PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gagal nafas merupakan salah satu kondisi kritis yang diartikan
sebagai ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan
homeostasis oksigen dan karbondioksida. Fungsi jalan nafas terutama
sebagai fungsi ventilasi danfungsi respirasi. Kasus gagal nafas akan terjadi
kelainan fungsi obstruksi maupun fungsi refriktif, akan tetapi dalam
keilmuan keperawatan kritis yang menjadi penilaian utama adalah defek
pertukaran gas di dalam unit paru, antara lain kelainan difusi dan kelainan
ventilasi perfusi. Kedua kelainan ini umumnya menimbulkan penurunan
PaO2, peninggian PaCO2 dan penurunan pH yang dapat menimbulkan
komplikasi pada organ lainnya (Tabrani, 2008).
Asma adalah salah satu penyakit alergi dan masih menjadi masalah
kesehatan di negara maju maupun berkembang (Sastrawan, 2008).
Penyakit asma ditandai dengan terhambatnya aliran udara dalam saluran
napas pada paru dengan gejala batuk berulang, mengi dan sesak napas
yang terjadi pada malam hari (Oemiati, 2010).Angka kejadian alergi
mengalami peningkatan mencapai 30% pertahun dikarenakan pola hidup
masyarakat modern, polusi baik lingkungan maupun zat-zat yang ada di
dalam makanan. Salah satu alergi yang banyak terjadi adalah penyakit
asma (Triyani, 2010).
Menurut Khurshid (2012) tragedi talidomid tahun 1961 telah
memacu berbagai negara mengembangkan sistem pemantauan obat guna
mencegah dan mendeteksi lebih dini kejadian ADRs yang disebabkan oleh
terapi obat. Angka kejadian ADRs diberbagai negara bervariasi. Menurut
Harbanu dan Ketut (2008) Adverse Drug Reactions diperkirakan terjadi
hampir 15% dari pemberian obat dan angka kejadian dapat naik dua kali
lipat di rumah sakit. Khumar et al.,(2011) menemukan 34 ADRs dari 250
penderita hipertensi yang dilakukan selama 4 bulan di Rumah Sakit
Majeedia Universitas Hamdard New Delhi, 18 kejadian ADRs(52,9%)
1
termasuk dalam kategori ringan, 14 kejadian (41,2%) termasuk dalam
kategori sedang dan 2 kejadian (5,8%) termasuk dalam kategori berat.
Budi (2013) menemukan 6 kasus ADRs yang dilakukan selama 3 bulan di
RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Kejadian ADRs yang terjadi
termasuk dalam kategori probable (n=3), possible (n=3), dan doubtful
(n=3). Manifestasi klinik yang terjadi meliputi reaksi disfungsi ereksi,
frekuensi ekskresi urin, dan mual. Masing-masing manifestasi ditemukan
sejumlah 2,8% subyek penelitian.
Edema paru adalah keadaan terdapatnya cairan ekstravaskuler yang
berlebihan dalam paru. Berbagai macam etiologi dapat menimbulkan
edema paru, namun pada dasarnya disebabkan oleh tekanan yang tinggi
pada mikrosirkulasi paru dan akibat sekunder pompa jantung yang tidak
baik (edema paru hemodinamik/kardiogenik), karena peningkatan
permeabilitas membrane alveolar kapiler (edema paru
permeabilitas/nonkardiogenik) atau karena kombinasi kedua penyebab
tersebut.
Edema paru pada keadaan akut merupakan keadaan darurat medis
yang dapat mengancam jiwa penderita, sedangkan edema paru kronik
dapat menyebabkan kecacatan dan mengurangi aktivitas penderita.
2
Bentuk lainnya dapat membangkitkan sekresi dahak secara berlebihan
sehingga paru-paru tidak mampu membersihkannya.
3
1.3 Tujuan
1.3.1 Agar Dapat Menjelaskan Keperawatan dari Gagal Nafas
1.3.2 Agar Dapat Menjelaskan Keperawatan dari Asma Attack
1.3.3 Agar Dapat Menjelaskan Keperawatan dari Edema Paru
1.3.4 Agar Dapat Menjelaskan Keperawatan dari PPOK
1.3.5 Agar Dapat Menjelaskan Keperawatan dari Pneumothorak
1.3.6 Agar Dapat Menjelaskan Keperawatan dari Efusi Pleura
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis diharapkan makalah ini dapat bermanfaat untuk
menambah pengetahuan bagi pembaca khususnya seorang perawat
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil makalah ini dapat memberikan sumbangan dan masukan
mengenai konsep oksigenisasi.
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.1 Definisi
2.1.2 Epidemiologi
Ditinjau dari segi epidemiologi, karena sejumlah penyebab yang
mendasari berkontribusi untuk itu, kegagalan pernapasan merupakan
penyebab umum dan utama penyakit dan kematian. Ini adalah penyebab
utama kematian akibat pneumonia dan penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK). Selain itu, ia juga merupakan penyebab utama kematian di
banyak penyakit neuromuskuler, seperti Lou Gehrig Penyakit
(amyotrophic lateral sclerosis atau ALS), karena penyakit ini melemahkan
5
otot-otot pernapasan, membuat merekatidak mampu mempertahankan
pernapasan. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa kegagalan
pernapasan akan menjadi lebih umum sebagai penduduk usia, meningkat
sebanyak 80 persen dalam 20 tahun ke depan.
2.1.3 Etiologi
2.1.3.1 Penyebab sentral
- Kelainan neuromuskuler : GBS, tetanus, trauma cervical, muscle
relaxans
- Kelainan jalan nafas : obstruksi jalan nafas, asma bronchiale
- Kelainan diparu: edema paru, atelektasis, ARDS.
- Kelainan tulang iga/thoraks : fraktur costae, pneumo thorax,
haematothoraks
- Kelainan jantung : kegagalan jantung kiri
2.1.3.2 Penyebab perifer
- Trauma kepala: contusio cerebri
- Radang otak: encephalitis
- Gangguan vaskuler : perdarahan otak, infark otak
- Obat-obatan : narkotika, anestesi
Kadar oksigen (Pao2< 8 kPa) atau CO2 (Paco2 > 6,7 kPa) arterial yang
abnormal digunakan untuk menentukan adanya gagal nafas. Maka gagal
nafas dibagi menjadi: Hipoksemia (tipe 1): kegagalan transfer oksigen
dalam paru Hipoksemia (tipe 2): kegagalan ventilasi untuk mengeluarkan
CO2. (Hudak and Gallo, 2010).
2.1.4 Klasifikasi
Gagal nafas ada 2 macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas
kronik dimana masing- masing mempunyai pengertian yang berbeda.
6
- Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang
parunya normal secara struktural maupun fungsional sebelum awitan
penyakit timbul.
- Gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit paru
kronik seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam
(penyakit penambang batubara).
2.1.6 Patofisiologi
2.1.6.1 Pasien mengalami toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia
yang memburuk secara bertahap. Setelah gagal nafas akut
biasanya paru-paru kembali keasalnya. Pada gagal nafas kronik
struktur paru alami kerusakan yang ireversibel.
7
2.1.6.2 Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas
vital, frekuensi pernafasan normal ialah 16-20x/menit. Kapasitas
vital adalah ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg).
2.1.6.3 Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak
adekuat dimana terjadi obstruksi jalan pernafasan terletak
dibawah batangotak(pons dan medulla).
2.1.6.4 Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera kepal, stroke, tumor,
otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia, dan hiperkapnia
mempunyai kemampuan menekan pusat pernafasan. Sehingga
pernafasan menjadi lambat dan dangkal.
2.1.6.5 Pada periode post operatif dengan anstesi bisa terjadi penafasan
tidak adekuat karena terdapat agen menekan pernafasan dengan
efek yang dikeluarkan atau dengan meningkatkan efek dari
analgetik opoid
2.1.7 Pemeriksaan Fisik
2.7.1 Takipnuedan takikardi yang merupakan gejala nonspesifik·
2.7.2 Batuk yang tidak adekuat, penggunaan otot bantu napas, dan pulsus
paradoksus dapat menandakan risiko terjadinya gagal napas·
2.7.3 Pada funduskopi dapat ditemukan papil edema akibat hiperkapnia atau
vasodilatasi cerebral
2.7.4 Pada paru ditemukan gejala yang sesuai dengan penyakit yang
mendasari
2.7.5 Bila hipoksemia berat, dapat ditemukan sianosis pada kulit dan
membranmukosa.
2.7.6 Sianosis dapat diamati bila konsentrasi hemoglobin yang mengalami
deoksigenasi pada kapiler atau jaringan mencapai 5 g/dL·
2.7.7 Disapnuedapat terjadi akibat usaha bernapas, reseptor vagal, dan stimuli
kimia akibat hipoksemiaatau hiperkapnia·
2.7.8 Kesadaran berkabut dan somnolen dapat terjadi pada kasus gagal napas.
2.7.9 Mioklonus dan kejang dapat terjadi pada hipoksemia berat. Polisitemia
merupakan komplikasi lanjut dari hipoksemia·
8
2.7.10 Hipertensi pulmoner biasanya terdapatpada gagal napas kronik.
Hipoksemia alveolar yang disebabkan oleh hiperkapnia
menyebabkan konstriksi arteriol pulmoner.
9
2.1.9 penatalaksanaan
2.1.9.1 suplemen oksigen
- Merupakan tindakan temporer sambil dicari diagnosis etiologi dan
terapinya
- Pemberian oksigen peningkatan gradien tekanan oksigen alvelolus
dan kapiler difusi lebih banyak peningkatan PaO2
2.1.9.2 Obat dan penatalaksanaan lainnya
- Mukolitik
- Postural drainase
- Chest physical therapi
- Nasotracheal suctioning
- Cough/ deep breathing exercise
2.1.10 Komplikasi
2.1.10.1 Paru: emboli paru, fibrosis dan komplikasi sekunder penggunaan
ventilator (seperti, emfisema kutis dan pneumothoraks).
2.1.10.2 Jantung: cor pulmonale, hipotensi, penurunan kardiak output,
aritmia, perikarditis dan infark miokard akut.
