Anda di halaman 1dari 9

BAB I

Wanita Paling Beruntung

Namaku Tristan, wanita berusia 28 tahun. Aku memiliki satu saudara laki-laki dan
saudara kembar perempuan bernama Valerie. Valerie sudah meninggal saat kami berusia 21
tahun. Kakak Dino sudah menikah dan memiliki rumah sendiri. Sekarang aku tinggal bersama
kedua orangtuaku. Bisa dikatakan hidupku sangat berkecukupan. Papa dan mama adalah
pasangan wiraswasta yang memiliki perusahaan kuliner besar di Bandung. Sebetulnya,jika aku
memilih untuk tidak meneruskan kuliah pun,hidupku sudah sangat berkecukupan. Tetapi aku
tidak mau merepotkan kedua orang tuaku nanti.
Aku bekerja sebagai dokter umum di sebuah rumah sakit swasta pada saat ini.
Penghasilanku sudah cukup untuk menghidupi satu kantung perut. Mama sudah menasehatiku
untuk menikah. Tetapi aku belum siap.
“Ayolah nak,sekarang kan kamu sudah dewasa. Mana calonmu? Mama sudah tidak sabar
ingin menimang cucu.”
Mama tidak tahu kata-kata tersebut menyakitkan hatiku. Apalagi tentang menikah,ini
hanya mengembalikan ingatan yang paling menyeramkan dalam hidupku.
“Nikah sama siapa ma?”
“Sama onta?”jawabku ketus
“Hus,kamu itu dibilangin malah ngelawan.”spontan reaksi mama yang sudah geram akan
tingkah lakuku.
“Kamu gak punya pacar atau kenalan barangkali. Kamu kan dokter, cantik lagi. Siapa si
yang bakal nolak kamu.”
“Nyari calon suami susah,ma. Ngga sama kaya nyari baju. Kalau udah lusuh baru
dibuang. Ini harus seumur hidup,kalo udah lusuh ga bisa dibuang. Kecuali kalo jadi suami tante
Irma.”
“Mama udah capek ngomong sama kamu. Ujung-ujungnya malah ngegosipin orang.”
“Lah,emang kenyataannya kayak gitu.”
Mama sudah lelah berdebat denganku. Beliau langsung menuju kamar dan mandi. Belum
habis amarahku karena berdebat dengan mama, tante Rizka datang untuk menjemput mama. Hal
yang biasa mama lakukan dalam tiga minggu sekali fitness sambil arisan.
“Neng dokter ga praktek?”tanya tante Rizka yang langsung merangkulku untuk menjilati
wajahku tepat saat itu juga.
“Ngga tante,hari Sabtu saya libur. Prakteknya cuma hari senin sampai jumat aja.”

“Terus neng ga ada kegiatan?”


“Ngga tante.”responku terhadap wanita yang sangat menyebalkan ini
“Neng,ngga jalan sama pacarnya?”
Wajahku berubah menjadi dingin untuk menahan ekspresi geram yang ditimbulkan
wanita setan ini.
“Ngga tante,lagi males.”
“Oh…ta…,”
“Tante, aku mandi dulu ya. Tiba-tiba ada panggilan dari rumah sakit soalnya…,iya halo
ada apa?”
Aktingku sangat rapi sehingga dapat mengelabui wanita itu untuk berbicara lama padaku.

Beep
Ini pasti message dari suster Erni. Salah satu assistant-ku.

