beberapa makanan seperti susu sapi, telur, dan
kacang mengandung beberapa protein alergen sekaligus. Namun demikian,
tidak semua protein dalam makanan tersebut mampu menginduksi
produksi Ig E.2
Penyebab tersering alergi makanan pada orang dewasa adalah
kacang-kacangan, ikan, dan kerang. Sedangkan penyebab tersering alergi
makanan pada anak adalah susu, telur, kacang-kacangan, ikan, dan
gandum. Sebagian besar alergi makanan akan menghilang setelah pasien
menghindari makanan tersebut dan kemudian melakukan cara eliminasi
makanan, kecuali alergi terhadap kacang-kacangan, ikan, dan kerang
cenderung menetap atau menghilang setelah jangka waktu yang sangat
lama.2

Susu Sapi
Tidak hanya susu sapi yang ditemukan dalam makanan bayi. Susu
sapi sedikitnya merupakan 20% komponen yang dapat menimbulkan
produksi antibodi. Fraksi protein susu utama adalah kasein (76%) dan
whey. Whey mengandung beta-laktoglobulin, alfa-laktalbumin,
imunoglobulin sapi, dan albumin serum sapi. Alergi dilaporkan dapat
terjadi terhadap semua komponen tersebut. Ditemukan reaksi silang antara
susu sapi dengan susu domba, sehingga tidak dapat digunakan sebagai
pengganti pada anak dengan alergi susu sapi. Manifestasi alergi susu sapi
pada orang dewasa lebih berupa gangguan saluran napas dan kulit, namun
menetap lebih lama daripada alergi susu sapi pada anak.2

4
Telur
Telur ayam sering merupakan sebab alergi makanan pada anak,
Putih telur lebih alergenik dibanding dengan kuning telur dan reaksi
terhadap kuning telur dapat disebabkan oleh karena kontaminasi protein.
Alergen utama putih telur adalah ovalbumin. Hanya sedikit reaksi silang
dengan daging ayam sehinga pasien alergi telur terbanyak dapat
mengkonsumsi daging ayam. Pada orang dewasa alergi telur unggas
seringkali didahului dengan alergi terhadap bulu unggasnya. Beberapa
pekerja pabrik pengolahan telur yang terpajan protein telur melalui
inhalasi juga mengalami alergi ketika memakan telur yang disebut "egg-
egg syndrome".2

Daging
Walaupun daging merupakan sumber protein utama, alergi terhadap
protein daging sapi hampir tidak pemah dilaporkan. Reaksi alergi akibat
daging yang pemah dilaporkan antara lain alergi terhadap daging ayam,
kalkun, dan babi.2

Kacang-Kacangan
Kacang-kacangan, terutama kacang tanah merupakan sebab utama
alergi makanan. Berbagai jenis kacang memiliki beberapa antigen yang
sama, tetapi tidak menunjukkan reaksi silang yang relevan. Pasien dengan
alergi kacang tanah dapat makan kacang jenis lain.2

Kacang Tanah
Kacang mungkin merupakan makanan alergenik paling berbahaya.
Reaksi dapat berupa anafilaksis. Tiga jenis protein telah diidentifikasi
sebagai alergen utama; Ara h l, Ara h2, dan Ara h3. Minyak kacang tanah
yang dimurnikan adalah aman untuk orang yang alergi kacang tanah.2

5
Kedelai
Kedelai sering menimbulkan reaksi alergi. Kedelai banyak
digunakan sebagai sumber protein yang murah. Telah diidentifrkasi jenis
alergen, dan tidak ada yang predominan. Minyak kedelai yang dimurnikan
meskipun aman, tetap harus diwaspadai.2

Tree Nuts
Tree nuts merupakem golongan allergen makanan utama pada orang
dewasa. Seperti halnya dengan kacang tanah, almond, kacang Brazil,
kacang mede, kemiri, kenari, filbert, pine nuts, dan pistachio telah
dilaporkan dapat menimbulkan anafilaksis.2

Biji-Bijian
Beberapa biji-bijian seperti biji bunga matahari, opium, biji kapas,
dan wijen sudah dilaporkan sebagai penyebab alergi makanan, terutama
anafilaksis.2

Ikan
Ikan dapat menimbulkan sejumlah reaksi. Alergen utama dalam
codfish adalah Gad cl telah diisolasi dari fraksi miogen. Spesies ikan biasa
memiliki alergen yang analog dengan Gad cl yang juga menunjukkan
reaksi silang dengan Gad 1c codfish. Antigen rentan terhadap manipulasi
dan penyimpanan, tetapi tidak untuk ikan dalam kaleng. Antigen tersebut
mudah disebarkan ke udara dan dapat memicu reaksi alergi saluran napas
akibat bau ikan yang dimasak. Alergi ikan juga dapat disebabkan kontak
langsung dengan kulit berupa dermatitis kontak. Apakah seseorang yang
alergi terhadap satu jenis ikan juga harus pantang jenis ikan lainnya, masih
merupakan kontroversi.2

Crustacea dan Molluscum


Golongan kerang-kerangan merupakan alergen utama yang

6
mengenai sekitar 250.000 orang dewasa di Amerika. Dalam golongan
Crustacea termasuk lobster, kepiting, udang, dan udang karang. Dalam
golongan kerang-kerangan termasuk remis, tiram, keong/siput, gurita,
cumi-cumi. Udang mengandung beberapa alergen. Antigen II dianggap
sebagai alergen utama. Otot udang mengandung glikoprotein otot yang
mengandung Pen a 1 (tropomiosin). Tropomiosin juga dapat menyebabkan
reaksi silang antara crustacea, molluscum, dan beberapa artropoda.2

Sayuran
Alergi terhadap sayuran yang sering dilaporkan pada usia dewasa
adalah terhadap seledri dan wortel. Alergi terhadap kedua sayuran ini
dapat bereaksi silang dengan polen. Sedangkan alergi terhadap jenis
sayuran lain sangat jarang dilaporkan, demikian juga dengan bawang.
Patatin, sejenis alergen yang ditemukan pada tomat dan kentang juga
dilaporkan menyebabkan berbagai reaksi alergi, termasuk reaksi silang
dengan alergen lateks.2

Buah-Buahan
Apel merupakan penyebab alergi buah-buahan yang paling sering
terjadi dengan manifestasi utama berupa sindrom alergi oral, diikuti reaksi
anafilaksis dan edema laring, lalu manifestasi saluran napas dan cerna
lainnya. Sedangkan alergi peach 86% manifestasinya berupa sindrom
alergi oral, diikuti dengan urtikaria kontak, lalu reaksi sistemik. Sebagian
besar pasien alergi peach juga mengalami alergi terhadap polen. Alergi
melon dilaporkan menunjukkan reaksi silang dengan semangka, pisang,
kiwi, dan alpukat.2

