Anda di halaman 1dari 16

PENDIDIKAN TINGGI ISLAM DI INDONESIA

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah tugas mata kuliah

“Sejarah pendidikan Islam di Indonesia”

Disusun oleh:

Kelompok 14 / Kelas PAI M

Muhammad Haritz Alfarizi (201190421)

Novi Laila Sari (201190435)

Dosen Pengampu:

Zeni Murtafiati Mizani, M Pd.I

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

(IAIN) PONOROGO
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Perguruan Tinggi Islam adalah salah satu stratum pendidikan Islam
yang berada pada level tertinggi. Eksistensi pendidikan Islam dalam kancah
pendidikan nasional di Indonesia memiliki urgensi yang sangat besar,
utamanya sebagai pilar bagi bangunan pendidikan Islam secara keseluruhan.
Perguruan Tinggi Islam memiliki misi sebagai center of excellent untuk
menghasilkan para sarjana yang sujana serta manfaat pendidikan bagi
stakeholder. Untuk mewujudkan tujuan tersebut perguruan tinggi Islam
merumuskan visi, misi, strategi, dan program kerja yang terencana, terfokus,
dan berkesinambungan yang dipergunakan civitas akademika sebagai
pedoman untuk mencapai tujuan.
Untuk memberikan kepastian dalam pencapaian tujuan, perguruan
tinggi Islam memerlukan daya dukung sumber daya manusia (SDM) yaitu
pimpinan, dosen, staf administrasi, dan mahasiswa yang bermutu serta
berkualitas. Sumber daya manusia yang berkualitas menempati posisi yang
penting dan strategis dalam rangka proses pembelajaran di Perguruan Tinggi
Islam. Hal ini dikarenakan bahwa pimpinan, dosen, dan staf administrasi
mampu menciptakan kondisi yang kondusif terhadap proses pelayanan
terhadap pelanggan.
Dalam konteks pemberdayaan SDM agar diperoleh pimpinan, dosen,
dan staf administrasi yang professional dengan integritas yang tinggi
diperlukan adanya acuan baku yang berlaku di Perguruan Tinggi Islam. Acuan
baku tersebut adalah budaya.
B. Rumusan Masalah
1. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia
2. Kondisi Pendidikan Tinggi Islam di era sekarang

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia
2. Untuk mengatahui Kondisi Pendidikan Tinggi Islam di era sekarang
PEMBAHASAN

A. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia


Eksistensi lembaga pendidikan tinggi Islam pada dasarnya didorong oleh
dua faktor utama. Pertama adalah faktor intern yaitu di Indonesia telah berdiri
perguruan tinggi umum, antara lain Sekolah Tinggi Teknik di Bandung 1920,
Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta pada tahun 1920, dan Sekolah Tinggi
Kedokteran di Jakarta pada tahun 1927. Kedua adalah faktor ekstern yaitu respon
atas kebutuhan masyarakat untuk merealisasikan kehidupan beragama di tanah air
dan masuknya pengaruh ide-ide pembaruan pemikiran Islam ke Indonesia.
Haedar mengemukakan bahwa dapat dipastikan, sesuai dengan kebijakan
kolonial Belanda, bahwa yang menjadi mahasiswa dari lembaga pendidikan tinggi
yang didirikan oleh kolonial Belanda adalah masyarakat elite bangsa Indonesia
Sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda sekitar tahun 1930-an, umat Islam
Indonesia mulai berkeinginan bercita-cita untuk mendirikan perguruan tinggi
Setidaknya ada beberapa fakta sejarah yang dapat dikemukakan antara lain:
1. M. Natsir mengemukakan dalam bukunya Capita Selecta bahwa Dr.
SatimanSatiman menjadi penggagas untuk mendirikan Sekolah Tinggi Islam di
tiga tempat yaitu Jakarta, Solo, dan Surabaya. Di Jakarta akan didirikan sekolah
tinggi sebagai lanjutan dari sekolah Menengah Muhammadiyah (AMS) yang
bersifat kebaratan. Di Solo akan didirikan sekolah tinggi untuk muballigh. Di
Surabaya akan didirikan sekolah tinggi yang akan menerima alumni pesantren18
2. Mahmud Yunus mengemukakan bahwa di Padang Sumatera Barat pada
tanggal 9 Desember 1940 telah berdiri perguruan tinggi Islam yang dipelopori
oleh Persatuan Guru Agama Islam (PGAI). Mahmud Yunus sendiri mengklaim
bahwa perguruan tinggi Islam inilah yang pertama di Sumatera Barat, bahkan di
Indonesia. Perguruan tinggi ini ditutup tidak lama setelah Jepang masuk ke
Indonesia pada tahun 1941.
3. Dalam kongres II Majelis Islam `Ala Indonesia (MIAI)yang
berlangsung tanggal 2-7 Mei 1939 dalam salah satu agendanya adalah tentang
Perguruan Tinggi Islam, akhirnya merealisasikan pendirian Perguruan Tinggi
Islam di Solo yang dimulai dari tingkat menengah dengan nama Islamische Midel
bare School (IMS).
Kehadiran perguruan tinggi Islam di tengah masyarakat pada dasarnya
merupakan perwujudan dan suatu cita-cita yang telah lama terkandung di hati
sanubari umat Islam Indonesia. Hasrat untuk mendirikan semacam lembaga
pendidikan tinggi Islam itu bahkan sudah dirintis sejak zaman penjajahan. Dr.
Satiman Wirosandjoyo dalam Pedoman Masyarakat No. 15 Tahun IV (1938)
pernah melontarkan gagasan pentingnya sebuah lembaga pendidikan tinggi Islam
dalam upaya mengangkat harga diri kaum Muslim di tanah Hindia Belanda yang
terjajah itu. Dikatakan oleh Satiman antara lain bahwa sewaktu Indonesia masih
tidur onderwijs (pengajaran) agama di pesantren mencukupi keperluan umum.