Dokter Tris, dimohon segera ke rumah sakit sekarang. Urgent. Terima kasih

Aku langsung bergegas mengganti pakaianku dan langsung memanaskan mesin mobil.
Mama sudah pergi dari tadi. Papa seperti biasa di pabrik. Bibi sedang sibuk di rumah seberang.
Rumah utama sangat dingin untuk kulewati. Suara yang kudengar saat itu hanya langkah kaki
dan suara detak jam. Tak terlintas apapun di pikiranku saat itu. Hanya membayangkan
bagaimana rupa pasien yang akan kuperiksa nanti. Mesin mobil sudah panas. Aku segera
memegang setir dan berangkat.
Sore ini rumah sakit sangat sepi dari biasanya. Ironisnya,tidak terlalu sepi dari keadaan di
rumahku. Aku masih dapat melihat sedikit orang melakukan kegiatannya masing-masing.
"Pasienku dimana sus?"tanyaku kepada suster Eni yang sedang membantu dr. Gatot di
ruang emergency.
"Oh,kayanya udah di klinik umum,dok."
"Klinik? Ini pasien rawat jalan?"
"Wah,saya kurang tahu dok. Ini juga sebetulnya kiriman dari dr Alex."
"Lo, kok dr. Alex ngga ngomong ke saya dulu?"
"Wah,saya kurang tahu dok."
Aku bekerja sebagai dokter keluarga di rumah sakit ini. Sedangkan dr. Alex bekerja
sebagai dokter spesialis onkologi. Ini yang membuatku bingung. Mengapa sistem management di
rumah sakit ini begitu kacau. Mungkin pasien menginginkan aku secara pribadi memeriksanya.
"Ya,udah."
Aku tidak bisa mengelak dari permintaan suster Eni. Karena pada kenyataannya, suster
Eni tidak punya wewenang untuk menolak permintaan dokter senior dan aku hanya dokter baru
disini. Aku pun segera bergegas ke klinik untuk melihat pasien istimewa ini.
"As...,"panggilku pada wanita muda berbaju merah di bagian administrasi.
"Pasien kiriman dr. Alex ada di dalem?"
"Oh, iya dok. Sudah di dalam."jelas Astrid sambil mengarah lengannya menunjukkan
padaku ruang klinik tempat pasien itu menunggu. Aku segera masuk ruang klinik dan hendak
melihat data pribadi pasien. Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Terlihat suster Erni membuka
pintu yang ia ketukkan sebelumnya.
Hari itu sudah hampir jam tutup di klinik kami. Jika ada pasien yang butuh pelayanan
saat itu,mereka segera diantar ke ruang ICU. Langkahku tertuju ke meja pemeriksaan no.5
dimana pasien itu berada. Pasien saat itu memakai baju setelan blouse berwarna hijau dengan rok
panjang sampai tumit berwarna kuning. Wanita ini tidak berkerudung dan dapat kulihat warna
rambutnya yang memutih sebahu. Sekilas aku membuka data pribadinya yang ada ditanganku.
"Nak,Tristan."jawabnya lirih padaku dengan wajah memelas.
"Ibu?!"
Aku tidak dapat mengalihkan mataku dari wanita setengah baya itu. Rasanya detak
jantungku berjalan begitu kencang sehingga menyebabkan sekujur tubuhku terasa dingin, tak
terasa peluh menetes dari dahiku.
Berkali-kali aku mengatakan pada diriku untuk tenang agar wanita ini tidak mencurigai
kelemahanku. Aku mencoba untuk fokus dan profesional sebagai seorang dokter.
"Ibu,sakit apa?"sapaku dengan tersenyum kaku terhadap wanita itu.
"Nak Tris sudah lama,ya ngga ketemu. Ibu kesini mau ketemu nak Tris aja. Ibu ngga
merasa sakit kok."jelas wanita itu sambil memandang wajahku dengan rasa yang tertahan.
"Ibu dari dr. Alex kemaren, kata dokternya sakit apa?"kataku dengan nada serius
mencoba mengalihkan perhatiannya.
"Ah, ibu ke dokter itu cuma nanya alamat nak Tris aja,ibu ngga sakit!"
Wanita tersebut menaikan nadanya sekali lagi didepanku. Aku hanya tertegun saat itu dan
berharap wanita ini tidak mengalami gangguan jiwa.
"Ya udah, sekarang ibu ada keluhan ngga? Biar nanti saya obati."jelasku pada wanita itu
dengan tersenyum lagi untuk kedua kalinya.
"Tris,ikut ibu pulang ya. Kasian Anton."katanya sambil meneteskan air mata di
hadapanku.
"Ibu, sekarang yang tenang ya. Tunggu sebentar saya ambilkan minum dulu."
Itu yang dapat kukatakan sementara untuk menenangkan diriku untuk sesaat. Dan aku
keluar dari ruangan klinik. Jujur aku tidak tahu lagi harus melakukan apa saat itu. Pikiranku
bercampur tidak terarah saat itu. Aku tidak bisa tenang.
Suster Erni mengambil secangkir air hangat dan mengantarkannya pada wanita itu.
Aku belum masuk ke dalam klinik saat itu. Kulihat suster Ida yang keluar membawakan gelas
kosong pertanda wanita tersebut sudah meminumnya.
"Sus, ibu tadi sudah tenang?"bisikku pada beliau.
"Oh,udah dok."
Saat aku hendak membuka ruangan klinik, suster Ida segera menyela.
"Dok, tadi dia bilang ke saya suruh nelponin anaknya. Perlu saya panggil dok?"
"Anaknya masuk wali pasien ini? Ada nomernya?"
"Ada si dok,kalo nomer rumah mah."
"O, ya udah telepon aja. Biar sekalian saya heteroanam soal pasien."
"Oh, iya dok. Nanti saya hubungi."
Aku memberi obat penenang pada pasien ini. Dua jam telah berlalu, dan ini hampir
malam,pasien tersebut tertidur.
