Penyakit kusta adalah suatu penyakit kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, Bakteri ini mengalami proses pembelahan cukup lama antara 2 - 3 minggu. Daya tahan hidup kuman kusta mencapai 9 hari di luar tubuh manusia. Kuman kusta memiliki masa inkubasi 2–5 tahun bahkan juga dapat memakan waktu lebih dari 5 tahun (Kemenkes RI, 2015). Penyakit kusta menyebabkan kecacatan jika tidak dilakukan perawatan diri. Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah kompleks, bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan sosial (Astutik, Erni et al; 2016). Penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, menurut data WHO (World Health Organization) Jumlah penderita kusta yang dilaporkan dari 121 negara di 5 regional WHO sebanyak 175.554 kasus di akhir tahun 2014 dengan 213.899 kasus baru (www.who.int). Berdasarkan klasifikasi WHO dan Modifikasi WHO mengelompokkan tipe keparahan: Pausibasiler (PB) Penyakit ini mengandung banyak basil dan terdiri atas tipe Indeterminate, Tuberkuloid, Borderline Tuberkuloid. Jumlah lesi sebanyak 1 hingga 5 lesi kulit. Hasil pemeriksaan basil tahan asam BTA negatif. Multibasiler (MB) Penyakit ini mengandung sedikit basil dan terdiri atas tipe Borderline, Borderline Lepromatous, Lepromatous. Jumlah lesi lebih atau sama dengan 6 lesi kulit. Hasil pemeriksaan BTA positif (Amirudin, 2012). Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun tajam di sebagian besar negara atau wilayah endemis. Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun 2009 tercatat 213.036 penderita yang berasal dari 121 negara, sedangkan jumlah kasus baru tahun 2008 baru tercatat 249.007. Jumlah kasus baru kusta di dunia pada awal tahun 2013 adalah sebesar 232.287. Dari jumlah tersebut paling banyak terdapat di regional Asia Tenggara (166.445), diikuti regional Amerika (36.178), regional Afrika (20.599), dan sisanya berada di regional lain di dunia (WHO, 2013 dalam Kemenkes 2014). Data Kementerian Kesehatan RI (2016) menyebutkan angka CDR di Indonesia sebesar tahun 2015 yaitu 6,73 kasus baru per 100.000 penduduk, menurun dibanding tahun 2011 sebesar 8,03 per 100.000 penduduk. Meskipun demikian data tersebut tergolong endemik rendah dan berpotensi menjadi sumber penularan bagi masyarakat. Status eliminasi kejadian kusta di Indonesia dibagi menjadi 2 kelompok yaitu provinsi yang belum eliminasi dan provinsi yang sudah mencapai eliminasi. Provinsi yang belum mencapai eliminasi jika angka prevalensi >1 per 10.000 penduduk, sedangkan provinsi yang sudah mencapai eliminasi jika angka prevalensi < 1 per 10.000 penduduk (Kemenkes RI, 2016). Penatalaksanaan kasus kusta yang buruk dapat menyebabkan kusta menjadi progresif, menyebabkan kerusakan permanen pada kulit, saraf, anggota gerak, dan mata. Indonesia berada pada peringkat ketiga berkaitan dengan jumlah penderita kusta di dunia setelah India dan Brasil dengan angka insiden 20.968 penderita (Ditjen, PP; 2011) . Jumlah penderita kusta di Indonesia di wilayah Asia adalah terbanyak ke-2 setelah India (Ditjen, PPM; 2006). Penderita kusta di Indonesia terdapat hampir di seluruh daerah dengan penyebaran yang tidak merata. Suatu kenyataan, di Indonesia Timur terdapat angka kesakitan kusta yang lebih tinggi. Penderita kusta 90% tinggal di antara keluarga mereka dan hanya beberapa persen saja yang tinggal di rumah sakit kusta, koloni penampungan atau perkampungan kusta (Hiswani, 2011). Sifat penyakit kusta secara epidemiologis, baik sumber penularan, sifat penularan maupun tingkat keterpaparan, dapat dikatakan bahwa cukup banyak orang dalam masyarakat yang terpapar kusta yang seharusnya mengalami infeksi, ternyata mereka tidak menderita penyakit tersebut.
3.2 Triad Epidemiologi dan Riwayat Ilmiah Penyakit