Akan tetapi setelah Indonesia bangun diperlukan adanya sekolah tinggi Islam .Hal
tersebut menyebabkan transformasi ilmu pengetahuan berjalan dengan cepat,
banyak sekali ilmu-ilmu yang dipandang baru masuk ke Indonesia. Sehingga
sistem pendidikan pesantren dipandang tidak lagi relevan dengan pendidikan
terkini. Walaupun demikian bukan berarti pesantren ditinggalkan begitu saja,
kelebihan yang ada pesantren tetap digunakan untuk di perguruan tinggi Islam.
Apalagi dengan kedatangan kaum Kristen yang banyak mendirikan sekolah
dengan biaya rendah dan dikelola oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi
maka keperluan akan adanya sekolah tinggi Islam itu semakin terasakan lagi dan
kalau tidak pengaruh Islam akan semakin kecil.1
Kaum muslimin tidak hanya memandang pendidikkan sebagai pusat
peningkatan kualitas SDM tetapi juga sebagai pusat menstranmisikan doktrin
Islam kepada generasi penerus. Oleh karena itu dipandang perlu bahwa umat
Islam di Indonesia harus memiliki perguruan tinggi sebagai pencetak mahasiswa,
1
Sejarah pendidikan perguruan tinggi agama Islam. Hal. 125
cendikiawan, kyai, guru ataupun keahlian lainnya yang bisa menjalankan misi
tersebut kepada masyarakat luas. Kesadaran yang tinggi umat Islam Indonesia
akan pentingnya pendidikan merupakan hasil interaksi dan koneksi antara pusat-
pusat studi di Timur Tengah. Yang mana banyak sekali umat Islam Indonesia
yang memiliki kekuatan finansial lebih menuntut ilmu di perguruan tinggi Timur
Tengah. Dengan banyaknya alumni tersebut maka menyebabkan masyarakat
Islam lain terdorong untuk menempuh pendidikan tinggi.
Melihat fenomena tersebut maka banyak sekali gagasan yang muncul di
kalangan umat Islam untuk mendirikan perguruan tinggi hal ini dilatarbelakangi
oleh beberapa faktor. Antara lain adalah untuk mengakomodasi kalangan yang
tidak memiliki kesempatan untuk melanjutkan ke timur tengah. Dan keinginan
untuk mewujudkan lembaga pendidikan Islam sebagai kelanjutan dari pesantren
atau madrasah. Selain itu menyeimbangkan jumlah kaum terpelajar yang berasal
dari lembaga sekolah sekuler dengan tamatan sekolah agama. Gagasan tersebut
tidak hanya mengalir dari kalangan ulama atau tokoh-tokoh agama, namun juga
muncul dari kalangan pelajar muslim yang merupakan tamatan dari sekolah
sekuler. 2
Menurut Komarudin & Hendro pendirian perguruan tinggi Islam selain
didasarkan pada faktor edukasi, moderenisasi, dan dakwah, juga dilandaskan
karena faktor kepentingan ideologis (yang lebih cenderung ke ranah politik).
Lebih lanjut lagi bagi umat Islam PTAIN dijadikan sebagai salah satu instrumen
ideologis untuk mempertahankan tradisi dan syiar Islam. Dengan kata lain PTAIN
bisa berfungsi sebagai benteng ideologi masyarakat dari serangan ideologi lain
yang dipandang berbeda. Atas dasar itulah maka Depag pada waktu itu
memutuskan menggandakan PTAIN menjadi puluhan fakultas dan disebar ke
berbagai daerah. Kebijaksanaan ini dimaksudkan sebagai bentuk respon

