Anda di halaman 1dari 12

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Mengidentifikasi Masalah


Penyakit kusta adalah suatu penyakit kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium
leprae, Bakteri ini mengalami proses pembelahan cukup lama antara 2 - 3 minggu. Daya
tahan hidup kuman kusta mencapai 9 hari di luar tubuh manusia. Kuman kusta memiliki
masa inkubasi 2–5 tahun bahkan juga dapat memakan waktu lebih dari 5 tahun (Kemenkes
RI, 2015). Penyakit kusta menyebabkan kecacatan jika tidak dilakukan perawatan diri.
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah
kompleks, bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi,
budaya, keamanan dan ketahanan sosial (Astutik, Erni et al; 2016).
Penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, menurut data WHO
(World Health Organization) Jumlah penderita kusta yang dilaporkan dari 121 negara di 5
regional WHO sebanyak 175.554 kasus di akhir tahun 2014 dengan 213.899 kasus baru
(www.who.int). Berdasarkan klasifikasi WHO dan Modifikasi WHO mengelompokkan tipe
keparahan: Pausibasiler (PB) Penyakit ini mengandung banyak basil dan terdiri atas tipe
Indeterminate, Tuberkuloid, Borderline Tuberkuloid. Jumlah lesi sebanyak 1 hingga 5 lesi
kulit. Hasil pemeriksaan basil tahan asam BTA negatif. Multibasiler (MB) Penyakit ini
mengandung sedikit basil dan terdiri atas tipe Borderline, Borderline Lepromatous,
Lepromatous. Jumlah lesi lebih atau sama dengan 6 lesi kulit. Hasil pemeriksaan BTA
positif (Amirudin, 2012).
Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun tajam di
sebagian besar negara atau wilayah endemis. Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun
2009 tercatat 213.036 penderita yang berasal dari 121 negara, sedangkan jumlah kasus baru
tahun 2008 baru tercatat 249.007. Jumlah kasus baru kusta di dunia pada awal tahun 2013
adalah sebesar 232.287. Dari jumlah tersebut paling banyak terdapat di regional Asia
Tenggara (166.445), diikuti regional Amerika (36.178), regional Afrika (20.599), dan
sisanya berada di regional lain di dunia (WHO, 2013 dalam Kemenkes 2014).
Data Kementerian Kesehatan RI (2016) menyebutkan angka CDR di Indonesia sebesar
tahun 2015 yaitu 6,73 kasus baru per 100.000 penduduk, menurun dibanding tahun 2011
sebesar 8,03 per 100.000 penduduk. Meskipun demikian data tersebut tergolong endemik
rendah dan berpotensi menjadi sumber penularan bagi masyarakat. Status eliminasi kejadian
kusta di Indonesia dibagi menjadi 2 kelompok yaitu provinsi yang belum eliminasi dan
provinsi yang sudah mencapai eliminasi. Provinsi yang belum mencapai eliminasi jika angka
prevalensi >1 per 10.000 penduduk, sedangkan provinsi yang sudah mencapai eliminasi jika
angka prevalensi < 1 per 10.000 penduduk (Kemenkes RI, 2016).
Penatalaksanaan kasus kusta yang buruk dapat menyebabkan kusta menjadi progresif,
menyebabkan kerusakan permanen pada kulit, saraf, anggota gerak, dan mata. Indonesia
berada pada peringkat ketiga berkaitan dengan jumlah penderita kusta di dunia setelah India dan
Brasil dengan angka insiden 20.968 penderita (Ditjen, PP; 2011) . Jumlah penderita kusta di
Indonesia di wilayah Asia adalah terbanyak ke-2 setelah India (Ditjen, PPM; 2006). Penderita kusta
di Indonesia terdapat hampir di seluruh daerah dengan penyebaran yang tidak merata. Suatu
kenyataan, di Indonesia Timur terdapat angka kesakitan kusta yang lebih tinggi. Penderita kusta 90%
tinggal di antara keluarga mereka dan hanya beberapa persen saja yang tinggal di rumah sakit kusta,
koloni penampungan atau perkampungan kusta (Hiswani, 2011). Sifat penyakit kusta secara
epidemiologis, baik sumber penularan, sifat penularan maupun tingkat keterpaparan, dapat
dikatakan bahwa cukup banyak orang dalam masyarakat yang terpapar kusta yang
seharusnya mengalami infeksi, ternyata mereka tidak menderita penyakit tersebut.