Sereal
Reaksi alergi terhadap sereal sering ditemukan terutama pada anak.
Fraksi globulin dan fraksi glutenin diduga merupakan alergen utama yang
menimbulkan reaksi Ig E, sedang gliadin merupakan sebab penyakit

7
celiac. Ada reaksi silang antara gandum, rye dan barley. Tes kulit positif
sering ditemukan pada anak, namun arti klinisnya harus diintrepretasi
dalam hubungan dengan sereal yang dikonsumsi. Berbagai variasi jenis
padi dan sereal lain dengan sifat alergen yang kurang telah dikembangkan
dengan rekayasa genetik. Pada orang dewasa terutama yang bekerja di
tempat pembuatan roti ada risiko terjadinya sensitisasi yang menimbulkan
rinitis dan asma akibat inhalasi debu tepung. Namun pasien tersebut dapat
mengkonsumsi produk gandum.2

Protein Bukan Makanan


Polen dilaporkan dapat bereaksi silang dengan makanan. Reaksi
tersebut terjadi dalam dua arah; pasien alergi terhadap hazelnut bereaksi
dengan polen birch dan pasien alergi terhadap polen birch menimbulkan
reaksi bila makan hazelnut. Reaksi silang terjadi antara polen birch dengan
apel, kentang mentah, wortel, seledri, dan hazelnut; antara polen mugwort
(semak) dengan sledri, apel, kacang tanah, dan kiwi; antara ragweed
dengan melon; antara lateks dan pisang, alpukat, kiwi, chestnut, dan
pepaya.2

2.4. Patogenesis
Antigen yang masuk secara oral, termasuk komponen makanan,
biasanya menyebabkan suatu keadaan kekebalan antigen spesifik yang
tidak responsif yang dikenal sebagai toleransi oral. Secara garis besar,
alergi makanan terjadi saat toleransi oral untuk satu atau lebih antigen
makanan gagal berkembang. Jadi, untuk mengerti patogenesis alergi
makanan, penting untuk mengetahui mekanisme yang terlibat dalam
toleransi oral.1

Toleransi Oral
Dalam kondisi basal, bahan antigenik di saluran gastrointestinal
secara konstan diambil sampelnya oleh sel fagositik yang terletak di

8
lamina propria. Sel-sel ini termasuk sel dendritik CD103+ (DC) dan
makrofag CX3CR1+ yang terkait erat dengan epitel usus. Antigen dapat
mencapai sel-sel ini melalui beberapa rute, yaitu secara transitosis
melintasi sel epitel khusus yang dikenal sebagai microfold atau sel M,
transelular atau transpor paraseluler melintasi enterosit, bergerak melalui
jalur khusus yang terkait dengan sel goblet (Goblet cell-Associated
Passages/GAPs), dan diikuti dengan penangkapan oleh sel dendritik dan
proses sitoplasma makrofag yang meluas antar sel epitel ke dalam lumen.
Protein antigen yang diambil oleh sel dendritik dan makrofag diproses
menjadi peptida pendek yang dipresentasikan pada permukaan sel Major
Histocompatibility Complex (MHC), membuatnya tersedia untuk dikenali
oleh sel limfosit T. Beberapa antigen nonprotein dapat diproses dan
disajikan serupa. Sel dendritik yang telah memperoleh antigen dari usus
bermigrasi melalui pembuluh limfatik lokal ke kelenjar getah bening
mesenterika (MLN). Makrofag umumnya tidak bermigrasi dari lamina
propria, sehingga antigen yang difagositosis oleh sel-sel ini mungkin harus
ditransfer ke sel dendritik melalui sambungan celah (gap junction)
sebelum dapat dibawa ke kelenjar getah bening lokal.1
Sel T di MLN biasanya mengenali kompleks peptida-MHC yang
diturunkan dari antigen makanan sehubungan dengan tidak adanya sinyal
ko-stimulasi yang diperlukan untuk menstimulasi sel T menjadi aktif.
Sehingga, alih-alih diaktifkan, sel T antigen spesifik makanan mati karena
apoptosis atau menjadi tidak responsif terhadap stimulasi selanjutnya,
fenomena yang dikenal sebagai anergi. Hasil potensial ketiga adalah
diferensiasi sel T sehingga menjadi sel T yang memperoleh kemampuan
untuk menekan respons imun dalam mekanisme antigen yang spesifik.
Beberapa jenis sel T supresan telah dijelaskan, masing-masing
menggunakan sedikit mekanisme yang berbeda untuk menghambat fungsi
sel lain. Yang terbaik dipelajari dari sel jenis ini adalah sel T regulator
(Treg), yang dicirikan oleh ekspresi faktor transkripsi Foxp3 dan
mekanisme penekan yang melibatkan faktor yang disekresikan (misalnya,

9
sitokin IL-10) dan molekul permukaan sel secara bersama-sama.
Pentingnya Treg dalam toleransi terhadap antigen makanan disorot dengan
pengamatan yang dimiliki individu dengan mutasi pada gen FOXP3
memiliki bentuk alergi makanan yang parah. Jenis lain dari sel T supresan
meliputi sel Th3, yang menghasilkan TGF-β, dan sel Tr1, yang
mengekspresikan keduanya, TGF-β dan IL-10. Apoptosis sel T, anergi,
dan adanya fenotipe penekan atau regulator akan berkontribusi untuk
pengembangan toleransi terhadap antigen makanan, dengan mekanisme
spesifik yang terlibat dipengaruhi oleh jenis dan dosis antigen. Induksi
mekanisme tolerogenik ini mungkin bergantung pada karakteristik spesifik
dari sel dendritik yang mempresentasikan antigen.1

Gambar 1. Proses Induksi Toleransi Oral1

Kegagalan Toleransi Oral dan Perkembangan Alergi Makanan


Perkembangan alergi makanan dikaitkan dengan kegagalan
mekanisme toleransi terhadap antigen yang diberikan secara oral. Alih-alih
mendorong keadaan tidak responsif, antigen makanan secara menyimpang
mengaktifkan sel-T efektor tipe-Th2, respon yang mengarah ke produksi

