Anda di halaman 1dari 11

KONSEP TOLERANSI DALAM KEHIDUPAN MANUSIA SEBAGAI UMAT

BERAGAMA MENURUT BUYA HAMKA

Pendahuluan

Dalam pandangan umum, beragama adalah kepercayaan dan perbuatan yang


berkaitan dengan hubungan manusia dengan kekuatan atau wujud gaib. Ada beberapa
faktor mengapa manusia beragama, dan diantaranya adalah, karena manusia tidak
mampu mengatur tindakan manusia untuk dapat hidup damai satu sama lain dalam
masyarakat.1 Maka dalam kehidupan manusia sebagai umat beragama harus adanya
konsep yang mengatur bagaimana manusia harus bersikap, sehingga tidak
menimbulkan permusuhan dan mengarah kepada masyarakat yang tidak damai.

Toleransi adalah sikap atau tatanan hidup individu atau sekelompok


masyarakat dalam tatanan kehidupan sosial yang menerima dengan penuh kesabaran
dan tanpa adanya sikap protes terhadap sikap atau perilaku individu atau kelompok
masyarakat lain yang memiliki identitas berbeda dengan kelompok tersebut. Bisa juga
diartikan sebagai sikap saling menghormati, saling melindungi dan kerja sama dengan
individu atau kelompok lain. 2

Namun banyak dikalangan masyarakat yang tidak mengetahui batasan-batasan


bertoleransi antar umat beragama. Dan banyak ditemukannya fenomena yang terjadi
dimasyarakat tentang kesalahpahaman mengenai konsep toleransi antar umat
beragama dalam kehidupan manusia. Sehingga kesalahan yang terjadi diatasnamakan
demi menciptakan masyarakat yang toleran. Atau ada juga yang merasa diintoleransi
dan menjadi korban intoleransi, sehingga sikap toleransi yang seharusnya dibangun
menjadi rapuh karena kesalahpahaman antar umat beragama.

1
Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia Pengantar Antropologi Agama, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2006. Hal.50.
2
Sufa’at Mansur, Toleransi Dalam Agama Islam, Harapan Kita, Yogyakarta, 2012. Hal. 1

1
Menurut Buya Hamka, salah seorang tokoh ulama di Indonesia yang memiliki
multidisiplin keilmuan yang dikenal oleh masyarakat luas sebagai seorang mufassir,
sastrawan, cendikiawan, dan agamawan, beliau membahas konsep-konsep toleransi
yang dijelaskan dalam beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang menjadi pedoman bagi
kehidupan masyarakat sebagai umat beragama khususnya.

Maka, makalah ini akan membahas tentang konsep toleransi dalam kehidupan
manusia sebagai umat beragama menurut Buya Hamka. Untuk mengetahui
bagaimana konsep toleransi yang tertanam dalam jiwa beliau yang bisa menjadi
contoh atau panutan dalam bersikap dengan semata-mata untuk mempertahankan
prinsipnya.

Pengertian Toleransi Umat Beragama

Toleransi berasal dari bahasa Latin yaitu  "tolerare" artinya menahan diri,
bersikap sabar, membiarkan orang berpendapat lain, dan berhati lapang terhadap
orang-orang yang memiliki pendapat berbeda. Dalam literature agama islam, toleransi
disebut sebagai tasamuh. Makna asli tasamuh adalah bermudah-mudah. Sikap toleran
tidak berarti membenarkan pandangan yang dibiarkan itu, tetapi mengakui kebebasan
serta hak-hak asasi para penganutnya.

Dengan demikian, konsep toleransi yaitu  suatu sikap atau perilaku manusia
yang tidak menyimpang dari aturan, di mana seseorang menghargai atau
menghormati setiap tindakan yang orang lain lakukan. Sikap toleransi sangat perlu
dikembangkan karena manusai adalah makhluk sosial dan akan menciptakan adanya
kerukunan hidup.

Dan sikap Toleransi atar umat beragama yaitu sikap saling menghargai
terhadap agama orang lain tanpa ada paksaan untuk mengikuti ajaran agama kita.
Memahami setiap perbedaan, sikap saling tolong menolong antar sesama umat yang
tidak membedakan suku, agama, budaya maupun ras. Rasa saling menghormati serta

2
menghargai antar sesama umat manusia. Sikap saling mempercayai atas itikad baik
golongan agama lain. Sikap saling menghormati hak orang lain yang menganut ajaran
agamanya. Sikap saling menahan diri terhadap ajaran, keyakinan dan kebiasan
kelompok agama lain yang berbeda, yang mungkin berlawanan dengan ajaran,
keyakinan dan kebiasaan sendiri. Dengan kata lain agamaku adalah agamaku dan
agamamu adalah agamamu.