3.2 Triad Epidemiologi dan Riwayat Ilmiah Penyakit


Berdasarkan studi literatur dari beberapa jurnal, dapat kami simpulkan mengenai
epidemiologi dan riwayat ilmiah penyakit antara lain :
3.2.1 Faktor Host
1. Umur
Pada usia produktif manusia berperan aktif dalam berhubungan dengan dunia luar,
baik pekerjaan maupun berhubungan dengan lingkungan sekitar apabila
dibandingkan dengan usia balita atau lansia, sehingga pada usia produktif inilah
manusia menjadi lebih rentan terjangkit berbagai penyakit (Depkes RI, 2006).
2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin memengaruhi perbedaan bentuk dan proporsi tubuh dan kulit. Jenis
kelamin belum diketahui sebagai pencetus langsung terjadinya penyakit kusta,
tetapi berdasarkan penelitian Scollard menyatakan bahwa kejadian penyakit kusta
lebih dominan pada pria yaitu sebesar 47% dan wanita sebesar 26% karena pria
lebih banyak melakukan aktivitas fisik yang bisa mengakibatkan terjadi penurunan
daya tahan tubuh yang bisa memungkinkan kuman kusta masuk sendiri (Schollard,
et al; 1994).
Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat dari Marwali Harahap (2000) yang
menyatakan bahwa penyakit kusta dapat menyerang semua orang. Laki-laki lebih
banyak terkena dibandingkan dengan wanita, dengan perbandingan 2:1. Walaupun
ada beberapa daerah yang menunjukkan insidens ini hampir sama bahkan ada
daerah yang menunjukkan penderita wanita lebih banyak. Begitu juga seperti yang
ada dalam Depkes RI, (2007) bahwa laki-laki lebih banyak terserang dari pada
wanita. Relatif rendahnya kejadian kusta pada perempuan kemungkinan karena
faktor lingkungan atau faktor biologi. Seperti kebanyakan penyakit menular lainnya
laki-laki lebih banyak terpapar dengan faktor risiko sebagai akibat gaya hidupnya.
3. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan merupakan faktor risiko kejadian penyakit kusta bahwa
pendidikan rendah berisiko 2,8 kali terhadap kejadian penyakit kusta dibanding
dengan orang yang berpendidikan tinggi, dan pendidikan bermakana secara statistik
terhadap kejadian penyakit kusta. Tingkat pendidikan memengaruhi pengetahuan
tentang bahaya penyakit kusta dan cara pencegahannya sehingga dengan
pengetahuan yang diperoleh melalui pendidikan, dapat menjadi salah satu faktor
yang dapat mencegah berbagai macam penyakit seperti juga penyakit kusta.
Penelitian ini sesuai dengan teori Health Belief Model yang mengatakan bahwa
tingkatpendidikan dapat berpengaruh terhadap kejadian kusta. Hal ini berarti bahwa
semakin tinggi tingkat pendidikan semakin rendah faktor risiko yang didapatkan
oleh responden. Selain itu, Rendahnya tingkat pendidikan dapat mengakibatkan
lambatnya pencarian pengobatan dan diagnosis penyakit, hal ini dapat
mengakibatkan kecacatan pada penderita kusta semakin parah.
