Anda di halaman 1dari 81

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gagal nafas merupakan salah satu kondisi kritis yang diartikan
sebagai ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan
homeostasis oksigen dan karbondioksida. Fungsi jalan nafas terutama
sebagai fungsi ventilasi danfungsi respirasi. Kasus gagal nafas akan terjadi
kelainan fungsi obstruksi maupun fungsi refriktif, akan tetapi dalam
keilmuan keperawatan kritis yang menjadi penilaian utama adalah defek
pertukaran gas di dalam unit paru, antara lain kelainan difusi dan kelainan
ventilasi perfusi. Kedua kelainan ini umumnya menimbulkan penurunan
PaO2, peninggian PaCO2 dan penurunan pH yang dapat menimbulkan
komplikasi pada organ lainnya (Tabrani, 2008).
Asma adalah salah satu penyakit alergi dan masih menjadi masalah
kesehatan di negara maju maupun berkembang (Sastrawan, 2008).
Penyakit asma ditandai dengan terhambatnya aliran udara dalam saluran
napas pada paru dengan gejala batuk berulang, mengi dan sesak napas
yang terjadi pada malam hari (Oemiati, 2010).Angka kejadian alergi
mengalami peningkatan mencapai 30% pertahun dikarenakan pola hidup
masyarakat modern, polusi baik lingkungan maupun zat-zat yang ada di
dalam makanan. Salah satu alergi yang banyak terjadi adalah penyakit
asma (Triyani, 2010).
Menurut Khurshid (2012) tragedi talidomid tahun 1961 telah
memacu berbagai negara mengembangkan sistem pemantauan obat guna
mencegah dan mendeteksi lebih dini kejadian ADRs yang disebabkan oleh
terapi obat. Angka kejadian ADRs diberbagai negara bervariasi. Menurut
Harbanu dan Ketut (2008) Adverse Drug Reactions diperkirakan terjadi
hampir 15% dari pemberian obat dan angka kejadian dapat naik dua kali
lipat di rumah sakit. Khumar et al.,(2011) menemukan 34 ADRs dari 250
penderita hipertensi yang dilakukan selama 4 bulan di Rumah Sakit
Majeedia Universitas Hamdard New Delhi, 18 kejadian ADRs(52,9%)

1
termasuk dalam kategori ringan, 14 kejadian (41,2%) termasuk dalam
kategori sedang dan 2 kejadian (5,8%) termasuk dalam kategori berat.
Budi (2013) menemukan 6 kasus ADRs yang dilakukan selama 3 bulan di
RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Kejadian ADRs yang terjadi
termasuk dalam kategori probable (n=3), possible (n=3), dan doubtful
(n=3). Manifestasi klinik yang terjadi meliputi reaksi disfungsi ereksi,
frekuensi ekskresi urin, dan mual. Masing-masing manifestasi ditemukan
sejumlah 2,8% subyek penelitian.
Edema paru adalah keadaan terdapatnya cairan ekstravaskuler yang
berlebihan dalam paru. Berbagai macam etiologi dapat menimbulkan
edema paru, namun pada dasarnya disebabkan oleh tekanan yang tinggi
pada mikrosirkulasi paru dan akibat sekunder pompa jantung yang tidak
baik (edema paru hemodinamik/kardiogenik), karena peningkatan
permeabilitas membrane alveolar kapiler  (edema paru
permeabilitas/nonkardiogenik) atau karena kombinasi kedua penyebab
tersebut.
Edema paru pada keadaan akut merupakan keadaan darurat medis
yang dapat mengancam jiwa penderita, sedangkan edema paru kronik
dapat menyebabkan kecacatan dan mengurangi aktivitas penderita.

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah istilah untuk


berbagai penyakit paru-paru yang mempengaruhi pernapasan. Ini merujuk
ke penyakit paru-paru yang kronis, progresif dan kebanyakan tidak dapat
dipulihkan. Penyakit paru-paru yang paling umum yang termasuk dalam
istilah ini yaitu emfisema dan bronchitis kronis. Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK) merusak saluran pernapasan yang membawa udara ke paru-
paru.

Dinding saluran pernapasan menjadi menyempit dan bengkak,


sehingga menghalangi aliran udara masuk dan keluar dari paru-paru.
Sebagian bentuk Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dapat melukai
paru-paru dan menyebabkan peningkatan resistensi saluran pernapasan.

2
Bentuk lainnya dapat membangkitkan sekresi dahak secara berlebihan
sehingga paru-paru tidak mampu membersihkannya.

Pneumothoraks didefinisikan sebagai suatu penyakit yang berbahaya


seperti penyakit jantung, paru-paru, stroke dan kanker banyak dialami oleh
orang-orang yang berusia lanjut. Tetapi di era yang modern ini, penyakit-
penyakit berbahaya tersebut tidak jarang diderita oleh usia yang masih
produktif.

Penanganan pada kasus pneumothorak ini adalah dengan Tindakan


pemasangan Water Seal Drainage (WSD) untuk tetap mempertahanan
tekanan negatif dan cavum pleura sehingga pengembangan paru sempurna.

Efusi Pleura merupakan akumulasi cairan abnormal pada rongga


pleura yang disebabkan oleh produksi berlebihan cairan ataupun
berkurangnya absopsi. Efusi pleura merupakan manifestasi penyakit pada
pleura yang paling sering dengan etiologi yang bermacam-macam dari
kardiopulmoner, inflamasi, hingga keganasan yang harus segera dievaluasi
dan diterapi.

Efusi pleura digolongkan dalam tipe transudate dan eksudat,


berdasarkan mekanisme terbentuknya cairan dan biokimiawi cairan pleura.
Transudat timbul karena akibat ketidakseimbangan antara tekanan onkotik
dan tekanan hidrostatik.

1.2 Rumusan masalah


1.2.1 Bagaimanakah Asuhan Keperawatan dari Gagal Nafas?
1.2.2 Bagaimanakah Asuhan Keperawatan dari Asma Attack?
1.2.3 Bagaimakanakah Asuhan Keperawatan dari Edema Paru?
1.2.4 Bagaimanakah Asuhan Keperawatan dari PPOK?
1.2.5 Bagaimanakah Asuhan Keperawatan dari Pneumothorak?
1.2.6 Bagaimanakah Asuhan Keperawatan dari Efusi Pleura?

3
1.3 Tujuan
1.3.1 Agar Dapat Menjelaskan Keperawatan dari Gagal Nafas
1.3.2 Agar Dapat Menjelaskan Keperawatan dari Asma Attack
1.3.3 Agar Dapat Menjelaskan Keperawatan dari Edema Paru
1.3.4 Agar Dapat Menjelaskan Keperawatan dari PPOK
1.3.5 Agar Dapat Menjelaskan Keperawatan dari Pneumothorak
1.3.6 Agar Dapat Menjelaskan Keperawatan dari Efusi Pleura

1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis diharapkan makalah ini dapat bermanfaat untuk
menambah pengetahuan bagi pembaca khususnya seorang perawat
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil makalah ini dapat memberikan sumbangan dan masukan
mengenai konsep oksigenisasi.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN GAGAL NAFAS

A. KONSEP DASAR PENYAKIT

2.1.1 Definisi

Gagal nafas adalah terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap


karbondioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi
oksigen dan pembentukan karbondioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga
menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan
peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45mmHg
(Hiperkapnia). (Smeltzer & Barr,2011)
Gagal nafas adalah pertukaran gas yang tidak adekuat
sehingterjadihipoksemia, hiperkapnea (peningkatan konsentrasi
karbondioksida arteri), dan asidosis. (Arif Muttaqin, 2010)
Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap
karbondioksidadalam paru-paru tidak dapat memelihara laju komsumsi
oksigen dan pembentukan karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga
menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan
peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg
(hiperkapnia). (Brunner & Sudarth, 20010).

2.1.2 Epidemiologi
Ditinjau dari segi epidemiologi, karena sejumlah penyebab yang
mendasari berkontribusi untuk itu, kegagalan pernapasan merupakan
penyebab umum dan utama penyakit dan kematian. Ini adalah penyebab
utama kematian akibat pneumonia dan penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK). Selain itu, ia juga merupakan penyebab utama kematian di
banyak penyakit neuromuskuler, seperti Lou Gehrig Penyakit
(amyotrophic lateral sclerosis atau ALS), karena penyakit ini melemahkan

5
otot-otot pernapasan, membuat merekatidak mampu mempertahankan
pernapasan. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa kegagalan
pernapasan akan menjadi lebih umum sebagai penduduk usia, meningkat
sebanyak 80 persen dalam 20 tahun ke depan.

2.1.3 Etiologi
2.1.3.1 Penyebab sentral
- Kelainan neuromuskuler : GBS, tetanus, trauma cervical, muscle
relaxans
- Kelainan jalan nafas : obstruksi jalan nafas, asma bronchiale
- Kelainan diparu: edema paru, atelektasis, ARDS.
- Kelainan tulang iga/thoraks : fraktur costae, pneumo thorax,
haematothoraks
- Kelainan jantung : kegagalan jantung kiri
2.1.3.2 Penyebab perifer
- Trauma kepala: contusio cerebri
- Radang otak: encephalitis
- Gangguan vaskuler : perdarahan otak, infark otak
- Obat-obatan : narkotika, anestesi

Kadar oksigen (Pao2< 8 kPa) atau CO2 (Paco2 > 6,7 kPa) arterial yang
abnormal digunakan untuk menentukan adanya gagal nafas. Maka gagal
nafas dibagi menjadi: Hipoksemia (tipe 1): kegagalan transfer oksigen
dalam paru Hipoksemia (tipe 2): kegagalan ventilasi untuk mengeluarkan
CO2. (Hudak and Gallo, 2010).

2.1.4 Klasifikasi
Gagal nafas ada 2 macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas
kronik dimana masing- masing mempunyai pengertian yang berbeda.

6
- Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang
parunya normal secara struktural maupun fungsional sebelum awitan
penyakit timbul.
- Gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit paru
kronik seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam
(penyakit penambang batubara).

2.1.5. Tanda Dan Gejala

2.1.5.1 Gagal nafas total


- Aliran udara di mulut, hidung tidak dapat di dengar/
dirasakan.
- Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supra
klavikuladan sela iga serta tidak ada pengembangan dada
pada inspirasi.
- Adanya kesulitan inflasi paru
2.1.5.2 Gagal nafas parsial
- Terdengar suara nafas tamabahan seperti snoring dan
whizing.
- Ada retraksi dada
2.1.5.3 Hiperkapnia atau hipoksemia
- Hiperkapnia yaitu penurunan kesadaran (PCO2)
- Hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau
sianosis (PO2) menurun

2.1.6 Patofisiologi
2.1.6.1 Pasien mengalami toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia
yang memburuk secara bertahap. Setelah gagal nafas akut
biasanya paru-paru kembali keasalnya. Pada gagal nafas kronik
struktur paru alami kerusakan yang ireversibel.

7
2.1.6.2 Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas
vital, frekuensi pernafasan normal ialah 16-20x/menit. Kapasitas
vital adalah ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg).
2.1.6.3 Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak
adekuat dimana terjadi obstruksi jalan pernafasan terletak
dibawah batangotak(pons dan medulla).
2.1.6.4 Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera kepal, stroke, tumor,
otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia, dan hiperkapnia
mempunyai kemampuan menekan pusat pernafasan. Sehingga
pernafasan menjadi lambat dan dangkal.
2.1.6.5 Pada periode post operatif dengan anstesi bisa terjadi penafasan
tidak adekuat karena terdapat agen menekan pernafasan dengan
efek yang dikeluarkan atau dengan meningkatkan efek dari
analgetik opoid
2.1.7 Pemeriksaan Fisik
2.7.1 Takipnuedan takikardi yang merupakan gejala nonspesifik·
2.7.2 Batuk yang tidak adekuat, penggunaan otot bantu napas, dan pulsus
paradoksus dapat menandakan risiko terjadinya gagal napas·
2.7.3 Pada funduskopi dapat ditemukan papil edema akibat hiperkapnia atau
vasodilatasi cerebral
2.7.4 Pada paru ditemukan gejala yang sesuai dengan penyakit yang
mendasari
2.7.5 Bila hipoksemia berat, dapat ditemukan sianosis pada kulit dan
membranmukosa.
2.7.6 Sianosis dapat diamati bila konsentrasi hemoglobin yang mengalami
deoksigenasi pada kapiler atau jaringan mencapai 5 g/dL·
2.7.7 Disapnuedapat terjadi akibat usaha bernapas, reseptor vagal, dan stimuli
kimia akibat hipoksemiaatau hiperkapnia·
2.7.8 Kesadaran berkabut dan somnolen dapat terjadi pada kasus gagal napas.
2.7.9 Mioklonus dan kejang dapat terjadi pada hipoksemia berat. Polisitemia
merupakan komplikasi lanjut dari hipoksemia·

8
2.7.10 Hipertensi pulmoner biasanya terdapatpada gagal napas kronik.
Hipoksemia alveolar yang disebabkan oleh hiperkapnia
menyebabkan konstriksi arteriol pulmoner.