Ada dua tipe dalam toleransi beragama. Pertama, toleransi yang bersifat pasif,
yakni sikap menerima perbedaan sebagai sesuatu yang bersifat faktual. Kedua,
toleransi yang bersifat aktif, yakni toleransi yang melibatkan diri dengan yang lain
ditengah perbedaan dan keragaman. Toleransi aktif merupakan ajaran semua agama.
Hakekat toleransi adalah hidup berdampingan secara damai dan saling menghargai
diantara keragaman .

žw â/ä38yg÷Ytƒ ª!$# Ç`tã tûïÏ%©!$# öNs9 öNä.qè=ÏG»s)ム’Îû

ÈûïÏd‰9$# óOs9ur /ä.qã_̍øƒä† `ÏiB öNä.̍»tƒÏŠ br&

óOèdr•Žy9s? (#þqäÜÅ¡ø)è?ur öNÍköŽs9Î) 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä†

tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÑÈ

Yang artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
Berlaku adil. (Q.S Al-Mumtahanah: 8)

Ayat ini memberikan pedoman kepada para pemeluk agama untuk mengadakan
kontak dengan pemeluk lain yakni dengan berbuat baik, berbuat adil dan berkasih
sayang.3
3
Farhan Abdillah, Studi Pemikiran Buya Hamka Dalam Membangun Toleransi Umat Beragama Di
Indonesia, Universitas Internasional Semen Indonesia, 2019. Hal.3

3
Konsep Toleransi Dalam Kehidupan Manusia Sebagai Umat Beragama Menurut
Buya Hamka

Buya Hamka, yang memiliki nama lengkap H. Abdul Malik Karim Amrullah
dikenal sebagai ulama dan sastrawan. Ada sekitar 118 karya tulis yang telah
dipublikasikan. Topik yang diangkat melingkupi berbagai bidang, beberapa
diantaranya mengupas tentang Agama Islam, filsafat sosial, tasawuf, roman, sejarah,
tafsir Al-Qur’an, dan otobiografi.4 Dalam makalah ini akan membahas sedikit
masalah yang berhubungan dengan salah satu bidang-bidang itu yaitu, menyangkut
Agama Islam tentang konsep toleransi dalam kehidupan manusia sebagai umat
beragama.

Buya Hamka berpendapat bahwa manusia diberi kebebasan oleh Allah SWT
untuk memeluk agama apapun tanpa adanya pakssaan. Hal ini telah diuraikan dalam
salah satu karya tulisnya yaitu, Tafsir Al-Azhar dalam surah Al-Baqoroh ayat 256:

Iw on#tø.Î) ’Îû ÈûïÏe$!$# ( ‰s% tû¨üt6¨? ߉ô©”9$# z`ÏB


ÄcÓxöø9$# 4 `yJsù öàÿõ3tƒ ÏNqäó»©Ü9$$Î/ -ÆÏB÷sãƒur «!$$Î/
ωs)sù y7|¡ôJtGó™$# Íouróãèø9$$Î/ 4’s+øOâqø9$# Ÿw tP$|
ÁÏÿR$# $olm; 3 ª!$#ur ìì‹Ïÿxœ îLìÎ=tæ ÇËÎÏÈ

Yang artinya: “Tidak ada paksaan dalam agama. Telah nyata kebenaran dan
kesesatan. Maka barang siapa yang menolak segala pelanggaran besar dan beriman
kepada Allah, maka sesungguhnya telah berpeganglah ia dengan tali yang amat teguh,
yang tidak akan putus selama-lamanya. Dan Allah maha mendengar lagi mengetahui.5

Adanya larangan pemaksaan dalam agama, karena agama menempati struktur


terdalam batin manusia yang sulit dikuasai, bukan hal yang mudah berubah-ubah dan

4
Irfan Hamka, Ayah…, Republika Penerbit, Jakarta, 2013. Hal. 290
5
Prof. Dr. Syekh Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar juz III, Gema Insani,
Jakarta 2015. Hal. 20

4
artifisial. Pemaksaan hanya bisa menambah korban dan tidak menunjukan sikap yang
bijaksana. Paksaan hanya bisa dilakukan oleh golongan yang berkuasa, yang hati
kecilnya pun tidak yakin bahwa ia berada dalam kebenaran.6