4. Pengetahuan
Pengetahuan yang baik diharapkan menghasilkan kemampuan seseorang dalam
mengetahui gejala, cara penularan penyakit kusta dan penanganannya. Pada
umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin baik pula
tingkat, dengan memberikan informasi-informasi tentang cara-cara mencapai hidup
sehat, cara pemeliharaan kesehatan, cara menghindari penyakit dan sebagainya
akan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hal tersebut (Notoatmodjo,
2003). Memperhatikan teori determinan perilaku kesehatan dari Lawrence Green
dalam Notoatmodjo (2003). Pengetahuan yang diperoleh oleh individu dapat
membangun sikap dan persepsi sebagai dasar untuk bertindak. Hasil penelitian ini
sesuai dengan teori Green menyatakan bahwa adanya kecenderungan seseorang
yang berpengetahuan tinggi akan lebih cenderung untuk berperilaku baik dalam
bidang kesehatan dalam hal ini mencegah kecacatan keluarganya yang menderita
penyakit kusta.
5. Kepatuhan Minum Obat
Tujuan pengobatan penderita kusta adalah untuk memutuskan mata rantai
penularan, menyembuhkan penyakit penderita dan mencegah terjadinya kecacatan
atau bertambah cacat. Pengobatan penderita kusta ditujukan untuk mematikan
kuman kusta sehingga tidak berdaya merusak jaringan tubuh dan tanda-tanda
penyakit jadi kurang aktif sampai akhirnya hilang (Depkes RI, 2015)
Penderita yang sudah dalam keadaan cacat permanen, pengobatan hanya dapat
mencegah cacat lebih lanjut. Bila penderita tidak minum obat secara teratur, maka
kuman kusta dapat menjadi aktif kembali, sehingga timbul gejala-gejala baru pada
kulit dan saraf yang dapat memperburuk keadaan (Depkes RI, 2006).
6. Imunitas
Faktor imunitas adalah faktor yang menunjukkan ketahanan seseolang terhadap
infeksi M. leprae, sebagian besar manusia mempunyai kekebalan alamiah terhadap
kusta- Respon imun pada penyakit kusta sangat kompleks yaitu melibatkan
imunitas seluler dan humoral. Sebagian besar gejala dan komplikasi penyakit ini
disebabkan oleh reaksi imunologi terhadap antigen yang ditimbutkan oleh
Mycobacterium leprae. Jika respon imun yang terjadi setelah infeksi cukup baik,
maka multiplikasi bakteri dapat dihambat pada stadium awal sehingga dapat
mencegah perkernbangan tanda dan gejala klinis selanjutnya. Mycobacteriua leprae
merupakan parasite obligat seluler, maka faktor respon imun seluler memegang
peranan penting dalam ketahanan rubuh terhadap infeksi. Respon imun seluler
merupakan hasil dari aktivasi makofag dengan meningkatnya kemampuan dalam
menekan multiplikasi atau menghancurkan bakteri (Harboe et al, 1994).
7. Genetik
Faktor genetik telah lama dipertimbangkan karena memiliki peranan besar untuk
terjadinya penyakit kusta pada suatu kelompok tertentu, faktor genetik juga
melenhrkan derajat imunitas seseorang terhadap infeksi kuman patogen lermasrok
M. leprae. Diantara faktor-faktor genetik, faktor HLA terutama HLA kelas II
ternyata Memainkan peranan yang lebih besar Terhadap kerentanan penyakit.
Peranan HLA dalam menentukan kerentanan seseorang terhadap M leprae. Oleh
karena ada banyak molekul HLA setiap individu akan berbeda tipe HI-A-nya yang
juga akan menyebabkan perbedaan respon imunitas seseorang terhadap antigen
M.Ieprae (Agusni, 1998).
8. Pekerjaan
Sebagian besar penderita kusta di dunia berada di negara yang sedang berkembang
termasuk Indonesia, sebagaian besar penduduk Indonesia mencari penghasilan
dengan bercocok tanam atau bertani. Hal ini sangat berpengaruh terhadap terjadinya
cacat pada kusta. Penelitian yang dilakukan di Nepal oleh Ghimire (1996).