10
antigen spesifik Ig E. Jenis aktivasi Th2 abnormal ini dapat terjadi selama
paparan antigen melalui saluran gastrointestinal, kulit, atau saluran
pernapasan. Selama fase sensitisasi awal ini, antigen spesifik IgE terikat
pada afinitas tinggi dengan reseptor Ig E pada sel mast. Pada paparan
berikutnya terhadap antigen makanan yang mengaktifkan respons ini, IgE
yang terikat pada sel mast dihubungkan silang oleh antigen, yang
mengarah ke aktivasi sel mast dan pelepasan cepat berbagai mediator yang
telah ada dan mediator yang baru disintesis, termasuk histamin,
prostaglandin, triptase, dan sitokin inflamasi. Mediator ini menyebabkan
dilatasi dan peningkatan permeabilitas dari pembuluh darah lokal, dengan
kebocoran cairan terkait ke jaringan sekitarnya, peningkatan sel imun, dan
stimulasi ujung saraf. Mereka juga bisa menginduksi kontraksi otot polos
usus dan bronkial. Tergantung situsnya dan sejauh mana respon ini,
individu yang terpengaruh dapat menunjukkan gejala ringan seperti
urtikaria, sakit perut, muntah, diare, atau lainnya, serta masalah serius
seperti penyempitan saluran napas yang disebabkan oleh bronkokonstriksi
atau edema laring dan kolaps kardiovaskular lengkap (anafilaksis
sistemik).1
Baik faktor genetik maupun lingkungan bisa berkontribusi terhadap
terjadinya alergi makanan. Berkenaan dengan genetika, jenis kelamin dan
ras/etnis (keturunan Asia atau Afrika) diketahui berperan penting,
meskipun mekanisme yang mendasari belum dijelaskan. Faktor genetik
lain yang telah terlibat dalam patogenesis alergi makanan melibatkan
berbagai variasi atau mutasi pada gen yang memengaruhi respon sel T
terhadap antigen makanan. Mutasi pada gen FOXP3 mengganggu
diferensiasi Treg, menyebabkan kegagalan toleransi oral dan akibatnya
berujung pada alergi makanan. Demikian pula, alel MHC tertentu dan
modifikasi epigenetik (Metilasi DNA) dalam gen yang terlibat dalam
respons imun tipe Th1 dan Th2 meningkatkan risiko alergi makanan,
kemungkinan dengan cara mendukung responsivitas sel T yang diinduksi
oleh antigen makanan daripada membuatnya tidak responsif. Faktor risiko

11
genetik lain yang terdefinisi dengan baik untuk alergi makanan diwakili
oleh mutasi hilangnya fungsi pada gen filaggrin. Filaggrin adalah protein
yang terlibat dalam menjaga sifat barrier normal kulit. Individu dengan
mutasi filaggrin cenderung untuk mengalami dermatitis atopik (eksim),
yang dapat meningkatkan risiko alergi makanan. Diyakini bahwa paparan
antigen lingkungan, termasuk antigen makanan, melalui gangguan dan
peradangan pada barrier kulit mengaktifkan limfosit T spesifik antigen
sebagai hasil dari peningkatan regulasi molekul ko-stimulatori pada sel
imun pada kulit. Selain itu, dikarenakan pertemuan dengan antigen terjadi
di keadaan inflamasi yang kaya akan sitokin seperti IL-25, IL-33, dan
limfopoietin stroma timus (TSLP) yang diproduksi oleh sel epitel, serta IL-
5 dan IL-13 yang diproduksi oleh sel limfoid lokal (Innate Lymphoid
Cell/ILC), sel T yang teraktivasi diinduksi untuk berdiferensiasi sepanjang
jalur Th2. Sel Th2 kemudian bermigrasi ke jaringan lain, termasuk
permukaan mukosa dan struktur limfoid terkait pada paru dan saluran
gastrointestinal, di mana mereka dapat berinteraksi dengan sel B yang
spesifik terhadap antigen makanan dan menyebabkan produksi Ig E
terhadap antigen dengan cara mensekresi sitokin seperti IL-4, IL-5, dan IL-
13.1
Faktor nongenetik (lingkungan) juga berperan dalam menentukan
apakah suatu individu akan mengembangkan respon alergi terhadap
antigen makanan. Kelahiran sesar, susu formula, dan tempat tinggal di
daerah perkotaan adalah beberapa contoh pengaruh nongenetik yang
meningkatkan risiko alergi makanan. Kekurangan vitamin D dan asam
lemak tak jenuh ganda omega-3 juga terlibat, meskipun mekanisme pasti
yang terlibat tidak jelas. Waktu pengenalan makanan yang berpotensi
menimbulkan alergi merupaka faktor lain yang berpengaruh. Pengenalan
yang tertunda dalam diet memberikan waktu untuk eksposur ke antigen
makanan di lingkungan melalui rute (misalnya, kulit yang meradang) yang
mengarah ke aktivasi sel T bukannya toleransi. Sel T spesifik terhadap
antigen makanan yang sudah ada sebelumnya kemudian dapat merespon

12
dengan cara alergi pada paparan antigen makanan berikutnya. Jadi,
pengenalan awal antigen melalui saluran pencernaan bisa mencegah
rangkaian kejadian ini, mungkin dengan mempromosikan toleransi oral.1

Gambar 2. Proses Induksi Alergi Makanan1

2.5. Patofisiologi
Alergi makanan pada orang dewasa dapat merupakan reaksi yang
memang sudah terjadi saat kanak-kanak atau reaksi yang memang baru
terjadi pada usia dewasa.2
Reaksi Alergi yang Diperantarai IgE
Secara imunologis, antigen protein utuh masuk ke dalam sirkulasi
dan disebarkan ke seluruh tubuh. Untuk mencegah respons imun terhadap
semua makanan yang dicerna, diperlukan respons yang ditekan secara
selektif yang disebut toleransi atau hiposensitisasi.2
Kegagalan untuk melakukan toleransi oral ini memicu produksi
berlebihan antibodi IgE yang spesifik terhadap epitop yang terdapat pada

13
alergen makanan. Antibodi tersebut berikatan kuat dengan reseptor IgE
pada basofil danselmast, juga berikatan dengan kekuatan lebih rendah pada
makrofag, monosit, limfosit, eosinofil dan trombosit.2
Ketika protein makanan melewati sawar mukosa, terikat dan
bereaksi silang dengan antibodi tersebut, akan memicu IgE yang telah
berikatan dengan sel mast. Kemudian sel mast akan melepaskan berbagai
mediator (histamin, prostaglandin, dan leukotrien) yang akan
menyebabkan vasodilatasi, sekresi mukus, kontraksi otot polos, dan
influks sel inflamasi lain sebagai bagian reaksi hipersensivititas cepat. SeI
mast yang teraktivasi tersebut juga mengeluarkan berbagai sitokin lain
yang dapat menginduksi reaksi tipe lambat. Selama 4-8 jam pertama,
neutrofil dan eosinofil akan dikeluarkan ke tempat reaksi alergi. Neutrofil
dan eosinofil yang teraktivasi akan mengeluarkan berbagai mediator
seperti platelet activating factor, peroksidase, eosinophil major basic
protein dan eosinophil cationic protein. Sedangkan pada 24-48 jam
berikutnya, limfosit dan monosit menginfiltrasi lokasi tersebut dan
memicu reaksi inflamasi kronik.2
Belakangan ini alergi makanan pada orang dewasa seringkali
dihubungkan dengan sensitisasi alergen lain sebelumnya (terutama
inhalan) yang berhubungan dengan jenis alergi lainnya. Manifestasinya
seringkali disebut menggunakan istilah sindrom, seperti sindrom alergi
oral, dan sindrom polen-alergi makanan. Diduga terjadi reaksi silang IgE
antar beberapa alergen makanan dengan alergen lainnya.2

