Anda di halaman 1dari 400
BRAM STOKER'S AWARD WINNER PAUL TREMBLAY A HEAL ue Hi ah ORE fr ae A Head Full of Ghosts PUJIAN UNTUK A HEAD FULL OF GHOSTS “A Head Full of Ghosts membuatku ketakutan setengah mati, padahal jarang sekali aku merasa takut.” —Stephen King “Mengerikan dan brilian.” —Library Journal “Benar-benar kisah yang menakutkan.” —BookPage “Bacaan yang meremangkan bulu kuduk, menarik, dan cocok untuk penggemar kisah horor.” —SFRevu “amat menghibur sekaligus menakutkan. Semacam rollercoaster yang mengaktifkan seluruh indramu dan tak ingin kau lewatkan.” —Megan Abbott, penulis The Fever dan Dare Me “Gelap, brilian, dan sulit diprediksi. Lebih dari sekadar cerita horor yang sempurna, inilah cerminan yang cerdas dan kejam dari kebudayaan Amerika dengan semua kegilaannya. Dan, betapa anak-anak perempuan harus menderita akibat obsesi masyarakat terhadap tontonan dan dosa.” —Cara Hoffman, penulis So Much Pretty dan Be Safe I Love You “Sebuah novel yang sangat merisaukan, seperti halnya mimpi terburukmu semasa kanak-kanak—keduanya tak mungkin kau lupakan” —Hlizabeth Hand, penulis Generation Loss and Available Dark Paul Tremblay “Paul Tremblay penulis berbakat yang menakjubkan, tapi yang lebih baik lagi, dia sinting dan seru. A Head Full of Ghosts mencampuradukkan segalanya—takut, sedih, manis, lucu, sakit.” —Stewart O’Nan, penulis The Speed Queen, The Night Country, dan A Prayer for the Dying “A Head Full of Ghosts tidak berakhir begitu saja setelah kau selesai membacanya. Kengeriannya mengalirkan darah di setiap halaman, menetes ke tanganmu, dan menetap bersamamu. Kau akan mengingat buku ini lama setelah kau selesai membacanya.” —Stephen Graham Jones, penulis Demon Theory dan Ledfeather “Novel ini ditulis dengan bergaya dan disusun dengan baik.” —Booklist “Novel yang mengagumkan ini membangkitkan keraguan yang menegangkan: semacam kabut ambiguitas yang telah diperhitungkan dengan cermat dan memiliki keseimbangan sempurna.” —New York Times Book Review “Semakin lama semakin mencekam dan menegangkan” —NPR Books “Tremblay dengan ahli membangun ketegangan hingga mencapai titik puncak.” —Kirkus Review “Mencekam dan sangat menakutkan, setiap momen dalam novel ini bisa dirasakan para pembaca, tak seperti kebanyakan novel thriller lainnya.” —B&N Reads “Sebuah kisah psikologi-horor yang memengaruhi pikiranmu telah dirilis, menimbulkan pertanyaan mengganggu tentang ingatan dan realitas, ilmu pengetahuan dan agama, serta sifat dasar dari kejahatan.” —Buzzfeed “Berbeda dengan novel horor mana pun yang pernah kau baca, tapi anehnya, terasa sangat familier. Kengeriannya akan menghantuimu.” —Sara Gran, penulis Claire DeWitt and the City of the Dead dan Come Closer “Salah satu novel terbaik yang dirilis pada 2015. Paul Tremblay mengonfirmasi sesuatu yang kita sudah ketahui: dia salah seorang penulis horor terbaik masa kini” —This is Horror, UK “Karya ini akan dengan mudah diingat sebagai salah satu novel paling menggelisahkan dan mengganggu ketenangan, dan bisa jadi menandai sebuah titik balik pada genre horor mainstream.” —Shock Totem “Dengan cara yang menakutkan, lucu, melankolis, dan ironis, A Head Full of Ghosts yang sangat orisinal ini terasa seperti perjalanan menaiki roket melintasi masyarakat kontemporer.” —The Day Newspaper “Tremblay melukis gambaran meyakinkan sebuah keluarga yang memiliki emosi yang sedemikian ekstrem dalam menerima hal-hal yang tak masuk akal. Campuran antara kisah mistis dan psikologis, ini adalah karya mengerikan yang mengajak pembaca berputar- putar dengan cara yang tidak kentara.” —Publishers Weekly, resensi berbintang Menyailkan kisah-kisah inspiratif, menghibur, dan penuh makna, A Head Full of Ghosts Diterjemahkan dari A Head Full of Ghosts, karya Paul Tremblay ‘Terbitan William Morrow, An Imprint of Harper Collins Publishers Copyright © Paul Tremblay, 2016 Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved Penerjemah: Reni Indat Penyunting: Yuke Ratna Permatasari & Yuli Pritania Penata letak: edde Desain sampul: Fahmi IImansyah Digitalisasi: Elliza Titin Diterbitkan oleh Penerbit Noura Books (PT Mizan Publika) Anggota IKAPI Jin. Jagakarsa No. 40 RT 007/RW 04 Jagakarsa, Jakarta Selatan, ‘Telp.: 021-78880556, Faks.: 021-78880563 E-mail: redaksi@noura.mizan.com wwew.nourabooks.co.id ISBN 978-602-385-253-6 E-ISBN: 978-602-385-254-3 Ebook ini didistribusikan oleh: Mizan Digital Publishing Jl. Jagakarsa Raya No. 40 Jakarta Selatan - 12620 Phone.: +62-21-7864547 (Hunting) Fax.: +62-21-7864272 izandigitalpublishing@mizan.com email: Untuk Emma, Stewart, dan Shirley SD “Seingatku, dialah yang pertama maju di lorong antarbangku untuk menyongsong maut, diiringi gelegar film murahan.” —Future of the Left, “An Idiot’s Idea of Ireland” “Alangkah asyiknya, bisa berada di ruangan besar ini dan keluyuran sesukakul!” —Charlotte Perkins Gilman, “The Yellow Wallpaper” “Mau tahu rahasia? Bersediakah kau menjaganya baik-baik? Kelihatannya kita cuma berdua di sini, tapi sebenarnya tidak.” —Bad Religion, “My Head Is Full of Ghosts” SC BAB 1 “INI PASTI SULIT SEKALI bagimu, Meredith.” Rachel Neville si penulis laris mengenakan busana koleksi musim gugur yang sempurna: topi biru tua yang serasi dengan rok selutut yang sopan dan jaket wol cokelat kekuningan berkancing sebesar kepala anak kucing. Dengan hati-hati, perempuan itu berupaya menjaga keseimbangan di titian tak rata. Batu-batu penyusun jalan setapak sudah longgar, tepiannya menyembul dari tanah dan bergoyang- goyang di bawah kaki Rachel seperti gigi susu yang hendak copot. Semasa kanak-kanak, aku kerap mengikatkan benang gigi merah ke gigi goyang dan membiarkan benang itu menggelayut berhari-hari sampai gigiku lepas sendiri. Marjorie lantas mengataiku jail dan mengejarku ke sepenjuru rumah agar bisa menarik tali itu sehingga aku menjerit-jerit dan menangis kesenangan sekaligus karena takut kalau kuperbolehkan dia mencabut satu gigi, bisa-bisa dia menjadi gatal dan kemudian mencabuti semua gigiku. Sudah sedemikian lamakah sejak kami tinggal di sini? Aku baru 23 tahun, tapi jika ada yang bertanya, kukatakan bahwa Paul Tremblay umurku seperempat abad kurang dua. Aku suka menyaksikan orang-orang memutar otak untuk menghitung. Aku menghindari batu-batu titian dan berjalan saja di pekarangan depan yang terbengkalai, yang sarat belukar liar tak terbendung pada musim semi dan musim panas, tapi kini mulai menyusut karena hawa dingin musim gugur. Daun-daun dan ilalang menggelitik pergelangan kaki dan menyambar sepatu olahragaku. Andaikan Marjorie berada di sini, mungkin dia bakal memberiku cerita singkat mengenai cacing, laba- laba, dan tikus yang merayap di bawah tetumbuhan busuk, tengah mengincar si wanita muda yang dengan bodohnya urung berlindung di jalan setapak. Rachel masuk rumah duluan. Dia membawa kunci, sedangkan aku tidak. Jadi, aku bertahan di belakang, menge- lupas selarik cat putih dari pintu depan, dan menyimpannya di dalam saku jinsku. Tidak ada salahnya kalau aku menyimpan. kenang-kenangan, ‘kan? Kenang-kenangan yang sama pun telah dikumpulkan oleh sekian banyak orang dengan seenak- nya, dilihat dari kondisi pintu yang belang-belang dan beranda yang berketombe. Aku tidak menyadari betapa aku merindukan tempat ini. Namun, alangkah kusam penampilannya. Apakah rumah kami memang sekusam ini sejak dulu? Aku menyelinap ke dalam sehingga pintu depan berkeriut di belakangku. Selagi berdiri di ruang depan berlantai kayu baret-baret, kupejamkan mata agar bisa lebih jelas melihat cuplikan awal lokasi kepulanganku: langit-langit yang saking tingginya tidak tergapai olehku; radiator besi cor yang tersembunyi di sekian banyak pojok ruangan, sudah A Head Full of Ghosts tidak sabar karena ingin mengepul-ngepul marah lagi; lurus di depan, terletaklah ruang makan, lalu dapur, tempat kami bahkan tidak boleh luntang-lantung, dan sesudah itu koridor, yang menyambung langsung ke pintu belakang; di sebelah kananku, ruang keluarga dan koridor-koridor lain, laksana jari-jari sebuah roda; di bawahku, di balik lantai, ruang bawah tanah beserta fondasi batu dan mortar serta lantai tanah dingin yang masih dapat kurasakan di sela-sela jari kakiku. Di sebelah kiriku, mengangalah mulut tangga yang berpagar dan berlis putih, serta berjenjang dan berbordes hitam, alhasil menyerupai tuts piano. Tiga set undakan dan dua bordes berliku-liku ke lantai dua. Urut-urutannya seperti ini: enam anak tangga ke atas, bordes, belok kanan, kemudian cuma lima anak tangga ke bordes berikutnya, lalu belok kanan lagi dan enam anak tangga ke koridor lantai dua. Yang paling kusukai adalah, kita sudah berputar 360 derajat setibanya di lantai dua, tapi oh, alangkah rewelnya aku karena mengeluhkan anak tangga keenam yang jebol di tengah. Kubuka mataku. Segalanya sudah tua dan terbengkalai, sekaligus persis seperti dahulu. Tapi, debu dan sarang laba- laba serta plester retak-retak dan kertas pelapis dinding yang terkelupas entah bagaimana tampak palsu. Bukti berjalannya waktu seolah-olah ditempelkan di sana sekadar sebagai pelengkap cerita, sedangkan ceritanya sendiri telah dikisahkan berulang-ulang, saking seringnya sampai-sampai kehilangan makna, bahkan bagi kami yang merupakan saksi hidup. Rachel duduk di ujung jauh sebuah sofa panjang, di ruang keluarga yang nyaris kosong. Kain penutup melindungi jok sofa dari siapa saja yang dengan gegabah mendudukinya. Paul Tremblay Atau barangkali justru Rachel yang dilindungi oleh kain itu, sehingga dia tidak perlu bersentuhan dengan sofa jamuran. Topi Rachel bertengger di pangkuan, bagaikan burung rapuh yang telah diancam sehingga terpaksa meninggalkan sarangnya. Aku akhirnya memutuskan untuk menjawab pertanyaan retorik Rachel, meskipun sudah kelamaan. “Ya, ini memang sulit bagiku. Satu lagi, tolong jangan panggil aku Meredith. Aku lebih suka dipanggil Merry.” “Maafkan aku, Merry. Datang ke sini mungkin bukan ide bagus.” Rachel kembali berdiri, topinya terjatuh ke lantai, tangannya disembunyikan di saku jaket. Aku bertanya-tanya apakah dia juga menyembunyikan kelupasan cat, atau carikan kertas pelapis dinding, atau keping-keping lain dari masa lalu tempat ini, di dalam sakunya. “Wawancara bisa kita lakukan di tempat lain, yang nyaman bagimu.” “Tidak usah. Sungguh. Tidak apa-apa. Aku sendiri yang setuju dengan sukarela. Hanya saja, aku—” “Gugup. Aku paham sekali.” “Bukan.” Aku mengucapkan bukan dengan nada menaik, mendayu, seperti gaya Ibu. “Itu dia masalahnya. Aku sama sekali tidak gugup. Kebalikannya, malah. Aku tercengang sendiri karena merasa demikian nyaman di sini. Sekalipun kedengarannya aneh, aku senang bisa kembali ke rumah. Tidak masuk akal, ya? Aku biasanya tidak mencerocos seperti ini, jadi mungkin aku memang gugup. Tapi, silakan duduk dulu. Nanti aku menyusul.” Rachel duduk lagi di sofa, kemudian berkata, “Merry, aku tahu kau tidak mengenalku, tapi aku janji kau bisa A Head Full of Ghosts memercayaiku. Akan kusikapi ceritamu dengan hormat dan saksama, sebagaimana seharusnya.” “Terima kasih. Aku percaya padamu. Sungguh,” aku berkata, kemudian duduk di ujung lain sofa, yang seempuk cendawan. Aku sekarang bersyukur bisa duduk sambil dilindungi kain penutup. “Cerita itu sendiri yang tidak sepenuhnya kupercayai. Lagi pula, itu bukan ceritaku. Bukan aku yang mengalaminya. Yang jelas, merambah bagian-bagian yang belum terpetakan tentunya akan sukar.” Aku tersenyum, bangga akan metafora itu. “Kalau begitu, anggap saja aku sebagai rekanmu sesama penjelajah.” Rachel tersenyum luwes, lain sekali denganku. Aku bertanya, “Jadi, dari mana kau mendapatkannya?” “Mendapatkan apa, Merry?” “Kunci depan. Apa kau membeli rumah ini? Sama sekali bukan ide jelek. Betul, pemilik terdahulu memang gagal meraup keuntungan finansial sekalipun membuka Rumah Barrett yang bereputasi mencekam untuk tur, tapi siapa tahu strategi itu bisa berhasil sekarang. Kau atau agenmu bisa kembali memulai tur, untuk sekalian mempromosikan bukumu. Supaya lebih seru, selenggarakan juga pembacaan untuk umum dan penandatangan buku di ruang makan. Ruang depan bisa difungsikan menjadi toko cendera mata, untuk menjual buku beserta suvenir-suvenir seram yang unik. Aku bisa membantu merancang diorama atau reka adegan di ruangan-ruangan lantai atas. Sebagai—apa istilahnya menurut kontrak kita?—‘konsultan kreatif’. Ya, aku bisa menyediakan perlengkapan dan memberikan arahan ....” Aku lupa diri, kebanyakan bicara meski awalnya hanya bermaksud. Paul Tremblay berkelakar ringan. Ketika akhirnya berhenti mengoceh, aku mengangkat tangan untuk membingkai Rachel serta sofa di dalam kungkungan jari-jariku, sok-sok bermain sutradara- sutradaraan. Rachel tertawa sopan sementara aku berceloteh. “Sekadar klarifikasi, Merry, Nona Konsultan Kreatif yang Budiman, aku tidak membeli rumahmu.” Aku mafhum bahwa bicaraku kecepatan, tapi aku tidak sanggup memperlambatnya. “Keputusan bijaksana, barangkali. Apalagi kondisinya sudah bobrok begini. Beli rumah, jangan beli masalah, begitu ‘kan?” “Karena kau meminta agar kita tidak ditemani siapa-siapa hari ini—permintaan yang sangat wajar, omong-omong!— aku membujuk sang agen properti yang baik hati supaya berkenan meminjamiku kunci dan waktu di rumah ini.” “Aku yakin yang kau lakukan pasti melanggar peraturan, tapi akan kujaga rahasiamu baik-baik.” “Apa kau piawai menjaga rahasia, Merry?” “Lebih piawai daripada sebagian orang.” Aku terdiam sejenak, lalu menambahkan, “Lebih seringnya, rahasialah yang menjagaku,” semata-mata karena kesannya misterius sekaligus berbobot. “Bolehkah aku mulai merekam sekarang, Merry?” “Apa, bukannya mencatat? Aku membayangkan kau siap sedia sambil memegang pulpen dan notes hitam, yang sehari- hari kau sembunyikan dengan hati bangga di saku mantel. Notes yang berlabel dan berpembatas warna-warni, tiap warna menandai halaman-halaman yang memuat topik riset A Head Full of Ghosts tertentu, gambaran kepribadian orang-orang, dan sembarang komentar cermat mengenai cinta dan kehidupan.” “Ha! Sama sekali tidak sesuai dengan gayaku.” Rachel kentara sekali menjadi santai dan lantas menyentuh sikuku. “Ini rahasia ya, tapi aku tidak bisa membaca tulisanku sendiri. Malahan, aku termotivasi menjadi penulis justru karena ingin membalas semua guru dan anak-anak yang mengolok- olok tulisan tanganku karena mirip cakar ayam.” Senyumnya sungkan dan tulus, alhasil membuatku semakin menyukainya. Aku juga suka karena dia tidak mengecat rambutnya yang beruban, karena posturnya tegak tapi tidak kelewat kaku, karena dia menyilangkan kaki kiri di atas kaki kanannya, karena kupingnya kebesaran untuk ukuran wajahnya, dan karena dia tidak kunjung menyeletuk bahwa rumah masa kecilku telah menjadi bangunan tua kosong angker. Aku berujar, “Ah, balas dendam rupanya! Beri saja memoarmu judul Metode Palmer Mesti Mati! dan kemudian kirimkan buku itu kepada guru-guru Anda yang kebingungan dan sudah lama pensiun, masing-masing dibubuhi tanda tangan merah yang tidak terbaca, tentu saja.” Rachel membuka jaket dan mengeluarkan ponsel pin- tarnya. Aku pelan-pelan membungkukkan badan ke lantai dan memungut topi biru Rachel. Setelah mengebuti tepinya dengan sopan, kuletakkan topi itu di atas kepalaku sambil berlagak. Topi itu ternyata kekecilan. “Ta-dal” “Kau lebih cocok mengenakan topi itu daripada aku.” “Apa kau betul-betul berpendapat begitu?” Paul Tremblay Rachel tersenyum lagi. Kali ini, senyumnya tak bisa kubaca. Jemarinya mengetuk dan menyapu layar sentuh ponselnya dan berkumandanglah bunyi bip ke seisi ruang keluarga yang kosong. Bunyi itu tidak enak didengar; dingin, final, tidak bisa dibatalkan. Katanya, “Bagaimana kalau kau memulai dengan bercerita tentang Marjorie dan seperti apa dia sebelum segalanya terjadi?” Aku melepas topi Rachel dan memutar-mutarnya. Gaya sentrifugal dari putaran itu akan mempertahankan topi di jariku atau melemparkannya ke seberang ruangan. Jika terpental, akan jatuh di manakah topi ini kira-kira, aku membatin. Kataku, “Marjorie-ku—” Kemudian aku terdiam karena aku tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan kakak perempuanku tidak menua sama sekali dalam kurun lima belas tahunan ini dan yang namanya sebelum segalanya terjadi itu tidak ada.[] BAB 2 THE LAST FINAL GIRL Iya, ini cuma BLOG! (Jadul amat!) Atau blog terhebat sepanjang masa?!?! THE LAST FINAL GIRL membahas serba-serbi horor dan yang seram-seram. Buku! Komik! Video game! TV! Film! Masa-SMAt Mulai dari tontonan murahan kacangan yang berdarah-darah sampai film yang membuat pusing tujuh keliling saking nyeni-nya, tapi Awas Bocoran. AKAN KUBEBERKAN BOCORAN CERITA KEPADA KALIAN BIO: Karen Brissette Senin, 14 November 20 __ The Possession, Lima Belas Tahun Kemudian: Episode 1 (Bagian 1) Ya, aku tahu, susah dipercaya bahwa reality show norak favorit semua orang (favoritku, lebih tepatnya) The Possession aslinya ditayangkan lima belas tahun lalu. Ya ampun, sudah lima belas Paul Tremblay tahun? Itu, lho, masa ingar-bingar pengintaian massal oleh NSA, torrent, urun dana, dan pra-ambruknya perekonomian! Pokoknya, silakan kerahkan konsentrasi kalian baik-baik. Aku akan mengupas habis keenam episode dari seri tersebut. Banyak sekali yang bisa dibicarakan. Episode perdananya saja bisa kubahas panjang lebar sampai setebal disertasi. Aku tidak tahan lagi! Kalian tidak tahan lagi! Ayo, Karen, buruan!!!! Bayangkan suara seorang narator: Sampai pertengahan 2000-an, mengganti program di tengah-tengah jadwal pe- mutarannya pada musim gugur/liburan menandakan bahwa acara itu akan ditiadakan oleh stasiun televisi. Namun, berkat kesuksesan Duck Dynasty dan sekian banyak “reality show kampungan” yang ditayangkan di jaringan TV kabel, terbukti bahwa reality show mana saja berpotensi untuk menjadi hit, kapan pun disiarkannya. (NB: “Reality show kampungan’—istilah borjuis yang sombongnya minta ampun—mengisi kerinduan pemirsa akan komedi situasi dan drama yang tokoh-tokohnya berlatar belakang ekonomi menengah ke bawah, semisal Green Acres atau The Dukes of Hazzard. Ingat? Sama, aku juga tidak.) Discovery Channel bertaruh besar-besaran untuk The Possession, walau sekilas acara itu tidak klop benar apabila di- kategorikan sebagai reality show kampungan. Lakon tersebut (ya, aku menggunakan kata lakon karena aku menganggap 11 A Head Full of Ghosts acara itu, layaknya semua reality show yang lain, sebagai fiksi belaka. Ya iyalah.) berlangsung di kawasan suburban Beverly yang makmur, di Massachusetts. Sayang keluarga Barrett tidak menghuni kota sebelah, Salem, yang adalah, tahu ‘kan, tempat pembakaran para penyihir pada zaman dahulu kala. Dengan ini aku meminta agar sekuelnya dibuat di Salem! Bercanda, tapi kenapa mereka tidak sekalian saja membuat The Possession di kota itu, yang terkenal karena pernah menyiksa wanita-wanita muda yang “kurang berbudi” sampai mati, ya ‘kan? Tapi, aku melantur.... Nah, sekilas acara itu tidak menampilkan kampung, daerah pinggiran, kura- kura ganas, kearifan lokal nan bersahaja, ataupun bapak- bapak berjanggut lebat yang mengenakan overall. Keluarga Barrett merupakan stereotipe kelas menengah pada masa ketika jumlah kelas menengah kian lama kian berkurang. Status mereka sebagai keluarga kelas menengah yang sedang terpuruk merupakan salah satu daya tarik utama acara tersebut bagi penonton sasaran, yakni kalangan pekerja kerah biru dan kelas menengah ke bawah. Saat itu dan hingga saat ini, banyak sekali orang Amerika yang masih menganggap diri mereka sebagai kelas menengah, padahal nyatanya tidak, dan mereka setengah mati berpegang teguh pada status kelas menengah dan nilai-nilai kapitalisme borjuis. Lantas, tampillah keluarga ini, yang terkesan ideal seperti tokoh komedi situasi ’80-an (seperti Family Ties, Who’s the Boss, Growing Pains) tapi tengah diberondong gempuran dari luar (baik yang sungguhan maupun yang khayali). Dalam The Possession, tokoh yang pas sekali untuk menuai simpati 12 Paul Tremblay penonton adalah John Barrett, seorang ayah pengangguran berusia empat puluhan. Sederhananya, keluarga itu sedang kepepet dari segi keuangan, sama seperti banyak orang lain. Barrett sudah sembilan belas tahun bekerja di perusahaan pembuat mainan Barter Brothers, tapi diberhentikan setelah Hasbro membeli perusahaan tersebut dan menutup pabrik berusia delapan puluh tahun di Salem. (Salem lagi! Di mana penyihir-penyihir itu?) Tanpa pendidikan perguruan tinggi, John sudah bekerja di pabrik sejak berumur sembilan belas tahun, mula-mula di jalur perakitan dan meniti tangga karier mainan setapak demi setapak hingga akhirnya menjadi penanggung jawab ruang surat. Atas pengabdiannya selama dua dasawarsa, dia menerima pesangon senilai 38 bulan gaji, yang dia irit-irit untuk biaya hidup selama satu setengah tahun. Namun demikian, keluarga Barrett lama-lama kerepotan juga, apalagi mereka mesti membiayai dua orang putri, rumah besar, pajak bumi dan bangunan, dan segala harapan dan janji serta dambaan hati yang mekar seiring dipupuknya gaya hidup kelas menengah. Episode perdana dibuka dengan kisah sedih John. Aku acungkan jempol kepada penulis/produser/dalang acara karena sudah membuat pilihan brilian! Mengawali acara dengan reka adegan kerasukan tentunya terlampau klise dan, sejujurnya, terlampau konyol. Alih-alih demikian, kita justru disuguhi foto-foto hitam-putih buram pabrik lama John pada masa-masa jayanya, foto-foto para pekerja di dalam pabrik yang sedang membuat mainan dari busa dan karet dengan gembira. Foto-foto itu lantas digantikan oleh aneka 13 A Head Full of Ghosts citra yang silih berganti kelewat cepat: politikus Washington, demonstran Occupy Wall Street yang marah, unjuk rasa Tea Party, tabel dan grafik pengangguran, ruang sidang kacau balau, para pengamat yang mencerocos berang, orang-orang yang berduyun-duyun meninggalkan Barter Brothers sambil menangis. Dalam kurun satu menit, kita telah menyaksikan tragedi ekonomi Amerika yang dulu masih baru namun kini sudah tak asing lagi. Acara itu meneguhkan keseriusannya, sekaligus membubuhkan atmosfer kegelisahan, semata-mata dengan menggunakan realisme dan dengan pertama-tama memperkenalkan John Barrett: lelaki baru pascamilenium yang terlemahkan; personifikasi tergerusnya tatanan masyarakat patriarkis. Aduh, tapi dia memang cocok sekali mengejawantahkan semua itu, ya ‘kan? Ih, sungguh, aku tidak ingin mengawali tulisan bersambung mengenai seri ini dengan bahasan mengenai politik. Aku janji akan bicara banyak tentang yang seram-seram, tapi sementara ini, harap bersabar dulu ... KARENA TURUTI SAJA KATA KAREN!!! Sebagaimana banyak film kerasukan dan horor pendahulunya, The Possession barangkali bermaksud menyampaikan pesan- pesan konservatif terselubung, yang kali ini ditopang oleh kepala keluarga yang tengah tertunduk lesu. Salah satu pesan tersebut sudah jelas. Papa Barrett kehilangan pekerjaan dan alhasil menyiratkan bahwa keluarga serta masyarakat secara keseluruhan telah di ambang kebangkrutan. Ibu yang malang, Sarah Barrett (teller bank andal), cuma muncul sekejap di 14 Paul Tremblay segmen pembuka. Kontribusinya sebagai tulang punggung keluarga baru diungkit belakangan dalam episode perdana, yakni ketika dia menyebutkan pekerjaannya sambil lalu (seperti ini!) selagi mencurahkan isi hati di depan kamera. Sarah tampak tak ubahnya pelengkap penderita dalam montase yang terdiri dari foto-foto pernikahan dan potret- potret kedua putri mereka, Merry dan Marjorie. Di foto-foto semua anggota keluarga tersenyum dan berbahagia, tapi musik mencekam diperdengarkan di latar belakang ... (eng, ing, ENG!)