9. Status Perekonomian
WHO (2003) menyatakan 90% penderita kusta di dunia menyerang kelompok
dengan sosial ekonomi lemah atau miskin. Hubungan antara kemiskinan dengan
penyakit kusta bersifat timbal balik. Kusta merupakan penyebab kemiskinan dan
karena miskin maka manusia menderita kusta. Kondisi sosial ekonomi itu sendiri,
mungkin tidak hanya berhubungan secara langsung, namun dapat merupakan
penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi memburuk, serta perumahan
yang tidak sehat, hygiene sanitasi yang kurang dan akses terhadap pelayanan
kesehatan juga menurun kemampuannya.
Sudah diketahui bahwa faktor sosial ekonomi sangat berperan penting dalam
kejadian kusta. Hal ini terbukti pada negara-negara di Eropa dengan adanya
peningkatan sosial ekonomi, maka kejadian kusta akan cepat menurun bahkan
hilang. Kasus kusta impor pada negara tersebut ternyata tidak menularkan pada
orang yang tingkat sosial ekonominya tinggi. Kegagalan kasus kusta impor untuk
menularkan pada kasus kedua di Eropa juga disebabkan karena tingkat sosial
ekonomi yang tinggi (Depkes RI, 2006).

3.2.2 Faktor Agent


1. Riwayat Kontak
Kusta merupakan penyakit infeksius, tetapi derajat infektifitasnya rendah, waktu
inkubasinya panjang mungkin beberapa tahun dan tampakanya kebanyakan pasien
mendapatkan infeksi sewaktu semasa anak-anak. Insiden yang rendah pada pasien-
pasien yang merupakan pasangan suami istri (kusta yang diperoleh dari pasangan)
memberikan kesan bahwa orang dewesa relative tidak mudah terkena. Penyakit ini
terkena akibat kontak fisik yang erat dengan pasien yang terinfeksi, dan resiko ini
semakin menjadi menjadi lebih besar bila terjadi kontak dengan penderita
lepramatosa. Secret hidung merupakan sumber utama terjadi infeksi dimasyarakat
(Robin graham brown, 2005)
Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan kontak yang erat dan lama dengan
penderita, namun penderita dengan kusta tipe basah atau multi basiler, tetapi
penularan ini juga dipengaruhi oleh daya tahan tubuh seseorang. Meskipun lama
kontak kurang dari dua tahun, tetapi jika seseorang memiliki riwayat kontak yang
tinggi dengan penderita kusta yang belum diobati, maka akan menyebabkan
penularan penyakit kusta yang relatif singkat, karena penyakit kusta yang tidak
minum obat sesuai dengan regimen WHO, merupakan sumber penularan bagi orang
lain.
2. Status Gizi
Penyakit kusta bisa menyerang siapa sana. Namun demikian secara statistik
penyakit kusta banyak menyerang masyarakat dengan sosial ekonomi rendah. hal
ini dikaitkan dengan rendahnya daya tahan tubuh, gizi yang kurang baik dan
lingkungan serta hygiene yang tidak baik, Kondisi sosial ekonomi yang rendah,
rumah yang buruk danterlalu padat beryengaruh juga terhadap perbaikkan penyakit
kusta. Rendahnya atrgka kasus baru di Eropa dihubungkan dengan perbaikan
keadaan sosial ekonomi (Kandouw, et al; 1999).
3. Lama Kontak
Lama kontak merupakal faktor yang penting dalam penularan penyakit kusta.
Semakin lama atau semakin sering kontak dengan penderita akan semakin besar
resiko untuk tertular kusta. Hal ini berhubungan dengan dosis paparan serta terkait
juga dengan masa inkubasi yang lama yaitu 2-5 tahun (Iswayudin, et al; 2005).
3.2.3 Faktor Lingkungan
1. Kebersihan
Personal hygiene adalah tindakan pencegahan yang menyangkut tangung jawab
individu untuk meningkatkan kesehatan serta membatasi peyebarnya penyakit
menular, terutama yang ditularkan secara kontak langsung (Nur Nasry Noor, 2006).
Menurut hasil penelitian Yudied A.M tahun (2008) bawah personal hygiene
meliputi kebiasan tidur bersama ,pakai pakayan bergantian ,handuk mandi secara
bergantian serta BAB di kebun pada masyarakat pragaan menyebabkan penularan
penyakit kusta.