2.1.10.3 Gastrointestinal: perdarahan, distensi lambung, ileus paralitik , diare
dan pneumoperitoneum. Stress ulcer sering timbul pada gagal napas.
2.1.10.4 Polisitemia (dikarenakan hipoksemia yang lama sehingga sumsum
tulang memproduksi eritrosit, dan terjadilah peningkatan eritrosit
yang usianya kurang dari normal).
2.1.10.5 Infeksi nosokomial: pneumonia, infeksi saluran kemih, sepsis.
2.1.10.6 Ginjal: gagal ginjal akut dan ketidaknormalan elektrolit asam basa.
2.1.10.7 Nutrisi: malnutrisi dan komplikasi yang berhubungan dengan
pemberian nutrisi enteral dan parenteral. (Alvin Kosasih, 2010:34)
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
2.1 Pengkajian
2.1.1 Identitas Pasien
10
Pada tahap ini perawat perlu mengetahui tentang nama, umur,
jenis kelamin, alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku
bangsa, bahasa yang dipakai, status pendidikan dan pekerjaan
pasien.
11
2.1.7.1 Pengkajian Pola Fungsi
- Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Adanya tindakan medis danperawatan di rumah sakit
mempengaruhi perubahan persepsi tentang kesehatan,
tapi kadang juga memunculkan persepsi yang salah
terhadap pemeliharaan kesehatan.
- Kemungkinan adanya riwayat kebiasaan merokok,
minum alcohol dan penggunaan obat-obatan bias
menjadi faktor predisposisi timbulnya penyakit.
2.1.7.2 Pola nutrisi dan metabolisme
- Dalam pengkajian pola nutrisi dan metabolisme, kita
perlu melakukan pengukuran tinggi badan dan berat
badan untuk mengetahui status nutrisi pasien,
- Perlu ditanyakan kebiasaan makan dan minum sebelum
dan selama MRS pasien dengan effusi pleura akan
mengalami penurunan nafsu makan akibat dari sesak
nafas dan penekanan pada struktur abdomen.
- Peningkatan metabolisme akan terjadi akibat proses
penyakit. pasien dengan effusi pleura keadaan
umumnyalemah.
2.1.7.3 Pola eliminasi
- Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan
mengenai kebiasaan defekasi sebelum dan sesudah
MRS.
- Karena keadaan umum pasien yang lemah, pasien akan
lebih banyak bed rest sehingga akan menimbulkan
konstipasi, selain akibat pencernaan pada struktur
abdomen menyebabkan penurunan peristaltik otot-otot
tractus degestivus.
2.1.7.4 Pola aktivitas dan latihan
12
- Akibat sesak nafas, kebutuhan O2 jaringan akan
kurang terpenuhi
- Pasien akan cepat mengalami kelelahan pada aktivitas
minimal.
- Disamping itu pasien juga akan mengurangi
aktivitasnya akibat adanya nyeri dada.
- Untuk memenuhi kebutuhan ADL nya sebagian
kebutuhan pasien dibantu oleh perawat dan
keluarganya.
2.1.7.5 Pola tidur dan istirahat
- Adanya nyeri dada, sesak nafas dan peningkatan suhu
tubuh akan berpengaruh terhadap pemenuhan
kebutuhan tidur dan istitahat
- Selain itu akibat perubahan kondisi lingkungan dari
lingkungan rumah yang tenang ke lingkungan rumah
sakit, dimana banyak orang yang mondar-mandir,
berisik dan lain sebagainya.
13
1. Tidak efektifnya Setsetelah dilakukan 1. Catat perubahan 1. otot-otot
jalan nafas tindakan keperawatan dalam bernafas dan interkostal/abdom
berhubungan jalan nafas efektif pola nafasnya inal/leher dapat
dengan Tujuan : 2. Observasi dari meningkatkan
hilangnya - Pasien dapat penurunan usaha dalam
fungsi jalan mempertahankan pengembangan dada bernafas
nafas, jalan nafas dengan dan peningkatan 2. Pengemban
peningkatan bunyi nafas yang fremitus – gan dada dapat
sekret jernih dan ronchi (-) 3. Catat karakteristik menjadi batas dari
pulmonal, - Pasien bebas dari dari suara nafas akumulasi cairan
peningkatan dispneu - 4. Catat karakteristik dan
resistensi jalan Mengeluarkan sekret dari batuk adanya cairan dapat
nafas tanpa kesulitan 5. Pertahankan posisi meningkatkan
tubuh/posisi kepala fremitus
dan gunakan jalan 3. Suara nafas
nafas tambahan bila terjadi karena
perlu adanya aliran
6. Kaji kemampuan udara melewati
batuk, latihan nafas batang tracheo
dalam, perubahan branchial dan
posisi dan lakukan juga karena
suction bila ada adanya cairan,
indikasi mukus atau
7. Peningkatan oral sumbatan lain
intake jika dari saluran nafas
memungkinkan 4. Karakterist
Kolaboratif ik batuk dapat
8. Berikan oksigen, merubah
cairan IV ; ketergantungan
tempatkan di kamar pada penyebab
humidifier sesuai dan etiologi dari
14
indikasi jalan nafas.
9. Berikan therapi Adanya sputum dapat
aerosol, ultrasonik dalam
nabulasasi jumlah yang
10. Berikan banyak, tebal dan
fisiotherapi dada purulent
misalnya : postural 5. Pemelihara
drainase, perkusi an jalan nafas
dada/vibrasi jika bagian nafas
ada indikasi dengan paten
11. Berikan 6. Penimbuna
bronchodilator n sekret
misalnya : mengganggu
aminofilin, ventilasi dan
albuteal dan predisposisi
mukolitik perkembangan
atelektasis dan
infeksi paru
7. Peningkata
n cairan per oral
dapat
mengencerkan
sputum
8. Mengeluar
kan sekret dan
meningkatkan
transport oksigen
9. Dapat
berfungsi sebagai
bronchodilatasi
dan mengeluarkan
15
secret
10. Meningkatkan
drainase
secret
paru, peningkatan
efisiensi
penggunaan otot
otot pernafasan
11.Diberikan
untuk mengurangi
bronchospasme,
menurunkan
viskositas sekret
dan meningkatkan
Pola
2. nafas tidak Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji frekuensi,
efektif b.d keperawatan pasien dapat kedalaman dan
penurunan ekspansimempertahankan pola kualitas pernapasan
paru pernapasan yang efektif serta pola
Kriteria Hasil : pernapasan.
Pasien menunjukkan 2. Kaji tanda vital dan
•Frekuensi, irama dan tingkat kesasdaran
kedalaman pernapasan setaiap jam dan prn
normal 3. Monitor pemberian
•Adanya penurunan trakeostomi bila
dispneu PaCo2 50 mmHg
•Gas-gas darah dalam atau PaO2< 60
batas normal mmHg
4. Berikan oksigen
dalam bantuan
ventilasi dan
humidifier sesuai
16
dengan pesanan
5. Pantau dan catat
gas-gas darah
sesuai indikasi : kaji
kecenderungan
kenaikan PaCO2
atau kecendurungan
penurunan PaO2
6. Auskultasi dada
untuk
mendengarkan
bunyi nafas setiap 1
jam
7. Pertahankan tirah
baring dengan
kepala tempat tidur
ditinggikan 30
sampai 45 derajat
untuk
mengoptimalkan
pernapasan
8. Berikan dorongan
utnuk batuk dan
napas dalam, bantu
pasien untuk
mebebat dada
selama batuk
9. Instruksikan pasien
untuk melakukan
pernapasan
diagpragma atau
17
bibir
10. Berikan bantuan
ventilasi mekanik
bila PaCO > 60
mmHg. PaO2 dan
PCO2 meningkat
dengan frekuensi 5
mmHg/jam. PaO2
tidak dapat
dipertahankan
pada 60 mmHg
atau lebih, atau
pasien
memperlihatkan
keletihan atau
depresi mental atau
sekresi menjadi
sulit untuk diatasi.
Gangguan
3. Setelah diberikan tindakan 1. Kaji terhadap tanda 1. Takipneu
pertukaran gas keperawatan pasien dapat dan gejala hipoksia adalah
Berhubunngan mempertahankan pertukaran dan hiperkapnia mekanisme
dengan gas yang 2. Kaji TD, nadi kompensasi
abnormalitas adekuat apikal dan tingkat untuk
ventilasi-perfusi Kriteria Hasil : kesadaran setiap hipoksemia
sekunder Pasien mampu jam dan prn, dan
terhadap menunjukkan : laporkan perubahan peningkatan
hipoventilasi •Bunyi paru bersih tingkat kesadaran usaha nafas
•Warna kulit normal pada dokter. 2. Suara nafas
• Gas-gas darah dalam 3. Pantau dan catat mungkin tidak
batas pemeriksaan gas sama atau tidak
18
normal untuk usia yang darah, kaji adanya ada ditemukan.