[] 15 BAB 3 AKU MEMBERI TAHU RACHEL, kejadian yang menimpa Marjorie dan keluarga kami tidak memiliki titik awal ataupun permulaan. Kalaupun ada, aku yang berumur delapan tahun tidak paham, sedangkan aku yang hampir berusia seperempat abad. tidak mampu melihatnya, bahkan lewat kacamata retrospeksi yang konon jernih. Parahnya lagi, kenanganku telah berkelindan dengan mimpi burukku, dengan ekstrapolasi, dengan paparan lisan terdistorsi dari kakek-nenekku dan paman-bibiku, dan dengan segala macam legenda urban serta dusta yang disebarluaskan melalui media, ranah budaya populer, dan aliran komentar tiada habis-habisnya di situs web/blog/saluran YouTube yang dikhususkan untuk acara tersebut (dan harus kuakui bahwa aku membaca-baca di daring melebihi yang seharusnya). Intinya, pengalamanku sendiri lintang pukang menjadi satu dengan perkataan orang- orang sehingga sekarang tidak bisa aku bedakan lagi. Malahan, bahwa riwayat pribadiku bukan merupakan milikku sendiri karena telah telanjur dihantui oleh kekuatan dari luar, dalam arti harfiah maupun kiasan, bisa dibilang Paul Tremblay hampir sama mengerikannya seperti peristiwa itu sendiri. Hampir. Biar kuberi kalian contoh kecil sebelum aku mulai bercerita betulan. Sewaktu usiaku empat tahun, orangtuaku dua kali menghadiri acara Marriage Encounter di akhir pekan yang disponsori oleh gereja. Aku mengetahui ini tidak langsung dari orangtuaku, tapi secara tidak langsung dari orang kedua- ketiga-keempat. Kata orang-orang, Ayah bersikeras untuk ikut serta demi memperbaiki hubungan orangtuaku yang sempat renggang dan dalam rangka menggapai kehidupan serta pernikahan yang lebih selaras dengan firman Tuhan. Pada saat itu, Ibu bukan lagi seorang Katolik atau penganut agama apa pun dan sangat menentang gagasan ayahku, tapi beliau tetap saja ikut. Alasan keikutsertaan beliau hanya bisa kita tebak-tebak, sebab beliau tidak pernah memberitahuku ataupun orang lain. Andaikan Ibu tahu bahwa aku sekarang membicarakan keikutsertaannya dalam acara Marriage Encounter, beliau pasti malu. Akhir pekan pertama berjalan Jancar—mereka menginap di kabin kayu segitiga, jalan-jalan di hutan, mengikuti diskusi kelompok dan sesi tanya-jawab. Tanya-jawab yang dimaksud di sini adalah, tiap pasangan menulis jawaban mereka atas pertanyaan seputar pernikahan yang dikaitkan dengan pelajaran atau teks tertentu dari Alkitab, kemudian bergiliran membaginya kepada seluruh anggota kelompok. Akhir pekan kedua rupanya kurang mulus, sebab Ibu konon meninggalkan acara Marriage Encounter dan Ayah selepas Ayah berdiri di hadapan seluruh hadirin dan 17 A Head Full of Ghosts mengutip sebuah ayat Perjanjian Lama mengenai kewajiban istri untuk takluk di hadapan suaminya. Nah, bahwa Ibu angkat kaki sambil marah-marah pada akhir pekan itu mungkin saja merupakan cerita yang dibesar-besarkan belaka, berdasarkan dua fakta ini: pertama, orangtuaku meninggalkan lokasi acara lebih awal pada akhir pekan kedua dan ujung-ujungnya menginap semalam di sebuah kasino di Connecticut; kedua, meskipun Ayah memang menjadi taat beragama ketika kami berdua sudah lebih besar, beliau (dan kami) tidak pernah ke gereja, Katolik ataupun yang lainnya, selama bertahun-tahun sebelum upaya eksorsisme. Aku mengungkit fakta-fakta ini dalam rangka memberikan konteks dan keterangan menyeluruh yang akurat, sekaligus untuk menyoroti bahwa beliau mungkin saja tidak mengutip Alkitab sekalipun banyak orang meyakini demikian. Tapi, bukan pula maksudku untuk menyampaikan bahwa mustahil Ayah menyitir ayat tersebut kepada Ibu, sebab berbuat demikian justru sesuai dengan karakter ayahku. Kelanjutannya mudah untuk dibayangkan: Ibu angkat kaki dari pondok retret sambil bersungut-sungut, Ayah berlari mengejar beliau untuk minta ampun dan mengucapkan permohonan maaf bertubi-tubi, dan kemudian, untuk menunjukkan kesungguhan hatinya, mengajak Ibu ke kasino. Tapi, yang kuingat sendiri dari akhir pekan Marriage Encounter cuma ini: kedua orangtuaku pergi dan berjanji akan segera kembali. Satu-satunya kata yang diingat oleh diriku yang berusia empat tahun adalah pergi. Aku belum memahami konsep jarak ataupun waktu. Aku hanya memahami bahwa mereka pergi, yang samar-samar kedengarannya 18 Paul Tremblay semenyeramkan dongeng Si Jubah Merah atau Serigala Berbulu Domba. Aku yakin mereka pergi karena bosan meladeni aku yang gemar makan pasta tanpa saus spageti. Selagi membubuhkan mentega dan merica ke makaroni sikuku (bentuk pasta kegemaranku), Ayah selalu menggerutu bahwa beliau tak percaya aku tidak suka saus spageti. Selagi orangtuaku pergi, adik perempuan Ayah, Bibi Erin, mengasuh Marjorie dan aku. Marjorie bereaksi biasa-biasa saja, tapi aku kelewat takut dan panik sehingga tidak bisa tidur sesuai pola rutinku. Aku dengan saksama membangun benteng dari boneka-boneka kapuk berbentuk binatang di seputar kepalaku sementara Bibi Erin mendendangkan lagu demi lagu untukku. Lagu apa tepatnya tidak penting, menurut bibiku, asalkan lagu tersebut pernah kudengar di radio. Oke, aku janji tidak akan sering-sering membuat catatan kaki untuk merunut siapa-siapa saja narasumber (yang paparannya kadang bentrok, kadang sejalan) dari ceritaku sendiri. Di bagian pra-awal ini, aku semata-mata ingin menunjukkan bahwa bercerita dengan sebenar-benarnya itu sulit dan sulit pula untuk menaksir tingkat kebenaran sebuah cerita. Mengesampingkan banyaknya pengaruh dari luar, sejujurnya aku sungguh-sungguh mengingat sejumlah bagian dari kejadian lampau. Saking jelas dan teperincinya adegan- adegan itu terpatri di dalam benakku, aku takut kalau-kalau bakal tersesat di dalam labirin memori. Ada pula bagian- bagian yang bagiku tidak jelas dan tak dapat diketahui layaknya pikiran orang lain, juga alur kejadian yang—aku 19 A Head Full of Ghosts khawatir—kupepatkan dan kucampuradukkan secara tidak sengaja dalam kepalaku. Baiklah. Sambil mencamkan semua itu baik-baik, mari kita mulai lagi. Yang kucoba sampaikan melalui pendahuluan nan bertele- tele ini adalah, aku sejatinya tengah berusaha semaksimal mungkin untuk memutuskan harus mulai dari mana. Meskipun, kalau dipikir-pikir, ceritaku memang sudah dimulai, ‘kan?[] 20 BAB 4 AKU MEMPUNYAI RUMAH-RUMAHAN DARI kardus yang kuletakkan di tengah-tengah kamar tidurku. Warnanya putih dengan tepi hitam sebagai penanda atap genting dan digambari kotak bunga cerah di bawah jendela berkerai. Pada bagian atas, terdapat cerobong asap gendut pendek yang kekecilan untuk dilewati Sinterklas, bukan berarti aku masih percaya pada Sinterklas di usia itu, meskipun aku pura-pura percaya demi yang lain. Rumah-rumahan kardus itu semestinya kuwarnai putih seluruhnya, dari dalam ke luar, tapi nyatanya tidak. Aku suka karena rumah-rumahan itu putih dan kamar tidurku yang biru menyerupai langit terang. Alih-alih mendekorasi bagian luarnya, aku mengisi bagian dalam rumah dengan sarang dari selimut dan boneka-boneka kapuk, juga menghiasi dinding sebelah dalam dengan gambar diriku dan keluargaku dalam berbagai adegan dan pose, Marjorie kerap kali kugambar sebagai pendekar putri. Aku duduk di dalam rumah-rumahan kardus, yang kerai- kerai dan pintunya kututup rapat, sambil memegang senter lipat kecil di tangan dan memangku buku yang terbuka. A Head Full of Ghosts Aku tidak pernah peduli pada keluarga Pig dan acara piknik mereka yang konyol. Aku tidak tertarik pada mobil pisang tolol, mobil acar, ataupun mobil hot dog. Kebiasaan Dingo Dog menyetir dengan gegabah dan Petugas Flossy yang mengejarnya tak henti-henti justru mengesalkanku. Aku hanya mencurahkan perhatian kepada si bandel Goldbug meskipun sudah lama aku menemukan dan mengingat-ingat di mana dia berada di tiap halaman. Dia tercantum di sampul, sedang menyetir buldozer kuning, dan di halaman-halaman lebih belakang dia menumpang truk kambing Michael-Angelo dan duduk kursi penumpang Volkswagen Beetle merah yang menggelayut di udara di ujung rantai mobil derek. Biasanya, dia hanyalah sepasang mata yang memandangku dari balik jendela mobil. Ayah memberitahuku bahwa sewaktu aku masih sangat kecil, aku mengharu-biru apabila tidak bisa menemukan Goldbug. Aku memercayai Ayah, sekalipun aku tidak tahu apa itu “mengharv-biru’”. Umurku delapan tahun, sudah ketuaan untuk membaca Cars and Trucks and Things That Go karya Richard Scarry, sebagaimana yang berkali-kali diingatkan oleh orangtuaku. Sebelum kejadian yang menimpa Marjorie, bahan bacaanku merupakan perkara besar yang menjadi sumber kekhawatiran keluarga Barrett. Meski dokter sudah menenangkan mereka agar tidak usah cemas, orangtuaku tetap saja resah kalau- kalau mata kiriku tidak bertambah tajam, tidak menyusul ketertinggalan darisaudarinyadisebelahkanan, danmenuding itulah sebabnya aku tidak berprestasi di sekolah serta tidak tertarik membaca buku-buku yang lebih cocok untuk anak seusiaku. Aku bisa membaca dengan lancar dan mau-mau 22 Paul Tremblay saja membaca, tapi aku lebih tertarik pada kisah-kisah yang kukarang dengan kakak perempuanku. Aku menenangkan Ibu dan Ayah dengan cara membawa-bawa beragam “buku berseri”, meminjam istilah Bu Hulbig guru kelas duaku, yang pura-puranya sedang aku baca. Aku lazimnya berpura-pura membaca buku petualangan berseri yang norak bukan main, masing-masing memiliki plot teramat sederhana yang sudah terangkum dalam judul dan biasanya tersangkut paut dengan hewan magis. Menjawab pertanyaan buku itu tentang apa dari Ibu tidaklah sulit. Nah, aku sebenarnya tidak membaca Cars and Trucks and Things That Go. Mencari Goldbug diam-diam merupakan ritual rutinku sebelum menulis cerita baru di buku bersama Marjorie. Cerita baru yang kami tambahkan berjumlah lusinan. Hampir semua tokoh sampingan dari dunia Richard Scarry mendapatkan cerita tersendiri, sedangkan masing-masingnya kami tulis langsung di halaman buku tersebut. Tidak semua cerita aku ingat, tapi salah satunya adalah mengenai mobil yang dikendarai seekor kucing dan terperangkap di genangan molasses. Cairan cokelat lengket itu bocor dari truk yang tangkinya bertuliskan huruf-huruf hitam besar berbunyi MOLAssEs. Di wajah kucing itu, aku menggambar sepasang kacamata kotak berbingkai hitam seperti yang kukenakan dan, di semua tokoh yang kami buatkan cerita, aku menorehkan gambar kacamata yang sama persis. Pada ruang kosong di seputar kucing dan di sela- sela molasses dengan truk, kuterakan cerita berikut dengan hati-hati (tapi banyak salah eja) menggunakan tulisan kecil- kecil: “Merry si Kucing terlambat masuk kerja di toko sepatu 23 A Head Full of Ghosts karena tersangkut di molasses lengket. Saking marahnya, topi Merry lepas dari kepalanya! Dia tersangkut siang malam. Dia tersangkut di tengah jalan berhari-hari sampai kawanan semut baik hati datang dan memakan molasses sampai habis. Merry si Kucing bersorak dan mengajak semut-semut pulang bersamanya. Dia membangun peternakan semut besar untuk tempat tinggal mereka. Merry si Kucing suka mengobrol dengan mereka, memberi mereka nama yang dimulai dengan huruf A, dan dia selalu memberikan makanan kesukaan mereka. Molasses!” Cerita di buku Scarry-ku pendek-pendek dan aneh serta memiliki akhir yang menghibur atau bahagia tapi janggal. Marjorie adalah si penggagas utama cerita, sedangkan semua tokoh binatang dia namai dari namaku, tentu saja. Setelah menemukan Goldbug di gambar terakhir, aku meraup buku dalam pelukanku, merangsek ke luar rumah- rumahan kardus dan masuk ke kamarku, dan kemudian lari menyusuri koridor panjang untuk menuju kamar Marjorie. Aku lari sambil bertelanjang kaki dengan langkah-langkah berat, tumitku sengaja menghantam lantai kayu keras- keras agar Marjorie dapat mendengar kedatanganku. Sudah sepatutnya aku memberi dia peringatan. Pada musim gugur itu, Marjorie menetapkan protokol privasi anyar. Marjorie menjadi sering menutup pintu kamar tidurnya, yang berarti “Merry, jangan masuk! Awas kalau berani!” Pintu biasanya tertutup ketika Marjorie mengerjakan PR dan pada pagi hari sewaktu dia berganti baju sebelum berangkat sekolah. Marjorie berumur empat belas tahun dan baru menginjak kelas sembilan, tahun pertamanya di SMA. 24 Paul Tremblay Sang siswa baru SMA ternyata menghabiskan lebih banyak waktu untuk bersiap-siap pada pagi hari ketimbang dirinya semasa muda belia di SMP. Dia memonopoli kamar mandi lantai atas, kemudian mengurung diri dalam kamar tidur sampai Ibu, yang berdiri menanti di ruang depan, berteriak ke tangga bahwa kita bakalan terlambat ke sekolah dan/atau konsultasi yang tidak disebutkan secara spesifik gara-gara Marjorie dan bahwa Marjorie bersikap sangat songong dan/ atau egois. Omelan bahwa dia songong selalu membuatku cekikikan karena Ibu senantiasa berteriak terlalu cepat sampai keseleo lidah sehingga beliau kedengarannya mengumumkan bahwa Marjorie sangat sotong. Aku diam-diam kecewa ketika Marjorie menuruni tangga sambil bergedebuk-gedebuk namun bertangan normal alih-alih bertentakel raksasa. Karena hari itu Sabtu dan sudah siang, aku tidak menyangka pintu kamar tidurnya bakal tertutup. Aku menghormati kebijakan pintu tertutup Marjorie layaknya adik perempuan mana saja, tapi Marjorie pasti sudah mendengar derap kakiku di koridor. Aku berdiri sambil tersengal-sengal di luar pintu megah kamar Marjorie, yakni satu-satunya pintu peninggalan rumah lama yang asli. Kayu ek padat, warnanya digelapkan supaya serasi dengan lantai, setebal dinding sehingga mampu menghalau serbuan pasukan barbar dan pelantak tubruk serta adik perempuan. Lain sekali dengan pintu kamarku, yang terbuat dari serbuk gergaji pres murahan dan orangtuaku izinkan untuk kuhias dan kunodai sesuka hati. Mau ek kek, mau bengek kek, peduli amat. Karena saat itu hari Sabtu, aku boleh dan berhak mengetuk pintu 25 A Head Full of Ghosts kamar Marjorie. Itu pulalah yang kulakukan. Aku kemudian membentuk corong di seputar mulutku, yang kutempelkan ke lubang kunci, dan berteriak, “Waktunya cerita! Kemarin kau sudah janji!” Cekikik Marjorie yang melengking mengesankan seolah- olah dia tidak percaya bisa berkelit. “Apa yang lucu?” Mendadak dilanda kecewa, aku mengerutkan kening. Pintu ditahan karena dia bermaksud melucu dan tak akan mengarang cerita baru bersamaku. Aku berteriak, “Kau sudah janjil” lagi. Marjorie kemudian berkata dengan suara normal, yang tak semelengking tawanya, “Oke, oke. Kau boleh masuk, Nona Merry.” Aku berjoget kecil, menirukan tarian yang pernah kulihat di SpongeBob. “Asyik! Hore!” Aku menggeser buku sehingga bagian atasnya tertahan di balik daguku dan dijepit sebagian oleh sikuku ke dada. Aku tidak mau menjatuhkan buku ke lantai, sebab kasihan buku itu, tapi aku membutuhkan kedua tangan untuk memutar kenop pintu. Aku akhirnya berhasil memaksa masuk sambil melenguh dan mengempaskan pundak ke pintu kokoh monolitik. Karena aku yakin bakal menjadi seperti Marjorie ketika sudah besar, memasuki kamarnya sama seperti menemukan peta nyata masa depanku, sebuah peta bergambar tata letak yang senantiasa berubah. Marjorie tidak habis-habisnya menata ulang kasur, lemari, meja, rak-rak buku, dan keranjang- keranjang berisi aksesori terkini dalam hidupnya. Dia bahkan memindah-mindahkan poster, kalender, dan dekorasi astronomi di tembok kamarnya. Tiap kali dia mengubah 26 Paul Tremblay tata letak kamarnya, aku mendekorasi ulang interior rumah- rumahan kardusku supaya sama dengan kamarnya. Aku tidak pernah memberitahukan aktivitasku itu kepada Marjorie. Sabtu ini, tempat tidur Marjorie dirapatkan ke pojokan tepat di bawah jendela satu-satunya di kamar itu. Gorden sudah dilepas dan yang tertinggal hanya vitrase renda tipis. Poster-poster terpampang miring, bertindihan, dan mengumpul sembarangan pada dinding di seberang tempat tidur. Bagian lain dinding kosong melompong. Meja riasnya didempetkan ke pojokan lain, sedangkan rak-rak buku, meja kecil, dan keranjang-keranjangnya berjejalan di dua pojokan lain, alhasil bagian tengah kamar terbuka lapang. Andaikan dibuat denahnya, maka kamar itu dapat diibaratkan sebagai X yang tengahnya bolong. Aku berjingkat masuk pelan-pelan, berhati-hati supaya tidak menyandung kawat jebakan tak kasatmata yang bisa- bisa meletupkan amarah Marjorie. Aku harus waspada, sebab akhir-akhir ini Marjorie mudah marah tanpa sebab. Kelancangan apa pun yang kulakukan bisa-bisa memicu pertengkaran yang diakhiri oleh tangis dan pelarianku ke rumah-rumahan kardus atau metode mediasi garang ala Ayah (baca: beliau berteriak paling keras dan paling lama). Aku berdiri di tengah-tengah kamar Marjorie dengan jantung berdegup kencang bagaikan genderang yang ditabuh. Kunikmati tiap detiknya. Marjorie bersila di kasur, di depan jendela sehingga dia tampak sebagai siluet berlatar belakang cahaya yang meredup. Dia mengenakan kaus putih dan celana training baru yang merupakan seragam latihan tim sepak bolanya. Celana itu 27 A Head Full of Ghosts berwarna jingga Halloween dengan kata Panthers dari stensil hitam yang menyamping di sebelah kaki. Rambut cokelat tua Marjorie dikuncir kuda erat-erat. Dia memangku sebuah buku besar. Besar yang kumaksud di sini bukan tebal seperti kamus. Buku itu selebar kedua kakinya yang bersila. Halaman-halaman buku itu berwarna- warni, sedangkan ukurannya panjang dan lebar, kira-kira sama dengan halaman buku Scarry yang masih kudekap laksana tameng. Kataku, “Kau mengambil itu dari mana?” Aku sesungguhnya tak perlu bertanya. Sudah jelas buku di pangkuan Marjorie adalah buku anak-anak, yang berarti itu adalah bukuku. Marjorie menangkap gerakan roda-roda gigi di dalam kepalaku dan buru-buru berbicara secepat tiga belas ribu mil per jam. “Tolong, tolong, tolong, jangan marah padaku, Merry. Aku sekonyong-konyong mendapat gagasan bagus untuk cerita dan aku tahu cerita itu bakalan pas di bukumu ini. Betul, kita memang sudah membuat cerita molasses di bukumu, tapi—eh, ketahuan. Jadi, ceritaku yang ini lagi-lagi tentang molasses, tapi lain sekali dengan yang lama. Nanti akan kau lihat sendiri, Merry. Pokoknya, seingatku buku Scarry sudah penuh dan kupikir sudah waktunya kita memulai buku baru. Jadi, aku masuk saja ke kamarmu dan tahu tidak, Merry, aku menemukan buku yang sempurna! Aku tahu tidak adil aku mendatangi kamarmu tanpa izin, padahal kalau kau masuk ke kamarku tanpa izin aku bakalan marah besar. Maafkan aku ya, Merry Mungil, tapi tunggu sampai kau mendengar ceritaku dan melihat gambarku.” 