Menurut Buya Hamka Umat Islam dilarang mencaci maki sesembahan yang
disembah oleh orang Kafir, karena itu akan menyebabkan mereka juga balas mencaci
maki Allah SWT tanpa ilmu. Lebih baik ditunjukan saja kepada mereka alasan yang
masuk akal bagaimana keburukan menyembah berhala atau Tuhan selain Allah. 7

Ó|¤tãª!$# br& Ÿ@yèøgs† ö/ä3oY÷t/ tû÷üt/ur tûïÏ%©!$#


NçF÷ƒyŠ$tã Nåk÷]ÏiB Zo¨Šuq¨B 4 ª!$#ur ֍ƒÏ‰s% 4 ª!$#ur
֑qàÿxî ×LìÏm§‘ ÇÐÈ žw â/ä38yg÷Ytƒ ª!$# Ç`tã tûïÏ%©!$#
öNs9 öNä.qè=ÏG»s)ム’Îû ÈûïÏd‰9$# óOs9ur /ä.qã_̍øƒä† `ÏiB
öNä.̍»tƒÏŠ br& óOèdr•Žy9s? (#þqäÜÅ¡ø)è?ur öNÍköŽs9Î) 4 ¨bÎ)
©!$# =Ïtä† tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÑÈ $yJ¯RÎ) ãNä39pk÷]tƒ ª!$#
Ç`tã tûïÏ%©!$# öNä.qè=tG»s% ’Îû ÈûïÏd‰9$#
Oà2qã_t÷zr&ur `ÏiB öNä.̍»tƒÏŠ (#rãyg»sßur #’n?tã
öNä3Å_#t÷zÎ) br& öNèdöq©9uqs? 4 `tBur öNçl°;uqtFtƒ šÍ
´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßJÎ=»©à9$# ÇÒÈ
(7.) Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang
yang kamu musuhi di antara mereka. dan Allah adalah Maha Kuasa. dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (8.) Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik
dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan
tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang Berlaku adil. (9.) Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan

6
Prof. Dr. Syekh Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar juz IX, Gema Insani,
Jakarta 2015. Hal. 319-320
7
Prof. Dr. Syekh Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar juz VII-VIII, Gema
Insani, Jakarta 2015. Hal. 409

5
sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu
dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan Barangsiapa
menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.
(Q.S Al-Mumtahanah: 7-9).
Buya Hamka menjadikan ayat ini sebagai pedoman bagi umat islam untuk
bergaul dan berinteraksi sehari-hari dengan komunitas diluar muslim. Umat islam
dipersilahkan untuk bergaul dengan akrab, bertetangga, saling tolong-menolong,
bersikap adil dan jujur kepada pemeluk agama lain. Tetapi jika ada bukti jika pemeluk
agama lain itu hendak memusuhi, memerangi dan mengusir umat islam, maka semua
yang diperbolehkan itu menjadi terlarang.

Batasan toleransi ini pernah disampaikan langsung oleh Buya Hamka selaku
ketua umum MUI kepada presiden Suharto pada tanggal 17 September 1975. Hal ini
berkaitan dengan peliknya hubungan antar agama di Indonesia pada saat itu, terutama
antara Islam dan Kristen.8 Buya Hamka sebagai seorang ulama yang dikenal tegas
dan gigih dalam membela aqidah Islam, hal ini tercermin dalam sikapnya ketika
menyikapi toleransi yang menyangkut masalah keimanan. Menurut Buya Hamka
tidak ada toleransi dalam masalah yang menyangkut keimanan.

Buya Hamka pernah menolak secara tegas ide tentang perayaan Natal
bersama yang digulirkan oleh pemerintah Orde Baru pada waktu itu dengan tujuan
menjaga kerukunan antar umat beragama. Buya Hamka yang saat itu menduduki
jabatan sebagai ketua umum MUI mengeluarkan fatwa tentang haramnya bagi kaum
muslim ikut merayakan natal bersama. 9 Buya Hamka berpendapat bahwa fatwa
tersebut dipandang perlu dikeluarkan sebagai tanggung jawab para ulama untuk
memberikan pegangan kepada umat Islam dalam kewajiban mereka memelihara
kemurnian aqidah Islamiyah. MUI berharap umat Islam tidak terjerumus dalam

8
H. Rusydi Hamka, Pribadi & Martabat Buya Hamka – Sebuah Memoar, Noura Books, Jakarta
2018, hal. 293
9
Haidar Musyafa, Jalan Cinta Buya, Penerbit Imania, Tangerang Selatan, 2017. Hal. 486

6
syubhat (perkara-perkara samar) dan larangan Allah karena mencampuradukkan
aqidah dan ibadahnya dengan agama lain.10

Berkenaan dengan hal diatas, Buya Hamka menegaskan praktek toleransi


dalam firman Allah, Bagimu Agamamu, dan bagiku Agamaku.