"Dok, walinya udah dateng."bisik suster Ida sambil menepuk pundakku yang tak sengaja
tertidur di meja cafetaria.
Aku mencuci wajahku dan segera ke ruang klinik. Terlihat seorang pria berdiri dibalik
tirai ranjang wanita yang sedang tertidur itu. Pria itu menolehkan wajahnya padaku. Dia
mengerutkan dahinya sambil berjalan ke arahku. Aku berdiri didepan pintu klinik dan tersenyum
ramah padanya. Mungkin ia sudah lupa padaku tetapi aku tidak akan pernah melupakan
wajahnya.
"Selamat malam mas Anton. Bisa minta waktunya untuk bicara sebentar?"kataku
dihadapannya.
"Oke."balasnya sambil mengangguk dan mengikuti langkahku.
"Duduk dulu,mas."kataku sambil menyuguhkan kursi di samping meja kantorku.
"Udah berdiri aja. Sebetulnya ibu kenapa,dek?!"balasnya dengan mimik yang serius.
"Iya. Nanti aku jelaskan. Sekarang mas tenang dulu."jelasku sambil tersenyum
"Tris,aku gak punya waktu banyak untuk basa-basi sekarang!! Ibu kenapa?!!!"balas pria
itu dengan nada yang lantang.
Aku menengok ke arah luar lewat jendela kantor memastikan perhatian orang tidak
teralihkan oleh tingkah laku pria ini.
"Mas,saya lagi bertugas sekarang. Saya mohon kerjasamanya agar kita bisa komunikasi
secara profesional."
Pria itu terdiam mendengar balasanku. Dia akhirnya mau duduk dihadapanku dan
menjawab pertanyaanku secara sopan. Ibunya bernama Ratih Soewondo. Beliau merupakan ibu
Bhayangkari senior yang di diagnosis oleh dokter sebelumnya mengidap penyakit keganasan di
payudara stadium 3b. Orang ini adalah mantan tunanganku ,Anton. Sebetulnya,bukan Anton
yang membuatku takut untuk menikah sampai saat ini.
Anton pergi meninggalkan aku sendiri di kantorku. Amarahnya sudah ia tumpahkan
padaku. Dan terlihat jelas ia tidak mempedulikanku. Aku tidak terganggu dengan itu. Sepanjang
hidupnya, sikap Anton selalu membuatku geram. Sifatnya yang controlling dan manipulative
sangat bertentangan dengan sifatku yang liberal dan keras kepala.
Keluargaku tidak pernah percaya Anton bersikap kasar padaku. Didepan mereka, Anton
adalah calon suami yang baik. Dia tidak pernah mengeluh, mandiri, tegas, dan selalu
bertanggung jawab atas perbuatan yang selalu ia lakukan.
Anton hadir setelah Val pergi. Dia merupakan kebanggaan papa dan kesayangan mama.
Hubungan kami merupakan mutual relationship yang menguntungkan kedua pihak keluarga.
Tetapi, berbeda dengan pandangan calon pengantinnya. Aku tidak mencintai Anton. Anton pun
sangat membenciku. Kami tidak bisa jujur dan mengecewakan keluarga kami. Sehingga
hubungan kami berjalan atas dasar kebohongan besar.
Ibu Ratih sangat memanjakanku saat aku masih menjadi calon menantunya. Ia
memberikan perlakuan padaku selayaknya aku istri idaman untuk Anton. Menurut beliau, jika
anaknya yang berprofesi sebagai perwira polisi menikah dengan seorang dokter dari keluarga
kaya, akan meningkatkan reputasi keluarga Soewondo.
Mayjen(Purn) Bastian Soewondo,suami beliau teman baik papa saat masih SMA dulu.
Aku dan Val sudah dianggap putri mereka sendiri. Setelah Val meninggal,kehidupan sosialku
makin kacau. Ibu mengira ini termasuk biologic clock. Dan dengan menikah, aku bisa berubah
seperti dulu.
Pada kenyataannya, bukan itu alasanku untuk merasa depresi. Ada hal lain yang selalu
menggangguku. Dan ini berjalan lebih kompleks daripada keinginan untuk menikah.
Semuanya begitu berat saat itu. Aku bahkan belum dapat membangunkan tubuhku dari
kursi setelah Anton pergi. Entah mengapa serangan itu terjadi lagi. Mungkin aku bisa
menyebutnya anxiety atau manic depression atau dua-duanya. Walaupun aku seorang dokter,aku
tidak bisa mendiagnosis secara pasti. Tapi keadaan ini timbul setelah aku menyadari jika aku
berjuang sendiri.
Aku tidak pernah menceritakan masalah pribadiku pada orang lain. Jangankan sahabat,
orangtuaku bahkan saudara kembarku sendiri tidak tahu mengapa aku bisa depresi. Mereka
sudah mencoba menjalin hubungan denganku. Mulai dari percakapan santai tentang cuaca
sampai masalah serius tentang masa depan. Usaha mereka untuk memancing isi hatiku sia-sia.
Pasalnya, aku tidak bisa membuka hatiku dengan mudah. 
Semenjak Val hadir dalam hidupku sampai hari kematiannya, aku merupakan gadis kecil
manja yang sangat naive didepan keluargaku. Sering aku mendambakan untuk pergi dari sini.
Keluar dari kenangan dan hidupku saat ini. Tetapi, aku masih punya kesadaran pada tanggung
jawabku terhadap keluargaku. Aku tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja tanpa alasan.
Dan satu hal yang membuat aku bertahan pada dilema hidup ini adalah Aku bukan seorang
pengecut yang bisa dengan mudah lari dari masalah. Aku segera pulang sesudah memastikan
bahwa aku tidak memiliki pasien yang harus ditangani secara langsung lagi.
************
BAB II
Belum Selesai