2.1.8 Pemeriksaan Diagnostik

2.1.8.1       Laboratorium:


- Analisis gas darah (pH meningkat, HCO 3- meningkat, PaCO2
meningkat, PaO2 menurun) dan kadar elektrolit (kalium).

Parameter Interval normal


Ph 7,35-7,45
PaCO2 35-45 mmHg
Bikarbonat (HCO3-) 22-26 mEq/L
PaO2 80-100 mmHg
SaO2 >95%
BE ± 2 mEq/L

- Pemeriksaan darah lengkap : anemia bisa menyebabkan hipoksia


jaringan, polisitemia bisa trejadi bila hipoksia tidak diobati dengan
cepat.
- Fungsi ginjal dan hati: untuk mencari etiologi atau identifikasi
komplikasi yang berhubungan dengan gagal napas.
- Serum kreatininin kinase dan troponin1: untuk menyingkirkan
infark miokard akut.
2.1.8.2       Radiologi:
- Rontgen toraks membantu mengidentifikasi kemungkinan
penyebab gagal nafas seperti atelektasis dan pneumoni.
- EKG dan Ekokardiografi : Jika gagal napas akut disebabkan oleh
cardiac.
- Uji faal paru : sangat berguna untuk evaluasi gagal napas kronik
(volume tidal < 500ml, FVC(kapasitas vital paksa)
menurun,ventilasi semenit (Ve) menurun,) (Alvin Kosasi,2008:31)
(Luwis, 2011:1750)

9
2.1.9 penatalaksanaan
2.1.9.1 suplemen oksigen
- Merupakan tindakan temporer sambil dicari diagnosis etiologi dan
terapinya
- Pemberian oksigen peningkatan gradien tekanan oksigen alvelolus
dan kapiler difusi lebih banyak peningkatan PaO2
2.1.9.2 Obat dan penatalaksanaan lainnya
- Mukolitik
- Postural drainase
- Chest physical therapi
- Nasotracheal suctioning
- Cough/ deep breathing exercise
2.1.10 Komplikasi
2.1.10.1 Paru: emboli paru, fibrosis dan komplikasi sekunder penggunaan
ventilator (seperti, emfisema kutis dan pneumothoraks).
2.1.10.2 Jantung: cor pulmonale, hipotensi, penurunan kardiak output,
aritmia, perikarditis dan infark miokard akut.
2.1.10.3 Gastrointestinal: perdarahan, distensi lambung, ileus paralitik , diare
dan pneumoperitoneum. Stress ulcer sering timbul pada gagal napas.
2.1.10.4 Polisitemia (dikarenakan hipoksemia yang lama sehingga sumsum
tulang memproduksi eritrosit, dan terjadilah peningkatan eritrosit
yang usianya kurang dari normal).
2.1.10.5 Infeksi nosokomial: pneumonia, infeksi saluran kemih, sepsis.
2.1.10.6 Ginjal: gagal ginjal akut dan ketidaknormalan elektrolit asam basa.
2.1.10.7 Nutrisi: malnutrisi dan komplikasi yang berhubungan dengan
pemberian nutrisi enteral dan parenteral. (Alvin Kosasih, 2010:34)
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
2.1 Pengkajian
2.1.1 Identitas Pasien

10
Pada tahap ini perawat perlu mengetahui tentang nama, umur,
jenis kelamin, alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku
bangsa, bahasa yang dipakai, status pendidikan dan pekerjaan
pasien.

2.1.2 Keluhan Utama


- Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong
pasien mencari pertolongan atau berobat ke rumah sakit.
- Biasanya pada pasien dengan effusi pleura didapatkan
keluhan berupa: sesak nafas, rasa berat pada dada, nyeri
pleuritik akibat iritasi pleura yang bersifat tajam dan
terlokasilir terutama pada saat batuk dan bernafas serta
batuk non produktif.
2.1.3 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dengan gagal nafas biasanya akan diawali dengan
adanya tanda - tanda seperti batuk, sesak nafas, nyeri pleuritik,
rasa berat pada dada, berat badan menurun dan sebagainya. 
2.1.4 Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan apakah pasienpernah menderita penyakit
seperti TBC paru, pneumoni, gagal jantung, trauma, asites dan
sebagainya.Hal ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan
adanya faktor predisposisi.
2.1.5 Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita
penyakit penyakit yang disinyalir sebagai penyebab effusi
pleura seperti Ca paru, asma, TB paru dan lain sebagainya
2.1.6 Riwayat Psikososial Meliputi
perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara
mengatasinya serta bagaimana perilaku pasien terhadap
tindakan yang dilakukan terhadap dirinya.
2.1.7 Pola Kesehatan Gordon

11
2.1.7.1 Pengkajian Pola Fungsi
- Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Adanya tindakan medis danperawatan di rumah sakit
mempengaruhi perubahan persepsi tentang kesehatan,
tapi kadang juga memunculkan persepsi yang salah
terhadap pemeliharaan kesehatan.
- Kemungkinan adanya riwayat kebiasaan merokok,
minum alcohol dan penggunaan obat-obatan bias
menjadi faktor predisposisi timbulnya penyakit.
2.1.7.2 Pola nutrisi dan metabolisme
- Dalam pengkajian pola nutrisi dan metabolisme, kita
perlu melakukan pengukuran tinggi badan dan berat
badan untuk mengetahui status nutrisi pasien,
- Perlu ditanyakan kebiasaan makan dan minum sebelum
dan selama MRS pasien dengan effusi pleura akan
mengalami penurunan nafsu makan akibat dari sesak
nafas dan penekanan pada struktur abdomen.
- Peningkatan metabolisme akan terjadi akibat proses
penyakit. pasien dengan effusi pleura keadaan
umumnyalemah.
2.1.7.3 Pola eliminasi
- Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan
mengenai kebiasaan defekasi sebelum dan sesudah
MRS.
- Karena keadaan umum pasien yang lemah, pasien akan
lebih banyak bed rest sehingga akan menimbulkan
konstipasi, selain akibat pencernaan pada struktur
abdomen menyebabkan penurunan peristaltik otot-otot
tractus degestivus.
2.1.7.4 Pola aktivitas dan latihan

12
- Akibat sesak nafas, kebutuhan O2 jaringan akan
kurang terpenuhi
- Pasien akan cepat mengalami kelelahan pada aktivitas
minimal.
- Disamping itu pasien juga akan mengurangi
aktivitasnya akibat adanya nyeri dada.
- Untuk memenuhi kebutuhan ADL nya sebagian
kebutuhan pasien dibantu oleh perawat dan
keluarganya.
2.1.7.5 Pola tidur dan istirahat
- Adanya nyeri dada, sesak nafas dan peningkatan suhu
tubuh akan berpengaruh terhadap pemenuhan
kebutuhan tidur dan istitahat
- Selain itu akibat perubahan kondisi lingkungan dari
lingkungan rumah yang tenang ke lingkungan rumah
sakit, dimana banyak orang yang mondar-mandir,
berisik dan lain sebagainya.

2.2 Diagnosa Keperawatan


2.2.1 Tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan hilangnya fungsi
jalan nafas, peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi
jalan nafas
2.2.2 Gangguanpertukaran gas b.d abnormalitas ventilasi perfusi skunder
terhadap hoventilasi
2.2.3 Pola nafas tidak efektif b.d. penurunan ekspansi paru
2.2.4 Kelebihan volume cairan b.d. edema pulmo
2.2.5 Gangguan perfusi jaringan b.d. penurunan curah jantung

2.3 Rencana Tindakan Keperawatan

No Diagnose Tujuan/KH Intervensi Rasional

13
1. Tidak efektifnya Setsetelah dilakukan 1. Catat perubahan 1. otot-otot
jalan nafas tindakan keperawatan dalam bernafas dan interkostal/abdom
berhubungan jalan nafas efektif pola nafasnya inal/leher dapat
dengan Tujuan : 2. Observasi dari meningkatkan
hilangnya - Pasien dapat penurunan usaha dalam
fungsi jalan mempertahankan pengembangan dada bernafas
nafas, jalan nafas dengan dan peningkatan 2. Pengemban
peningkatan bunyi nafas yang fremitus – gan dada dapat
sekret jernih dan ronchi (-) 3. Catat karakteristik menjadi batas dari
pulmonal, - Pasien bebas dari dari suara nafas akumulasi cairan
peningkatan dispneu - 4. Catat karakteristik dan
resistensi jalan Mengeluarkan sekret dari batuk adanya cairan dapat
nafas tanpa kesulitan 5. Pertahankan posisi meningkatkan
tubuh/posisi kepala fremitus
dan gunakan jalan 3. Suara nafas
nafas tambahan bila terjadi karena
perlu adanya aliran
6. Kaji kemampuan udara melewati
batuk, latihan nafas batang tracheo
dalam, perubahan branchial dan
posisi dan lakukan juga karena
suction bila ada adanya cairan,
indikasi mukus atau
7. Peningkatan oral sumbatan lain
intake jika dari saluran nafas
memungkinkan 4. Karakterist
Kolaboratif ik batuk dapat
8. Berikan oksigen, merubah
cairan IV ; ketergantungan
tempatkan di kamar pada penyebab
humidifier sesuai dan etiologi dari

14
indikasi jalan nafas.
9. Berikan therapi Adanya sputum dapat
aerosol, ultrasonik dalam
nabulasasi jumlah yang
10. Berikan banyak, tebal dan
fisiotherapi dada purulent
misalnya : postural 5. Pemelihara
drainase, perkusi an jalan nafas
dada/vibrasi jika bagian nafas
ada indikasi dengan paten
11. Berikan 6. Penimbuna
bronchodilator n sekret
misalnya : mengganggu
aminofilin, ventilasi dan
albuteal dan predisposisi
mukolitik perkembangan
atelektasis dan
infeksi paru
7. Peningkata
n cairan per oral
dapat
mengencerkan
sputum
8. Mengeluar
kan sekret dan
meningkatkan
transport oksigen
9. Dapat
berfungsi sebagai
bronchodilatasi
dan mengeluarkan

15
secret
10. Meningkatkan
drainase
secret
paru, peningkatan
efisiensi
penggunaan otot
otot pernafasan
11.Diberikan
untuk mengurangi
bronchospasme,
menurunkan
viskositas sekret
dan meningkatkan
Pola
2. nafas tidak Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji frekuensi,
efektif b.d keperawatan pasien dapat kedalaman dan
penurunan ekspansimempertahankan pola kualitas pernapasan
paru pernapasan yang efektif serta pola
Kriteria Hasil : pernapasan.
Pasien menunjukkan 2. Kaji tanda vital dan
•Frekuensi, irama dan tingkat kesasdaran
kedalaman pernapasan setaiap jam dan prn
normal 3. Monitor pemberian
•Adanya penurunan trakeostomi bila
dispneu PaCo2 50 mmHg
•Gas-gas darah dalam atau PaO2< 60
batas normal mmHg
4. Berikan oksigen
dalam bantuan
ventilasi dan
humidifier sesuai

16
dengan pesanan
5. Pantau dan catat
gas-gas darah
sesuai indikasi : kaji
kecenderungan
kenaikan PaCO2
atau kecendurungan
penurunan PaO2
6. Auskultasi dada
untuk
mendengarkan
bunyi nafas setiap 1
jam
7. Pertahankan tirah
baring dengan
kepala tempat tidur
ditinggikan 30
sampai 45 derajat
untuk
mengoptimalkan
pernapasan
8. Berikan dorongan
utnuk batuk dan
napas dalam, bantu
pasien untuk
mebebat dada
selama batuk
9. Instruksikan pasien
untuk melakukan
pernapasan
diagpragma atau

17
bibir
10. Berikan bantuan
ventilasi mekanik
bila PaCO > 60
mmHg. PaO2 dan
PCO2 meningkat
dengan frekuensi 5
mmHg/jam. PaO2
tidak dapat
dipertahankan
pada 60 mmHg
atau lebih, atau
pasien
memperlihatkan
keletihan atau
depresi mental atau
sekresi menjadi
sulit untuk diatasi.