2. Tipe Kusta (Biologis)
Telah diketahui bahwa sumber penularan basil kusta adalah pendedta kusta tipe MB
yang belum diobati Secara teoritis kusta tipe MB akan menyebarkan kuman lebih
banyak ke lingkungan sekitamya dibandingkan kusta tipe PB. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa infeksi subklinis akan lebih banyak didapatkan pada nara
kontak kusta tipe (Dharmedra, 1999)
3.2.4 Interaksi Antara Agent, Host dan Lingkungan
Hubungan interaktif antara agent, host dan lingkungan pada pasien kusta sangat
berkaitan erat dan saling berhubungan. Berdasarkan jurnal yang didapatkan bahwa
faktor host (Umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengetahuan, kepatuhan minum
obat, imunitas, genetik, pekerjaan, Status perekonomian), Faktor agent (Riwayat
kontak, status gizi, lama kontak). Faktor lingkungan (Kebersihan, tipe kusta
(Biologis). Apabila hubungan interaktif terus berkelanjutan tanpa tindak lanjut dari
petugas kesehatan akan berdampak pada peningkatan jumlah kasus penderita kusta
akibat bakteri Mycobacterium Leprae. Penyakit ini dapat mengakibatkan kecacatan
tubuh bila tidak segera diobati dan menimbulkan masalah psikososial akibat adanya
stigma atau predikat buruk dari penyakit dalam pandangan masyarakat.
3.2.5 Riwayat Alamiah dari Suatu Penyakit Manusia
Riwayat alamiah dari suatu penyakit kusta yaitu :
1. Tahap Prepatogenesis
Pada tahap ini host dalam keadaan sehat. Sudah ada interaksi antara agent biologis
yaitu bakteri penyebab kusta (Mycobacterium Leprae) diluar tubuh. Belum ada
tanda-tanda sakit sampai daya tahan host kuat. Tetapi jika host lengah atau agent
menjadi ganas dan lingkungan mendukung, maka keadaan akan segera berubah
menjadi tahap patogenesis.
2. Tahap Patogenesis
a. Tahap Inkubasi
Setelah Mycobacterium Leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan penyakit
kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon setelah masa tunas
dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas seluler (Celule Midialet
Immune) pasien. Kalau sistem imunitas seluler tinggi, penyakit berkembang
kearah tuberkoloid dan bila rendah berkembang kearah lepromatosa.
Mycobacterium Leprae berprediksi didaerah-daerah yang relatif dingin, yaitu
daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit. Meskipun cara masuk
Mycobacterium Leprae ketubuh belum diketahui pasti, beberapa penelitian,
tersering melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh bersuhu dingin dan
melalui mukosa nasal. Pengaruh Mycobacterium LepraeI kekulit tergantung
faktor imunitas seseorang kemampuan hidup Mycobacterium Leprae pada suhu
tubuh rendah, waktu regenerasi lama, serta sifat kuman yang avirulen dan non
toksis.
b. Tahap Penyakit Dini
1. Kusta Kering
Bercak keputihan seperti panu, permukaan bercak kering & kasar, batas
(Pinggir) bercak jelas dan sering ada bintil-bintil kecil.
2. Kusta Basah
Bercak putih kemerahan yang tersebar satu-satu atau merata diseluruh kulit
badan, terjadi penebalan dan pembengkakan pada bercak, pada permukaan
bercak sering aa rasa bila disentuh dengan kapas, pada permukaan tanda
dari tipe kusta basah sering terdapat pada cuping telinga dan muka.
Diagnosa penyakit kusta :
- Gangguan konsep diri : HRD b.d inefektif koping individu
- Gangguan rasa nyaman : Nyeri b.d proses reaksi
- Gangguan aktivitas b.d post amputasi
- Resti injuri b.d invasive bakteri
3. Tahap Pascapatogenesis
Kemungkinan tubuh dapat yaitu :
a. Sembuh sempurna
b. Sembuh dengan cacat
3.3 Pro dan Kontra Kusta
Pro dan kontra di Indonesia terhadap penyakit kusta dengan stigma di lingkungan sosial.