28 Paul Tremblay Wajah Marjorie menyerupai senyum raksasa; gigi putih cemerlang dan mata besar membelalak. “Kapan kau masuk ke kamarku?” Aku tidak ingin menyu- lut pertengkaran, tapi aku harus tahu kapan dia menyelinap masuk. Sudah menjadi urusanku untuk memantau lokasi Marjorie tiap saat selagi dia berada di rumah dan, jika pintu kamarnya tertutup, aku selalu memasang kuping ke arah kamarnya seperti antena parabola, mendengarkan kalau- kalau pintu berderit terbuka. “Aku menyelinap masuk sewaktu kau bermain di dalam rumahmu.” “Tidak, ah. Kalau betul, aku pasti mendengarmu.” Senyum Marjorie membesar menjadi cengiran. “Merry. Masuk ke kamarmu gampang, kok.” Aku terkesiap dengan gaya dilebih-lebihkan seperti aktris payah, menjatuhkan bukuku, dan mengepalkan tinju. “Enak saja!” “Aku mendengar kau bicara sendiri dan kepada boneka- boneka binatangmu. Jadi, aku langsung saja mengendap- endap ke dalam sambil menahan napas supaya badanku lebih enteng, tentu saja, dan kutelusurkan jariku ke rak bukumu sampai mendapatkan buku yang tepat. Sesudah itu, aku bahkan sempat mengintip ke dalam rumahmu lewat cerobong asap. Kau masih bicara sendiri dan aku, si raksasa besar sangar, sempat mempertimbangkan apakah hendak meremukkan gubukmu atau tidak. Tapi tidak jadi, soalnya aku raksasa baik. Grao!” 29 A Head Full of Ghosts Marjorie melompat dari tempat tidurnya dan menjejak ke sana kemari sambil mengatakan, “Hwahahahaha, aku men- cium gadis cilik berkaki bau bernama Merry.” Aku berteriak, “Kakimu yang bau!” dan lantas tertawa, balas mengaum-aum sambil membusungkan dada, dan menggeliang-geliut keliling kamar supaya tidak tertangkap oleh tangan raksasanya yang kelewat lamban sambil sesekali menyodok samping pahanya dan menampar pantatnya. Marjorie akhirnya menggendongku dan menjatuhkan diri ke kasur. Aku bergegas-gegas menyingkir ke belakang Marjorie dan membelitkan kedua lenganku ke lehernya. Marjorie menggapai ke belakang tapi tidak sanggup menangkapku. “Kau terlalu licin! Oke, oke, cukup. Ayo, Merry. Waktunya cerita.” Aku berteriak, “Asyik,” sekalipun aku merasa diper- mainkan. Marjorie semestinya diberi pelajaran karena sudah menyelinap masuk ke kamarku dan mencuri buku serta, lebih parahnya lagi, mendengarku bicara sendiri. Marjorie menarik buku itu kembali ke pangkuan. Judul- nya All Around the World. Tiap halaman menampilkan versi kartun ramai dari sebuah kota atau negara asing sungguhan. Sudah lama aku tidak membaca ataupun memikirkannya. Buku itu memang tidak pernah menjadi buku favoritku. Aku menyambar buku tersebut, tapi Marjorie menepis tanganku dengan kasar. “Sebelum kau melihat gambarku, kau harus mendengarkan ceritaku dulu.” “Ya sudah. Ceritakan!” Aku sudah tidak sabar, gelisah seperti cacing kepanasan. 30 Paul Tremblay “Ingatkah kau sewaktu kita berkunjung ke akuarium dan North End di Boston musim panas lalu?” Tentu saja aku ingat: pertama-tama kami mendatangi akuarium tempat Marjorie dan aku menempelkan wajah ke kaca tangki setinggi tiga lantai berbentuk tabung sambil menanti hiu putih berenang melintas dan menakut- nakuti kami. Belakangan, ketika Ibu dan Ayah tidak mau membelikanku gurita karet, aku merengut dan beraksi rewel di toko cendera mata dengan menggoyang-goyangkan lengan dan tungkaiku tak henti-henti. Kemudian, kami jalan kaki ke North End dan menyantap makan malam di restoran mewah yang meja-mejanya bertaplak hitam dan beserbet linen putih. Dalam perjalanan untuk kembali ke parkiran, kami menjumpai tempat yang konon menjual jajanan manis terbaik di kota. Ibu memesankan cannoli untuk kami, tapi aku tidak mau. Kataku kepada Ibu, bentuknya mirip ulat gepeng. Marjorie berkata, “Nah, pada zaman dahulu kala, kira-kira seratus tahun lalu di North End, molasses disimpan di dalam tangki-tangki logam raksasa setinggi lima belas meter dan selebar dua puluh tujuh meter, sebesar bangunan. Molasses dibawa ke sana menggunakan kereta, bukan truk seperti di bukumu.” Marjorie diam sejenak untuk melihat apakah aku menyimak. Aku memang memperhatikan, kendati aku ingin bertanya untuk apa molasses sebanyak itu, apalagi aku tidak pernah melihat molasses di mana pun selain di buku Scarry. Tapi, aku tidak bertanya. “Saat itu pertengahan musim dingin dan, selama seminggu lebih sebelum kecelakaan, suhu udara amat sangat dingin, saking dinginnya sampai-sampai embusan napas orang-orang bukan cuma berembun, tapi 31 A Head Full of Ghosts membeku di udara dan kemudian jatuh berkeping-keping ke tanah.” “Keren.” Aku pura-pura mengembuskan napas es. “Tapi sesudah didera udara sedingin itu, suhu di Boston tiba-tiba menjadi hangat. Tahu, ‘kan, terkadang suhu udara sekonyong-konyong menjadi hangat pada musim dingin. Nah, semua orang di North End lantas berkata, ‘Wah, alangkah indahnya hari ini, dan, ‘Bukankah ini hari terindah dan paling sempurna yang pernah kita lihat?’ Karena hari itu hangat dan cerah, macam-macam orang meninggalkan apartemen mereka. tanpa membawa mantel dan topi serta sarung tangan, salah satunya seorang anak perempuan sepuluh tahun bernama Maria Di Stasio, yang hanya mengenakan sweter favoritnya yang berlubang di siku. Dia bermain engklek sementara saudara-saudara lelakinya menjahatinya, tapi karena dia sudah terbiasa dijahati seperti itu tiap hari, diabaikannya saja mereka. “Lalu, berkumandanglah bunyi menggemuruh yang didengar oleh semua orang di kota itu namun tidak mereka ketahui asal-usulnya. Paku-paku keling terlepas dari tangki molasses dan mendesing seperti peluru-peluru yang ditembakkan, sedangkan sisi-sisi logam tangki terkelupas seperti kertas pembungkus, sehingga molasses manis lengket tumpah ke mana-mana. Alhasil, gelombang raksasa mulai melanda North End.” “Waduh.” Aku mengikik gugup. Gelombang molasses raksasa memang seru, tapi banyak sekali yang tidak beres dalam cerita tersebut. Marjorie menggunakan tempat dan waktu tertentu, sekaligus menggunakan orang-orang alih- 32 Paul Tremblay alih hewan-hewan bertampang konyol dari buku Scarry, dan menggunakan orang-orang yang tidak dinamai dari namaku. Selain itu, cerita tersebut sudah kepanjangan dan tak akan muat kutulis di dalam buku. Di mana aku mesti membubuhkannya? “Gelombang setinggi empat setengah meter melibas semua orang dan apa saja yang berada di jalurnya. Gelombang itu. membengkokkan gelagar baja di Atlantic Avenue, menggulingkan gerbong-gerbong kereta, merobohkan bangunan-bangunan darifondasinya. Jalananditenggelamkan. oleh molasses setinggi pinggang, kuda-kuda serta orang-orang terperangkap, dan semakin mereka meronta dan berjuang untuk membebaskan diri, semakin mereka tersangkut.” “Tunggu, tunggu—” Kuhentikan kakakku. Cerita apa-apaan ini? Aku lazimnya diperkenankan memberi masukan. Aku adakalanya menyuarakan ketidaksukaan atau menggelengkan kepala, kemudian Marjorie akan mundur dan mengubah cerita sampai lebih sesuai dengan keinginanku. Namun, alih-alih meminta Marjorie untuk mulai lagi dari awal, aku bertanya, “Bagaimana dengan Maria dan saudara- saudara lelakinya?” Marjorie memelankan suaranya hingga membisikkan, “Ketika tangki meledak, saudara-saudara lelaki Maria lari untuk menyelamatkan diri dan dia juga mencoba untuk kabur, tapi dia terlalu lambat. Bayangan gelombang mengenainya duluan, merambati sebelah belakang tungkainya, kemudian naik ke sepanjang sweter favoritnya, dan kemudian mencapai kepalanya, menghalangi matahari, menggelapkan hari yang 33 A Head Full of Ghosts konon paling indah. Kemudian, Maria ditelan dan dilibas oleh gelombang.” “Apa? Dia meninggal? Kenapa kau bilang begitu? Cerita jelek!” Aku melompat turun dari tempat tidur Marjorie dan bergegas mengambil buku Scarry dari lantai. “Aku tahu.” Marjorie kedengarannya setuju denganku, tapi dia justru kembali tersenyum dan membelalakkan mata. Kakakku kelihatan bangga, seperti baru menyampaikan cerita terhebat sepanjang masa. Aku beringsut kembali ke kasur dan duduk berhadapan dengan Marjorie. “Kenapa kau mengarang cerita seperti tadi?” “Aku tidak mengarang. Yang kuceritakan adalah kejadian sungguhan. Maria dan dua puluh orang lain meninggal dalam banjir molasses di Boston.” “Bukan cerita sungguhan, ah.” “Sungguhan, kok.” “Bukan!” “Sungguhan.” Kami mengulangi tarik-ulur ini sepanjang dua ronde lagi, baru kemudian aku mengalah. “Ya sudah. Siapa yang memberitahumu?” “Tidak ada yang memberitahuku.” “Kau menemukan cerita itu lewat internet, ‘kan? Tidak semua yang kita baca di internet itu benar, kau tahu. Kata guruku—” “Cerita tentang banjir molasses tercantum di internet. Sungguh. Akusudah mengecek. Sebagian besarnya, maksudku, tapi bukan dari situ aku mendengar cerita tersebut.” “Kalau begitu, dari mana?” 34 Paul Tremblay Marjorie mengangkat bahu, kemudian cekikikan, lalu terdiam, dan kemudian mengangkat bahu lagi. “Entahlah. Aku kemarin terbangun dan serta-merta mengetahui cerita itu, seakan-akan sudah lama tersimpan dalam kepalaku. Menurutku, cerita memang kadang-kadang seperti itu. Bahkan kisah sungguhan. Aku tahu yang barusan memang mengenaskan, tragis, bukan cerita yang bagus, tapi aku—aku tidak bisa berhenti memikirkannya, kau tahu? Aku bertanya- tanya bagaimana rasanya berada di sana, bagaimana andaikan. aku adalah Maria, bisa melihat dan mencium serta mendengar dan merasakan macam-macam yang dia rasakan sedetik menjelang gelombang itu menerpanya. Maafkan, aku kurang bisa menjelaskannya, tapi aku cuma ingin memberitahumu, Merry. Aku ingin berbagi cerita tadi denganmu. Oke?” Suara Marjorie menjadi parau, sepertiketika dia sedangmengerjakan PR dan membentakku agar jangan mengganggunya. “Kau tidak keberatan, ‘kan, Nona Merry?” “Tidak, sih.” Aku tak percaya pada Marjorie dan tidak tahu apa sebabnya dia berusaha keras sekali untuk meyakinkanku bahwa dia mendengar cerita itu kali pertama bukan lewat internet. Aku sudah delapan tahun dan bukan lagi bayi yang mudah dikelabui. Sewaktu aku masih kecil sekali, Marjorie kerap memberitahuku bahwa tatanan kamarnya berubah sendiri pada malam hari ketika dia tidur dan Marjorie mengatakan itu dengan amat serius, sambil berpura-pura panik dan takut, sehingga aku kemudian ikut-ikutan panik dan takut, emosiku membuncah dan terancam lepas kendali, tapi kakakku sigap menyetopku tepat sebelum air mataku tertumpah, yakni dengan mengatakan, “Sudah, sudah. Ya 35 A Head Full of Ghosts ampun, aku cuma bercanda. Santai, Merry Monyet.” Aku benci dipanggil “Merry Monyet”. “Eh, coba lihat gambarku.” Marjorie bergeser ke tempatku duduk dan membuka All Around the World, kemudian meletakkannya di pangkuan kami berdua. Buku terbuka di halaman kota Amsterdam, tapi Marjorie telah merusak judulnya dan mengubah huruf-hurufnya sehingga kurang- lebih berbunyi Boston. Marjorie telah membuat gambar tangki raksasa berbentuk tabung yang bagian depannya robek bergerigi serta mencoret-coret seisi kota dengan spidol cokelat. Marjorie juga menggambar anjing-anjing dan kucing-kucing berjas dan berdasi ala Richard Scarry, sedang meronta-ronta untuk membebaskan diri dari molasses yang memerangkap mereka. Molasses mengombak ke atas kereta yang sial, sedangkan para penumpangnya, yang berwajah mirip kucing dan anjing, menjerit ketakutan. Aku ingin menonjok Marjorie, menonjok wajah tololnya yang tersenyum-senyum. Kakakku mengolok-olok aku dan bukuku yang konyol serta cerita-cerita konyol di dalamnya. Meski demikian, aku tetap tak mampu berpaling dari halaman itu. Gambar itu seram dan niscaya membuatku bermimpi buruk, tapi aspeknya yang mengerikan justru memikat. Marjorie berkata, “Lihat. Itu Goldbug,” sambil menunjuk sosok kuning cakar ayam bermata bentuk X yang sedang mengulurkan tangan garisnya keluar dari banjir molasses, untuk menggapai uluran tangan siapa saja yang bersedia menolong. Tapi, tidak ada yang menolongnya. Kututup buku itu. tanpa_berkata-kata. Marjorie memindahkan buku ke pangkuanku dan kemudian mengusap- 36 Paul Tremblay usap punggungku. “Maafkan aku. Mungkin aku seharusnya tidak menceritakan ini kepadamu.” Aku bereaksi cepat, terlalu cepat mengatakan, “Tidak. Ceritakan apa saja padaku. Aku mau mendengar semua ceritamu. Tapi, besok aku minta cerita yang lama, ya. Boleh, ‘kan? Cerita karanganmu?” “Ya, Merry. Aku janji.” Aku pelan-pelan meluncur dari tempat tidur, sengaja berpaling dari Marjorie untuk memandangi dinding dan sekumpulan poster. Aku tidak memperhatikan ketika kali pertama masuk ke kamar, tapi poster-poster itu ditempel sedemikian rupa sehingga bertindihan. Yang tampak hanyalah bagian-bagian tertentu tubuh penyanyi, atlet, dan bintang film: telapak tangan, tungkai, lengan, rambut, sepasang mata. Di tengah-tengah kolase anggota tubuh tersebut, segalanya seolah difokuskan ke satu mulut yang entah sedang tertawa atau menggeram. “Hei, apa pendapatmu tentang poster-poster itu?” Aku sudah muak. Aku kerepotan memegangi kedua buku yang berat bukan main. “Butut,” kataku, berharap komentar itu bakal menyinggung perasaan Marjorie barang sedikit. “Kau tidak boleh bilang apa-apa kepada Ibu ataupun Ayah, karena nanti bisa-bisa keduanya kalut, tapi saat aku bangun, kamarku sudah seperti ini, sumpah, dan sewaktu melihat poster-poster di cermin—” “Diam! Kau tidak lucu!” Aku lari dari kamar Marjorie, tidak ingin dia melihatku menangis.[] 37 BAB 5 TEMAN-TEMANKU BONEKA BINATANG MENJADI pen- jagaku, yang kutempatkan secara strategis di sepenjuru kamar. Aku memutar rumah-rumahan kardusku sehingga kotak surat menghadap ke pintu kamar tidurku. Aku melewatkan sisa akhir pekan itu di dalam rumah-rumahan sambil mengintip lewat celah kotak surat, yakin seyakin-yakinnya bahwa Marjorie bakal kembali untuk minta maaf, atau membuktikan bahwa dia dapat menyelinap masuk kapan pun ingin, atau mencuri bukuku lagi, atau malah melakukan sesuatu yang malah lebih tercela, seperti memasuki rumah-rumahan kardusku untuk menata ulang gambar-gambarku sehingga bertumpuk-tumpuk butut seperti poster-posternya sendiri. Aku lihai membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang malah lebih jelek. Seiring menit demi menit yang berlalu tanpa kedatangan Marjorie ke kamarku, aku semakin gelisah dan paranoid serta yakin dia pasti datang. Maka, kupasang aneka jebakan di dalam kamarku supaya bisa memergokinya. Rasakan, biar dia diomeli oleh Ibu dan Ayah. Mentang-mentang sudah remaja, dia pikir dia berhak marah-marah tiap kali aku mendekati Paul Tremblay kamarnya? Kuambil sabuk dari jubah mandi ungu berbulu yang tak pernah kugunakan dan kuikat ujungnya ke tiang tempat tidur dan kenop pintu. Sabuk itu kulonggarkan sedikit saja sehingga ketika pintu kamarku dibuka, hanya seseorang sekecil aku yang bisa lewat dengan aman dan itu pun sambil menggeliang. Aku juga menyeimbangkan jeriken jus jeruk kosong di atas pintu yang terbuka secelah sehingga menyandar ke kosen. Jika pintu dibuka melebihi bentangan sabuk, jeriken akan jatuh ke lantai atau, lebih bagus lagi, ke kepala si pembuka pintu. Tidak mungkin Marjorie bisa menyelinap masuk tanpa tertahan atau membuat keributan sehingga ketahuan olehku. Aku belum merasa aman seratus persen, jadi aku merakit kamera pengintai pendeteksi gerakan dan komputer laptop dari kotak-kotak sereal. Minggu pagi aku habiskan dengan mengecek latar belakang Nona Marjorie Barrett. Betapa temuanku membuatku mendecak-decakkan lidah. Walaupun Marjorie sudah berjanji untuk memberiku cerita karangan sungguhan keesokan harinya, kali ini akan kubuat dia menunggu. Biar dia yang mendatangi aku. Jadi, aku diam saja di kamarku dan cuma keluar untuk makan dan ke kamar kecil. Masih belum puas, aku membangun menara buku yang fondasinya terdiri dari All Around the World dan Cars and Trucks and Things That Go. Mustahil mengambil salah satu buku itu tanpa merobohkan menara. Aku mencobanya dua kali dan memperoleh memar di paha karena tertimpa buku yang jatuh. 39 A Head Full of Ghosts Ketika aku bangun pada Senin pagi, Marjorie sudah di kamar mandi, sedangkan orangtuaku sedang tergopoh-gopoh dengan berisik dan menggerutu sana-sini di dalam rumah. Aku duduk tegak pelan-pelan dan, dari dadaku, jatuhlah sebuah kertas yang terlipat. Aku menyibakkan selimut dan mengecek kalau-kalau pengamanan telah dibobol. Sabuk jubah mandi masih terikat dan jeriken jus jeruk kosong masih berdiri. Boneka-boneka hewan masih berjaga. Kudamprat mereka karena ketiduran selagi bekerja. Aku mengecek kamera-kamera dan laptopku. Tidak ada apa-apa. Menara bukuku masih utuh, tapi AllAround the World hilang dicuri dan diganti dengan Oh, the Places You'll Go karangan Dr. Seuss. Apa Marjorie menarik buku tersebut begitu saja dan menjejalkan penggantinya tanpa merobohkan menara? Apa kakakku mengambili buku satu-satu dengan sabar dan kemudian membangunnya kembali? Mungkin aku lupa mengembalikan buku tersebut selepas mengerjakan uji ketahanan struktural, tapi tidak, All Around the World memang tidak berada di kamarku. Aku menerjang ke dalam rumah-rumahan kardus dan kemudian membuka kertas terlipat berisi pesan yang Marjorie tinggalkan di dadaku. Betul, pesan itu dari Marjorie dan bukan dari Ibu atau Ayah, meskipun Ayah kadang-kadang jail jika suasana hatinya sedang bagus. Surat tersebut ditulis dengan krayon hijau. Abu mengendap-ndop be dalam Ramaxmu sewakta haw tidur, Merny WMonyet. Sudak 40 Paul Tremblay Bouminggurminggur ink obur malakubarngar sek Kemanin malar, abu memanoet fidungrue sampal Raw membubka, mulut Rectlau dow megap-medar, Welam ini giltnanmu, Mengalinaplak he dalam dengan gambar-gamBar. Pasty aryl Qangar monk lage padabu, yo. Poroknya, tut sajar katahu. Golam sayong, Morgorel] 41 BAB 6 KAMI MENYANTAP MAKAN MALAM di dapur, tidak pernah di ruang makan. Meja makan kami, dilihat dari kondisinya, digunakan bukan untuk makan, melainkan untuk menampung tumpukan cucian bersih yang sudah dilipat dan seharusnya kami bawa naik ke kamar masing-masing untuk disimpan dengan rapi, tapi yang nyatanya kami biarkan begitu saja. Tumpukan pakaian terlipat terus bertambah tinggi hingga tidak stabil, kemudian menciut menjadi gundukan- gundukan kecil berantakan yang terdiri dari kaus kaki dan baju dalam selepas kami memilah-milah pakaian mana yang hendak kami kenakan. Ibu memasak spageti dan mendesah keras-keras, sepertinya ditujukan kepada ayahku yang masih duduk di depan komputer dalam ruang keluarga, berdasarkan kelotak papan ketik yang kami semua dengar. Makan malam sudah siap lima menit lalu. Marjorie dan aku duduk sambil menghadap sepiring penuh pasta yang mengepul-ngepul; pastanya dibumbui saus merah, pastaku dilumuri mentega leleh, merica, dan keju parut nan melimpah. Ibu mengatakan kami baru boleh mulai makan setelah “beliau datang”. Bahwa Paul Tremblay kami tidak makan-makan sepertinya merupakan sebentuk hukuman untuk Ayah, entah kenapa. Aku memegangi perutku, limbung di kursi, dan mengumumkan, “Aku bakal mati kalau tidak makan! Ayo, Yah!” Marjorie duduk terkulai dalam balutan sweter kucel kebesaran. Kakakku berbisik, “Diam, Monyet,” kepadaku, rupanya cukup pelan sehingga hanya aku seorang yang mendengar karena Ibu, yang berdiri tepat di belakang Marjorie, tidak mendampratnya. Ayah berjingkat-jingkat ke dalam dapur dan menurunkan diri ke kursi. Aku selalu tercengang melihat betapa ayahku bisa bergerak dengan teramat luwes dan tenang, padahal beliau seorang pria berbadan besar. “Maaf. Cuma harus mengecek surel. Tidak mendapat balasan dari tempat-tempat yang kuharapkan.” Ayah kehilangan pekerjaan lebih dari setahun lalu. Selulus SMA, beliau mulai bekerja di Barter Brothers, perusahaan pembuat mainan yang berbasis di New England. Pada penghujung masa kerjanya selama sembilan belas tahun, Ayah menjadi penanggung jawab ruang surat korporasi. Barter Brothers sudah kembang kempis selama bertahun- tahun dan beberapa kali Ayah selamat dari PHK massal, tapi ketika perusahaan dijual, beliau tidak selamat dan akhirnya diberhentikan. Beliau belum juga mendapat pekerjaan. Ibu berkata, “Aku yakin mengecek surel bisa ditunda sehabis makan malam.” Beliau luar biasa resah malam ini. Pasti bawaan dari tadi, ketika beliau dan Marjorie pulang entah dari mana. Marjorie lari ke kamarnya di lantai atas 43 A Head Full of Ghosts sebelum pintu depan ditutup. Ibu melemparkan kunci- kunci ke meja dapur dan keluar ke belakang untuk merokok sebanyak tiga batang. Ya, aku menghitungnya. Tiga batang rokok menyiratkan bahwa ada yang tidak beres. Meja dapur kami berbentuk bundar, memiliki warna cokelat muda yang tidak pernah menjadi tren, dan berkaki- kaki goyang goyah seperti anjing tua. Jadi, ketika Ayah menabuh daun meja seperti drum dengan jari-jarinya, piring- piring dan gelas-gelas kami berbenturan disertai bunyi berdenting. Kata Ayah, “Hei, mungkin malam ini sebaiknya kita mengucap syukur.” Ini perkembangan baru. Kupandang Ibu. Beliau memutar- mutar bola mata, merapatkan kursinya semakin dekat ke meja, dan mencaplok roti bawang putih dengan gigitan besar. Marjorie berkata, “Serius, Yah? Mengucap syukur?” Aku bertanya, “Syukur itu apa?” Kata Ibu, “Silakan kau jelaskan.” Ayah tersenyum dan mengusap-usap janggut tipisnya yang berwarna gelap. “Kau tidak ingat? Sudah selama itukah?” Aku mengangkat bahu. “Saat Ayah masih kecil, keluarga kami rutin mengucap syukur di meja makan. Satu orang mewakili yang lainnya untuk menyampaikan terima kasih atas makanan yang terhidang di meja dan atas orang-orang yang berada dalam kehidupan kami. Seperti berdoa, intinya.” Marjorie tertawa kecil dan memutar-mutar garpu sehingga terbelit berlapis-lapis spageti merah. 