diperkirakan kecenderungan Crakles terjadi
kenaikan dalam karena
PaCO2 atau peningkatan
penurunan dalam cairan di
PaO2 permukaan
4. Bantu dengan jaringan yang
pemberian ventilasi disebabkan
mekanik sesuai oleh
indikasi, kaji peningkatan
perlunya CPAP permeabilitas
atau PEEP. membran
5. Auskultasi dada alveoli, kapiler.
untuk 3. Wheezing
mendengarkan terjadi karena
bunyi nafas setiap bronchokontrik
jam si atau adanya
6. Tinjau kembali mukus pada
pemeriksaan sinar X jalan nafas
dada harian, 4. Selalu berarti
perhatikan bila diberikan
peningkatan oksigen
ataupenyimpangan (desaturas 5 gr
7. Pantau irama dari Hb)
jantung sebelum cyanosis
8. Berikan cairan muncul. Tanda
parenteral sesuai cyanosis dapat
pesanan dinilai pada
9. Berikan obat-obatan mulut, bibir
sesuai pesanan: yang indikasi
bronkodilator, adanya
19
antibiotik, steroid. hipoksemia
sistemik,
cyanosis
perifer seperti
pada kuku dan
ekstremitas
adalah
vasokontriksi
5. Hipoksemia
dapat
menyebabkan
iritabilitas dari
miokardium
6. Menyimpan
tenaga pasien,
mengurangi
penggunaan
oksigen
7. Memaksimalka
n pertukaran
oksigen secara
terus menerus
dengan tekanan
yang sesuai
8. Peningkatan
ekspansi paru
meningkatkan
oksigenasi
9. Memperlihatka
n kongesti paru
yang progresif
20
Kelebihan
4. volumeSetelah diberikan tindakan 1. Timbang BB tiap 1. Untuk
cairan b.d. perawatan pasien tidak hari mengetahui
edema pulmo terjadi kelebihan 2. Monitor input dan perkembangan
volume cairan output pasien tiap 1 bb klien
Kriteria Hasil : jam 2. Untuk
Pasien mampu 3. Kaji tanda dan mengetahui
menunjukkan: gejala penurunan balance cairan
• TTV normal curah jantung 3. Mengetahui
• Balance cairan dalam 4. Kaji tanda-tanda suplai oksigen
batas normal kelebihan volume : di dalam tubuh
• Tidak terjadi edema edema, BB , CVP 4. Mengetahui
5. Monitor parameter adanya odema
Hemodinamik 5. Untuk
6. Kolaborasi untuk memantau
pemberian cairan dan cairan dalam
elektrolit tubuh
6. Memnuhi
kebutuhan
cairan dan
elektrolit
dalam tubuh
Gangguan
5. perfusi
Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji tingkat 1. Untuk
jaringan b.d keperawatan pasien kesadaran mengetahui
penurunan curah mampu mempertahankan 2. Kaji penurunan tingkat
jantung perfusijaringan. perfusi jaringan kesadaran
Kriteria Hasil : 3. Kaji status klien
Pasien mampu hemodinamik 2. Mengetahui
menunjukkan 4. Kaji irama EKG keadaan
•Status hemodinamik 5. Kaji system perfusi
dalam bata Gastrointestinal jaringan
normal tercukupi apa
21
• TTV normal tidaknya
3. Untuk
memantau
cairan dalam
tubuh
4. Untuk
mengetahui
kelainan di
jantung
5. Untuk
mengetahui
adanya
kelainan di
gastrointestina
l
2.5 Evaluasi
Evaluasi di lakukan dengan menggunakan metoe SOAP
S : Tanyakan pada pasien apakah masih ada keluhan
22
O : Observasi respon verbal dan non verbal pasien
A : evaluasi apakah rencana asuhan keperawatan berasil atau tidak
P : lanjutkan intervensi jika tidak berhasil
23
akibatobstruksi jalan napas yang bersifat reversible dan terjadi seca
ra episodik berulang (Bruner &Suddarth, 2011).
Pendapat serupa juga menyatakan bahwa asma merupakan
reaksihiperresponsif saluran napas yang berbeda-beda derajatnya dan
menimbulkan fluktuasispontan terhadap obstruksi jalan napas (Lewis et
al., 2011).B.
Asthma adalah penyakit peradangan saluran nafas kronik akibat
terjadinya peningkatan kepekaan saluran nafas terhadap berbagai
rangsangan. Asthma merupakan obstruksi saluran nafas yang reversible
dari kontraksi otot polos bronkus, hipersekresi mukus dan udema
mukosa. Terjadi peradangan di saluran nafas dan menjadi responsive
terhadap beberapa rangsangan termasuk zat iritan, infeksi virus, aspirin,
air dingin, dan olah raga.
2.2.2 Epidemiologi
Penelitian di Indonesia memberikan hasil yang bervariasi antara 3–
8%, penelitian yang dilakukan di Medan, Palembang, Ujung Pandang,
dan Yogyakarta memberikan angka berturut-turut 7,99%, 8,08%, 17%
dan 4,8%. Penelitian epidemiologi asma yang dilakukan pada siswa
SMP di beberapa tempat di Indonesia, antara lain Palembang di mana
prevalensi asma sebesar 7,4%, Jakarta prevelansi asma sebesar 5,7% dan
Bandung prevalensi asma sebesar 6,7%. Belum disimpulkan
kecendrungan perubahan prevalensi berdasarkan bertambahnya usia
karena sedikitnya penelitian dengan sasaran siswa SMP, namun
tampaknya terjadi penurunan prevalensi siswa SMP 31 sebanding
dengan bertambahnya usia terutama setelah usia sepuluh tahun. Hal ini
yang menyebabkan prevelansi asma pada orang dewasa lebih rendah
dibandingkan dengan angka kejadian asma pada anak.
2.2.3 Etiologi
24
2.2.3.1 Asma Alergik: Asma alergik disebabkan oleh alergen atau
alergen-alergen yang dikenal (mis: serbuk sari, binatang, amarah,
dan jamur) kebanyakan alergen terdapat diudara dan musiman.
Pasien dengan asma alergik biasanya mempunyai riwayat
keluarga yang alergik dan riwayat masa lalu ekzema atau rhinitis
alergik. Pejanan terhadap alergen mencetus asma.
2.2.3.2 Asma Idiopatik atau Non alergik: Asma idiopatik atau nonalergik
tidak ada hubungan dengan alergen spesifik. Faktor-faktor,
seperti comman cold, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi
dan polutan lingkungan yang dapat mencetuskan rangsangan.
2.2.3.3 Asma Gabungan: Asma gabungan adalah asma yang paling
umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik
maupun bentuk idiopatik atau non alergik.
2.2.4 Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan
menjadi 3 tipe, yaitu:
2.2.4.1 Ekstrinsik (alergik) Ditandai dengan reaksi alergik yang
disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik,
seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan
(antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik
sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi
genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-
faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas,
maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.
2.2.4.2 Intrinsik (non alergik) Ditandai dengan adanya reaksi
non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak
spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau
bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran
pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih
berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan
25
dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan
emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma
gabungan.
2.2.4.3 Asma gabungan Bentuk asma yang paling umum. Asma
ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan non-
alergik
26
pernafasanAnak yang mengalami astma mudah untuk
inhalasi dan sukar dalam ekshalasi karena edema pada
jalan nafas. Dan ini menyebabkan hiperinflasi pada
alveoli dan perubahan pertukaran gas. Jalan nafas
menjadiobstruksi kemudian tidak adekuat ventilasi dan
saturasi 02, sehingga menjadi penurunan p02 (hypoxia).
27
2.2.8.2 Pemeriksaan darah, Pada pemeriksaan darah yang rutin
diharapkan eosinofil meninggi, sedangkan leukosit dapat
meninggi atau normal, walaupun terdapat komplikasi asma
2.2.8.2.1 Gas analisa darah, Terdapat hasil aliran darah
yang variabel, akan tetapi bila terdapat
peninggian PaCO2 maupun penurunan pH
menunjukkan prognosis yang buruk
2.2.8.2.2 Kadang –kadang pada darah terdapat SGOT
dan LDH yang meninggi
2.2.8.2.3 Hiponatremi 15.000/mm3 menandakan
terdapat infeksi
2.2.8.2.4 Pada pemeriksaan faktor alergi terdapat IgE
yang meninggi pada waktu seranggan, dan
menurun pada waktu penderita bebas dari
serangan.
2.2.8.2.5 Pemeriksaan tes untuk mencari faktor alergi
dengan berbagai alergennya dapat
menimbulkan reaksi yang positif pada tipe
asma atopik.
2.2.8.3 Foto rontgen, Pada umumnya, pemeriksaan foto rontgen
pada asma normal. Pada serangan asma, gambaran ini
menunjukkan hiperinflasi paru berupa rradiolusen yang
bertambah, dan pelebaran rongga interkostal serta
diagfragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat
komplikasi, kelainan yang terjadi adalah:
2.2.8.3.1 Bila disertai dengan bronkhitis, bercakan hilus
akan bertambah
2.2.8.3.2 Bila terdapat komplikasi emfisema (COPD)
menimbulkan gambaran yang bertambah.
2.2.8.3.3 Bila terdapat komplikasi pneumonia maka
terdapat gambaran infiltrat pada par
28
2.2.8.4. Pemeriksaan faal paru
2.2.8.4.1 Bila FEV1 lebih kecil dari 40%, 2/3 penderita
menujukkan penurunan tekanan sistolenya dan
bila lebih rendah dari 20%, seluruh pasien
menunjukkan penurunan tekanan sistolik.
2.2.8.4.2 Terjadi penambahan volume paru yang
meliputi RV hampi terjadi pada seluruh asma,
FRC selalu menurun, sedangan penurunan
TRC sering terjadi pada asma yang berat.
2.2.8.5 Elektrokardiografi, Gambaran elektrokardiografi selama
terjadi serangan asma dapat dibagi atas tiga bagian dan
disesuaikan dengan gambaran emfisema paru, yakni :
2.2.8.5.1 Perubahan aksis jantung pada umumnya
terjadi deviasi aksis ke kanan dan rotasi searah
jarum jam
2.2.8.5.2 Terdapatnya tanda-tanda hipertrofi jantung,
yakni tedapat RBBB
2.2.8.5.3 Tanda-tanda hipoksemia yakni terdapat sinus
takikardi, SVES, dan VES atau terjadinya
relatif ST depresi.
2.2.9 Penatalaksanaan
Pengobatan asma secara garis besar dibagi dalam pengobatan non
farmakologik dan pengobatan farmakologik.
2.2.9.1 Pengobatan non farmakologik
2.2.9.1.1 Penyuluhan: Penyuluhan ini ditujukan pada
peningkatan pengetahuan klien tentang
29
penyakit asthma sehinggan klien secara sadar
menghindari faktor-faktor pencetus, serta
menggunakan obat secara benar dan
berkonsoltasi pada tim kesehatan.
2.2.9.1.2 Menghindari faktor pencetus: Klien perlu
dibantu mengidentifikasi pencetus serangan
asthma yang ada pada lingkungannya, serta
diajarkan cara menghindari dan mengurangi
faktor pencetus, termasuk pemasukan cairan
yang cukup bagi klien.
2.2.9.1.3 Fisioterapi: Fisioterapi dapat digunakan untuk
mempermudah pengeluaran mukus. Ini dapat
dilakukan dengan drainage postural, perkusi
dan fibrasi dada.