Berdasarkan studi literatur dari beberapa jurnal, dapat kami simpulkan mengenai epidemiologi dan riwayat ilmiah penyakit antara lain : 3.2.1 Faktor Host 1. Umur Pada usia produktif manusia berperan aktif dalam berhubungan dengan dunia luar, baik pekerjaan maupun berhubungan dengan lingkungan sekitar apabila dibandingkan dengan usia balita atau lansia, sehingga pada usia produktif inilah manusia menjadi lebih rentan terjangkit berbagai penyakit (Depkes RI, 2006). 2. Jenis Kelamin Jenis kelamin memengaruhi perbedaan bentuk dan proporsi tubuh dan kulit. Jenis kelamin belum diketahui sebagai pencetus langsung terjadinya penyakit kusta, tetapi berdasarkan penelitian Scollard menyatakan bahwa kejadian penyakit kusta lebih dominan pada pria yaitu sebesar 47% dan wanita sebesar 26% karena pria lebih banyak melakukan aktivitas fisik yang bisa mengakibatkan terjadi penurunan daya tahan tubuh yang bisa memungkinkan kuman kusta masuk sendiri (Schollard, et al; 1994). Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat dari Marwali Harahap (2000) yang menyatakan bahwa penyakit kusta dapat menyerang semua orang. Laki-laki lebih banyak terkena dibandingkan dengan wanita, dengan perbandingan 2:1. Walaupun ada beberapa daerah yang menunjukkan insidens ini hampir sama bahkan ada daerah yang menunjukkan penderita wanita lebih banyak. Begitu juga seperti yang ada dalam Depkes RI, (2007) bahwa laki-laki lebih banyak terserang dari pada wanita. Relatif rendahnya kejadian kusta pada perempuan kemungkinan karena faktor lingkungan atau faktor biologi. Seperti kebanyakan penyakit menular lainnya laki-laki lebih banyak terpapar dengan faktor risiko sebagai akibat gaya hidupnya. 3. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan merupakan faktor risiko kejadian penyakit kusta bahwa pendidikan rendah berisiko 2,8 kali terhadap kejadian penyakit kusta dibanding dengan orang yang berpendidikan tinggi, dan pendidikan bermakana secara statistik terhadap kejadian penyakit kusta. Tingkat pendidikan memengaruhi pengetahuan tentang bahaya penyakit kusta dan cara pencegahannya sehingga dengan pengetahuan yang diperoleh melalui pendidikan, dapat menjadi salah satu faktor yang dapat mencegah berbagai macam penyakit seperti juga penyakit kusta. Penelitian ini sesuai dengan teori Health Belief Model yang mengatakan bahwa tingkatpendidikan dapat berpengaruh terhadap kejadian kusta. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan semakin rendah faktor risiko yang didapatkan oleh responden. Selain itu, Rendahnya tingkat pendidikan dapat mengakibatkan lambatnya pencarian pengobatan dan diagnosis penyakit, hal ini dapat mengakibatkan kecacatan pada penderita kusta semakin parah. 4. Pengetahuan Pengetahuan yang baik diharapkan menghasilkan kemampuan seseorang dalam mengetahui gejala, cara penularan penyakit kusta dan penanganannya. Pada umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin baik pula tingkat, dengan memberikan informasi-informasi tentang cara-cara mencapai hidup sehat, cara pemeliharaan kesehatan, cara menghindari penyakit dan sebagainya akan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hal tersebut (Notoatmodjo, 2003). Memperhatikan teori determinan perilaku kesehatan dari Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2003). Pengetahuan yang diperoleh oleh individu dapat membangun sikap dan persepsi sebagai dasar untuk bertindak. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori Green menyatakan bahwa adanya kecenderungan seseorang yang berpengetahuan tinggi akan lebih cenderung untuk berperilaku baik dalam bidang kesehatan dalam hal ini mencegah kecacatan keluarganya yang menderita penyakit kusta. 5. Kepatuhan Minum Obat Tujuan pengobatan penderita kusta adalah untuk memutuskan mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita dan mencegah terjadinya kecacatan atau bertambah cacat. Pengobatan penderita kusta ditujukan untuk mematikan kuman kusta sehingga tidak berdaya merusak jaringan tubuh dan tanda-tanda penyakit jadi kurang aktif sampai akhirnya hilang (Depkes RI, 2015) Penderita yang sudah dalam keadaan cacat permanen, pengobatan hanya dapat mencegah cacat lebih lanjut. Bila penderita tidak minum obat secara teratur, maka kuman kusta dapat menjadi aktif kembali, sehingga timbul gejala-gejala baru pada kulit dan saraf yang dapat memperburuk keadaan (Depkes RI, 2006). 