44 Paul Tremblay “Ini aslinya bukan meja makan, Yah. Ini cuma meja dapur,” kataku, bangga karena dapat menemukan cela dalam penjelasan mengenai syukur. Aku pandai mencari-cari cela. Ibu berkata, “Kenapa sekarang diungkit-ungkit?” Ayah angkat tangan tanda menyerah dan menyampaikan dalih tak meyakinkan sambil gelagapan. “Tidak ada alasan khusus. Tapi, tidak ada salahnya, ‘kan? Memupuk kebiasaan itu dalam keluarga kita pada waktu makan malam sepertinya bagus. Cuma itu.” Kata Ibu, “Yasudah,” dengannadakhasyangmenunjukkan bahwa beliau tidak ingin menyudahi topik tersebut begitu saja. “Tapi, memulai tradisi makan malam yang baru adalah perkara besar. Kita mesti mendiskusikannya nanti, bersama- sama.” Kataku, “Iya, kita bisa mengadakan rapat keluarga mengenai syukur.” Keputusan besar dan tugas-tugas dalam keluarga kami semestinya dibahas dalam rapat keluarga. Namun, kami secara umum hanya menggelar rapat keluarga untuk berbagi kabar buruk, misalkan ketika Kakek meninggal dan anjing kami Maxine harus ditidurkan. Kalau bukan itu, kami mengadakan rapat untuk mengesahkan pekerjaan rumah baru untuk Marjorie dan aku. Dalam rapat keluarga untuk mengesahkan pekerjaan rumah, demokrasi adalah formalitas kosong, sebab Marjorie dan aku semata-mata mendapat kehormatan untuk memilih dari sederet opsi, padahal daftar tersebut tidak pernah memuat apa pun yang betul-betul kami ingin kerjakan, seperti duduk-duduk di sofa, nonton TV, membaca buku, mengarang cerita. Pokoknya, 45 A Head Full of Ghosts rapat tidak pernah berlangsung sesuai dengan keinginan kami. Ayah berkata, “Idemu fantastis, Nona Merry.” Beliau mengisap sehelai spageti panjang dengan suara keras untuk menghiburku. “Menurutku ide itu jelek.” Wajah Marjorie tersembunyi hampir seluruhnya di balik rambutnya yang terurai dan lengan sweternya yang kebesaran. “Kau selalu mengatakan ideku jelek!” kataku, sengaja mencari-cari alasan untuk adu mulut. Aku menepuk-nepuk tungkaiku untuk memastikan bahwa surat pengakuan Marjorie masih tersimpan dalam saku depan celana jinsku. Aku belum sempat menganalisis surat itu dengan laptop kardusku, tapi tidak jadi soal. Aku memiliki bukti tertulis bahwa Marjorie masuk tanpa izin ke kamarku dan mencuri barang-barang. Aku sudah bertekad untuk menggunakannya apabila Marjorie terus-terusan menjahatiku. Kata Ibu, “Tenang, Merry, yang Marjorie maksud bukan kau.” “Jadi, yang manakah yang menurutmu adalah ide jelek, Marjorie? Tolong jelaskan,” ujar Ayah. Kami tahu beliau marah karena beliau kentara sekali berusaha untuk berlagak tidak marah. “Semuanya.” Tbu dan Ayah bertukar pandang dari tempat duduk masing-masing yang berseberangan di balik meja. Marjorie telah berhasil menggerakkan kedua orangtua kami ke dalam satu kubu. “Apa tadi siang ada latihan?” 46 Paul Tremblay “Lihai benar Ayah mengubah topik pembicaraan.” “Apa? Ayah hanya bertanya.” “Aku harus berkonsultasi.” “Oh. Benar juga. Maaf.” Dalam sekejap, Ayah tidak jadi marah. Malahan, beliau seakan menciut di kursinya. “Bagaimana jalannya?” “Asyik sekali.” Marjorie tidak mengubah postur ataupun posisinya, tapi suaranya menjadi pelan dan berjarak, seolah- olah dia hendak jatuh tertidur. Tapi, Marjorie kemudian menoleh kepadaku dan berkata, “Ayah ingin kita mengucap syukur supaya kelak kita semua masuk surga.” Aku menepuk-nepuk surat Marjorie lagi dan mencamkan dalam hati untuk memperketat pengamanan di kamarku. Barangkali aku bisa menaburkan bedak bayi ke lantai di sekitar pintu untuk melacak jejak kaki yang bukan jejakku. Kata Ayah, “Sudahlah. Dengar, Ibu benar, kita bisa membicarakan ini nanti saja—” “Makasih makanannya,” Marjorie berkata, kemudian meraup separuh spageti dari piringnya ke dalam mulut sehingga pipinya meregang dengan kocak karena kepenuhan pasta, tapi tak seorang pun tertawa. Spageti dan saus mengucur dari mulutnya, menetes-netes ke dagunya, sampai ke piring. Ibu dan aku berkata, “Jangan, Marjorie. Jijik,” dan “Ih, amit-amit,” secara berbarengan. “Hei, dengar ya, Ayah selalu berusaha untuk menghormati kalian dan tidak memaksakan iman kepada kalian, jadi—” “Misalkan dengan menyuruh kami mengucap syukur, ya?” 47 A Head Full of Ghosts “‘Jadi, kau juga harus menghormati keimanan Ayah!” Volume suara Ayah meninggi hingga lebih keras daripada tabuhan jemarinya tadi. Ayah memiliki pengeras suara yang tersembunyi di dalam dadanya, yang dapat menggoyang- goyangkan tembok dan mengguncangkan fondasi. Beliau menundukkan kepala dan menikam pastanya. Aku tidak bisa membaca ekspresi Ibu. Biasanya Ibu menegur Ayah apabila berteriak-teriak dan Ayah niscaya cepat-cepat meminta maaf kepada kami semua. Selagi kami semua membisu, Ibu duduk sambil bertopang dagu dan memperhatikan Marjorie. “Eh, Yah, hari ini aku membicarakan surga. Waktu konsultasi.” Marjorie mengelap wajahnya dengan punggung tangan dan lantas berkedip kepadaku. Ayah berhenti mengajakku ke gereja saat umurku empat tahun. Kenanganku mengenai gereja semata-mata berkisar di seputar rasa bosan, bangku-bangku kayu, dan bukit besar di belakang gereja tempat kami berseluncur naik kereta salju. Jadi, surga yang kuketahui merupakan konsep samar menggelisahkan yang hampir seperti main-main belaka, semacam gado-gado kultural membingungkan yang terdiri dari awan gemuk, harpa, malaikat bersayap, sinar mentari keemasan, tangan raksasa yang mungkin adalah milik pria raksasa berjanggut putih panjang lebat bernama Tuhan atau mungkin juga bukan. Surga adalah tempat eksotis yang kadang-kadang dibicarakan oleh anak-anak di sekolahku, untuk menjawab pertanyaan mengenai di mana almarhum nenek-kakek atau binatang piaraan mereka yang sudah mati 48 Paul Tremblay berada. Aku tidak paham surga itu apa, di mana letaknya, apa sebabnya ada surga, dan juga tidak ingin tahu. Marjorie menanyai Ayah, “Boleh aku menyampaikan pertanyaanku kepada Dokter Hamilton tadi kepada Ayah?” “Silakan.” Ayah menggeser-geser makanan di piringnya seperti anak kecil yang sedang merajuk karena habis diomeli. “Ayah percaya ada surga, ‘kan?” “Ya, sangat percaya, Marjorie, dan—” “Tunggu sebentar. Bukan itu pertanyaanku. Nah, apa Ayah percaya bahwa di surga nanti, kita bisa bertemu hantu atau roh orang-orang terkasih, yang sudah menanti untuk berbagi keabadian bersama kita?” “Ya, tapi” Marjorie berkata, “Tunggu,” dan kemudian cekikikan. “Aku belum menyampaikan pertanyaanku. Dari mana kita tahu pasti bahwa di surga nanti, hantu-hantu orang terkasih kita memang nyata?” “Ayah kurang paham maksud pertanyaanmu.” “Pertanyaanku, dari mana Ayah tahu bahwa Ayah betul- betul berbicara kepada hantu Kakek, misalkan, dan bukan setan yang cuma menyaru sebagai Kakek? Bagaimana kalau setan itu mampu menyamar sebagai Kakek dengan sempurna? Seram, ‘kan? Bayangkan saja: Ayah berada di surga bersama orang yang Ayah kira adalah Kakek. Rupa hantu itu seperti Kakek, bicaranya seperti Kakek, tindak-tanduknya seperti Kakek, tapi bagaimana bisa Ayah mengetahui dengan pasti bahwa dia betul-betul Kakek? Lalu, semakin lama waktu berlalu, semakin Ayah tidak yakin. Ayah tidak pernah bisa meyakini, seratus persen, bahwa hantu-hantu di sekitar 49 A Head Full of Ghosts Ayah bukan setan yang menyamar. Jadi, roh Ayah yang malang dilanda keraguan selama-lamanya, takut kalau-kalau suatu saat di keabadian mimik muka Kakek berubah secara mendadak, menjadi mengerikan, saat beliau memeluk Ayah.” Marjorie bangkit sambil memegangi segelas air ke dadanya. Dagunya merah terkena saus spageti. Di seputar meja kecil bundar, aku memandangi Ibu dan Ayah saat keduanya saling pandang seolah tidak mengenali siapa-siapa. Tak seorang pun berkata-kata. Marjorie keluar pelan-pelan dari dapur. Kami men- dengarkan bunyi tapak kakinya, langkahnya menuju bagian rumah yang lebih dalam dan kemudian ke lantai atas ke kamarnya sendiri, lalu kami mendengar bunyi pintu yang ditutup.[] 50 BAB 7 IKLAN DISTRIBUTOR MOBIL LOKAL membangunkanku pada pukul 23.30. Seseorang meneriakkan: Ingin harga murah? Datangi pusat penjualan mobil kami, sekarang juga! Aku menyelipkan radio bekerku ke bawah bantal supaya orangtuaku tidak mendengarnya sewaktu berbunyi. Lampu koridor dan kamar mandi tidak menyala. Dengan kata lain, orangtuaku sudah mematikannya dan telah pergi tidur. Kamar mereka terletak di seberang kamar Marjorie dan pintunya tertutup. Selepas kamar-kamar itu, di ujung koridor, terdapat teras dalam yang jendelanya bebercak-bercak berkat pancaran lampu jalanan. Lantai koridor dingin di bawah kaki telanjangku, jadi aku berjalan sambil bertumpu ke tumit dan melengkungkan jari- jariku ke atas. Aku tidak repot-repot membawa serta buku Scarry. Pintu kamar Marjorie terbuka secelah dan, dari dalam, tertumpahlah musik ambient lirih dan cahaya lembut. Aku tidak mengetuk. Kudorong pintu megah itu pelan-pelan. Kata Marjorie, “Tutup pintu, tapi jangan ribut.” Aku menutup pintu sesuai perintah, memutar kenopnya sehati-hati seorang pembobol brankas. A Head Full of Ghosts Cuma lampu baca remang-remang yang menyala, menyorot tempat tidur Marjorie. Aku harus memicingkan mata dan berkedip-kedip sampai mataku menyesuaikan diri. “Cepat, katakan padaku. Menurutmu, apakah kamarku sama seperti kali terakhir kau ke sini atau sudah berubah?” Aku menengok ke sana kemari dengan hati-hati. Yang kumaksud dengan “hati-hati” adalah, aku tidak meme- lotot karena takut melihat terlalu lama, takut terlalu mem- perhatikan, takut menyaksikan formasi poster beserta anggota-anggota badan tumpang-tindih dan mulut serta gigi di tengah-tengah. Kataku, “Masih sama.” “Mungkin memang masih sama. Aku sendiri tidak tahu. Mungkin kamar ini berubah sewaktu kau pergi. Mungkin kemarin karpet dan tempat tidurku menclok di langit-langit. Mungkin kamarku berubah terus-menerus, tapi kemudian berubah persis seperti kali terakhir kau ke sini tepat sebelum kau masuk barusan. Mungkin kamarmu seperti kamarku dan terus-menerus berubah juga, tapi diam-diam, jadi kau tidak memperhatikan.” “Hentikan. Aku kembali ke kamarku saja kalau bicaramu seperti ini terus.” Marjorie duduk di kasurnya sambil memangku sebuah buku yang terbuka. Dia masih mengenakan sweter, sedangkan dagunya masih merah bekas saus spageti. Rambutnya gelap, lepek, dan berat menjuntai, membebani kepalanya. Kata Marjorie, “Ayolah, aku cuma menggodamu. Duduklah di sebelahku, Merry. Aku sudah menyiapkan cerita baru untukmu.” 52 Paul Tremblay Aku duduk dengan patuh di samping kakakku dan berkata, “Aku tidak suka suratmu, tahu.” Membayangkan Marjorie mengendap-endap ke dalam kamarku dan memencet hidungku selagi aku tidur, aku jadi takut. Kemudian aku membayangkan berbuat serupa pada Marjorie dan justru berdebar-debar kegirangan karenanya. “Kau tidak boleh lagi masuk tanpa izin ke kamarku. Kalau kau menyelinap ke kamarku lagi, akan kuberi tahu Ibu. Akan kutunjukkan suratmu.” Aku merasa berani saat mengatakan semua itu dan keberanian itu membuat dadaku membusung sekaligus meringankan kepalaku. “Maaf. Aku tidak bisa menjanjikan itu.” Marjorie mendadak menelengkan kepala dari kanan ke kiri, seperti sedang memasang kuping kalau-kalau orangtua kami keluar dari kamar dan melangkahkan kaki ke koridor. “Tidak adil.” “Aku tahu. Tapi, aku punya cerita baru untukmu.” Marjorie membuka buku di pangkuannya. Itu bukuku, tentu saja, buku yang dia curi dari kamarku: All Around the World. Dia membuka buku ke halaman bergambar kartun New York City. Bangunan-bangunannya berwarna merah bata dan biru laut, bersesak-sesakan di halaman, saling sikut untuk memperebutkan ruang yang berharga. Jalan dan trotoar, orang-orang di jalan dan trotoar, telah tercoreng-moreng— ditimpa benang kusut hijau di mana-mana. Marjorie pasti menggunakan krayon hijau seperti yang dia gunakan sewaktu menulis surat untukku. Kakakku berkata, “New York City adalah kota terbesar di dunia, ‘kan? Ketika yang tumbuh,” Marjorie terdiam 53 A Head Full of Ghosts sejenak dan menelusurkan tangan ke coretan hijau yang dia gambar di bukuku, “mulai tumbuh di sana, berarti mereka bisa tumbuh di mana saja. Mereka menguasai Central Park, menyembul keluar dari jalan setapak semen serta menyerap habis air mancur dan kolam-kolam di taman tersebut. Semua ini tumbuh membesar begitu saja, mendesak rumput- rumput dan pohon-pohon serta kotak-kotak bunga di birai jendela apartemen sampai semuanya mati, dan kemudian memenuhi jalanan. Ketika orang-orang mencoba memangkas yang tumbuh, pertumbuhannya justru makin cepat. Orang- orang tidak tahu bagaimana atau kenapa ini semua tumbuh. Di bawah jalan, di gorong-gorong, tidak terdapat tanah, kau tahu, tapi semua ini tetap saja tumbuh. Sulur-sulur rambat dan anak buluh menerobos jendela dan bangunan sampai rusak, lalu sejumlah orang mulai memanjati yang tumbuh supaya bisa membobol masuk ke apartemen dan mencuri makanan, uang, TV HD, tapi dalam waktu singkat, kota menjadi kepenuhan untuk orang-orang, untuk segalanya, dan bangunan-bangunan menjadi keropos dan roboh. Yang tumbuh terus tumbuh dengan cepat di kota itu, bertambah panjang kira-kira tiga puluh sentimeter per jam. Di tempat- tempat lain juga sama.” Marjorie panjang lebar bercerita bahwa di daerah suburban, yang tumbuh mencaplok halaman-halaman apik dan taman-taman dan pelataran di rumah semua orang serta menggerogoti trotoar. Di pedesaan serta di ladang, yang tumbuh menggasak lahan jagung, gandum, kedelai, dan semua tanaman budidaya lain. Yang tumbuh tidak bisa dihentikan pertumbuhannya, maka orang- orang lantas mengguyurkan dan menyemprotkan bergalon- 54 Paul Tremblay galon herbisida, tapi yang tumbuh tetap saja tidak mati- mati. Orang-orang segera saja menjadi putus asa dan lantas menuangkan berbotol-botol cairan pembersih toilet, soda api, dan pemutih. Tak satu pun ampuh membasmi yang tumbuh. Bahan-bahan kimia beracun tersebut justru merembes ke air tanah dan meracuni segalanya. Aku sedang merunut benang kusut hijau di halaman New York City, kepalaku sibuk membayangkan sulur-sulur yang mengular beserta daun-daun dan duri-duri, ketika aku tersadar bahwa Marjorie telah berhenti berbicara dan tengah menatapku. “Masih ada kelanjutannya. Coba tanya aku.” Aku tahu Marjorie ingin aku menanyakan apa. Kusambar pancingannya. “Bagaimana dengan kita? Bagaimana supaya kita bisa mengalahkan yang tumbuh?” Marjorie menutup buku dan mematikan lampu baca di sandaran tempat tidurnya. Suasana teramat gelap gulita sehingga kami seakan-akan hanya berdua di dalam kamar. Tapi, mungkin juga tidak, sebab mata dan paru-paru serta pundakku terasa berat seperti terimpit sesuatu. Marjorie mendorong kepalaku ke pangkuannya. Kakinya berbau keringat dan dia mengusap-usap rambutku dengan kasar, jemarinya mengelus helai-helai rambutku yang sesekali tersangkut cincin kristalnya. Tiap kali rambutku tersangkut, Marjorie semata-mata menjambak rambutku supaya jemari- nya terlepas. Katanya, “Menjelang akhir, yang tertinggal hanyalah dua anak perempuan yang menghuni rumah kecil di puncak. gunung. Rumah itu persis seperti rumah-rumahan kardus 55 A Head Full of Ghosts di kamarmu. Kedua anak perempuan itu bernama Marjorie dan Merry. Mereka tinggal bersama ayah mereka. Ibu mereka menghilang sewaktu pergi belanja berminggu-minggu sebelumnya, ketika yang tumbuh mulai menyerang kota mereka. “Makanan yang mereka miliki sudah tidak cukup, sedangkan ayah mereka sudah tidak beres. Hari demi hari, sang ayah melewatkan waktu dengan mengundi diri di dalam kamar. Marjorie yang malang juga tidak beres. Dia sakit. Kurang gizi. Dehidrasi. Dia mendengar suara berbisik-bisik yang menyuruhnya berbuat macam-macam. Supaya baikan, dia diam saja di kasur dan berusaha untuk tidur, tapi sia-sia saja. Cuma Merry kecil pemberani yang masih sehat jasmani- rohani. “Pada hari terakhir, ayah mereka meninggalkan rumah untuk mencari makanan. Sang ayah melarang Merry membukakan pintu depan apa pun alasannya, juga melarangnya masuk ke ruang bawah tanah. Seiring jam demi jam yang berlalu, Merry tidak tahu mesti berbuat apa karena Marjorie batuk-batuk terus dan mengerang-erang serta berkomat-kamit tidak jelas. Dia membutuhkan makanan, air, sesuatu. Oleh sebab itu, Merry turun ke ruang bawah tanah, siapa tahu di sana tersimpan persediaan makanan rahasia yang terlupa. Namun, dia justru mendapati bahwa pucuk yang tumbuh sudah menyembul dari lantai tanah. Dia menyaksikan yang tumbuh bertumbuh, terus dan terus. Selagi yang tumbuh. meliuk-liuk ke atas, sebuah bentuk besar meruyak dari tanah dan menggelendot dari sulur seperti boneka rusak. Ternyata itu adalah jasad ibu mereka. Saat itulah Merry menyadari 56 Paul Tremblay sebuah kebenaran mencekam, yakni bahwa ayah mereka telah meracuni dan mengubur ibu mereka di ruang bawah tanah, dan juga meracuni Marjorie pelan-pelan. Itulah satu-satunya penjelasan mengapa Marjorie sakit. Ayah mereka telah meracuni Marjorie, sedangkan Merry akan menjadi korban berikutnya. “Merry lari dari ruang bawah tanah dan menuju lantai atas untuk mendatangi Marjorie dan merangkak naik ke kasur di sampingnya. Yang tumbuh kemudian merekah dari lantai dapur dan merajalela ke seisi rumah, menjadikan semuanya hijau. Rumah-rumahan kardus kecil di gunung berderit- derit dan mendecit karena terdesak oleh yang tumbuh, yang meretakkan lantai dan tembok serta langit-langit. Kemudian, terdengarlah ketukan keras di pintu depan rumah mereka.” Marjorie terdiam dan mengetuk kepalaku dengan lembut namun berkali-kali. Tidak terlalu keras sehingga tidak sakit, tapi masih cukup keras sehingga aku merasa seolah-olah dia tengah mengetuk-ngetuk bagian dalam kepalaku. “Merry berusaha mengabaikan ketukan di pintu. Dia justru mengajukan dua pertanyaan kepada Marjorie: ‘Apa yang harus kita lakukan kalau bukan Ayah yang berada di depan pintu? Tapi kalau ya, apa yang harus kita lakukan?” Aku duduk tegak dan berguling meninggalkan pangkuan Marjorie, menjatuhkan diri ke lantai hingga lututku terbentur. Benturan itu keras sampai-sampai gigiku bergemeletuk. Aku berdiri terhuyung-huyung, mataku yang berkaca-kaca terasa perih. Aku hendak meneriakkan kau kakak yang jahat dan aku benci kau! 57 A Head Full of Ghosts Tapi, Marjorie lantas berkata, “Aku sedang tidak sehat, Merry. Aku tidak bermaksud menakut-nakutimu. Maafkan aku,” dengan suara tersendat. Ditutupinya wajah dengan tangan. Aku berkata, “Tidak apa-apa. Tapi, kalau kau sakit, lama- lama kau pasti sembuh, ‘kan? Kemudian kita bisa membuat cerita yang biasa, seperti dulu. Pasti asyik deh.” “Ya, tapi kau harus mengingat cerita tentang dua kakak- beradik barusan. Kau harus mengingat semua ceritaku karena—karena cerita-ceritaku seperti hantu yang memenuhi kepalaku dan aku sedang berusaha mengeluarkannya, tapi kau terutama harus mengingat-ingat cerita tentang dua kakak-beradik itu, ya? Harus. Tolong katakan, ‘Ya’.” Marjorie hanya berupa bayangan di tempat tidurnya. Dia bisa saja salah dikira sebagai gundukan selimut yang terbelit- belit dan dicampakkan. Aku tidak bisa melihat mata kakakku ataupun dagunya yang bernoda saus spageti. Ketika aku tidak menjawab, Marjorie menjerit seperti mendapat serangan; saking nyaringnya, aku terlompat dari Jantai dan terempas ke belakang. “Bilang, ‘Ya’, Merry! Ayo, katakan!” Aku diam seribu bahasa. Lalu, aku kabur dari kamarnya.