Masyarakat beranggapan bahwa kusta adalah penyakit kutukan, tidak bisa disembuhkan dan
sangat mudah menular. Selain itu, penyakit kusta menyebabkan kecacatan. Kondisi ini,
membuat penderita yang memiliki gejala penyakit kusta akan malu dan enggan untuk segera
berobat. Apalagi gejala penyakit kusta tidak membuat penderitanya kesakitan sehingga
mereka merasa sedang “baik-baik saja”. Namun jika mereka tidak segera berobat, maka
akan berpotensi menularkan penyakit kusta kepada orang di sekitarnya. Anggapan bahwa
penyakit kusta sangat mudah menular merupakan akibat dari kurangnya pemahaman
masyarakat mengenai penyakit kusta. Anggapan berikutnya adalah bahwa kusta tidak bisa
disembuhkan. Anggapan ini terbentuk karena selama ini masyarakat melihat banyak
penderita kusta yang cacat karena jari tangan/kakinya putus. Kecacatan yang terjadi pada
10% penderita kusta merupakan akibat dari keterlambatan mereka datang ke fasilitas
pelayanan kesehatan untuk berobat. Dengan kenyataan demikian, menghapus berbagai
anggapan salah tentang penyakit kusta pada masyarakat merupakan pekerjaan terberat bagi
petugas kesehatan. Hal tersebut sangat berhubungan dengan faktor budaya yang selama ini
diakui selalu menjadi kendala dalam meningkatkan status derajat kesehatan masyarakat.
3.4 Solusi
Partisipasi masyarakat sangatlah penting, sebesar apapun alokasi dana untuk mengendalikan
penyakit kusta tidak akan banyak merubah keadaan. Penemuan kasus kusta sedini mungkin
membutuhkan peran besar masyarakat. Laporan penemuan kasus tidak mungkin bisa
dilakukan hanya oleh petugas kesehatan dengan segala keterbatasannya. Konstibusi paling
sederhana untuk menutupi keterbatasan petugas kesehatan adalah menghapus stigma
terhadap penderita kusta. Justru yang seharusnya dilakukan adalah mendorong mereka untuk
segera periksa ke fasilitas layanan kesehatan. Menghapus stigma terhadap penderita kusta,
secara tidak langsung akan mendorong mereka untuk berobat dan terhindar dari kecacatan.
Hal ini akan membentuk pemahaman baru di masyarakat bahwa ternyata kusta bisa
disembuhkan.
Partisipasi berikutnya yang tidak kalah penting adalah segera melaporkan kepada puskesmas
jika ada penderita yang diduga mengidap penyakit kusta. Seringkali seseorang yang
memiliki tanda-tanda kusta tidak mau memeriksakan dirinya ke puskesmas.
Untuk itu, laporan dari masyarakat baik itu tetangga, keluarga atau kerabat penderita akan
membuat petugas puskesmas melakukan “Jemput bola” ke rumah terduga penderita kusta.
Pemahaman baru bahwa kusta bisa dicegah dan disembuhkan akan menjadi kunci memutus
rantai penularan penyakit tersebut. Untuk itu, perlu upaya yang cukup intensif untuk
meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap penyakit kusta. Telah banyak sarana di era
revolusi industri 4.0 yang bisa digunakan oleh petugas kesehatan dalam menyampaikan
pesan-pesan untuk meningkatkan pengetahuan mereka. Hanya saja selama ini perlu ditinjau
kembali apakah telah mampu meningkatkan pemahaman sekaligus menghapus anggapan-
anggapan yang salah mengenai penyakit kusta. Disinilah pentingnya evaluasi sejauh mana
efektivitas media dan pesan yang disampaikan kepada masyarakat. Di awali dengan
pemahaman yang benar, masyarakat diharapkan tidak lagi mengucilkan penderita kusta.
Pemahaman yang benar tentang kusta akan mendorong masyarakat memberi dukungan
sosial ke penderita kusta sehingga mereka mampu kembali meningkatkan kualitas hidupnya.
