Anda di halaman 1dari 3

ARGUMENTASI

Penetapan UU cipta kerja yang disahkan pada tanggal tanggal 5 Oktober 2020 oleh DPR RI di Indonesia
sanggat mengundang kontroversi dari masyarakat Indonesia.Menurut keterangan pers dari Amnesty
Internasional pada Agustus 2020, Pemerintah dan DPR RI harus mengkaji ulang serta merevisi sejumlah
pasal bermasalah dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja. RUU Cipta Kerja berisi pasal-pasal yang dapat
mengancam hak setiap orang untuk mendapatkan kondisi kerja yang adil dan menyenangkan, serta
bertentangan dengan prinsip non-retrogresi dalam hukum internasional. Pasal-pasal tersebut berpotensi
menimbulkan pelanggaran HAM, karena akan memberikan lebih banyak ruang bagi perusahaan dan
korporasi untuk mengeksploitasi tenaga kerja. RUU tersebut dapat merampas hak pekerja atas kondisi
kerja yang adil dan menyenangkan yang dijamin dalam Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR).

Dalam pasal-pasal UU Cipta Kerja yang beredar di masyarakat yang tidak sesuai dengan UU UU Cipta
kerja yang dibuat oleh pemerintah yang beredarnya mengenai pasal yang membuat pekerja untuk
bekerja lebih lama, dengan meningkatkan batas waktu lembur dari dari tiga jam per hari seperti yang
ditetapkan oleh UU Ketenagakerjaan, menjadi empat jam per hari, serta dari 14 jam menjadi 18 jam per
minggu. Tidak hanya itu, RUU ini juga mengatur bahwa untuk sektor tertentu, perusahaan akan
diberikan keleluasaan untuk membuat skema sendiri terkait penghitungan besaran kompensasi lembur.
Selain itu, RUU Cipta Kerja juga dinilai merugikan pekerja karena menghapus beberapa bentuk cuti
berbayar, termasuk cuti haid, cuti pribadi (seperti pernikahan, sunat, pembaptisan, atau kematian
anggota keluarga), cuti melahirkan, dan hari raya keagamaan. Selama ini, jenis-jenis cuti tersebut
merupakan cuti tambahan di luar jatah cuti tahunan 12 hari.

Ada 10 poin yang menjadi tuntutan utama para demonstran, yaitu tentang :

1. Pemutusan hubungan kerja (PHK).

2. Sanksi pidana.

3. Tenaga kerja asing (TKA).

4. Upah minimum kota/kabupaten (UMK).

5. Upah Minimum Sektoral Kota/Kabupaten (UMSK).

6. Pesangon.

7. Waktu kerja.

8. Hak upah atas cuti atau cuti yang hilang.

9. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau karyawan kontrak seumur hidup, "outsourcing" atau
alih daya seumur hidup.
10. Potensi hilangnya jaminan kesehatan dan jaminan pensiun akibat karyawan kontrak atau alih daya
seumur hidup.

Sementara itu,adapun kejanggalan-kejanggalan pada poin-poin yang di demo yaitu yang


pertama terdapat pada poin upah minimum kota atau kabupaten (UMK) yang dimana sebelumnya
beredar di masyarakat bahwa UMK diberikan sepenuhnya ke pada perusahaan tetapi pada UU Cipta
Kerja yang telah disahkan oleh Presiden terdapat pasal mengenai tentang UMK yang di atur dalam pasal
88C UU Ketenagakerjaan yang dimana pada pasal ini sangat jelas bahwa masih adanya kelibatan
pemerintah dalam penetapan UMK pada suatu daerah.Yang Kedua yaitu pada poin Pemutusan
Hubungan Kerja ( PHK) yang dapat dilakukan secara bebas oleh perusahaan ini juga tidak sesuai dengan
UU Cipta Kerja karena dalam UU Cipta Kerja ada pasal yang mengatur tentang PHK yang terdapat pada
pasal 151 tentang UU Ketenagakerjaan yang berisi bahwa perusahaan harus menghindari adanya
pemutusan hubungan kerja dan apabila pemutusan kerja tidak dapat dihindari maka harus melalui
perundingan bipart yang sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial.Yang
Ketiga yaitu terkait pesangon yang beredar di masyarakat bahwa pesangon ditiadakan tetapi pada UU
Cipta Kerja terdapat pada pasal 156 UU Ketenagakerjaan yang dimana dalam pemutusan hubungan
kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang
penggantian hak yang seharusnya diterima.Yang Keempat yaitu terkait cuti yang beredar di masyarakat
bahwa ditiadakaan cuti sebagai hak dari pekerja tetapi pada UU Cipta Kerja pada pasal 79 UU
Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa pengusaha wajib memberikan cuti bagi pekerja.