[] 58 BAB 8 AKU INGIN MENJADI PEMAIN sepak bola seperti Marjorie, hanya saja lebih jago. Kaki Marjorie bagus; itu istilah Ayah, yang berarti bahwa dia bisa menendang bola keras-keras dan jauh-jauh. Kakiku juga bagus—dua-duanya, malah. Aku gesit dan cepat serta sudah bisa menggocek bola melewati pemain- pemain yang lebih tua daripada aku. Marjorie adalah sweeper di tim kelas sembilan, posisi yang kedengarannya sangat keren. Aku sejatinya tidak memahami makna posisi itu, semata-mata menangkap bahwa dia adalah pemain belakang istimewa atau paling penting. Tapi, aku tidak ingin menjadi sweeper. Karena aku ingin mencetak gol, aku niscaya cemberut jika pelatih menyuruhku memperkuat pertahanan. Kami datang lebih awal untuk latihan, maka Ibu menyuruh aku menunggu di mobil bersamanya sampai pelatih datang. Sambil memangku bola sepak biru sewarna telur burung robin, aku membuka mata lebar-lebar untuk memantau kemunculan baju jingga pelatih. Ibu menurunkan kaca jendela setengah dan menyalakan rokok. Merokok tidak diperbolehkan di dekat lapangan. A Head Full of Ghosts “Kenapa bukan Ayah yang mengantar aku latihan?” Aku tahu pertanyaan itu akan mengesalkan Ibu, tapi aku marah karena beliau mengucir rambutku ke belakang padahal aku ingin mengurainya. Aku suka apabila rambutku berkibar- kibar ke belakang sewaktu aku berlari, seperti ekor layangan. “Apa, kau tidak ingin Ibu ke sini? Wah, baik benar.” “Bukan. Aku ingin Ibu ke sini. Cuma bertanya.” “Ayah menemani Marjorie ke konsultasinya.” “Bukankah biasanya Ibu yang menemani Marjorie?” “Ya. Tapi, konsultasi terakhir berjalan kurang lancar. Menurut dokter, mungkin ada bagusnya jika Ibu dan Ayah bertukar tugas.” “Kurang lancar kenapa?” Ibu mendesah dan, alih-alih mengembuskan asap dengan lihai dari samping mulutnya ke jendela yang terbuka, asap rokok mengepul ke dalam dan mengeruhkan mobil. “Tidak kenapa-kenapa, Sayang, sungguh. Hanya saja, hari ini giliran Ayah untuk menemani kakakmu.” Ibu berbohong. Kentara sekali, sampai-sampai nyaris terkesan kocak. Bahwa Ibu menyembunyikan entah apa dariku justru membebaskanku untuk membayangkan segala ragam skenario horor di tempat praktik dokter. Bukan berarti aku mengetahui dokter apa yang Ibu maksud. Bukan berarti aku tahu bahwa dokter itu macam-macam. Bagiku yang masih kelas dua SD, dokter ya dokter; seseorang yang menyembuhkan orang sakit. Namun, aku mafhum penyakit Marjorie serius dan aku khawatir jangan-jangan dia menderita kanker atau penyakit lain yang namanya tidak dapat kulafalkan. Aku tidak mau punya anak, tapi andaikan aku sekonyong-konyong 60 Paul Tremblay dikutuk untuk menjadi seorang ibu, aku bersumpah dari lubuk hatiku yang terdalam untuk menjawab pertanyaan apa saja yang diajukan oleh anakku, memberitahukan segalanya kepada anakku, dan tidak menutup-nutupi detail sekecil apa pun yang mungkin tidak enak didengar. Dalam rangka mengorek informasi yang tidak bisa dipancing, kukeluarkan senjataku satu-satunya. “Bu, Marjorie bertingkah aneh akhir-akhir ini.” “Oh, ya? Aneh bagaimana?” Aku ingin menangis gara-gara menyeletuk. Ini lebih tercela daripada sekadar mengadu. Ini sama saja seperti mengkhianati kakakku yang, rupanya, sedang sakit parah. Tapi karena sudah telanjur dan aku tidak bisa menyembunyikannya lagi, aku buka mulut dan mencurahkan segalanya. Aku memberi tahu Ibu bahwa Marjorie masuk diam-diam ke kamarku pada malam hari, mengambil buku, meninggalkan pesan untukku, membuat cerita tentang banjir molasses dan yang tumbuh, serta perkataannya bahwa kepalanya dipenuhi hantu. Aku melebih-lebihkan cerita mengenai yang tumbuh, memberi tahu Ibu bahwa Marjorie mengatakan sulur-sulur mulai tumbuh di lapangan sepak bola sini selagi aku berlatih dan bahwa kami semua akan ditelan bulat-bulat oleh pertumbuhannya. Ibu memijat-mijat keningnya dengan satu tangan dan kemudian memasukkan rokok ke mulut dengan tangannya yang sebelah. “Terima kasih sudah memberitahukan ini kepada Ibu, Merry. Tolong beri tahu Ibu semua yang Marjorie Jakukan kalau kesannya ... bagaimana ya ... kalau kesannya aneh. Oke? Demi kebaikan kita sendiri. Demi kebaikan 61 A Head Full of Ghosts Marjorie sendiri.” Ibu geleng-geleng kepala dan kembali mengembuskan asap. “Marjorie tidak sepatutnya menakut- nakutimu seperti itu.” “Aku tidak takut, Bu.” Ibu membuka konsol tengah dan mengeluarkan buku merah yang kira-kira seukuran tangan beliau. Sebuah pulpen terselip rapi di dalam buku, lalu Ibu cepat-cepat menuliskan catatan di sana. “Oooh! Boleh aku pinjam?” Aku menggapai notes merah itu dan Ibu serta-merta menjauhkannya dariku. “Merry, jangan main ambil! Perlu Ibu nasihati berapa kali lagi?” “Maaf.” “Ibu minta maaf sudah membentakmu. Tapi, notes ini tidak boleh kau ambil. Jadi, begini, Dokter Hamilton menyuruh Ibu untuk mencatat apa-apa saja yang terjadi di rumah.” Ibu pasti melihat ekspresi remuk redam di wajahku, sebab beliau lantas memegangi pundakku sambil berkata, “Bukan salahmu bahwa Marjorie bersikap tidak biasa. Jangan berpikir begitu, ya.” Aku tidak pernah berpikir bahwa aku turut bersalah, tapi setelah Ibu mengatakan itu, aku menjadi panik. Aku mencengkeram kerah baju Ibu dan bergeser dari kursiku, supaya lebih dekat dengan beliau. Aku hendak menyampaikan kepada Ibu bahwa Marjorie tidak nakal, bahwa aku telah membesar-besarkan bualannya yang bombastis, bahwa aku menyukai cerita-cerita Marjorie dan malah ingin mendengar lebih banyak lagi kisahnya, dan bahwa aku bahkan ingin mengarang cerita sendiri, Namun, aku justru berkata, “Tolong 62 Paul Tremblay jangan bilang Marjorie bahwa aku memberi tahu Ibu, ya. Ya, ya, ya? Jangan ya, Bu.” “Tidak akan, Manis. Ibu janji.” Janji Ibu tidak sungguh- sungguh. Pernyataan tersebut semata-mata keluar secara otomatis. Aku kembali duduk bersandar, masih sangat penasaran akan apa yang sebenarnya terjadi. “Pokoknya, aku men- cemaskan Marjorie, meskipun Ibu tidak.” Ibu tersenyum dan mematikan rokoknya. “Oh, tentu saja Ibu cemas, Merry. Ibu sangat cemas. Tapi, Marjorie mendapatkan pertolongan dan kita semua pasti bisa melalui cobaan ini. Ibu janji. Sementara itu, berbaik-baiklah pada kakakmu. Maklumilah dia. Marjorie sedang ... sedang kebingungan. Bingung karena berbagai hal. Apa kau mengerti maksud Ibu?” Aku tidak mengerti. Tapi aku mengangguk mengiakan cepat sekali, sampai-sampai karet pengikat rambutku nyaris terlepas. Kami tidak berkata-kata lagi sampai mobil merah kecil pelatih menepi ke tempat parkir. Mobil itu sepertinya cocok untuk tempat sembunyi Goldbug. “Itu dia pelatihmu. Oke, selamat bersenang-senang dan dengarkan kata pelatihmu.” “Bu, sebelum aku keluar, Ibu harus memberiku kiat-kiat latihan seperti Ayah.” “Ayahmu biasanya bilang apa?’ “Tendang bola kuat-kuat. Tegakkan kepala. Dan Ayah bilang, kecepatan tidak bisa dipelajari.” Ibu tertawa. “Apa pula artinya?” 63 A Head Full of Ghosts “Maksud Ayah aku cepat dari sananya, barangkali? Entahlah!” Aku ikut tertawa, tapi cekakakku kalut dan dipaksakan. “Oke. Pergilah. Semoga latihanmu menyenangkan, Manis.” Ibu mengecup dahiku dan diam saja di mobil. Aku berlari- lari kecil ke lapangan dan menghampiri segerombolan rekan setimku. Olivia, pemain terjangkung dan paling pirang di tim kami, menunjukaku, mengangkat hidung, dan berkata, “Iiih, si Merry bau asap.” Pelatih menegurnya supaya bersikap ramah. Saat kami berhadapan satu lawan satu, aku menendang kaki Olivia tepat di atas pelindung tulang keringnya. Dia jatuh ke rumput sambil menjerit-jerit dan memegangi tungkainya. Rekan-rekan satu timku meneriakkan namaku, memohon agar aku mengoperkan bola kepada mereka. Aku tidak mau. Aku menggocek bola melewati Olivia yang mengerang-erang dan menggeliang-geliut, secepat-cepatnya, karena kecepatan tidak bisa dipelajari.[] 64 BAB 9 AKU DUDUK TEGAK DI tempat tidur. Aku hanya tahu bahwa aku sedang berada di rumah, yang gelap dan lapang, dan bahwa Marjorie juga berada di rumah yang sama, mungkin sedang tersesat, mungkin sedang bersembunyi, dan dia menjerit-jerit. Aku heran Marjorie tidak berada tepat di sebelahku sambil membentuk corong di seputar mulutnya, sebab jeritannya luar biasa nyaring. Marjorie mengeluarkan jeritan yang tiada duanya, baik sebelum itu maupun sesudahnya. Jeritannya melengking tak terkendali, nadanya naik-turun tapi senantiasa memekakkan, seperti harmoni sumbang banyak suara yang meninggi ke volume maksimal dan lantas pecah berkeping-keping karena melampaui batas, alhasil menghamburkan kegaduhan ke segala penjuru. Suaranya yang sember berubah-ubah terus sehingga memusingkan sekaligus menghipnotis pendengar. Aku menyelinap ke luar pintu kamarku yang terbuka secelah, berhati-hati supaya tidak mengaktifkan perangkat pengamananku. Di koridor, suara nyaring Marjorie bergema bagaikan kumandang organ pipa. Orangtuaku keluar dari A Head Full of Ghosts kamar mereka sambil meneriakkan nama Marjorie dan menyeberangi koridor sembari merapatkan jubah tidur yang menolak untuk menutup. Walaupun sedang takut, aku ingat merasa marah pada mereka, karena lebih menyerupai karikatur orang dewasa mengantuk yang kelimpungan alih- alih orangtua nan andal. Mana bisa mereka melindungi Marjorie dan aku? Mana bisa mereka melindungi keselamatan kami? Ibu melihatku dan sontak menunjuk, membuatku me- matung di ujung koridor, dan kemudian berteriak, “Kembali ke tempat tidurmu! Ibu ke sana sebentar lagi!” Aku tidak kembali ke kamar dan justru bergelung bagaikan bola di lantai koridor. Aku berjanji dalam hati kepada Marjorie. Aku berjanji dia boleh memberitahuku segala macam cerita aneh sinting yang menakutkan dan menjijikkan, sesuka hatinya, dan aku tak akan memberi tahu Ibu, asalkan dia berhenti menjerit. Ayah menggedor-gedor pintu dan memutar kenop. Pintu terus tertutup rapat dan Ayah memanggil-manggil Marjorie, tapi seruan beliau pelan. Tidak mungkin Marjorie bisa mendengar seruan ayahku. Ibu merapat ke belakang Ayah dan ikut memanggil-manggil Marjorie, menggunakan kata-kata seperti Sayang dan Manis, merayu kakakku seperti hendak mengelabuinya supaya mau makan brokoli. Mereka tidak tahu mesti berbuat apa, mesti mengambil tindakan apa. Orangtuaku takut juga. Mungkin malah lebih takut daripada aku. Ayah akhirnya berhasil mendobrak pintu dan, serta- merta, orangtuaku yang bergandengan ketumpahan cahaya 66 Paul Tremblay terang keemasan dari kamar Marjorie. Dalam sekejap, volume keributan bertambah kencang sampai-sampai kepalaku serasa mau pecah. Kucoba untuk menghalau bunyi itu dengan kedua tangan yang kutangkupkan ke telinga, tapi sia-sia, sebab penggalan-penggalannya tetap saja menerobos masuk. Gebrakan bertubi-tubi di tembok atau lantai, atau kedua-duanya, berpadu dengan jeritan Marjorie dan semua bergema serta berlipat ganda hingga segalanya berdentum- dentum, menggebrak, berbenturan, menjerit-jerit, dan aku bisa mendengar dan merasakannya sampai ke organ-organ. dalamku. Ayah berteriak, “Ya Tuhan, Marjorie! Hentikan!” dan menghilang ke dalam kamar kakakku. Ibu bertahan di ambang pintu dan meneriakkan segala macam instruksi patah-patah yang ditujukan kepada Ayah. “Jangan! Tenang! Yang lembut! John! Pelan-pelan! Jangan sentuh dia! Biarkan dia tenang dulu! Dia tidak sadar sedang melakukan apa!” Aku merangkaki koridor ke arah kamar Marjorie, telapak tangan dan lututku yang telanjang mengumpulkan kotoran serta debu dari lantai kayu keras yang sudah berminggu- minggu tidak disapu. Gebrakan terhenti. Marjorie masih menjerit-jerit dan histeris, tapi dia sudah lumayan tenang sehingga aku dapat menangkap perkataan semua orang. Marjorie berteriak, “Keluarkan mereka dari kepalaku!” Ayah: “Tidak apa-apa. Kau—kau cuma bermimpi buruk.” “Mereka tua renta. Aku tidak bisa tidur gara-gara mereka. Mereka mendekam terus di dalam kepalaku.” 67 A Head Full of Ghosts Ibu: “Oh, Marjorie. Ibu dan Ayah di sini. Semuanya akan baik-baik saja.” “Mereka selalu di dalam sini. Jumlahnya terlalu banyak.” Ayah: “Ssst, di sini tidak ada siapa-siapa. Cuma ada kita.” “Aku tidak bisa kabur dari mereka.” Aku sudah setengah jalan menuju kamarnya. Marjorie tidak menjerit-jerit lagi. Dia kedengaran tenang, berjarak; berbicara dengan nada normal khas seorang remaja yang malas menjawab pertanyaan menyebalkan dari orangtua. Orangtuaku semakin ribut, semakin putus asa. Ibu: “Sayang, Ibu mohon. Turunlah!” “Kita tidak bisa kabur dari mereka.” Ayah: “Marjorie, turun! Sekarang!” Kemudian Ibu membentak Ayah karena membentak-ben- tak Marjorie, sedangkan Ayah membentak Marjorie supaya jangan banyak tingkah, sementara Marjorie mulai menjerit- jerit lagi kepada mereka, lalu semua orang menjerit-jerit, dan kukira jeritan itu tak akan pernah berhenti. Aku melompat kodok ke ambang pintu, masih mem- pertahankan posisiku yang berjongkok di lantai. Dan ketika aku mendongak dan melihat Marjorie, aku mulai menjerit juga. Keesokan paginya, Ibu memberitahuku bahwa Marjorie tak akan mengingat kejadian semalam sama sekali karena dia tidur sambil berjalan atau apalah. Dan ketika aku menanyai beliau mengenai lubang-lubang di dinding, Ibu mencoba melucu dengan mengatakan, “Ya, Marjorie tidur sambil meninju juga.” Aku tidak paham lucunya di mana. Ibu menjelaskan bahwa Marjorie berhalusinasi, yang mirip- 68 Paul Tremblay mirip seperti mimpi buruk, tapi lebih dahsyat dan teramat menakutkan sehingga tubuh kita terkesan sedang bangun di mata semua orang tapi kita sendiri sebenarnya tidak sadar. Saking takutnya Marjorie, dia meninju plester dinding sampai berlubang-lubang, barangkali dalam rangka menyingkirkan entah apa yang dia mimpikan. Ibu meyakinkanku bahwa Marjorie memiliki tenaga mencukupi untuk meninju tembok sampai berlubang, apalagi plester di lantai dua yang sudah lama dan keropos memang kurang kuat. Aku semestinya terhibur mendengar penjelasan Ibu, tapi aku tetap tidak bisa memahami apa sesungguhnya halusinasi itu, dan aku juga waswas karena dinding rumah kami ternyata sedemikian Jemah. Rumah macam apa yang temboknya keropos? Malam itu, selagi berdiri diambang pintu kamar Marjorie, ketikaakubelum tahu apa-apa mengenaihalusinasi dan plester Jama, aku melihat Marjorie menempel ke tembok seperti laba- laba. Kolase poster-posternya yang berbentuk bundar, koleksi anggota badan nan mengilap yang terpampang di dinding, merupakan sebuah sarang dan Marjorie hinggap di tengah- tengahnya. Lengan dan tungkainya terentang, sedangkan tangan dan kaki beserta pergelangannya menancap ke dinding seolah dirinya tengah terserap pelan-pelan ke dalam rumah. Marjorie meronta dan menggeliang-geliut di tempat, kakinya paling tidak berjarak setinggi badanku dari lantai. Ayah harus mendongak dan menarik-narik sweter Marjorie, mendesaknya supaya bangun dan turun dari dinding. Kepala Marjorie dipalingkan ke arah kami. Aku tidak bisa melihat bagian samping wajah kakakku karena rambutnya menjuntai ke mana-mana. Marjorie berteriak, “Aku tidak mau 69 A Head Full of Ghosts mendengarkan mereka lagi! Aku tidak mau mendengarkan siapa-siapa lagi! Persetan semuanya! Persetan!” Ibu memegangi tanganku dan menuntunku kembali ke kamar. Beliau mengucapkan ssst terus selagi kami menyusuri koridor sampai ke ujung, kegaduhan dari kamar Marjorie kian lama kian lirih. Ibu membuka paksa pintu kamarku sehingga terlepaslah ikatan sabukku dari kenop, membuatnya terkulai ke lantai seperti sulur mati berbulu. Jeriken plastik jus jeruk terguling dari atas pintu dan terpental dari kepala Ibu. Beliau mengusap dahi sambil lalu dan menendang jeriken itu ke lemariku yang terbuka. Aku mencoba menjelaskan apa tepatnya yang baru menimpa kepala beliau, tapi Ibu mengucapkan ssst lagi dan menggiringku ke kasur. Ibu berbaring di sebelahku. Aku menangis histeris dan berkali-kali menanyakan Marjorie kenapa. Ibu memijat-mijat keningnya dan membohongiku, mengatakan semua akan baik-baik saja. Aku memunggungi Ibu, tapi beliau tetap memelukku erat-erat, membelitkan lengan serta tungkainya ke tubuhku. Aku menggeliang-geliut, berusaha untuk membebaskan diri sekalipun tidak tahu hendak ke mana kalaupun aku berhasil kabur. Ibu menyenandungkan ninabobo ke belakang kepalaku. Jeritan Marjorie dan Ayah kini menyerupai musik latar film horor yang tidak seru dan, entah bagaimana, pada akhirnya, sirna sudah jeritan dan teriakan dan senandung semua orang, dan kami jatuh tertidur. Belakangan, aku terbangun dan mendapati bahwa Ibu masih terlelap di tempat tidur kecilku. Semua selimut dihamparkan ke tubuh Ibu dan beliau telah membalikkan 70 Paul Tremblay badan sehingga menghadap dinding. Punggungnya naik- turun pelan-pelan secara berirama, naik-turun, naik-turun. Kupandangi seisi kamar dan rumah-rumahan kardusku. Aku tidak ingat kapan kali terakhir melihat rumah itu. Aku tidak ingat apakah rumah-rumahanku sudah seperti itu ketika aku kali pertama pergi tidur berjam-jam lalu, atau ketika aku baru terbangun gara-gara jeritan Marjorie, atau ketika Ibu mengantarku kembali ke kamar dan menyenandungkan lagu pengantar tidur ke belakang batok kepalaku. Aku tenang; aku tak akan meneteskan air mata lagi. Namun, aku tidak bisa kembali tidur semalaman itu karena sibuk menebak-nebak kapan Marjorie masuk ke kamarku lagi dan apakah dia masuk selagi Ibu dan aku terlelap. Kuraba pangkal hidungku untuk mencari tanda-tanda apakah Marjorie sempat memencetnya sampai tertutup. Sulur-sulur dan daun-daun bertepi hitam tegas yang diwarnai hijau dengan spidol mencoreng-moreng dinding luar, kotak bunga di birai jendela, atap genting, dan cerobong asap rumah-rumahan kardusku. Yang tumbuh membelit seisi rumahku. Di jendela, terpampang secarik kertas bergambar dua ekor kucing ala Richard Scarry yang seolah-olah sedang mengintipku dari jendela. Kedua kucing itu adalah kakak- beradik. Si kakak mengenakan sweter hijau bertudung dan kelihatan sakit, matanya buram dan berkelopak kuyu. Si adik bermata membelalak, bertekad bulat, dan berkacamata. Aku turun dari tempat tidur pelan-pelan dan tidak membangunkan Ibu. Kuambil gambar dari jendela. Di bagian bawah, tertulislah kata-kata sebagai berikut: 71 A Head Full of Ghosts tulang-tulangku vrgov tumbuh menembus palit seperti yang tumbuh daw menikam dunta., Di dalam rumah kardus jauh lebih gelap daripada di kamar, seperti air dalam yang lebih gelap daripada air dangkal. Aku beringsut menjauhi rumah, tapi mataku yang tak mau diatur terus menatap jendela. Aku tidak yakin apakah hanya berkhayal atau tidak, tapi kerai seperti bergerak sedikit, seakan-akan rumah tersebut sedang bernapas. Aku menerawang ke balik jendela, ke dalam rumah; mataku yang rakus mendambakan pola, setengah mati mencari-cari data, petunjuk, apa saja yang dapat diproses. Semakin aku memperhatikan dan tidak melihat apa-apa, semakin aku bisa melihat Marjorie di sana, sedang meringkuk, mendekam dalam balutan selimutku, menunggu saat yang tepat untuk mengulurkan tangan ke luar jendela dan menyambarku jika aku mendekat lagi, atau mungkin dia sedang cekikikan sendiri dan merayapi dinding serta langit-langit kardus, menanti kesempatan untuk menjatuhkan diri dan menghunjamkan. taringnya ke leherku. Atau, yang lebih menyeramkan, siapa tahu dia adalah korban yang sedang terperangkap di dalam dan dia ingin aku menolongnya. Tapi, aku tidak tahu bagaimana caranya menolong kakakku. Kukatakan kepada diriku sendiri bahwa mungkin besok pagi akan kupampang kucing kakak-beradik itu di dalam rumah-rumahan kardus. Kulipat dan kuletakkan gambar R Paul Tremblay itu di laci teratas lemariku, di sebelah surat-surat lain dari Marjorie. Ketika mengeluarkan tangan dari laci, aku melihat bahwa punggung tanganku bergambar selembar daun hijau bertangkai panjang meliuk-liuk.[] 73 BAB 10 IBU DAN AYAH SEDANG bercakap-cakap di dapur. Bercakap-cakap merupakan satu lagi istilah khas di rumah kami, yang menyiratkan bahwa ada yang tidak beres. Biasanya percakapan orangtuaku adalah adu mulut terkendali di seputar pekerjaan rumah (cucian masih menumpuk di meja makan!) atau cara mendisiplinkan kedua putri mereka. Dalam percakapan yang tipikal, terkuak isu-isu seperti ini: Ayah tidak suka nada merendahkan yang sering Ibu gunakan ketika berbicara kepada kami; Ibu tidak suka Ayah membentak- bentak sesuka hati; Ayah berpendapat bahwa Ibu terlalu buru- buru menghukum; Ibu tidak suka titahnya dipertanyakan di hadapan kami. Perdebatan yang awalnya panas entah bagaimana selalu berujung layaknya pidato penyemangat menjelang pertandingan sepak bola: janji kosong untuk bersikap rasional dalam menghadapi irasionalitas kami, komitmen bersama untuk menampilkan sikap yang padu di hadapan anak-anak, kerja sama tim, kemudian menyatukan tangan: satu, dua, tiga, pasti bisa! Hidup, Tim Orangtua! Siang ini mereka berusaha untuk tenang dan sembunyi- sembunyi, sejauh yang dimungkinkan di rumah kami. Paul Tremblay Aku mengumpet dalam kolong meja di ruang makan dan memperhatikan kaki, pergelangan, betis, serta lutut mereka. Tungkai Ibu menggeletar naik-turun ketika beliau berbicara dan bergoyang kanan-kiri ketika Ayah bicara. Tungkai Ayah mematung, seolah tidak tahu ingin melakukan apa. Aku ingin menggulung kaki celana mereka dan menggambar wajah- wajah lucu berbibir merah besar montok di lutut mereka. Aku merunut garis-garis kabur bekas spidol di punggung tanganku. Aku langsung membersihkan daun-daun hijau buatan Marjorie begitu aku bangun dan sekarang aku menyesalinya. Mula-mulaaku hanya bisa menangkap sebagian perkataan orangtuaku: tetek bengek mengenai dokter, konsultasi, resep, asuransi kesehatan, dan biaya salah satu atau semuanya yang kemahalan. Kebanyakan kata yang mereka ucapkan tidak aku pahami. Tapi, aku memahami nada bicara mereka dan memahami kata mahal. Orangtuaku sangat khawatir sehingga aku ikut-ikutan sangat khawatir. Mengumpet di bawah meja sambil memata-matai mereka tidak lagi menyenangkan. Kemudian, Ayah berkata, “Dengarkan aku dulu.” Tbu menyilangkan kaki. “Silakan.” Ayah mencerocos bahwa beliau minta maaf atas per buatannya beberapa minggu terakhir, bahwa beliau meninggalkan rumah pada pagi dan siang hari bukan untuk mencari kerja melainkan untuk ke gereja dalam rangka berdoa dan minta bimbingan. Ayah mengucapkan dua kata tersebut berulang-ulang seolah hendak menegaskan arti pentingnya. Minta bimbingan. Ayah teramat cepat dan teramat sering mengucapkannya sehingga keduanya lebur menjadi satu 75 A Head Full of Ghosts kata dalam kepalaku dan kedengaran seperti negeri asing misterius, tempat yang akan kuminta agar Marjorie jadikan latar belakang ceritanya andaikan situasinya sedang lain, sedang normal. Ayah rutin menemui Bapa Wanderly dan pria itu sangat penolong, tenang, menghibur, dan intinya cumaitu, beliau menemui Bapa Wanderly tanpa niat apa-apa, sekadar ingin mintabimbingan mintabimbingan mintabimbingan. Tapi, sekarang Ayah berpendapat bahwa Marjorie sebaiknya menemui Bapa Wanderly dan bicara kepada pria itu juga. “Demi Tuhan!” kata Ibu. Aku menutupi mulut dengan tangan, berpura-pura terperangah karena Ibu menyumpah. Aku harus menahan diri supaya tidak melompat dari bawah meja sambil menggoyang- goyangkan jari kepada Ibu dan mengingatkannya agar jangan menyumpah. Ibu lazimnya hanya menyumpah di mobil ketika pengemudi lain beraksi bedebah (makian favorit beliau). Kata Ayah, “Tunggu dulu. Aku tahu perasaanmu menge- nai institusi gereja, tapi” Tidak ada