6. Imunitas Faktor imunitas adalah faktor yang menunjukkan ketahanan seseolang terhadap infeksi M. leprae, sebagian besar manusia mempunyai kekebalan alamiah terhadap kusta- Respon imun pada penyakit kusta sangat kompleks yaitu melibatkan imunitas seluler dan humoral. Sebagian besar gejala dan komplikasi penyakit ini disebabkan oleh reaksi imunologi terhadap antigen yang ditimbutkan oleh Mycobacterium leprae. Jika respon imun yang terjadi setelah infeksi cukup baik, maka multiplikasi bakteri dapat dihambat pada stadium awal sehingga dapat mencegah perkernbangan tanda dan gejala klinis selanjutnya. Mycobacteriua leprae merupakan parasite obligat seluler, maka faktor respon imun seluler memegang peranan penting dalam ketahanan rubuh terhadap infeksi. Respon imun seluler merupakan hasil dari aktivasi makofag dengan meningkatnya kemampuan dalam menekan multiplikasi atau menghancurkan bakteri (Harboe et al, 1994). 7. Genetik Faktor genetik telah lama dipertimbangkan karena memiliki peranan besar untuk terjadinya penyakit kusta pada suatu kelompok tertentu, faktor genetik juga melenhrkan derajat imunitas seseorang terhadap infeksi kuman patogen lermasrok M. leprae. Diantara faktor-faktor genetik, faktor HLA terutama HLA kelas II ternyata Memainkan peranan yang lebih besar Terhadap kerentanan penyakit. Peranan HLA dalam menentukan kerentanan seseorang terhadap M leprae. Oleh karena ada banyak molekul HLA setiap individu akan berbeda tipe HI-A-nya yang juga akan menyebabkan perbedaan respon imunitas seseorang terhadap antigen M.Ieprae (Agusni, 1998). 8. Pekerjaan Sebagian besar penderita kusta di dunia berada di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, sebagaian besar penduduk Indonesia mencari penghasilan dengan bercocok tanam atau bertani. Hal ini sangat berpengaruh terhadap terjadinya cacat pada kusta. Penelitian yang dilakukan di Nepal oleh Ghimire (1996). 9. Status Perekonomian WHO (2003) menyatakan 90% penderita kusta di dunia menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin. Hubungan antara kemiskinan dengan penyakit kusta bersifat timbal balik. Kusta merupakan penyebab kemiskinan dan karena miskin maka manusia menderita kusta. Kondisi sosial ekonomi itu sendiri, mungkin tidak hanya berhubungan secara langsung, namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi memburuk, serta perumahan yang tidak sehat, hygiene sanitasi yang kurang dan akses terhadap pelayanan kesehatan juga menurun kemampuannya. Sudah diketahui bahwa faktor sosial ekonomi sangat berperan penting dalam kejadian kusta. Hal ini terbukti pada negara-negara di Eropa dengan adanya peningkatan sosial ekonomi, maka kejadian kusta akan cepat menurun bahkan hilang. Kasus kusta impor pada negara tersebut ternyata tidak menularkan pada orang yang tingkat sosial ekonominya tinggi. Kegagalan kasus kusta impor untuk menularkan pada kasus kedua di Eropa juga disebabkan karena tingkat sosial ekonomi yang tinggi (Depkes RI, 2006).
3.2.2 Faktor Agent
1. Riwayat Kontak Kusta merupakan penyakit infeksius, tetapi derajat infektifitasnya rendah, waktu inkubasinya panjang mungkin beberapa tahun dan tampakanya kebanyakan pasien mendapatkan infeksi sewaktu semasa anak-anak. Insiden yang rendah pada pasien- pasien yang merupakan pasangan suami istri (kusta yang diperoleh dari pasangan) memberikan kesan bahwa orang dewesa relative tidak mudah terkena. Penyakit ini terkena akibat kontak fisik yang erat dengan pasien yang terinfeksi, dan resiko ini semakin menjadi menjadi lebih besar bila terjadi kontak dengan penderita lepramatosa. Secret hidung merupakan sumber utama terjadi infeksi dimasyarakat (Robin graham brown, 2005) Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan kontak yang