2
Husni Rahim, IAIN dan Masa Depan Islam Indonesia dalam problem dan prospek IAIN: Antologi
Pendidikkan Tinggi Islam, ( Jakarta, Dirjen pembinaan kelembagaan agama Islam Depag RI, 2000), hal.
410-411.
berkembangnya faham komunis yang sangat agresif memasuki berbagai wilayah
Indonesia.
Pada awalnya perguruan tinggi Islam didirikan tidak hanya untuk
memenuhi kebutuhan akademik saja, namun juga untuk memenuhi kebutuhan
ilmu agama Islam, ideologi, dan bahkan politik. Yang menjadi ciri khas lain
adalah bahwa jika diperguruan tinggi umum materi kuliah agama Islam sekedar
menjadi salah satu mata kuliah saja, sedangkan di lembaga pendidikan tinggi
Islam materi agama Islam saja yang bisa diterima menjadi fokus kajian utama.
Selain itu hanya umat Islam saja yang bisa diterima menjadi mahasiswanya.
Sehingga wajar jika keberhasilan kurikulum tidak hanya diukur dari peningkatan
akademik mahasiswanya saja tapi juga perilakunya yang Islami.
Namun ada beberapa pendapat lain mengatakan bahwa berdirinya PTAIN
(bukan PTAIS) didasarkan faktor kecemburuan dari kaum nasionalis Islam
terhadap kaum nasionalis sekuler yang oleh pemerintah telah dihadiahi lembaga
Universitas Gadjah Mada pada tahun 1949 karena peran aktif masyarakat
Yogakarta dalam melawan agresi Belanda. Sehingga pada tahun 1951
didirikanlah untuk pertama kalinya perguruan tinggi Islam yang berstatus negeri
di Yogyakarta.
Tercatat dalam sejarah bahwa nama perguruan tinggi Islam di Indonesia
terus mengalami perubahan sebagai upaya dalam merespon perkembangan
masyarakat. Perubahan nama-nama perguruan tinggi itu merupakan sebuah upaya
konkrit untuk merubah sistem yang ada di dalam tubuh lembaga tersebut.
Perubahan nama itu secara teknis biasanya karena penggabungan dari beberapa
perguruan tinggi Islam, atau bahkan karena perpecahan dari lembaga induk
perguruan tinggi. Perubahan tersebut bukan hanya merubah “papan namanya”
atau nameboard-nya tetapi juga diharapkan berubah juga nilai nilai yang
terkandung didalamnya.
Perguruan tinggi Islam yang pada waktu itu dikelola penuh oleh
departemen agama bukan Depdiknas yang merupakan pengelola pendidikan
nasional menyebabkan perguruan tinggi Islam negeri berkedudukan sama dengan
lembaga-lembaga Islam lain nya seperti majelis taklim, haji, umrah, masjid dan
lain sebagainya. Sehingga hal ini berdampak pada sistem penerimaan mahasiswa
baru yang berbeda dengan perguruan tinggi umum, dimana terdapat pola ujian
UMPTN yang jamak dipakai. Padahal menurut penulis yang namanya
pendidikkan itu tidak harus dibidang agama saja namun bidang ilmu pengetahuan
umum (ilmu alam dan ilmu sosial)
Dampak selanjutnya dari perlakuan yang berbeda antar perguruan tinggi
Islam dengan perguruan tinggi umum adalah tidak ada standar yang sama antara
keduanya. Sehingga kualifikasi di akademik dan profesionalisme PTAI sulit
diukur. Maka oleh sebab itu lulusan PTAI meskipun secara formal memiliki gelar
sarjana, namun berdasarkan hukum pasar tidak diakui oleh masyarakat umum.
Oleh karena itu dilandasi dari faktor-faktor di atas maka umat Islam perlu
mengadakan perubahan PTAI. Berikut ini adalah nama nama perguruan tinggi
Islam yang pernah ada dalam sejarah Indonesia:

1. Sekolah Tinggi Islam (1946-1950)


Organisasi-organisasi Islam yang terhimpun dalam Masyumi pada awal
tahun 1945 melahirkan beberapa keputusan penting, salah satunya adalah
keputusan yang menyangkut bidang pendidikan yaitu mendirikan perguruan
tinggi Islam dengan nama Sekolah Tinggi Islam.
Keputusan mendirikan STI dilatarbelakangi oleh beberapa sebab
diantaranya adalah peetama, antisipasi kekosongan atau minimnya pemimpin
setelah Indonesia lepas dari penjajah. Kedua, keinginan untuk menserasikan antar
ilmu agama dengan ilmu umum. Ketiga, upaya mempersatukan umat Islam dalam
satu wadah sebagai pengimbang dari pengaruh-pengaruh pemikiran barat.
Keempat, pengaruh kebangkitan nasional dan kebangkitan dunia Islam pada
umumnya yang melahirkan gerakan-gerakan melawan penjajah dengan sistem
modern, dengan berdirinya organisasi-organisasi Islam salah satunya adalah
Nahdatul Ulama.
Gagasan tersebut kemudian terwujud pada tanggal 8 Juli 1946 ketika
Sekolah Tinggi Islam (STI) berdiri di Jakarta di bawah pimpinan Prof. Abdul
Kahar Muzakkir sebagai realisasi kerja sebuah yayasan (Badan Pengurus Sekolah
Tinggi Islam) yang dipimpin oleh Drs. Mohammad Hatta sebagai ketua dan M.
Natsir sebagai sekretaris. Dalam memorandumnya Drs. Moh. Hatta menyatakan
bahwa agama adalah salah satu tiang kebudayaan bangsa. Oleh karena penduduk
Indonesia 90% beragama Islam maka pendidikan agama Islam adalah salah satu
soal maha penting dalam memperkokoh kedudukan masyarakat. Untuk itu perlu
didirikan Sekolah Tinggi Islam (STI). Pada masa revolusi STI ikut Pemerintah
Pusat Republik Indonesia hijrah ke Yogyakarta dan pada tanggal 10 April 1946
dapat dibuka kembali di kota itu. Dalam sidang perbaikan STI yang dibentuk pada
bulan November 1947 memutuskan pendirian universitas Islam Indonesia (UII)
pada 10 Maret 1948 dengan empat fakultas: Agama, Hukum, Ekonomi, dan
Pendidikan. Tanggal 20 Februari 1951 Perguruan Tinggi Islam Indonesia (PPTI)
yang berdiri di Surakarta pada 22 Januari 1950 bergabung dengan UII yang
berkedudukan di Yogyakarta.
Dan kemudian pada tanggal 8 Juli 1945 di Jakarta didirikan Sekolah
Tinggi Islam (STI) yang selanjutnya pada tanggal 3 November 1947 diubah
menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) sebagai upaya memenuhi kebutuhan
masyarakat akan adanya integrasi ilmu agama dengan ilmu umum. Namun dalam
perjalanan untuk mendirikan perguruan tinggi Islam banyak sekali kendala yaitu
adaua upaya-upaya sekutu dan Belanda untuk menutup perguruan tinggi Islam.
UII pada waktu itu secara kelembagaan berupaya menerapkan sistem yang
bersifat modern, mulai dari sistem perjenjangan (kelas), model pembelajaran, dan
metode evaluasi yang terukur. Manajemen organisasinya juga mengutamakan
rasionalitas, aturan yang terbuka, dan pembagian wewenang yang jelas.
2. Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (1950-1960)
Setelah mendapatkan pengakuan kemerdekaan dari dunia internasional
khususnya oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949 pemerintah memberikan
hadiah bagi umat Islam dengan meresmikan Perguruan Tinggi Agama Islam
Negeri yang diambil dari fakultas Agama UII berdasarkan peraturan pemerintah
tanggal 22 Januari 1950. Bahkan sejumlah pemimpin Islam dan para ulama juga
mendirikan sebuah universitas Islam di Solo.
Yang kemudian dijabarkan menjadi beberapa jurusan seperti dakwah
( (kelak berganti nama Ushuludin), qodlo (Syariah), dan pendidikan (Tarbiyah)
menjadi perguruan tinggi negeri dilakukan pada tanggal 26 September 1951 inilah
yang sekarang ini menjadi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Enam tahun
kemudian di Jakarta berdiri Akademi Dinas Ilmu Agama (AIDIA) pada tanggal
14 Agustus 1957 berdasarkan penetapan menteri Agama nomor 1 tahun 1957.
Pemecahan fakultas ilmu agam dari UII menjadi PTAIN oleh pemerintah secara
langsung merupakan upaya pemerintah dalam merespon umat Islam sebagai
bentuk pengakuan pemerintah terhadap golongan Islam sebagai bagian integral
dari bangsa Indonesia.
3. Akademi Dinas Ilmu Agama (1957)
Akademi ini bertujuan sebagai sekolah latihan bagi para pejabat yang
berdinas di pemerintahan khususnya di kalangan Depag dan untuk kepentingan
kualitas guru dalam pengajaran agama di sekolah. Pendirian ADIA didasarkan
pada penetapan Menteri Agama nomor 1 Tahun 1957 dan merupakan tugas
Depag dalam menyiapkan tenaga guru agam, staf, dan tenaga ahli di bidang
keagamaan, dengan tujuan guna mendidik dan mempersiapkan pegawai negeri
yang akan mencapai ijazah pendidikan semi akademik untuk dijadikan ahli didik
agama pada sekolah-sekolah lanjutan, baik umum maupun kejuruan dan agama.
Yang mana lamanya belajar di ADIA adalah 5 tahun yang dibagi pada dua
tingkatan. Tingkat semi akademik dengan masa belajar selama 3 tahun dan
tingkat akademik dengan masa belajar selama 3 tahun dan tingkat akademik
dengan masa belajar selama 2 tahun. Masing masing tingkat terdiri atas 2 jurusan
yaitu jurusan agama dan jurusan sastra Arab. Akademi ini bertujuan sebagai
sekolah latihan bagi para pejabat yang berdinas di pemerintahan (kementerian
agama) dan untuk pengajaran agama di sekolah.