tapi-tapian. Kaki Ibu yang disilangkan mulai berayun ke sana sini seperti pentungan. Sambil berbisik, Ibu menghardik bahwa putri mereka sedang sakit dan membutuhkan perhatian medis sungguhan, jadi bisa-bisanya Ayah mengemukakan usulan macam itu karena, tidak peduli berapa biayanya—mereka bisa menjual rumah kalau perlu— mereka akan melanjutkan konsultasi dan menjalankan terapi. Ayah, yang tetap tenang, mengatakan, “Aku tahu,” berkali- kali dan menyampaikan bahwa beliau semata-mata ingin menjajal opsi lain, yang tentu tidak ada ruginya. Ibu tidak mau tahu. Beliau mengingatkan bahwa saat ini saja, Marjorie 16 Paul Tremblay sudah bingung. Ibu bersikeras yang paling tidak dibutuhkan oleh Marjorie ataupun siapa pun dalam keluarga kami pada saat ini, termasuk Ayah, adalah Bapa Siapa-namanya-itu yang mencekoki kepala kami dengan takhayul, yang sudah pasti akan merugikan karena menghambat atau mengandaskan penyembuhan Marjorie. Aku membisikkan “takhayul” kepada diri sendiri, menguji kata tersebut, sembari mencamkan dalam hati untuk menggunakannya bila mungkin. Kata Ayah, “Belum tentu seperti itu, ‘kan, Sarah? Dari mana kita tahu kalau tidak dicoba?” “‘Justru itu maksudku! Marjorie butuh terapi, bukan metode coba-coba yang tidak kita ketahui asal-usulnya. Bisa- bisa dia malah kumat, atau semakin parah.” Ayah mendesah panjang, seperti ban bocor. “Kau bakalan dongkol, tapi aku, anu, sudah mengajak Marjorie menemui Bapa Wanderly.” “Apa? Kapan?” “Kemarin.” “Sesudah menemui dokter?” Ayah tidak menjawab dan, sekalipun aku tidak bisa melihat wajah orangtuaku, kusembunyikan wajahku dari mereka untuk jaga-jaga, siapa tahu meja ruang makan terbelah dua di sebelahku sehingga aku tersorot dan ketahuan. Aku mesti mengamankan diri dari tatapan yang pasti sedang mereka lemparkan kepada satu sama lain. Ayah akhirnya berkata, “Bukan.” “Apa maksudmu, ‘bukan’? Kau tidak mungkin mengajak Marjorie ke sana sebelum—” 77 A Head Full of Ghosts Tbu terdiam dan suaranya kemudian memelan, seiring dengan jari-jari kakinya yang turun hingga menjejak lantai. “John, tega-teganya kau!” “Aku tahu. Maafkan aku. Aku melakukannya di luar rencana, sumpah demi Tuhan. Marjorie mengamuk di mobil dalam perjalanan ke sana, sama seperti tempo hari, hanya saja lebih parah.” “Dasar kau—” “Kau tidak mengerti! Coba kau menyaksikan sendiri perbuatan dan perkataannya di dalam mobil!” “Kau kira aku tidak mengerti? Kau pikir siapa yang meng- antarnya konsultasi selama ini? Yang minta maaf kepada resepsionis dan perawat berkali-kali? Kau pikir aku tidak pernah diludahi dan dicakar, John?” “Aku—aku tidak tahu mesti berbuat apa. Dia ....” Ayah terdiam. “Ayo, katakan saja. Gila. Benar, ‘kan? Putrimu gila. Jadi, kenapa tidak mampir ke gereja sekalian? Alangkah masuk akalnya.” “Marjorie mengamuk dan aku menangis menjadi-jadi di kursi depan. Dia mentertawaiku, menggeram, bersuara seperti hewan, mengatakan kepadaku bahwa aku ingin mencabulinya. Anak perempuanku berkata begitu kepadaku, Sarah. Dia pernah berkata begitu kepadamu? Pernah, tidak? Gereja sejalur dengan tempat praktik dokter, jadi aku berhenti saja di sana alih-alih meneruskan perjalanan.” “Aku tidak percaya ini.” “Mobil kuparkir di depan gereja dan dampaknya langsung kelihatan, Sarah. Marjorie menjadi tenang. Bapa Wanderly 8 Paul Tremblay keluar dan mendatangi kami di mobil. Dia duduk di lantai belakang dan dia berbincang-bincang dengan Marjorie. Tanpa sadar, sejam sudah berlalu.” “Maksudmu kau melewatkan jadwal konsultasi Marjorie, padahal Dokter Hamilton sudah meminta secara spesifik agar kau mengantarnya?” “Sehebat apa Dokter Hamilton itu, hah? Sudahkah kondisi Marjorie membaik? Malah makin parah. Kupikir siapa tahu Bapa Wanderly bisa membantu Marjorie. Sekarang aku yakin dia bisa membantu Marjorie. Membantu kita.” “Silakan minta dia membantumu mendapatkan peker- jaan, membantu kita membayar cicilan rumah, kalau begitu, tapi jauhkan dia dari Marjorie.” Mereka berdua mulai saling bentak dan saling potong, bertengkar lebih sengit daripada yang pernah kusaksikan. Karena tidak tahan lagi, aku merangkak pergi melalui sela-sela kaki meja dan kursi, kemudian keluar dari ruang makan dan masuk ke ruang depan. Orangtuaku pasti melihatku merang- kak dari bawah meja karena mereka sekonyong-konyong berhenti adu mulut. Aku melambai dan menyunggingkan senyum lebar kepada mereka seperti tidak mendengar apa- apa. Mereka balas tersenyum lemah kepadaku, lalu Ibu menyuruhku ke lantai atas dan memberitahukan bahwa percakapan mereka hampir usai. Aku mengangkat bahu, sebab aku memang tidak ambil pusing. Semua yang mereka katakan bercampur baur dan teraduk-aduk di dalam kepalaku. Aku _bertanya-tanya, siapa kiranya Bapa Wanderly yang dibicarakan oleh ayahku. Apakah pria itu masih muda atau sudah tua, tinggi atau 79 A Head Full of Ghosts pendek, kurus atau gemuk? Kemudian aku berkonsentrasi pada beragam hal-hal kecil aneh. Semisal apakah buku-buku jarinya besar, apakah kakinya tidak sama panjang. Bisakah dia menjilat ujung hidungnya seperti temanku Cara? Apa dia suka menambahkan acar ke dalam burger keju? Apa seputar matanya berkerut-kerut saat dia tersenyum? Akankah dia menguap jika melihatku menguap? Seperti apakah suaranya sampai-sampai Ayah teramat menyukainya?[] 80 BAB 11 PINTU KAMAR MARJORIE PASTI dibuka, sebab aku mendengarnya menyenandungkan sebuah lagu. Melodinya seperti lagu sedih menyayat hati, alunannya terhanyut dari tangga hingga ke ruang depan bagaikan daun kering; merah, cokelat, dan ungu. Aku menggapai melampaui kepalaku dan menutupi lubang intip pintu depan dengan jariku, kalau-kalau ada orang yang berdiri di undakan sambil berusaha mengamat- amati kami. Aku berbisik ke pintu, “Ada siapa di luar?” tapi tak mendengar jawaban dari siapa-siapa. Aku mengetuk pintu dua kali supaya mujur. Aku menaiki tangga sambil berzig-zag, mengetuk din- ding, kemudian menapaki anak tangga hitam secara diagonal seperti menginjak tuts piano sambil mengetuk kisi-kisi pagar. Di bordes pertama, aku berkata, “Lagu apa itu?” Di bordes kedua, aku berkata, “Hentikan senandungmu. Nanti nadanya terngiang-ngiang di kepalaku.” Setiba di lantai atas, kulihat Marjorie tidak berada di kamarnya, tapi sedang bersantai di teras dalam berukuran kecil yang menghadap ke halaman depan. Dia tidur-tiduran di A Head Full of Ghosts kursi berkapasitas dua orang dengan badan tertekuk sambil memain-mainkan ponsel pintarnya. Dia hanya mengenakan celana pendek merah dan bra olahraga hitam. Dia berhenti bersenandung setelah aku merangsek masuk ke teras. “Lagu apa itu? Ih, pakai baju dong!” “Th apa? Perempuan banyak yang mengenakan baju seperti ini sewaktu joging atau di gym.” “Aku tidak peduli. Aku tidak suka.” Sambil cekikikan, aku mengulurkan tangan dan menepuk-nepuk dadanya. Aku mengeluarkan suara boing-boing-boing, kemudian berkata, “Aku tidak mau punya susu. Selama-lamanya.” “Merry!” Marjorie menepis tanganku, bersedekap, dan tertawa. Setelah berhari-hari, mungkin berminggu-minggu, baru sekarang dia tertawa sungguh-sungguh seperti ini. Hatiku luluh karena lega dan kasih sayang membabi buta. Dia sudah kembali menjadi kakakku, Marjorie yang asli: Marjorie yang bersembunyi di balik selimut bersamaku saat adegan film sedang seram; yang meninju hidung tetangga kami Jimmy Matthews setelah dia menjatuhkan lalat mati ke balik pakaianku; yang mengolok-olok Ibu dan Ayah dan membuatku tertawa terpingkal-pingkal sampai mengeluarkan ingus setelah mereka membentakku dan menyuruhku masuk kamar karena aku membuat pintu garasi lama yang sudah karatan penyok gara-gara tendangan penaltiku. Kata Marjorie, “Wah, aku turut prihatin, Monyet, tapi perempuan punya susu. Kau juga bakalan punya, beberapa tahun lagi.” 82 Paul Tremblay “Aku bakalan punya itu beberapa tahun lagi?” Aku menjerit pura-pura, menutupi dadaku dengan tangan, dan berkata, “Jijik, tidak mau!” Marjorie lagi-lagi tertawa keras-keras dibuatnya. “Dari mana asalmu? Kau ini ada-ada saja.” “Aku tahu.” Aku memegangi lengan kursi dengan kedua tangan dan meloncat-loncat sambil menendangkan kaki ke pantat, menari-nari laiknya seseorang yang ada-ada saja. Aku bertanya, “Sekolah bagaimana?” “Baik-baik saja. Aku tidak masuk.” “Kenapa?” “Oh, itu, soalnya aku merasa kurang sehat.” “Bagaimana rasanya, ke si-ki-ya-ter?” Aku memenggal kata itu dengan hati-hati supaya tidak salah ucap. Marjorie mengangkat bahu. “Biasa saja. Dia bertanya. Aku menjawab seperti anak perempuan baik-baik. Kemudian aku meninggalkan ruangan dan menunggu sementara dia bicara kepada Ibu.” “Apa dia baik?” “Menurutku dia sama saja seperti kertas pelapis dinding. Ada di sana, tapi ya begitu saja. Tahu maksudku?” Aku membayangkan si psikiater dibalut kertas pelapis dinding kuning seperti yang terpasang di teras kami. Aku bertanya, “Kenapa kau duduk di sini?” Mungkin Ibu dan Ayah melarangnya sering-sering menghabiskan waktu sendirian di kamarnya. “Tidak ada alasan khusus.” Aku memikirkan lubang-lubang di dinding kamar Marjorie dan membayangkan lubang-lubang tersebut me- 83 A Head Full of Ghosts nangis debu serta plester. Aku tidak menyalahkan kakakku jika dia lebih memilih untuk duduk-duduk di teras. “Kau sedang meng-SMS siapa?” kataku dengan nada melantun. Aku mengucapkan pertanyaan itu seakan mengetahui rahasia kehidupan remajanya. “Hah. Cuma temanku, oke?” Dia tidak lagi memandangku, tapi menatap layar ponselnya yang berpendar. “Teman yang mana? Apa aku kenal? Apa dia berlogat Boston? Apa dia suka M&M hijau isi kacang?” “Silakan tinggalkan aku sekarang,” kata Marjorie, tapi ucapannya kurang tegas. Dia tidak betul-betul jengkel atau- pun marah, belum. Mendekati pun tidak. Aku masih bisa mendesaknya. Mencoba untuk terkesan main-main, aku berkata, “Ini bukan kamarmu, ‘kan? Aku boleh diam di sini juga kalau mau.” Lain dengan kamarnya dan juga kamarku, malah, teras keci] terasa seperti tempat aman berkat sinar terang alaminya yang diperkuat oleh dinding-dinding kuning cerah serta bentuk segi empat sederhananya nan nyaman. Tiada Jemari atau tempat tidur atau rumah-rumahan kardus; tiada bayangan dan tiada tempat sembunyi. Di sini, di ruang netral ini, kami berdua setara. Aku bertanya, “Apa kau meng-SMS Bapa Wanderly?” Kepalanya sontak mendongak, sedangkan seluruh wajah- nya berkerut, cemberut, atau kisut, kulitnya seolah dibalik sehingga menampakkan muka yang bertransformasi total membentuk seringai galak. Aku berhenti meloncat-loncat dan. melepaskan pegangan kursi. 84 Paul Tremblay Marjorie mendesah berat layaknya orang dewasa. “Kau ini tidak tahu apa-apa, Merry, sungguh. Jadi, jangan berlagak sok tahu.” “Aku tahu kok. Aku baru saja mendengar Ibu dan Ayah bertengkar gara-gara Bapa itu dan kau. Mereka sekarang masih bertengkar, di dapur. Wah, Ibu marah besar pada Ayah. Coba kau dengar kata-kata Ibu. Menyumpah dan sebagainya.” Aku tutup mulut. Lebih tepatnya, aku tidak bersuara tapi mulutku terus bergerak-gerak, bibirku berucap bisu untuk menyampaikan penegasan: Aku betul-betul mendengar mereka. Sungguh. “Kau monyong-monyong lagi. Hentikan. Kau bukan bayi.” Saat usia TK, aku menggerak-gerakkan mulut seusai berbicara. Ibu berpendapat bahwa kebiasaanku imut-imut. Ayah mengatakan bahwa aku ingin mengutarakan banyak hal tapi mulutku belum bisa mengucapkannya. Marjorie adakalanya menyuarakan setengah kalimat dan kemudian mengucapkan sisanya tanpa suara kepadaku. Aku tahu dia hanya menggodaku, tapi aku tetap saja memperhatikan mulutnya yang bergerak-gerak, berharap kakakku tanpa sadar bakal memberikan petunjuk mengenai cara menjadi anak besar yang baik. Dulu aku kerap becermin sambil naik ke keranjang sampah yang kubalikkan di kamar mandi lantai atas, untuk berlatih bicara atau berlatih menghentikan bicaraku tanpa menggerak-gerakkan bibir di akhir kalimat. Kukira aku sudah sembuh dari kebiasaan itu. Ngeri karena mulutku kelepasan lagi, aku berkata, “Aku tahu. Maaf.” “Aku tidak tahu kau mendengar Ayah mengatakan apa, tapi aku tidak bicara kepada pastor tua menyeramkan itu, 85 A Head Full of Ghosts oke? Aku tidak mengatakan apa-apa. Aku bahkan tidak mengucapkan salam kepadanya. Cuma dia dan Ayah yang bicara dan berdoa dengan bodohnya, sedangkan aku duduk- duduk saja di mobil. Pokoknya, kuabaikan mereka.” “Iya, oke.” Acara ramah tamah kakak-beradik di teras telah kocar- kacir dalam waktu singkat, kentara sekali terkoyak seperti kertas kuning pelapis dinding di teras yang kelihatan sudah mengeriting dan bernoda apabila kita memperhatikan lama- lama dan baik-baik. “Diam, Merry. Mulai sekarang, jangan ikut campur urusan orang lain.” “Tapi—” “Tidak ada tapi-tapian. Berhenti bicara barang sedetik, bisa ‘kan? Dengarkan.” Marjorie tidak mencondongkan badan ke depan, dia tidak menggerakkan tubuh samasekali. Diamasih memegangi ponsel dengan postur santai, sedangkan nada bicaranya kedengaran blakblakan, yang justru menjadikan situasi ini semakin tidak enak. “Aku tahu kau memberi tahu Ibu tentang cerita-cerita baru kita, tentang yang tumbuh. Kau juga mengarang bahwa yang tumbuh menelan lapangan sepak bola, ‘kan? Aku tidak pernah bilang begitu. Dasar gombal.” Aku membungkuk dan mengangkat bahu berbarengan. “Maafkan aku.” Aku berjuang untuk mengatupkan mulut, supaya tidak mengucapkan Kau tidak boleh bicara kasar, Marjorie tanpa suara. Kurasa dia tidak pernah menyadari atau mengapresiasi segala hal kecil yang sudah kucoba lakukan demi dia. 86 Paul Tremblay “Ibu menyampaikan semua yang kau katakan kepada beliau kepada Dokter Hamilton, tahu tidak. Sekarang dia ingin menaikkan dosis obatku, menjadikanku seperti mayat hidup sialan.” “Maafkan aku! Tolong jangan bicara kasar, Marjorie—” “Diam! Tutup mulutmu! Dengarkan aku. Kalau kau melaporkan aku lagi kepada Ibu, akan kutarik lidah keparatmu sampai copot.” Aku melompat mundur dan menabrak dinding di belakangku seperti baru ditinju oleh Marjorie. Selama ini, kami sering berkelahi sambil main-main. Apabila kakakku memperlakukanku dengan cuek, aku praktis memohon- mohon supaya dikata-katai. Apabila kakakku menunjukkan bahwa dia tidak peduli akan eksistensiku di semestanya yang luas, aku justru kecewa berat. Aku dengan patuh menerima getokan di kepala, kuncian tangan dan kaki, cengkeraman di pergelangan tangan, sentilan, cubitan, gigitan, jeweren, dan—yang derajatnya mungkin paling parah—jambakan, tapi Marjorie tidak pernah menyakitiku betulan. Sebelum ini, dia juga tidak pernah mengancam hendak menyakitiku betulan. Jemari Marjorie terus merayapi papan ketik di layar ponselnya sementara dia meng-SMS sambil bicara. “Akan kutunggu sampai kau tidur, sebab kau tidak pernah bangun sewaktu kudatangi. Aku masuk ke kamarmu tiap malam, Merry. Gampang sekali.” Aku membayangkannya berdiri menjulang di samping tempat tidurku, memencet hidungku sampai tertutup, menjulurkan muka hingga dekat dengan wajahku, menghirup napasku. 87 A Head Full of Ghosts “Mungkin kali berikutnya ke sana akan kusogok mulutmu dengan tang. Tunggu dulu, tidak, akan kugunakan saja jariku seperti cakar, untuk menjepit lidahmu kuat-kuat. Akan kupencet cacing gendut menggeliut di dalam mulutmu dengan jariku dan kemudian kucabut dari tengkorakmu, semudah memetik dandelion dari tanah. Rasanya bakalan sakit bukan kepalang, lebih menyakitkan daripada apa pun yang pernah kau rasakan sebelumnya. Kau akan bangun sambil mengerang-erang, tersedak darahmu sendiri, dengan kepala berkunang-kunang saking sakitnya. Lukamu bakal mengucurkan darah ke mana-mana. Tanpa kau sangka- sangka, kamarmu bakal kebanjiran darah.” Sekalipun kini aku sudah lebih banyak tahu, aku tak akan pernah memaafkan Marjorie atas perkataannya saat itu dan aku tak akan pernah pula memaafkan diriku sendiri karena diam saja di teras dengan pasrah. Aku semata-mata berdiri mematung dan menerima cecaran Marjorie begitu saja. “Akan kusimpan lidahmu dan kusambungkan dengan benang, untuk kemudian kupakai seperti kalung, supaya senantiasa dekat dengan dadaku, supaya lidah itu bisa terus mencicipi kulitku sampai warnanya menghitam dan bentuknya kisut seperti benda mati. Alangkah menakjubkannya pemikiran itu: lidah keparatmu yang tidak diam-diam akhirnya menciut dan keok.” Marjorie terus mencerocos. Kukira dia tak akan berhenti- berhenti. Selagi berdiri di sana, aku merasakan sinar mentari yang tertumpah melalui jendela, naik-turun di punggungku. Teras telah menjadi jam matahari yang mengukur usia geologis siksaan psikologis yang kuderita. 88 Paul Tremblay “Dan mulutmu, yang megap-megap dengan bodohnya, akan menganga seperti ikan mabuk karena kebanyakan udara. Kau akan merasa kehilangan. Kau akan memetik pelajaran tertua di muka bumi. Pelajaran mengenai kehilangan. Kita semua niscaya memetik pelajaran itu cepat atau lambat. Kau akan merasakan daging buntung itu keder dan bersembunyi di belakang gigi gerahammu. Atau mungkin dagingmu yang tolol luput memetik pelajaran dari pengalaman dan malah menjulurkan diri sambil menggeliang-geliut untuk menggapai vokal dan konsonan yang tidak terjangkau selamanya. “Hanya banjir darah hitam yang bisa tertumpah dari mulutmu. Kata-kata tidak bisa keluar lagi. Tak akan ada lagi yang mendengarkanmu. Mengenaskannya di situ, Merry. Karena kau tidak bisa bicara, kau tak akan bisa memberi tahu siapa pun mengenai apa-apa saja yang menimpamu dan semua orang di rumah ini. Semua kejadian sinting, menyeramkan, dan tak terperi yang menimpa dirimu beserta yang lain ... aku tahu. Aku mendengar dan menyaksikan semuanya. Tak seorang pun bisa lolos.” Marjorie akhirnya berhenti berbicara dan meng-SMS. Dia meletakkan ponsel dengan lembut di meja samping dan menekuk tangan ke pangkuan. Dengan mata membelalak, aku berdiri dengan kaki berjinjit dan punggung menyandar ke dinding. Aku terisak- isak ke tanganku yang dengan berani menampung mulutku. Marjorie kembali mendesah. “Oh, ayolah, Merry, aku cuma bercanda. Ampun deh. Aku mustahil berbuat begitu padamu. Kau tahu, ‘kan?” 89 A Head Full of Ghosts Aku justru menangis semakin keras, sebab aku tidak tahu. Tidak lagi. “Oke, leluconku memang kejam, aku tahu, tapi aku kan cuma main-main. Ayo, sini.” Marjorie beranjak dari posisi bersandar, duduk tegak, dan menepuk-nepuk jok kursi yang lowong. Aku diam di tempat sambil menggelengkan kepala. Sinar matahari berkilat-kilat semakin terang di luar sehingga kami sama-sama mesti memicingkan mata. “Kumohon, Merry. Maafkan aku.” Masih sambil mengucurkan air mata yang tidak langsung jatuh melainkan mengumpul di kelopak bawah mataku sehingga mengaburkan segalanya, aku beringsut mendekat dan duduk sembari memunggungi kakakku, seperti seharusnya. Marjorie menggambar huruf besar di bawah leherku dengan jarinya. “Tebak huruf ini.” “M.’ Aku paling jago main tebak huruf seperti ini. Bahkan sewaktu emosiku sedang berkecamuk. “Aku seharusnya tidak berkata seperti tadi kepadamu, tapi aku kesal sekali karena kau mengadukan aku kepada Ibu. Padahal kita kakak-beradik dan kau sudah berjanji akan menyimpan rahasiaku.” “p> “Bagaimana perasaanmu, misalkan saja, kalau aku memberi tahu Ibu bahwa kau ke sini dan memegang-megang dadaku?” 90 Paul Tremblay “H?” Bukan H. Aku salah tebak karena kalut. Aku tidak tahu arti “menggerayangi”, tapi aku tahu bahwa tidak bagus kalau sampai dia memberi tahu Ibu. “Bukan.” Marjorie menggambar huruf itu di punggungku lagi, bergerak lebih lambat sambil menambah tekanan. “R” “Ya. Bagaimana kalau aku memberi tahu Ibu bahwa kau menggodaku, memata-mataiku, membuntutiku ke mana- mana, dan secara unum membuatku jadi gila? Aku tahu Ibu menyuruhmu untuk bersikap baik padaku, untuk membantu.” “R. Aku minta maaf sudah memegang-megang dadamu. Tolong jangan adukan aku ke Ibu.” “Aku tak akan bilang-bilang kalau kau tidak bilang- bilang.” “Oke. Y. Merry.” Dia menulis kata yang mudah di punggungku untuk menenangkanku. Taktiknya berhasil. Aku tidak menangis lagi, tapi mataku kini terasa berat. “Kalau begitu, sepakat, Nona Merry.” Marjorie meng- gosok-gosok punggungku, seperti guru yang menghapus papan tulis, dan dia kemudian menulis lagi. “Jadi, senandungku yang kau dengar tadi, lagu itu muncul begitu saja dalam kepalaku.” “u? Lagu itu. Demikianlah sebabnya aku naik ke lantai dua. Marjorie menyenandungkan lagu itu lagi. Dari dekat, kedengarannya malah lebih sedih. “O dan O. Apa lagu itu karanganmu?” “Ya, ya, tidak! Itu lagu sungguhan, bukan karanganku.” 91 A Head Full of Ghosts “ue “Ibu dan Ayah tidak pernah memperdengarkan lagu itu. Aku tahu aku tidak pernah mendengarnya. Seperti yang kukatakan, sama seperti cerita-cerita, lagu tersebut muncul begitu saja dalam kepalaku saat aku bangun pagi.” “y> “Kedengarannya sedih sekali, ya? Seperti lagu tersedih mengenai hari tersedih sepanjang masa.” “> “Tapisewaktuakumenyenandungkannya, tenggorokanku serasa tergelitik dan kesannya malah melegakan.” “ye “Bukan V. Tidak ada salahnya merasa sedih kadang- kadang, Merry. Jangan lupa, ya.” Marjorie tidak mengulangi huruf yang salah kutebak, tapi justru menggambar huruf baru. Huruf tersebut berupa dua garis vertikal yang membujur ke atas dan kemudian ke bawah punggungku, serta dihubungkan oleh garis diagonal. “nN” “Ya. Yang aneh, aku tahu juga liriknya.” “D. Nyanyikan.” Aku memintanya menyanyikan lirik semata-mata karena aku tahu Marjorie ingin aku bertanya. Aku sesungguhnya tidak ingin mendengar kata-kata tersebut. Aku takut jika Marjorie menyanyikan lirik lagu, isinya adalah mengenai seorang kakak yang merampas lidah adiknya. “Aku tidak ingin menyanyikan liriknya. Aku lebih suka menyenandungkannya.” “a” “Aku ingin menyimpan sendiri liriknya.” 