14
Gambar 3. Patofisiologi Alergi2

Reaksi Alergi yang Tidak Diperantarai IgE


Patogenesis reaksi alergi makanan yang tidak diperantarai IgE
belumlah diketahui dengan jelas. Reaksi hipersensitivitas tipe II (reaksi
sitotoksik), tipe III (reaksi kompleks imun), dan tipe IV (reaksi
hipersensitivitas diperantarai sel T) pernah dilaporkan terjadi pada pasien
yang mengalami alergi makanan, walaupun belum cukup bukti untnk
membuktikan perannya pada alergi makanan.2

2.6. Klasifikasi
Alergi makanan adalah kelainan atopik, yang dapat diklasifikasikan
menjadi alergi yang dimediasi oleh IgE (IgE-dependent dan IgE-
independent/campuran), dan yang tidak dimediasi IgE.5
A. Alergi Makanan yang Dimediasi IgE
Alergi makanan jenis ini dikaitkan dengan risiko reaksi yang
berat atau fatal. Alergi yang dimediasi IgE terhadap susu sapi, telur,
gandum, dan kedelai cenderung lebih tinggi, respon atopik untuk
kacang tanah, kacang pohon dan kerang biasanya bertahan sampai
dewasa. Alergi makanan terbanyak yang diperantarai IgE bervariasi
menurut wilayah dan dengan kebiasaan makan di wilayah tersebut.5
Pada individu yang peka terhadap alergen makanan, paparan
berikutnya ke alergen makanan memicu degranulasi sel imun efektor

15
yang dimediasi IgE, seperti sel mast dan basofil, mengakibatkan
manifestasi klinis yang cepat. Varian dari alergi makanan yang
dimediasi IgE termasuk sindrom alergi oral (OAS), di mana individu
dengan rinitis alergi menghasilkan molekul IgE yang spesifik untuk
epitop derivat serbuk sari yang memiliki reaksi silang dengan epitop
protein buah atau nabati. Tanda dan gejala OAS termasuk pruritus oral
yang terjadi secara cepat, angioedema mukosa dan/atau nyeri perut.5
Varian lain dari alergi makanan yang dimediasi IgE terjadi pada
individu yang memproduksi antibodi IgE spesifik untuk karbohidrat
daging merah galaktosa-α‑1,3‑galaktosa, bukan spesifik untuk epitop
protein. Penderita alergi makanan jenis ini biasanya sudah
mengonsumsinya daging merah tanpa gangguan selama bertahun-
tahun, telah diduga bahwa sensitivitas diinisiasi melalui gigitan kutu,
melalui paparan antigen yang ditularkan melalui air liur kutu yang
pernah memperoleh makanan dari mamalia. Meskipun reaksi tersebut
dapat menimbulkan gejala berat, tidak seperti alergi yang dimediasi
IgE lainnya, reaksi terhadap makanan dengan gejala ini memiliki onset
yang tertunda selama 4–6 jam atau lebih.5

B. Alergi Makanan Campuran


Alergi makanan jenis ini dicirikan oleh adanya jalur IgE
dependen dan IgE independen. Manifestasi atopik yang timbul dari
faktor-faktor IgE independen berupa dermatitis atopik onset lambat
yang terkait dengan alergi makanan (6-48 jam setelah pajanan) yang
disebabkan oleh aksi sel T helper 2, dan gangguan gastrointestinal
eosinofilik, seperti esofagitis eosinofilik, yang sering dipicu oleh
alergen susu dan disebabkan oleh infiltrasi eosinofilik jaringan.
Penelitian lebih lanjut sedang dilakukan untuk membedakan
kemungkinan peran alergi makanan dalam kondisi ini dan untuk
menilai kontribusi relatif jalur IgE dependen dan independen pada
individu dengan gangguan ini.5

16
C. Alergi Makanan yang Tidak Dimediasi IgE
Alergi makanan yang tidak dimediasi oleh IgE terutama
mempengaruhi saluran gastrointestinal, bukan kulit dan traktus
respirasi. Misalnya, sel T spesifik alergen dianggap memiliki peran
dalam etiologi yang sebagian besar tidak diketahui pada sindrom
enterokolitis yang diinduksi protein makanan (FPIES), proctocolitis
yang diinduksi protein makanan (FPIP), dan enteropati protein makanan
(FPE). FPIES, FPIP, dan FPE terutama melibatkan bayi dan balita yang
alergi terhadap susu sapi, dan biasanya sembuh setelahnya 1 sampai 5
tahun. Prevalensi penyakit ini tidak pasti karena kurangnya tes
diagnostik, dan pengobatan dengan cara menghindari alergen
makanan.5

2.7. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis alergi makanan dapat melibatkan berbagai organ
dan sistem, termasuk kulit, usus dan sistem pernapasan, kardiovaskular,
dan saraf. Selain itu, gejalanya cukup beranekaragam, memunculkan
gambaran penyakit yang kompleks. Menariknya, pada pasien yang
menderita alergi makanan, kulit merupakan salah satu organ target yang
paling umum terkena, dengan manifestasi klinis termasuk pruritus dan
urtikaria, tetapi juga merupakan situs penting dari sensitisasi primer
terhadap alergen makanan, sehingga dermatitis atopik dianggap sebagai
faktor risiko untuk pengembangan alergi makanan. Ekspresi klinis sangat
bervariasi, mulai dari manifestasi hipersensitivitas terhadap makanan yang
ringan dan terlokalisasi, seperti gatal pada mulut, hingga yang serius dan
bersifat sistemik yang seringkali berakibat fatal, seperti syok anafilaktik.3
Lebih lanjut lagi, manifestasi klinis pada pasien dengan alergi
makanan dapat dibedakan berdasarkan jenis alergi makanan yang diderita. 2