2.2.9.2 Pengobatan farmakologik
2.2.9.2.1 Agonis beta : Bentuk aerosol bekerja sangat
cepat diberika 3-4 kali semprot dan jarak
antara semprotan pertama dan kedua adalan 10
menit. Yang termasuk obat ini adalah
metaproterenol (Alupent, metrapel).
2.2.9.2.2 Metil Xantin: Golongan metil xantin adalan
aminophilin dan teopilin, obat ini diberikan
bila golongan beta agonis tidak memberikan
hasil yang memuaskan. Pada orang dewasa
diberikan 125-200 mg empatkali sehari.
2.2.9.2.3 Kortikosteroid: Jika agonis beta dan metil
xantin tidak memberikan respon yang baik,
harus diberikan kortikosteroid. Steroid dalam
bentuk aerosol (beclometason dipropinate)
dengan dosis 800 empat kali semprot tiap hari.
Karena pemberian steroid yang lama
30
mempunyai efek samping maka yang
mendapat steroid jangka lama harus diawasi
dengan ketat.
2.2.9.2.4 Kromolin: Kromolin merupakan obat pencegah
asthma, khususnya anak-anak. Dosisnya
berkisar 1-2 kapsul empat kali sehari.
2.2.9.2.5 Ketotifen: Efek kerja sama dengan kromolin
dengan dosis 2 x 1 mg perhari. Keuntunganya
dapat diberikan secara oral.
2.2.9.2.6 Iprutropioum bromide (Atroven): Atroven
adalah antikolenergik, diberikan dalam bentuk
aerosol dan bersifat bronkodilator.
2.2.9.3 Pengobatan selama serangan status asmatikus
2.2.9.3.1 Infus RL : D5 = 3 : 1 tiap 24 jam
2.2.9.3.2 Pemberian oksigen 4 liter/ menit melalui nasal
kanul
2.2.9.3.3 Aminophilin bolus 5 mg/ kg bb diberikan
pelan-pelan selama 20 menit dilanjutkan drip
RL atau D5 mentenence (20 tetes/ menit)
dengan dosis 20 mg/ kg BB/ 24 jam.
2.2.9.3.4 Terbutalin 0,25 mg/ 6 jam secara sub kutan.
2.2.9.3.5 Dexametason 10-20 mg/ 6 jam secara intra
vena.
2.2.9.3.6 Antibiotik spektrum luas.
2.2.10 Komplikasi
2.2.10.1 Pneumothoraks: keadaan abnormalitas dimana terdapatnya
udara dalam rongga thoraks.
2.2.10.2 Pneumomediastinum dan emfisemi subkutis.
31
2.2.10.3 Atelektasis: ketidakmampuan organ paru untuk mengembang
dengan sempurna.
2.2.10.4 Aspergilosis bronkopulmonar alergik.
2.2.10.5 Gagal napas: keadaan dimana pertukaran oksigen dengan
karbondioksida pada paru-paru tidak dapat mengimbangi laju
konsumsi oksigen dan produksi karbondioksida pada sel tubuh
yang mengakibatkan tekanan oksigen arterial menjadi kurang
dari 50 mmHg (hipoksemia) dan tekanan karbondioksida
arterial meningkat menjadi lebih dari 45 mmHg (hiperkapnea).
2.2.10.6 Bronkhitis: radang pada bronkhus yang biasanya mengenai
trakhea dan laring
32
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
2.1 Pengkajian
2.1.1 Identitas Pasien
Pada tahap ini perawat perlu mengetahui tentang nama, umur,
jenis kelamin, alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku
bangsa, bahasa yang dipakai, status pendidikan dan pekerjaan
pasien.
2.1.2 Keluhan Utama
2.1.2.1 Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong
pasien mencari pertolongan atau berobat ke rumah sakit.
2.1.2.2 Biasanya pada pasien dengan effusi pleura didapatkan
keluhan berupa: sesak nafas, rasa berat pada dada, nyeri
pleuritik akibat iritasi pleura yang bersifat tajam dan
terlokasilir terutama pada saat batuk dan bernafas serta
batuk non produktif.
2.1.3 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dengan gagal nafas biasanya akan diawali dengan adanya
tanda - tanda seperti batuk, sesak nafas, nyeri pleuritik, rasa berat
pada dada, berat badan menurun dan sebagainya.
2.1.4 Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan apakah pasienpernah menderita penyakit seperti
TBC paru, pneumoni, gagal jantung, trauma, asites dan
sebagainya.Hal ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan
adanya faktor predisposisi.
2.1.5 Riwayat Penyakit Keluarga Perlu ditanyakan apakah ada anggota
keluarga yang menderita penyakit penyakit yang disinyalir
sebagai penyebab effusi pleura seperti Ca paru, asma, TB paru
dan lain sebagainya
2.1.6 Riwayat Psikososial Meliputi
33
Perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara
mengatasinya serta bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan
yang dilakukan terhadap dirinya.
2.1.7 Pola Kesehatan Gordon
2.1.7.1 Pengkajian Pola Fungsi
2.1.7.1.1 Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Adanya tindakan medis danperawatan di
rumah sakit mempengaruhi perubahan
persepsi tentang kesehatan, tapi kadang juga
memunculkan persepsi yang salah terhadap
pemeliharaan kesehatan.
2.1.7.1.2 Kemungkinan adanya riwayat kebiasaan
merokok, minum alcohol dan penggunaan
obat-obatan bias menjadi faktor predisposisi
timbulnya penyakit.
2.1.7.2 Pola nutrisi dan metabolisme
2.7.1.7.2.1 Dalam pengkajian pola nutrisi dan
metabolisme, kita perlu melakukan
pengukuran tinggi badan dan berat badan
untuk mengetahui status nutrisi pasien,
2.7.1.7.2.2 Perlu ditanyakan kebiasaan makan dan minum
sebelum dan selama MRS pasien dengan
effusi pleura akan mengalami penurunan nafsu
makan akibat dari sesak nafas dan penekanan
pada struktur abdomen.
2.7.1.7.2.3 Peningkatan metabolisme akan terjadi akibat
proses penyakit. Pasien dengan effusi pleura
keadaan umumnyalemah.
2.1.7.3 Pola eliminasi
34
2.1.7.3.1 Dalam pengkajian pola eliminasi perlu
ditanyakan mengenai kebiasaan defekasi
sebelum dan sesudah MRS.
2.1.7.3.2 Karena keadaan umum pasien yang lemah,
pasien akan lebih banyak bed rest sehingga
akan menimbulkan konstipasi, selain akibat
pencernaan pada struktur abdomen
menyebabkan penurunan peristaltik otot-otot
tractus degestivus.
2.1.7.4 Pola aktivitas dan latihan
2.1.7.4.1 Akibat sesak nafas, kebutuhan O2 jaringan
akan kurang terpenuhi Pasien akan cepat
mengalami kelelahan pada aktivitas minimal.
Disamping itu pasien juga akan mengurangi
aktivitasnya akibat adanya nyeri dada. Untuk
memenuhi kebutuhan ADL nya sebagian
kebutuhan pasien dibantu oleh perawat dan
keluarganya.
2.1.7.5 Pola tidur dan istirahat
2.1.7.5.1 Adanya nyeri dada, sesak nafas dan
peningkatan suhu tubuh akan berpengaruh
terhadap pemenuhan kebutuhan tidur dan
istitahat Selain itu akibat perubahan kondisi
lingkungan dari lingkungan rumah yang
tenang ke lingkungan rumah sakit, dimana
banyak orang yang mondar-mandir, berisik
dan lain sebagainya.
2.2 Diagnose yang Mungkin Muncul (Nanda,2015)
2.2.1 Gangguan pola nafas b.d penyemptan jalan nafas
2.2.2 Sumbatan bersihan jalan nafas b.d adanya benda asing
2.2.3 Ansietas b.d ancaman hidup
35
2.2.4 Defisit volume cairan b.d kurangnya asupan cairan
2.2.5 Gangguan pola tidur b.d susah tidur
36
kontrol suara nafas
Setelah di lakukan asuhan tambahan
keperawatan ..x… Auskultasi
diharapkan bersihan jalan bunyi nafas
nafas normal dengan tambahan: ronchi,
kriteria hasil : whezzing
Mendemontras Berikan
ikan batuk efektif posisi yang
Tidak ada nyaman untuk
sianosis dan dyspneu mengurangi
Menunjukan dispnea
jalan nafas yang paten Informasika
Mampu mengidentifikasi n pada keluarga
dan mencegah factor mengenai tindakan
yang menghambat jalan suction
nafas Kolabirasik
an dengan tim
medis
3. Ansietas b.d Noc : Dorong
ancaman hidup Anxiety pasiek
control mengungkapkan
coping pikiran dan
Setelah di lakukan asuhan perasaannya.
keperawatan ..x.. diharapkan Beri
cemas pada pasien dapat lingkungan terbuka
diatasi dengan kriteria hasil : dimana pasien
Pasien mampu merasa aman
mengeidentifikasi dan untuk
mengungkapkan mendiskusikan
gejala cemas perasaan atau
menolak untuk
37
bicara.
Bantu
pasien atau
orang terdekat
dalam mengenali
dan
mengklarifikasi
rasa takut.Beri
informasi akurat,
konsisten
mengenai
prognosis,
pengobatan serta
dukungan orang
terdekat.
Kolaborasik
an pemberian obat
38
tujuan dengan frekuensi
Berat badan sering dan atau
ideal sesuai dengan makan diantara
tinggi badan waktu makan
Mampu Berikan dan
mengientifikasi Bantu hygiene
kebutuhan nutrisi mulut yang baik;
Tidak ada sebelum dan
tanda-tanda malnutrisi sesudah makan,
gunakan sikat gigi
halus untuk
penyikatan yang
lembut.