92 Paul Tremblay “y “Lagi pula, kau tak akan menyukai_liriknya.” Marjorie berhenti menggambari punggungku. “Jadi, akan kusenandungkan saja. Mungkin akan kusenandungkan lagu itu untukmu kapan-kapan, selagi kau tidur.” “Marjorie!” Dia tertawa dan menggelitik ketiakku. Aku tidak tertawa; aku justru mengeluarkan rengeken melengking sekilas saja sambil mendengus. “Hentikan!” “Diam di situ. Jangan bergerak.” Marjorie naik ke kursi sambil bersenandung. Aku mengesot di jok kursi sementara kakakku bergeser dan menyeimbangkan diri. Kakakku mengayunkan tubuh di atas kepalaku seperti dahan-dahan pohon dedalu yang diterpa badai. Aku merasakan bobot lagu tersebut; kunci minornya serasa mengimpit dadaku sehingga kehabisan udara. Marjorie melompat, melayang melampaui kepalaku. Aku menunduk dan berguling mundur di jok kursi sementara bayangan Marjorie melintasiku. Dia mendarat disertai bunyi gedebuk berisik. Lututnya tertekuk spontan untuk meredam benturan sekaligus menjaga keseimbangan, tapi badannya yang doyong ke depan nyaris terjungkal ke jendela. Dari bawah, ayahku berteriak, “Apa-apaan itu?” Marjorie berkata, “Pendaratanku belum mulus. Tinggal banyak-banyak latihan. Ya, ‘kan?” Dia mencubit perutku, kemudian lari meninggalkan teras untuk kembali ke kamarnya sementara aku meneriakkan, “Stop!” ke arahnya. Marjorie masih menyenandungkan lagu itu di kamarnya. Aku duduk sambil mendengarkan, kemudian ikut menye- 93 A Head Full of Ghosts nandungkan melodi yang sederhana tapi menyayat hati. Di teras, aku mengayun-ayunkan satu kaki di bawah sorotan sang surya yang meredup. Aku bertanya-tanya apakah aku masih bisa menyenandungkan lagu itu apabila tidak berlidah. Kusimpulkan bahwa aku tak akan bisa.[] 94 BAB 12 DI ACARA TV KAMI, adegan berikut disuguhkan sebagai dramatisasi dari kejadian sesungguhnya dan sebagai bukti kedua paripurna bahwa Marjorie betul-betul kerasukan roh jahat. Secara keseluruhan, saratnya transisi antar-adegan yang tiba-tiba, narasi yang mencekam tapi tidak kelewatan, bunyi-bunyi yang diperkeras/ditambahkan secara digital, dan efek khusus komputer grafis yang ala kadarnya justru menghasilkan adegan reka ulang yang mendebarkan dan efektif. Dalam adegan tersebut, keluarga Barrett palsu sedang bercengkerama di ruang keluarga sambil menonton Finding Bigfoot. Seluruh anggota keluarga dengan gembira menyaksikan sejumlah pakar pseudosains meraung-raung memanggil Bigfoot malam-malam di hutan yang disorot lewat kamera inframerah. Ibu palsu (bersahaja, berwajah bintik-bintik, sangat cantik bahkan untuk ukuran orang yang tampil di TV) dan Ayah palsu (terlalu gempal dan terlalu tua untuk menjadi ayah kami, sedangkan janggutnya pitak seperti halaman rumput di musim panas) duduk bersebelahan di sofa, masing-masing mengenakan kemeja dan celana panjang A Head Full of Ghosts bebas kerut. Kakak-beradik Barrett palsu telungkup di lantai sambil bertopang dagu, kaki mereka bergoyang-goyang ke udara, tumit mereka berbenturan. Adegan keluarga harmonis abad ke-21 pupus seketika ketika Ayah palsu bertanya, “Sekolah hari ini bagaimana?” Kemelut yang lantas melanda tidak dapat dikungkung di ruang keluarga, justru merambat ke seisi rumah hingga akhirnya memuncak dan menggebrak di kamar Marjorie. Kejadian aslinya bukan seperti itu. Tapi, harus kuakui bahwa aku sempat menggandrungi acara Finding Bigfoot dan bersikeras agar keluargaku ikut menonton bersamaku. Aku juga sering bertengkar main-main dengan Ayah mengenai ada-tidaknya Bigfoot. Aku memercayai keberadaan makhluk itu, sedangkan Ayah tidak. Aturan dasar tak terucap dalam perdebatan kami adalah Ayah dan aku sama-sama tak akan berubah pikiran. Aku meyakini secara fanatik bahwa hewan mitos itu nyata dan aku praktis mencemooh siapa saja yang menyatakan sebaliknya. Meskipun aku tahu Ayah menikmati tarik-ulurkami, beliau senantiasamenyampaikan argumentasi secara tenang, rasional, dan ilmiah. Menggunakan metode Socrates untuk menafikan eksistensi kera besar khayali, Ayah mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepadaku, mengira bah- wa aku pada akhirnya akan mampu menemukan kebenaran sendiri. Pertanyaan beliau yang standar—terutama ketika pertanyaan Ayah tentang kepadatan populasi atau evolusi atau keberlanjutan ekosistem justru aku tanggapi dengan mencerocos melantur—adalah, kenapa mayat Bigfoot tidak pernah ketemu? Jelas tidak akan ketemu, Yah, soalnya Bigfoot 96 Paul Tremblay yang mati dikuburkan oleh teman-temannya di kuburan keramat rahasia, dasar Ayah ini ada-ada saja. Seingatku malam itu kami tidak duduk di ruang keluarga sambil nonton Finding Bigfoot. Selain itu, seingatku kejadian tersebut tidak berlangsung di ruang keluarga. Namun demikian, ingatanku mungkin saja keliru. Mungkin adegan di ruang keluarga yang ditayangkan di acara TV kami memang betul-betul sesuai dengan peristiwa sebenarnya, mengecualikan segelintir bumbu yang ditambahkan agar reka ulang terkesan lebih dramatis. Apalagi kontrak mengharuskan para penulis dan produser untuk berkonsultasi dengan Ibu dan Ayah, dan mereka nyatanya memang berkonsultasi secara ekstensif dengan orangtuaku. Mungkin acara tersebut mengandalkan keterangan dari Marjorie, yang dia sampaikan lewat sekian banyak wawancara dengan mereka. Seingatku, tak seorang pun pernah menanyaiku tentang kejadian malam tersebut. Mungkin saja malam itu membekaskan trauma mendalam pada diriku sehingga aku menghapusnya dari kenangan, atau menumpangtindihkan acara TV kami yang tak nyata dengan peristiwa sesungguhnya. Yang aku ingat adalah, kami duduk di empat arah angin di seputar meja dapur sambil menyantap makan malam. Kami sekeluarga termenung dan membisu; tidak tahu pasti apa yang baru terjadi, tidak tahu mesti berbuat apa, bahkan sesudah kejadian tersebut berakhir. Aku akan senantiasa mengingat kenangan itu: kami berempat duduk di seputar meja dapur seperti boneka pada pesta teh imajiner. 97 A Head Full of Ghosts Kaum perempuan Barrett sepakat tanpa kata bahwa kami tidak perlu menunggu Ayah, maka kami pun mulai memakan pasta. Ya, pasta lagi, tiga malam berturut-turut. Aku mengeluh sewaktu mendapati Ibu sedang merebus air di panci besar hijau buncis. Beliau memberitahuku bahwa kami sedang susah, jadi aku tidak boleh rewel soal makanan. Aku keluar dari dapur dengan pundak merosot sambil mengerang- erang bahwa aku bakal berubah menjadi Gadis Spageti kalau makan spageti terus-terusan. Aku mengayun-ayunkan lengan dengan loyo untuk memberikan peragaan singkat mengenai kekuatan Gadis Spageti yang tidak sakti. Meja dapur kami yang kecil tampak tak sekecil biasanya karena sajian di meja hanya sedikit. Tiada panci berisi spageti berlimpah di tengah-tengah yang bisa kami ambil jika ingin tambah. Tiada mangkuk kaca berisi saus merah. Tiada potongan-potongan roti bawang putih besar beralaskan talenan. Tiada mangkuk berisi salad hijau dan merah cemerlang. Bukan berarti aku mau makan salad banyak- banyak. Mangkuk kayu kecilku hanya berisi beberapa irisan tipis timun dan mungkin beberapa potong wortel mini. Yang terhidang di meja: empat piring berukuran sedang berisi spageti dan empat gelas air. Aku minta susu, tapi Ibu semata-mata berkata, “Minum air saja dan jangan protes.” Ayah duduk di balik meja sambil menundukkan kepala, memejamkan mata, dan mengatupkan kedua tangan, jemarinya berkelindan begitu rapat sehingga ayahku terkesan memiliki jari lebih banyak daripada seharusnya. Aku menghitung buku jari di masing-masing tangan beliau untuk memastikan bahwa jumlahnya normal. 98 Paul Tremblay Lama sekali Ayah berdoa sebelum makan sampai-sampai aku jengah. Saking berkonsentrasi dan khusyuknya beliau, aku merasa berkewajiban untuk turut serta, sekalipun aku khawatir karena tidak tahu cara berdoa ataupun harus berdoa kepada siapa. Tempo hari, sewaktu Ayah mengantarku ke sekolah pada pagi hari, beliau memaparkan bahwa berdoa sama seperti berbincang-bincang dengan Tuhan di dalam kepala kita. Senang karena Ayah mau bicara kepadaku, apalagi beliau sangat tidak responsif sejak insiden malam-malam di kamar Marjorie, aku menanyakan kepada Ayah siapa sebenarnya Tuhan itu, selain laki-laki tua besar berjanggut di langit. Ayah mula-mula mengatakan bahwa Tuhan itu kasih, yang kedengarannya bagus, tapi beliau menyampaikan penjelasan berbelit-belit tentang Yesus dan Roh Kudus. Alih- alih memberi tahu Ayah bahwa aku tidak mau lagi mendengar paparannya yang membingungkan, aku berkelakar dengan mengatakan bahwa kepalaku kepenuhan orang untuk diajak bicara. Ayah membuatku merasa gelisah, tapi pada saat itu aku tidak bisa mengartikulasikan apa sebabnya. Aku cuma tahu Ibu tidak suka apabila Ayah menceramahi dan mendakwahi kami, padahal aku tidak yakin sanggup menyembunyikan kejadian pagi itu dari Ibu. Bagaimanapun, aku telah mengadukan Marjorie kepada Ibu, padahal kakakku sudah memintaku berjanji untuk tutup mulut. Aku sudah muak mendengar cerita dan rahasia orang lain. Ayah tertawa mendengar guyonanku mengenai kepala yang kepenuhan, lalu beliau mengatakan bahwa tidak ada salahnya mencoba berdoa kapan-kapan karena siapa tahu bisa membuatku merasa baikan. 99 A Head Full of Ghosts Aku meletakkan garpu dan mengatupkan kedua tangan- ku seperti Ayah. Sebelum aku sempat mengatakan apa pun di dalam kepalaku kepada orang-orang itu, aku memer- goki Marjorie yang sedang memperhatikanku dari balik sweternya yang bertudung. Dia meringis dan menggeleng- gelengkan kepala. Aku buru-buru mengambil garpuku dan membayangkan Bigfoot berlari dalam hutan dibelakangrumah kami, lalu mendobrak masuk ke dapur dan menghancurkan segalanya. Ibu pantang memandang Ayah selagi beliau berdoa. Ibu menempelkan sebelah tangannya ke dahi, seperti menamengi matanya karena kesilauan. Akhirnya, Ayah menegakkan kepala dan membuat salib; menyentuh kening, dada, lalu bahunya satu-satu. Gerakan Ayah teramat cepat, seperti hasil latihan seumur hidup. Beliau tersenyum dan memandang kami satu-satu. Diberinya aku kedipan ekstra. Aku tidak pandai berkedip, maka kuembuskan kecupan sebagai balasan. Marjorie mengeluarkan suara muntah. Yang mencuri- gakan, Ibu dan Ayah tidak menanyakan apakah dia baik-baik Saja; pasti ada apa-apanya. Marjorie lantas berkata, “Maaf. Salah telan.” “Tolong sibakkan tudungmu selagi makan.” Marjorie menurut. Begitu tudungnya tersibak, tampaklah pemandangan yang mencengangkan. Kulitnya keabu-abuan, sewarna jamur yang tumbuh di seputar akar-akar pohon semrawut di belakang rumah kami. Matanya cekung karena berkantong. Rambut hitamnya menyerupai gurita mati yang 100 Paul Tremblay terkulai dan merosot dari kulit kepalanya. Bintik-bintik komedo mencolok sekali di dagu dan hidungnya. Kata Ayah, “Bagaimana sekolah hari ini?” “Oh, seperti biasa, Yah. Tahu, ‘kan, aku terpilih jadi ketua angkatan, kapten tim sepak bola, cewek terseksi—” Ibu memotong dengan, “Marjorie sedang tidak sehat. Dia dipersilakan pulang karena muntah di kantin.” “Apa, muntah lagi? Anak malang. Apa kau masih punya selera makan? Sudahkah kau merasa baikan? Sarah, jangan paksa Marjorie makan kalau perutnya tidak enak.” Ayah mengatupkan kedua tangannya lagi, kali ini di depan piring. “Aku tidak memaksanya makan, John. Marjorie bilang dia sudah merasa baikan. Ya, ‘kan?” “He-eh. Sehat dan segar bugar.” “Kau kelihatan kuyu.” “Makasih, Yah. Aku memang merasa cantik jelita.” “Kau tahu maksud Ayah. Kau tahu kau anak perempuan Ayah yang cantik.” Beliau berucap demikian seperti sedang membaca tulisan kecil-kecil di kartu garansi atau klausul ganti rugi. Kataku, “Aku bagaimana?” “Kau juga anak perempuan Ayah yang cantik, Merry.” Marjorie mengerang. Dia membelitkan spageti ke jari dan berkata, “Aku jadi ingin muntah lagi mendengarnya.” Ujung- ujung kukunya hitam karena kemasukan tanah. Apakah dia habis menggali di halaman? Aku membayangkan Marjorie di belakang rumah kami, sibuk menanam yang tumbuh. Kata Ayah, “Kau kelihatan pucat. Mungkin sebaiknya kau absen saja besok.” 101 A Head Full of Ghosts “Aku tidak apa-apa. Aku tidak mau ketinggalan pelajaran. Sekarang saja, sekolah sudah mewanti-wanti bahwa aku mesti mengikuti pelajaran musim panas nanti.” Marjorie menempelkan punggung tangannya yang sebelah ke kening. Aku tahu dia sedang berlagak bak aktris. Bicaranya samar- samar berlogat Inggris. Aku berlatih memakan pasta tanpa menggerakkan lidah. Aku seorang perencana, sigap mempertimbangkan segala kemungkinan. “Kalau soal itu, jangan khawatir. Akan kita lakukan apa saja yang memang perlu.” Seperti diberi aba-aba, kami semua menatap piring masing-masing, yang seolah menodong kami untuk melakukan yang memang perlu, yakni menghabiskan makan malam. Ayah kemudian menoleh kepadaku dan berkata, “Merry! Harimu bagaimana? Ceritakan kepada kami! Ayah ingin mendengar satu kejadian bagus yang kau alami hari ini dan satu kejadian yang membuatmu tertawa.” Selalu senang apabila diperhatikan oleh keluarga, aku berkata, “Jadiiii,” sambil menggetarkan udara di balik gigi depanku untuk memanjang-manjangkannya, “kami mulai membaca Charlie and the Chocolate Factory di kelas. Ronnie membuatku tertawa sewaktu dia menirukan Augustus Gloop. Dia berjongkok sambil melet-melet ke karpet, pura-puranya sedang minum dari sungai cokelat. Dia berteriak, ‘Cokelat, enak!” aku mendemonstrasikan dengan menirukan logat Jerman Ronnie yang lucu. “Tapi, menurut Bu Hulbig dia tidak lucu.” 102 Paul Tremblay Kata Ibu, “Hmm, menarik. Temanmu barangkali menon- ton film jelek versi Johnny Depp. Keterlaluan kalian anak- anak malah lebih menyukai film itu ketimbang versi Gene Wilder.” “Ya ampun, Ibu, tidak salah?” kataku, berbicara dan berakting seperti Wonka versi Depp: senyum hampa, suara pelat seram yang mendesah-desah dan tidak ada bagus- bagusnya. Kata Ayah, “Miripnya. Harus Ayah akui, Merry, kau pintar menirukan suara orang.” “Masa?” Ibu dan Marjorie sama-sama mengerang. “Ya, dari dulu kau pintar menirukan pembawaan orang Jain dan membuat macam-macam suara kocak.” Aku mengubah nada dan intonasi suaraku seiring tiap kata. “Aku bisa menirukan macam-macam suara.” “Gawat ini. Sekarang dia bakal bersuara macam-macam semalaman,” tukas Marjorie. “Aku bisa menirukan macam-macam suara!” Ibu berkata, “Makanya, jangan asal bicara.” Aku mengakak dengan dua atau tiga gaya berlainan, lalu berhenti mendadak. “Wah, hampir aku lupa. Bu! Besok hari topi di sekolah. Aku harus mengenakan topi! Aku harus pakai topi apa?” “Entahlah. Nanti kita cari topi sesudah makan malam.” Kata Ayah, “Hei, pakai saja topi bisbol Red Sox milik Ayah.” “Th, jijik! Tidak mau!” Aku spontan menutupi kepalaku dengan kedua tangan. 103 A Head Full of Ghosts Menurut legenda, topi itu berusia lebih tua daripada Marjorie dan tidak pernah dicuci. Karet di sebelah dalamnya yang dahulu berwarna putih telah berubah warna menjadi hitam. Huruf B merahnya kusam, sedangkan lidahnya penyok dan bernoda keringat. Ayah dulu kerap mengejar-ngejar kami untuk memakaikan topi itu, sedangkan kami menjerit-jerit sambil berlarian ke sana kemari. Permainan biasanya berakhir ketika aku merengek dan mengeluh karena Ayah lebih sering mengejar Marjorie daripada aku. Memang benar begitu, tapi sejujurnya, mengejar Marjorie lebih asyik karena dia lebih susah ditangkap. Walaupun aku gesit, aku cepat menyerah dan berhenti berlari, lebih suka menjatuhkan diri ke lantai dan bergelung membentuk bola. Ayah niscaya memakaikan topi itu ke kepalaku cepat-cepat, tapi dua detik berselang, beliau sudah lari lagi untuk meneriaki dan mengejar Marjorie sambil main-main. Kata-kata yang Marjorie keluarkan untuk memancing Ayah selalu terkesan pintar dan, jika Ayah berhasil menangkapnya, dia bakalan terkena getah; Ayah niscaya menggosokkan topi ke kepala dan wajah kakakku sampai dia mengulang-ulang Hentikan, Yah dengan nada marah. Selagi duduk di balik meja dapur malam itu, permainan kejar-kejaran topi serasa sudah berlalu berabad-abad silam, meskipun kali terakhir kami melakukannya adalah beberapa bulan silam saat panggang daging di Hari Buruh. Selagi mengejar kami, Ayah sempat menabrak meja lipat kecil sampai jatuh, alhasil menumpahkan piring-piring kertas dan perangkat makan plastik. 104 Paul Tremblay Tbu berkata, “Jangan sampai sekolah menyuruhnya pulang karena berkutu, John.” Kalimat tersebut semestinya adalah lelucon belaka, tapi nadanya ketus. Kataku, “Aku ingin mengenakan topi yang lucu dan keren. Marjorie, boleh kupinjam topi bisbolmu yang kerlap-kerlip?” Kami bertiga memandang Marjorie. Sekarang aku ingat sempat berpikir bahwa jawaban Marjorie dapat mengubah segalanya sehingga kembali seperti sediakala; Ayah bisa menemukan pekerjaan dan berhenti berdoa terus-menerus, sedangkan Ibu bisa berbahagia dan memanggil Marjorie sotong lagi serta menunjukkan kepada kami video-video lucu yang beliau temukan di YouTube, dan kami bisa menikmati masakan selain spageti untuk makan malam, dan yang terpenting, Marjorie bisa kembali normal. Segalanya pasti akan baik-baik saja andaikan Marjorie memperbolehkanku mengenakan topi bisbol berpayet-payet kerlap-kerlip yang dia buat untuk pelajaran kesenian beberapa tahun lalu. Semakin lama kami memperhatikan Marjorie dan menanti jawaban, semakin merosot suhu di dalam ruangan, dan tahulah aku bahwa situasi tak akan pernah lagi sama seperti semula. Kakakku berhenti memuntir spageti dengan jarinya. Dia membuka mulut dan, perlahan-lahan, muntahan mengucur ke piring spagetinya. Ayah: “Ya Tuhan!” Ibu: “Sayang, apa kau baik-baik saja?” Beliau melompat dari kursi dan menghampiri Marjorie, berdiri di belakangnya sambil memegangi rambut kakakku ke atas. 105 A Head Full of Ghosts Marjorie tidak menanggapi kedua orangtua kami, juga tidak bersuara. Dia tidak ber-huek-huek atau kejang-kejang spontan seperti orang pada umumnya ketika muntah. Muntahan tertumpah begitu saja dari mulutnya seperti keran yang dibuka. Muntahan itu sehijau rumput musim semi dan pasta bekas kunyah kelihatan kering janggal, sekental makanan anjing tumbuk. Kakakku memperhatikan Ayah terus sementara muntah- an mengisi piringnya, sebagian luber dari tepi piring ke meja. Begitu muntahannya habis, Marjorie mengusap mulutnya dengan lengan baju. “Tidak, Merry. Kau tidak boleh memakai topiku.” Dia kedengaran seperti bukan Marjorie. Suaranya lebih rendah, bernada dewasa dan menggeram. “Bisa-bisa kau merusaknya. Atau menulariku dengan macam-macam.” Dia tertawa. Ayah: “Marjorie ....” Marjorie batuk-batuk dan muntah lagi ke piringnya yang kepenuhan. “Kau tidak boleh memakai topi itu karena kau kelak akan mati.” Dia mengeluarkan suara anyar, kali ini kelewat manis seperti suara yang digunakan orang-orang ketika berbicara kepada bayi. “Aku tidak mau topi istimewaku dipakai oleh orang mati.” Ibu menjauh dari Marjorie dan menabrak kursiku. Aku mengulurkan tangan untuk mendekap panggul Ibu dengan Jengan kanan dan menutupi mulutku dengan tangan kiri. Suara baru ketiga; sengau dan tidak jelas laki-laki atau perempuan: “Tak seorang pun di sini boleh mengenakan topi itu karena kalian semua akan mati.” 106 Paul Tremblay “Marjorie?” Ayah bertahan di kursinya dan mengulurkan tangan kepada kakakku. “Marjorie? Lihat Ayah. Pegangi tangan Ayah dan ikutlah berdoa. Ayah mohon. Coba saja.” Ibu menangis dan menggeleng-gelengkan kepala. Yakin Ayah hanya akan memperparah kondisi Marjorie, aku memekik, “Jangan ganggu Marjorie!” kemudian buru- buru menutupi mulutku kembali karena sedang tidak aman untuk bicara. Ayah berbicara dengan suaranya yang paling sabar, yang terkesan bukan seperti suara Ayah, seasing suara-suara yang keluar dari mulut kakakku: “Marjorie tidak pernah sendirian. Dia selalu menyertai Marjorie. Mari kita berdoa kepada- Nya.” Lalu aku mulai menangis juga karena aku takut dan kebingungan. Kukira Ayah mengatakan bahwa ada seseorang di dalam kepala Marjorie dan bahwa Ayah ingin berdoa kepada dia. Ayah mendorong kursinya ke belakang dan berlutut di Jantai. “Oke, Yah.” Marjorie menggelincir dari kursinya ke lantai dan menghilang ke bawah meja. Ibu meninggalkanku dan membungkuk di samping kursi Marjorie. “Manis, keluarlah dari bawah sana. Akan Ibu siapkan air mandi hangat untukmu, ya? Kemudian, kau bisa langsung tidur. Nanti kau pasti akan merasa baikan ....” Ibu terus melantunkan janji-janji sarat harapan dan kesembuhan. Kini aku berdiri seorang diri, masih sambil menutupi mulutku dengan tangan. Marjorie merosot ke lantai kayu keras dan melata di bawah meja. Aku tidak bisa melihatnya. Aku naik ke kursi, jari-jari kakiku melengkung kaku di dalam sepatu olahragaku. 