“Tris…! Udah bangun nduk?!”


Panggilan mama terdengar lantang dari luar pintu kamarku. Aku mengumpulkan seluruh
kesadaranku untuk bangun dan menjawab pertanyaan mama.
I hate Monday.
Itu ungkapan yang sering kita ucapkan disaat kita malas untuk bekerja. Sayangnya
ungkapan tersebut tidak menjadi motoku.
I love Monday.

Di hari senin aku dapat bertemu dan bercakap-cakap dengan berbagai macam wajah. Aku dapat
mendengarkan dan membantu masalah yang mereka hadapi. Aku dapat mengobati dan merawat
luka dan rasa sakit yang mereka rasakan. Dan rasanya aku merasa terpenuhi.

Aku dapat merasakan kebahagiaan disaat aku dapat membantu mereka. Padahal mereka belum
pernah mengenalku. Rasa penat,kesedihan, dan kekosongan hatiku menjadi hilang disaat aku
dapat tersenyum dan mereka menghargaiku.
Menjadi seorang dokter bagiku adalah salah satu cara untuk melampiaskan kesepian dan
meningkatkan harga diriku.

Sayangnya pada hari Senin ini aku tidak bekerja. Astrid mewakili pihak rumah sakit mengatakan
bahwa aku disarankan untuk mengambil hari cutiku.
Aku sempat menolak ide itu. Tetapi, pihak rumah sakit sudah mengubah jadwal shiftku dengan
orang lain.

Mama tersenyum mendengar hal itu.


Dan aku dapat membaca pikirannya beliau alan menanyakan hal yang aku tidak suka.

“Ikut mama arisan yuk,nduk!”


Dengan lemas aku menjawab,”Kapan ma?”

“Sore ini jam 3. Sekalian mama mau ke rumah tante Olive.”jawab mama dengan cahaya
dimatanya agar dapat menarik aku untuk menjawab ya.

“Males ma. Tris mau istirahat aja.”

“Males kenapa sih Tris?”tanya mama dengan nada meninggi.

“Males ditanyain ibu-ibu. Males ditawarin jadi menantu. Males pergi kemana-mana.”jawabku
dengan dingin

“Oh. Ya udah. Mama berangkat jam 2 siang kalau kamu berubah pikiran. Kalo menurut mama
sih, mending kamu ikut. Siapa tau nambah relasi dan kamu bisa dijadiin kepala rumah
sakit.”jawab mama yang bangun dari kasur dan meninggalkan kamar tidurku.

Aku hanya terdiam oleh ucapan mama saat itu. Pikiranku berputar seiring dengan ide yang
mengalir.

Teman arisan mama salah satunya tante Olive adalah pengusaha export furniture berbahan dasar
kayu Jati yang cukup berkuasa di daerah Jepara. Selain itu,ibu-ibu sosialita lainnya yang
mendekati mama tidak memiliki masalah akan perihal menghamburkan uang. Tante Inez istri
dari pengusaha tekstil yang sukses di Singapore sama halnya dengan tante Rossa yang memiliki
omset sampai 50 miliar dari hasil butik batik modernnya di Jakarta.

Pendapatku,hanya dua orang yang memiliki hidup sederhana di kalangan teman arisan mama.
Tante Rizka contohnya. Beliau merupakan social climber yang menjadi istri seorang pilot dan
Tante Emmy seorang dokter spesialis kulit dan kelamin yang lumayan exist di Bandung.

Dari beberapa tokoh di atas, tidak ada wanita yang aku jadikan role model.
Mereka semua tidak lebih baik dari mama.

Materialistik,dangkal,tinggi hati dan munafik adalah stereotipe wanita-wanita yang menjadi


teman bermain mama. Aku tidak menyukai mereka.

Tetapi lain halnya dengan Val.


Val dekat sekali dengan tante Rizka.
Itu yang menyadarkan aku mengapa kami berbeda.

Anda mungkin juga menyukai