Gangguan
3. Setelah diberikan tindakan 1. Kaji terhadap tanda 1. Takipneu
pertukaran gas keperawatan pasien dapat dan gejala hipoksia adalah
Berhubunngan mempertahankan pertukaran dan hiperkapnia mekanisme
dengan gas yang 2. Kaji TD, nadi kompensasi
abnormalitas adekuat apikal dan tingkat untuk
ventilasi-perfusi Kriteria Hasil : kesadaran setiap hipoksemia
sekunder Pasien mampu jam dan prn, dan
terhadap menunjukkan : laporkan perubahan peningkatan
hipoventilasi •Bunyi paru bersih tingkat kesadaran usaha nafas
•Warna kulit normal pada dokter. 2. Suara nafas
• Gas-gas darah dalam 3. Pantau dan catat mungkin tidak
batas pemeriksaan gas sama atau tidak

18
normal untuk usia yang darah, kaji adanya ada ditemukan.
diperkirakan kecenderungan Crakles terjadi
kenaikan dalam karena
PaCO2 atau peningkatan
penurunan dalam cairan di
PaO2 permukaan
4. Bantu dengan jaringan yang
pemberian ventilasi disebabkan
mekanik sesuai oleh
indikasi, kaji peningkatan
perlunya CPAP permeabilitas
atau PEEP. membran
5. Auskultasi dada alveoli, kapiler.
untuk 3. Wheezing
mendengarkan terjadi karena
bunyi nafas setiap bronchokontrik
jam si atau adanya
6. Tinjau kembali mukus pada
pemeriksaan sinar X jalan nafas
dada harian, 4. Selalu berarti
perhatikan bila diberikan
peningkatan oksigen
ataupenyimpangan (desaturas 5 gr
7. Pantau irama dari Hb)
jantung sebelum cyanosis
8. Berikan cairan muncul. Tanda
parenteral sesuai cyanosis dapat
pesanan dinilai pada
9. Berikan obat-obatan mulut, bibir
sesuai pesanan: yang indikasi
bronkodilator, adanya

19
antibiotik, steroid. hipoksemia
sistemik,
cyanosis
perifer seperti
pada kuku dan
ekstremitas
adalah
vasokontriksi
5. Hipoksemia
dapat
menyebabkan
iritabilitas dari
miokardium
6. Menyimpan
tenaga pasien,
mengurangi
penggunaan
oksigen
7. Memaksimalka
n pertukaran
oksigen secara
terus menerus
dengan tekanan
yang sesuai
8. Peningkatan
ekspansi paru
meningkatkan
oksigenasi
9. Memperlihatka
n kongesti paru
yang progresif

20
Kelebihan
4. volumeSetelah diberikan tindakan 1. Timbang BB tiap 1. Untuk
cairan b.d. perawatan pasien tidak hari mengetahui
edema pulmo terjadi kelebihan 2. Monitor input dan perkembangan
volume cairan output pasien tiap 1 bb klien
Kriteria Hasil : jam 2. Untuk
Pasien mampu 3. Kaji tanda dan mengetahui
menunjukkan: gejala penurunan balance cairan
• TTV normal curah jantung 3. Mengetahui
• Balance cairan dalam 4. Kaji tanda-tanda suplai oksigen
batas normal kelebihan volume : di dalam tubuh
• Tidak terjadi edema edema, BB , CVP 4. Mengetahui
5. Monitor parameter adanya odema
Hemodinamik 5. Untuk
6. Kolaborasi untuk memantau
pemberian cairan dan cairan dalam
elektrolit tubuh
6. Memnuhi
kebutuhan
cairan dan
elektrolit
dalam tubuh
Gangguan
5. perfusi
Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji tingkat 1. Untuk
jaringan b.d keperawatan pasien kesadaran mengetahui
penurunan curah mampu mempertahankan 2. Kaji penurunan tingkat
jantung perfusijaringan. perfusi jaringan kesadaran
Kriteria Hasil : 3. Kaji status klien
Pasien mampu hemodinamik 2. Mengetahui
menunjukkan 4. Kaji irama EKG keadaan
•Status hemodinamik 5. Kaji system perfusi
dalam bata Gastrointestinal jaringan
normal tercukupi apa

21
• TTV normal tidaknya
3. Untuk
memantau
cairan dalam
tubuh
4. Untuk
mengetahui
kelainan di
jantung
5. Untuk
mengetahui
adanya
kelainan di
gastrointestina
l

2.4 Implementasi Keperawatan

Implementasi keperawatan dilakukan sesuai dengan intervensi atau


rencana asuhan keperawatan

2.5 Evaluasi
Evaluasi di lakukan dengan menggunakan metoe SOAP
S : Tanyakan pada pasien apakah masih ada keluhan

22
O : Observasi respon verbal dan non verbal pasien
A : evaluasi apakah rencana asuhan keperawatan berasil atau tidak
P : lanjutkan intervensi jika tidak berhasil

2.2 ASUHAN KEPERAWATAN ASMA ATTACK     


A. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
2.2.1 Definisi/Pengertian
PengertianAsma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran
napas yang disebabkan olehreaksi hiperresponsif sel imun tubuh seperti
sel mast, eosinofil, dan limfosit-T terhadapstimulus tertentu dan
menimbulkangejaladyspnea, wheezing, dan batuk

23
akibatobstruksi jalan napas yang bersifat reversible dan terjadi seca
ra episodik berulang (Bruner &Suddarth, 2011).
Pendapat serupa juga menyatakan bahwa asma merupakan
reaksihiperresponsif saluran napas yang berbeda-beda derajatnya dan
menimbulkan fluktuasispontan terhadap obstruksi jalan napas (Lewis et
al., 2011).B.
Asthma adalah penyakit peradangan saluran nafas kronik akibat
terjadinya peningkatan kepekaan saluran nafas terhadap berbagai
rangsangan. Asthma merupakan obstruksi saluran nafas yang reversible
dari kontraksi otot polos bronkus, hipersekresi mukus dan udema
mukosa. Terjadi peradangan di saluran nafas dan menjadi responsive
terhadap beberapa rangsangan termasuk zat iritan, infeksi virus, aspirin,
air dingin, dan olah raga.
2.2.2 Epidemiologi
Penelitian di Indonesia memberikan hasil yang bervariasi antara 3–
8%, penelitian yang dilakukan di Medan, Palembang, Ujung Pandang,
dan Yogyakarta memberikan angka berturut-turut 7,99%, 8,08%, 17%
dan 4,8%. Penelitian epidemiologi asma yang dilakukan pada siswa
SMP di beberapa tempat di Indonesia, antara lain Palembang di mana
prevalensi asma sebesar 7,4%, Jakarta prevelansi asma sebesar 5,7% dan
Bandung prevalensi asma sebesar 6,7%. Belum disimpulkan
kecendrungan perubahan prevalensi berdasarkan bertambahnya usia
karena sedikitnya penelitian dengan sasaran siswa SMP, namun
tampaknya terjadi penurunan prevalensi siswa SMP 31 sebanding
dengan bertambahnya usia terutama setelah usia sepuluh tahun. Hal ini
yang menyebabkan prevelansi asma pada orang dewasa lebih rendah
dibandingkan dengan angka kejadian asma pada anak.

2.2.3 Etiologi

24
2.2.3.1 Asma Alergik: Asma alergik disebabkan oleh alergen atau
alergen-alergen yang dikenal (mis: serbuk sari, binatang, amarah,
dan jamur) kebanyakan alergen terdapat diudara dan musiman.
Pasien dengan asma alergik biasanya mempunyai riwayat
keluarga yang alergik dan riwayat masa lalu ekzema atau rhinitis
alergik. Pejanan terhadap alergen mencetus asma.
2.2.3.2 Asma Idiopatik atau Non alergik: Asma idiopatik atau nonalergik
tidak ada hubungan dengan alergen spesifik. Faktor-faktor,
seperti comman cold, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi
dan polutan lingkungan yang dapat mencetuskan rangsangan.
2.2.3.3 Asma Gabungan: Asma gabungan adalah asma yang paling
umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik
maupun bentuk idiopatik atau non alergik.

2.2.4 Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan
menjadi 3 tipe, yaitu:
2.2.4.1 Ekstrinsik (alergik) Ditandai dengan reaksi alergik yang
disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik,
seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan
(antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik
sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi
genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-
faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas,
maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.
2.2.4.2 Intrinsik (non alergik) Ditandai dengan adanya reaksi
non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak
spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau
bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran
pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih
berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan

25
dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan
emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma
gabungan.
2.2.4.3 Asma gabungan Bentuk asma yang paling umum. Asma
ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan non-
alergik

2.2.5 Tanda dan gejala


2.2.5.1 Retraksi dinding dada
2.2.5.2 Nafas cuping hidung
2.2.5.3 Peningkatan jelas usaha bernafas
2.2.5.4 Wheezing ( nafas berbunyi )
2.2.5.5 Pernafasan yang dangkal dan cepat
2.2.5.6 Selama serangan asma, udara terperangkap karena spasme
dan mukus memperlambat ekspirasi. Hal ini menyebabkan
waktu menghembuskan udara menjadi lebih lama
2.2.5.7 Batuk kering (tidak produktif) karena secret kental dan
lumen jalan nafas sempit.
2.2.6 Patofisiologi
2.2.6.1 Astma pada anak terjadi adanya penyempitan pada jalan
nafas dan hiperaktif respon terhadap bahan iritasi dan
stimulus lain.
2.2.6.2 Dengan adanya bahan iritasi atau allergen otot-otot
bronkus menjadi spesma dan zat antibody tubuh muncul
(immunoglobulin E atau Ige ) denagn adanya allergen.
2.2.6.3 Asma juga dapat terjadi factor pencetus nya karena
latihan, kecemasan dan udara dingin.
2.2.6.4 Selama serangan astmatik, bronkiolus menjadi meradang
dan peningkatan sekresi mokus. Hal ini menyebakan
lumen jalan nafas menjadi sesak, kemudian meningkatkan
resistensi jalan nafas dan dapat menimbulkan distress

26
pernafasanAnak yang mengalami astma mudah untuk
inhalasi dan sukar dalam ekshalasi karena edema pada
jalan nafas. Dan ini menyebabkan hiperinflasi pada
alveoli dan perubahan pertukaran gas. Jalan nafas
menjadiobstruksi kemudian tidak adekuat ventilasi dan
saturasi 02, sehingga menjadi penurunan p02 (hypoxia).

2.2.7 Pemeriksaan Fisik


Pasien yang mengalami serangan asma, pada pemeriksaan fisik
dapat ditemukan sesuai derajat serangan:
 Inspeksi pasien terlihat gelisah,sesak (napas cuping hidung, napas
cepat,retraksi sela iga, retraksi epigastrium, retraksi suprasternal),
sianosis
 Palpasi biasanya tidak ada kelainan yang nyata (padaserangan berat
dapat terjadi pulsus paradoksus)
 Perkusi biasanya tidak ada kelainan yang nyata
 Auskultasi : ekspirasi memanjang, wheezing, suara lendir

2.2.8 Pemeriksaan Diagnostik


2.2.8.1 Pemeriksaan sputum, Pada pemeriksaan sputum
ditemukan :
2.2.8.1.1 Kristal –kristal charcot leyden yang merupakan
degranulasi dari kristal eosinofil.
2.2.8.1.2 Terdapatnya Spiral Curschman, yakni spiral
yang merupakan silinder sel-sel cabang-cabang
bronkus
2.2.8.1.3 Terdapatnya Creole yang merupakan fragmen
dari epitel bronkus
2.2.8.1.4 Terdapatnya neutrofil eosinofil

27
2.2.8.2 Pemeriksaan darah, Pada pemeriksaan darah yang rutin
diharapkan eosinofil meninggi, sedangkan leukosit dapat
meninggi atau normal, walaupun terdapat komplikasi asma
2.2.8.2.1 Gas analisa darah, Terdapat hasil aliran darah
yang variabel, akan tetapi bila terdapat
peninggian PaCO2 maupun penurunan pH
menunjukkan prognosis yang buruk
2.2.8.2.2 Kadang –kadang pada darah terdapat SGOT
dan LDH yang meninggi
2.2.8.2.3 Hiponatremi 15.000/mm3 menandakan
terdapat infeksi
2.2.8.2.4 Pada pemeriksaan faktor alergi terdapat IgE
yang meninggi pada waktu seranggan, dan
menurun pada waktu penderita bebas dari
serangan.
2.2.8.2.5 Pemeriksaan tes untuk mencari faktor alergi
dengan berbagai alergennya dapat
menimbulkan reaksi yang positif pada tipe
asma atopik.
2.2.8.3 Foto rontgen, Pada umumnya, pemeriksaan foto rontgen
pada asma normal. Pada  serangan asma, gambaran ini
menunjukkan hiperinflasi paru berupa rradiolusen yang
bertambah, dan pelebaran rongga interkostal serta
diagfragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat
komplikasi, kelainan yang terjadi adalah:
2.2.8.3.1 Bila disertai dengan bronkhitis, bercakan hilus
akan bertambah
2.2.8.3.2 Bila terdapat komplikasi emfisema (COPD)
menimbulkan gambaran yang bertambah.
2.2.8.3.3 Bila terdapat komplikasi pneumonia maka
terdapat gambaran infiltrat pada par

28
2.2.8.4. Pemeriksaan faal paru
2.2.8.4.1 Bila FEV1 lebih kecil dari 40%, 2/3 penderita
menujukkan penurunan tekanan sistolenya dan
bila lebih rendah dari 20%, seluruh pasien
menunjukkan penurunan tekanan sistolik.
2.2.8.4.2 Terjadi penambahan volume paru yang
meliputi RV hampi terjadi pada seluruh asma,
FRC selalu menurun, sedangan penurunan
TRC sering terjadi pada asma yang berat.
2.2.8.5 Elektrokardiografi, Gambaran elektrokardiografi selama
terjadi serangan asma dapat dibagi atas tiga bagian dan
disesuaikan dengan gambaran emfisema paru, yakni :
2.2.8.5.1 Perubahan aksis jantung pada umumnya
terjadi deviasi aksis ke kanan dan rotasi searah
jarum jam
2.2.8.5.2 Terdapatnya tanda-tanda hipertrofi jantung,
yakni tedapat RBBB
2.2.8.5.3 Tanda-tanda hipoksemia yakni terdapat sinus
takikardi, SVES, dan VES atau terjadinya
relatif ST depresi.