107 A Head Full of Ghosts Kami menunggu dan memperhatikan. Ayah serta-merta tersentak seperti kena setrum dan ambruk ke meja, alhasil mengguncangkan piring dan garpu kami serta menumpahkan muntahan dari piring Marjorie yang berbau asam dan tanah. Tangan Marjorie terulur ke atas. Kulitnya abu-abu seperti jelaga dan kukunya yang kotor sehitam mata ikan. Kemudian, suaranya yang parau bergema dari kedalaman kolong meja. “Silakan, Yah. Pegang tanganku.” Ayah pelan-pelan menggapai dan memegangi tangan Marjorie seperti yang dia minta. Kakakku menarik tangan Ayah ke bawah meja, ke tempat yang tidak bisa kami lihat. Ayah mematung, sedingin dan seputih pualam. Beliau mulai berdoa, “Dalam nama Kristus putra Bapa, berilah Marjorie kekuatan ....” Ayah terdiam dan tampak tidak yakin harus mengatakan apa, seolah-olah beliau tahu dirinya adalah amatiran, peniru belaka. Penipu. “... untuk membantunya mengatasi—mengatasi penyakit yang menderanya. Bersihkan jiwanya. Tunjuki dia—” Lalu ayahku menjerit kesakitan. Meja kembali bergoyang-goyang saat Ayah menarik tangannya dari bawah meja. Punggung tangan beliau robek, mengucurkan darah. Dua garis panjang dalam membujur ke pergelangan tangannya. Ayah mencengkeram tangan ke dada secara instingtif, kemudian mengulurkannya ke arah Ibu dengan ekspresi takut bercampur tak percaya laiknya kanak- kanak yang merasa telah diperlakukan tidak adil. Ibu: “Apa dia mencakarmu? Menggigitmu?” “Mungkin. Aku—aku tidak tahu.” Aku beringsut mundur dikursiku, yakin bahwa berikutnya Marjorie akan mengincarku dan menyeretku ke dalam bayang- 108 Paul Tremblay bayang di bawah, membuka paksa mulutku untuk menggapai cacing merah muda yang menggeliang-geliut di dalam. Marjorie menyenandungkan lagu jelek itu lagi dan merangkak menjauhi meja. Tudung sweter menutupi kepalanya. Dia berhenti bersenandung dan memuntahkan komat-kamit tidak jelas yang kucoba untuk eja di dalam kepalaku, tapi hanya konsonan-konsonan berang yang menyusun ucapannya. Kedua orangtuaku mengucapkan namanya, menyam- paikan namanya seperti bertanya sekaligus memanggil dan memohon. Marjorie merangkak pelan-pelan untuk meninggalkan dapur terang dan memasuki ruang makan gelap. “Aku tidak menggigit ataupun mencakar,” dia berucap dengan suara lain, suara baru, suara yang tidak menyerupai manusia mana pun sepanjang sejarah lisan manusia. “Dia menggoreskan punggung tangan pria itu ke logam dan baut karatan di bawah meja tua.” Marjorie lagi-lagi mencelotehkan serangkaian konsonan dan lantas menambahkan, “Kita selalu melukai diri sendiri, bukan? Aku hendak ke kamarku. Aku tidak menerima tamu, jadi tolong jangan dekat-dekat, ya.” Marjorie menyenandungkan lagu itu lagi, mengubah- ubah timbre dan tinggi-rendahnya demikian cepat dan mendadak sehingga memusingkan dan menyebabkan telingaku pekak. Kakakku merangkaki ruang makan, bergerak seperti biawak atau makhluk lain yang sama purbanya, dan beranjak ke ruang depan dan terus ke tangga. Katanya dari jauh, “Aku bisa menirukan macam-macam suara juga, Merry.”[] 109 BAB 13 LAGI-LAGI SABTU PAGI. DI rumah segalanya terkesan mati, sekalipun pada saat itu aku tidak memiliki gambaran mengenai seperti apakah kematian yang sesungguhnya. Tbu telah kembali tidur setelah membuatkanku semang- kuk sereal untuk sarapan. Rice Krispies. Beliau tidak mem- bubuhkan dua sendok gula seperti biasanya, sedangkan sisa susu tidak mencukupi untuk merendam butir-butir Krispies yang keras dan susah dikunyah. Tapi, aku tak berani mengeluh karena ekspresi Ibu sedang galak. Aku makan hingga yang tersisa tinggal pasta sereal agak benyek yang menempel ke dasar mangkuk plastik. Kami juga sudah kehabisan jus jeruk, jadi aku minum air. Mumpung mendapat kesempatan, aku menguasai TV dengan menonton semua episode Finding Bigfoot yang kurekam di DVR. Di awal pekan itu, orangtuaku sempat mengatakan bahwa kami harus menonton semua yang direkam di DVR sebelum langganan televisi diputus dan aku bangga karena setidak-tidaknya berhasil merampungkan misi tersebut. Pada episode empat, kalau tidak salah, ketika kru berada dihutan Vermont, Ayah menuruni tangga sambil terseok-seok Paul Tremblay dan masuk ke dapur. Beliau mendesah saat melihat kotak susu kosong di meja, mengumpat pelan tapi masih kedengaran olehku, dan mondar-mandir di dapur sembari membuka- tutup pintu lemari untuk mencari sarapan. Beliau akhirnya memilih muffin Inggris siap saji yang tinggal dihangatkan. Begitu memasuki ruang keluarga sambil membawa muffin berlumur selai kacang, Ayah mengambil pengendali jarak jauh dariku tanpa berkata-kata dan memindahkan TV ke saluran olahraga. Karena aku benci nonton acara olahraga, kuusulkan agar kami berkompromi dengan menyaksikan acara berjudul River Monsters, yang menampilkan seorang pemancing ulung Britania karismatik bergigi jelek, yang bepergian ke danau- danau dan sungai-sungai eksotis untuk menangkap lele raksasa dan torpedo hidup bernama arapaima. Ayah menolak berkompromi. Aku menunggu dengan sabar sampaibeliaumenyelesaikan sarapan dan kemudian, aku melompat ke pangkuan ayahku sambil berkata, “Yah, main yuk! Tangkap aku! Ayah tak akan bisa menangkap aku.” Aku membungkuk dan meluruskan kedua kaki ayahku ke depan sofa. “Ayo! Permainan buaya.” Permainan buaya: kaki beliau adalah rahang buaya, lalu aku bakal masuk-keluar sela kakinya sambil berkelit, menggoda si buaya untuk mencaplokku dengan rahangnya. Ayah memenuhi permintaanku, tapi kentara sekali tidak sepenuh hati, sebab pikiran beliau masih dicurahkan kepada hal lain. Aku berupaya bersenang-senang seperti kesetanan. Asalkan aku berjoget-joget cepat, asalkan aku tertawa riang, asalkan aku memekik keras-keras ketika tertangkap, Ayah mungkin bisa melupakan Marjorie barang sekejap. 111 A Head Full of Ghosts Mulut buaya Ayah terlampau lamban. Tangkapannya meleset berkali-kali. Aku memohon-mohon agar Ayah berusaha lebih keras. Kemudian beliau menyalahkanku karena kurang bertekad dan bersungguh-sungguh. Katanya, “Wah, kau yang harus berhenti jadi pengecut. Kau tidak boleh terus-menerus berjoget masuk-keluar dari sini. Kau kejauhan. Kau harus menghampiri Ayah lebih dekat lagi dan berdiri di tempat lebih lama.” Ketika Ayah tetap tidak dapat menangkapku, beliau mengkritik lompatanku dengan suara ala pelatih. Beliau mengatakan bahwa aku kurang lincah, terlalu gegabah, bahwa aku seharusnya berjingkat-jingkat, bahwa aku semestinya berjalan dengan langkah-langkah ringan agar beliau tidak bisa mendengar tapak kakiku di lantai. Kuturuti saja beliau sekalipun aku ingin ambruk ke lantai dan membungkus diri di dalam karpet, untuk menghilang di bawah kaki semua orang hingga terlupakan. Aku berjoget sambil jinjit sampai jari kakiku kram sementara Ayah setengah hati membuka-tutup kakinya yang terulur lambat- Jambat dalam rangka menangkapku. Putus asa, kutingkatkan seranganku dengan menampar dan mencubit kaki Ayah. Cara ini berhasil. Ayah menerjang dari sofa, saking bertenaga dan menggebu-gebunya sampai-sampai aku kegirangan sekaligus ngeri, untuk menyambar tanganku dan menarikku ke pangkuannya. Beliau menggelitikku dan menggosok- gosokkan janggut kasarnya ke pipiku sementara aku cekikikan dan menjerit-jerit supaya beliau berhenti. Ayah berhenti terlampau cepat dan membiarkanku menggelincir turun dari pangkuannya hingga jatuh berdebum di lantai. 112 Paul Tremblay “Aduh, Yah!” “Maaf. Ayah nonton TV dulu, ya. Ke lantai atas saja, sana, dan coba lihat Ibu sedang apa.” Aku berusaha mengincar tungkainya lagi, tapi beliau menyilangkan kaki dan berkata, “Ayah serius. Berhentilah mengganggu Ayah.” Ya sudah. Aku menaiki tangga sambil sebisa mungkin berjingkat diam-diam. Terima kasih, Pak Pelatih Ayah. Aku berhenti di puncak dan merapatkan diri ke dinding di seberang pagar tangga. Aku pelan-pelan mengintip ke balik tembok dan melihat bahwa pintu kamar Marjorie tertutup. Aku tidak ingin dia mendengarku. Sejak insiden di teras, aku menghindari berdua saja dengannya. Koridor gelap, sedangkan sakelar gaya lama berlapis kuningan berada tepat di samping wajahku. Selagi beradu hidung dengan bayanganku yang pencong di kuningan, aku tidak memencet tombol hitam kecil, sebab aku berpikir sebaiknya tidak mengubah ataupun mengusik apa pun di atas sini. Aku mempertimbangkan untuk kembali ke lantai bawah dan berusaha membujuk Ayah supaya mau bermain denganku lagi, atau mengambek sambil bungkam di samping beliau di sofa. Kamarku kejauhan, terletak di ujung koridor yang menganga. Pintu kamar mandi, yang bersebelahan dengan kamar Marjorie, juga tertutup, tapi di dalamnya, terdengar bunyi kasar kipas angin yang menyala; berputar kencang lalu melambat seperti mesin pemotong rumput yang hampir kehabisan bahan bakar. Marjorie kian lama kian sering menghabiskan waktu di dalam kamar mandi, biasanya sambil 113 A Head Full of Ghosts menyalakan kipas, terkadang sambil membuka keran, alhasil menjengkelkan Ayah. Air leding tidak gratis, tahu. Aku menjadi santai. Marjorie tak akan mendengarku mengendap-endap di koridor; kipas angin terlampau berisik. Alih-alih jalan kaki sampai ke ujung dan kemudian membentengi diri di dalam kamarku, aku berlari menyusuri koridor dan membuka pintu kamar Ibu. Aku mengatakan, “Ayah bilang, ‘Coba lihat, Ibu sedang apa,” tahu persis Ibu akan marah pada Ayah karena menyu- ruhku naik sehingga mengganggu beliau. Padahal Ayah-lah yang semestinya nonton dan/atau bermain denganku. Selimut dan seprai telah ditendang dari kaki ranjang orangtuaku. Ibu sedang tidak di kamar. Marjorie yang berada di sana. Dia duduk sambil menyandar ke kepala tempat tidur, sedangkan punggungnya disangga bantal-bantal. Sambil bernapas patah-patah tapi cepat, dia mengerang, menggeram, mendesah; seperti mesin yang hampir mati, serupa kipas angin di kamar mandi kami. Kepalanya menengadah, dagunya terangkat ke langit-langit, setajam ujung payung, sedangkan matanya terpejam rapat sekali seperti sedang disembunyikan di dalam kepalanya. Dia mengenakan kaus hitam kekecilan, saking ketatnya sehingga menampakkan sangkar iganya. Aku tidak tahu mesti berbuat apa. Aku cuma berdiri bengong sambil menonton. Aku ingin meneriakkan Sedang apa kau? Aku tidak tahu kau sedang apa! sekalipun aku mengetahui yahasia yang bukan rahasia ini. Aku merasa seakan-akan sekujur tubuhku merona dan seluruh jeroanku memucat, dan kemudian sebaliknya. Yang kurasakan bukan mual, melainkan sesuatu yang lebih mendasar dan lebih mendalam. 114 Paul Tremblay Suara Marjorie semakin heboh, sedangkan aku tidak ingin siapa pun mendengarnya, maka aku pelan-pelan mengatakan, “Ssst,” dan mempertimbangkan untuk menutup pintu tapi aku tidak sanggup. Aku takut melihatnya, tapi tetap saja aku memiringkan kepala jauh-jauh ke kanan, mengintip kakakku. Tubuh Marjorie berguncang di tempat. Mulutnya terbuka dan menggeram. Mengintip dengan sopan tidak cukup, maka aku berjingkat-jingkat ke kaki ranjang dan, dari sudut pandang baru, kulihat ada bagian tubuhnya yang berlumur darah gelap, begitu pula seprai putih di bawahnya dan sela-sela kakinya. Aku berlari ke luar kamar, tergopoh-gopoh ke koridor, dan menggedor pintu kamar mandi. “Bu! Bu! Marjorie aneh! Dia berdarah.” Kucoba berteriak langsung ke daun pintu kayu. Aku tidak ingin Ayah mendengarku. Ibu tidak bisa mendengarku di balik ributnya kipas angin dan balas berteriak, “Apa? Tunggu, ya. Ibu keluar sebentar lagi.” Aku membalikkan badan dan Marjorie ternyata sudah di belakangku, menjejak koridor dengan kakinya yang kelewat kurus sambil melengkungkan punggung ke dinding, tubuhnya menyerupai tanda seru. Satu tangannya masih menyakiti dirinya sendiri, sedangkan yang sebelah lagi mencorengkan noda merah di kertas pelapis dinding. Dia terengah-engah dan mengucapkan racauan bak batu-batu dan kaca pecah sebagaimana yang dia ucapkan malam itu di dapur. Matanya terbuka dan kemudian berputar ke belakang, alhasil menampakkan bagian putih seram nan mencolok yang diselang-seling oleh jejaring merah ruwet. 115 A Head Full of Ghosts Dia tertawa, mengerang, dan berbisik pelan tertahan, “Ya Tuhan, ya Tuhan, ya Tuhan ....” Lalu asal bunyi atau mungkin Aku masih bisa mendengar mereka. Dia berhenti bicara, kemudian menggerung keras-keras, seolah perutnya baru kena tonjok. Sekujur tubuhnya berguncang dan, tepat di koridor sana, dia buang air kecil dan besar. Bau tahi, darah, dan kencing demikian menusuk sampai-sampai mulutku terasa kelat. Marjorie merosot dari tembok dan menduduki genangannya sendiri, sembari menggosokkan tangan ke lantai, dirinya sendiri, dan dinding. Aku menjerit-jerit minta tolong kepada Ibu, minta agar diperbolehkan masuk oleh Ibu. Aku memejamkan mata dan mencengkeram kenop pintu sambil memutarnya dengan kedua tangan. Pintu kamar mandi bergoyang-goyang dan berderak-derak di kosennya. Ibu sekarang berteriak-teriak juga, merasakan kepanikanku di luar. Ayah meraungkan nama kami dari bawah, mengucap satu kata tersebut tanpa daya seperti sedang berdoa minta kedamaian. Lalu beliau berderap menaiki tangga, menggetarkan pagar, menggilas rumah di bawah langkah kakinya, seolah mewartakan datangnya kiamat.[] 116 BAB 14 THE LAST FINAL GIRL Iya, ini cuma BLOG! (Jadul amat!) Atau blog terhebat sepanjang masa?!?! THE LAST FINAL GIRL membahas serbi-serbi horor dan yang seram-seram. Buku! Komik! Video game! TV! Film! Masa-SMAt Mulai dari tontonan murahan kacangan yang berdarah-darah sampai film yang membuat pusing tujuh keliling saking nyeni-nya, tapi Awas Bocoran. AKAN KUBEBERKAN BOCORAN CERITA KEPADA KALIAN BIO: Karen Brissette Selasa, 15 November 20 __ The Possession, Lima Belas Tahun Kemudian: Episode 1 (Bagian 2) Baiklah, mari kita gali episode pertama, yuk! YUK!!! Pertama-tama, adendum singkat/kelanjutan penting untuk artikel blog terdahulu mengenai pembukaan acara. Selain Paul Tremblay melukiskan kehancuran tatanan masyarakat patriarkis, yang merupakan tema acara tersebut (sebagaimana yang sudah kubahas PANJANG LEBAR), pembukaan acara menjelaskan (tanpa perlu menerangkannya secara lisan kepada semua orang) apa sebabnya sebuah keluarga sudi mengizinkan stasiun televisi untuk menyiarkan mimpi buruk nan nyata yang tengah mereka alami: anak perempuan remaja penderita psikosis parah nan meluluhlantakkan yang memercayai (atau berpura-pura, barangkali?) bahwa dirinya dirasuki setan, setan yang stereotipikal pula. Sederhananya begini: keluarga Barrett terancam kehilangan rumah mereka karena tidak mampu membayar cicilan. Mereka butuh uang tunai, segera! Produser acara membayar mereka di muka dan, sebagai gantinya, mereka rela jual diri kepada televisi. (NB 1: Rumah Produksi Enam Jari adalah perusahaan anyar yang dikepalai Randy Francis, seorang kapitalis modal ventura berusia dua puluhan [ng, makasih uangnya, Pa, minta lagi dong] yang aktif menyasar segmen pasar khusus untuk produknya, yakni film-film fantasi yang langsung dirilis ke video dan ceritanya dicontek mentah-mentah dari karya J. K. Rowling, George R. R. Martin, J. R. R. Tolkien, dan penulis-penulis lain yang namanya mengandung inisial. Dari mana Enam Jari mendengar kisah keluarga Barrett, bagaimana ceritanya sampai mereka sigap mengajukan diri untuk menyelamatkan keluarga itu dari kebangkrutan, dan dari mana persisnya Enam Jari mendapat dana sebelum Discovery Channel terlibat—semua ini masih merupakan misteri. Bapa David Wanderly, pastor yang berkawan dengan 119 A Head Full of Ghosts John Barrett, jelas menjadi penghubung antara keluarga Barrett dengan rumah produksi. Namun, setahuku rumor tentang keterkaitan Wanderly dengan organisasi-organisasi konservatif penggalang dana kampanye politik, yang uangnya dikucurkan untuk mendanai produksi, kompromi diam-diam dengan keuskupan agung supaya gereja di parokinya tidak ditutup, dan keterlibatan anggota Opus Dei kaya raya nan berkuasa yang terkekeh-kekeh di latar belakang hanyalah kabar burung tak berdasar. Buku resmi dan non-resmi mengenai acara itu [Kembali dari Neraka: Kisah Nyata di Balik Kerasukan dan Kerasukan, Dusta, dan Kaset Video: Malaikat Kegelapan di Balik Kerasukan] sama-sama kurang informatif mengenai lika-liku di belakang layar dan, sejujurnya, secara umum tidak bagus. Ya, demikianlah menurutku.) Oke. Soal itu cukup. Kali ini betulan. Mari kita bahas seri tersebut. Seri yang itu! Yang menyuguhkan kisah kerasukan fiktif Marjorie Barrett malang, usia empat belas tahun. Selepas intro, episode perdana didominasi oleh serangkaian adegan reka ulang dan sejumlah wawancara dengan kedua orangtua serta Bapa Wanderly. Apabila intro menyuguhkan argumen pembuka mengenai harga mahal yang harus dibayar apabila nilai-nilai keluarga dan patriarki di Amerika diterabas, pokok episode perdana adalah bukti-bukti bahwa Marjorie kerasukan roh jahat, entitas asing, jin, iblis, makhluk gaib iseng. 120 Paul Tremblay Kisah yang mereka sajikan kedengarannya sudah tidak asing, ya? Tentu saja, sebab memang begitu adanya. The Exorcist (film yang disutradarai oleh William Friedkin berdasarkan novel karya William Peter Blatty) merupakan fenomena dan warisan kultural dari era 1970-an. Tapi, mesti diakui bahwa dewasa ini, film tersebut telah kehilangan sebagian keseramannya, telah menjadi kurang menggigit. Tidak mengerti? Silakan lihat NB 2. (NB 2: Aku menanyai anak tetangga berusia dua belas tahun apa film favoritnya dan dia mengejutkanku dengan menjawab The Exorcist. Kutanya apa sebabnya. Dia mengatakan bahwa, “Film itu lucu sekali.” Dasar bocah psikopat!!!! Mulai sekarang, pintu-pintu rumahku kupasangi gembok masing-masing tiga!!! Tapi, kalian tentu memahami maksudku. Anak zaman sekarang tidak takut lagi pada film itu.) Tapi ya ampuuuuun, waktu film itu kali pertama keluar, orang- orang ngeri bukan main. Banyak kritikus/akademisi/orang pintar yang menulis bahwa kehebatan The Exorcist adalah kemampuannya memanfaatkan anggaran besar Hollywood untuk memadukan unsur-unsur film nyeni dengan sinema eksploitasi, tapi berat di eksploitasinya. Tahu tidak, orang- orang mengantre demi menonton film itu karena mereka mendengar tentang mulut kotor Regan (dalam arti harfiah dan kiasan!) dan kepala berputar (yang pernah kucobal!!). Yang memotivasi kita bukanlah Kristus, melainkan yang saru dan yang seram! Tentu tidak mengejutkan *Karen mendecak- 121 A Head Full of Ghosts decakkan lidahnya dengan prihatin* apabila serentetan film hangat-hangat kuku dengan rating BO pada 2000-an tidak kuasa meraup penonton dan pujian kritikus sebanyak The Exorcist. The Exorcist merupakan film horor populer pada masanya yang wajib-tonton dan—lain dengan film-film serupa bermuatan progresif/transgresif serta dibuat secara independen (Night of the Living Dead, Last House on the Left, The Texas Chainsaw Massacre)—kebetulan saja merupakan salah satu film horor paling konservatif sepanjang masa. Baik vs jahat! Hore, yang baik menang! Gadis kulit putih cilik yang suci dan polos diselamatkan oleh pria kulit putih dan agama! Hore, pria kulit putih dan agama menang! Yang kita butuhkan hanyalah cinta iman! Kejayaan status quo! Nilai- nilai keluarga! Kalangan kelas menengah yang dengan heroik melawan hantu asing (Pazuzu aslinya adalah setan asing berkulit cokelat, yang kali pertama dilihat oleh Bapa Merrin di Irak pada adegan pembuka film itu!) Betul, sebagian besar alur The Possession sejalan dengan skenario The Exorcist dan film-film horor lain. Adakalanya, reka ulang malah sama persis dengan adegan-adegan klasik sehingga menyentuh memori kultural yang tersimpan di bawah sadar kita (iya, analisis ini kukarang-karang sesukaku, tapi kedengarannya keren, ‘kan?) dan, secara janggal, menegaskan bahwa yang kita lihat memang autentik. Yang cerdik adalah, reka ulang yang tidak sama persis dengan adegan-adegan klasik tetap tidak lain-lain amat, alhasil menekankan kebaruannya. Kalau bukan itu, reka ulang dicontek dari film lama yang kurang terkenal, alhasil terkesan baru. Begitulah. 122 Paul Tremblay Biar kutelaah sejumlah adegan reka ulang: — Marjorie berdiri di dekat tempat tidur Merry, membayang- bayangi adiknya, yang kentara sekali terinspirasi dari film ceritanya-ada-kaset-temuan-yang-entah-mendokumen- tasikan-rumah-hantu-atau-insiden-kerasukan Paranormal Acti- vity. Sudut kamera dan pencahayaannya sama persis dengan film tersebut. Marjorie berpakaian sama seperti Katie, mengenakan celana pendek dan kaus ketat. Melihat orang terkasih yang sedang tidur dibayang-bayangi seperti itu saja sudah menakutkan, tapi The Possession menambahkan bumbu penyedap, yakni dengan menunjukkan bahwa Marjorie me- mencet hidung adik perempuannya. Tindakan kejam ini memang subtil, tapi menyiratkan bahwa kekerasan yang lebih brutal mungkin saja terjadi pada masa mendatang. (NB 3: Iya, lagi-lagi politik. Maaf. Habis, politik berada di mana-mana dan menyosor di depan muka kital!!! Aktris pemeran Marjorie dalam reka ulang, Liz Jaffe, bukan remaja empat belas tahun. Dia berusia 23 tahun dan berpenampilan Jayaknya perempuan 23 tahun. Marjorie masih di bawah umur. Nona Jaffe tidak. Liz memiliki warna rambut, warna kulit, dll, yang mirip dengan Marjorie, tapi secara fisik dia jelas-jelas lebih ... ehem, ehem ... dewasa. Dia mengenakan rias wajah, berpakaian ketat, dan ada adegan saat dia bertelanjang bulat. Tapi jangan takut, sebab badannya ditutupi piksel-piksel yang diburamkan secara digital. Singkat kata, betul bahwa The Possession dibingkai menurut “the male gaze” atau “pandangan. laki-laki” [silakan lihat esai Laura Mulvey yang berjudul 123

Anda mungkin juga menyukai