Terkait dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Pasal 59 ayat 4 (No.13 tahun 2003), UU
Ketenagakerjaan di hapus dalam UU Ciptakerja yang dimana UU Cipta kerja menghapus batas waktu
PKWT yang awalnya 2 tahun menjadi tidak diatur dalam UU Cipta Kerja (UU No.11 tahun 2020).Hal ini
tentu dapat menjadikan pekerja dapat bekerja kontrak selamanya tanpa kepastian pegawai tetap.Dari
sini dapat kita lihat bahwa adanya peluang dari perusahaan untuk mengakali peraturan ini tidak
diatur.Hal ini tentu tidak sesuai dengan dasar negara kita yaitu pada sila ke 5 yaitu Keadilan sosial bagi
seluruh masyarakat Indonesia yang dimana pada penetapan ini tidak adanya keadilan sosial bagi pekerja
Indonesia. Selain itu, Pasal ini juga tidak sesuai dengan UUD 1945 Pasal 27 ayat 2 yang berbunyi “ yang
dimana pekerja berhak atas penghidupan yang layak yang berarti sama dengan berhak untuk
mendapatkan kepastian kerja. Selain itu, diijinkanya tenaga kerja asing (TKA) yang di atur dalam pasal 46
ayat 1 bagian f, Sehingga berlakunya pasal ini menyebabkan kekhawatiran pekerja akan hak-haknya
yang tidak terlindungi melihat pasal ini mempermudah investasi dan sanksinya dianggap kurang tegas
terhadap investor yang melakukan pelanggaraan.Hal ini juga tentu tidak sesuai dengan Pancasila pada
sila ke 2 yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab dan hal ini juga tentu tidak sesuai dengan cita-cita
pendirian Indonesia yang terdapat pada Pembukaan UUD 1945 aline ke empat yang berbunyi “…
Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum…” karena pada pasal ini tentu tidak mencapai
kesejahteraan masyarakat terutama para pekerja.

Mengenai tentang sanksi pidana ini memang tentu harus karena pada sadarnya UU Cipta Kerja
ini bersifat administratif sehingga sanksi dari pelanggaran pun bersifat administratif yang pada dasarnya
tujuan pembentukan UU Cipta Kerja ini bertujuan untuk memangkas regulasi yang dianggap berbelit-
belit di Indonesia sehingga sanksi dari pidana tersebut akan ditetapkan dalam peraturan pelaksanaan
(PP) dan bisa juga ditarik berlakunya KUHP.Selain itu,banyaknya pihak demonstran juga dikarenakan
dalam pembuatan UU Cipta kerja ini dianggap tidak adanya transparansi dari pemerintah yang dimana
sebenarnya mulai dari pembuatan sampai draft UU Cipta kerja ini dibuat sampai disahkan semua
elemen dalam UU Cipta Kerja ini dilibatkan mulai dari LSM,Organisasi,Mahasiswa,serikat Buruh
dilibatkan tetapi seperti yang kita ketahui serikat buruh di Indonesia banyak.Sehingga dari sini dapat kita
lihat sebenarnya bukan tidak adanya transparansi dari pemerintah tetapi dalam saat rapat mengenai UU
Cipta Kerja ini tidak dapat melibatkan seluruh elemen yang terkait.

Anda mungkin juga menyukai