Ajarkan
pasien bagaimana
membuat catatan
harian
Kolaborasi pada ahli
gizi untuk rencana diet
5. Gangguan pola tidur b.d Noc : Pantau
susah tidur Anxiety keadaan umum px
reduction dan TTv
Comfort level Kaji pola
Setelah di lakukan asuhan tidur
keperawatan ..x.. Ciptakan
diharapkan pasien tidak suasa nyaman,
mengalami gangguan pola kurangi, distraksi
tidur lagi kriteria hasil : lingkungan dan
Jumlah tidur gangguan tidur.
selama 8 jam dapat Anjurkan
terpenuhi untuk memberikan
39
Pola tidur, perawatan pada
kualitas dalam batas petang hari (mis;
normal hygiene personal,
Perasaan segar linen,dan baju
sesudah tidur tidur).
atauistirahat. Beri obat
dengan
kolaborasi
dokter
2.5 Evaluasi
Evaluasi di lakukan dengan menggunakan metoe SOAP
S : Tanyakan pada pasien apakah masih ada keluhan
O : Observasi respon verbal dan non verbal pasien
A : evaluasi apakah rencana asuhan keperawatan berasil atau tidak
P : lanjutkan intervensi jika tidak berhasil
2.4.1 Definisi
40
oleh tekanan intrvaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena
peningkatan permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak)
yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan. Pada sebagian besar
edema paru secara klinis mempunyai kedua aspek tersebut di atas, sebab
sangat sulit terjadi gangguan permeabilitas kapiler tanpa adanya gangguan
tekanan pada mikrosirkulasi atau sebaliknya. Walaupun demikian penting
sekali untuk menetapkan factor mana yang dominan dari kedua
mekanisme tersebut sebagai pedoman pengobatan.(Sjaharudin Harun &
Sally Aman Nasution,2010) Edema paru terjadi dikarenakan aliran cairan
dari pembuluh darah ke ruang intersisial paru yang selanjutnya ke alveoli
paru, melebihi aliran cairan kembali ke darah atau melalui saluran
limfatik.
Edema paru terjadi ketika cairan yang disaring ke paru lebih cepat dari
cairan yang dipindahkan. Penumpukan cairan menjadi masalah serius bagi
fungsi paru karena efisiensi perpindahan gas di alveoli tidak bisa terjadi.
Struktur paru dapat menyesuaikan bentuk edema dan yang mengatur
perpindahan cairan dan protein di paru menjadi masalah yang
klasik.Peningkatan tekanan edema paru disebabkan oleh meningkatnya
keseimbangan kekuatan yang mendorong filtrasi cairan di paru. Fitur
penting dari edema ini adalah keseimbangan aliran cairan dan protein ke
dalam paru utuh secara fungsional. Peningkatan tekanan edema sering
disebut kardiogenik, tekanan tinggi, hidrostatik, atau edema paru sekunder
tapi lebih efektifnya disebut keseimbangan edema paru terganggu karena
tahanan keseimbangan pergerakan antara cairan dan zat terlarut di dalam
paru. oleh karena peningkatan tekanan arteri pulmonalis. Penurunan
tekanan onkotik plasma pada hipoalbuminemia sekunder oleh karena
penyakit ginjal, hati, atau penyakit nutrisi.Peningkatan tekanan negatif
interstisial pada pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura
(unilateral); Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi
41
saluran napas akut bersamaan dengan peningkatan volume akhir ekspirasi
(asma).
2.4.2 Epidemiologi
2.4.3 Etiologi
42
Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena
obstruksi saluran nafas akut bersamaan dengan
peningkatan end-expiratory volume (asma)
2.4.3.2 Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult
Respiratory Distress Syndrome)
a. Pneumonia (bakteri, virus, parasit)
b. Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, asap
teflon, NO2)
c. Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin
bakteri, alloxan, alpha-naphtyl thiourea)
d. Aspirasi asam lambung
e. Pneuminitis radiasi akut
f. Bahan vasoaktif endogen histamin, kinin)
g. Imunologi ( pneumonitis, hipersensitif)
h. Pankreatitis perdarahan akut
i. Shok lung karena trauma diluar thorax
2.4.3.3 Insufisiensi limfatik
a. Post lung transplant
b. Lymphangitic Carcinomatosis
c. Fibrosing Lymphangitis (silicosis)
2.4.3.4 Sindroma Kongesti Vena: edema paru dapat terjadi karena
kelebihan cairan intravaskuler. Sindroma ini sering terjadi pada
klien yang mendapat cairan kristaloid atau darah intravena dalam
jumlah besar terutama pada klien dengan gangguan fungsi ginjal
(Muttaqin, 2010).
2.4.3.5 Udema Neurogenik: keadaan ini terjadi pada klien dengan
gangguan system saraf pusat. Diduga dasar mekanisme edema
paru neurogenik adalah adanya rangsangan hipotalamus yang
menyebabkan rangsangan pada system adrenergic, yang
kemudian menyebabkan pergeseran volume darah dari sirkulasi
43
sistemik ke sirkulasi pulmonal dan penurunan komplien ventrikel
kiri (Muttaqin, 2010).
2.4.3.6 Perubahan permeabilitas kapiler
Infeksi (bakteri atau virus), pneumonia, reaksi imunologis
dapat terjadi peningkatan permeabilitas kapiler paru sehingga
terjadi pergesaran cairan intravaskuler ke ekstravaskuler (Price,
2009).
2.4.3.7 Peningkatan tekanan vaskuler paru (Price, 2009)
Penyebab jantung
Gagal jantung kiri, stenosis mitral, subakut endokarditis
bakterial
Penyebab bukan jantung
Fibrosis vena pulmonalis, stenosis vena pulmonalis
congenital, penyakit oklusi vena pulmonalis.
2.4.3.8 Penurunan tekanan onkotik
Penyakit gagal Ginjal, gangguan hati dapat terjadi
hipoalbumin sehingga terjadi peningkatan permeabilitas
kapiler (Price, 2009).
2.4.3.9 Keracunan inhalasi
Edema paru yang disebabkan karena inhalasi bahan kimia
toksik dapat menyebabkan lesi paru. Zat yang bersifat toksik
seperti klorin, oksida nitrogen, ozon, sulfur dioksida, oksida
metalik, uap asam dan lain-lain (Muttaqin, 2011)
2.4.4 Klasifikasi
Edema paru dapat disebabkan oleh banyak faktor yang berbeda. Ia
dapat dihubungkan dengan gagal jantung, disebut cardiogenic pulmonary
edema (edema paru kardiak), atau dihubungkan pada sebab-sebab lain,
dirujuk sebagai non-cardiogenic pulmonary edema (edema paru
nonkardiak).
44
Diagnosis Banding Edema Paru Kardiak dan Nonkardiak
Edema paru
Edema paru kardiak
nonkardiak
Riwayat Penyakit :
Penyakit Jantung Akut Penyakit Dasar di luar Jantung
Pemeriksaan Klinik :
Akral dingin Akral hangat
S3 gallop/Kardiomegali Pulsasi nadi meningkat
Distensi vena jugularis Tidak terdengar gallop
Ronki basah Tidak ada distensi vena jugularis
Ronki kering
Tes Laboratorium :
EKG : Iskhemia/infark EKG : biasanya normal
Ro : distribusi edema perihiler Ro : distribusi edema perifer
Enzim jantung mungkin Enzim jantung biasanya normal
meningkat Tekanan Kapiler Paru < 18mmHg
Tekanan Kapiler Paru > 18mmHg Intrapulmonary shunting : sangat
Intrapulmonary shunting : meningkat
meningkat ringan Cairan edema/serum protein > 0,7
Cairan edema/protein serum < 0,5
45
Penyakit pada vena pulmonal
Penyakit oklusi vena primer
Mediastinitis sklerotik kronik
Aliran vena pulmonal yang abnormal
Stenosis atau atresi vena congenital
Neurogenik
Trauma kepala
Tekanan intrakranial meningkat
46
1. Ketidak-seimbangan Starling Forces:
Peningkatan tekanan kapiler paru:
Edema paru akan terjadi hanya apabila tekanan kapiler pulmonal
meningkat sampai melebihi tekanan osmotic koloid plasma, yang
biasanya berkisar 28 mmHg pada manusia. Sedangkan nilai normal
dari tekanan vena pulmonalis adalah antara 8-12 mmHg, yang
merupakan batas aman dari mulai terjadinya edema paru tersebut.
Etiologi dari keadaan ini antara lain:
a) Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi
ventrikel kiri (stenosis mitral).
b) Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan
fungsi ventrikel kiri.
c) Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena
peningkatan tekanan arteria pulmonalis (over perfusion
pulmonary edema).
Penurunan tekanan onkotik plasma.
Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, protein-
losing enteropaday, penyakit dermatologi atau penyakit nutrisi.Tetapi
hipoalbuminemia saja tidak menimbulkan edema paru, diperlukan
juga peningkatan tekanan kapiler paru. Peningkatan tekanan yang
sedikit saja pada hipoalbuminemia akan menyebabkan edema paru.
Peningkatan tekanan negatif intersisial:
Edema paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara
pleural, contoh yangs erring menjadi etiologi adalah:
a) Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura
(unilateral).
b) Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran
napas akut bersamaan dengan peningkatan end-expiratory
volume (asma).
Peningkatan tekanan onkotik intersisial.
Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan maupun klinik.
47
2. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory
Distress Syndrome)
Keadaan ini merupakan akibat langsung dari kerusakan pembatas antara
kapiler dan alveolar.Cukup banyak kondisi medis maupun surgical
tertentu yang berhubungan dengan edema paru akibat kerusakan
pembatas ini daripada akibat ketidakseimbangan Starling Force.
Pneumonia (bakteri, virus, parasit).
Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, NO).
Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan,
alpha-naphthyl thiourea).
Aspirasi asam lambung.
Pneumonitis radiasi akut.
Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).
Disseminated Intravascular Coagulation.
Imunologi: pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin,
leukoagglutinin.
Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.
Pankreatitis Perdarahan Akut.
3. Insufisiensi Limfatik:
Post Lung Transplant.
Lymphangitic Carcinomatosis.
Fibrosing Lymphangitis (silicosis).
4. Tak diketahui/tak jelas
High Altitude Pulmonary Edema.
Neurogenic Pulmonary Edema.
Narcotic overdose.