2.2.9 Penatalaksanaan
Pengobatan asma secara garis besar dibagi dalam pengobatan non
farmakologik dan pengobatan farmakologik.
2.2.9.1 Pengobatan non farmakologik
2.2.9.1.1 Penyuluhan: Penyuluhan ini ditujukan pada
peningkatan pengetahuan klien tentang

29
penyakit asthma sehinggan klien secara sadar
menghindari faktor-faktor pencetus, serta
menggunakan obat secara benar dan
berkonsoltasi pada tim kesehatan.
2.2.9.1.2 Menghindari faktor pencetus: Klien perlu
dibantu mengidentifikasi pencetus serangan
asthma yang ada pada lingkungannya, serta
diajarkan cara menghindari dan mengurangi
faktor pencetus, termasuk pemasukan cairan
yang cukup bagi klien.
2.2.9.1.3 Fisioterapi: Fisioterapi dapat digunakan untuk
mempermudah pengeluaran mukus. Ini dapat
dilakukan dengan drainage postural, perkusi
dan fibrasi dada.
2.2.9.2 Pengobatan farmakologik
2.2.9.2.1 Agonis beta : Bentuk aerosol bekerja sangat
cepat diberika 3-4 kali semprot dan jarak
antara semprotan pertama dan kedua adalan 10
menit. Yang termasuk obat ini adalah
metaproterenol (Alupent, metrapel).
2.2.9.2.2 Metil Xantin: Golongan metil xantin adalan
aminophilin dan teopilin, obat ini diberikan
bila golongan beta agonis tidak memberikan
hasil yang memuaskan. Pada orang dewasa
diberikan 125-200 mg empatkali sehari.
2.2.9.2.3 Kortikosteroid: Jika agonis beta dan metil
xantin tidak memberikan respon yang baik,
harus diberikan kortikosteroid. Steroid dalam
bentuk aerosol (beclometason dipropinate)
dengan dosis 800 empat kali semprot tiap hari.
Karena pemberian steroid yang lama

30
mempunyai efek samping maka yang
mendapat steroid jangka lama harus diawasi
dengan ketat.
2.2.9.2.4 Kromolin: Kromolin merupakan obat pencegah
asthma, khususnya anak-anak. Dosisnya
berkisar 1-2 kapsul empat kali sehari.
2.2.9.2.5 Ketotifen: Efek kerja sama dengan kromolin
dengan dosis 2 x 1 mg perhari. Keuntunganya
dapat diberikan secara oral.
2.2.9.2.6 Iprutropioum bromide (Atroven): Atroven
adalah antikolenergik, diberikan dalam bentuk
aerosol dan bersifat bronkodilator.
2.2.9.3 Pengobatan selama serangan status asmatikus
2.2.9.3.1 Infus RL : D5 = 3 : 1 tiap 24 jam
2.2.9.3.2 Pemberian oksigen 4 liter/ menit melalui nasal
kanul
2.2.9.3.3 Aminophilin bolus 5 mg/ kg bb diberikan
pelan-pelan selama 20 menit dilanjutkan drip
RL atau D5 mentenence (20 tetes/ menit)
dengan dosis 20 mg/ kg BB/ 24 jam.
2.2.9.3.4 Terbutalin 0,25 mg/ 6 jam secara sub kutan.
2.2.9.3.5 Dexametason 10-20 mg/ 6 jam secara intra
vena.
2.2.9.3.6 Antibiotik spektrum luas.

2.2.10 Komplikasi
2.2.10.1 Pneumothoraks: keadaan abnormalitas dimana terdapatnya
udara dalam rongga thoraks.
2.2.10.2 Pneumomediastinum dan emfisemi subkutis.

31
2.2.10.3 Atelektasis: ketidakmampuan organ paru untuk mengembang
dengan sempurna.
2.2.10.4 Aspergilosis bronkopulmonar alergik.
2.2.10.5 Gagal napas: keadaan dimana pertukaran oksigen dengan
karbondioksida pada paru-paru tidak dapat mengimbangi laju
konsumsi oksigen dan produksi karbondioksida pada sel tubuh
yang mengakibatkan tekanan oksigen arterial menjadi kurang
dari 50 mmHg (hipoksemia) dan tekanan karbondioksida
arterial meningkat menjadi lebih dari 45 mmHg (hiperkapnea).
2.2.10.6 Bronkhitis: radang pada bronkhus yang biasanya mengenai
trakhea dan laring

32
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
2.1 Pengkajian
2.1.1 Identitas Pasien
Pada tahap ini perawat perlu mengetahui tentang nama, umur,
jenis kelamin, alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku
bangsa, bahasa yang dipakai, status pendidikan dan pekerjaan
pasien.
2.1.2 Keluhan Utama
2.1.2.1 Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong
pasien mencari pertolongan atau berobat ke rumah sakit.
2.1.2.2 Biasanya pada pasien dengan effusi pleura didapatkan
keluhan berupa: sesak nafas, rasa berat pada dada, nyeri
pleuritik akibat iritasi pleura yang bersifat tajam dan
terlokasilir terutama pada saat batuk dan bernafas serta
batuk non produktif.
2.1.3 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dengan gagal nafas biasanya akan diawali dengan adanya
tanda - tanda seperti batuk, sesak nafas, nyeri pleuritik, rasa berat
pada dada, berat badan menurun dan sebagainya. 
2.1.4 Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan apakah pasienpernah menderita penyakit seperti
TBC paru, pneumoni, gagal jantung, trauma, asites dan
sebagainya.Hal ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan
adanya faktor predisposisi.
2.1.5 Riwayat Penyakit Keluarga Perlu ditanyakan apakah ada anggota
keluarga yang menderita penyakit penyakit yang disinyalir
sebagai penyebab effusi pleura seperti Ca paru, asma, TB paru
dan lain sebagainya
2.1.6 Riwayat Psikososial Meliputi

33
Perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara
mengatasinya serta bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan
yang dilakukan terhadap dirinya.
2.1.7 Pola Kesehatan Gordon
2.1.7.1 Pengkajian Pola Fungsi
2.1.7.1.1 Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Adanya tindakan medis danperawatan di
rumah sakit mempengaruhi perubahan
persepsi tentang kesehatan, tapi kadang juga
memunculkan persepsi yang salah terhadap
pemeliharaan kesehatan.
2.1.7.1.2 Kemungkinan adanya riwayat kebiasaan
merokok, minum alcohol dan penggunaan
obat-obatan bias menjadi faktor predisposisi
timbulnya penyakit.
2.1.7.2 Pola nutrisi dan metabolisme
2.7.1.7.2.1 Dalam pengkajian pola nutrisi dan
metabolisme, kita perlu melakukan
pengukuran tinggi badan dan berat badan
untuk mengetahui status nutrisi pasien,
2.7.1.7.2.2 Perlu ditanyakan kebiasaan makan dan minum
sebelum dan selama MRS pasien dengan
effusi pleura akan mengalami penurunan nafsu
makan akibat dari sesak nafas dan penekanan
pada struktur abdomen.
2.7.1.7.2.3 Peningkatan metabolisme akan terjadi akibat
proses penyakit. Pasien dengan effusi pleura
keadaan umumnyalemah.
2.1.7.3 Pola eliminasi

34
2.1.7.3.1 Dalam pengkajian pola eliminasi perlu
ditanyakan mengenai kebiasaan defekasi
sebelum dan sesudah MRS.
2.1.7.3.2 Karena keadaan umum pasien yang lemah,
pasien akan lebih banyak bed rest sehingga
akan menimbulkan konstipasi, selain akibat
pencernaan pada struktur abdomen
menyebabkan penurunan peristaltik otot-otot
tractus degestivus.
2.1.7.4 Pola aktivitas dan latihan
2.1.7.4.1 Akibat sesak nafas, kebutuhan O2 jaringan
akan kurang terpenuhi Pasien akan cepat
mengalami kelelahan pada aktivitas minimal.
Disamping itu pasien juga akan mengurangi
aktivitasnya akibat adanya nyeri dada. Untuk
memenuhi kebutuhan ADL nya sebagian
kebutuhan pasien dibantu oleh perawat dan
keluarganya.
2.1.7.5 Pola tidur dan istirahat
2.1.7.5.1 Adanya nyeri dada, sesak nafas dan
peningkatan suhu tubuh akan berpengaruh
terhadap pemenuhan kebutuhan tidur dan
istitahat Selain itu akibat perubahan kondisi
lingkungan dari lingkungan rumah yang
tenang ke lingkungan rumah sakit, dimana
banyak orang yang mondar-mandir, berisik
dan lain sebagainya.
2.2 Diagnose yang Mungkin Muncul (Nanda,2015)
2.2.1 Gangguan pola nafas b.d penyemptan jalan nafas
2.2.2 Sumbatan bersihan jalan nafas b.d adanya benda asing
2.2.3 Ansietas b.d ancaman hidup

35
2.2.4 Defisit volume cairan b.d kurangnya asupan cairan
2.2.5 Gangguan pola tidur b.d susah tidur

2.3 Rencana Keperawatan


No. Diagnose Tujuan Intervensi
1. Gangguan pola nafas b.d Noc :  Kaji rute,
penyempitan jalan  Respiratory irama, kedalaman,
nafas status:ventilation dan usaha respirasi
 Aspiration  Monitor
kontrol suara nafas
Setelah di lakukan asuhan tambahan
keperawatan ...x…  Auskultasi
diharapkan bersihan jalan bunyi nafas
nafas normal dengan tambahan: ronchi,
kriteria hasil : whezzing
 Mendemontras  Berikan
ikan batuk efektif posisi yang
 Tidak ada nyaman untuk
sianosis dan dyspneu mengurangi
 Menunjukan dispnea
jalan nafas yang paten  Informasika
 Mampu n pada keluarga
mengidentifikasi dan mengenai tindakan
mencegah factor yang suction
menghambat jalan  Kolabirasik
nafas an dengan tim
medis
2. Sumbatan bersihan Noc :  Kaji rute,
jalan nafas b.d  Respiratory irama, kedalaman,
adanya benda asing status:ventilation dan usaha respirasi
 Aspiration  Monitor

36
kontrol suara nafas
Setelah di lakukan asuhan tambahan
keperawatan ..x…  Auskultasi
diharapkan bersihan jalan bunyi nafas
nafas normal dengan tambahan: ronchi,
kriteria hasil : whezzing
 Mendemontras  Berikan
ikan batuk efektif posisi yang
 Tidak ada nyaman untuk
sianosis dan dyspneu mengurangi
 Menunjukan dispnea
jalan nafas yang paten  Informasika
 Mampu mengidentifikasi n pada keluarga
dan mencegah factor mengenai tindakan
yang menghambat jalan suction
nafas  Kolabirasik
an dengan tim
medis
3. Ansietas b.d Noc :  Dorong
ancaman hidup  Anxiety pasiek
control mengungkapkan
 coping pikiran dan
Setelah di lakukan asuhan perasaannya.
keperawatan ..x.. diharapkan  Beri
cemas pada pasien dapat lingkungan terbuka
diatasi dengan kriteria hasil : dimana pasien
 Pasien mampu merasa aman
mengeidentifikasi dan untuk
mengungkapkan mendiskusikan
gejala cemas perasaan atau
menolak untuk

37
bicara.
 Bantu
pasien atau
orang terdekat
dalam mengenali
dan
mengklarifikasi
rasa takut.Beri
informasi akurat,
konsisten
mengenai
prognosis,
pengobatan serta
dukungan orang
terdekat.
 Kolaborasik
an pemberian obat

4. Defisit volume cairan b.d Noc :  Kaji


kurangnya asupan  Nutrional status : food riwayat nutrisi,
cairan and fluid intake termasuk makan
 Weight cntrol yang disukai.
Setelah di lakukan asuhan  Observasi
keperawatan ….x…. dan catat masukkan
diharapkan nafsu makan makanan
pasien bertambah dengan pasien.Timbang
kriteria hasil : berat badan setiap
 Adanya hari.
peningkatan berat  Berikan
badan sesuai dengan makan sedikit

38
tujuan dengan frekuensi
 Berat badan sering dan atau
ideal sesuai dengan makan diantara
tinggi badan waktu makan
 Mampu  Berikan dan
mengientifikasi Bantu hygiene
kebutuhan nutrisi mulut yang baik;
 Tidak ada sebelum dan
tanda-tanda malnutrisi sesudah makan,
gunakan sikat gigi
halus untuk
penyikatan yang
lembut.
 Ajarkan
pasien bagaimana
membuat catatan
harian
 Kolaborasi pada ahli
gizi untuk rencana diet
5. Gangguan pola tidur b.d Noc :  Pantau
susah tidur  Anxiety keadaan umum px
reduction dan TTv
 Comfort level  Kaji pola
Setelah di lakukan asuhan tidur
keperawatan ..x..  Ciptakan
diharapkan pasien tidak suasa nyaman,
mengalami gangguan pola kurangi, distraksi
tidur lagi kriteria hasil : lingkungan dan
 Jumlah tidur gangguan tidur.
selama 8 jam dapat  Anjurkan
terpenuhi untuk memberikan

39
 Pola tidur, perawatan pada
kualitas dalam batas petang hari (mis;
normal hygiene personal,
 Perasaan segar linen,dan baju
sesudah tidur tidur).
atauistirahat. Beri obat
dengan
kolaborasi
dokter

2.4 Implementasi Keperawatan


Implementasi keperawatan dilakukan sesuai dengan intervensi atau
rencana asuhan keperawatan

2.5 Evaluasi
Evaluasi di lakukan dengan menggunakan metoe SOAP
S : Tanyakan pada pasien apakah masih ada keluhan
O : Observasi respon verbal dan non verbal pasien
A : evaluasi apakah rencana asuhan keperawatan berasil atau tidak
P : lanjutkan intervensi jika tidak berhasil

2.3 KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN EDEMA PARU


A. Konsep Dasar Penyakit

2.4.1 Definisi

Edema paru adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya cairan


ekstravaskular yang patologis pada jaringan parenkim paru. Edema paru
disebabkan karena akumulasi cairan di paru-paru yang dapat disebabkan

40
oleh tekanan intrvaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena
peningkatan permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak)
yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan. Pada sebagian besar
edema paru secara klinis mempunyai kedua aspek tersebut di atas, sebab
sangat sulit terjadi gangguan permeabilitas kapiler tanpa adanya gangguan
tekanan pada mikrosirkulasi atau sebaliknya. Walaupun demikian penting
sekali untuk menetapkan factor mana yang dominan dari kedua
mekanisme tersebut sebagai pedoman pengobatan.(Sjaharudin Harun &
Sally Aman Nasution,2010) Edema paru terjadi dikarenakan aliran cairan
dari pembuluh darah ke ruang intersisial paru yang selanjutnya ke alveoli
paru, melebihi aliran cairan kembali ke darah atau melalui saluran
limfatik.