4. Institut Agama Islam Negeri ( 1960-1997)


Institut Agama Islam Negeri (IAIN) diresmikan pada tanggal 24 Agustus
1960 di Yogyakarta. Lembaga ini pada awalnya terlahir dari dua lembaga
pendidikan tinggi Islam yang kemudian digabungkan menjadi IAIN. Dua lembaga
itu adalah Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang berada di
Yogyakarta dan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) yang berbeda di Jakarta.
Hingga pada tahun 1973 IAIN di seluruh Indonesia berjumlah 14 buah. Tujuan
didirikannya IAIN ini adalah untuk memberi pengajaran dan pendidikan
universitas serta mejadi pusat dalam mengambangkan dan memperdalam mu
pengetahuan tentang agama Islam.3
IAIN bermula dengan dua bagian, yaitu dua fakultas di Yogyakarta dan
dua fakultas di Jakarta. Di kedua tempat ini, IAIN dengan cepat berkembang
menjadi sebuah institut dengan empat Fakultas, yang pada tiap fakultasnya
ditetapkan kuliah selama 3 Tahun dan dapat dilengkapai dengan spesialisasi 2
tahun. IAIN pada tahap awal berdirinya berdasarkan penetapan Menteri Agama
RI Nomor 43 tahun 1960 Jo. Peraturan Menteri Agama No. 15 Tahun 1961 terdiri
atas Fakultas Tarbiyah sebanyak Delapan jurusan yaitu: 1) Jurusan Pendidikan
Agama, 2) Jurusan Paedagogik, 3) Jurusan Bahasa Indonesia, 4) Jurusan Bahasa
Arab, 5) Jurusan Bahasa Inggris, 6) Jurusan Khusus (lman Tentara), 7) Jurusan
Etnologi dan Sosiologi, 8) Jurusan Hukum dan Ekonomi.
Perkembangan selanjutnya delapan jurusan ini mengecil dan hanya
bertahan dua jurusan saja yaitu Jurusan Pendidikan Agama dan Pendidikan
3
Sudadi, sejarah pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta, CV Pustaka Ilmu Grup: 2016, 167.
Bahasa Arab. Sekitar tahun 1980-an lahirlah Jurusan Tadris, Jurusan ini bertujuan
untuk merespon kekurangan dan kebutuhan guru-guru dalam mats pelajaran IPA,
Matematika, dan Bahasa Inggris. Kemudian pada tahun 1990-an muncul jurusan
baru yaitu Kependidikan Islam.
Sebagai lembaga pendidikan tinggi di tingkat Institut, IAIN
mengkhususkan pembelajaran sebagai lembaga pendidikan tinggi yang bertujuan
untuk mendalami ilmu-ilmu agama. Setidaknya perkembangan puncak dari IAIN
sebelum di antaranya beralih status memiliki empat fakultas. Keempat fakultas
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Fakultas Ushuluddin yang terdiri atas segi segi ilmu agama Islam,
seperti filsafat, tasawuf, perbandingan agama, dan agama.
2. Fakultas Syariah, yang menekankan aspek-aspek praktis dan agama
yurisprudensi, tafsir, pengetahuan hadits, dan sebagainya.
3. Fakultas Tarbiyah yaitu yang bergerak di bidang pendidikan dan
keguruan yang mempersiapkan guru agama
4. Fakultas Adab dan Ilmu kemanusiaan, untuk spesialisasi sejarah Islam
serta bahasa Arab secara khusus.4