17
1. Reaksi Diperantarai IgE
Gambaran klinis reaksi alergi terhadap makanan terjadi melalui
IgE dan menunjukkan manifestasi terbatas pada gastrointestinal, kulit
dan saluran napas. Tanda dan gejalanya disebabkan oleh pelepasan
histamin, leukotrin, prostaglandin dan sitokin. Awitan respons alergi
terjadi dalam 30 menit setelah mengkonsumsi makanan. Ada
hubungan tidak erat antara derajat alergi dan cepatnya awitan. Pasien
yang sangat alergi dapat menimbulkan reaksi dalam menit atau
bahkan detik setelah konsumsi. Ciri kedua reaksi alergi nampaknya
tidak tergantung dosis. Reaksi berat yang terjadi oleh dosis kecil sama
dengan yang ditimbulkan dosis besar. Anafilaksis dapat terjadi hanya
melalui kontak kacang tanah dengan bibir atau setelah makan kacang
tanah dalam jumlah besar. Ciri reaksi alergi lainnya ialah terjadinya
reaksi berat di berbagai tempat dan organ. Respons dapat berupa
urtikaria, ditentukan oleh distribusi random IgE pada sel mast di
seluruh tubuh.2

2. Reaksi Non-IgE
Reaksi hipersensitivitas non-IgE akibat makanan umumnya
bermanifestasi sebagai ganggguan saluran cerna dengan berbagai
variasi, mulai dari mual, muntah, diare, steatorea, nyeri abdomen, dan
berat badan menurun. Pada beberapa kasus dapat ditemukan darah
dalam pemeriksaan fesesnya. Berlawanan dengan reaksi
hipersensitivitas yang diperantarai IgE, beratnya reaksi yang terjadi
bergantung pada jumlah alergen yang dikonsumsi dan awitannya
sangat bervariasi, mulai dari beberapa menit sampai beberapa jam
kemudian.2
Beberapa kasus reaksi hipersensitivitas non-IgE mekanismenya
diatur IgG, misalnya hipersensitivitas terhadap gliadin, protein utama
gandum yang terjadi pada sariawan. Pasien menunjukkan tanda
malabsorbsi dan steatorea akibat reaksi antara IgG terhadap gliadin

18
dan gandum. Reaksi terjadi di permukaan mukosa, meratakan vilus
mikro dan malabsorbsi.2

Organ Terkait Manifestasi yang Timbul


Kulit  Pruritus
 Eritema
 Urtikaria
 Angioedema
Mata  Pruritus
 Produksi air mata berlebih
 Injeksi konjungtiva
 Edema periorbita
Traktus Respirasi Bagian Atas  Pruritus
 Kongesti nasal
 Rhinorhea
 Bersin
 Suara serak
 Edema laring
Traktus Respirasi Bagian Bawah  Batuk
 Mengi
 Dispnea
 Nyeri dada
Gastrointestinal  Pruritus oral
 Angioedema oral
 Rasa gatal pada faring
 Kolik abdomen
 Mual
 Muntah
 Diare

19
Kardiovaskular  Takikardi
 Pusing
 Hipotensi
 Kehilangan kesadaran
Organ Lain  Rasa logam di mulut
 Kontraksi uterus
 Perasaan cemas
Tabel 1. Gejala yang Berhubungan dengan Reaksi Alergi Makanan6

2.8. Penegakan Diagnosis


Riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik dapat memberikan
probabilitas pretest yang baik dari alergi yang dimediasi IgE. Penting bagi
dokter untuk mencatat riwayat diet, makanan yang terlibat di waktu
kejadian alergi, waktu paparan timbulnya gejala, rute paparan, sifat dan
durasi gejala, dan perawatan yang diterima. Faktor tambahan, seperti
penggunaan obat secara bersamaan atau konsumsi alkohol, mungkin
berperan dalam keparahan reaksi. Gejala selama alergi yang dimediasi IgE
reaksi dapat berkisar dari ringan hingga parah, melibatkan satu atau
beberapa sistem organ. Riwayat yang konsisten dengan anafilaksis, reaksi
alergi yang langsung dan parah melibatkan banyak sistem organ, setelah
menelan makanan sangat sugestif dari alergi makanan yang dimediasi IgE.
Waktu dan peristiwa selama episode alergi, seperti waktu olahraga pada
anafilaksis yang bergantung pada makanan dan akibat olahraga (FDEIAn),
dan jenis (dimasak vs mentah) dan jumlah dugaan pelanggaran makanan
yang dicerna, adalah bagian penting dari sejarah yang harus diperoleh.
Kondisi komorbiditas seperti asma, rinitis alergi, atau dermatitis atopik
mungkin mengindikasikan peningkatan risiko alergi makanan yang
dimediasi IgE.7
Setelah kecurigaan klinis terhadap alergi makanan timbul
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan
lanjutan untuk menegakkan diagnosis. Dua metode yang paling umum

20
digunakan untuk memastikan alergi makanan adalah Skin Prick Test
(SPT) dan pengukuran IgE spesifik terhadap antigen makanan dalam
serum. Pada pemeriksaan SPT, permukaan kulit ditusuk dengan berbagai
calon alergen makanan. Respon berupa timbulnya urtika dan eritema
dengan ukuran tertentu (>8mm) yang berkembang dalam waktu 15 menit
merupakan indikasi adanya sel mast kulit dengan IgE spesifik yang terikat
terhadap alergen. Deteksi reaktivasi serum IgE dengan ekstrak makanan
yang utuh merupakan indikator yang sensitif terhadap kemungkinan
adanya alergi makanan tetapi memiliki spesifisitas yang relatif rendah.
Pengukuran IgE sirkulasi terhadap antigen protein makanan spesifik
meningkatkan nilai prediktif terhadap tes tersebut, dan pengujian
komersial yang menggunakan pendekatan ini sekarang tersedia untuk lebih
dari 100 alergen berbeda. Metode yang baru dikembangkan untuk
mendiagnosis alergi makanan adalah tes aktivasi basofil (BAT), yang
mengukur degranulasi basofil in vitro sebagai respon terhadap ekstrak
alergen mentah atau antigen yang dimurnikan. BAT memiliki sensitivitas
dan spesifisitas tinggi untuk berbagai alergi makanan tetapi saat ini
digunakan terutama untuk tujuan penelitian.1
Tes lain yang berguna untuk memprediksi risiko reaksi anafilaksis
yang berat, component‐resolved diagnostics (CRD). CRD menunjukkan
sensitisasi alergi pada tingkat molekuler menggunakan rekombinan atau
alergen yang dimurnikan. Hal ini berbeda dari tes standar karena tes ini
mengenali epitop molekuler yang bertanggung jawab, yaitu komponen
molekuler dari alergen makanan yang menjadi sasaran IgE spesifik. CRD
digunakan dalam praktik klinis untuk meningkatkan keakuratan diagnosis,
membedakan sensitisasi alergi primer dari fenomena sensitisasi silang, dan
stratifikasi risiko klinis yang terkait dengan profil sensitisasi spesifik.
Makanan, sama seperti ekstrak alergen, mengandung berbagai komponen
alergen reaktif silang. CRD memungkinkan untuk menentukan profil
individu dari reaktivitas molekul alergi dan berperan dalam penilaian
prognostik.3