Pulmonary embolism
Eclampsia
Post cardioversion
48
Post Anesthesia
Post Cardiopulmonary Bypass
Gejala yang paling umum dari pulmonary edema adalah sesak napas. Ini
mungkin adalah penimbulan yang berangsur-angsur jika prosesnya
berkembang secara perlahan, atau ia dapat mempunyai penimbulan yang
tiba-tiba pada kasus dari pulmonary edema akut. Gejala-gejala umum lain
mungkin termasuk mudah lelah, lebih cepat mengembangkan sesak napas
daripada normal dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion), napas
yang cepat (tachypnea), kepeningan, atau kelemahan.
Tingkat oksigen darah yang rendah (hypoxia) mungkin terdeteksi pada
pasien-pasien dengan pulmonary edema. Lebih jauh, atas pemeriksaan
paru-paru dengan stethoscope, dokter mungkin mendengar suara-suara paru
yang abnormal, sepeti rales atau crackles (suara-suara mendidih pendek
yang terputus-putus yang berkoresponden pada muncratan cairan dalam
alveoli selama bernapas).
Manifestasi klinis Edema Paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium:
a. Stadium 1. Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang
prominen akan memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit
meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini
mungkin hanya berupa adanya sesak napas saat bekerja.
Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali
mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya
saluran napas yang tertutup pada saat inspirasi.
b. Stadium 2. Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas
pembuluh darah paru menjadi kabur, demikian pula hilus juga
menjadi kabur dan septa interlobularis menebal (garis Kerley B).
Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor inter-sisial, akan
lebih memperkecil saluran napas kecil, terutama di daerah basal
49
oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks
bronkhokonstriksi. Sering terdapat takhipnea. Meskipun hal ini
merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea
juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan
cairan intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya
terdapat sedikit perubahan saja.
c. Stadium 3. Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran
gas sangat terganggu, terjadi hipoksemia dan hipokapnia.
Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih kemerahan.
Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata.
Terjadi right-to-left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya
menderita hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi
hiperkapnia dan acute respiratory acidemia. Pada keadaan ini
morphin hams digunakan dengan hati-hati.
Edema Paru yang terjadi setelah Infark Miokard Akut biasanya akibat
hipertensi kapiler paru. Namun percobaan pada anjing yang dilakukan
ligasi arteriakoronaria, terjadi edema paru walaupun tekanan kapiler paru
normal, yang dapat dicegah de-ngan pemberian indomethacin sebelumnya.
Diperkirakan bahwa dengan menghambat cyclooxygenase atau cyclic
nucleotide phosphodiesterase akan mengurangi edema’ paru sekunder
akibat peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler; pada manusia masih
memerlukan penelitian lebih lanjut. Kadang kadang penderita dengan
Infark Miokard Akut dan edema paru, tekanan kapiler pasak parunya
normal; hal ini mungkin disebabkan lambatnya pembersihan cairan edema
secara radiografi meskipun tekanan kapiler paru sudah turun atau
kemungkinan lain pada beberapa penderita terjadi peningkatan
permeabilitas alveolar-kapiler paru sekunder oleh karena adanya isi
sekuncup yang rendah seperti pada cardiogenic shock lung.
2.4.6 Patofisiologi
Edema, pada umumnya, berarti pembengkakan. Ini secara khas terjadi
ketika cairan dari bagian dalam pembuluh darah merembes kedalam
50
jaringan sekelilingnya, menyebabkan pembengkakan. Ini dapat terjadi
karena terlalu banyak tekanan dalam pembuluh darah atau tidak ada
cukup protein dalam aliran darah untuk menahan cairan dalam plasma
(bagian dari darah yang tidak mengandung sel-sel darah).
Edema paru adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di
paru. Area yang ada diluar pembuluh darah kapiler paru ditempati oleh
kantong-kantong udara yang sangat kecil yang disebut alveoli. Ini adalah
tempat dimana oksigen dari udara diambil oleh darah yang melaluinya,
dan karbondioksida dalam darah dikeluarkan kedalam alveoli untuk
dihembuskan keluar. Alveoli normalnya mempunyai dinding yang sangat
tipis yang mengizinkan pertukaran udara ini, dan cairan biasanya
dijauhkan dari alveoli kecuali dinding-dinding ini kehilangan
integritasnya. Edema paru terjadi ketika alveoli dipenuhi dengan cairan
yang merembes keluar dari pembuluh darah dalam paru sebagai ganti
udara. Ini dapat menyebabkan persoalan pertukaran gas (oksigen dan
karbondioksida), berakibat pada kesulitan bernapas dan oksigenasi darah
yang buruk. Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai “air di dalam paru”
ketika menggambarkan kondisi ini pada pasien.
Faktor-faktor yang membentuk dan merubah formasi cairan di luar
pembuluh darah dan di dalam paru di tentukan dengan keseimbangan
cairan yang dibuat oleh Starling.
Qf = Kf ⌠(Pmv – Ppmv) – σ(πmv - πpmv)⌡
Qf = aliran cairan transvaskuler;
Kf = koefisien filtrasi;
Pmv = tekanan hidrostatik pembuluh kapiler; Ppmv = tekanan
hidrostatik pembuluh kapiler intersisial;
σ = koefisien refleksi osmosis;
πmv = tekanan osmotic protein plasma;
πpmv = tekanan osmotic protein intersisial.
Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru dapat terjadi pada
Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel
51
kiri (stenosis mitral); Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena
gangguan fungsi ventrikel kiri; Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder
oleh karena peningkatan tekanan arteri pulmonalis. Penurunan tekanan
onkotik plasma pada hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit
ginjal, hati, atau penyakit nutrisi.
Peningkatan tekanan negatif interstisial pada pengambilan terlalu cepat
pneumotorak atau efusi pleura (unilateral); Tekanan pleura yang sangat
negatif oleh karena obstruksi saluran napas akut bersamaan dengan
peningkatan volume akhir ekspirasi (asma).
52
2.4.7 Pemeriksaan dignostik
Terdapat beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk mendeteksi edema
paru, diantaranya adalah :
1. Pemeriksaan Fisik
- Sianosis sentral. Sesak napas dengan bunyi napas seperti mukus
berbuih.
- Ronchi basah nyaring di basal paru kemudian memenuhi hampir
seluruh lapangan paru, kadang disertai ronchi kering dan
ekspirasi yang memanjang akibat bronkospasme sehingga
disebut sebagai asma kardiale.
2. Laboratorium
53
minimal dari bidang-bidang paru yang normal. Pemutihan ini mewakili
pengisian dari alveoli sebagai akibat dari pulmonary edema, namun ia
mungkin memberikan informasi yang minimal tentang penyebab yang
mungkin mendasarinya.
2.4.8 penatalaksanaan
54
Bila TD > 100 mmHg, nitrogliserin paling efektif mengurangi edema paru
karena mengurangi preload, diberikan 2 tablet masing-masing 0,4 mg
sublingual atau semprot, dapat diulang 5-10 menit bila TD tetap >90-100
mmHg. Isosorbide semprot oral bisa diberikan tetapi nitrogliserin pasta
transkutan atau isosorbid oral kurang dianjurkan karena vasokonstriksi
perifer tidak memungkinkan penyerapan yang optimal.
Furosemide adalah obat pokok pada Edema paru, diberikan IV 0,5-1,0
mg/kg. Efek bifasik dicapai pertama dalam 5 menit terjadi venodilatasi
sehingga aliran (preload). Efek kedua adalah diuresis yang mencapai
puncaknya setelah 30-60 menit. Efektifitas furosemide tidak harus dicapai
dengan diuresis berlebihan. Bila furosemide sudah rutin diminum
sebelumnya maka dosis bisa digandakan. Bila dalam 20 menit belum
didapat hasil yang diharapkan, ulangi IV dua kali dosis awal dan dosis bisa
lebih tinggi bila retensi cairan menonjol dan bila fungsi ginjal terganggu.
Morfin sulfate diencerkan dengan 9cc NaCl 0,9%, berikan 2-4 mg IV bila
TD >100mmHg. Obat ini merupakan salah satu obat pokok pada edema
paru namun dianjurkan diberikan di rumah sakit. Efek venodilator
meningkatkan kapasitas vena, mengurangi aliran darah balik ke vena sentral
dan paru, mengurangi tekanan pengisian ventrikel kiri (preload), dan juga
mempunyai efek vasodilator ringan sehingga afterload berkurang. Efek
sedasi dari morfin sulfat menurunkan aktifitas tulang-otot dan tenaga
pernafasan.
2.4.9 komplikasi
Jika edema paru berlanjut, hal tersebut mampu meningkatkan tekanan di
arteri paru dan akhirnya menyebabkan kegagalan pada ventrikel
kanan. Ventrikel kanan memiliki dinding otot yang lebih tipis
daripada sisi kiri karena tidak memiliki tugas yang lebih ringan untuk
memompa darah ke paru-paru. Tekanan yang meningkat kembali ke
atrium kanan dan kemudian ke berbagai bagian tubuh anda, dimana
hal tersebut dapat menyebabkan:
55
1. Kaki bengkak (edema)
2. Abdomen bengkak (ascites)
3. Penumpukan cairan dalam membran yang mengelilingi paru-
paru (efusi pleura)
4. Penyumbatan dan pembengkakan hati Bila tidak diobati, edema
paru akut bisa berakibat fatal. Dalam beberapa kasus, edema
paru tetap dapat berakibat fatal meskipun anda telah mendapat
pengobatan.
56
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
2.1. Pengkajian keperawatan
1. Data Umum
a. Identitas Pasien
Nama, Umur, Tempat, tanggal lahir, Jenis Kelamin, Agama, Suku,
Pendidikan, Dx medis, Alamat, Tanggal MRS, Golongan darah,
Ruangan, Sumber informasi
b. Identitas penanggung jawab
Hubungan dengan pasien, Umur, Nama, Pendidikan, Pekerjaan, Alamat,
Telp.