Edema paru terjadi ketika cairan yang disaring ke paru lebih cepat dari
cairan yang dipindahkan. Penumpukan cairan menjadi masalah serius bagi
fungsi paru karena efisiensi perpindahan gas di alveoli tidak bisa terjadi.
Struktur paru dapat menyesuaikan bentuk edema dan yang mengatur
perpindahan cairan dan protein di paru menjadi masalah yang
klasik.Peningkatan tekanan edema paru disebabkan oleh meningkatnya
keseimbangan kekuatan yang mendorong filtrasi cairan di paru. Fitur
penting dari edema ini adalah keseimbangan aliran cairan dan protein ke
dalam paru utuh secara fungsional. Peningkatan tekanan edema sering
disebut kardiogenik, tekanan tinggi, hidrostatik, atau edema paru sekunder
tapi lebih efektifnya disebut keseimbangan edema paru terganggu karena
tahanan keseimbangan pergerakan antara cairan dan zat terlarut di dalam
paru. oleh karena peningkatan tekanan arteri pulmonalis. Penurunan
tekanan onkotik plasma pada hipoalbuminemia sekunder oleh karena
penyakit ginjal, hati, atau penyakit nutrisi.Peningkatan tekanan negatif
interstisial pada pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura
(unilateral); Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi

41
saluran napas akut bersamaan dengan peningkatan volume akhir ekspirasi
(asma).

2.4.2 Epidemiologi

Pada populasi umum kejadian edema paru berkisar sekitar 1-2%.


Edema paru sering terjadi pada usia 40-75 tahun dengan rasio laki-laki
lebih tinggi dibanding perempuan. Namun pada usia diatas 75 tahun
insiden edema paru pada wanita dan laki-laki sama.Pada daerah dataran
tinggi 250-400 m dari permukaan laut insiden edema paru sekitar 3%.
10% menyerang pada orang-orang dengan riwayat mengkonsumsi alcohol.

2.4.3 Etiologi

Menurut Harrison (2009) penyebab edema paru :


2.4.3.1 Ketidakseimbangan Starling Forces
2.4.3.1.1 Peningkatan tekanan kapiler paru:
 Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya
gangguan fungsi ventrikel kiri (stenosis mitral)
 Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh
karena gangguan fungsi ventrikel kiri
 Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh
karena peningkatan tekanan arteria pulmonalis (over
perfusion pulmonary edema)
2.4.3.1.2 Penurunan Tekanan Osmotik Plasma
Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit
ginjal, hati, protein-lossing enteropaday, penyakit
dermatologi atau penyakit nutrisi
2.4.3.1.3 Peningkatan tekanan negatif Intersisial
 Pengambilan terlalu cepat pneumotorax atau efusi
pleura (unilateral)

42
 Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena
obstruksi saluran nafas akut bersamaan dengan
peningkatan end-expiratory volume (asma)
2.4.3.2 Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult
Respiratory Distress Syndrome)
a. Pneumonia (bakteri, virus, parasit)
b. Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, asap
teflon, NO2)
c. Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin
bakteri, alloxan, alpha-naphtyl thiourea)
d. Aspirasi asam lambung
e. Pneuminitis radiasi akut
f. Bahan vasoaktif endogen histamin, kinin)
g. Imunologi ( pneumonitis, hipersensitif)
h. Pankreatitis perdarahan akut
i. Shok lung karena trauma diluar thorax
2.4.3.3 Insufisiensi limfatik
a. Post lung transplant
b. Lymphangitic Carcinomatosis
c. Fibrosing Lymphangitis (silicosis)
2.4.3.4 Sindroma Kongesti Vena: edema paru dapat terjadi karena
kelebihan cairan intravaskuler. Sindroma ini sering terjadi pada
klien yang mendapat cairan kristaloid atau darah intravena dalam
jumlah besar terutama pada klien dengan gangguan fungsi ginjal
(Muttaqin, 2010).
2.4.3.5 Udema Neurogenik: keadaan ini terjadi pada klien dengan
gangguan system saraf pusat. Diduga dasar mekanisme edema
paru neurogenik adalah adanya rangsangan hipotalamus yang
menyebabkan rangsangan pada system adrenergic, yang
kemudian menyebabkan pergeseran volume darah dari sirkulasi

43
sistemik ke sirkulasi pulmonal dan penurunan komplien ventrikel
kiri (Muttaqin, 2010).
2.4.3.6 Perubahan permeabilitas kapiler
Infeksi (bakteri atau virus), pneumonia, reaksi imunologis
dapat terjadi peningkatan permeabilitas kapiler paru sehingga
terjadi pergesaran cairan intravaskuler ke ekstravaskuler (Price,
2009).
2.4.3.7 Peningkatan tekanan vaskuler paru (Price, 2009)
 Penyebab jantung
Gagal jantung kiri, stenosis mitral, subakut endokarditis
bakterial
 Penyebab bukan jantung
Fibrosis vena pulmonalis, stenosis vena pulmonalis
congenital, penyakit oklusi vena pulmonalis.
2.4.3.8 Penurunan tekanan onkotik
Penyakit gagal Ginjal, gangguan hati dapat terjadi
hipoalbumin sehingga terjadi peningkatan permeabilitas
kapiler (Price, 2009).
2.4.3.9 Keracunan inhalasi
Edema paru yang disebabkan karena inhalasi bahan kimia
toksik dapat menyebabkan lesi paru. Zat yang bersifat toksik
seperti klorin, oksida nitrogen, ozon, sulfur dioksida, oksida
metalik, uap asam dan lain-lain (Muttaqin, 2011)

2.4.4 Klasifikasi
Edema paru dapat disebabkan oleh banyak faktor yang berbeda. Ia
dapat dihubungkan dengan gagal jantung, disebut cardiogenic pulmonary
edema (edema paru kardiak), atau dihubungkan pada sebab-sebab lain,
dirujuk sebagai non-cardiogenic pulmonary edema (edema paru
nonkardiak).

44
Diagnosis Banding Edema Paru Kardiak dan Nonkardiak
Edema paru
Edema paru kardiak
nonkardiak

Riwayat Penyakit :
Penyakit Jantung Akut Penyakit Dasar di luar Jantung

Pemeriksaan Klinik :
Akral dingin Akral hangat
S3 gallop/Kardiomegali Pulsasi nadi meningkat
Distensi vena jugularis Tidak terdengar gallop
Ronki basah Tidak ada distensi vena jugularis
Ronki kering

Tes Laboratorium :
EKG : Iskhemia/infark EKG : biasanya normal
Ro : distribusi edema perihiler Ro : distribusi edema perifer
Enzim jantung mungkin Enzim jantung biasanya normal
meningkat Tekanan Kapiler Paru < 18mmHg
Tekanan Kapiler Paru > 18mmHg Intrapulmonary shunting : sangat
Intrapulmonary shunting : meningkat
meningkat ringan Cairan edema/serum protein > 0,7
Cairan edema/protein serum < 0,5

Klasifikasi Edema Paru

Disertai perubahan tekanan kapilerKardiak


Gagal ventrikel kiri
Penyakit katup mitral

45
Penyakit pada vena pulmonal
Penyakit oklusi vena primer
Mediastinitis sklerotik kronik
Aliran vena pulmonal yang abnormal
Stenosis atau atresi vena congenital
Neurogenik
Trauma kepala
Tekanan intrakranial meningkat

Tekanan kapiler normal


Ketoasidosis diabetik
Feokromositoma
Pankreatitis
Obstruksi saluran nafas
Penurunan tekanan onkotik kapiler

Secara patofisiologi penyakit dasar penyebab edema paru kardiak dibagi


menjadi 3 kelompok: Peningkatan afterload (Pressure overload): terjadi beban
yang berlebihan terhadap ventrikel pada saat sistolik. Contohnya ialah
hipertensi dan stenosis aorta; Peningkatan preload (Volume overload): terjadi
beban yang berlebihan saat diastolik. Contohnya ialah insufisiensi mitral,
insufisiensi aorta, dan penyakit jantung dengan left-to-right shunt (ventricular
septal defect); Gangguan kontraksi otot jantung primer: pada infark miokard
akut jaringan otot yang sehat berkurang, sedangkan pada kardiomiopati
kongestif terdapat gangguan kontraksi otot jantung secara umum.
Penyebab edema paru non kardiak secara patofisiologi dibagi menjadi :
Peningkatan permeabilitas kapiler paru (ARDS) : tenggelam, inhalasi bahan
kimia, dan trauma berat; Peningkatan tekanan kapiler paru : pada sindrom
vena kava superior, pemberian cairan berlebih, dan transfusi darah; penurunan
tekanan onkotik plasma : sindrom nefrotik dan malnutrisi.
Klasifikasi edema paru berdasarkan mekanisme pencetus

46
1. Ketidak-seimbangan Starling Forces:
 Peningkatan tekanan kapiler paru:
Edema paru akan terjadi hanya apabila tekanan kapiler pulmonal
meningkat sampai melebihi tekanan osmotic koloid plasma, yang
biasanya berkisar 28 mmHg pada manusia. Sedangkan nilai normal
dari tekanan vena pulmonalis adalah antara 8-12 mmHg, yang
merupakan batas aman dari mulai terjadinya edema paru tersebut.
Etiologi dari keadaan ini antara lain:
a) Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi
ventrikel kiri (stenosis mitral).
b) Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan
fungsi ventrikel kiri.
c) Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena
peningkatan tekanan arteria pulmonalis (over perfusion
pulmonary edema).
 Penurunan tekanan onkotik plasma.
Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, protein-
losing enteropaday, penyakit dermatologi atau penyakit nutrisi.Tetapi
hipoalbuminemia saja tidak menimbulkan edema paru, diperlukan
juga peningkatan tekanan kapiler paru. Peningkatan tekanan yang
sedikit saja pada hipoalbuminemia akan menyebabkan edema paru.
 Peningkatan tekanan negatif intersisial:
Edema paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara
pleural, contoh yangs erring menjadi etiologi adalah:
a) Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura
(unilateral).
b) Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran
napas akut bersamaan dengan peningkatan end-expiratory
volume (asma).
 Peningkatan tekanan onkotik intersisial.
Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan maupun klinik.