Di awal berdirinya IAIN terdapat banyak sekali tuntutan yang harus


dilakukan Ya itu banyak sekali pegawai dan staf pengajar yang belum memiliki
kesetaraan dengan pendidik barat. lebih jelasnya staf pengajar pada saat itu belum
memiliki kualifikasi secara formal untuk mendapatkan legitimasi dalam dunia
birokrasi. Oleh karena itu seorang pendidik di IAIN pada waktu itu dituntut untuk
memiliki gelar sarjana. Pada awal berdirinya IAIN mahasiswa barunya banyak
didominasi dari kalangan lulusan pondok pesantren. Namun seiring berjalannya
waktu kemudian banyak sekali lulusan SMA, MA dan SPG. Ini menyebabkan
IAIN harus menyesuaikan diri dengan keadaan mahasiswa yang berlatar belakang
sangat beragam tersebut.

4
Kharisul Wathoni, Dinamika Sejarah Pendidikan Islam, ( Yogyakarta, Stain PO Press, 2011), hal 144.
Beberapa hal yang menjadi catatan tujuan pendirian IAIN adalah bahwa
pendirian IAIN adalah bahwa pendiriannya dilandasi semangat untuk
meningkatkan kedudukan pondok pesantren agar memasuki wilayah urban
sehingga bisa memiliki keluwesan dalam menghadapi tuntutan zaman. Bukan
sebuah kesalahan jika ada pertanyaan bahwa pada masa dulu IAIN pernah tidak
dapat mendapat pengakuan dari pemerintah, hak ini dibuktikan dengan perbedaan
sistem pembiayaan yang mana anggota PTAI disejajarkan dengan anggaran sektor
agama yang umum menyatu dengan dengan anggaran urusan keagamaan lain.
Lebih nyata lagi lulusan IAIN pernah tidak bisa diterima mendaftar menjadi calon
pegawai negeri sipil di instasi luar Depag.

Kejelasan nasib dan status hukum dari IAIN baru diperjelas oleh menteri
Agama Munawir Sjadjali (1983-1993). Salah satu indikasi pengakuan IAIN dari
pemerintah dan masyarakat bahwa IAIN merupakan sebuah perguruan tinggi
adalah adanya kata Negeri di belakang nama lembaga. Selain itu lulusannya
disebut sebagai sarjana bukan ustad atau kyai dan muridnya disebut mahasiswa
bukan santri. Dan juga memiliki gelar buang sama dengan perguruan tinggi lain
yaitu doctorandus.

Oleh karena itu wajar jika IAIN dinilai berada posisi dilematis, bahkan
pemerintah pun pada waktu itu dipandang sulit untuk menempatkan IAIN.
Sehingga pada tahun 1989 secara hukum lembaga ini baru bisa diakomodasi oleh
pemerintah dengan adanya undang-undang sisitem pendidikkan nasional (USPN)
yang secara eksplisit menyebutkan pendidikan agama termasuk dalam naungan
sistem pendidikan Nasional. Sehingga wajar timbul wacana-wacana berani agar
IAIN berani untuk tidak fokus pada bidang keagamaan saja secara normatif
namun juga memunculkan diri dalam mendalami ilmu pengetahuan umum.

5. Sekolah Tinggi Agama Islam (1997-sekarang)


Berdasarkan keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1997 sejak tanggal 1
Juli 1997 diresmikan 33 Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) di seluruh
Indonesia. STAIN ini merupakan cabang-cabang IAIN induk yang menyebar
dibeberapa kota dan STAIN termenifestasi dalam bentuk fakultas-fakultas IAIN
induk. Latar belakang berdirinya STAIN adalah untuk menanggapi peraturan
yuridis yang bersangkutan dengan pendidikan tinggi dan juga sebagai respon atas
perkembangan zaman agar perguruan tinggi Islam tetap diminati di masyarakat.