2. Riwayat kesehatan saat ini
Keluhan utama, Alasan MRS, Riwayat Penyakit
3. Riwayat kesehatan terdahulu
4. Riwayat psikologi dan spiritual
a. riwayat psikologi
b. riwayat spiritual
c. riwayat hospitalisasi
5. Pola fungsi kesehatan (GORDON)\
6. Pemeriksaan fisik
a. keadaan umum
b. head to toe
c. pengkajian data fokus
d. pemeriksaan diagnostic
2.2 Diagnosa Keperawatan
57
2.3 Rencana Keperawatan
58
pH: 7.35-7.45 memberikan 5. Dyspneu, sianosis
pengobatan merupakan tanda
terjadinya
gangguan nafas
disertai dengan
kerja jantung yang
menurun timbul
takikardia dan
capilary refill time
yang
memanjang/lama.
6. Pengobatan yang
diberikan berdasar
indikasi sangat
membantu dalam
proses terapi
keperawatan
2 Ketidakefektifan Pola nafas kembali 1. Berikan 1. Informasi yang
anpola nafas efektif setelah KIEpada pasien adekuat dapat
berhubungan dilakukan tindakan tentang penyakitnya membawa pasien
dengan keadaan keperawatan lebih kooperatif
tubuh yang selama ..× ../ jam, 2. Atur posisi dalam
lemah dengan kriteria hasil: semi fowler memberikan terapi
- Tidak terjadi 2. Jalan nafas yang
hipoksia atau 3. Observasi longgar dan tidak
hipoksemia tanda dan gejala ada sumbatan
- Tidak sesak sianosis proses respirasi
- RR normal dapat berjalan
(16-20 × / menit) 4. Berikan dengan lancar.
- Tidak terdapat terapi oksigenasi 3. Sianosis
kontraksi otot bantu merupakan salah
59
nafas 5. Observasi satu tanda
-Tidak terdapat tanda-tanda vital manifestasi
sianosis ketidakadekuatan
6. Observasi suply O2 pada
timbulnya jaringan tubuh
gagal nafas. perifer .
4. Pemberian
7. Kolaborasi oksigen secara
dengan tim adequat dapat
medis dalam mensuplai dan
memberikan memberikan
pengobatan cadangan oksigen,
sehingga
mencegah
terjadinya
hipoksia.
5. Dyspneu, sianosis
merupakan tanda
terjadinya
gangguan nafas
disertai dengan
kerja jantung yang
menurun timbul
takikardia dan
capilary refill time
yang
memanjang/lama.
6. Ketidakmampuan
tubuh dalam
proses respirasi
60
diperlukan
intervensi yang
kritis dengan
menggunakan alat
bantu pernafasan
(mekanical
ventilation).
7. Pengobatan yang
diberikan berdasar
indikasi sangat
membantu dalam
proses terapi
keperawatan
61
perawatan 4. Meminimalkan
secara aseptik organisme yang
kontak dengan
pasien dapat
5. Kolaborasi menurunkan
dengan tim resiko terjadinya
medis dalam infeksi
memberikan 5. Pengobatan yang
pengobatan diberikan berdasar
indikasi sangat
membantu dalam
proses terapi
keperawatan
4. Implementasi
Didasarkan pada diagnosa yang muncul baik secara aktual, resiko,
atau potensial. Kemudian dilakukan tindakan keperawatan yang
sesuai berdasarkan intervensi
5. Evaluasi
Evaluasi di lakukan dengan menggunakan metoe SOAP
S: Tanyakan pada pasien apakah masih ada keluhan
O: Observasi respon verbal dan non verbal pasien
A: evaluasi apakah rencana asuhan keperawatan berasil atau tidak
P: lanjutkan intervensi jika tidak berhasil
62
A. Konsep dasar penyakit
2.1.1 Definisi
2. Epidemiologi
63
sebagai penyebab penyakit tersering peringkat nyameningkat dari ke-12 menjadi ke-
5 dan sebagai penyebab kematian tersering peringkatnya juga meningkat dari ke-6
menjadi ke-3. Di Eropa, tingkat kejadian PPOK tertinggi terdapat padanegara-
negara Eropa Barat seperti Inggris dan Prancis, dan paling rendah pada negara-
negara Eropa Selatan seperti Italia. Negara Asia Timur seperti Jepang dan
China memiliki kejadianterendah PPOK, dengan jarak antara angka kejadian
terendah dan tertinggi mencapai empatkali lipat
Pada 12 negara Asia Pasifik, WHO menyatakan angka prevalensi PPOK
sedang-berat pada usia 30 tahun keatas, dengan tingkat sebesar 6,3%, dimana
Hongkong dan Singapuradengan angka prevalensi terkecil yaitu 3,5%
dan Vietnam sebesar 6,7%. Indonesia sendiri belumlah memiliki data
pasti mengenai PPOK ini sendiri, hanya Survei Kesehatan RumahTangga
Depkes RI 1992 menyebutkan bahwa PPOK bersama-sama dengan asma
bronkhial menduduki peringkat ke-6 dari penyebab kematian terbanyak di Indonesia.
3. Penyebab/Faktor Predisposisi
Secara keseluruhan penyebab terjadinya PPOK tergantung dari jumlah
partikel gas yang dihirup oleh seorang individu selama hidupnya.
Partikel gas ini termasuk :
1. Asap Rokok
a. Perokok aktif
b. Perokok aktif
2. Polusi Udara
a. Polusi di dalam ruangan- asap rokok - asap kompor
b. Polusi di luar ruangan- gas buang kendaraan bermotor- debu
jalanan
3. Polusi di tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun)
4. Infeksi saluran nafas bawah berulang
4. Patofisiologi
64
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu
pengambilan oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran
karbondioksida dan air sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri
dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah
proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah
peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah,
sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang sudah teroksigenasi.
Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan
pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa perlambatan
aliran udara di saluran napas. Parameter yang sering dipakai untuk
melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV), sedangkan
untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi
paksa detik pertama dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama
terhadap kapasitas vital paksa.
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-
komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil
mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami
kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan
pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem
eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental
dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus
berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab
infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang
menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama ekspirasi
terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang
dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan
(GOLD, 2009).
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya
peradangan kronik pada paru.Mediator-mediator peradangan secara
progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat
hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka
65
ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi
karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara
pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil
pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara
kolaps (GOLD, 2009). Berbeda dengan asma yang memiliki sel
inflamasi predominan berupa eosinofil, komposisi seluler pada
inflamasi saluran napas pada PPOK predominan dimediasi oleh
neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan
Neutrophil Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak diimbangi
dengan antiprotease, sehingga terjadi kerusakan jaringan (Kamangar,
2010). Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran gas
dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi
berhubungan dengan adanya inflamasi jalan napas, edema,
bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus.Kelainan perfusi
berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada arteriol (Chojnowski,
2003).
66
Faktor predisposisi
PaO2 tinggi
Pola nafas
tidak
Gangguan metabolisme jaringan efektif
Metabolisme anaerob
Gangguan
Produksi ATP menurun pertukara
n gas
Defisit energi
Lelah,lemah
Intoleransi
aktivitas
5. Kasifikasi
67
Penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi kronik
adalah sebagai berikut:
1. Bronchitis Kronis
a. Definisi
Bronchitis Kronis merupakan gangguan klinis yang
ditandai dengan pembentukan mucus yang berlebihan dalam
bronkus dan termanifestasikan dalam bentuk batuk kronis dan
pembentuk sputum selama 3 bulan dalam setahun, paling
sedikit 2 tahun berturut-turut.
b. Etiologi
Terdapat 3 jenis penyebab bronchitis yaitu:
1) Infeksi : stafilokokus, sterptokokus, pneumokokus,
haemophilus influenzae.
2) Alergi
3) Rangsang : misal asap pabrik, asap mobil, asap rokok dll.
c. Manifestasi klinis
1) Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar mukus pada
bronchi besar, yang mana akanmeningkatkan produksi
mukus.
2) Mukus lebih kental
3) Kerusakan fungsi cilliary sehingga menurunkan
mekanisme pembersihan mukus. Oleh karena itu,
"mucocilliary defence" dari paru mengalami kerusakan
dan meningkatkan kecenderungan untuk terserang
infeksi. Ketika infeksi timbul, kelenjar mukus akan
menjadi hipertropi dan hiperplasia sehingga produksi
mukus akan meningkat.
4) Dinding bronchial meradang dan menebal (seringkali
sampai dua kali ketebalan normal) dan mengganggu
aliran udara. Mukus kental ini bersama-sama dengan
produksi mukus yang banyakakan menghambat beberapa
68
aliran udara kecil dan mempersempit saluran udara besar.
Bronchitis kronis mula-mula mempengaruhi hanya pada
bronchus besar, tetapi biasanya seluruh saluran nafas
akan terkena.
5) Mukus yang kental dan pembesaran bronchus akan
mengobstruksi jalan nafas, terutama selama ekspirasi.
Jalan nafas mengalami kollaps, dan udara terperangkap
pada bagian distal dari paru-paru. Obstruksi ini
menyebabkan penurunan ventilasi alveolar, hypoxia dan
asidosis.
6) Klien mengalami kekurangan oksigen jaringan ; ratio
ventilasi perfusi abnormal timbul, dimana terjadi
penurunan PaO2. Kerusakan ventilasi dapat juga
meningkatkan nilai PaCO2.
7) Klien terlihat cyanosis. Sebagai kompensasi dari
hipoxemia, maka terjadi polisitemia (overproduksi
eritrosit). Pada saat penyakit memberat, diproduksi
sejumlah sputum yang hitam, biasanya karena infeksi
pulmonary.
8) Selama infeksi klien mengalami reduksi pada FEV
dengan peningkatan pada RV dan FRC. Jika masalah
tersebut tidak ditanggulangi, hypoxemia akan timbul yang
akhirnya menuju penyakit cor pulmonal dan CHF.