47
2. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory
Distress Syndrome)
Keadaan ini merupakan akibat langsung dari kerusakan pembatas antara
kapiler dan alveolar.Cukup banyak kondisi medis maupun surgical
tertentu yang berhubungan dengan edema paru akibat kerusakan
pembatas ini daripada akibat ketidakseimbangan Starling Force.
 Pneumonia (bakteri, virus, parasit).
 Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, NO).
 Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan,
alpha-naphthyl thiourea).
 Aspirasi asam lambung.
 Pneumonitis radiasi akut.
 Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).
 Disseminated Intravascular Coagulation.
 Imunologi: pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin,
leukoagglutinin.
 Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.
 Pankreatitis Perdarahan Akut.
3. Insufisiensi Limfatik:
 Post Lung Transplant.
 Lymphangitic Carcinomatosis.
 Fibrosing Lymphangitis (silicosis).
4. Tak diketahui/tak jelas
 High Altitude Pulmonary Edema.
 Neurogenic Pulmonary Edema.
 Narcotic overdose.
 Pulmonary embolism
 Eclampsia
 Post cardioversion

48
 Post Anesthesia
 Post Cardiopulmonary Bypass

2.4.5 Tanda Dan Gejala

Gejala yang paling umum dari pulmonary edema adalah sesak napas. Ini
mungkin adalah penimbulan yang berangsur-angsur jika prosesnya
berkembang secara perlahan, atau ia dapat mempunyai penimbulan yang
tiba-tiba pada kasus dari pulmonary edema akut. Gejala-gejala umum lain
mungkin termasuk mudah lelah, lebih cepat mengembangkan sesak napas
daripada normal dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion), napas
yang cepat (tachypnea), kepeningan, atau kelemahan.
Tingkat oksigen darah yang rendah (hypoxia) mungkin terdeteksi pada
pasien-pasien dengan pulmonary edema. Lebih jauh, atas pemeriksaan
paru-paru dengan stethoscope, dokter mungkin mendengar suara-suara paru
yang abnormal, sepeti rales atau crackles (suara-suara mendidih pendek
yang terputus-putus yang berkoresponden pada muncratan cairan dalam
alveoli selama bernapas).
Manifestasi klinis Edema Paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium:
a. Stadium 1. Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang
prominen akan memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit
meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini
mungkin hanya berupa adanya sesak napas saat bekerja.
Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali
mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya
saluran napas yang tertutup pada saat inspirasi.
b. Stadium 2. Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas
pembuluh darah paru menjadi kabur, demikian pula hilus juga
menjadi kabur dan septa interlobularis menebal (garis Kerley B).
Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor inter-sisial, akan
lebih memperkecil saluran napas kecil, terutama di daerah basal

49
oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks
bronkhokonstriksi. Sering terdapat takhipnea. Meskipun hal ini
merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea
juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan
cairan intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya
terdapat sedikit perubahan saja.
c. Stadium 3. Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran
gas sangat terganggu, terjadi hipoksemia dan hipokapnia.
Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih kemerahan.
Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata.
Terjadi right-to-left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya
menderita hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi
hiperkapnia dan acute respiratory acidemia. Pada keadaan ini
morphin hams digunakan dengan hati-hati.
Edema Paru yang terjadi setelah Infark Miokard Akut biasanya akibat
hipertensi kapiler paru. Namun percobaan pada anjing yang dilakukan
ligasi arteriakoronaria, terjadi edema paru walaupun tekanan kapiler paru
normal, yang dapat dicegah de-ngan pemberian indomethacin sebelumnya.
Diperkirakan bahwa dengan menghambat cyclooxygenase atau cyclic
nucleotide phosphodiesterase akan mengurangi edema’ paru sekunder
akibat peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler; pada manusia masih
memerlukan penelitian lebih lanjut. Kadang kadang penderita dengan
Infark Miokard Akut dan edema paru, tekanan kapiler pasak parunya
normal; hal ini mungkin disebabkan lambatnya pembersihan cairan edema
secara radiografi meskipun tekanan kapiler paru sudah turun atau
kemungkinan lain pada beberapa penderita terjadi peningkatan
permeabilitas alveolar-kapiler paru sekunder oleh karena adanya isi
sekuncup yang rendah seperti pada cardiogenic shock lung.
2.4.6 Patofisiologi
Edema, pada umumnya, berarti pembengkakan. Ini secara khas terjadi
ketika cairan dari bagian dalam pembuluh darah merembes kedalam

50
jaringan sekelilingnya, menyebabkan pembengkakan. Ini dapat terjadi
karena terlalu banyak tekanan dalam pembuluh darah atau tidak ada
cukup protein dalam aliran darah untuk menahan cairan dalam plasma
(bagian dari darah yang tidak mengandung sel-sel darah).
Edema paru adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di
paru. Area yang ada diluar pembuluh darah kapiler paru ditempati oleh
kantong-kantong udara yang sangat kecil yang disebut alveoli. Ini adalah
tempat dimana oksigen dari udara diambil oleh darah yang melaluinya,
dan karbondioksida dalam darah dikeluarkan kedalam alveoli untuk
dihembuskan keluar. Alveoli normalnya mempunyai dinding yang sangat
tipis yang mengizinkan pertukaran udara ini, dan cairan biasanya
dijauhkan dari alveoli kecuali dinding-dinding ini kehilangan
integritasnya. Edema paru terjadi ketika alveoli dipenuhi dengan cairan
yang merembes keluar dari pembuluh darah dalam paru sebagai ganti
udara. Ini dapat menyebabkan persoalan pertukaran gas (oksigen dan
karbondioksida), berakibat pada kesulitan bernapas dan oksigenasi darah
yang buruk. Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai “air di dalam paru”
ketika menggambarkan kondisi ini pada pasien.
Faktor-faktor yang membentuk dan merubah formasi cairan di luar
pembuluh darah dan di dalam paru di tentukan dengan keseimbangan
cairan yang dibuat oleh Starling.
Qf = Kf ⌠(Pmv – Ppmv) – σ(πmv - πpmv)⌡
Qf = aliran cairan transvaskuler;
Kf = koefisien filtrasi;
Pmv = tekanan hidrostatik pembuluh kapiler; Ppmv = tekanan
hidrostatik pembuluh kapiler intersisial;
σ = koefisien refleksi osmosis;
πmv = tekanan osmotic protein plasma;
πpmv = tekanan osmotic protein intersisial.
Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru dapat terjadi pada
Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel

51
kiri (stenosis mitral); Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena
gangguan fungsi ventrikel kiri; Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder
oleh karena peningkatan tekanan arteri pulmonalis. Penurunan tekanan
onkotik plasma pada hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit
ginjal, hati, atau penyakit nutrisi.
Peningkatan tekanan negatif interstisial pada pengambilan terlalu cepat
pneumotorak atau efusi pleura (unilateral); Tekanan pleura yang sangat
negatif oleh karena obstruksi saluran napas akut bersamaan dengan
peningkatan volume akhir ekspirasi (asma).

52
2.4.7 Pemeriksaan dignostik
Terdapat beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk mendeteksi edema
paru, diantaranya adalah :

1. Pemeriksaan Fisik
- Sianosis sentral. Sesak napas dengan bunyi napas seperti mukus
berbuih.
- Ronchi basah nyaring di basal paru kemudian memenuhi hampir
seluruh lapangan paru, kadang disertai ronchi kering dan
ekspirasi yang memanjang akibat bronkospasme sehingga
disebut sebagai asma kardiale.

2. Laboratorium

- Analisa gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah dan


kemudian hiperkapnia. Interprestasi AGD dapat berupa :
 Asidosis respiratorik : pH < 7,35, paCO2 > 40 mmHg,
 Asidosis metabolic : pH < 7,35, paCO2 = 30-40 mmHg
 Alkalosis Respiratorik : pH >7,45, paCO2<30 mmHg
 Alkalosis Metabolik : pH >7,45, paCO2 = 30-40 mmH
3. Foto thoraks

Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray dada.


Radiograph (X-ray) dada yang normal terdiri dari area putih terpusat
yang menyinggung jantung dan pembuluh-pembuluh darah utamanya
plus tulang-tulang dari vertebral column, dengan bidang-bidang paru
yang menunjukan sebagai bidang-bidang yang lebih gelap pada setiap
sisi, yang dilingkungi oleh struktur-struktur tulang dari dinding dada.

X-ray dada yang khas dengan pulmonary edema dapat ditemukan


gambaran radiologi menunjukan lebih banyak tampakan putih pada
kedua bidang-bidang paru daripada biasanya. Kasus-kasus yang lebih
parah dari pulmonary edema dapat menunjukan opacification
(pemutihan) yang signifikan pada paru-paru dengan visualisasi yang

53
minimal dari bidang-bidang paru yang normal. Pemutihan ini mewakili
pengisian dari alveoli sebagai akibat dari pulmonary edema, namun ia
mungkin memberikan informasi yang minimal tentang penyebab yang
mungkin mendasarinya.

2.4.8 penatalaksanaan

 Letakkan pasien dalam posisi duduk sehingga meningkatkan volume dan


kapasitas vital paru, mengurangi usaha otot pernafasan, dan menurunkan
aliran darah vena balik ke jantung.
 Sungkup O2 dengan dosis 6-10 L/menit diberikan bersamaan dengan
pemasangan jalur IV dan monitor EKG (O, I, M). Nonrebreather mask with
reservoir O2 dapat menyalurkan 90-100% O2.
 Oksimetri denyut dapat memberi informasi keberhasilan terapi walaupun
saturasi O2 kurang akurat karena terjadi penurunan perfusi perifer. Oleh
karena itu, dianjurkan melakukan pemeriksaan analisis gas darah untuk
mengetahui ventilasi dan asam basa.
 Tekanan ekspirasi akhir positif (positive end expiratory pressure) dapat
diberikan untuk mencegah kolaps alveoli dan memperbaiki pertukaran gas.
 Kantung nafas-sungkup muka menggantikan simple mask bila terjadi
hipoventilasi.
 Continuous positive airway pressure diberikan bila pasien bernafas spontan
dengan sungkup muka atau pipa endotrakea.
 Intubasi dilakukan bila PaO2 tidak dapat dipertahankan di atas 60 mmHg
walau telah diberikan O2 100%, munculnya gejala hipoksi serebral,
meningkatnya PCO2 dan asidosis secara progresif.
 Bila TD 70-100 mmHg disertai gejala-gejala dan tanda syok, berikan
Dopamin 2-20mcg/kgBB/menit IV. Bila tidak membaik dengan Dopamin
dosis >20 mcg/kg/mnt segera tambahkan Norephinephrine 0,5-30
mcg/menit IV, sedangkan Dopamine diturunkan sampai 10
mcg/kgBB/menit. Bila tanpa gejala syok berikan Dobutamine 2-20
mcg/kgBB/menit IV.

54
 Bila TD > 100 mmHg, nitrogliserin paling efektif mengurangi edema paru
karena mengurangi preload, diberikan 2 tablet masing-masing 0,4 mg
sublingual atau semprot, dapat diulang 5-10 menit bila TD tetap >90-100
mmHg. Isosorbide semprot oral bisa diberikan tetapi nitrogliserin pasta
transkutan atau isosorbid oral kurang dianjurkan karena vasokonstriksi
perifer tidak memungkinkan penyerapan yang optimal.
 Furosemide adalah obat pokok pada Edema paru, diberikan IV 0,5-1,0
mg/kg. Efek bifasik dicapai pertama dalam 5 menit terjadi venodilatasi
sehingga aliran (preload). Efek kedua adalah diuresis yang mencapai
puncaknya setelah 30-60 menit. Efektifitas furosemide tidak harus dicapai
dengan diuresis berlebihan. Bila furosemide sudah rutin diminum
sebelumnya maka dosis bisa digandakan. Bila dalam 20 menit belum
didapat hasil yang diharapkan, ulangi IV dua kali dosis awal dan dosis bisa
lebih tinggi bila retensi cairan menonjol dan bila fungsi ginjal terganggu.
 Morfin sulfate diencerkan dengan 9cc NaCl 0,9%, berikan 2-4 mg IV bila
TD >100mmHg. Obat ini merupakan salah satu obat pokok pada edema
paru namun dianjurkan diberikan di rumah sakit. Efek venodilator
meningkatkan kapasitas vena, mengurangi aliran darah balik ke vena sentral
dan paru, mengurangi tekanan pengisian ventrikel kiri (preload), dan juga
mempunyai efek vasodilator ringan sehingga afterload berkurang. Efek
sedasi dari morfin sulfat menurunkan aktifitas tulang-otot dan tenaga
pernafasan.

2.4.9 komplikasi
Jika edema paru berlanjut, hal tersebut mampu meningkatkan tekanan di
arteri paru dan akhirnya menyebabkan kegagalan pada ventrikel
kanan. Ventrikel kanan memiliki dinding otot yang lebih tipis
daripada sisi kiri karena tidak memiliki tugas yang lebih ringan untuk
memompa darah ke paru-paru. Tekanan yang meningkat kembali ke
atrium kanan dan kemudian ke berbagai bagian tubuh anda, dimana
hal tersebut dapat menyebabkan:

55
1. Kaki bengkak (edema)
2. Abdomen bengkak (ascites)
3. Penumpukan cairan dalam membran yang mengelilingi paru-
paru (efusi pleura)
4. Penyumbatan dan pembengkakan hati Bila tidak diobati, edema
paru akut bisa berakibat fatal. Dalam beberapa kasus, edema
paru tetap dapat berakibat fatal meskipun anda telah mendapat
pengobatan.