21
Oral Food Challenge (OFC) merupakan gold standard untuk
diagnosis alergi makanan. OFC meliputi pemberian secara oral zat yang
diduga alergen secara terkontrol dan terstandarisasi. Tes ini adalah tes
yang kompleks, yang membutuhkan sumber daya tenaga kesehatan
(dokter, perawat, fasilitas rumah sakit) dan keluarga (stres, ketakutan)
yang besar. OFC berguna untuk memastikan atau mengecualikan diagnosis
alergi makanan (baik untuk reaksi yang dimediasi IgE maupun non-IgE),
untuk menilai tolerabilitas makanan pada anak dengan alergi makanan
sebelumnya, atau untuk mengidentifikasi ambang responsivitas. Indikasi
lain untuk pemeriksaan ini adalah menguji makanan tertentu pada pasien
yang tersensitisasi yang tidak pernah menelan makanan tersebut atau untuk
menguji reaksi silang makanan yang tidak pernah dimasukkan dalam menu
pasien.8,9
OFC harus dilakukan bila pasien belum makan selama minimal 4
jam (untuk antisipasi reaksi segera) atau setidaknya 12 jam (dalam kasus
reaksi tidak langsung).8 Pasien pantang makan makanan terduga untuk
sedikitnya 2 minggu, antihistamin dihentikan sesuai waktu paruhnya.
Makanan diberikan dalam bentuk kapsul. Supervisi medis dan fasilitas
gawat darurat termasuk epinefrin, antihistamin, steroid, inhalasi beta 2
agonis, dan peralatan resusitasi kardiopulmoner diperlukan untuk
mencegah terjadinya reaksi berat. Selama diuji, pasien diawasi seringkali
untuk perubahan kulit, dan saluran cerna dan napas. Tes tantangan
dihentikan bila timbul reaksi dan terapi gawat darurat diberikan
seperlunya. Pasien juga diawasi untuk reaksi lambat. Hasil yang negatif
dikonfirmasi jika setelah menelan makanan yang dicurigai dalam jumlah
yang lebih besar, tidak ada reaksi alergi yang terjadi. Oral challenge tidak
dilakukan bila pasien menunjukkan riwayat hipersensitivitas yang jelas
atau reaksi berat.2

2.9. Tatalaksana
Penanganan utama pada alergi makanan adalah menghindari

22
makanan yang relevan dan pengobatan segera untuk manifestasi alergi
yang timbul. Penghindaran makanan secara ketat cenderung sulit, terutama
jika banyak alergen yang terlibat, dan membutuhkan kerjasama dan
kepatuhan pasien, serta orang tua dan pengasuh lainnya. Dalam beberapa
kasus, penghindaran tidak harus mutlak. Anak-anak dengan diet
penghindaran makanan yang ketat harus dievaluasi secara teratur untuk
memastikan bahwa diet tidak mempengaruhi pertumbuhan atau status
gizinya dan mungkin juga mendapat manfaat dari konseling dan layanan
pendukung untuk membantu mereka mengatasinya masalah sosial.1
Gejala alergi ringan seperti urtikaria biasanya sembuh secara spontan
atau bisa diobati dengan antihistamin. Reaksi alergi yang lebih parah
terhadap makanan, seperti bronkokonstriksi, edema laring, dan anafilaksis,
harus segera menggunakan epinefrin injeksi untuk melawan potensi efek
yang mengancam jiwa dari mediator sel mast yang dilepaskan pada
pembuluh darah dan saluran napas. Individu dengan riwayat alergi
makanan harus dilengkapi dengan perangkat injeksi otomatis untuk
administrasi sendiri epinefrin dalam keadaan darurat bersama dengan
petunjuk rinci tentang penggunaannya.1
Selain pencegahan dan pengobatan epinefrin darurat, manifestasi
alergi makanan dapat dimodifikasi dengan menggunakan imunoterapi.
Meskipun saat ini bentuk imunoterapi jarang mengarah pada keadaan
toleransi permanen yang memungkinkan asupan makanan yang terkait
dalam jumlah normal, terapi ini menawarkan kemungkinan mengubah
respon imun ke titik di mana sejumlah kecil komponen makanan yang
relevan dapat dikonsumsi dengan aman. Dengan demikian, terapi ini dapat
memberikan sedikit pelonggaran terhadap penghindaran makanan yang
ketat dan dapat mengurangi konsekuensi yang berpotensi menimbulkan
bahaya apabila tertelan secara tidak sengaja. Latar belakang sebagian besar
bentuk imunoterapi adalah administrasi alergen yang secara bertahap
dilakukan peningkatan dosis dalam kondisi yang dipantau dan diawasi
dengan sangat hati-hati. Dalam bentuk yang paling umum, yaitu

23
imunoterapi oral (Oral Immunotherapy/OIT), peningkatan konsumsi
alergen ini umumnya dimulai dengan dosis 10-25 mg per hari, yang
kemudian secara perlahan meningkat, biasanya sekali seminggu selama 3-
9 bulan, ke level pemeliharaan harian pada dosis 500–4000 mg. Dosis
pemeliharaan ini kemudian dilanjutkan selama berbulan-bulan hingga
bertahun-tahun dan memungkinkan proporsi yang signifikan pada individu
yang dirawat (50-90% dalam berbagai penelitian) untuk menjadi cukup
peka sehingga mereka dapat mengonsumsi 5–6 g alergen (setara dengan
sekitar 20 kacang) pada OFC tanpa masalah klinis. Proporsi individu yang
lebih kecil mencapai fase tidak responsif terhadap alergen, yaitu
berkurangnya reaktivitas klinis dalam OFC setelah terapi dihentikan. 1
Efikasi OIT tergantung pada hasil akhir yang ditentukan, termasuk
kemampuan untuk mentolerir pengobatan, induksi keadaan desensitisasi
sementara, dan/atau pengembangan keadaan toleransi klinis yang lebih
tahan lama, yang sering disebut sebagai sikap tidak responsif yang
berkelanjutan (Sustained Unresponsiveness/SU).10 Beberapa uji coba OIT
telah menambahkan penggunaan antibodi monoklonal anti-IgE
(omalizumab) sebagai cara untuk mengurangi efek samping dan
memungkinkan eskalasi lebih cepat dari asupan alergen. Pendekatan ini
berhasil mencapai desensitisasi dalam beberapa minggu daripada beberapa
bulan yang dibutuhkan bagi OIT konvensional.1 Omalizumab merupakan
antibodi anti-IgE yang menurunkan konsentrasi IgE sirkulasi. Antibodi ini
tidak terikat pada FcεRI yang terikat dengan IgE pada sel mast atau basofil
dan tidak dapat menyebabkan ikatan silang IgE atau memicu reaksi
anafilaksis.11 Bentuk lain dari imunoterapi telah menggunakan cara
pemberian alergen yang berbeda. Dalam imunoterapi sublingual
(Sublingual Immunotherapy/SLIT), alergen diletakkan di bawah lidah
selama 2-3 menit sebelum ditelan, sementara imunoterapi epikutan
(Epicutaneous Immunotherapy/EPIT) memanfaatkan suatu plester (patch)
yang mengandung alergen yang ditempelkan pada kulit. SLIT dan EPIT
membutuhkan alergen dengan dosis yang relatif rendah dan memiliki