2. Emfisema
a. Definisi
Perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai pelebaran
dinding alveolus, duktus alveolaris dan destruksi dinding
alveolar (Bruner & Suddarth, 2002).
b. Etiologi
1) Faktor tidak diketahui
2) Predisposisi genetic
69
3) Merokok
4) Polusi udara
c. Manifestasi klinis
1) Dispnea
2) Takipnea
3) Inspeksi : barrel chest, penggunaan otot bantu pernapasan
4) Perkusi : hiperresonan, penurunan fremitus pada seluruh
bidang paru
5) Auskultasi bunyi napas : krekles, ronchi, perpanjangan
ekspirasi
6) Hipoksemia
7) Anoreksia
8) Penurunan BB
9) Kelemahan
3. Asthma Bronchiale
a. Definisi
Suatu penyakit yang ditandai dengan tanggap reaksi yang
meningkat dari trachea dan bronkus terhadap berbagai
macam rangsangan dengan manifestasi berupa kesukaran
bernafas yang disebabkan oleh peyempitan yang
menyeluruh dari saluran nafas (Bruner & Suddarth, 2002).
b. Etiologi
1) Alergen (debu, bulu binatang, kulit, dll)
2) Infeksi saluran nafas
3) Stress
4) Olahraga (kegiatan jasmani berat)
5) Obat-obatan
6) Polusi udara
7) Lingkungan kerja
8) Lain-lain (iklim, bahan pengawet)
c. Manifestasi Klinis
70
1) Dispnea
2) Permulaan serangan terdapat sensasi kontriksi dada
(dada terasa berat),
3) wheezing,
4) batuk non produktif
6. Gejala Klinis
1) Batuk bertambah berat
2) Produksi sputum bertambah
3) Sputum berubah warna
4) Sesak nafas bertambah berat
5) Bertambahnya keterbatasan aktifitas
6) Terdapat gagal nafas akut pada gagal nafas kronis
7) Penurunan kesadaran
7. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
1. Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup
mencucu)
2. Barrel chest
3. (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
4. Penggunaan otot bantu napas
5. Hipertropi otot bantu napas
6. Pelebaran sela iga
Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat, denyut vena
jugularis i leher dan edema tungka
b. Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
c. Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
71
d. Auskultasi
suara napas vesikuler normal, atau melemahterdapat ronki dan
atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksaekspirasi memanjang bunyi jantung terdengar jauh
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan radiologi
a. Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan:
1) Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan
garis-garis yang parallel, keluar dari hilus menuju
apeks paru. Bayangan tersebut adalah bayangan
bronkus yang menebal.
2) Corak paru yang bertambah
b. Pada emfisema paru terdapat 2 bentuk kelainan foto dada
yaitu:
1) Gambaran defisiensi arteri, terjadi overinflasi,
pulmonary oligoemia dan bula. Keadaan ini lebih
sering terdapat pada emfisema panlobular dan pink
puffer.
2) Corakan paru yang bertambah.
3) Pemeriksaan faal paru Pada bronchitis kronik
terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR yang
bertambah dan KTP yang normal. Pada emfisema
paru terdapat penurunan VEP1, KV, dan KAEM
(kecepatan arum ekspirasi maksimal) atau MEFR
(maximal expiratory flow rate), kenaikan KRF dan
VR, sedangkan KTP bertambah atau normal.
Keadaan diatas lebih jelas pada stadium lanjut,
sedang pada stadium dini perubahan hanya pada
saluran napas kecil (small airways). Pada emfisema
72
kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli
untuk difusi berkurang.
2. Analisis gas darah Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi
hemoglobin menurun, timbul sianosis, terjadi vasokonstriksi
vaskuler paru dan penambahan eritropoesis. Hipoksia yang
kronik merangsang pembentukan eritropoetin sehingga
menimbulkan polisitemia. Pada kondisi umur 55-60 tahun
polisitemia menyebabkan jantung kanan harus bekerja lebih
berat dan merupakan salah satu penyebab payah jantung kanan
9. Diagnosis
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala
ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan
jelas dan tanda inflasi paru
Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :
A. Gambaran klinis
a. Anamnesis
- Keluhan
- Riwayat penyakit
- Faktor predisposisi
b. Pemeriksaan fisik
B. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan rutin
b. Pemeriksaan khusus
10.Tindakan Penanganan
a. Pemeriksaan rutin
73
1. Faal paru
Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan
atau VEP1/KVP ( % ). Obstruksi : % VEP1
(VEP1/VEP1pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai
untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan
penyakit.
Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin
dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat
dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti
harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
Uji bronkodilator
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak
ada gunakan APE meter.
Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8
hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai
VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20%
nilai awal dan < 200 ml
Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit
paru lain. Pada emfisema terlihat gambaran :
Hiperinflasi
Hiperlusen
Ruang retrosternal melebar
Diafragma mendatar
Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye
drop appearance)
74
b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
1. Faal paru
Volume Residu (VR), Kapasiti Residu
Fungsional(KRF), Kapasiti Paru Total (KPT),
VR/KRF, VR/KPT meningkat
DLCO menurun pada emfisema
Raw meningkat pada bronkitis kronik
Sgaw meningkat
Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
2. Uji latih kardiopulmoner
Sepeda statis (ergocycle)
Jentera (treadmill)
Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus,pada sebagian kecil
PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan
4. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral
(prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per
hari selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1
pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK
umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah
pemberian kortikosteroid
5. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
Gagal napas kronik stabil
Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6. Radiologi
CT - Scan resolusi tinggi
75
Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta
derajat emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh
foto toraks polos
Scan ventilasi perfusi Mengetahui fungsi respirasi
paru
7. Elektrokardiografi Mengetahui komplikasi pada jantung yang
ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.
8. Ekokardiografi Menilai funfsi jantung kanan
9. Bakteriologi Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan
Gram dan kultur resistensi diperlukan untuk mengetahui pola
kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi
saluran napas berulng merupakan penyebab utama
eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
10. Kadar alfa-1 antitripsin Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada
emfisema herediter (emfisema pada usia muda), defisiensi
antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.
11.Komplikasi
1. Hipoxemia Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2
kurang dari 55 mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada
awalnya klien akan mengalami perubahan mood, penurunan
konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis.
2. Asidosis Respiratory Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2
(hiperkapnia). Tanda yang muncul antara lain : nyeri kepala,
fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
3. Infeksi Respiratory Infeksi pernafasan akut disebabkan karena
peningkatan produksi mukus, peningkatan rangsangan otot polos
bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya aliran udara akan
meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.
4. Gagal jantung Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat
penyakit paru), harus diobservasi terutama pada klien dengan
76
dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan
bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat
mengalami masalah ini.
77
6. Pola Peran-Hubungan
Kaji gambaran yang berkenaan dengan keluarga, kepuasan ketidak
puasan, menjalankan peran, efek terhadap struktur kesehatan
pentingnya keluarga.
7. Pola Seksual dan Reproduksi
Kaji masalah atau keterkaitan dengan seksual, gambaran perilaku seksual
efek terhadap kesehatan.
8. Pola Persepsi Diri
Gangguan citra diri akibat penumpukan sekret yang mengakibatkan
berludah atau pengeluaran sekret setiap saat.
9. Pola Manajemen Koping Stres
Pencetus stress, tingkat stress, gambaran respon umun dan khusus,
strategi kopingyang digunakan, hubungan manajemen stress dengan
keluarga.
10. Pola Eliminasi
Sekret dalam jumlah banyak, batuk dan sesak
11. Pola Keyakinan-nilai
Tergantung pada kebiasaan, ajaran dan aturan dari agama yang dianut
oleh individu tersebut.
2. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan
bronkokontriksi, peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif,
kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi bronkopulmonal.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mukus,
bronkokontriksi dan iritan jalan napas.
78
3. Rencana Asuhan Keperawatan
No NO Diagnosa Keperawatan NOC N NIC Rasional
Bersihan jalan nafas Status respirasi: a. Manajemen jalan adanya perubahan
tidak efektif
an kepatenan jalan napas napas fungsi respirasi dan
berhubungan dengan dengan skala (1-5) b. Penurunan gangguan otot
1. Bronkospasme setelah diberikan kecemasan tambahan
2. Peningkatan perawatan selama c. Aspiration menandakan kondisi
produksi secret 2x24 jam dengan hasil precaution penyakit yang masih
3. Menurunnya energi yang diharapkan d. Fisioterapi dada harus mendapatkan
Ditandai dengan : bersihan jalan nafas e. Latihan batuk penanganan penuh.
1. Klien mengeluh sulit efektif, dengan efektif Idaketidakmampuan
bernafas kriteria f. Terapi oksigen mengeluarkan mukus
2. Perubahan 1. RR normal 12- g. Monitoring menjadikan
kedalaman /jumlah 20 kali per respirasi timbulnya kongesti
napas, penggunaan menit h. Monitoring berlebih pada saluran
otot bantu 2. Irama nafas respirasi pernapasan
pernapasan. normal
3. Suara napas 3. Pergerakan
abnormal sputum keluar
dari jalan nafas
79
2. Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan 1.Auskultasi suara 1. mengetahui nafas
berhubungan dengan napas tindakan nafas pasien
pendek, mukus, keperawatan selama 2.Berikan posisi 2. membuka jalan
bronkokontriksi dan iritasi 2x24jam maka pola semifowler nafas dan
jalan nafas nafas tidak efektif 3.Ajarkan cara batuk memberikan posisi
teratasi dengan efektif nyaman untuk
Kriteria hasil : ventilasi
1. Tidak ada 3. melatih pasien
dispesia untuk
2. Irama nafas mengeluarkan
dan frekuensi secret
nafas dalam
normal
3. Pasien mampu
bernafas
dengan mudah
80
2.5 KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN PNEUMOTHORAK
A. Konsep Dasar Keperawatan
2.1.2 Definisi/Pengertian
Pneumothoraks adalah pengumpulan udara dalam ruang potensial antara pleural
visceral dan parietal. ( Arief Mansjoer, 2008 : 295 ) Pneumothoraks terjadi bila udara
masuk kedalam rongga pleura, akibatnya jaringan paru terdesak seperti halnya rongga
pleura kemasukan cairan. Lebih tepat kalau dikatakan paru kolaps ( jaringan paru
elastis ). ( Tambayong, 2000 : 108 ) Pneumothoraks adalah udara atau gas dalam kavum
pleura yang memisahkan pleura viseralis dan pleura parietalis sehingga jaringan paru
tertekan. Pneumothorak dapat terjadi sekunder akibat asma, bronchitis kronis,
emfisema. ( Hinchllift, 1999 : 343 )
81