56
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
2.1. Pengkajian keperawatan

1. Data Umum
a. Identitas Pasien
Nama, Umur, Tempat, tanggal lahir, Jenis Kelamin, Agama, Suku,
Pendidikan, Dx medis, Alamat, Tanggal MRS, Golongan darah,
Ruangan, Sumber informasi
b. Identitas penanggung jawab
Hubungan dengan pasien, Umur, Nama, Pendidikan, Pekerjaan, Alamat,
Telp.
2. Riwayat kesehatan saat ini
Keluhan utama, Alasan MRS, Riwayat Penyakit
3. Riwayat kesehatan terdahulu
4. Riwayat psikologi dan spiritual
a. riwayat psikologi
b. riwayat spiritual
c. riwayat hospitalisasi
5. Pola fungsi kesehatan (GORDON)\
6. Pemeriksaan fisik
a. keadaan umum
b. head to toe
c. pengkajian data fokus
d. pemeriksaan diagnostic
2.2 Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan Pertukaran Gas berhubungan dengan distensi kapiler pulmonar


2. Ketidakefektifanpola nafas berhubungan dengan keadaan tubuh yang
lemah
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan area invasi mikroorganisme
sekunder terhadap pemasangan selang endotrakeal

57
2.3 Rencana Keperawatan

No Diagnosa Tujuan & KH Intervensi Rasional


1 Gangguan Fungsi pertukaran gas 1. Berikan HE
pertukaran Gas dapat maksimal pada pasien 1. Informasi yang
berhubungan setelah dilakukan tentang adekuat dapat
dengan distensi tindakan penyakitnya membawa pasien
kapiler pulmonar keperawatan lebih kooperatif
selama ...× ../ jam dalam
dengan kriteria 2. Atur posisi memberikan terapi
hasil: pasien semi 2. Jalan nafas yang
- Tidak terjadi fowler longgar dan tidak
sianosis ada sumbatan
- Tidak sesak proses respirasi
- RR normal (16-20 3. Bantu pasien dapat berjalan
× / menit) untuk dengan lancer
- BGA normal: melakukan 3. Posisi yang
 partial pressure of reposisi berbeda
oxygen (PaO2): secara sering menurunkan
75-100 mm Hg resiko perlukaan
 partial pressure of 4. Berikan akibat imobilisasi
carbon dioxide terapi 4. Pemberian
(PaCO2): 35-45 oksigenasi oksigen secara
mm Hg adequat dapat
 oxygen content 5. Observasi mensuplai dan
(O2CT): 15-23% tanda – tanda memberikan
 oxygen saturation vital cadangan oksigen,
(SaO2): 94-100% sehingga
 bicarbonate 6. Kolaborasi mencegah
(HCO3): 22-26 dengan tim terjadinya
mEq/liter medis dalam hipoksia

58
 pH: 7.35-7.45 memberikan 5. Dyspneu, sianosis
pengobatan merupakan tanda
terjadinya
gangguan nafas
disertai dengan
kerja jantung yang
menurun timbul
takikardia dan
capilary refill time
yang
memanjang/lama.
6. Pengobatan yang
diberikan berdasar
indikasi sangat
membantu dalam
proses terapi
keperawatan
2 Ketidakefektifan Pola nafas kembali 1. Berikan 1. Informasi yang
anpola nafas efektif setelah KIEpada pasien adekuat dapat
berhubungan dilakukan tindakan tentang penyakitnya membawa pasien
dengan keadaan keperawatan lebih kooperatif
tubuh yang selama ..× ../ jam, 2. Atur posisi dalam
lemah dengan kriteria hasil: semi fowler memberikan terapi
- Tidak terjadi 2. Jalan nafas yang
hipoksia atau 3. Observasi longgar dan tidak
hipoksemia tanda dan gejala ada sumbatan
- Tidak sesak sianosis proses respirasi
- RR normal dapat berjalan
(16-20 × / menit) 4. Berikan dengan lancar.
- Tidak terdapat terapi oksigenasi 3. Sianosis
kontraksi otot bantu merupakan salah

59
nafas 5. Observasi satu tanda
-Tidak terdapat tanda-tanda vital manifestasi
sianosis ketidakadekuatan
6. Observasi suply O2 pada
timbulnya jaringan tubuh
gagal nafas. perifer .
4. Pemberian
7. Kolaborasi oksigen secara
dengan tim adequat dapat
medis dalam mensuplai dan
memberikan memberikan
pengobatan cadangan oksigen,
sehingga
mencegah
terjadinya
hipoksia.

5. Dyspneu, sianosis
merupakan tanda
terjadinya
gangguan nafas
disertai dengan
kerja jantung yang
menurun timbul
takikardia dan
capilary refill time
yang
memanjang/lama.
6. Ketidakmampuan
tubuh dalam
proses respirasi

60
diperlukan
intervensi yang
kritis dengan
menggunakan alat
bantu pernafasan
(mekanical
ventilation).
7. Pengobatan yang
diberikan berdasar
indikasi sangat
membantu dalam
proses terapi
keperawatan

3Resiko tinggi infeksi Infeksi tidak terjadi 1. Berikan HE 1. Informasi yang


berhubungan setelah dilakukan pada pasien adekuat dapat
dengan area tindakan tentang kondisi membawa pasien
invasi keperawatan yang lebih kooperatif
mikroorganisme selama 3 × 24 dialaminya dalam
sekunder jam, dengan memberikan terapi
terhadap kriteria hasil: 2. Observasi 2. Meningkatnya
pemasangan - Pasien mampu tanda-tanda suhu tubuh dpat
selang mengurangi kontak vital. dijadikan sebagai
endotrakeal dengan area indicator
pemasangan selang 3. Observasi terjadinya infeksi
endotrakeal daerah 3. Kebersihan area
- Suhu normal pemasangan pemasangan
(36,5oC) selang selang menjadi
endotrakheal factor resiko
masuknya
4. Lakukan tehnik mikroorganisme

61
perawatan 4. Meminimalkan
secara aseptik organisme yang
kontak dengan
pasien dapat
5. Kolaborasi menurunkan
dengan tim resiko terjadinya
medis dalam infeksi
memberikan 5. Pengobatan yang
pengobatan diberikan berdasar
indikasi sangat
membantu dalam
proses terapi
keperawatan

4. Implementasi
Didasarkan pada diagnosa yang muncul baik secara aktual, resiko,
atau potensial. Kemudian dilakukan tindakan keperawatan yang
sesuai berdasarkan intervensi
5. Evaluasi
Evaluasi di lakukan dengan menggunakan metoe SOAP
S: Tanyakan pada pasien apakah masih ada keluhan
O: Observasi respon verbal dan non verbal pasien
A: evaluasi apakah rencana asuhan keperawatan berasil atau tidak
P: lanjutkan intervensi jika tidak berhasil

2.4 ASUHAN KEPERAWATAN PPOK

62
A. Konsep dasar penyakit
2.1.1 Definisi

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah istilah untuk berbagai


penyakit paru-paru yang mempengaruhi pernapasan. Ini merujuk ke penyakit
paru-paru yang kronis, progresif dan kebanyakan tidak dapat dipulihkan.
Penyakit paru-paru yang paling umum yang termasuk dalam istilah ini yaitu
emfisema dan bronchitis kronis. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
merusak saluran pernapasan yang membawa udara ke paru-paru.

Dinding saluran pernapasan menjadi menyempit dan bengkak, sehingga


menghalangi aliran udara masuk dan keluar dari paru-paru. Sebagian
bentuk Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dapat melukai paru-paru dan
menyebabkan peningkatan resistensi saluran pernapasan. Bentuk lainnya dapat
membangkitkan sekresi dahak secara berlebihan sehingga paru-paru tidak
mampu membersihkannya.

PPOK akut dengan eksaserbasi menurut definisi GOLD yaitu suatu


keadaan penyakit yang ditandai dengan perubahan pada kondisi pasien, yaitu
terjadi dispnea, batuk, dan atau sputum yang melebihi normal dari hari ke hari,
yang mana dapat terjadi serangan akut, dan memungkinkan perubahan
medikasi pada pasien tergantung pada keadaan yang mendasarinya (Wedzicha,
2009).

2. Epidemiologi

Pada studi populasi di Inggris selama 40 tahun, didapati bahwa


hipersekresi mukusmerupakan suatu gejala yang paling sering terjadi pada
PPOK, penelitian ini menunjukkan bahwa batuk kronis, sebagai mekanisme
pertahanan akan hipersekresi mukus di dapatisebanyak 15-53% pada pria paruh
umur, dengan prevalensi yang lebih rendah pada wanitasebanyak 8-22%
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa
m e n j e l a n g t a h u n 2 0 2 0  prevalensi PPOK akan meningkat sehingga

63
sebagai penyebab penyakit tersering peringkat nyameningkat dari ke-12 menjadi ke-
5 dan sebagai penyebab kematian tersering peringkatnya juga meningkat dari ke-6
menjadi ke-3. Di Eropa, tingkat kejadian PPOK tertinggi terdapat padanegara-
negara Eropa Barat seperti Inggris dan Prancis, dan paling rendah pada negara-
negara Eropa Selatan seperti Italia. Negara Asia Timur seperti Jepang dan
China memiliki kejadianterendah PPOK, dengan jarak antara angka kejadian
terendah dan tertinggi mencapai empatkali lipat
Pada 12 negara Asia Pasifik, WHO menyatakan angka prevalensi PPOK
sedang-berat pada usia 30 tahun keatas, dengan tingkat sebesar 6,3%, dimana
Hongkong dan Singapuradengan angka prevalensi terkecil yaitu 3,5%
dan Vietnam sebesar 6,7%. Indonesia sendiri  belumlah memiliki data
pasti mengenai PPOK ini sendiri, hanya Survei Kesehatan RumahTangga
Depkes RI 1992 menyebutkan bahwa PPOK bersama-sama dengan asma
bronkhial menduduki peringkat ke-6 dari penyebab kematian terbanyak di Indonesia.

3. Penyebab/Faktor Predisposisi
Secara keseluruhan penyebab terjadinya PPOK tergantung dari jumlah
partikel gas yang dihirup oleh seorang individu selama hidupnya.
Partikel gas ini termasuk :
1. Asap Rokok
a. Perokok aktif
b. Perokok aktif
2. Polusi Udara
a. Polusi di dalam ruangan- asap rokok - asap kompor
b. Polusi di luar ruangan- gas buang kendaraan bermotor- debu
jalanan
3. Polusi di tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun)
4. Infeksi saluran nafas bawah berulang

4. Patofisiologi

64
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu
pengambilan oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran
karbondioksida dan air sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri
dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah
proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah
peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah,
sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang sudah teroksigenasi.
Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan
pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa perlambatan
aliran udara di saluran napas. Parameter yang sering dipakai untuk
melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV), sedangkan
untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi
paksa detik pertama dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama
terhadap kapasitas vital paksa.
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-
komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil
mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami
kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan
pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem
eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental
dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus
berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab
infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang
menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama ekspirasi
terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang
dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan
(GOLD, 2009).
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya
peradangan kronik pada paru.Mediator-mediator peradangan secara
progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat
hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka

65
ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi
karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara
pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil
pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara
kolaps (GOLD, 2009). Berbeda dengan asma yang memiliki sel
inflamasi predominan berupa eosinofil, komposisi seluler pada
inflamasi saluran napas pada PPOK predominan dimediasi oleh
neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan
Neutrophil Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak diimbangi
dengan antiprotease, sehingga terjadi kerusakan jaringan (Kamangar,
2010). Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran gas
dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi
berhubungan dengan adanya inflamasi jalan napas, edema,
bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus.Kelainan perfusi
berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada arteriol (Chojnowski,
2003).

66
Faktor predisposisi

Edema, spasme bronkus,peningkatan secret bronkus

obstruksi bronkiolus awal fase ekspirasi


Bersihan
jalan
Udara terperangkap dalam alveolus
nafas

PaO2 rendah sesak nafas pendek

PaO2 tinggi

Pola nafas
tidak
Gangguan metabolisme jaringan efektif

Metabolisme anaerob
Gangguan
Produksi ATP menurun pertukara
n gas

Defisit energi

Lelah,lemah

Intoleransi
aktivitas

5. Kasifikasi

67
Penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi kronik
adalah sebagai berikut:
1. Bronchitis Kronis
a. Definisi
Bronchitis Kronis merupakan gangguan klinis yang
ditandai dengan pembentukan mucus yang berlebihan dalam
bronkus dan termanifestasikan dalam bentuk batuk kronis dan
pembentuk sputum selama 3 bulan dalam setahun, paling
sedikit 2 tahun berturut-turut. 
b. Etiologi
Terdapat 3 jenis penyebab bronchitis yaitu:
1) Infeksi : stafilokokus, sterptokokus, pneumokokus,
haemophilus influenzae.
2) Alergi
3) Rangsang : misal asap pabrik, asap mobil, asap rokok dll.
c. Manifestasi klinis
1) Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar mukus pada
bronchi besar, yang mana akanmeningkatkan produksi
mukus.
2) Mukus lebih kental
3) Kerusakan fungsi cilliary sehingga menurunkan
mekanisme pembersihan mukus. Oleh karena itu,
"mucocilliary defence" dari paru mengalami kerusakan
dan meningkatkan kecenderungan untuk terserang
infeksi. Ketika infeksi timbul, kelenjar mukus akan
menjadi hipertropi dan hiperplasia sehingga produksi
mukus akan meningkat.
4) Dinding bronchial meradang dan menebal (seringkali
sampai dua kali ketebalan normal) dan mengganggu
aliran udara. Mukus kental ini bersama-sama dengan
produksi mukus yang banyakakan menghambat beberapa