erat dan lama dengan penderita, namun penderita dengan kusta tipe basah atau multi basiler, tetapi penularan ini juga dipengaruhi oleh daya tahan tubuh seseorang. Meskipun lama kontak kurang dari dua tahun, tetapi jika seseorang memiliki riwayat kontak yang tinggi dengan penderita kusta yang belum diobati, maka akan menyebabkan penularan penyakit kusta yang relatif singkat, karena penyakit kusta yang tidak minum obat sesuai dengan regimen WHO, merupakan sumber penularan bagi orang lain. 2. Status Gizi Penyakit kusta bisa menyerang siapa sana. Namun demikian secara statistik penyakit kusta banyak menyerang masyarakat dengan sosial ekonomi rendah. hal ini dikaitkan dengan rendahnya daya tahan tubuh, gizi yang kurang baik dan lingkungan serta hygiene yang tidak baik, Kondisi sosial ekonomi yang rendah, rumah yang buruk danterlalu padat beryengaruh juga terhadap perbaikkan penyakit kusta. Rendahnya atrgka kasus baru di Eropa dihubungkan dengan perbaikan keadaan sosial ekonomi (Kandouw, et al; 1999). 3. Lama Kontak Lama kontak merupakal faktor yang penting dalam penularan penyakit kusta. Semakin lama atau semakin sering kontak dengan penderita akan semakin besar resiko untuk tertular kusta. Hal ini berhubungan dengan dosis paparan serta terkait juga dengan masa inkubasi yang lama yaitu 2-5 tahun (Iswayudin, et al; 2005). 3.2.3 Faktor Lingkungan 1. Kebersihan Personal hygiene adalah tindakan pencegahan yang menyangkut tangung jawab individu untuk meningkatkan kesehatan serta membatasi peyebarnya penyakit menular, terutama yang ditularkan secara kontak langsung (Nur Nasry Noor, 2006). Menurut hasil penelitian Yudied A.M tahun (2008) bawah personal hygiene meliputi kebiasan tidur bersama ,pakai pakayan bergantian ,handuk mandi secara bergantian serta BAB di kebun pada masyarakat pragaan menyebabkan penularan penyakit kusta. 2. Tipe Kusta (Biologis) Telah diketahui bahwa sumber penularan basil kusta adalah pendedta kusta tipe MB yang belum diobati Secara teoritis kusta tipe MB akan menyebarkan kuman lebih banyak ke lingkungan sekitamya dibandingkan kusta tipe PB. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa infeksi subklinis akan lebih banyak didapatkan pada nara kontak kusta tipe (Dharmedra, 1999) 3.2.4 Interaksi Antara Agent, Host dan Lingkungan Hubungan interaktif antara agent, host dan lingkungan pada pasien kusta sangat berkaitan erat dan saling berhubungan. Berdasarkan jurnal yang didapatkan bahwa faktor host (Umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengetahuan, kepatuhan minum obat, imunitas, genetik, pekerjaan, Status perekonomian), Faktor agent (Riwayat kontak, status gizi, lama kontak). Faktor lingkungan (Kebersihan, tipe kusta (Biologis). Apabila hubungan interaktif terus berkelanjutan tanpa tindak lanjut dari petugas kesehatan akan berdampak pada peningkatan jumlah kasus penderita kusta akibat bakteri Mycobacterium Leprae. Penyakit ini dapat mengakibatkan kecacatan tubuh bila tidak segera diobati dan menimbulkan masalah psikososial akibat adanya stigma atau predikat buruk dari penyakit dalam pandangan masyarakat. 3.2.5 Riwayat Alamiah dari Suatu Penyakit Manusia Riwayat alamiah dari suatu penyakit kusta yaitu : 1. Tahap Prepatogenesis Pada tahap ini host dalam keadaan sehat. Sudah ada interaksi antara agent biologis yaitu bakteri penyebab kusta (Mycobacterium Leprae) diluar tubuh. Belum ada tanda-tanda sakit sampai daya tahan host kuat. Tetapi jika host lengah atau agent menjadi ganas dan lingkungan mendukung, maka keadaan akan segera berubah menjadi tahap patogenesis. 