3.5 Impresi Terhadap Solusi
Perlunya strategi perubahan sosial budaya di masyarakat mengenai penyakit kusta dengan
melibatkan tokoh masyakat (Kiai, guru agam, dll) dalam hal-hal sebagai berikut :
1. Membantu mengenal atau menyadarkan tradisi mereka (Masyarakat setempat).
2. Mempertimbangkan masalah sosial yang timbul, bila tradisi lama diganti degan tradisi
yang baru.
3. Mengenalkan dan membiasakan kebiasaan-kebiasaan yang sejalan dengan perilaku
hidup yang sehat.
4. Mengenalkan gagasan-gagasan baru dengan membina / memelihara gagasan-gagasan
lama yang ada pada masyarakat.
Daftar Pustaka
Agusni, I. Perkembangan Terbaru Imunopatagogenesis Penyakjt Knsta. MDVI. 1998.25
(4):32-38S.
Amirudin M. 2012. Penyakit Kusta Sebuah Pendekatan Klinis. Brilian Internasional:
Surabaya.
Astutik, Erni et al. 2016. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Perawatan
Diri Eks Penderita Kusta di Unit PelaksanaTeknik Rehabilitasi Sosial Eks Penderita
Kusta Nganget Tuban Jawa Timur. Surabaya : Jurnal Epidemiologi Kesehatan
Indonesia. .
Depkes RI. 2006. Buku Pedoman Nasional Pembera-ntasan Penyakit, kusta, Cetakan XVII,
Direktorat Jendral PPM dan PLP, Jakarta.
Dharmedra. Detection of subclinical in leprosy. Lepr. India. 1999.541 192-207 .
Ditjen PP & PL, Depkes RI. Prevalensi Kusta Berhasil Diturunkan [Online Report] 2011;.
[diakses 05 Oktober 2011]. Available at: http://www.depkes.go.id.
Ditjen PPM & PL Depkes RI. 2006. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit
Kusta, Cetakan XVIII. Jakarta. Hal : 4-138.
Harboe, M. Overview of Host-Parasite Relarion. In: Hastings,R.C. Leprosy. Churchil
Livingstone. Edinburg. 1994 : 87-l 12.
Hiswani. Kusta Salah Satu Penyakit Penular yang Masih Dijumpai di Indonesia . USU Digital
Library [Online Journal] 2001; [diakses 03 Oktober 2011]. Available at: http://
repository.usu.ac.id.
Iswahyudi; Adriaty, D;Wahyuni, & Widayati, E; Mudatrir; Asusni, Izumi, S. The profile of
subclinical leprosy among household contacts a sero-epidemiological study in
correlation with the family relationship. Buku Abstrak. Disampaikan pada Kongres
Nasional Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin (PERDOSKI) di Jakarta
2005.
Kandouw, IM. 1999. Hubungan Tipe HLA dengan Kerentanan Tubuh pada penyakit Lepra:
Suatu Pendekatan Imunogenetik pada Populasi EtnikBueis-Makasar. Disertasi. Prcelam
Palcasarjana Universitas Air langga Sumbaya.
Kemenkes. 2014. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta, Jakarta:
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Kemenkes. 2015. 25 januari hari kusta sedunia, Jakarta: Pusat Data dan Informasi
Kementrian dan Kesehatan RI.
Kemenkes RI. 2016. Profil kesehatan Indonesia 2015.
Marwali Harahap. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates.
Robin G. 2005, Dermatologi. Jakarta: Erlangga.
Scollard DM, Smith T, Bhoopat L, Theetranont C, Rangdaeng S, Morens DM.
Epidemiologic characteristics of leprosy reactions. Int J Leprosy 1994, 62: 559-67.
Yudied dkk. 2008, Kajian Pengendalian Potensial Faktor Risiko Penularan Penyakit Kusta
dan Intervensinya di Puskesmas Pragaan Kabupaten Sumenep Tahun 2007, Buletin
Human Media Volume 03 Nomor 03 September 2008.

Anda mungkin juga menyukai