5. UIN (2000-sekarang)
Seiring dengan berjalannya waktu dengan berkembangnya fakultas Universitas Islam
Negeri (UIN) adalah bentuk perguruan tinggi Islam negeri di Indonesia yang
menyelenggarakan pendidikan akademik pada sejumlah disiplin ilmu pengetahuan,
termasuk ilmu pengatahuan di luar studi keislaman. UIN merupakan salah satu
bentuk perguruan tinggi Islam negeri selain Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN).

Cikal bakal UIN adalah IAIN yang dibentuk oleh pemerintah pada tahun 1960 di kota
Yogyakarta dengan nama IAIN Al Jami'ah al-Islamiah al-Hukumiyah, yakni
gabungan dari Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) Yogyakarta dan
Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) Jakarta. Sejak tahun 1963, berdirilah cabang-
cabang IAIN yang terpisah dari pusat. Pendirian IAN terakhir adalah IAIN Sumatera
Utara di Medan pada tahun 1973.

Pada abad ke-21, sejumlah IAIN berubah nama menjadi Universitas Islam Negeri
(UIN), karena memiliki fakultas dan jurusan Di luar studi keislaman. IAIN Syarif
Hidayatullah di Jakarta adalah IAIN yang pertama kali berubah nama menjadi UIN.
Jika pada tahun 2000 tercatat masih terdapat 14 IAIN di Indonesia, saat ini 6 di
Antaranya telah berubah menjadi Universita Islam Negeri.
A. kondisi lembaga pendidikan tinggi Islam era sekarang.
Pendidikan Islam merupakan proses bimbingan dan pembinaan
semaksimal mungkin yang diberikan kepada seseorang melalui ajaran Islam agar
orang tersebut tumbuh dan berkembang sesuai tujuan yang diharapkan. 5
Pendidikan Islam berarti system pendidikan yang memberikan kemampuan
seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilai
Islam yang telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya. Dengan kata lain
pendidikan Islam adalah suatu system kependidikanya yang mencakup seluruh
aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah sebagaimana islam telah
menjadi pedoman bagi seluruh aspek kehidupan manusia, baik duniawi maupun
akhirat.6
Dengan demikian, pendidikan Islam itu berupaya untuk mengembangkan
individu sepenuhnya, agar orang tersebut tumbuh dan berkembang sesuai tujuan
yang diharapkan yaitu tujuan duniawi maupun ukhrawi. Karena globalisai
merupakan suatu entitas, betapapun kecilnya, yang bila mana disampaikan oleh
siapapun, dimana pun, dan kapan pun, akan dengan cepat menyebar keseluruh
pelosok dunia, maka entitas tadi telah menjadi lifestyle dan bahkan menjadi
simbol kemodernan, ia dapat mengubah kebiasaan hidup seseorang, serta tak
jarang menilai ajaran agama sebagai ketinggalan zaman. Jika pendidikan Islam
tidak berbuat apa-apa dalam menghadapi perkembangan teknologi canggih di era
globalisasi ini, dapat dipastikan bahwa umat Islam akan pasif sebagai penonton,
bukan pemain, atau sebagai konsumen, bukan sebagai produsen
Kajian historis tentang pendidikan Islam di Indonesia sejak awal masuknya
Islam ke Indonesia dapat dibagi kepada tiga fase.
1. Fase pertama
5
Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006,
Cet.ke-1, h. 51
6
https://aghoestmoemet.wordpress.com/2013/10/11/makalah-ilmu-pendidikan-islam/, diakses
pada tanggal 15 April 2017.
sejak mulai tumbuhnya pendidikan Islam yang diawali masuknya Islam ke
Indonesia sampai munculnya zaman pembaharuan pendidikan Islam di
Indonesia
2. fase kedua
sejak masuknya ide-ide pembaharuan pendidikan di Indonesia sampai
zaman kemerdekaan
3. fase ketiga
sejak zaman kemerdekaan sampai sekarang, yaitu sejak diberlakukannya
undang-undang sistem pendidikan nasional
B.

Anda mungkin juga menyukai