68
aliran udara kecil dan mempersempit saluran udara besar.
Bronchitis kronis mula-mula mempengaruhi hanya pada
bronchus besar, tetapi biasanya seluruh saluran nafas
akan terkena.
5) Mukus yang kental dan pembesaran bronchus akan
mengobstruksi jalan nafas, terutama selama ekspirasi.
Jalan nafas mengalami kollaps, dan udara terperangkap
pada bagian distal dari paru-paru. Obstruksi ini
menyebabkan penurunan ventilasi alveolar, hypoxia dan
asidosis.
6) Klien mengalami kekurangan oksigen jaringan ; ratio
ventilasi perfusi abnormal timbul, dimana terjadi
penurunan PaO2. Kerusakan ventilasi dapat juga
meningkatkan nilai PaCO2.
7) Klien terlihat cyanosis. Sebagai kompensasi dari
hipoxemia, maka terjadi polisitemia (overproduksi
eritrosit). Pada saat penyakit memberat, diproduksi
sejumlah sputum yang hitam, biasanya karena infeksi
pulmonary.
8) Selama infeksi klien mengalami reduksi pada FEV
dengan peningkatan pada RV dan FRC. Jika masalah
tersebut tidak ditanggulangi, hypoxemia akan timbul yang
akhirnya menuju penyakit cor pulmonal dan CHF.
2. Emfisema
a. Definisi
Perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai pelebaran
dinding alveolus, duktus alveolaris dan destruksi dinding
alveolar (Bruner & Suddarth, 2002).
b. Etiologi
1) Faktor tidak diketahui
2) Predisposisi genetic

69
3) Merokok
4) Polusi udara
c. Manifestasi klinis
1) Dispnea
2) Takipnea
3) Inspeksi : barrel chest, penggunaan otot bantu pernapasan
4) Perkusi : hiperresonan, penurunan fremitus pada seluruh
bidang paru
5) Auskultasi bunyi napas : krekles, ronchi, perpanjangan
ekspirasi
6) Hipoksemia
7) Anoreksia
8) Penurunan BB
9) Kelemahan
3. Asthma Bronchiale
a. Definisi
Suatu penyakit yang ditandai dengan tanggap reaksi yang
meningkat dari trachea dan bronkus terhadap berbagai
macam rangsangan dengan manifestasi berupa kesukaran
bernafas yang disebabkan oleh peyempitan yang
menyeluruh dari saluran nafas (Bruner & Suddarth, 2002).
b. Etiologi
1) Alergen (debu, bulu binatang, kulit, dll)
2) Infeksi saluran nafas
3) Stress
4) Olahraga (kegiatan jasmani berat)
5) Obat-obatan  
6) Polusi udara
7) Lingkungan kerja
8) Lain-lain (iklim, bahan pengawet)
c. Manifestasi Klinis

70
1) Dispnea
2) Permulaan serangan terdapat sensasi kontriksi dada
(dada terasa berat),
3) wheezing,
4) batuk non produktif

6. Gejala Klinis
1) Batuk bertambah berat
2) Produksi sputum bertambah
3) Sputum berubah warna
4) Sesak nafas bertambah berat
5) Bertambahnya keterbatasan aktifitas
6) Terdapat gagal nafas akut pada gagal nafas kronis
7) Penurunan kesadaran
7. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
1. Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup
mencucu)
2. Barrel chest
3. (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
4. Penggunaan otot bantu napas
5. Hipertropi otot bantu napas
6. Pelebaran sela iga
Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat, denyut vena
jugularis i leher dan edema tungka
b. Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar

c. Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah

71
d. Auskultasi
suara napas vesikuler normal, atau melemahterdapat ronki dan
atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksaekspirasi memanjang bunyi jantung terdengar jauh
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan radiologi
a. Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan:
1) Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan
garis-garis yang parallel, keluar dari hilus menuju
apeks paru. Bayangan tersebut adalah bayangan
bronkus yang menebal.
2) Corak paru yang bertambah
b. Pada emfisema paru terdapat 2 bentuk kelainan foto dada
yaitu:
1) Gambaran defisiensi arteri, terjadi overinflasi,
pulmonary oligoemia dan bula. Keadaan ini lebih
sering terdapat pada emfisema panlobular dan pink
puffer.
2) Corakan paru yang bertambah.
3) Pemeriksaan faal paru Pada bronchitis kronik
terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR yang
bertambah dan KTP yang normal. Pada emfisema
paru terdapat penurunan VEP1, KV, dan KAEM
(kecepatan arum ekspirasi maksimal) atau MEFR
(maximal expiratory flow rate), kenaikan KRF dan
VR, sedangkan KTP bertambah atau normal.
Keadaan diatas lebih jelas pada stadium lanjut,
sedang pada stadium dini perubahan hanya pada
saluran napas kecil (small airways). Pada emfisema

72
kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli
untuk difusi berkurang.
2. Analisis gas darah Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi
hemoglobin menurun, timbul sianosis, terjadi vasokonstriksi
vaskuler paru dan penambahan eritropoesis. Hipoksia yang
kronik merangsang pembentukan eritropoetin sehingga
menimbulkan polisitemia. Pada kondisi umur 55-60 tahun
polisitemia menyebabkan jantung kanan harus bekerja lebih
berat dan merupakan salah satu penyebab payah  jantung kanan

9. Diagnosis
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala
ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan
jelas dan tanda inflasi paru
Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :
A. Gambaran klinis
a. Anamnesis
- Keluhan
- Riwayat penyakit
- Faktor predisposisi

b. Pemeriksaan fisik

B. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan rutin
b. Pemeriksaan khusus

10.Tindakan Penanganan
a. Pemeriksaan rutin

73
1. Faal paru
 Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP
 Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan
atau VEP1/KVP ( % ). Obstruksi : % VEP1
(VEP1/VEP1pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
 VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai
untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan
penyakit.
 Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin
dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat
dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti
harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
 Uji bronkodilator
 Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak
ada gunakan APE meter.
 Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8
hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai
VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20%
nilai awal dan < 200 ml
 Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit
paru lain. Pada emfisema terlihat gambaran :
 Hiperinflasi
 Hiperlusen
 Ruang retrosternal melebar
 Diafragma mendatar
 Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye
drop appearance)

74
b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
1. Faal paru
 Volume Residu (VR), Kapasiti Residu
Fungsional(KRF), Kapasiti Paru Total (KPT),
VR/KRF, VR/KPT meningkat
 DLCO menurun pada emfisema
 Raw meningkat pada bronkitis kronik
 Sgaw meningkat
 Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
2. Uji latih kardiopulmoner
 Sepeda statis (ergocycle)
 Jentera (treadmill)
 Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus,pada sebagian kecil
PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan
4. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral
(prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per
hari selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1
pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK
umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah
pemberian kortikosteroid
5. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
 Gagal napas kronik stabil
 Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6. Radiologi
 CT - Scan resolusi tinggi

75
 Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta
derajat emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh
foto toraks polos
 Scan ventilasi perfusi Mengetahui fungsi respirasi
paru
7. Elektrokardiografi Mengetahui komplikasi pada jantung yang
ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.
8. Ekokardiografi Menilai funfsi jantung kanan
9. Bakteriologi Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan
Gram dan kultur resistensi diperlukan untuk mengetahui pola
kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi
saluran napas berulng merupakan penyebab utama
eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
10. Kadar alfa-1 antitripsin Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada
emfisema herediter (emfisema pada usia muda), defisiensi
antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.

11.Komplikasi
1. Hipoxemia Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2
kurang dari 55 mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada
awalnya klien akan mengalami perubahan mood, penurunan
konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis.
2. Asidosis Respiratory Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2
(hiperkapnia). Tanda yang muncul antara lain : nyeri kepala,
fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
3. Infeksi Respiratory Infeksi pernafasan akut disebabkan karena
peningkatan produksi mukus, peningkatan rangsangan otot polos
bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya aliran udara akan
meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.
4. Gagal jantung Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat
penyakit paru), harus diobservasi terutama pada klien dengan

76
dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan
bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat
mengalami masalah ini.

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian Keperawatan
a. Identitas pasien, nama, tanggal lahir, alamat, agama, suku, jenis kelamin,
tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian dan diagnosa medis.
b. Identitas penanggujawab
c. Riwayat kesehatan
 Riwayat penyakit
 Riwayat penyakit dahulu
 Riwayat penyakit keluarga
d. Pola Fungsi Kesehatan
1. Persepsi dan pemeliharaan kesehatan
 Arti sehat dan sakit bagi pasien
 Pengetahuan tentang kesehatan
 Pemeriksaan diri sendiri
 Perilaku untuk mengatasi masalah tentang kesehatan
2. Pola Metabolik
Mengkaji napsu makan pasien, mengkaji jumlah makan dan minum
pasien, kaji kepuasan berat badan pasien.
3. Pola Aktivitas
Kaji olahraga pasien, penggunaan alat bantu, kemampuan melakukan
aktivitas sehari-hari.
4. Pola Istirahat dan Tidur
Kaji tidur sehari-hari, penggunaan alat tidur
5. Pola Kognitif
Keyakinan terhadap nyeri, identitas personal, kaji keadaan fisik dan harga
diri.

77
6. Pola Peran-Hubungan
Kaji gambaran yang berkenaan dengan keluarga, kepuasan ketidak
puasan, menjalankan peran, efek terhadap struktur kesehatan
pentingnya keluarga.
7. Pola Seksual dan Reproduksi
Kaji masalah atau keterkaitan dengan seksual, gambaran perilaku seksual
efek terhadap kesehatan.
8. Pola Persepsi Diri
Gangguan citra diri akibat penumpukan sekret yang mengakibatkan
berludah atau pengeluaran sekret setiap saat.
9. Pola Manajemen Koping Stres
Pencetus stress, tingkat stress, gambaran respon umun dan khusus,
strategi kopingyang digunakan, hubungan manajemen stress dengan
keluarga.
10. Pola Eliminasi
Sekret dalam jumlah banyak, batuk dan sesak
11. Pola Keyakinan-nilai
Tergantung pada kebiasaan, ajaran dan aturan dari agama yang dianut
oleh individu tersebut.

2. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan
bronkokontriksi, peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif,
kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi bronkopulmonal.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mukus,
bronkokontriksi dan iritan jalan napas.

78
3. Rencana Asuhan Keperawatan
 
No NO Diagnosa Keperawatan NOC N NIC Rasional
Bersihan jalan nafas Status respirasi: a. Manajemen jalan adanya perubahan
tidak efektif
an kepatenan jalan napas napas fungsi respirasi dan
berhubungan dengan dengan skala (1-5) b. Penurunan gangguan otot
1. Bronkospasme setelah diberikan kecemasan tambahan
2. Peningkatan perawatan selama c. Aspiration menandakan kondisi
produksi secret 2x24 jam dengan hasil precaution penyakit yang masih
3. Menurunnya energi yang diharapkan d. Fisioterapi dada harus mendapatkan
Ditandai dengan : bersihan jalan nafas e. Latihan batuk penanganan penuh.
1. Klien mengeluh sulit efektif, dengan efektif Idaketidakmampuan
bernafas kriteria f. Terapi oksigen mengeluarkan mukus
2. Perubahan 1. RR normal 12- g. Monitoring menjadikan
kedalaman /jumlah 20 kali per respirasi timbulnya kongesti
napas, penggunaan menit h. Monitoring berlebih pada saluran
otot bantu 2. Irama nafas respirasi pernapasan
pernapasan. normal
3. Suara napas 3. Pergerakan
abnormal sputum keluar
dari jalan nafas

79
2. Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan 1.Auskultasi suara 1. mengetahui nafas
berhubungan dengan napas tindakan nafas pasien
pendek, mukus, keperawatan selama 2.Berikan posisi 2. membuka jalan
bronkokontriksi dan iritasi 2x24jam maka pola semifowler nafas dan
jalan nafas nafas tidak efektif 3.Ajarkan cara batuk memberikan posisi
teratasi dengan efektif nyaman untuk
Kriteria hasil : ventilasi
1. Tidak ada 3. melatih pasien
dispesia untuk
2. Irama nafas mengeluarkan
dan frekuensi secret
nafas dalam
normal
3. Pasien mampu
bernafas
dengan mudah

80
2.5 KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN PNEUMOTHORAK
A. Konsep Dasar Keperawatan
2.1.2 Definisi/Pengertian
Pneumothoraks adalah pengumpulan udara dalam ruang potensial antara pleural
visceral dan parietal. ( Arief Mansjoer, 2008 : 295 ) Pneumothoraks terjadi bila udara
masuk kedalam rongga pleura, akibatnya jaringan paru terdesak seperti halnya rongga
pleura kemasukan cairan. Lebih tepat kalau dikatakan paru kolaps ( jaringan paru
elastis ). ( Tambayong, 2000 : 108 ) Pneumothoraks adalah udara atau gas dalam kavum
pleura yang memisahkan pleura viseralis dan pleura parietalis sehingga jaringan paru
tertekan. Pneumothorak dapat terjadi sekunder akibat asma, bronchitis kronis,
emfisema. ( Hinchllift, 1999 : 343 )

81

Anda mungkin juga menyukai