24
insiden terjadinya efek samping yang lebih rendah, tetapi juga tingkat
keberhasilan yang lebih rendah, daripada OIT. Mekanisme tepat yang
terlibat dalam efek menguntungkan dari OIT, SLIT, dan EPIT tidak
dikerahui dengan jelas. Berbagai penelitian tentang terapi ini menunjukkan
penurunan kadar IgE alergen spesifik, peningkatan IgG4 alergen spesifik
dan regulasi T sel, atau aktivasi basofil yang dilemahkan. Meskipun
demikian, terapi imunoterapi memiliki keterbatasan dalam hal tingkat
keberhasilannya, efek samping, penerimaan, dan biaya.1
Terapi Keterangan
Non Medikamentosa Menghindari makanan pemicu
Chlorpheniramine 4 mg 4-6
Antihistamin-H1
kali/hari
Dexametasone 0,5 mg 2-4
Kortikosteroid
kali/hari
Terapi Simptomatik
0,01 mg/kgBB, maksimal
Epinefrin Injeksi
0,5 mg
Short Acting
Salbutamol 2,5-5 mg/3 mL
Beta-2-Agonis
OIT (+Omalizumab)
Imunoterapi SLIT
EPIT
Tabel 2. Tatalaksana pada Reaksi Alergi Makanan1

2.10. Prognosis
Alergi terhadap susu, telur, kedelai, dan gandum akan teratasi selama
masa kanak-kanak dalam banyak kasus, meskipun usia resolusi bervariasi.
Sebaliknya, alergi kacang tanah, tree nut, ikan, dan kerang cenderung
menetap. Tingkat resolusi bervariasi tergantung pada adanya penyakit
atopik lainnya, kadar IgE serum atau ukuran urtika pada tes kulit, dan
karakteristik awal reaksi.12 Hampir 20% anak-anak akan mengalami
resolusi alergi makanan pada usia sekolah. Alergi makanan yang dimediasi

25
non-IgE sembuh dalam 1 tahun pertama kehidupan. Sayangnya, kasus
reaksi anafilaksis yang fatal dan bersifat sporadis masih terus terjadi.13
Prognosis alergi telur dan susu dapat berubah dengan konsumsi
produk makanan yang dipanggang yang mengandung bahan telur atau
susu untuk orang yg dapat mentolerir bentuk olahan ini. Namun, beberapa
pasien mungkin tidak dapat mentolerir secara ekstensif bentuk panas dari
dua makanan dan menimbulkan reaksi anafilaktik. Pasien dengan alergi
telur atau susu dapat dievaluasi untuk potensi toleransi untuk olahan telur
atau susu (dengan uji kulit atau pengukuran IgE serum spesifik terhadap
makanan, dan OFC). Apabila toleran, konsumsi teratur sangat
dianjurkan.12
Evaluasi ulang yang bersifat tahunan melalui riwayat klinis atau
pengukuran kadar IgE spesifik terhadap makanan pada serum, atau
keduanya, sering direkomendasikan untuk semua alergen makanan,
khususnya pada anak kecil. Frekuensi pengujian bergantung pada sejumlah
variabel, termasuk usia, makanan alergenik tertentu dan apakah terdapat
eksposur atau reaksi intervensi dalam bentuk apapun. Frekuensi dapat
berkurang seiring bertambahnya usia, terutama untuk alergen yang jarang
ditemui.12
Meskipun prognosis sering kali baik, alergi makanan merupakan
faktor risiko penyakit atopik lainnya. Penderita alergi makanan dua sampai
empat kali lebih lebih berisiko menderita dermatitis atopik, asma dan
rinitis dibandingkan mereka yang tidak memiliki alergi makanan Oleh
karena itu, sangatlah penting untuk memantau perkembangan penyakit
alergi lainnya.12

2.11. Kompetensi
Alergi makanan: 4
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan
penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.14

26
BAB III
KESIMPULAN

Alergi makanan merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya


reaksi hipersensitivitas terhadap alergen makanan tertentu. Makanan yang memicu
terjadinya reaksi alergi cukup bervariasi pada setiap individu. Gejala akibat reaksi
alergi makanan dapat berupa gejala lokal pada kulit, mata, traktus respiratori,
gastrointestinal, dan kardiovaskular, hingga gejala sistemik, seperti reaksi
anafilaktik.
Penegakan diagnosis pada kasus alergi makanan dapat dilakukan
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada saat terjadi serangan akut.
Diagnosis terhadap alergen spesifik yang memicu terjadinya alergi dapat
dilakukan melalui pemeriksaan penunjang, baik dengan Skin Prick Test,
pengukuran kadar IgE serum spesifik, hingga Oral Food Challenge yang
merupakan pemeriksaan baku emas pada kasus alergi makanan.
Prinsip tatalaksana alergi makanan meliputi pengobatan terhadap gejala
akut yang timbul serta pencegahan terhadap timbulnya reaksi alergi di masa
mendatang. Tatalaksana gejala akut dapat dilakukan dengan pemberian
antihistamin atau epinefrin. Tatalaksana untuk mengurangi reaksi alergi yang
timbul dapat dilakukan dengan cara edukasi pasien untuk menghindari makanan
yang menyebabkan reaksi alergi atau dapat dilakukan pemberian imunoterapi.
Dengan pemberian tatalaksana yang tepat diharapkan dapat meningkatkan
toleransi pasien terhadap alergen makanan tersebut.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Fu L, Cherayil BJ, Shi H, Wang Y, Zhu Y. Food Allergy: From Molecular