ö/ä3s9 ö/ä3ãYƒÏŠ u’Í<ur Èûïϊ ÇÏÈ (Q.S Al-Kafirun [109]: 6)

Dalam menafsirkan ayat ini Buya Hamka menerangkan soal aqidah di


antara tauhid Allah, sekali-sekali tidaklah dapat dicampuradukkan dengan syirik.
Tauhid kalau telah didamaikan dengan syirik berarti merupakan kemenangan
syirik.11 Tauhid dan syirik tidak dapat dipertemukan. Kalau yang haqq hendak
dipersekutukan dengan yang bathil, maka yang bathil akan mendapat untung. Oleh
sebab itu aqidah tauhid tidaklah mengenal apa yang dinamai Cynscritisme, yang
berarti menyesuai-nyesuaikan.12

Akibatnya, karena perbedaan pendapat dengan pemerintah, Buya Hamka


kemudian lebih memilih melepaskan jabatannya sebagai ketua umum MUI setelah
menjabat kurang lebih dua bulan. Karena mempertahankan prinsipnya itu dengan
tidak mau mencabut kembali fatwanya tentang haramnya perayaan natal bersama
kaum muslim.

Menurut beliau dalam bersosial toleransi dibangun dalam pergaulan sehari-


hari dengan mengedepankan sikap saling menghormati dan menghilangkan sikap
rasisme yang dapat mengecilkan kelompok lain. Sedangkan, dalam keagamaan itu
sendiri Buya Hamka membatasi toleransi hanya pada ranah pergaulan sosial. Beliau

10
Farhan Abdillah, Studi Pemikiran Buya Hamka Dalam Membangun Toleransi Umat
Beragama Di Indonesia, Universitas Internasional Semen Indonesia, 2019. Hal.8.
11
Prof. Dr. Syekh Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar Juz IX, Gema
Insani, Jakarta 2015. Hal. 679.
12
Prof. Dr. Syekh Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah,Tafsir al-Azhar Juz I, Gema Insani,
Jakarta 2015. Hal. 680
11

12

7
menolak toleransi yang harus mencampuradukkan keyakinan atau aqidah dengan
yang bertentangan dengan islam. Hal itu menurut beliau bukan dinamakan toleransi.

Dan Buya Hamka juga berpendapat bahwa kita hendaknya tidak hanya
mementingkan kelompok kita sendiri, namun juga memikirkan kepentingan orang
lain, dan melindungi agama lain dengan sebaik-baiknya. Kemudian Buya Hamka
menguatkan lagi pedoman toleransi antar umat dengan sabda Nabi Muhammad
SAW, yang memerintahkan umatnya supaya membela golongan agama minoritas
dengan perintah yang keras: “Siapa saja yang menyakiti orang zimmi (minoritas)
samalah dengan menyakiti diriku”.

Dari sini dapat dilihat bahwasanya Buya Hamka lebih mementingkan


kemaslahatan umat agar terjalinnya hubungan yang baik dilingkungan masyarakat,
baik dengan orang yang berbeda suku, ras, dan agama. Semuanya diaplikasikan
dengan jalan toleransi, Buya Hamka juga selalu mengedepankan nilai-nilai
kemanusiaan dan kemaslahatan.13

Kesimpulan

Toleransi adalah sikap atau tatanan hidup individu atau sekelompok


masyarakat dalam tatanan kehidupan sosial yang menerima dengan penuh kesabaran
dan tanpa adanya sikap protes terhadap sikap atau perilaku individu atau kelompok
masyarakat lain yang memiliki identitas berbeda dengan kelompok tersebut. Bisa juga
diartikan sebagai sikap saling menghormati, saling melindungi dan kerja sama dengan
individu atau kelompok lain.