2. Tahap Patogenesis a. Tahap Inkubasi Setelah Mycobacterium Leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas seluler (Celule Midialet Immune) pasien. Kalau sistem imunitas seluler tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkoloid dan bila rendah berkembang kearah lepromatosa. Mycobacterium Leprae berprediksi didaerah-daerah yang relatif dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit. Meskipun cara masuk Mycobacterium Leprae ketubuh belum diketahui pasti, beberapa penelitian, tersering melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh Mycobacterium LepraeI kekulit tergantung faktor imunitas seseorang kemampuan hidup Mycobacterium Leprae pada suhu tubuh rendah, waktu regenerasi lama, serta sifat kuman yang avirulen dan non toksis. b. Tahap Penyakit Dini 1. Kusta Kering Bercak keputihan seperti panu, permukaan bercak kering & kasar, batas (Pinggir) bercak jelas dan sering ada bintil-bintil kecil. 2. Kusta Basah Bercak putih kemerahan yang tersebar satu-satu atau merata diseluruh kulit badan, terjadi penebalan dan pembengkakan pada bercak, pada permukaan bercak sering aa rasa bila disentuh dengan kapas, pada permukaan tanda dari tipe kusta basah sering terdapat pada cuping telinga dan muka. Diagnosa penyakit kusta : - Gangguan konsep diri : HRD b.d inefektif koping individu - Gangguan rasa nyaman : Nyeri b.d proses reaksi - Gangguan aktivitas b.d post amputasi - Resti injuri b.d invasive bakteri 3. Tahap Pascapatogenesis Kemungkinan tubuh dapat yaitu : a. Sembuh sempurna b. Sembuh dengan cacat 3.3 Pro dan Kontra Kusta Pro dan kontra di Indonesia terhadap penyakit kusta dengan stigma di lingkungan sosial. Masyarakat beranggapan bahwa kusta adalah penyakit kutukan, tidak bisa disembuhkan dan sangat mudah menular. Selain itu, penyakit kusta menyebabkan kecacatan. Kondisi ini, membuat penderita yang memiliki gejala penyakit kusta akan malu dan enggan untuk segera berobat. Apalagi gejala penyakit kusta tidak membuat penderitanya kesakitan sehingga mereka merasa sedang “baik-baik saja”. Namun jika mereka tidak segera berobat, maka akan berpotensi menularkan penyakit kusta kepada orang di sekitarnya. Anggapan bahwa penyakit kusta sangat mudah menular merupakan akibat dari kurangnya pemahaman masyarakat mengenai penyakit kusta. Anggapan berikutnya adalah bahwa kusta tidak bisa disembuhkan. Anggapan ini terbentuk karena selama ini masyarakat melihat banyak penderita kusta yang cacat karena jari tangan/kakinya putus. Kecacatan yang terjadi pada 10% penderita kusta merupakan akibat dari keterlambatan mereka datang ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk berobat. Dengan kenyataan demikian, menghapus berbagai anggapan salah tentang penyakit kusta pada masyarakat merupakan pekerjaan terberat bagi petugas kesehatan. Hal tersebut sangat berhubungan dengan faktor budaya yang selama ini diakui selalu menjadi kendala dalam meningkatkan status derajat kesehatan masyarakat. 3.4 Solusi Partisipasi masyarakat sangatlah penting, sebesar apapun alokasi dana untuk mengendalikan penyakit kusta tidak akan banyak merubah keadaan. Penemuan kasus kusta sedini mungkin membutuhkan peran besar masyarakat. Laporan penemuan kasus tidak mungkin bisa dilakukan hanya oleh petugas kesehatan dengan segala keterbatasannya. Konstibusi paling sederhana untuk menutupi keterbatasan petugas kesehatan adalah menghapus stigma terhadap penderita kusta. Justru yang seharusnya dilakukan adalah mendorong mereka untuk segera periksa ke fasilitas layanan kesehatan. Menghapus stigma terhadap penderita kusta, secara tidak langsung akan mendorong mereka untuk berobat dan terhindar dari kecacatan. Hal ini akan membentuk pemahaman baru di masyarakat bahwa ternyata kusta bisa disembuhkan. Partisipasi berikutnya yang tidak kalah penting adalah segera melaporkan kepada puskesmas jika ada penderita yang diduga mengidap penyakit kusta. Seringkali seseorang yang memiliki tanda-tanda kusta tidak mau memeriksakan dirinya ke puskesmas. Untuk itu, laporan dari masyarakat baik itu tetangga, keluarga atau kerabat penderita akan membuat petugas puskesmas melakukan “Jemput bola” ke rumah terduga penderita kusta. Pemahaman baru bahwa kusta bisa dicegah dan disembuhkan akan menjadi kunci memutus rantai penularan penyakit tersebut. Untuk itu, perlu upaya yang cukup intensif untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap penyakit kusta. Telah banyak sarana di era revolusi industri 4.0 yang bisa digunakan oleh petugas kesehatan dalam menyampaikan pesan-pesan untuk meningkatkan pengetahuan mereka. Hanya saja selama ini perlu ditinjau kembali apakah telah mampu meningkatkan pemahaman sekaligus menghapus anggapan- anggapan yang salah mengenai penyakit kusta. Disinilah pentingnya evaluasi sejauh mana efektivitas media dan pesan yang disampaikan kepada masyarakat. Di awali dengan pemahaman yang benar, masyarakat diharapkan tidak lagi mengucilkan penderita kusta. Pemahaman yang benar tentang kusta akan mendorong masyarakat memberi dukungan sosial ke penderita kusta sehingga mereka mampu kembali meningkatkan kualitas hidupnya. 3.5 Impresi Terhadap Solusi Perlunya strategi perubahan sosial budaya di masyarakat mengenai penyakit kusta dengan melibatkan tokoh masyakat (Kiai, guru agam, dll) dalam hal-hal sebagai berikut : 1. Membantu mengenal atau menyadarkan tradisi mereka (Masyarakat setempat). 2. Mempertimbangkan masalah sosial yang timbul, bila tradisi lama diganti degan tradisi yang baru. 3. Mengenalkan dan membiasakan kebiasaan-kebiasaan yang sejalan dengan perilaku hidup yang sehat. 4. Mengenalkan gagasan-gagasan baru dengan membina / memelihara gagasan-gagasan lama yang ada pada masyarakat. Daftar Pustaka Agusni, I. Perkembangan Terbaru Imunopatagogenesis Penyakjt Knsta. MDVI. 1998.25 (4):32-38S. Amirudin M. 2012. Penyakit Kusta Sebuah Pendekatan Klinis. Brilian Internasional: Surabaya. Astutik, Erni et al. 2016. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Perawatan Diri Eks Penderita Kusta di Unit PelaksanaTeknik Rehabilitasi Sosial Eks Penderita Kusta Nganget Tuban Jawa Timur. Surabaya : Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia. . Depkes RI. 2006. Buku Pedoman Nasional Pembera-ntasan Penyakit, kusta, Cetakan XVII, Direktorat Jendral PPM dan PLP, Jakarta. Dharmedra. Detection of subclinical in leprosy. Lepr. India. 1999.541 192-207 . Ditjen PP & PL, Depkes RI. Prevalensi Kusta Berhasil Diturunkan [Online Report] 2011;. [diakses 05 Oktober 2011]. Available at: http://www.depkes.go.id. Ditjen PPM & PL Depkes RI. 2006. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan XVIII. Jakarta. Hal : 4-138. Harboe, M. Overview of Host-Parasite Relarion. In: Hastings,R.C. Leprosy. Churchil Livingstone. Edinburg. 1994 : 87-l 12. Hiswani. Kusta Salah Satu Penyakit Penular yang Masih Dijumpai di Indonesia . USU Digital Library [Online Journal] 2001; [diakses 03 Oktober 2011]. Available at: http:// repository.usu.ac.id. Iswahyudi; Adriaty, D;Wahyuni, & Widayati, E; Mudatrir; Asusni, Izumi, S. The profile of subclinical leprosy among household contacts a sero-epidemiological study in correlation with the family relationship. Buku Abstrak. Disampaikan pada Kongres Nasional Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin (PERDOSKI) di Jakarta 2005. Kandouw, IM. 1999. Hubungan Tipe HLA dengan Kerentanan Tubuh pada penyakit Lepra: Suatu Pendekatan Imunogenetik pada Populasi EtnikBueis-Makasar. Disertasi. Prcelam Palcasarjana Universitas Air langga Sumbaya. Kemenkes. 2014. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta, Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Kemenkes. 2015. 25 januari hari kusta sedunia, Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementrian dan Kesehatan RI. Kemenkes RI. 2016. Profil kesehatan Indonesia 2015. Marwali Harahap. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates. Robin G. 2005, Dermatologi. Jakarta: Erlangga. Scollard DM, Smith T, Bhoopat L, Theetranont C, Rangdaeng S, Morens DM. Epidemiologic characteristics of leprosy reactions. Int J Leprosy 1994, 62: 559-67. Yudied dkk. 2008, Kajian Pengendalian Potensial Faktor Risiko Penularan Penyakit Kusta dan Intervensinya di Puskesmas Pragaan Kabupaten Sumenep Tahun 2007, Buletin Human Media Volume 03 Nomor 03 September 2008.