Mechanisms to Control Strategies. Singapura: Springer Nature Singapore;
2019. hlm. 1-11.
2. Rengganis I, Yunihastuti E. Alergi Makanan. Dalam: Buku Ajar llmu
Penyakit Dalam Jilid I. Edisi keenam. Jakarta: Interna Publishing; 2015. hlm.
508-512.
3. De Martinis M, Sirufo MM, Suppa M, Ginaldi L. New Perspectives in Food
Allergy. International Journal of Molecular Sciences. 2020;21(4):1474.
doi:10.3390/ijms21041474.
4. Iweala OI, Choudhary SK, Commins SP. Food Allergy. Current
Gastroenterol Reports. 2018;20(5):17. doi:10.1007/s11894-018-0624-y.
5. Yu W, Freeland DMH, Nadeau KC. Food Allergy: Immune Mechanisms,
Diagnosis and Immunotherapy. Nature Review of Immunology.
2016;16(12):751-765. doi:10.1038/nri.2016.111.
6. Sampson HA. Historical Background, Definitions, and Differential Diagnosis.
Chemistry, Immunology, and Allergy. 2015;101:1-7. doi:10.1159/000371644.
7. Chinthrajah RS, Tupa D, Prince BT, et al. Diagnosis of Food Allergy.
Pediatric The Clinic North America. 2015;62(6):1393-1408. doi:10.1016/
j.pcl.2015.07.009.
8. Calvani M, Bianchi A, Reginelli C, Peresso M, Testa A. Oral Food
Challenge. Medicina (Kaunas). 2019;55(10):651. doi:10.3390/medicina55100
651.
9. Grabenhenrich LB, Reich A, Bellach J, et al. A New Framework for The
Documentation and Interpretation of Oral Food Challenges in Population-
Based and Clinical Research. Allergy. 2017;72(3):453-461.
doi:10.1111/all.13049.
10. Wood RA. Oral Immunotherapy for Food Allergy. Journal of Investigational
Allergology and Clinical Immunology. 2017;27(3):151-159. doi:10.18176/
jiaci.0143.

28
11. Sampath V, Sindher SB, Zhang W, Nadeau KC. New Treatment Directions in
Food Allergy. American College of Allergy, Asthma, and Immunology.
2018;120(3):254-262. doi:10.1016/j.anai.2018.01.004
12. Abrams EM, Sicherer SH. Diagnosis and Management of Food Allergy.
Canadian Medical Association Journal. 2016;188(15):1087-1093.
doi:10.1503/cmaj.160124.
13. Lopez CM, Mendez MD. Food Allergies. Dalam: StatPearls. Treasure Island:
StatPearls Publishing; 2020.
14. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Nasional Pendidikan Profesi Dokter
Indonesia. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia; 2019. hlm. 149.

29
CONTOH SOAL ALERGI MAKANAN

1. Seorang perempuan 25 tahun datang ke Puskesmas dengan keluhan muncul


ruam berwarna kemerahan yang gatal di sekitar lengan. Keluhan diketahui
timbul secara mendadak setelah pasien memakan makanan berupa ikan laut
yang diberikan oleh temannya. Pasien mengaku pernah mengalami keluhan
yang sama sekitar satu bulan yang lalu setelah mengkonsumsi seafood. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit ringan, kesadaran
compos mentis, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80 kali/menit, laju
respirasi 18 kali/menit, suhu 36,7oC. Tampak urtika pada ekstremitas atas.
Apakah kemungkinan penyebab keluhan pada pasien ini?
a. Infeksi Bakteri
b. Alergi Makanan
c. Infeksi Jamur
d. Urtikaria
e. Intoleransi Makanan

2. Seorang laki-laki 35 tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat dengan keluhan


kehilangan kesadaran. Beberapa saat sebelumnya pasien diketahui
mengonsumsi roti lapis dengan selai kacang. Sebelum tidak sadarkan diri
pasien sempat merasa sesak napas secara tiba-tiba. Pasien tidak memiliki
riwayat penyakit asma sebelumnya. Pada pemeriksaan fisik pasien tampak
tidak sadar, tekanan darah 80/60 mmHg, nadi 120 kali/menit lemah, reguler,
pernapasan 30 kali/menit, suhu 38oC. Pada tubuh pasien tampak ruam-ruam
berwarna kemerahan. Apa diagnosis yang paling mungkin pada pasien?
a. Syok Kardiogenik
b. Syok Hipovolemik
c. Astma Bronkiale
d. Syok Anafilaktik
e. Miocard Infark

30
3. Laki-laki berusia 35 tahun, datang ke poliklinik Puskesmas dengan keluhan
rasa gatal pada seluruh tubuh. Gejala ini muncul sesaat setelah pasien
memakan makanan yang diberikan ketika bertamu ke rumah saudaranya.
Pasien diketahui memiliki riwayat alergi makanan sebelumnya, namun pasien
tidak ingat mengenai alergi makanan apa yang diderita. Pemeriksaan yang
menjadi gold standard terhadap penegakan diagnosis pada pasien ini adalah
....
a. Oral Food Challenge
b. Skin Prick Test
c. Pengukuran Kadar IgE Serum
d. Basophil Activation Test
e. Component-Resolved Doagnostics

4. Laki-laki 37 tahun datang dengan keluhan gatal seluruh tubuh setelah


mengonsumsi ikan laut. Setelah dilakukan pemeriksaan, dokter
menyimpulkan bahwa keluhan yang dialami oleh pasien disebabkan oleh
reaksi alergi makanan. Apa edukasi yang paling efektif yang dapat diberikan
untuk mencegah berulangnya gejala pada pasien di kemudian hari?
a. Edukasi pasien mengenai pentingnya menjaga hygiene
b.Edukasi pasien untuk memastikan kebersihan makanan sebelum dikonsumsi
c. Edukasi pasien untuk menghindari makanan yang memicu reaksi
alergi
d. Meminta pasien untuk lebih banyak mengonsumsi ikan laut agar tubuh
dapat beradaptasi dengan penyebab alergi tersebut
e. Edukasi pasien mengenai pentingnya memasak makanan hingga matang.

5. Perempuan 30 tahun datang dengan ke Instalasi Gawat Darurat dengan


keluhan sesak napas dan penurunan kesadaran. Berdasarkan pengakuan
keluarga pasien, sebelum keluhan timbul pasien kedapatan mengkonsumsi
makanan ringan yang mengandung kacang tanah. Riwayat keluhan yang sama
pada pasien sebelumnya disangkal. Riwayat asma pada pasien disangkal.

31
Riwayat batuk lama, merokok, dan hipertensi disangkal. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan TD 70/50 mmHg, Nadi 112 kali/menit, RR 40 kali/menit,
suhu 37oC. Apa tatalaksana yang harus diberikan pertama kali pada pasien
ini?
a. Antihistamin H1
b. Short Acting Beta-2-Agonis
c. Kortikosteroid Inhalasi
d. Kortikosteroid Oral
e. Epinefrin Injeksi IM

32

Anda mungkin juga menyukai