13
Asbandi, Konsep Toleransi Menurut Buya Hamka Dalam Tafsir Al-Azhar, Skripsi UIN
Sunan Kalijaga,Yogyakarta, 2017. Hal. 169-170

8
Dalam kehidupan manusia sebagai umat beragama harus mengetahui
bagaimana eharusnya bersikap, agar terhindar dari kesalahpahaman antar umat
beragama dan menimbulkan perselisihan. Pandangan Buya Hamka terhadap toleransi
dapat menjadi contoh dan panutan khususnya bagi umat Islam sehingga umat islam
tidak asal bersikap yang mengatasnamakan untuk membangun kerukunan antar umat
beragama.

Buya Hamka berpendapat bahwa manusia diberi kebebasan oleh Allah SWT
untuk memeluk agama apapun tanpa adanya paksaan. Pemaksaan hanya bisa
menambah korban dan tidak menunjukan sikap yang bijaksana. Menurut Hamka
Umat Islam dilarang mencaci maki sesembahan yang disembah oleh orang Kafir,
karena itu aakan menyebabkan mereka juga balas mencaci maki Allah tanpa ilmu.
Lebih baik ditunjukan saja kepada mereka alasa yang masuk akal bagaimana
keburukan meenyembah beerhala atau tuhan selain Allah.

Buya Hamka menjadikan Q.S Al-Mumtahanah: 7-9 sebagai pedoman bagi


umat islam untuk bergaul dan berinteraksi sehari-hari dengan komunitas diluar
muslim. Umat islam dipersilahkan untuk bergaul dengan akrab, bertetangga, saling
tolong-menolong, bersikap adil dan jujur kepada pemeluk agama lain. Tetapi jika ada
bukti jika pemeluk agama lain itu hendak memusuhi, memerangi dan mengusir umat
islam, maka semua yang diperbolehkan itu menjadi terlarang.

Buya Hamka menegaskan praktek toleransi dalam firman Allah, Bagimu


Agamamu, dan bagiku Agamaku dalam surat Al-Kafirun:6. Buya Hamka
menjelaskan soal akidah tauhid, sekali-sekali tidaklah dapat dikompromikan atau
dicampuradukkan dengan syirik. Tauhid dan syirik tidak dapat dipertemukan. Kalau
yang hak hendak dipersekutukan dengan yang bathil, maka yang bathil akan
mendapat untung. Oleh sebab itu aqidah tauhid tidaklah mengenal apa yang dinamai
Cynscritisme, yang berarti menyesuai-nyesuaikan, Tauhid kalau telah didamaikan
dengan syirik, artinya kemenangan syirik.

9
Menurut beliau dalam bersosial toleransi dibangun dalam pergaulan sehari-
hari dengan mengedepankan sikap saling menghormati dan menghilangkan sikap
rasisme yang dapat mengecilkan kelompok lain. Sedangkan, dalam keagamaan itu
sendiri Buya Hamka membatasi toleransi hanya pada ranah pergaulan social. Beliau
menolak toleransi yang harus mencampuradukkan keyakinan atau aqidah dengan
yang bertentangan dengan islam. Hal itu menurut beliau bukan dinamakan toleransi

Referensi

Al-Qur’an Al-Karim

Agus Bustanuddin, Agama Dalam Kehidupan Manusia Pengantar Antropolog


Agama, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.

Mansur Sufa’at, Toleransi Dalam Agama Islam, Harapan Kita, Yogyakarta, 2012.

Abdillah Farhan, Studi Pemikiran Buya Hamka Dalam Membangun Toleransi Umat
Beragama Di Indonesia, Universitas Internasional Semen Indonesia, 2019.

Hamka Irfan, Ayah…, Republika Penerbit, Jakarta, 2013.

Hamka, Tafsir Al-Azhar juz I, Gema Insani, Jakarta 2015.

Hamka, Tafsir Al-Azhar juz III, Gema Insani, Jakarta 2015.

Hamka, Tafsir Al-Azhar juz VII-VIII, Gema Insani, Jakarta 2015.

Hamka, Tafsir Al-Azhar juz IX, Gema Insani, Jakarta 2015.

Hamka Rusydi, Pribadi & Martabat Buya Hamka – Sebuah Memoar, Noura Books,
Jakarta 2018.

Musyafa Haidar, Jalan Cinta Buya, Penerbit Imania, Tangerang Selatan, 2017.

10
Asbandi, Konsep Toleransi Menurut Buya Hamka Dalam Tafsir Al-Azhar, Skripsi
UIN Sunan Kalijaga,Yogyakarta, 2017.

11

Anda mungkin juga menyukai